• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

2.2 Tipologi Perumahan Pemukiman Perkotaan

Salah satu faktor dominan yang memicu permasalahan penanggulangan kebakaran secara kawasan perkotaan adalah pesatnya laju pertumbuhan pembangunan di berbagai sektor yang menarik atau menyedot keberadaan penduduk desa (rural) menuju kota (urban). Pergumulan modal di kota lebih besar dibanding desa, sehingga terdapat pemikiran di masyarakat bahwa peluang dalam meningkatkan pendapatan ekonomi lebih mudah dilakukan di lingkungan perkotaan dibanding dengan desa. Proses perpindahan masyarakat berpenghasilan rendah dijelaskan pada gambar 2.4.

Pada awalnya masyarakat tersebut hanya berkunjung ke kota, kemudian kota memberikan peluang dan harapan bagi masyarakat tersebut untuk berkarya. Oleh karena lokasi karya berjauhan dengan tempat tinggalnya di desa, kemudian mereka tinggal di kota secara komunal dengan kualitas fisik tempat tinggal yang rentan terhadap bencana seperti kebakaran.

Hal ini sejalan dengan pengamatan Dwyer dalam Potter dan Lloyd-Evans (1998), di permukiman padat perkotaan, pada mulanya mereka datang ke kota melakukan peningkatan peninjauan hingga wilayah terluas. Lalu mereka menuju pusat kota untuk mencari pekerjaan baik sektor formal maupun informal.

Agar kita memahami sasaran aktor tentang keberadaan dan kondisi yang mendekatkan mereka terhadap kerentanan bahaya kebakaran, berikut akan dikaji tempat tinggal dan lingkungan mereka serta faktor ekonomi dan sosial budaya mereka.

Gambar 2.4 Proses Perpindahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah Menurut Dwyer

2.2.1 Keberadaan permukiman

Pada bab sebelumnya telah dikemukakan konsep penyediaan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan yang dikemukakan oleh Drakakis, konsep ini akan dikembangkan untuk memahami keberadaan permukiman perkotaan

Pusat Kota

Kesempatan kerja di kota

Pingiran Kota (Penyerbuan dan Pergantian) Lokasi Ideal Perpindahan Pertumbuhan Squatter Beberapa Squatter Beberapa Squatter Kondisi air buruk Kondisi lahan sempit Kota-kota kecil dan sekitarnya

terhadap faktor-faktor yang menyelimuti mereka dari bahaya kebakaran atas sumber bahaya, kerentanan dan ketahanannya yang akan di urai sebagai berikut.

2.2.1.1 Permukiman konvesional

Istilah konvensional bermakna sesuatu lahir atas kesepakatan dari hubungan tertentu yang berdasar atas pemikiran tertentu melalui analisis tertentu. Konvensi merupakan sesuatu yang sudah ditetapkan, kemudian dilaksanakan menjadi suatu hal yang wajar. Rumah, merupakan suatu ruang dimana manusia menjalani daur harinya secara lengkap bersama-sama anggota keluarga lainnya untuk saling menghormati, belajar, menyayangi yang terlingkup di dalam nilai-nilai kemanusiaan. Tentu keberadaan ‘rumah’ harus mampu melayani sifat ke-ruang-an tersebut.

Keberadaan permukiman konvensional lahir atas dasar material standar. Material standar berarti material dengan daya tahan tertentu terhadap faktor-faktor yang dapat merusak material tersebut melalui uji coba ketahanan tertentu. Kemudian penyelenggaraannya menggunakan tenaga ahli tertentu yang dapat merumuskan kemanfaatan tempat tinggal tersebut melalui perencanaan dengan keilmuan tertentu. Setelah itu keberadaan permukiman yang berdiri diatas lahan resmi yang dapat memperkuat perencanaan untuk melahirkan tempat tinggal untuk bertinggal dalam jangka waktu yang tidak terbatas.

2.2.1.2 Permukiman non konvensional

Kondisi permukiman ini adalah kondisi berbalik dari permukiman konvensional. Permukiman non konvensional lahir atas material disekitarnya yang

hanya bersifat menutupi atau melindungi dalam jangka waktu yang sangat pendek. Pemakaian material tempat tinggal kerap kali tidak menggunakan material standar, akibatnya sangat rentan rusak atau hancur terhadap bencana. Kemudian penyelenggaraannya dilakukan secara pribadi sesuai dengan kebutuhan minimal kegunaan ruang yang akan dipakai, sehingga ‘rumah’ tidak dapat melakukan daur hari secara lengkap dan manusiawi.

Permukiman berdiri di atas lahan yang bukan miliknya atau berstatus ilegal, yang sewaktu-waktu keberadaan mereka akan hilang karena diambil alih oleh yang berhak atas lahan tersebut.

Dari kedua tipologi permukiman yang telah dikaji di atas akan dikembangkan menjadi dasar dalam menciptakan elemen-elemen variabel yang akan di analisis untuk melahirkan tolak ukur penanggulangan bencana kebakaran. Setelah memahami konsep fisik tempat tinggal mereka, kita beranjak pada pembahasan tentang aktivitas bertinggal.

2.2.2 Kelompok rumah atas prioritas dan kebutuhannya

Ada tiga kelompok rumah di pemukiman padat perkotaan yang berdasarkan atas prioritas dan kebutuhannya (Turner dalam Potter dan Lloyd-Evans, 1998), yaitu: pertama, bridgeheader (kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang memandang rumah sebagai batu loncatan) menurut kamus Webster’s, kata bridgeheader terdiri dari kata bridge-head yang artinya bergerak ke depan mengambil posisi tembak yang akan di tuju. Dalam hal ini kelompok masyarakat

yang dimaksud bukan kelompok militer yang sedang melakukan aksi tertentu, tetapi masyarakat berpenghasilan rendah yang memiliki prioritas tempat untuk bertinggal yang berdekatan dengan lokasi karyanya; posisi tembak adalah pusat kota (mengandung segala ceruk ekonomi) yang dituju untuk mencari pendapatan. Selain itu kelompok ini cenderung berprioritas hidup untuk makan, maka rumah hanya menjadi sarana untuk istirahat belaka. Atas karakteristik ini dapat kita pastikan bahwa kelompok ini pasti bertinggal di fisik tempat tinggal yang sangat rentan terhadap bahaya bencana kebakaran.

Kedua adalah consolidator (kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang sudah melakukan konsolidasi) yaitu makna rumah sebagai tempat konsolidasi (berkumpul), menjadikan hunian sebagai media antara untuk mengkonsolidasi kehidupan rumah tangga. Kemampuan rumah tangga dalam melakukan pengelolaan keuangan, maka prioritas kedekatan terhadap lokasi karya menjadi semakin kurang penting dan sudah memikirkan tentang pendidikan serta memperhitungkan amenitas (fasilitas) berhuni. Atas karakteristik ini, kondisi fisik tempat tinggalnya mulai lebih baik dibanding kelompok sebelumnya karena ‘rumah’ merupakan tempat bernaung yang sudah dianggap penting untuk melaksanakan daur hari di kota; sehingga tingkat kerentanan fisik rumah dari bahaya kebakaran berkurang kadarnya.

Terakhir, status seeker (kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang memandang rumah sebagai pembeda status) yaitu rumah sebagai status diri, terjelma dalam bentuk kualitas fisik dan sarana penunjang yang berkualitas pula. Atas karakteristik ini dapat dipastikan bahwa keberadaan fisik tempat tinggal mereka

nyaris jauh dari kerentanan bahaya bencana kebakaran, karena rumah terdiri dari material standar yang memiliki kekuatan tertentu untuk mengahadapi bahaya seperti bencana kebakaran.

Dari tiga kelompok rumah di permukiman padat perkotaan dapat diambil kesimpulan bahwa bridgeheader adalah kelompok yang memiliki penjelmaan tempat tinggal yang sangat rentan terhadap bahaya kebakaran.

2.2.3 Daur hari bertinggal

Manusia bergerak dalam ruang, dan akan selalu dalam ruang. Dalam menjalani hidupnya, manusia melakukan beberapa kegiatan dan kegiatan itu terulang kembali hingga menjadi suatu rutinitas.

Ruang akan terlihat keberadaannya melalui tempat. Tempat tinggal merupakan tempat terjadinya proses bertinggal atas kegiatan tertentu yang terus berlangsung melalui ruang, dan tempat tinggal sebagai jelmaannya. Relph (1976) mengungkapkan bahwa tempat bukan sekedar sesuatu itu berada, tapi lebih dari itu, lokasi dan segala sesuatu yang ada pada lokasi tersebut, dan tampil sebagai suatu gejala yang berarti serta menyatu.

Manusia secara umum lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah. Di dalam rumah banyak terdapat properti atau barang-barang milik yang digunakan sekaligus membantu kelangsungan daur hidup manusia. Penjelmaan pemakaian rumah berpengaruh terhadap rentannya bahaya kebakaran. Pada gambar 2.5 menunjukkan grafik ruang daur hidup manusia menurut Erikson (1997), disini kita

akan melihat aktivitas masyarakat yang berada di permukiman padat perkotaan yang dikonversi menjadi daur hari di tempat tinggal.

Gambar 2.5 Grafik Ruang Daur Hidup Manusia Menurut Erikson (1997)

Pada masa bayi hingga anak (0-5 tahun), waktu daur hidup manusia lebih banyak dihabiskan di tempat tinggal karena pada masa tersebut ia membutuhkan perawatan tubuh dan pikiran secara intensif dari orang tuanya di tempat tinggal. Pada masa anak hingga remaja (5 hingga 18 tahun), waktu daur hidup remaja sudah mulai menjalani aktivitas pendidikan untuk konsumsi pikiran (teknologi), namun waktu daur hidupnya masih banyak dijalani di tempat tinggal. Pada masa dewasa (19 hingga 65 tahun), waktu daur hidup lebih banyak dihabiskan di kota dari pada di tempat tinggal karena pada masa ini mencari penghasilan sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui kinerja, karya dan pikiran. Pada masa tua (65 hingga mati),waktu

Usia Bayi: 0-3 Usia bermain: 3-5 Usia sekolah: 5-12 Remaja: 12-18 Dewasa muda: 19-40 Dewasa: 40-65

Usia Tua: 65-mati

Pra-natal Lingkungan tempat tinggal

s/d sekolah

Lingkungan perkotaan Lingkungan tempat tinggal Mati Aktivitas hidup lebih

banyak di dalam rumah Lahir Laju usia terhadap aktivitas yang meruang Aktivitas di luar tempat ti l Aktivitas di tempat tinggal

Aktivitas hidup lebih banyak di luar rumah

daur hidup kembali lebih banyak di rumah di banding di kota karena kondisi fisik tubuh tidak mampu lagi mendukung aktivitas terutama karya.

Pada gambar 2.6 grafik ruang daur hari masyarakat permukimana padat di kota terdapat garis putus-putus berbentuk kotak. Kotak tersebut melingkupi aktivitas manusia yang banyak menghabiskan daur hidupnya lebih banyak di rumah dibanding di luar rumah. Pada masa-masa tersebut manusia sangat membutuhkan bimbingan dan pengayoman orang tua beserta saudara dalam proses menjalani kehidupan. Dengan memahami secara jelas waktu-waktu beraktivitas di dalam tempat bertinggal diharapkan dapat mempermudah identifikasi terhadap sumber-sumber yang dapat memicu bahaya kebakaran, kemudian mengkaji segala keberadaanya melalui kerentanan bahaya kebakaran serta menilai seberapa jauh ketahanan permukiman mereka terhadap bahaya kebakaran untuk merumuskannya sebagai tolok ukur penanggulangan bencana kebakaran pada sistem tertentu.

Gambar 2.6 Grafik Ruang Daur Hari Masyarakat Permukiman Padat di Kota Di Tempat Tinggal Di Lokasi Karya

Siang

Malam

Rentang waktu daur hari masyarakat permukiman padat di

Istirahat

Aktivitas pendidikan dan mencari pendapatan di lokasi karya.

Laju waktu terhadap aktivitas yang meruang Aktivitas di luar tempat Aktivitas di tempat tinggal

2.2.4 Aktivitas ekonomi

Terkait dengan karakter kelompok masyarakat permukiman padat di kota, Gilbert dan Gugler dalam Potter dan Lloyd-Evans (1998) merumuskan tiga kategori pekerja di lingkungan perkotaan, pertama yaitu employment atau pekerja tetap dengan tingkat kemapanan tertentu (elit sektor); kedua unemployment atau pengangguran; biasanya mereka memperoleh subsidi dan kurang memikirkan kebutuhan makan; ketiga, underemployment yang memiliki tiga definisi.

Pertama, jumlah pekerja sangat berlimpah dibanding dengan waktu bekerja seharusnya. Biasanya definisi ini terdapat pada pekerja buruh, karena mereka mencari penghasilan tambahan dari sisa waktu yang ada.

Kedua, aktivitas ekonomi yang terkait dengan tinggi rendah (fluktuasi) beraktivitas yang dikelompokkan pada waktu sepanjang hari atau lebih dari seminggu, atau waktu yang menjelaskan sedikit atau tidak bekerja.

Ketiga, dapat disebut sebagai ‘pekerja terselubung’ yaitu bekerja hanya pada saat diperlukan karena opurtunis (pemberi kerjaan) tidak mampu menampung tenaga kerja secara penuh.

Kehadiran tiga kategori pekerja di kota berpengaruh terhadap penjelmaan kualitas fisik permukimannya. Bagi masyarakat yang berstatus employment, kerentanan bahaya kebakaran hampir tidak ditemui karena rumah bukan merupakan bagian tempat produksi untuk meningkatkan pendapatan karena penghasilan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sedangkan masyarakat yang berstatus employment dan underemployment sangat rentan memancing terjadinya bahaya

kebakaran karena kategori masyarakat ini cenderung untuk maemanfaatkan setiap ceruk ekonomi yang ada untuk meningkatkan pendapatan. Besar kemungkinan bahwa tempat tinggal dijadikan tempat untuk memproduksi dan berniaga untuk meningkatkan penghasilan. Hal ini dapat memicu bahaya atau berpotensi terjadinya kebakaran di permukiman padat perkotaan.

2.2.5 Budaya dan sosial kemasyarakatan (strukturasi)

Masyarakat dalam konotasi umum yaitu asosiasi sosial atau interaksi dan dapat juga diartikan sebagai unit mempunyai batas yang menandai dari masyarakat yang lain. Dalam properti sosial, masyarakat memiliki prilaku tertentu untuk bertindak hidup berdampingan dengan lainnya. Dalam konteks ini, masyarakat dapat dipandang secara dinamis karena dapat menjadi subjek sekaligus objek. Namun keberadaan budaya dan sosial ‘masyarakat’ sangat menentukan kualitas bermukim di lingkungan permukiman perkotaan.

Gambar 2.7 menjelaskan klasifikasi tipe masyarakat menurut Giddens (1984), ada tiga klasifikasi masyarakat yaitu masyarakat suku (tribal society), masyarakat terbagi atas kelas (class divided society) dan masyarakat kelas (class society).

Dalam masyarakat kesukuan atau budaya lisan, prinsip struktural yang dominan bekerja sepanjang sumbu yang menghubungakan tradisi dan kekerabatan atau kekeluargaan yang tersemat dalam ruang dan waktu. Media integrasi tergantung pada interaksi dalam latar lokal yang memiliki kehadiran yang tinggi.

Gambar 2.7 Klasifikasi Tipe Masyarakat Menurut Giddens (1984)

Pola pikir masyarakat dapat dilakukan secara bersama-sama, saling bahu membahu dan bergotongroyong menuju kepentingan bersama. Atas hubungan kelompok masyarakat ini, ia memiliki faktor ketahanan terhadap penanggulangan bencana kebakaran serta mempermudah perwujudan membangun kembali pasca bencana. Namun dengan pola pikir masyarakat ini juga akan berpotensi kerentanan bahaya kebakaran sebab dapat melanggar peraturan demi kesejahteraan bersama. Salah satu contoh relevan terhadap pola pikir masyarakat ini adalah dengan adanya pencurian arus listrik yang dipakai secara bersama-sama atau juga menggunakan alat masak yang tidak dianjurkan dengan kayu bakar karena merasa tidak mampu memakai alat masak yang standar.

Kemudian masyarakat yang terbagi atas kelas merupakan klasifikasi masyarakat atas hubungan kekerabatan dna praktek tradisional bahkan masih menganggap praktek kesukuan masih sangat penting. Terkadang terdapat suatu kondisi bahwa pemerintah tidak dapat masuk ke dalam adat istiadat setempat.namun walaupun begitu, klasifikasi masyarakt ini sudah mengenal tata hukum yang berlaku, prosedur aktivitas ekonomi dan cara-cara kordinasi simbolis yang didasarkan pada teks tertulis.

Pola pikir masyarakat sudah lebih maju dari masyarakat kesukuan sebab telah memahami sebab-akibat dari kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, klasifikasi masyarakat ini masih memiliki potensi kerentanan yang tinggi terhadap bahaya kebakaran karena segala peraturan yang berlaku kerap dilanggar demi peningkatan pendapatan dalam aktivitas perekonomiannya.

Masyarakat kelas yang biasa disebut dengan masyarakat kapitalis yaitu klasifikasi kemasyarakat yang prinsip strukturalnya kekuatan perekonomian. Atas hal ini, seluruh sumberdaya akan dikerahkan demi menghasilkan sesuatu berkualitas secara teknis. Maka sesuatu yang tercipta harus berdasarkan uji dan analisis yang mendalam dengan penataan yang terencana dalam jangka waktu guna yang tertentu. Pada klasifikasi masyarakat ini, celah kerentanan terhadap bahaya kebakaran khususnya akibat ulah manusia dapat dihapuskan karena terdapat pemahaman bahwa kekeliruan dirisendiri tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga bagi orang lain.

Disaster Risk = Hazard + Vulnerability – Capacity atau

Resiko Bencana = Bahaya + Kerentanan - Ketahanan