PERANAN LABORATORIUM FORENSIK DALAM
PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas- Tugas Dan
Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA HUKUM
OLEH :
THEOPILUS SEMBIRING NIM : 100200114
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
i
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat,
pertolongan, kemurahan hati dan penyertaanNya selama ini sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus penulis penuhi
guna menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU Medan untuk memperoleh
gelar Sarjana Hukum. Skripsi ini berjudul : “PERANAN LABORATORIUM
FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN”.
Penulis dengan segala kerendahan hati menyadari bahwa skripsi ini masih
kurang dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan pengetahuan, kemampuan,
wawasan, serta bahan literatur yang penulis dapatkan. Oleh karena itu penulis
mengharapkan segala bentuk kritik dan saran yang bersifat membangun dari para
pembaca untuk mencapai kesempurnaan dari tulisan ini.
Pada kesempatan ini dengan rasa hormat dan bahagia penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini dan semua pihak yang telah menjadi bagian penting
selama penulis menjalankan perkuliahan di Fakultas Hukum USU Medan, yaitu :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M. Hum., selaku Dekan Fakultas
Hukum USU Medan.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.H., selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum USU Medan.
3. Bapak Syafrudin Hasibuan, SH., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II
ii
4. Bapak Dr O.K Saidin, SH., M. Hum., selaku Pembantu Dekan III
Fakultas Hukum USU Medan.
5. Bapak Dr. Muhammad Hamdan, SH., M. Hum., selaku Ketua
Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan.
6. Ibu Liza Erwina, SH., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum
Pidana Fakultas Hukum USU Medan
7. Bapak Prof. Dr. Ediwarman, SH., M. Hum selaku Dosen Pembimbing I,
terima kasih untuk semua kesabaran dan arahan bapak untuk
membimbing saya dalam penulisan skripsi ini.
8. Ibu Rafiqoh Lubis, SH., M. Hum, selaku Dosen Pembimbing II, terima
kasih untuk semua waktu, nasehat, ilmu dan arahan yang telah ibu
berikan kepada saya serta penuh kesabaran membimbing saya mulai dari
awal penulisan skripsi ini sampai dengan selesainya penulisan ini.
9. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M. H., selaku Dosen Pembimbing
Akademik penulis selama penulis mengikuti perkuliahan dan yang telah
banyak memberikan bimbingan dan dorongan kepada penulis.
10. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum USU Medan, yang telah
memberikan banyak sekali ilmu yang sangat berharga kepada penulis.
11. Seluruh Bapak/Ibu Staf Fakultas Hukum USU Medan, yang telah
membantu penulis selama mengikuti perkuliahan.
12. Spesial ini semua penulis dedikasikan untuk kedua orangtua penulis yang
sangat penulis banggakan. Ayahanda K. Sembiring dan Ibunda L. br
Bangun. Terima kasih untuk doa, dukungan, cinta yang banyak sekali,
iii
Dukungan dan Arahan Bapak dan Mamak akan menjadi kebanggaan dan
motivasi tersendiri untuk penulis.
13. Buat Abangku, Edy Suranta Sembiring, SE. Terima kasih untuk arahan
dan dukungan baik secara materi dan immateri yang diberikan kepada
penulis selama ini.
14. Buat kakakku, Risni Gloria br Sembiring, SE dan Ori Sativa br
Sembiring, SP. Terima kasih untuk dukungan dan doa yang diberikan
kepada penulis selama ini.
15. Buat keponakanku, Breditha Hanna Ceria br Purba. Sangat menghibur
penulis lewat tingkah laku yang lucu dan menggemaskan.
16. Buat Hanna Anastasia Aritonang, terima kasih untuk perhatian yang
besar, motivasi, doa, dukungan, cinta dan kasih sayang serta segala
warna yang membuka rasio, emosional, dan rasa penulis.
17. Buat teman-teman stambuk 2010 Group E dan C : Andre, Fajar, Gilbert,
Devi, Anastasya, Tika, Dea, Marwah, Anggie, Debora, Ketrin, dan Egha
senang bisa menjadi teman kalian selama ini.
18. Buat teman-teman sepelayanan di Pengurus di PERMATA Bethlehem :
Ribka, Christy, Anna, Febry, Nico, Ezra, Nia, dan Mia. Terima kasih
untuk dukungan dan doa yang diberikan selama ini. “Diberkatilah orang
yang mengandalkan Tuhan dan menaruh harapannya pada Tuhan”.
Medan, November 2014
iv A. Latar Belakang Masalah………... 1
B. Perumusan Masalah…...………... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 8
D. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengaturan Hukum Mengenai Laboratorium Forensik Dalam Pembuktian Tindak Pidana di Indonesia... 9
2. Peranan Laboratorium forensik dalam pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan………... 13
3. Kebijakan Hukum Pada Tindak Pidana Pembunuhan Dikaitkan Dengan Hasil Pemeriksan Laboratorium Forensik Dalam Proses Pembuktian di Pengadilan... 32
E. Keaslian Penulisan………... 40
F. Sistematika Penulisan………... 40
BAB II PENGATURAN HUKUM LABORATORIUM FORENSIK DI INDONESIA A. Peraturan Kapolri Nomor 21 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi Pada Tingkat Mabes Polri... 44
B. Perkap Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik TKP Dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Polri... 45
v
BAB III PERANAN LABORATORIUM FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
A. Membuat Terang Perakara Pembunuhan... 56
1. Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara (TKP)... 61
2. Pemeriksaan Laboratorium Forensik Pada Mayat... 75
a. Menentukan secara pasti kematian... 77
b. Memperkirakan saat kematian... 78
c. Mententukan identitas korban... 85
d. Menentukan sebab kematian korban... 91
B. Memberikan Alat Bukti Sah Pada Persidangan... 93
1. Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti Surat Pada Persidangan... 93
2. Dokter Forensik Sebagai Saksi Ahli Dalam Pembuktian Kasus Pembunuhan... 101
BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PADA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DIKAITKAN DENGAN HASIL PEMERIKSAAN LABFOR DALAM PROSES PEMBUKTIAN DI PENGADILAN A. Kebijakan Hukum Pidana... 110
B. Pembuktian Perkara Pidana Menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia... 114
C. Analisis Putusan... 120
C.1 Putusan Nomor : 1998/Pid.B/2012/PN. Medan………... 120
a. Posisi Kasus………. 120
b. Dakwaan……….. 124
c. Tuntutan………... 124
d. Putusan………... 125
C.2 Putusan Nomor : 197/ Pid.B/2011/PN.Pwt………...…... 126
a. Posisi Kasus………. 126
b. Dakwaan……….. 130
c. Tuntutan………... 130
vi
C.3 Putusan Nomor : 109/PK/Pid/2007….………..……... 132
a. Posisi Kasus………. 132
b. Dakwaan……….... 139
c. Tuntutan………... 140
d. Putusan………... 145
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan………... 157
B. Saran……….... 161
vii
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1 Metode Spiral……….... 71
2. Gambar 2 Metode Zone……….. 71
3. Gambar 3 Metode Strip……….. 72
viii ABSTRAKSI Theopilus Sembiring
Pemakaian laboratorium forensik berserta ilmu-ilmu forensik dalam penggunaannya untuk membuktikan suatu tindak pidana pembunuhan dilakukan karena, tidak semua peristiwa pembunuhan disaksikan oleh saksi mata, kalaupun ada saksi mata, saksi dapat berbohong atau disuruh berbohong, dan keberadaan bukti fisik yang ada yang jumlahnya mungkin tidak terbatas, dapat diperiksa dan tidak dapat berbohong atau disuruh berbohong. Alasan inilah yang melatarbelakangi ketertarikan penulis untuk menulis skripsi dengan permasalahan diantaranya adalah ; bagaimana pengaturan hukum laboratorium forensik di Indonesia ; bagaimana peranan laboratorium forensik dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan ; bagaimana pembuktian tindak pidana pembunuhan dalam putusan pengadilan dikaitkan dengan hasil pemeriksaan laboratorium forensik. Skripsi ini merupakan penelitian yuridis normative, dengan mengadakan penelitian di perpustakaan (library research) serta menganalisis putusan Pengadilan.
Oleh karena itu laboratorium forensik hadir dengan menggunakan peralatan-peralatan canggih yang terdapat dalam laboratorium forensik untuk menjawab permasalahan yang dihadapi dalam suatu tindak pidana pembunuhan yaitu, untuk mengetahui identitas korban dan pelaku, perkiraan waktu, sebab, dan memperkirakan cara kematian korban sehingga hasil pemeriksaan tersebut dapat dituangkan oleh dokter forensik dalam suatu laporan tertulis yang disebut dengan
Visum Et Repertum. Pemeriksaan laboratorium forensik tidak hanya dilakukan
pada tubuh korban saja tetapi juga dapat dilakukan pada barang-barang bukti
(physical evidence) yang dianggap memiliki keterkaitan dengan peristiwa
tersebut, sehingga walaupun peristiwa tersebut tidak disaksikan oleh saksi mata ataupun keterangan saksi tidak membuat terang tindak pidana tersebut pembuktian masih tetap dapat dilakukan. Selain itu, penuntut umum dapat pula menghadirkan ahli forensik untuk memberikan keterangannya secara lisan di muka persidangan tentang hipotesa kematian untuk semakin membuat terang peristiwa pembunuhan tersebut. Maka dengan demikian, pembuktian suatu tindak pidana pembunuhan dalam persidangan dapat dilakukan dan majelis hakim dapat memberikan putusan sebenar-benarnya sebagaimana yang merupakan tujuan hukum acara pidana itu sendiri.
viii ABSTRAKSI Theopilus Sembiring
Pemakaian laboratorium forensik berserta ilmu-ilmu forensik dalam penggunaannya untuk membuktikan suatu tindak pidana pembunuhan dilakukan karena, tidak semua peristiwa pembunuhan disaksikan oleh saksi mata, kalaupun ada saksi mata, saksi dapat berbohong atau disuruh berbohong, dan keberadaan bukti fisik yang ada yang jumlahnya mungkin tidak terbatas, dapat diperiksa dan tidak dapat berbohong atau disuruh berbohong. Alasan inilah yang melatarbelakangi ketertarikan penulis untuk menulis skripsi dengan permasalahan diantaranya adalah ; bagaimana pengaturan hukum laboratorium forensik di Indonesia ; bagaimana peranan laboratorium forensik dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan ; bagaimana pembuktian tindak pidana pembunuhan dalam putusan pengadilan dikaitkan dengan hasil pemeriksaan laboratorium forensik. Skripsi ini merupakan penelitian yuridis normative, dengan mengadakan penelitian di perpustakaan (library research) serta menganalisis putusan Pengadilan.
Oleh karena itu laboratorium forensik hadir dengan menggunakan peralatan-peralatan canggih yang terdapat dalam laboratorium forensik untuk menjawab permasalahan yang dihadapi dalam suatu tindak pidana pembunuhan yaitu, untuk mengetahui identitas korban dan pelaku, perkiraan waktu, sebab, dan memperkirakan cara kematian korban sehingga hasil pemeriksaan tersebut dapat dituangkan oleh dokter forensik dalam suatu laporan tertulis yang disebut dengan
Visum Et Repertum. Pemeriksaan laboratorium forensik tidak hanya dilakukan
pada tubuh korban saja tetapi juga dapat dilakukan pada barang-barang bukti
(physical evidence) yang dianggap memiliki keterkaitan dengan peristiwa
tersebut, sehingga walaupun peristiwa tersebut tidak disaksikan oleh saksi mata ataupun keterangan saksi tidak membuat terang tindak pidana tersebut pembuktian masih tetap dapat dilakukan. Selain itu, penuntut umum dapat pula menghadirkan ahli forensik untuk memberikan keterangannya secara lisan di muka persidangan tentang hipotesa kematian untuk semakin membuat terang peristiwa pembunuhan tersebut. Maka dengan demikian, pembuktian suatu tindak pidana pembunuhan dalam persidangan dapat dilakukan dan majelis hakim dapat memberikan putusan sebenar-benarnya sebagaimana yang merupakan tujuan hukum acara pidana itu sendiri.
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah kejahatan adalah masalah manusia yang telah merupakan
kenyataan sosial yang masalah penyebabnnya kurang dipahami karena studi
belum pada proporsi tepat secara dimensial. Perkembangan atau peningkatan
kejahatan maupun penurunan kualitas atau kuantitas kejahatan, baik yang berada
di kota-kota maupun di desa-desa adalah relatif dan interaktif sifatnya. Dapat
dipahami bahwa kejahatan merupakan the shadow of civilization, merupakan
bayang-bayang dari peradaban, dan bahkan ada teori yang mengatakan justru
kejahatan itu adalah produk dari masyarakat. Lokasi kejahatan ada pada
masyarakat, tidak pada individu.1
Setiap ada kejahatan tentu ada pelakunya, sedang kejahatan adalah
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dan segera pula kita ketahui bahwa
pelakunya adalah manusia/orang. Di Indonesia secara resmi (legal) tidak kita
temui orang yang disebut sebagai penjahat, dalam proses peradilan pidana kita
hanya mengenal istilah-istilah tersangka, tertuduh/terdakwa dan apabila keputusan
hakim telah di peroleh dikatakan terpidana atau terhukum.2
Semakin maju masyarakat, semakin berkembang teknologi dan
pengetahuan, semakin berkembang pula jenis dan pola kejahatan. Kiranya,
kejahatan ini menyesuaikan diri dengan perkembangan/kemajuan masyarakat.
1
H. Ridwan Hasibuan, Kriminologi Dalam Arti Sempit dan Ilmu-Ilmu Forensik, USU Press, Medan, 1994, halaman 5.
2
2
Dalam film-film, siaran televisi, maupun dalam buku-buku kita disajikan dengan
kisah-kisah pembunuhan seperti pembunuhan secara misterius, mutilasi, ataupun
pembunuhan dengan racun di negara-negara maju dimana penyidik sulit sekali
untuk menemukan si pelaku ataupun sulit untuk menemukan bukti-bukti telah
terjadinya tindak pidana pembunuhan. Kesulitan-kesulitan untuk menditeksi
kejahatan itupun akan bertambah sulit karena keterikatan dalam pembuktian dan
formalitasnya.3
Peristiwa-peristiwa kematian tersebut merupakan kasus kematian yang
misterius, oleh karena baik mengenai sebab-sebabnya maupun mengenai
waktunya tidaklah dapat diketahui dengan pasti. Penentuan sebab-sebab kematian
dan saat kematian dalam kasus kematian yang misterius mempunyai arti penting
untuk penyelesaian kasus kejahatan. Apabila dari ternyata bahwa kematian
tersebut disebabkan oleh perbuatan orang lain, hal itu berarti bahwa kasus tersebut
merupakan suatu tindak pidana kejahatan berupa pembunuhan sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 338-350 KUHP.4
Sehubungan dengan kemajuan pengetahuan yang dapat menghasilkan
positif dan negatif tersebut dalam mengusut dan mengadili kejahatan-kejahatan
seperti diatas disusul juga dengan kelahiran-kelahiran ilmu-ilmu modern dan salah
satunya adalah ilmu forensik, yaitu suatu ilmu pengetahuan yang dapat membantu
memberi keterangan atau penjelasan tentang sebab dan waktu kematian bagi
“peradilan” secara meyakinkan menurut kebenaran ilmiah yang akan mendukung
kebenaran peradilan dalam menetapkan keputusannya apabila ia dijalankan
3
Ibid, halaman 39.
4
3
sebagaimana mestinya. Karena pada proses penegakan hukum dan keadilan
adalah merupakan suatu usaha ilmiah dan bukan sekedar
common-sense/nonscientific belaka.5
Pemakaian ilmu forensik oleh penyidik untuk mencari kebenaran sejauh
yang dapat dicapai oleh manusia, maka Polri selaku penyidik mendirikan
Laboratorium Forensik yang bertugas untuk membina dan melaksanakan
kriminalistik sebagai ilmu dan penerapannya untuk mendukung pelaksanaan tugas
Polri yang meliputi Kedokteran Forensik, Kimia Forensik, Narkotika Forensik,
Toksikologi Forensik, Fisika Forensik, Balistik dan Metalurgi Forensik, Dokumen
Forensik, dan Fotografi Forensik.6
Adanya suatu laboratorium forensik untuk keperluan pengusutan kejahatan
sangatlah diperlukan. Sama halnya dalam pemeriksaan medis dalam penyakit,
setelah adanya diagnosa barulah disimpulkan secara tepat dengan bantuan
pemeriksaan laboratorium.
Demikian pula dengan suatu pembunuhan, peran
laboratorium forensik sangat membantu dokter forensik dalam membuktikan
suatu tindak pidana pembunuhan. Laboratorium forensik membantu dokter
forensik untuk memeriksa identitas, waktu, sebab, dan cara kematian korban
sehingga keterangannya baik yang dituliskan melalui alat bukti surat (Visum Et
Repertum) maupun dalam penyampaian keterangan ahli forensik pada
persidangan tentang hipotesa kematian tidaklah terlepas dari pemeriksaan di
laboratorium forensik.
6
Diakses dari situs http ://wikipedia.com/sejarah-labfor. Diakses pada hari Minggu 04 Mei 2014, pukul 19.32 WIB.
7
4
Dilihat pada tingkat penyidikan, laboratorium forensik merupakan sarana
untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam suatu tindak pidana
pembunuhan. Laboratorium forensik merupakan alat pembantu dalam pengusutan
kejahatan. Karena pengusutan kejahatan tidaklah semata-mata didasarkan pada
saksi mata (eye witness), akan tetapi juga pada bukti-bukti fisik (physical
evidence) yang ditemukan ditempat kejadian. halaman ini disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut : 8
1. Tidak semua peristiwa kejahatan disaksikan oleh saksi mata.
2. Saksi mata dapat berbohong atau disuruh berbohong.
3. Bukti fisik jumlahnya tidak terbatas dan tak dapat berbohong atau
disuruh berbohong.
4. Bagaimanapun cermatnya si penjahat, pasti ada bukti fisik yang
tertinggal di tempat kejadian
Karena menurut Joachim George Darjes, seorang sarjana Jerman, pada
umumnya suatu perkara pidana menimbulkan tujuh macam pertanyaan yang
dalam bahas Jerman semuanya diawali dengan huruf “W”. Oleh sebab itu, teori
George Darjes tersebut terkenal dengan nama teori tujuh W. Ketujuh macam
pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut : 9
1. Apa yang terjadi?
2. Dimana terjadinya?
3. Bagaimana terjadinya?
4. Dengan alat apa perbuatan tersebut dilakukan?
8
Ibid, halaman 110.
9
5
5. Apa sebabnya perbuatan tersebut dilakukan?
6. Dengan maksud apa perbuatan tersebut dilakukan?
7. Siapa yang melakukan?
Untuk mencari jawaban dari pertanyaan tersebut dokter forensik
memerlukan laboratorium forensik. Sekiranya kematian orang tersebut disebabkan
karena racun atau karena tembakan maka untuk menetapkan jenis racun serta jenis
dan ukuran peluru yang menyebabkan kematian tersebut dokter forensik akan
melakukan pemeriksaan di laboratorium forensik untuk menentukan secara pasti
dengan menggunakan menggunakan cabang Ilmu Kimia Forensik khususnya
Toksikology Forensik serta Ilmu Balistik dan Metalurgi Forensik.10
Laboratorium forensik adalah suatu lembaga yang bertugas dan
berkewajiban menyelenggarkan fungsi kriminalistik dan melaksanakan segala
usaha pelayanan serta membantu mengenai kegiatan pembuktian perkara pidana
dengan memakai teknologi dan ilmu-ilmu penunjang lainnya.
Seperti diketahui bahwa laboratorium forensik adalah salah satu unsur
bantuan tehnik laboratories kriminalistik dalam rangka tugas sebagai penyidik.
Adapun pelaksanaan tugasnya meliputi bantuan pemeriksaan laboratories, baik
terhadap barang bukti maupun terhadap tempat kejadian perkara (TKP) serta
kegiatan bantuan lainnya terhadap unsur-unsur operasional kepolisian terutama
reserse.
Adapun mengenai tindak kejahatan biasanya meninggalkan bukti-bukti atau
bekas-bekas dari tindak kejahatan itu sendiri yang dapat diungkap baik melalui
10
6
alat bukti berupa keterangan saksi maupun keterangan tersangka atau terdakwa
sendiri dan dapat pula melalui pemeriksaan barang bukti yang dapat diperiksa
secara laboratories.
Peranan laboratorium forensik penting artinya dalam mengungkap kasus
kejahatan melalui proses pemeriksaan barang bukti, karena sistem pembuktian
menurut ilmu forensik yaitu adanya bukti segi tiga TKP maka terdapat rantai
antara korban, barang bukti dan pelaku. Oleh karena itu, tidak semua kejahatan
dapat diketahui dan diungkap melalui keterangan saksi dan tersangka atau
terdakwa saja, tetapi barang bukti juga dapat memberi petunjuk atau keterangan
atas suatu tindak kejahatan yang telah terjadi, karena hasil pemeriksaan barang
bukti dari laboratorium forensik terdapat tiga alat bukti yang dapat dipenuhi
laboratorium tersebut dari lima alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang
No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 184 ayat (1) yaitu keterangan ahli, surat,
dan petunjuk.
Selain itu juga sangat dokter forensik sangat terbantu dengan keberadaan
laboratorium forensik untuk mempelajari hal ikhwal manusia atau organnya dalam
kaitannya dengan peristiwa kejahatan. Meskipun objek pemeriksaan dokter
forensik adalah manusia atau organnya, tujuannya sama sekali bukanlah untuk
menyembuhkan penyakit yang diderita oleh seseorang. Pemeriksaan mengenai
sebab-sebab kematian diperlukan untuk menentukan peristiwa apa yang
sebenarnya telah terjadi. Apakah korban mati wajar karena suatu penyakit,
ataukah mati karena bunuh diri, atau mati karena kecelakaan atau mati karena
7
jenis kelamin, umur, tinggi badan dan sebagainya. Mengenai keadaan mayat
sesudah kematian (post mortem), tujuannya ialah untuk menentukan saat
kematiannya.11
Dengan demikian, dalam pembuktian kasus pembunuhan, laboratorium
forensik dan dokter forensik tidaklah dapat dipisahkan. Dalam pembuktian tindak
pidana pembunuhan, hasil pemeriksaan dokter forensik di laboratorium forensik,
memberikan keyakinan kepada hakim karena pembuktian dilakukan dengan cara
ilmiah berdasarkan keahlian displin ilmu serta peralatan dan perlengkapan yang
canggih. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium forensik, dokter forensik
dapat memberikan 3 alat bukti yang sah, yaitu alat bukti Keterangan Ahli, Surat,
dan Petunjuk. Pembuktian dengan memanfaatkan laboratorium forensik ini pada
semua negara maju telah berkembang dan digunakan sebagai alat bukti yang sah,
walaupun tersangka/terdakwa bersikap diam atau membisu atau tidak mengakui
perbuatannya.12
Uraian dari latar belakang tersebut, menyimpulkan penulis untuk lebih
mengetahui mengenai manfaat laboratorium forensik, karena dapat dikatakan
bahwa untuk membuktikan suatu tindak pidana pembunuhan laboratorium
forensik berperanan sangat besar karena turut membantu aparat penegak hukum
dalam mencari kebenaran di persidangan dengan memberikan 3 alat bukti yang
sah sesuai dengan KUHAP, yaitu Keterangan Ahli, Surat, dan Petunjuk.
Oleh karena itulah yang melatarbelakangi penulis untuk mengangkat
menjadi topik pembahasan dalam penulisan skripsi dengan judul “PERANAN
11
Ibid , halaman 102.
12
8
LABORATORIUM FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN”
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaturan hukum mengenai laboratorium forensik dalam
pembuktian tindak pidana di Indonesia?
2. Bagaimanakah peranan laboratorium forensik dalam pembuktian tindak
pidana pembunuhan?
3. Bagaimanakah kebijakan hukum pada tindak pidana pembunuhan dikaitkan
dengan hasil pemeriksaan laboratorium forensik dalam proses pembuktian
di pengadilan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini ialah :
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang kedudukan dan pemanfaatan
laboratorium forensik dalam pembuktian tindak pidana di Indonesia.
2. Untuk mengetahui peranan dari laboratorium forensik dalam membantu
aparat penegak hukum dalam membuktikan tindak pidana pembunuhan.
3. Untuk mengetahui kebijakan hukum yang diberikan majelis hakim pada
tindak pidana pembunuhan dalam putusannya pengadilan terkait dengan
hasil pemeriksaan laboratorium forensik sebagai alat bukti.
Manfaat penelitian terdiri dari 2, yakni :
1. Manfaat teoritis :
Dapat mengetahui peranan dari laboratorium forensik dalam pembuktian
9
pengembangan ilmu forensik sebagai alat bukti sah utama yang dibuat secara
pro justisia serta memberikan penambahan khasanah pustaka forensik sebagai
alat bukti sah utama dalam proses penegakan hukum.
2. Manfaat praktis :
Diharapkan pula melalui penulisan skripsi ini dapat bermanfaat nantinya
bagi para penegak hukum dalam membuktikan suatu tindak pidana pembunuhan
dengan memanfaatkan laboratorium forensik yang untuk digunakan sebagai alat
bukti yang sah untuk memutuskan terdakwa bersalah atau tidak bersalah.
D. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengaturan Hukum Mengenai Laboratorium Forensik Dalam Pembuktian
Tindak Pidana di Indonesia
Forensik dalam bahasa hukum dapat diartikan sebagai hasil pemeriksaan
yang diperlukan dalam proses pengadillan. Sedangkan forensik dalam pengertian
bahasa Indonesia berarti berhubungan dengan pengadilan..
Ilmu forensik ( Forensik Science) adalah meliputi semua ilmu pengetahuan
yang mempunyai kaitan dengan masalah kejahatan, atau dapat dikatakan bahwa
dari segi perannya dalam penyelesaian kasus kejahatan maka ilmu-ilmu forensik
memegang peranan penting. Adapun semua peranan ilmu-ilmu pengetahuan yang
mempunyai kaitan dengan masalah kejahatan tersebut, ialah:13
a. Hukum pidana
b. Hukum acara pidana
c. Ilmu kedokteran forensik
13
10
d. Psikologi forensik dan psikiatri (Neurologi) forensik
Kata forensik berasal dari bahasa latin yakni dari kata forum, yang untuk
memahami pokok permasalahannya yang menjadi objek kajian dari skripsi ini,
maka perlu diketahui pengertiannya. Dengan harapan agar dapat diketahui arti dan
maksud serta tujuan dari istilah tersebut mengandung pengertian sebagai suatu
tempat pertemuan umum di kota-kota pada zaman Romawi kuno yang pada
umumnya dipakai untuk berdagang atau kepentingan lain termasuk suatu sidang
peradilan. Sedangkan arti forum itu sendiri adalah suatu tata cara perdebatan di
depan umum dan hal-hal yang merupakan bagian atau ada hubungannya dengan.14
Untuk jelasnya dapat kita lihat apa yang dikemukakan oleh Susetio
Pramusinto yakni :
15
Forensik ialah ilmu pengetahuan yang menggunakan ilmu multi disiplin untuk menerapkan ilmu pengetahuan alam, kimia, kedokteran, biologi, psikologi dan krominologi dengan tujuan membuat terang guna membuktikan ada tidaknya kasus kejahatan/pelanggaran dengan memeriksa barang bukti atau physical evidence dalam kasus tersebut.
Adapun pengertian laboratorium forensik yang dimaksud dalam tulisan ini
adalah suatu badan yang bertugas dan berkewajiban menyelenggarakan fungsi
kriminalistik dan melaksanakan segala usaha pelayanan dan kegiatan untuk
membantu mengenai pembuktian suatu tindak pidana yang terjadi dengan
menggunakan teknologi dan ilmu kedokteran kehakiman, ilmu forensik, ilmu
kimia forensik serta ilmu penunjang lainnya.
Berdasarkan atas pengertian tersebut, maka laboratorium forensik sebagai
salah satu fungsi kepolisian yang merupakan unsur bantuan teknis laboratorium
14
Susetio Pramusinto, Himpunan Karangan Ilmu Forensik Suatu Sumbangan Bagi Wiyata Bhayangkara, PT. Karya Unipres, Jakarta, 1984 halaman 19.
15
11
kriminalistik dalam rangka tugas Polri sebagai penyidik. Adapun pelaksanaan
tugasnya meliputi bantuan pemeriksaan teknis laboratories terhadap barang bukti
maupun terhadap tempat kejadian perkara (TKP) serta kegiatan bantuan lainnya
terhadap unsur operasional terutama reserse.
Laboratorium forensik Polri pertama kali didirikan pada 15 januari 1954
berdasarkan perintah kepolisian RI No. 1/VIII/1954 dengan nama seksi
laboratorium yang secara organisasi adalah sebagai salah satu seksi dari bagian
dinas reserse kriminal Kepolisian Negara dan berkedudukan di Jakarta. Pada
tanggal 6 April 1957 berdasarkan surat keputusan Kepala Kepolisian Negara RI
No. 26/lab/1957 dibentuk laboratorium forensik cabang Surabaya, setelah ini
menyusul pembentukan cabang-cabang lain di Semarang, Medan, Makassar,
Denpasar, dan Palembang. 16
Dalam pelaksanaan tugas pokok, fungsi dan peran Labfor Polri selama ini
antara lain didasarkan kepada :
a. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
b. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.
c. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1173 / Menkes / SK / X / 1998
tentang Penunjukan Laboratorium Pemeriksa Narkoba dan Psikotropika.
d. Surat Edaran Jaksa Agung RI No. 5 / KRI / 2589 perihal Penunjukan
Labkrim Polri Untuk Pemeriksa Tulisan.
16
12
e. Surat Ketua Mahkamah Agung RI No. 808 / XII / 1983 perihal
Penunjukan Labkrim Polri sebagai Pemeriksa Barang Bukti Kasus - Kasus
Pidana Umum.
f. Surat Edaran Jaksa Agung RI No. SE / 003/SA/2/1984 tentang Keterangan
Ahli Mengenai Tanda Tangan dan Tulisan Sebagai Alat Bukti.
g. Peraturan Kapolri nomor 21 tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Satker Mabes Polri.
h. Peraturan Kapolri nomor 10 tahun 2009 tentang Tata Cara Permintaan
Bantuan kepada Labfor Polri.
Walaupun forensik sudah mempunyai wadah untuk menampung hal-hal
yang berkaitan dengan forensik, namun apabila dianggap perlu penyidik Polri
dapat mendatangkan ahli forensik lain di luar kepolisian, misalnya mendatangkan
dokter spesialis forensik dari instalasi kedokteran forensik yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia atau ahli-ahli tertentu dari BATAN, LIPI, BAPEDAL,
BPPOM dan bahkan kerja sama dengan ahli forensik luar negeri. 17
Pengertian mendatangkan ahli tersebut salah satunya dapat dipenuhi oleh
Laboratorium Forensik, dimana sesuai dengan Keputusan Kapolri No : Kep / 22 /
VI / 2004 tanggal 30 Juni 2004 tentang perubahan atas Keputusan kapolri No. Pol.
: KEP / 30 / VI / 2003 tanggal 30 Juni 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Satuan-satuan Organisasi pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik
Indonesia lampiran ”G” Bareskrim Polri Laboratorium Forensik mempunyai tugas
17
13
membina dan melaksanakan kriminalistik forensik sebagai ilmu dan penerapannya untuk
mendukung pelaksanaan tugas Polri. 18
2. Peranan Laboratorium Forensik Dalam Pembuktian Tindak Pidana
Pembunuhan
Sebagaimana diketahui bahwa laboratorium forensik dibentuk untuk
membantu proses penyidikan dengan melalui pemeriksaan barang bukti dari suatu
tindak pidana yang terjadi.
Laboratorium forensik sebagai sarana pembantu dalam proses penyidikan
dan melaksanakan tugasnya, yakni melakukan pemeriksaan terhadap barang bukti
jika ada permintaan pemeriksaan, jika tidak ada permintaan pemeriksaan barang
bukti maka pihak laboratorium forensik tidak berwenang melakukan pemeriksaan
walaupun barang bukti sudah ada.
Mengingat dalam proses penyidikan, untuk mengungkapkan suatu tindak
pidana tidak mutlak harus berpedoman pada keterangan saksi dan keterangan
tersangka atau terdakwa saja, akan tetapi penting pula dan bahkan dapat
membantu terungkapnya suatu tindak pidana dengan melalui pemeriksaan barang
bukti.
Laboratorium forensik ataupun disebut juga sebagai laboratorium
kriminalistik merupakan dapur pemeriksaan barang bukti tersebut. Oleh sebab itu,
bagian-bagian serta peralatan dalam laboratorium tersebut semuanya diarahkan
untuk pemecahan masalah-masalah atau misteri yang terkandung dalam bukti fisik
tersebut. Suatu laboratorium forensik yang besar, dalam buku Introduction to
18
14
Criminalistic karangan Charles E. O’Hara dan James W. Osterburg digambarkan
terdiri atas bagian-bagian sebagai berikut : 19
A. Ruang Rekaman dan Bukti Fisik
Tempat penyimpanan bukti-bukti fisik serta surat-surat yang berhubungan
dengan itu.
B. Ruang Kimia
Tempat pemeriksaan secara kimiawi terhadap bukti-bukti fisik.
C. Ruang Fisika
Untuk pemeriksaan sidik jari dan bukti-bukti fisik lainnya yang terdiri dari
seksi dokumen untuk pemeriksaan dokumen, seksi senjata api untuk
pemeriksaan senjata api, peluru dan hal-hal lain yang berhubungan dengan
senjata api.
D. Ruang Spektograf
Ruang untuk pemeriksaan dengan menggunakan sinar ultraviolet, sinar X
dan spektograf.
Terkhusus di Indonesia yang dalam hal ini adalah laboratorium forensik
Polri, memberikan pelayanan bagi aparat penegak hukum serta masyarakat umum
yang memerlukan jasa pemeriksaan/pelayanan umum untuk mendapatkan rasa
keadilan dan atau keperluan lainnya. Jenis-jenis pelayanan yang diberikan
laboratorium forensik Polri sebagai berikut :
A. Bidang Dokumen dan Uang Palsu Forensik (Biddokupalfor) bertugas
menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan teknis kriminalistik TKP dan
19
15
pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang bukti dokumen (tulisan
tangan, tulisan ketik, dan tanda tangan), uang palsu (uang kertas RI, uang
kertas asing, dan uang logam) dan produk cetak (produk cetak
konvensional, produk cetak digital, dan cakram optik) serta memberikan
pelayanan umum forensik kriminalistik.
B. Bidang Balistik dan Metalurgi Forensik (Bidbalmetfor) bertugas
menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan teknis kriminalistik TKP dan
pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang bukti senjata api (senjata
api, peluru dan selongsong peluru), bahan peledak (bahan peledak,
komponen-komponen bom, dan bom pasca ledakan (post blast) ) dan
metalurgi (bukti nomor seri, kerusakan logam), dan kecelakaan
konstruksi serta memberikan pelayanan umum forensik kriminalistik.
C. Bidang Fisika dan Komputer Forensik (Bidfiskomfor) bertugas
menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan teknis kriminalistik TKP dan
pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang bukti uji kebohongan (lie
detector), jejak, radioaktif, konstruksi bangunan, peralatan teknik,
kebakaran/pembakaran, dan komputer (suara dan gambar (audio/video),
komputer & telepon genggam (computer & mobile phones), dan
kejahatan jaringan internet/intranet (cyber network) serta memberikan
pelayanan umum forensik kriminalistik.
D. Bidang Kimia, Toksikologi, dan Biologi Forensik (Bidkimbiofor)
bertugas menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan teknis kriminalistik
16
belum diketahui (unknown material), dan bahan kimia produk industri),
biologi/serologi (serologi, biologi molecular, dan bahan-bahan hayati)
dan toksikologi atau lingkungan hidup (toksikologi, mikroorganisme, dan
pencemaran lingkungan hidup), serta memberikan pelayanan umum
forensik kriminalistik.
E. Bidang Narkotika, Psikotropika dan obat berbahaya forensik
(Bidnarkobafor) bertugas menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan
teknis kriminalistik TKP dan pemeriksaan laboratoris kriminalistik
barang bukti narkotika (narkotika bahan alam, bahan sintesa & semi
sintesa, dan cairan tubuh), psikotropika (bahan & sediaan psikotropika,
laboratorium illegal (clandestine labs) bahan psikotropika) dan obat
(bahan kimia obat berbahaya, bahan kimia adiktif, dan prekursor). Serta
memberikan pelayanan umum forensik kriminalistik.
Jenis pelayanan Laboratorium Forensik Polri tersebut di sajikan dalam
bentuk produk pemeriksaan Laboratorium Forensik Polri yang dikategorikan
sesuai kepentingannya. Untuk kepentingan peradilan (pro justicia), jenis
pelayanan ini hanya diberikan berdasarkan permintaan dari Aparat Penegak
Hukum (Polri, Jaksa, Hakim, POM TNI, PPNS dan instansi terkait lainnya) dalam
rangka proses penegakan hukum (Tahap Penyidikan, Penuntutan serta Peradilan)
untuk suatu Perkara Pidana dalam bentuk berita acara pemeriksaan teknis
kriminalistik TKP dan pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang bukti. Untuk
kepentingan non peradilan (non justicia), jenis pelayanan ini dapat diberikan
17
kelompok / masyarakat atau untuk meredam terjadinya konflik atau untuk
kepentingan terapi (bukan kepentingan penegakan hukum). Biasanya dilakukan
untuk suatu Perkara Perdata, Perkara dalam rumah tangga atau kepentingan terapi
apabila ada kecurigaan terhadap anggota keluarga yang diduga terlibat narkoba,
dalam bentuk surat keterangan pemeriksaan contoh uji.20
Menurut James W. Osterberg, bahwa kriminalitas adalah suatu profesi dan
disiplin ilmu yang bertujuan untuk mengenal, identifikasi, individualisme dan
evaluasi bukti-bukti fisik dengan jalan menerapkan ilmu-ilmu dalam masalah
hukum dan ilmu.21
Dengan demikian bukti-bukti fisik dengan penilaiannya, secara ilmu
merupakan bidang kriminalistik. Berikut ini kita juga akan melihat apa yang
dikemukakan oleh Goenawan Gotomo, bahwa kriminalistik adalah ilmu yang
dapat dipakai untuk mencari, menghimpun, menyusun bahan-bahan guna
peradilan.
Identifikasi menurut kriminalistik ditujukan kepada teori dasar bahwa
semua objek dapat dibagi dan kemudian dibagi lagi atas sub yang didasarkan
kepada keadaan objek itu. Ini berarti apakah suatu obyek menjadi bagian atau sub
bagian sesuatu. Sidik jari, tanda-tanda, bekas-bekas, noda darah, rambut, gas dan
sebagainya dapat diklasifikasikan.
Misalnya, di tempat kejadian perkara (TKP) terdapat bagian-bagian tersebut,
maka hal ini dapat menjadi bahan yang sangat berharga, bagian-bagian atau sub
20
Diakses dari situs http : //warta.labfor.blogspot/Mengenal-lebih-dekat-puslabfor-bareskrim-polri.html. Diakses pada Minggu, 04 Mei 2014 pukul 13.34 WIB.
21
18
bagian itu berasal dari mana. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kriminalistik
berkaitan dengan keadaan atau asal sesuatu. Jika terdapat darah, maka ahli
kriminalistik dihadapkan pada pertanyaan yang harus dijawabnya, darah itu
berasal dari mana. Jika sebuah peluru ditemukan pada tubuh korban, ahli tersebut
harus menjawab peluru itu berasal dari senjata apa dan yang mana. Jika suatu
potongan tulang itu tulang manusia atau binatang, kalau sudah dipastikan bahwa
itu tulang manusia maka diperiksa umur berapa orang itu, tingginya berapa, tentu
semua itu semua itu berguna bagi suatu identifikasi. Identifikasi melalui
bukti-bukti fisik ini sering sangat menyulitkan tersangka untuk melepaskan diri atau
membela diri.
Pemeriksaan laboratories ini akan membantu terungkapnya suatu tindak
pidana yang telah terjadi, karena barang bukti ini tidak dapat berbohong
sedangkan alat bukti berupa keterangan saksi dan keterangan tersangka atau
terdakwa dapat saja berbohong atau disuruh berbohong. halaman ini sesuai
dengan pendapat Musa Perdana Kusuma adalah sebagai berikut : 22
a. Tidak semua peristiwa kejahatan disaksikan oleh saksi mata.
b. Saksi mata dapat berbohong atau disuruh berbohong.
c. Bukti fisik yang jumlahnya tidak terbatas yang tidak dapat berbohong atau
disuruh untuk berbohong karena sifatnya dan bukti fisik.
Tujuan selanjutnya dari laboratorium forensik adalah untuk diri penjahat
dan masyarakat. Oleh karena itu bagaimanapun cermatnya melakukan kejahatan,
22
19
kemungkinan barang bukti tetap ada. Barang bukti inilah yang akan diperiksa
secara laboratories oleh pihak laboratorium forensik.
Kejahatan yang terungkap melalui pemeriksaan barang bukti, secara
physikologi masyarakat akan berpikir bila akan melakukan kejahatan. Dengan
berfungsinya laboratorium forensik secara efektif, masyarakat akan mengalami
perkembangan dalam arti perkembangan prilaku dalam masyarakat. Dengan
demikian tatanan hukum dalam proses perkembangannya lambat laun diharapkan
tercermin dalam jiwa para individu sebagai anggota masyarakat.
Didalam sistem pembuktian, praktek harus menemukan hal-hal yang harus
diperiksa, lebih dahulu adalah penelitian terhadap zat, kotoran, atau jenis rambut,
bekas noda darah dan sebagainya. Kegiatan penyidikan dengan menggunakan
laboratorium telah dikenal orang sejak tahun 1920. Para ahli yang bertugas di
dalam laboratorium tersebut biasanya menghadapi masalah-masalah yang
menyangkut pembunuhan, misalnya usaha untuk mempelajari sebab- sebab
kematian atau mengenai sifat daripada yang digunakan untuk mematikan korban
ataupun penelitian mengenai bubuk-bubuk yang mengandung narkotika atau
jenis-jenis candu atau minuman keras dan racun. Penelitian demikian itu akan
dipergunakan sebagai dasar penuntutan dan bilamana mampu memberikan
keyakinan kepada hakim, maka berdasar itu pula putusan hakim dapat dijatuhkan.
Menurut Klotter-Meier bahwa : 23
“Laboratorium kriminal menjadi demikian penting oleh karena tidak semua terdakwa melakukan pengakuan atas perbuatan yang dibuatnya. Oleh karena itu pembuktian-pembuktian dilakukan dengan menggunakan ahli-ahli yang
23
20
berkecimpung di dalam dunia laboratorium kriminal. Sama halnya dengan ahli-ahli di bidang lain, maka keahli-ahlian pada laboratorium kriminal setelah mengikuti pendidikan khusus, kemudian latihan-latihan serta pengalaman.”
Kematian yang disebabkan karena kecelakaan, bunuh diri, atau pembunuhan
adalah merupakan permasalahan yang harus dapat dijawab, dibuat terang dan jelas
oleh dokter dan khususnya oleh penyidik. Kejelasan tersebut memang diperlukan
dan harus diusahakan oleh karena baik kecelakaan, bunuh diri, atau pembunuhan
membawa implikasi yang berbeda-beda, baik ditinjau dari sudut penyidikan
maupun dari sudut proses peradilan pada umumnya. Kematian karena kecelakaan
(accidental death) dan bunuh diri masih merupakan dalam ruang lingkup
penyidikan. Dalam kasus kecelakaan dan bunuh diri penyidik sering kali
dihadapkan dengan kasus dimana tanda-tanda kekerasan jelas terlihat akan tetapi
tidak ada satu petunjuk pun atau tanda-tanda yang mengarah adanya unsur-unsur
kriminal sebagai penyebab kecelakaan itu sendiri.24
Dalam kasus-kasus kematian yang merupakan kejahatan, yakni kasus
pembunuhan, kasus penganiayaan yang mengakibatkan kematian dan kasus
kematian yang disebabkan oleh perbuatan kelalaian, masalah kematian merupakan
masalah yang paling utama yang harus diungkapkan, oleh karena kasus-kasus
tersebut baru terjadi apabila korbannya mengalami kematian. Selain daripada itu,
pengungkapan kapan masalah-masalah yang bertalian dengan kematian tersebut,
merupakan dasar bagi penyelesaian perkara pidana yang bersangkutan, baik
penyidikan maupun penuntutan dan peradilan.
24
21
Pembunuhan secara terminologi berarti perkara membunuh, atau perbuatan
membunuh. Sedangkan dalam istilah KUHP pembunuhan adalah kesengajaan
menghilangkan nyawa orang lain.
Tindak pidana pembunuhan dianggap sebagai delik material bila delik
tersebut selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang dilarang
atau yang tidak dikehendaki oleh Undang-undang. Dalam KUHP,
ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang lain
diatur dalam buku II bab XIX, yang terdiri dari 13 Pasal, yakni Pasal 338 sampai
Pasal 350.
Bentuk kesalahan tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain ini dapat
berupa sengaja (dolus) dan tidak sengaja (alpa). Kesengajaan adalah suatu
perbuatan yang dapat terjadi dengan direncanakan terlebih dahulu atau tidak
direncanakan. Tetapi yang penting dari suatu peristiwa itu adalah adanya niat
yang diwujudkan melalui perbuatan yang dilakukan sampai selesai. Berdasarkan
unsur kesalahan, tindak pidana pembunuhan dapat dibedakan menjadi:
a. Pertama, Pembunuhan Biasa
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak pidana
dalam bentuk pokok (Doodslag In Zijn Grondvorm), yaitu delik yang telah
dirumuskan secara lengkap dengan semua unsur-unsurnya. Adapun rumusan Pasal
338 KUHP adalah:
“Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”
22
“Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”
Pada pembunuhan biasa ini, Pasal 338 KUHP menyatakan bahwa
pemberian sanksi atau hukuman pidananya adalah pidana penjara paling lama
lima belas tahun. Disini disebutkan paling lama jadi tidak menutup kemungkinan
hakim akan memberikan sanksi pidana kurang dari lima belas tahun penjara.
Dari ketentuan dalam pasal tersebut, maka unsur-unsur dalam pembunuhan
biasa adalah sebagai berikut :
Unsur subyektif :
Perbuatan dengan sengaja. Dengan sengaja (Doodslag) artinya bahwa
perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga,
karena sengaja (opzet/dolus) yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan
sengaja yang telah terbentuk tanpa direncanakan terlebih dahulu, sedangkan yang
dimaksud sengaja dalam Pasal 340 adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk
menghilangkan nyawa orang lain yang terbentuk dengan direncanakan terlebih
dahulu (Met voorbedachte rade).
Unsur obyektif :
Perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang lain. Unsur obyektif yang
pertama dari tindak pembunuhan, yaitu menghilangkan, unsur ini juga diliputi
oleh kesengajaan; artinya pelaku harus menghendaki, dengan sengaja,
dilakukannya tindakan menghilangkan tersebut, dan ia pun harus mengetahui,
23
Berkenaan dengan nyawa orang lain maksudnya adalah nyawa orang lain
dari si pembunuh. Terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi soal,
meskipun pembunuhan itu dilakukan terhadap bapak/ibu sendiri, termasuk juga
pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP.
Dari pernyataan ini, maka undang-undang pidana kita tidak mengenal
ketentuan yang menyatakan bahwa seorang pembunuh akan dikenai sanksi yang
lebih berat karena telah membunuh dengan sengaja orang yang mempunyai
kedudukan tertentu atau mempunyai hubungan khusus dengan pelaku.
Berkenaan dengan unsur nyawa orang lain juga, melenyapkan nyawa sendiri
tidak termasuk perbuatan yang dapat dihukum, karena orang yang bunuh diri
dianggap orang yang sakit ingatan dan ia tidak dapat dipertanggungjawabkan.
b. Pembunuhan Dengan Pemberatan (Gequalificeerde Doodslag)
halaman ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
“Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya daripada hukuman, atau supaya barang yang didapatkannya dengan melawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.”
Perbedaan dengan pembunuhan Pasal 338 KUHP ialah: “diikuti, disertai,
atau didahului oleh kejahatan.” Kata diikuti (gevold) dimaksudkan diikuti
kejahatan lain. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan dilakukannya
kejahatan lain.
c. Pembunuhan Berencana (Moord)
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 340 KUHP, unsur-unsur pembunuhan
24
direncanakan terlebih dahulu, unsur obyektif, yaitu menghilangkan nyawa orang
lain.
Jika unsur-unsur di atas telah terpenuhi, dan seorang pelaku sadar dan
sengaja akan timbulnya suatu akibat tetapi ia tidak membatalkan niatnya, maka ia
dapat dikenai Pasal 340 KUHP.
Ancaman pidana pada pembunuhan berencana ini lebih berat dari pada
pembunuhan yang ada pada Pasal 338 dan 339 KUHP bahkan merupakan
pembunuhan dengan ancaman pidana paling berat, yaitu pidana mati, di mana
sanksi pidana mati ini tidak tertera pada kejahatan terhadap nyawa lainnya, yang
menjadi dasar beratnya hukuman ini adalah adanya perencanaan terlebih dahulu.
Selain diancam dengan pidana mati, pelaku tindak pidana pembunuhan berencana
juga dapat dipidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama
dua puluh tahun.
d. Pembunuhan yang Dilakukan dengan Permintaan yang Sangat dan Tegas oleh
Korban Sendiri.
Jenis kejahatan ini mempunyai unsur khusus, atas permintaan yang tegas
(uitdrukkelijk) dan sungguh-sungguh/ nyata (ernstig). Tidak cukup hanya dengan
persetujuan belaka, karena hal itu tidak memenuhi perumusan Pasal 344 KUHP.
e. Pembunuhan tidak sengaja.
Tindak pidana yang dilakukan dengan tidak sengaja merupakan bentuk
kejahatan yang akibatnya tidak dikehendaki oleh pelaku. Kejahatan ini diatur
dalam Pasal 359 KUHP. Terhadap kejahatan yang melanggar Pasal 359 KUHP ini
25
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu
tahun. Ketidaksengajaan (alpa) adalah suatu perbuatan tertentu terhadap
seseorang yang berakibat matinya seseorang. Bentuk dari kealpaan ini dapat
berupa perbuatan pasif maupun aktif.
Dengan demikian di dalam penyelesaian perkara pidana yang menyangkut
tubuh, kesehatan dan nyawa manusia seperti kasus pembunuhan yang
menyebabkan kematian pemeriksaan laboratorium forensik mutlak diperlukan,
karena proses penegakan hukum dan keadilan itu merupakan usaha yang ilmiah,
dapat dilihat dari pasal - pasal yang tercantum di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dimana terdapat dalam bentuk keterangan ahli,
pendapat seorang ahli, ahli kedokteran kehakiman, dokter dan surat keterangan
dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai
sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya
(KUHAP Pasal 187 butir c).25
Visum et Repertum yang merupakan surat keterangan dari surat keterangan
dari seorang ahli (dokter), termasuk alat bukti surat sesuai dengan Pasal 184 ayat
1 KUHAP, sedangkanalat bukti keterangan ahli, ialah apa yang dinyatakan di
sidang pengadilan.26
Istilah Visum et Repertum berasal dari bahasa latin yaitu Visum yang artinya
something seen, appearance (sesuatu yang dilihat), et yang artinya and (dan),
Repertum yang artinya invention, find out (ditemukan). Jadi Visum et Repertum
adalah apa-apa yang dilihat dan ditemukan pada korban. Dalam pengertian bebas
25
Abdul Mun’im Idries, Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik, CV. Sagung Seto, Jakarta, 2009, halaman 9.
26
26
adalah keterangan tertulis dari seorang dokter atas sumpah jabatannya dengan
permintaan tertulis dari pihak yang berwenang, mengenai apa yang dilihat
dan/atau ditemukan pada barang bukti baik orang hidup atau mati untuk
kepentingan peradilan (pro justitia).27
Terdapat 2 macam jenis Visum et Repertum, yaitu :28
a. Untuk korban hidup
1) Visum et Repertum
Diberikan kepada korban yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut.
Jadi jelasnya diberukan kepada korban yang tidak mengalami halangan
untuk mengerjakan perkerjaan sehari-hari atau tidak perlu masuk rumah
sakit. Dalam Visum et Repertum ini pada kesimpulannya digolongkan pada
luka dalam kualifikasi C (sesuai dengan penganiayaan ringan). Dalam
Visum et Repertum dokter sama sekali tidak boleh menulis kata
“penganiayaan” dalam kesimpulannya, karena istilah penganiayaan adalah
istilah hukum.
2) Visum et Repertum sementara
Diberikan setelah pemeriksaan dan ternyata korban perlu diperiksa atau
dirawat lebih lanjut, baik di rumah sakit maupun di rumah. Jadi apabila
seseorang penderita masih dipandang perlu oleh dokter untuk mendapat
pengawasan daripadanya, maka dibuatlah Visum et Repertum sementara.
Visum et Repertum sementara ini dipergunakan sebagai bukti menahan
terdakwa. Pada kesimpulan Visum et Repertum sementara tidak
27
H. R. Abdussalam, Op. cit, halaman 6.
28
27
dicantumkan kualifikasi daripada luka karena masih dalam pengobatan
atau perawatan belum selesai.
3) Visum et Repertum lanjutan
Diberikan setelah korban (1) Sembuh; (2) meninggal; (3) pindah rumah
sakit; (4) pindah dokter. Kualifikasi luka dalam Visum et Repertum
lanjutan setelah penderita selesai dirawat. Jadi pada korban yang belum
sembuh dan pindah ke dokter lain kualifikasi luka tidak tercantum.
b. Untuk korban mati
Disebut Visum et Repertum jenazah, dengan tujuan pokok menentukan
sebab kematian dan cara kematian. Untuk menentukan sebab kematian harus
dilakukan pemeriksaan terhadap semua organ tubuh, jadi harus dilakukan Otopsi.
Tanpa melakukan otopsi tidak mungkin menentukan sebab kematian yang pasti.
Jika semua organ belum diperiksa, hasilnya masih “suspect”. Visum et Repertum
jenazah yang dibuat tanpa otopsi akan menjelekkan nama dokter pembuatnya
sendiri. Dalam Visum et Repertum korban yang hidup perlu dikualifikasi luka.
Dalam Visum et Repertum korban yang mati harus disebut sebab kematian,
misalnya kematian korban disebabkan oleh karena luka tusukan yang mengenai
jantung, luka tembak yang mengenai otak dan sebagainya. Susunan Visum et
Repertum dapat dibagi dalam 5 bagian :
1) Bagian I, pada lembar kertas sebelah kiri atas selalu dicantumkan kata
“pro justitia”. Dengan mencantumkan kata ini, maka Visum et Repertum
28
2) Bagian II, bagian ini merupakan bagian pendahuluan yang berisi
keterangan-keterangan. Keterangan tentang permohonan Visum et
Repertum (identitas Visum et Repertum), yaitu nama pemohon, pangkat,
kesatuan, alamat dan sebagainya. Kemudian keterangan tentang dokter
yang membuat Visum et Repertum, nama, jabatan, alamat, dan sebagainya.
Terakhir, identitas dari korban yang diperiksa : nama, umur, jenis kelamin,
pekerjaan, alamat dan sebagainya.
3) Bagian III, bagian ini berisi tentang pemberitaan. Bagian ini merupakan
bagian yang terpenting daripada Visum et Repertum karena berisi
keterangan mengenai apa yang ditemukan pada korban oleh dokter yang
memeriksa. Dalam bagian ini semua keterangan ditulis
seobjektif-objektifnya dan dengan kata-kata yang mudah dimengerti bukan hanya
dimengerti oleh dokter saja, melainkan juga oleh hakim. Dalam bagian ini
tidak boleh dipergunakan istilah dalam bahasa lain atau istilah kedokteran
lainnya. Singkatan kata dan angka harus ditulis penuh, misalnya cc harus
ditulis dengan centimeter kubik, 5 harus ditulis “lima”. Dalam pemberitaan
ini juga tidak boleh dibuat suatu diagnosa. Misalnya, untuk luka tidak
boleh menyebut luka tembak, luka iris atau luka tusuk, tapi harus
dilukiskan dengan kata-kata sebagaimana bentuk lukanya, seperti : luka
berbentuk bulat atau lonjong, pinggir rata, ujung runcing dan sebagainya.
4) Bagian IV, bagian ini merupakan kesimpulam. Suatu kesimpulan harus
dibuat berdasarkan logika sehingga dari bagian pemberitaan jelas
29
luka dan jenis kekerasan, seperti luka memar yang sebabkan oleh
persentuhan dengan benda tumpul, luka iris, tusuk, bacok yang disebabkan
oleh karena persentuhan dengan benda tajam, dan luka tembak yang yang
disebabkan anak peluru dari belakang.
5) Bagian V, merupakan bagian terakhir dari pada Visum et Repertum dan
memuat sumpah atau janji sesuai dengan sumpah jabatan, misalnya,
Demikian Visum et Repertum ini dibuat dengan mengingat sumpah pada
waktu menerima jabatan. Setelah itu diikuti dengan tanda tangan dan nama
jelas dari dokter yang membuat Visum et Repertum, yang diletakkan di
sebelah kanan bawah.
Seperti yang disampaikan sebelumnya, selain mengeluarkan visum et
Repertum, pada tingkat peradilan dokter dapat diminta untuk memberikan
keterangan (keterangan ahli). Pada tahap pemeriksaan di pengadilan, baik jaksa
penuntut umum maupun penasehat hukum terdakwa dapat menghadirkan saksi
atau ahli dengan ijin hakim. Keterangan ahli adalah salah satu bukti dalam perkara
pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan
dan pengetahuannya itu.
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal
116 KUHAP). 29
29
30
Dalam Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan ahli adalah apa
yang seseorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Jadi Pasal tersebut tidak
menjawab siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli. Pada penjelasan
Pasal tersebut juga tidak menjelaskan hal ini. Dikatakan : 30
“Keterangan seorang ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum maka pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim”.
Tidak diberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan keterangan ahli oleh
KUHAP, dalam Pasal 343 Ned. Sv. Misalnya diberikan definisi apa yang
dimaksud dengan keterangan ahli, yaitu pendapat seorang ahli yang berhubungan
dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang
dimintai pertimbangannya.31
Jadi, dari keterangan tersebut diketahui bahwa apa yang dimaksud dengan
keahlian ialah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki) seseorang.
Pengertian ilmu pengetahuan (wetenschap) diperluas pengertiannya oleh HR yang
meliputi kriminalistik, sehingga van Bemmelen mengatakan bahwa ilmu tulisan,
ilmu senjata, pengetahuan sidik jari, dan sebagainya termasuk pengertian ilmu
pengetahuan (wetenschap) menurut pengertuan Pasal 343 Ned. Sv. tersebut. Oleh
30
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, 1985, halaman 249.
31
31
karena itu, sebagai ahli yang menurut pertimbangan hakim orang itu mengetahui
bidang tersebut secara khusus. 32
Sebagai suatu perbandingan, dapat dibaca pada California Evidence Code
definisi tentang “seorang ahli” sebagai berikut : 33
A person is qualified to testify as an expert if he has special knowledge, skill, experience, training, or education sufficient to qualify him as an expert on the subject to which his testimony relates.
(Seseorang dapat memberikan keterangan sebagai ahli jika ia mempunyai pengetahuan, keahlian, pengalaman, latihan, atau pendidikan khusus yang memadai untuk memenuhi syarat sebagai seorang ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterangannya).
Isi keterangan saksi dan ahli berbeda. Keterangan seorang saksi mengenai
apa yang dialami saksi itu sendiri sedangkan keterangan seorang ahli ialah
mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal yang sudah nyata ada dan
pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal itu. Tetapi kadang-kadang seorang ahli
merangkap pula sebagai saksi. KUHAP menentukan bahwa saksi wajib
mengucapkan sumpah (Pasal 160 ayat (3), tanpa menyebutkan ahli. Tetapi Pasal
161 ayat (1) dikatakan : “Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak
untuk bersumpah atau berjanji…” disinilah dapat dilihat bahwa ahli yang dimintai
keterangannya tersebut harus mengucapkan sumpah atau janji. Pada
penjelasannya ayat (2) Pasal tersebut dikatakan : “Keterangan saksi atau ahli yang
tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti
32
Ibid.
33
32
yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan
keyakinan hakim”.34
3. Kebijakan Hukum Pada Tindak Pidana Pembunuhan Dikatikan Dengan Hasil
Pemeriksaan Labfor Dalam Proses Pembuktian di Pengadilan
Apabila suatu perkara pidana telah selesai disusun surat dakwaannya, maka
perkara tersebut diajukan ke pengadilan. KUHAP membedakan acara
pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Terdapat tiga macam pemeriksaan
sidang pengadilan. Pertama, pemeriksaan perkara biasa; kedua, pemeriksaan
singkat; dan ketiga pemeriksaan cepat. Pemeriksaan cepat dibagi lagi atas
pemeriksaan tindak pidana ringan dan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.35
Dasar titik tolak pembedaan tata cara pemeriksaan ditinjau dari segi jenis tindak
pidana yang akan diadili pada satu segi, dan dari segi mudah atau sulitnya
pembuktian perkara. 36
Di Indonesia, ditinjau dari segi pengaturannya, acara pemeriksaan biasa
yang paling utama dan paling luas pengaturannya. halaman ini didasarkan pada
kenyataan bahwa dalam acara pemeriksaan biasa inilah dilakukan pemeriksaan
perkara-perkara tindak pidana kejahatan berat seperti pembunuhan, sehingga
fokus pengaturan acara pemeriksaan pada umumnya terletak pada
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal - pasal acara pemeriksaan biasa.
Inti dari pemeriksaan persidangan adalah proses pembuktian, dimana proses
ini akan menentukan apakah seorang terdakwa terbukti atau tidak terbukti
34
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2010, halaman 274.
35
Ibid, halaman 232.
36
33
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Apabila hasil pembuktian
dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari
hukuman. Sebaliknya, kalau perbuatan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat
bukti sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP ditambah dengan
adanya kemampuan bertanggungjawab terdakwa atas perbuatannya, terdakwa
dinyatakan bersalah kepadanya dan kepadanya dijatuhi hukuman. Berbicara
tentang pembuktian, setidaknya terdapat beberapa sistem pembuktian, baik yang
pernah berlaku maupun yang masih berlaku sampai dengan saat ini. Sistem
pembuktian tersebut antara lain : 37
a. Conviction in time, yang artinya sistem pembuktian dimana proses
menentukan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh
penilaian hakim. Hakim tidak terikat oleh macam-macam alat bukti yang ada,
hakim memakai alat bukti tersebut untuk memperoleh keyakinan atas
terdakwa, atau mengabaikan alat bukti tersebut dengan hanya menggunakan
keyakinannya yang disimpulkan dari keterangan saksi dan pengakuan
terdakwa;
b. Conviction in raisonee, sistem pembuktian yang menekankan pada keyakinan
hakim berdasarkan alasan yang jelas. Jika sistem pembuktian conviction in
time memberikan keleluasaan kepada hakim tanpa adanya pembatasan
darimana keyakinan tersebut muncul, sistem pembuktian conviction in
raisonee memberikan batasan keyakinan hakim tersebut haruslah berdasarkan
37
34
alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan
apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa;
c. Pembuktian menurut undang-undang secara positif, maksudnya adalah bahwa
pembuktian hanya dapat disimpulkan dari alat-alat bukti yang ditentukan oleh
undang-undang tanpa adanya campur tangan keyakinan hakim. Ketika
perbuatan terdakwa dapat dibuktikan berdasarkan alat-alat bukti yang ada,
maka terdakwa dinyatakan bersalah, dan oleh karenanya dijatuhi hukuman,
sebaliknya, ketika alat bukti tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa,
maka terdakwa dinyatakan tidak bersalah. Dalam sistem ini, hakim
seolah-olah hanyalah mesin pelaksana undang-undang yang tidak memiliki nurani
tidak turut serta dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa;
d. Pembuktian menurut undang-undang secara negatif, sistem pembuktian ini
adalah sistem pembuktian campuran antara conviction in raisonee dengan
sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Rumusan dari
sistem pembuktian ini adalah, salah atau tidaknya seorang terdakwa
ditentukan oleh keyakinan hakim didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang.
KUHAP secara tegas mengacu pada sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 193 KUHAP yang
berbunyi:
35
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.38
Apabila hakim memandang pemeriksaan alat-alat bukti sudah selesai, maka
ia mempersilahkan penuntut umum untuk membuat tuntutannya, dan setelah itu
giliran terdakwa atau penasehat hukumnya yang memberikan pembelaannya. Jika
acara tersebut selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan
dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas
kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan
penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan
alasannya. 39
Sesudah pemeriksaan dinyatakan ditutup, hakim mengadakan musyawarah
terakhir untuk mengambil keputusan. Ditentukan selanjutnya dalam Pasal 182
ayat (5) KUHAP bahwa dalam musyawarah tersebut hakim ketua majelis
mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang
tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua
majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya. Dalam
ayat berikutnya (ayat 6) Pasal 182 KUHAP tersebut diatur bahwa sedapat
mungkin musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jka
hal itu telah diusahakan sungguh-sungguh dan tidak dapat dicapai, maka ditempuh
dengan dua cara, yaitu :
a. Putusan diambil dengan suara terbanyak;
b. Jika yang dimaksudkan pada huruf a tidak juga diperoleh putusan, yang
dipilih ialah pendapat hakim yang paling menguntungkan terdakwa.
38
Ibid, halaman 176.
39
36
Dalam sistem peradilan pidana dikenal adanya macam-macam putusan,
yaitu: 40
a. Putusan yang bersangkutan dengan adanya keberatan (eksepsi) Penasehat
Hukum, dasar hukum keberatan (eksepsi) penasehat hukum terdapat dalam
Pasal 156 KUHAP. Keberatan penasehat hukum yang diajukan dalam
persidangan dengan alasan :
1) Tentang pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya. Kewenangan
(kompetensi) pengadilan didalam mengadili dibagi menjadi dua, yaitu :
Kompetensi absolut, yaitu kewenangan yang menyangkut lingkungan
peradilan mana yang bisa mengadili suatu tindak pidana. Dalam perkara
pidana, kewenangan absolut menyangkut lingkungan peradilan umum
(Pengadilan Negeri) dengan lingkungan Peradilan Militer (Mahkamah
Militer), yang berhak mengadili sengketa adalah Mahkamah Agung
(Pasal 151 ayat (2) KUHAP).
Kompetensi relatif, yaitu kewenangan yang menyangkut pengadilan
mana, dalam suatu lingkungan peradilan yang bisa mengadili suatu
persoalan hukum. Masalah kewenangan relatif diatur dalam Pasal 84
KUHAP.
Putusan seperti ini bisa muncul akibat dari jika dua pengadilan atau lebih
menyatakan diri berwenang mengadili atas perkara yang sama dan jika
dua pengadilan atau lebih menyatakan diri tidak berwenang mengadili
atas perkara yang sama.
40