• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak pidana profesi kedokteran menurut hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tindak pidana profesi kedokteran menurut hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

TINDAK PIDANA PROFESI KEDOKTERAN MENURUT HUKUM

PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

BEBEN MISHBAH

NIM: 103045128137

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Asmawi, M.Ag Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum.,

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul TINDAK PIDANA PROFESI KEDOKTERAN MENURUT

HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM telah diajukan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 27 Maret 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah (Pidana Islam).

Jakarta, 27 Maret 2008

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Asmawi, M.Ag. (………...……)

NIP. 150 282 394

2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (…………..….) NIP. 150 282 403

3. Pembimbing I : Asmawi, M.Ag. (…………..….)

NIP. 150 282 394

4. Pembimbing II : Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum. (………..…….) NIP. 150 264 001

5. Penguji I : Prof.DRH. Muhammad Amin Suma,SH,MA,MM(..…..………...) NIP. 150 210 422

(3)

KATA PENGANTAR

ﺮَـ ا

ﻦ ﺮَـ ا

ﷲا

ﺴﺑ

ﺎ ﻬ

ﺎ و

ضرﻷاو

تاوﺎ ا

ﺎـ ا

بر

ﺪ ا

,

تﺎ ﻮ

ا

أ

و

,

ﺎ اﺪهو

ﺔ اﻮ ا

ﻮ و

اﺪﻬ

.

ا

م

او

ة

او

و

ﷲا

ﺔ ﺎ ﻹا

ذﺎ أو

ةﺮ

,

مﺎ ﻷا

ةاﺪه

أو

ﻰ و

) .

ﺎ أ

(

Tiada untaian kata yang paling indah selain puja serta puji syukur kehadirat Allah Swt, atas taufiq, hidayah dan inayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw, dan kepada keluarganya, sahabat serta para pengikutnya sampai akhir zaman. Amien.

Sebagai manusia yang tak luput dari kekhilafan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Dalam menyelesaikan skripsi ini tidak sedikit kesulitan serta hambatan yang dialami oleh penulis. Dan berkat kesungguhan hati, dengan penuh harapan, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Hal ini berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan ribuan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Asmawi, M.Ag., dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Asmawi, M.Ag., dan Bapak Dedy Nursyamsi, M.Hum., selaku dosen pembimbing Skripsi, yang dengan penuh kesabaran membimbing penulis serta telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.

4. Pimpinan dan Staf Perpustakaan PemDa Jakarta Selatan, dan Perpustakaan Nasional Salemba, Jakarta. Pimpinan dan Staf Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan Jakarta yang telah membantu penulis mengadakan riset, serta Pimpinan dan Staf Lembaga Pelayanan Masyarakat (LPM) Dompet Dhuafa yang telah memberikan bantuan dana demi terselesaikannya Skripsi ini.

5. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama, dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, atas pelayanannya yang sangat membantu penulis dalam memperoleh referensi selama menyusun Skripsi ini.

6.

Yang Mulia Bapak KH. Jaemi Sukma Wijaya Kusuma, selaku pengasuh Pon-Pes

Minhajut Tholibin,

ﻦ ﺼ

ﻦ ﺑ

ﻜ ﺪ

و

آﺪﺴﺟأ

ﻪّ ﺼ

و

آرﻮ ﻋ

لﻮﻄ

ﷲا

ﺴﻋ

)

ﻦ ﺎﺼـ ا

(

(4)

Skripsi ini dapat penulis selesaikan. Kakak dan adikku Kusnadi, Yayah, Faruqi, Tuti, Alan, Nurbaiti, Hafidz, dan si kecil Sandi.

8. Kawan-kawan seperjuangan di Pidana Islam, Iwan, Jabier, Asep, Ma’ruf, Wildan, Uboey, Onel, Adien, Ramboel, Suwardy, dan Ajon yang sudah sama-sama mengalami pahitnya kehidupan (semangat trus ‘Jon!). Para akhwat PI, Anita, Didi, Lexa, Manse, i2k, Lina, Iyam, Iroh, Dewi, Elga dan untuk saudaraku Anna yang sudah banyak membantu penulis, serta teman-teman Pidana Islam angkatan 2003 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu “Kalian adalah mata rantai yang takan pernah terputus”.

9. Seseorang yang berhati lembut dan penuh kasih sayang “Nopianti Herlis“ dengan ketulusan hati memberi motivasi dan mengisi hari-hari penulis menjadi indah. (Hatur nuhun nya’ Neng..!).

10.Orang-orang yang secara tidak langsung membatu penulis, Mas Nano, teman-teman Cibodas Bikers Club (CBC), Rivald, Agoes Rahman, Jay, Alumni Pon-Pes Mathla’ul Huda (Pandeglang, Banten), Ade, Fitri, Luthfi dan lainnya, Ummi, Umah, Wulan, Tiwi, Yarnah, lia, Dhila, dan Lenny.

Dengan untaian do’a, semoga semua kebaikan dan bantuan mereka yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis, mendapat balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah Swt. Dan semoga Skripsi ini, dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Amien...!

Jakarta, 27 Maret 2008 M

19 Rabi’ul Awwal 1429 H

(5)

TINDAK PIDANA PROFESI KEDOKTERAN MENURUT HUKUM

PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Beben Mishbah NIM : 103045128137

(6)

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H/ 2008 M

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……… i

DAFTAR ISI ………... iii

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……… 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….. 7

D. Tinjauan Pustaka ………. 8

E. Metode Penelitian ………... 10

F. Sistematika Penulisan ………. 11

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM TENTANG TINDAK PIDANA A. Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Indonesia ………… 13

1. Pengertian Tindak Pidana ……….. 13

2. Unsur-unsur Tindak Pidana ……….……….. 15

3. Klasifikasi Tindak Pidana ………. 18

B. Tindak Menurut Hukum Pidana Islam …………. ………… 23

1. Pengertian Tindak Pidana (Jarimah) ………. 23

2. Unsur-unsur Tindak Pidana ………... 25

3. Klasifikasi Tindak Pidana ……….. 27

BAB III PROFESI KEDOKTERAN DALAM PANDANGAN HUKUM

(7)

A. Pengertian, Sejarah dan Jenis Profesi Kedokteran ……… 32

1. Pengertian Profesi Kedokteran ……….. 32

2. Praktek Kedokteran Dalam Lintas Sejarah ……… 36

3. Jenis-jenis Profesi Kedokteran ……….. 49

B. Hak dan Kewajiban Profesi Kedokteran ……….. 51

C. Tanggung Jawab Profesi Kedokteran ……… 56

1. Tanggung Jawab Etik Profesi ……… 57

2. Tanggung Jawab Hukum ………... 64

BAB IV TINJAUAN HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM TENTANG TINDAK PIDANA PROFESI KEDOKTERAN A. Tindak Pidana Profesi Kedokteran Dalam Pandangan Hukum Pidana Indonesia ………. 67

1. Ancaman Pidana Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)…. 71

2. Ancaman Pidana Dalam Undang-undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran ……… 81

B. Tindak Pidana Profesi Kedokteran Dalam Pandangan Hukum Pidana Islam………. 92

C. Analisa Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam ………. 117

D. Contoh Kasus Seputar Tindak Pidana Profesi Kedokteran ………. 133

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……… 140

B. Saran-saran ……… 150

(8)
(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebutuhan manusia terhadap pertolongan pengobatan untuk menyelamatkan

nyawanya merupakan hal yang mendasar yang diperlukan oleh setiap makhluk hidup

insani. Oleh karena itu, diperlukan pihak yang mempunyai keahlian untuk memberikan

pertolongan kepadanya agar terbebas dari penyakit yang dideritanya tersebut. Dokter

merupakan ilmuan yang telah dididik secara profesional untuk memberikan pertolongan

kepada seseorang yang membutuhkan pelayanan medisnya.1

Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada

masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan

pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Landasan utama

bagi dokter untuk dapat melakukan tindakan medik terhadap orang lain adalah ilmu

pengetahuan, teknologi, dan kompetensi yang dimilikinya yang diperoleh melalui

pendidikan dan pelatihan.2

Dalam era globalisasi seperti yang terjadi saat ini profesi kesehatan merupakan salah

satu profesi yang banyak mendapat sorotan dari masyarakat, karena sifat pengabdiannya

1

Anny Isfandyarie dan Fachrizal Afandi, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku II, (Jakarta, Prestasi Pustaka, 2006), h. v

2

(10)

kepada masyarakat yang sangat komplek. Etika profesi yang semula mampu menjaga

citra tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya kelihatannya makin

memudar sehingga perlu didukung oleh peraturan perundang-undangan yang lebih

meningkat bagi para tenaga kesehatan dan lebih memperdayakan pasien dan keluarganya

sebagai pengguna pelayanan kesehatan.

Meningkatnya sorotan masyarakat terhadap profesi kesehatan disebabkan oleh

berbagai perubahan antara lain adanya kemajuan di bidang ilmu dan teknologi kesehatan,

perubahan karakteristik masyarakat tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa, dan juga

perubahan masyarakat pengguna jasa kesehatan yang lebih sadar akan hak-haknya.

Sorotan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan merupakan suatu kritik yang baik

terhadap profesi kesehatan, agar para tenaga kesehatan dapat meningkatkan pelayanan

profesi kesehatannya terhadap masyarakat.

Sebenarnya sorotan masyarakat terhadap profesi kesehatan merupakan suatu pertanda

bahwa pada saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap pelayanan kesehatan dan

pengabdian profesi tenaga kesehatan terhadap masyarakat pada umumnya dan pasien

pada khususnya. Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter, maraknya

tuntutan yang diajukan masyarakat dewasa ini sering kali diidentikan dengan kegagalan

upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter. Sebaliknya, apabila tindakan yang

dilakukan dapat berhasil dianggap berlebihan, padahal dokter dengan ilmu pengetahuan

dan teknologi yang dimilikinya hanya untuk

penyembuhan, dan kegagalan penerapan ilmu kedokteran tidak selalu identik dengan

kegagalan dalam tindakan.3

3

(11)

Namun hasrat memberikan pertolongan kepada sesama tersebut tidaklah semulus

yang dicita-citakan oleh para pengemban profesi kesehatan ini. Ancaman pidana

menghantui harapan mulianya tersebut, sehingga beberapa di antaranya lebih memilih

untuk tidak melanjutkan pengabdiannya sebagai seorang dokter.4 Deretan ancaman

pidana yang dapat dikenakan bagi profesi ini makin hari makin bertambah yang tersebut

dalam beberapa undang-undang, yaitu kitab undang-undang hukum pidana (KUHP),

Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-undang No. 29 tahun

2004 tentang Praktek Kedokteran. Di dalam undang-undang tersebut ada beberapa pasal

yang berisi tentang ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan

yang dapat dipidana yang dapat diancamkan dalam pelaksanaan praktik kedokteran.

Munculnya kasus-kasus dalam tindakan medik merupakan indikasi bahwa kesadaran

hukum masyarakat semakin meningkat. Semakin sadar masyarakat akan aturan hukum,

semakin mengetahui mereka akan hak dan kewajibannya dan semakin luas pula

suara-suara yang menuntut agar hukum memainkan peranannya di bidang kesehatan.5 Pada

dasarnya kesalahan dan kelalaian dokter dalam melaksanakan profesi medis, merupakan

suatu hal yang penting untuk dibicarakan, hal ini disebabkan karena akibat kesalahan atau

kelalaian tersebut mempunyai dampak yang sangat merugikan. Selain merusak atau

mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap profesi kedokteran juga menimbulkan

kerugian pada pasien. Untuk itu dalam memahami ada atau tidak adanya kesalahan atau

kelalaian tersebut, terlebih dahulu kesalahan atau kelalaian pelaksanaan profesi harus

4

Anny Isfandyarie dan Fachrizal A, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, h. v

5

(12)

diletakkan berhadapan dengan kewajiban profesi, di samping itu pula diperhatikan aspek

hukum yang mendasarinya.6

Pada hakekatnya pembangunan dalam bidang kesehatan ditunjukan untuk

meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat hidup sehat bagi setiap

orang untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur

kesejahteraan. Hal ini sebagaimana diamanatkan oleh pembukaan Undang-undang Dasar

Republik Indonesia 1945.

Begitu pula dalam ajaran Islam, Islam sangat menghargai jiwa lebih-lebih terhadap

jiwa manusia. Cukup banyak ayat al-Qur’an maupun Hadits yang mengharuskan kita

untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia (hifdz al-nafs). Jiwa, meskipun

merupakan hak asasi manusia tetapi ia adalah anugerah dari Allah SWT.7 Oleh

karenanya, seseorang sama sekali tidak berwenang dan tidak boleh melenyapkan tanpa

kehendak dan aturan Allah sendiri. Di antara firman Allah yang menyinggung soal jiwa

atau nafs adalah:

Surat al-Hijr ayat 2

راﻮـ ا

و

و

ﺎ إ

و

نﻮ

ﺮ ا

:

Artinya: “Dan sesungguhnya benar-benar kamilah yang menghidupkan dan mematikan, dan kami (pulalah) yang mewarisi” (QS. al-Hijr: 2).

Surat al-Najm ayat 44

ﺎ أ

و

تﺎ أ

ﻮه

إ

و

ا

:

Artinya: “Dan bahwasanya dialah yang mematikan dan menghidupkan” (QS. al-Najm: 44).

6

Ibid., h. 5

7

(13)

Agar supaya manusia tidak memandang murah terhadap jiwa manusia, maka Allah

memberikan ancaman bagi mereka yang meremehkannya. Tindakan merusak atau

menghilangkan jiwa milik orang lain maupun jiwa milik sendiri adalah perbuatan

melawan hukum Allah. Tindakan menghilangkan jiwa hanya diberikan kepada lembaga

peradilan (Pemerintah Islam) sesuai dengan aturan pidana Islam. Ini pun dilakukan dalam

rangka memelihara dan melindungi jiwa manusia secara keseluruhann. Sebagaimana

tergambar dalam firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 179:

ا

ؤ

ةﻮ

صﺎ

ا

ﻜ و

ناﻮ

ةﺮ ا

:

Artinya: “Dan dalam Qishash itu terdapat (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal supaya kamu bertakwa” (QS. al-Baqarah: 179)

Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang

merusak atau menghilangkan jiwa manusia diancam dengan hukuman yang setimpal

(Qishas atau Diyat).

Dari latar belakang di atas penelitian ini diberi judul : ”Tindak Pidana Profesi

Kedokteran Menurut Hukum Pidana Indonesia Dan Hukum Pidana Islam”.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Mengingat permasalahan di bidang kedokteran amat luas untuk dibahas maka dalam

skripsi ini dibatasi pada aspek pidana yang berkaitan dalam dunia kedokteran, khususnya

mengenai sanksi pidananya. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum pidana Indonesia

adalah hukum pidana yang berlaku di Indonesia yaitu, ketentuan-ketentuan pidana dalam

Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), dan Undang-undang Nomor. 29 tahun

(14)

Agar penelitian ini lebih terpokus dan terarah maka penulis membatasi tulisan ini

hanya pada ketentuan sanksi pidana profesi kedokteran menurut hukum pidana Indonesia

dan Hukum Pidana Islam.

Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah:

1. Apa yang dimaksud dengan profesi kedokteran dalam hukum Indonesia dan hukum

Islam?

2. Bagaimana hak dan kewajiban profesi kedokteran dalam pandangan hukum

Indonesia dan hukum Islam ?

3. Bagaimana pandangan hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam mengenai

tindak pidana profesi kedokteran, dan bagaimana ketentuan sanksi pidananya ?

4. Bagaimana persamaan dan perbedaan antara hukum pidana Indonesia dan hukum

pidana Islam mengenai tindak pidana profesi kedokteran ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui hak dan kewajiban profesi kedokteran dalam hukum

Indonesia dan hukum Islam.

b. Untuk mengetahui dan mengidentipikasi tindakan-tindakan profesi kedokteran

yang terkena ancaman pidana.

c. Untuk mengetahui gambaran pandangan hukum pidana Indonesia dan hukum

pidana Islam mengenai tindak pidana profesi kedokteran.

d. Untuk mengetahui persaman dan perbedaan antara hukum pidana Indonesia

(15)

2. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat luas pada umunya

dan dokter atau pelayan kesehatan pada khususnya dalam rangka memahami ketentuan

sanksi pidana dalam bidang medik, sehingga para pemberi pelayanan kesehatan

berhati-hati dalam menjalankan profesinya yang amat mulia itu. Juga hasil penelitian ini dapat

memberikan khazanah pengetahuan di bidang hukum Islam khususnya hukum pidana

Islam di bidang medik (kesehatan).

D. Tinjauan Pustaka

Dari beberapa hasil penelitian yang ada di Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta belum terdapat penelitian yang secara

spesifik membahas tentang tindak pidana tenaga medik, sejauh yang penulis temui hanya

terdapat penelitian yang mambicarakan tentang Euthanasia atau yang sering disebut

dengan Mercy Killing (mati dengan tenang).8

Namun terdapat suatu penelitian yang kiranya senada dengan judul tindak pidana

profesi kedokteran, yaitu hasil penelitian yang disusun oleh dr. Anny Isfandriyari, Sp.

An., SH dari fakultas Hukum Universitas Brawijaya dengan judul “Resiko Medik dan

Malpraktek Dalam Kajian Hukum Pidana”. Akan tetapi hasil dari penelitiannya hanya

murni dalam kajian hukum pidana Indonesia, sedangkan dalam penelitian tindak pidana

profesi kedokteran tidak hanya dalam perspektif hukum pidana Indonesia semata

melainkan termasuk juga hukum pidana Islam.

8

(16)

Juga terdapat Tesis yang sekiranya serupa membahas permasalah dalam dunia Medik,

yaitu Tesis yang disusun oleh Khairurrahman,9 dengan judul “Masalah-Masalah

Kedokteran Dalam Fatwa-Fatwa Yusuf Al-Qaradhawi”, yang membahas seputar

masalah-masalah kedokteran yang terdapat dalam fatwa-fatwa Al-Qaradhawi meliputi

persoalan yang berkenaan dengan masalah Euthanasia, transplansi organ tubuh, aborsi,

bank susu, kloning pada manusia, dan inseminasi buatan. Dan membicarakan tentang

Istinbath hukum yang berkenaan dengan masalah-masalah kedokteran dengan

menggunakan metode (maslahah mursalah).

Di antara bahan-bahan pustaka yang menjadi rujukan dalam penelitian ini ialah

Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Kitab Undang-undang

hukum pidana (KUHP). Buku yang berjudul “Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi

Dokter buku I dan II” yang membicarakan segala ancaman pidana yang terdapat dalam

KUHP, UU No. 23 tahun 1992, dan UU No. 29 tahun 2004. Dan buku yang berjudul

“Perlindungan Hak-Hak Pasien Dalam Transaksi Terapeutik”, pembahasannya meliputi

hak-hak pasien dan seputar tindak pidana, perdata dalam dunia medik. Serta buku

“Hukum Kesehatan (Pertanggung jawaban Dokter)”, membahs tentang pertanggung

jawaban dokter yang menyangkut dengan segi hukum dan etika kedokteran dalam

menjalankan profesinya10. Di samping itu dalam kajian Islam terdapat pula buku-buku

yang menjadi rujukan dalam penelitian ini diantaranya kitab “At-Tasyri’ Jinaiy

Al-Islamiy” karangan Abdul Qadir Audah yang secara spesifik membicarakan segala macam

9

Mahasiswa Program Pasca Sarjana, Konsentarsi Syari’ah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

10

(17)

tindak pidana (Jarimah), klasifikasi, dan sanksinya dalam pandangan hukum Islam. Dan

bahan-bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan hukum pidana Islam (Fiqh Jinayah).

E. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan

dan menjelaskan suatu variable penelitian. Sedangkan dari segi tipe penelitian ini

merupakan penelitian hukum-doktrinal (penelitian hukum normatif) yaitu penelitian

hukum berupa norma-norma dan doktrin yang dalam penelitian ini ialah Undang-undang

nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, KUHP, dan aturan dalam hukum

pidana Islam.

Teknik pengumpulan data berupa studi dokumentasi (kepustakaan) yaitu

mengumpulkan data-data dan dokumen-dokumen atau bahan tertulis yang terdapat dalam

UU No. 29 tahun 2004, KUHP, dan hukum Islam berupa segala ketentuan-ketentuan

pidananya, buku-buku, media cetak dan elektonik yang berkaitan dengan penelitian ini.

Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan-bahan dokumen.

Adanya bahan hukum primer yaitu Undang-undang tentang Praktik Kedokteran, KUHP,

dan Yurisprudensi. Sedangkan data skunder ialah bahan-bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengeanai bahan hukum primer yaitu buku-buku hukum, majalah, koran,

maupun internet (website) yang ada korelasinya dengan materi yang menjadi pokok

(18)

Sedangkan teknik analisis data adalah analisis isi secara kualitatif (Qualitative

Content Analysis), juga diterapkan metode perbandingan hukum. Kemudian menganalisis

ketentuan pidana dalam UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, KUHP dan

diperbandingkan antara pandangan hukum pidana Islam dan hukum pidana Indonesia.

Teknik penulisan skripsi ini menggunakan “Buku Pedoman Penulisan Skripsi

Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta 2007” dengan beberapa pengecualian, yaitu terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an dan

Hadits ditulis tanpa memandang sedikit baris dan banyaknya baris, penulisan ayat-ayat

Al-Qur’an dan Hadits tidak dicantumkan catatan kaki karena ditulis dari ayat pada akhir

ayat tersebut.

F. Sistematika Penelitian

Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang perinciannya sebagai berikut:

Bab Pertama, yaitu Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, serta metode

penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, yaitu Tinjauan umum hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam

tentang tindak pidana, meliputi Pengertiaan tindak pidana, klasifikasi, dan sanksi pidana

dalam hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam.

Bab Ketiga, yaitu Profesi kedokteran dalam pandangan hukum Indonesia dan hukum

Islam, yaitu meliputi Pengertian, sejarah dan macam-macam profesi kedokteran. Hak dan

kewajiban profesi kedokteran dalam hukum Indonesia dan hukum Islam, dan Tanggung

(19)

Bab Keempat, yaitu Tinjauan hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam

mengenai tindak pidana profesi kedokteran, analisis tentang perbandingan (komparasi)

hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam tentang tindak pidana profesi

kedokteran, dan contoh kasus seputar tindak pidana profesi kedokteran.

Bab Kelima, Bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Di

akhir penulisan ini dilampirkan daftar pustaka yang menjadi acuan dalam menyusun

(20)

BAB II

TINJAUAN UMUM HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM TENTANG TINDAK PIDANA

A. Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Indonesia. 1. Pengertian Tindak Pidana.

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda yaitu “strafbaar feit11 Secara etimologis (bahasa) pengertian tindak pidana

adalah suatu tindakan kejahatan, jika dilihat dari segi hukum mengenai

perbuatan-perbuatan dan pelanggaran-pelanggaran terhadap penguasa.12 Perkataan “feit” itu sendiri

dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau (Een Gedelte Van De

Werkelijkheid), sehingga secara harfiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan

sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, sudah barang tentu tidak

tepat, oleh karena kelak kita akan ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya

adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau pun tindakan.13

Sedangkan menurut pengetian terminologis (istilah), kata tindak pidana memiliki

banyak pengertian sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa pakar hukum sebagai

berikut :

11

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori

Pemidanaan dan Batas-batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet

ke I, h. 67

12

WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1999), h. 750

13

(21)

a. Menurut Prof. Moeljatno, SH, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan

perbuatan (tindak) pidana atau delik adalah perbuatan yang oleh hukum pidana

dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar

laranga-larangan tersebut).14

b. Profesor Simons, merumuskan bahwa “Een strafbaar feit” adalah handeling

(tindakan atau perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang,

bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld)

oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.15 Kemudian beliau membaginya

dalam dua golongan unsur yaitu unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang

dilarang atau diharuskan, akibat keadaan atau masalah tertentu, dan unsur

subjektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab

(teorekenings vatbar) dari petindak.

c. Sedangkan menurut R. Tresna, merumuskan atau memberikan definisi perihal

peristiwa (tindak) pidana menyatakan bahwa, “Peristiwa (tindak) pidana itu

adalah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan

dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap

perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman”.16

Dari pengertian di atas selanjutnya Tresna menyatakan bahwa dalam peristiwa

(tindak) pidana itu mempunyai beberapa syarat, yaitu:

a. Harus ada suatu perbuatan manusia

14

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2002), cet ke VII, h. 2

15

E.Y. Kanter, dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, (Jakarta, Storia Grafika, 2002), cet ke III, 2002

16

(22)

b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum

c. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus

dapat dipertanggungjawabkan

d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum

e. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam

undang-undang.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana.

Di dalam perbuatan yang dapat dipidana dikenal adanya dua unsur yang melekat,

yaitu Criminal Act (unsur yang melekat pada perbuatannya) dan Criminal Responsibility

atau Criminal Liability (unsur yang melekat pada orang yang melakukan tindak pidana)

yang dalam istilah hukum disebut sebagai pertanggungjawaban dalam hukum pidana.17

Membicarakan mengenai unsur-unsur tindak pidana, dapat dibedakan

setidak-tidaknya dari dua sudut pandang, yakni18:

a. Unsur tindak pidana menurut beberapa teoritis

b. Unsur rumusan tindak pidana dalam undang-undang

1). Unsur tindak pidana menurut beberapa teoritis

Unsur tindak pidana menurut beberapa teoritis adalah unsur-unsur apa yang ada

dalam tindak pidana melihat bagaimana bunyi rumusan-rumusan berdasarkan para ahli

hukum. Beberapa contoh menurut pendapat atau teori para ahli hukum ialah:

Menurut Moeljatno, unsur-unsur tindak pidana adalah:

17

Anny Isfandyarie dan Fachrizal Afandi, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku

ke II, (Jakarta, Prestasi Pustaka, 2006), Cet I, h. 26

18

(23)

a. Perbuatan;

b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

Menurut Jonkers, unsur-unsur tindak pidana adalah:

a. Perbuatan (yang);

b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan);

c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat);

d. Dipertanggungjawabkan.

2). Unsur rumusan tindak pidana dalam undang-undang

Unsur rumusan tindak pidana dalam undang-undang adalah unsur-unsur lain baik

sekitar atau mengenai objek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan

tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan. Dari rumusan-rumusan tindak

pidana tertentu dalam KUHP itu, maka dapat diketahui adanya delapan unsur tindak

pidana, yaitu:

a. Unsur tingkah laku

b. Unsur melawan hukum

c. Unsur kesalahan

d. Unsur akibat konstitutif

e. Unsur akibat keadaan yang menyertainya

f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana

g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana

(24)

Menurut Lamintang bahwa setiap tindak pidana yang terdapat dalam kitab

undang-undang hukum pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan dan dibagi menjadi dua

macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.19

Unsur-unsur subjektif, adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang

berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang

terkandung dalam hatinya.

Sedangkan unsur-unsur objektif, itu ialah unsur-unsur yang berhubungan dengan

keadaan-keadaan, yaitu di mana keadaan tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus

dilakukan.

3. Klasifikasi Tindak Pidana.

Perbuatan (tindak) pidana berdasarkan sifatnya secara kualitatif, Moeljatno

menyebutkan di dalam KUHP dikenal adanya dua jenis perbuatan pidana, yang terdiri

dari:

a. Kejahatan (misdrijven), misalnya pencurian (pasal 362 KUHP), penggelapan

(pasal 378 KUHP), penganiayaan (pasal 351 KUHP), pembunuhan (pasal 338

KUHP), dan sebagainya.

b. Pelanggaran (overtredingen), misalnya: kenakalan (pasal 486 KUHP), mengemis

di tempat umum (pasal 504 KUHP), mengadakan pesta atau keramaian umum

tanpa izin pejabat yang berwenang (pasal 510 KUHP), dan sebagainya.20

Menurut M.v.T, menjelaskan pembagian atas kedua bagian di atas didasarkan pada

perbedaan prinsipil. Dikatakan bahwa kejahatan adalah “rechtsdeliten” yaitu

19

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana, h. 193

20

(25)

perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan

pidana, telah dirasakan sebagai onrecht sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata

hukum.21

Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdeliktern” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat

melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.

Perbuatan-perbuatan pidana ini oleh Moeljatno dikatakan sebagai perbuatan yang

menurut wujud dan atau sifatnya adalah bertentangan dengan tata atau ketertiban yang

dikehendaki oleh hukum dan merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan

masyarakat.

Selain membedakan antara kejahatan dan pelanggaran, menurut Moeljatno biasanya

dalam teori dan praktek dibedakan pula antara lain dalam22 :

1. Delik dolus dan Delik culpa (tindak pidana sengaja dan kealpaan)

Delik dolus merupakan delik (perbuatan pidana) yaitu dilakukan dengan sengaja,

sebagai contoh pasal 338 KUHP yang merumuskan:

“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, …”.23

Sedangkan delik culpa merupakan perbuatan pidana yang tidak disengaja atau

merupakan kealpaan dan kelalaian, sebagaimana disebutkan dalam pasal 359 KUHP:

“Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati…”.

2. Delik commissionis dan Delikta commissionis

21

Ibid., h. 71

22

Ibid, h. 75

23

(26)

Delik commissionis merupakan perbuatan pidana yang terjadi karena seseorang

berbuat sesuatu (melakukan sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana,

misalnya mencuri (pasal 362 KUHP), menggelapkan (pasal 372 KUHP), atau menipu

(pasal 378 KUHP), dan sebagainya. Yang termasuk di dalam delik commissionis bagi

praktik kedokteran misalnnya: melakukan praktik kedokteran tanpa mimiliki SIP (pasal

76 Undang-undang Praktik Kedokteran), melakukan praktik kedokteran tanpa membuat

rekam medis (pasal 79 huruf b Undang-undang Praktik Kedokteran).24

Sedang delikta commissionis adalah perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak

pidana karena seseorang tidak berbuat atau melakukan sesuatau yang seharusnya ia

lakukan. E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, memberikan istilah lain dari delikta ommissionis

yaitu delik omisi atau tindakan pasif (passive handeling) yang diharuskan, yang jika tidak

melakukannya diancam dengan pidana.25 Misalnya, (pasal 224 KUHP) keharusan

menjadi saksi, (pasal 164 KUHP) mewajibkan untuk melaporkan kepada pejabat yang

berwenang atau kepada orang yang terancam oleh kejahatan, tatkala ia mengetahui

adanya permufakatan jahat, maka orang yang tidak melaporkan permufakatan kejahatan

yang oleh undang-undang diwajibkan lapor tersebut dianggap telah melakukan delikta

commissionois. Dokter atau dokter gigi dapat juga terkena bentuk delikta commissionis

ini berdasarkan (pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran), misalnya tidak memberikan

pertolongan darurat atas dasar perikemanusian, padahal ia mengetahui tidak ada orang

24

Anny Isfandyari dan Fachrizal Afandi, Tanggungjawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku ke II, h. 33

25

(27)

lain yang bertugas dan mampu melakukannya sebagiamana dimaksud dalam (pasal 51

huruf a, b, c, d, dan e UU Praktik Kedokteran)26.

3. Delik biasa dan Delik yang dikualifisir (dikhususkan)

Pengertian delik biasa adalah perbuatan pidana yang sederhana, misalnya pencurian

biasa (pasal 362 KUHP), pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (pasal 338 KUHP).

Sedangkan delik yang dikualifisir adalah delik biasa yang ditambah dengan unsur-unsur

lain yang memperberat ancaman pidananya yang oleh Moeljatno tambahan unsur-unsur

tersebutkan antara lain:

a. Unsur yang khas dalam melakukan delik biasa, misalnya pencurian dengan jalan

membongkar rumah atau dilakukan dengan beberapa orang (pasal 363 KUHP)

b. Bersamaan dengan peristiwa lain, misalnya pencurian pada waktu terjadi

kecelakaan, atau kebakaran.

c. Dilakukan pada waktu tertentu, misalnya pencurian di malam hari.

4. Delik menerus dan Tidak menerus

Dalam delik menerus, ialah perbuatan yang dilarang minimbulkan keadaan yang

berlangsung terus, misalnya (Pasal 221 KUHP) tentang orang yang sengaja

menyembunyikan orang yang telah melakukan kejahatan. Walaupun orang yang

menyembunyikan sudah ditangkap, tetapi perbuatan yang dilarang masih dapat

berlangsung terus, selama waktu persembunyiannya tersebut.

26

(28)

Delik tidak menerus artinya perbuatan yang dilarang telah selesai atau habis pada saat

pelaku sudah tidak melakukan perbuatan lagi, misalnya pencurian. Pencurian akan

berhenti bila si pencuri sudah ditangkap dan tidak melakukan perbuatan lagi.

Agak sedikit berbeda dengan Moeljatno, Rubai membedakan dan memberikan

tambahan lain mengenai jenis-jenis tindak pidana adalah sebagi berikut27:

1. Tndak pidana formil dan Tindak pidana materil

Tindak pidan formil adalah tindak pidana yang perumusannya lebih dititik beratkan

kepada larangan terhadap perbuatannya. Contohnya (pasal 263 KUHP) tentang perbuatan

memalsukan surat, (pasal 267 KUHP) tentang dokter yang dengan sengaja memberikan

surat keterangan palsu.

Sedangkan tindak pidana materil adalah tindak pidana yang perumusannya lebih

dititik beratkan kepada akibat yang dilarang. Misalnya (pasal 359 KUHP) yang menitik

beratkan kepada terjadinya kematian sebagai akibat kekhilafan atau kelalaian dan

kealpaan yang pasal ini sering dikaitkan keapada tuntutan malpraktik terhadap dokter

atau dokter gigi.

2. Tindak pidana aduan dan Tindak pidana bukan aduan

Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang tidak dapat dituntut apabila tidak ada

pengaduan dari korban, atau dengan perkataan lain, dasar penuntutan dari tindak pidana

adalah pengaduan korban. Tindak pidana aduan terbagi menjadi dua yaitu:

27

(29)

Tindak pidana aduan bersifat absolut, adalah pengaduan korban merupakan syarat

mutlak yang harus dipenuhi agar tindak pidana ini dapat dilakukan penuntutan, misalnya

perzinahan (pasal 284 KUHP).

Tindak pidana aduan yang bersifat relatif, yang artinya tindak pidana yang

sebenarnya termasuk di dalam tindak pidana bukan aduan, karena adanya hubungan

khusus antara pelaku dengan korban, misalnya pencurian di kalangan keluarga (pasal 367

KUHP).

Sedangkan tindak pidana bukan aduan adalah semua tindak pidana yang

penuntutannya tidak perlu adanya pengaduan dari korban yang dirugikan seperti dalam

tindak pidana pembunuhan.

B. Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam. 1. Pengertian Tindak Pidana (Jarimah).

Asal kata (ﺔ ﺮ ) jarimah berakar dari kata (مﺮ ) yang maknanya ialah ( و آ)

mendapatkan atau mengerjakan dan memutuskan sesuatu. Menurut Imam Muhammad

Abu Zahra, kata jarimah dahulu dikhususkan untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan

yang dibenci (keji) selain perbuatan-perbuatan yang baik. Oleh karena itu kata (مﺮ ,

jarama) mempunyai makna pekerjaan yang memikul dosa.28 Sebagaimana dalam Firman

Allah:

ﻮه

مﻮ

وأ

حﻮ

مﻮ

بﺎ أ

نأ

ﻜ ﺮ

مﻮ

ﺎ و

طﻮ

مﻮ

ﺎ و

مﻮ

وأ

د

دﻮﻬ ا

:

Artinya: “Hai kaumku, janganlah hendaknya pertentangan antara aku dengan kamu menyebabkan kamu menjadi jahat hingga kamu ditimpa azab seperti yang

28

(30)

menimpa kaum Nuh atau kaum Huud atau kaum Shaleh, sedang kamu Luth tidak pula jauh tempatnya dari kamu”. (Q.S: Al-Huud: 89).

Kata jarimah ( ﺔ ﺮ ) dapat juga diartikan sebagai larangan-larangan syara’ yang

diancamkan oleh Allahdengan hukuman had atau ta’zir.29

Sedangkan menurut Imam Al-Mawardi memberikan definisi tentang jarimah ialah

sebagai berikut.

ا

ﺮ ﺰ

وأ

ﺎﻬ

ﻰ ﺎ

ﷲا

ﺮ ز

تارﻮ

اﺮ

30

Artinya: Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.

Para fuqaha sering memakai kata-kata jinayah

(

ﺔ ﺎ

, jinayah) untuk jarimah. Semula

jinayah pada awalnya bermakna hasil perbuatan seseorang, yakni perbuatan-perbuatan

yang dilarang.

Dalam istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah. Menurut Abdul Qadir ‘Audah

pengertian jinayah sebagai berikut :

إ

م

,

ءا

و

ا

أ

و

لﺎ

أ

و

ذ

ا

31

Artinya: Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya.

Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang

atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dengan kata-kata syara’ pada

pengertian tersebut di atas, yang dimaksud ialah bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap

29 ﺮ ﺰ وأ ﺎﻬ ﷲاﺮ ز ﺔ ﺮ تارﻮ

, lihat Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 2005), cet VI, h. 3

30

Abu Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, (Mesir, Musthafa Al-Baby Al-Halaby, 1975), cet ke III, h. 219

31

(31)

jarimah apabila dilarang oleh syara’, juga berbuat atau tidak berbuat tidak dianggap

sebagai jarimah, kecuali apabila diancamkan hukuman kepadanya.

Sebagaimana disebutkan di atas, pengertian jarimah ialah larangan-larangan syara’

yang diancamkan hukuman had atau hukuman ta’zir. Larangan tersebut adakalanya

berupa perbuatan yang dicegah, atau meninggalkan yang disuruh. Juga bahwa dengan

penyebutan kata-kata syara’ dimaksudkan bahwa larangan-larangan harus datang dari

ketentuan-ketentuan (nash-nash) syara’, dan berbuat atau tidak berbuat baru dianggap

sebagai jarimah apabila diancamkan hukuman terhadapnya.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana.

Setiap perintah dan larangan yang datang dari syara’ itu hanya ditunjukan kepada

orang yang berakal sehat dan dapat memahami pembebanan ( ﻜ, taklif), sebab

pembebanan itu merupakan panggilan (بﺎ , khitab), dan orang yang tidak dapat memahami seperti hewan dan benda-benda mati tidak mungkin menjadi objek panggilan

tersebut.

Dari pembicaraan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tiap-tiap jarimah harus

mempunnyai unsur-unsur umum yang harus dipenuhi, yaitu32:

a) Secara yuridis normatif, di satu aspek harus didasari oleh suatu dalil yang

menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan hukuman.33

Nash yang melarang perbuatan dan mengancamkan hukuman tersebut dapat

disebut juga dengan “unsur formal” ( ﻰ ﺮ آر , rukun syari’).

32

Ahmad hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 6

33

(32)

b) Secara yuridis normatif mempunyai unsur materil, yaitu sikap yang dapat dinilai

sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah atau

adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan-perbuatan

nyata atau pun sikap tidak berbuat, dan unsur ini biasa disebut “unsur materil”

ىدﺎ

( آر, rukun maddi).

c) Pembuat adalah orang mukalaf, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima

sesuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan,

dan unsur ini bias disebut “unsur moral” ( دأ آر , rukun adabi).

Ketiga unsur tersebut harus terdapat pada sesuatu perbuatan untuk digolongkan

kepada suatu “jarimah”. Di samping unsur umum pada tiap-tiap jarimah juga terdapat

unsur-unsur khusus untuk dapat dikenakan hukuman, seperti unsur “pengambilan dengan

diam-diam” bagi jarimah pencurian. Perbedaan antara unsur umum dengan

unsur-unsur khusus ialah kalau untuk unsur-unsur-unsur-unsur umum satu macamnya pada semua jarimah,

maka unsur-unsur khusus dapat berbeda-beda bilangan dan macamnya menurut

perbedaan jarimah.

3. Klasifikasi Tindak Pidana.

Dalam hukum pidana Islam tindak pidana (jarimah) dapat berbeda penggolongannya,

sesuai dengan sudut tinjauannya34:

a. Dilihat dari segi berat ringannya hukuman, jarimah dibadi menjadi tiga yaitu:

jarimah hudud (دوﺪ ﺔ ﺮ ), jarimah qishas diyat (ﺔ دوأ صﺎ ﺔ ﺮ ), dan jarimah

ta’zir(ﺮ ﺰ ﺔ ﺮ ).

34

(33)

b. Dilihat dari segi niat si pembuat, jarimah dibagi dua yaitu: jarimah sengaja dan

jarimah tidak sengaja.

c. Dilihat dari segi cara mengerjakannya, jarimah dibagi menjadi jarimah positif dan

jarimah negatif.

d. Dilihat dari segi orang yang menjadi korban (yang terkena) akibat perbuatan,

jarimah dibagi menjadi jarimah perseorangan dan jarimah masyarakat.

e. Dilihat dari segi tabiatnya yang khusus, jarimah dibagi menjadi jarimah biasa

dan jarimah politik.

Sedangkan menurut Abdul Qadir ‘Audah, tindak pidana dapat diklasifikasikan dalam

beberapa macam kriteria tertentu:

Tindak pidana (jarimah) jika dilihat dari segi berat ringannya hukuman terbagi

menjadi35:

1. Kejahatan hudud, (دوﺪ ا اﺮ )

Kejahatan hudud meliputi tujuh macam jarimah, ialah jarimah perzinahan,

menuduh zina (Qadzaf), menkonsumsi khamar, pencurian, perampokan, murtad,

dan pemberontakan.

2. Kejahatan qishas dan diyat (ﺔ ﺪ اوصﺎ ا اﺮ )

Kejahatan qishas diyat meliputi lima macam jarimah, ialah pembunuhan sengaja,

pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena kesalahan, pelukaan serupa

sengaja, pelukaan karena kesalahan.

3. Kejahatan Ta’zir, (ﺮ ﺰ ا اﺮ )

35

(34)

Sedangkan dalam kejahatan ta’zir ialah tindak pidana yang tidak tergolong ke dalam

dua jenis kejahatan di atas. Jarimah ta’zir terbagi menjadi tiga bagian36:

a) Jarimah hudud atau qishas diyat yang terdapat unsur syubhat atau tidak memenuhi

syarat, namun sudah merupakan maksiat, misalnya percobaan pembunuhan,

percobaan pencurian di kalangan keluarga.

b) Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh nash Al-Qur’an dan Hadits, namun tidak

ditentukan sanksinya, misalnya penghinaan, saksi palsu, dan menghina agama.

c) Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh Ulil Amri untuk kemaslahatan umum,

dalam hal ini ajaran Islam dijadikan pertimbangan penentuan kemaslahatan

umum.

Dilihat dari sisi maksud atau tujuan pelaku tindak pidana (jarimah) dibagi ke dalam:

1. Tindak pidana sengaja/ delik dolus, (ﺔ ﺪ اﺮ )

Ialah tindakan atau perbuatan seseorang dengan sengaja untuk melakukan

perbuatan yang dilarang, seperti pembunuhan yang direncanakan sebelumnya.

2. Tindak pidana tidak sengaja atau karena kesalahan (delik culpa), (ﺔ ﺪ ﺮ اﺮ )

Jika si pelaku dengan sengaja atau tidak sengaja berbuat sesuatau dengan tidak

menghendaki akibat-akibat perbuatannya atau karena kurang hati-hati, contohnya

penganiayaan yang membawa kematian.

Ditinjau dari sisi mengerjakannya, suatu tindak pidana (jarimah) tergolong ke dalam:

1. Kejahatan positif atau Delict commissionis, ) (ﺔ ﺎ ﻹاﺔ ﺮ

Yaitu kejahatan dengan melanggar larangan yang berupa perbuatan aktif,

contohnya seperti mencuri, merampok, membunuh, dan lainnya.

36

(35)

2. Kejahatan negative atau Delict ommissionis, )(ﺔ اﺔ ﺮ

Adalah kejahatan yang melanggar perintah, seperti tidak melaksanakan amanah,

tidak membayar zakat bagi orang-orang yang telah wajib membayarnya dan

lainnya.

3. Omisi tidak murni, (ﺎ ﺮ ﺔ ﺎ ﻹاﺔ ﺮ )

Contoh dari kejahatan omisi tidak murni ialah seperti seorang ibu yang tidak

memberikan air susu pada anaknya dengan maksud untuk membunuhnya.

Dan tindak pidana (jarimah) jika dilihat dari aspek kerugian (korban) akibat jarimah

tersebut, terbagi menjadi:

1. Jarimah masyarakat, (ﺔ اﺪ ﺔ ﺮ )

Adalah suatu jarimah dimana hukuman dijatuhkan untuk menjaga kepentingan

masyarakat dan keamanannya, menurut para fuqaha penjatuhan hukuman atas

perbuatan tersebut menjadi hak Allah.

2. Jarimah perseorangan, (داﺮ ﻷاﺪ ﺔ ﺮ )

Suatu jarimah yang mana penjatuhan hukumannya untuk melindungi kepentingan

individu, contohnya pada jarimah diyat seperti hutang dan gadai. Pemaafan dari

korban dapat memringankan hukuman bahkan menghapus hukuman-hukuman

pokok akan tetapi tidak berarti ia bebas dan tetap dikenakan ta’zir37.

Akan tetapi Ibn Rusyd memberikan penjelasan lain mengenai pembagian tindak

pidana (jarimah). Menurutnya ada lima kejahatan yang dikenai hukuman tertentu dari

syara’, yaitu38:

37

(36)

a) Kejahatan atas badan, jiwa, adan anggota-anggota badan, yaitu yang disebut

pembunuhan (al-qatl) dan pelukaan (al-jarh).

b) Kejahatan kelamin, yaitu yang disebut zina dan pelacuran (sifah).

c) Kejahatan atas harta, seperti perampokan (hirabah), pencurian (sariqah),

perampasan (ghashb), dan lainya.

d) Kejahatan atas kehormatan, seperti contohnya tuduhan melakukan zina (qadzaf).

e) Kejahatan berupa pelanggaran dengan membolehkan makanan dan minuman yang

diharamkan oleh syara’. Hanya saja dalam syariat Islam yang dikenal dari

kejahatan tersebut hanya minuman keras saja, yang hukumannya telah disepakati

sepeninggalnya pembawa syari’at, Muhammad Saw.

38

(37)

BAB III

PROFESI KEDOKTERAN DALAM PANDANGAN HUKUM INDONESIA DAN HUKUM ISLAM

A. Pengertian, Sejarah dan Jenis Profesi Kedokteran. 1. Pengertian Profesi Kedokteran.

Di dalam peraturan perundang-undangan tentang kesehatan di Indonesia tidak

terdapat dengan jelas perumusan mengenai profesi dokter. Secara bahasa (etimologis)

pengertian dokter dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai “Lulusan

pendidikan kedokteran yang ahli dalam hal penyakit dan pengobatannya”39 Akan tetapi

jika dilihat dari kedudukan dokter sebagai tenaga kesehatan yang merupakan salah satu

sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan untuk mendukung terselenggaranya upaya

kesehatan, maka di dalam Bab I (Ketentuan Umum) pasal 1 butir 11 Undang-undang

Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran), memberikan

rumusan tentang profesi kedokteran, yaitu:

“Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat”.40

Dapat disimpulkan bahwa dokter sebagai pengemban profesi adalah orang yang

mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan

39

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 2005), cet ke III, h 272

40

(38)

melalui pendidikan di bidang kedokteran yang memerlukan kewenangan untuk

melakukan upaya kesehatan.

Dari rumusan yang tercantum di dalam Undang-undang Praktik Kedokteran tersebut,

jelaslah bahwa dokter merupakan pengemban profesi kedokteran yang tentunya juga

memiliki ciri-ciri profesi sebagaimana pengemban profesi pada umumnya.

Menurut Komalawati memberikan kesimpulan bahwa hakikat profesi adalah

panggilan hidup untuk mengabdikan diri pada kemanusiaan yang didasarkan pada

pendidikan yang harus dilaksanakan dengan kesungguhan niat dan tanggung jawab

penuh. Beberapa ciri profesi antara lain:41

a) Merupakan suatu pekerjaan yang berkedudukan tinggi dari para ahli yang

terampil dalam menerapkan pengetahuan secara sistematis;

b) Mempunyai kompetensi secara eksklusif terhadap pengetahuan dan keterampilan

tertentu;

c) Didasarkan pada pendidikan yang intensif dan disiplin tertentu;

d) Mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan pengetahuan dan

keterampilan, serta mempertahankan kehormatan;

e) Mempunyai etika tersendiri sebagai pedoman untuk menilai pekerjaan;

f) Cenderung mengabaikan pengendalian dari masyarakat dan individu; dan

g) Pelaksanaannya dipengaruhi oleh masyarakat, kelompok kepentingan tertentu,

organisasi profesional lainnya, terutama dari segi pengakuan terhadap

kemandiriannya.

41

(39)

Pendapat lain mengenai ciri-ciri profesi yang dikemukakn oleh Sidharta, ialah dimana

dikatakan ada beberapa ciri khusus profesi yaitu42:

a) Tidak mengacu pada pamrih;

b) Rasionalitas, yaitu melakukan usaha mencari yang terbaik dengan bertumpu pada

pertimbangan yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah;

c) Spesivitas fungsional, maksudnya bahwa di dalamnya para profesional itu

menjalankan atau memiliki kewibawaan atau otoritas dan otoritas profesional ini

memiliki sosiologikal yang khas;

d) Universalitas, yaitu dalam pengambilan keputusan didasarkan pada “apa yang

menjadi masalahnya, dan tidak ada siapanya, atau pada keuntungan pribadi yang

diperolehnya”.

Melihat kedua pendapat mengenai ciri-ciri profesi yang dikemukakan di atas, pada

prinsipnya bahwa profesi menunjukan pada sifat-sifat tidak adanya pamrih untuk

kepentingan pribadi, rasional, berdasarkan kepada suatu keahlian tertentu yang diperoleh

melalui pendidikan yang lama, sehingga setiap profesi memiliki hak monopoli atas

keahliannya, dan selalu dapat mengatur serta mengontrol diri sendiri melalui nilai etik

dan moral.

Dalam berbagai literatur Islam tentang pengertian dari perofesi kedokteran, dijelaskan

bahwa kata dokter ( ا), berasal dari akar kata (ﺎ و-ﺎ - - ) merupakan bentuk

transitif yang maknanya mengobati. Yang bentuk jamaknya adalah

(

ءﺎ أ

و

ﺔ أ

)

,

dan

bentuk muannasnya adalah (ﺔ ). Kemudian asal kata ( ا) oleh Ibn al-Manzur

diartikan sebagai :

42

(40)

ﻮه

ﻷا

ا

رﻮ ﻷﺎ

قدﺎ أ

,

ﺎﻬ

فرﺎ ا

,

و

ﻰ ﺮ ا

ىﺬ ا

ا

.

43

Artinya: “Asal kata dokter bermakna: orang yang cakap atau ahli dalam segala permasalahan, dan mengethaui tentang segala sesuatu, dan dikatakan dokter ialah orang yang ahli dalam mengobati orang saki.”

Menurut Luwis Ma’luf, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dokter ( ا)

adalah:

آ

وأ

ا

قدﺎ

ﺮهﺎ

.

44

Artinya: “Dokter adalah seseorang yang memiliki keahlian dalam bidang pengobatan (medis), dapat juga diartikan sebagai orang yang mahir dan cakap dalam pekerjaannya.”

Yusuf Syaikh Muhammad Al-Baqaiy, memberikan depinisi dari dokter ( ا) adalah

sebagai berikut45 :

ﻮه

أ

قدﺎ ا

ﺮهﺎ أ

.

Artinya: “Dokter adalah orang yang mahir (ahli) dan cakap dalam pekerjaannya.”

2. Praktik Kedokteran Dalam Lintas Sejarah.

Metode penyembuhan dalam praktik kedokteran telah dikenal jauh pada zaman

sebelum masehi, yaitu sejak abad ke-40 SM dalam masyarakat Yunani kuno.

Hippocrates atau Hipokratus (460-377 SM), yang dalam lafal Arab dikenal dengan nama

Hibukuratun atau Hifukuratun, adalah dokter yang pertama kali meletakan dasar-dasar

etika kedokteran yang merupakan landasan bagi perumusan etika kedokteran di masa

43

Ibn al-Manzur, Lisanul ‘Arabi, (Kairo, Dar al-Hadits, 1423 H- 2003 M), juz IV, h 556

44

Luwais Ma’luf, Al-Munjid Fi al-Lughah wa al-‘A’lam, (Beirut, Dar el-Masyriq, 1975), h 459

45

(41)

modern.46 Di antara bahan tulisannya adalah Afurimah (Aphorisma), berisi tentang

metode kedokteran dan berbagai arakan peramuan herbal dan mineral.

Hippocrates meletakan landasan tersebut dalam bentuk sumpah, isi sumpahnya antara

lain:

1) Mengajarkan ilmu kedokteran hanya kepada yang berhak dan mempraktekannya

untuk memberi manfaat bagi kemanusiaan;

2) Tidak melakukan sesuatu yang membahayakan pasien;

3) Tidak melakukan kejahatan seperti mengugurkan kandungan;

4) Tidak mempergunakan kesempatan untuk melakukan kejahatan yang mungkin

timbul dalam praktik kedokteran;

5) Memelihara kesucian diri lahir dan batin dan memelihara rahasia jabatan.

Dari isi sumpahnya Hippocrates ini, terdapat tiga hal yang pokok yang terkandung

dalam etika kedokteran, yaitu: keharusan menjaga kehormatan diri dan profesi, berusaha

semaksimal mungkin untuk menolong orang lain dan tidak memperlakukan orang lain

sebagaimana ia tidak ingin diperlakukan.

Untuk lingkungan masyarakat Indonesia, yang keanggotaannya dalam Word Medical

Assosiation (WMA = Ikatan Dokter se-Dunia) diwakili oleh Ikatan Dokter Indonesia

(IDI) pada tahun 1953, rumusan etika kedokteran dihasilkan oleh Musyawarah Nasional

Etika Kedokteran ke-2 pada Desember 1989.47 Kode Etik Kedokteran Indonesia

(KODEKI) ini terdiri dari 4 Bab dan 18 Pasal. Dari seluruh pasal dalam KODEKI

46

Abdul Azis Dahlan (edt), Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet ke I, h 880

47

(42)

terdapat empat prinsip etik yang harus diperhatikan dan dijunjung tinggi oleh setiap

deokter.

Pertama, setiap dokter harus menjalankan profesinya dengan niat yang benar sesuai

dengan hakikat profesi dokter sebagai pengabdi kemanusiaan. Di samping itu, setiap

dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi (pasal 3), harus

konsisten pada kewajibannya melindungi hidup makhluk insani (pasal 10), dan

memberikan kesempatan pada pasiennya untuk berhubungan dengan keluarganya dan

beribadah sesuai dengan agamanya (pasal 12).

Kedua, profesi kedokteran harus dilaksanakan dengan cara yang benar. KODEKI

mengatur bahwa dokter harus melakukan profesinya secara maksimal (pasal 2), memberi

obat atau nasihat yang mungkin dapat melemahkan daya tahan pasien hanya untuk

kepentingan pasien sendiri (pasal 5), mengutamakan kepentingan masyarakat dan

menjadi pengabdi kemanusian serta memelihara saling pengertian dan kerja sama dengan

pihak-pihak yang terkait dengan profesinya (pasal 8 dan 9), dan secara ikhlas

mempergunakan ilmu dan keahliaannya untuk kepentingan penderita. Kalau ia tidak

mampu menangani suatu penyakit pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter lain

yang lebih ahli dalam pengobatan tersebu (pasal 11).

Ketiga, dokter harus selalu menjaga citra profesinya. Dalam hal ini seorang dokter

dilarang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan etika seperti memuji diri

sendiri, menyelewengkan profesi kedokteran, baik secara pribadi maupun bersama-sama,

untuk kepentingan sendiri, tidak menerima imbalan jasa yang tidak layak (pasal 4).

(43)

kebenarannya (pasal 7), merahasiakan sesuatu yang diketahuinya tentang penderita (pasal

13), dan memberi pertolongan darurat (pasal 14).

Prinsip etik keempat, adalah hal yang berhubungan dengan pelestarian profesi

kedokteran. Dalam hal ini setiap dokter harus berhati-hati dalam mengumumkan dan

menerapkan penemuannya yang belum teruji kebenarannya (pasal 6), memperlakukan

teman sejawat seperti ia sendiri ingin diperlakukan, tidak mengambil alih penderita dari

temannya, memelihara kesehatannya dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi, khusus tentang masalah kedokteran yang digelutinya (pasal 15-18).

Dalam sejarah keilmuan Islam, terdapat banyak para Ulama atau tokoh

Cendekiawan-cendikiawan muslim yang ahli dalam bidang kedokteran diantaranya adalah:

Abu Ali Al-Hussain bin Abdullah bin Sina, atau lebih dikenal denan sebutan Ibn

Sina. Lahir di Afshana dekat kota Bukhara, Uzbeskistan pada tahun 981 M. di usia ke 10

Ibn Sina sudah menguasai Al-Qur’an dan ilmu-ilmu lainnya.48

Kontribusi terbesar Ibn Sina dalam bidang kedokteran terutama dilihat dari bukunya

yang terkenal adalah “Al-Qanun Fi Ath-Thibb”, kitab itu dibarat lebih dikenal sebagai

“The Canon of Medicine”. Tidak ada satu rujukan pun dalam ilmu kedokteran yang

tidak mengambil rujukan Ibn Sina. Di masa mudanya dia telah memperlihatkan bakat

yang luar biasa dalam bidang kedokteran, dan ketika itu dia cukup kondang di

kampungnya sebagai tabib muda.

Ibn Zuhr (1091-1162) atau Abumeron, dikenal pula dengan nama Avenzoar yang lahir

di Seville, adalah seorang ahli fisika dan kedokteran. Beliau menulis buku “The Method

of Preparing Medicines and Diet” yang diterjemahkan kedalam bahasa Yahudi (1280)

48

(44)

dan bahasa Latin (1490) yang merupakan sebuah karya yang mampu mempengaruhi

Eropa dalam bidang kedokteran setelah karya-karya Ibn Sina “Qanun Fit Thibb atau

Canon of Medicine” yang terdiri dari delapan belas jilid.49

Ibn Rusyd (1126-1198), lahir di Cordova lidah barat menyebutnya Averroes. Ibn

Rusyd adalah seorang ahli hukum, ilmu hisab (arithmetic), kedokteran, dan ahli filsafat

terbesar, dalam sejarah Islam dimana ia sempat berguru kepada Ibn Zuhr, Ibn Thufail,

Abu Ja’far Harun dari Trixillo. Karena kepiawaiannya dalam bidang kedokteran Ibn

Rusyd diangkat menjadi dokter istana pada tahun 1182.50

Itulah keunikan para ulama atau Cendikiawan-cendikiawan tempo dulu yang bukan

saja mengusai satu satu bidang ilmu pengetahua namun mereka menguasai berbagai ilmu

pengetahuan yang disegani dan tanpa pamrih, hingga nama mereka dikenang oleh setiap

insan.

Namun ditinjau dari segi historisnya bahwa praktik kedokteran sudah dikenal

manusia di berbagai belahan dunia yang terbagi kedalam dua fase perkembangannya,

yaitu fase perkembang praktik kedokteran pada masa sebulum nabi Muhammad Saw dan

fase pada masa Islam.

Yang pertama, fase perkembangan praktik kedokteran pada masa sebelum nabi

Muhammad Saw. Istilah praktik kedokteran sudah berkembang di beberapa Negara dan

dinasti, diantaranya yang terjadi di negeri Sumeria dan Akadia, bangsa babilonia, di

negeri Mesir, Hindustan, kerajaan Romawi dan Yunani, dan negeri China, ialah sebagai

berikut :

49

Diakses pada 4 Oktober 2007 dari http:// Media. Isnet. Org/ Islam/ Etc/ Andalusia.

(45)

Negeri Sumeria termasuk wilayah tanah Irak, yaitu negeri yang diairi sungai Furat

(Eufrat) dan sungai Dajlah (Tigris). Menurut data-data yang terungkap, sekitar 4000

tahun sebelum masehi, tabib-tabib bangsa Sumeria telah mengenal cara mengobati patah

tulang dengan cara lasah yang diberi balutan berbidai, selain itu mereka juga telah

mengenal cara mengobati gigitan serigala gila dengan di-Kayy (bakar) searah dengan

gigitannya, lalu si penderita diberi minum ramuan sambil dikubur sampai pinggang

dalam lubang berlumpur selama sehari semalam.51 Di negeri Sumeria terdapat dua cara

pengobatan. Pertama, pengobatan alami menurut cara pengobatan dukun. Biasannya si

penderita diberi berbagai macam ramuan, dipijit, lalu dijampi dengan meminta bantuan

jin. Kedua, pengobatan yang boleh disebut alamiah pada saat itu, yaitu pengobatan yang

dilakukan oleh tabib-tabib kota menggunakan ramuan-ramuan herba, madu, ramuan

serbuk tanduk, al-kayy (bakar), dan lain-lainnya.

Sedangkan di negeri Akadia, yaitu yang terletak di wilayah utara Irak bagian tengah,

tepatnya di tempat pertemuan sungai Dajlah dan Furat, sekitar 2300 tahun sebelum

masehi, diceritakan ada seorang yang bernama Sargon. Ia adalah bekas khadam (pelayan)

raja Zababa dari negeri Ur, pusat kebudayaan Arab purba, kemudian hari Sargon menjadi

raja Akadia dan Sumeria yang memilih kota Aqad menjadi ibu kota negeri itu.

Pada masa Sargon itulah terjadi kebangkitan ilmu kedokteran Samiah. Bahkan di kota

Aqad telah berdiri semacam lembaga pengkajian kedokteran yang berkembang sampai

awal pemerintahan raja Namruz dari Babilonia. Kemudian raja Namruz memindahkan

lembaga itu ke Namiruz, kota yang didirikannya. Tersebut di dalam cerita rakyat Akadia

51

Ja’far Khadem Yamani, Mukhtasar Tarikh Tharikat Ath-Thibb (Ilmu Kedokteran Islam, Sejarah

dan Perkembangannya). Penerjemah A.D. el-Marzdedeq, Dlm, Av, (Bandung, PT Syaamil Cipta Media,

(46)

bahwa Anhiduana, putri raja Sargon selain menjadi pendeta juga merangkap sebagai

pengakaji berbagi jenis pengobatan.

Bangsa Babiluniyah (Babilon) serumpun dengan bangsa Akadia, keduannya termasuk

bangsa Arab purba yang telah berkebudayaan tinggi. Pada masa pemerintahan Hamurrabi

telah ditemukan undang-undang kenegaraan yang boleh dikatakan cukup lengkap.

Undang-undang itu dipahatkan pada altar batu, berisikan 300 pasal dan 4000 baris.52 Di

dalam batu surat (prasasti) Hamurrabi itu terdapat pasal yang berhubungan dengan bab

kesehatan penduduk.

Bidang kedokteran yang terkenal pada masa itu antara lain ilmu lasah (fisioterapi),

ilmu bedah dan beberapa cabangnnya, ilmu terapi air (hidroterapi), dan beberapa

cabangnya, al-kayy (bakar), ilmu ashaf, ilmu peramuan obat (farmakologi), bahkan

konon telah ada obat-obatan Babilonia yang telah berbentuk pil.

Pada masa itu orang-orang Babilonia telah mengenal perbedaan antara tabib dengan

dukun (kahin). Ada dua hal yang membedakan keduanya. Pertama, tabib adalah seorang

ahli pengobatan yang jauh dari ketahayulan sedangkan kahin menganggap bahwa

penyakit itu ditimbulkan oleh ganguan atau rasukan makhluk halus jahat, karena hari sial,

karena salah memberi nama, dan semacam Takahyul atau Khurafat lainnya. Kedua, tabib

mengobati dengan menggunakan alat-alat kedokteran semacam pisau bedah, alat

pecucuk, alat-alat al-Kayy (bakar) dan lainnya, sedangkan Kahin melakukan pengobatan

dengan jampi-jampi, azimat-azimat penangkal, dan sesuatu yang tidak masuk akal.

Sedangkan Mesir pada masa kekuasaan Fir’aun telah memiliki kebudayaan yang

tinggi. Bidang ilmu kedokteran telah mengungguli ilmu kedokteran di negeri lain. Pada

52

(47)

masa kekuasaan Fir’aun Ramses II, lebih kurang 1200 tahun sebelum masehi, di ibu kota

negaranya di Ramses lalu di kota Thebe dan Memphis telah ditemukan lembaga-lembaga

pusat pengkajian ilmu kedokteran.

Di Mesir telah ditemukan dua macam pengobatan; Pertama, pengobatan kekahinan,

yaitu dengan mengalap (meminta) bantuan jin berupa sihir-sihir. Kedua, pengobatan

ilimiah. Pengobatan ini berpusat di lembaga-lembaga kedokteran yang di biayai negara.

Perkembangan ilmu kedokteran di Mesir pada saat itu memang sangat menakjubkan.

Secara garis besarnya ada beberapa macam metode kedokteran yang dilakukan di

Mesir, yaitu Al-kayy (bakar), fisioterapi, bedah, peramuan, terapi air (hidroterapi), terapi

dengan pernafasan yang di namakan Dudl, dan terapi berpantang salah satu makanan dan

minuman tertentu yang dinamakan Dawit (diet).53 Pada masa nabi Yusuf a.s, di Mesir

terdapat orang-orang Israil. Di antara mereka terkenal pula ahli-ahli kedokterannya.

Mereka mengembangkan kedokteran Mesir hingga mereka menemukan metode

kedokteran yang lebih maju. Pada masa Fir’aun dinasti Ramses, tabib-tabib Bani Israil ini

sangat terkenal, tetapi hanya orang-orang tertentu yang berobat kepadanya karena bertarif

tinggi.

Di Hindustan menurut tarikh ketabiban mengenai ilmu kedokteran yang berkembang

di negeri itu banyak dimonopoli kaum Brahmana atau beberapa orang kasta Kesatria. Di

Hindustan banyak terdapat lembaga pengkajian kedokteran, diataranya terdapat di

Mathura, Pataliputra dan Indraprahasta. Ilmu kedokteran Hindustan berpangkal pada ilmu

kedokteran Aria, Sumeria, Yunani dan Persia.

53

(48)

Disebutkan bahwa di Hindustan berkembang beberapa macam metode kedokteran,

anta lain; Pertama, metode berdasarkan agama, di antara ilmunya berpangkal pada <

Referensi

Dokumen terkait

Dari pengertian yang disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan dihubungkan dengan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam di atas secara sederhana dapat dipahami bahwa

Dalam pengertian hukum positif, pembunuhan tidak disengaja adalah pembunuhan yang dilakukan dengan tidak disengaja dan merupakan bentuk kejahatan yang akibatnya

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tentang pengaturan tindak pidana penyimpangan seksual menurut hukum positif di Indonesia homoseksual dan lesbian diatur di

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 25 memberikan pengertian badan hukum sebagai badan yang dalam hukum diakui sebagai subyek hukum (peseroan, yayasan, lembaga, dan

Sebagai Ketua Konsil Kedokteran, saya mengucapkan selamat dan penghargaan yang tinggi kepada Divisi Standar Pendidikan Profesi Konsil Kedokteran Indonesia, Kelompok

13 Poerwadarminta, 1984, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hlm.. 20 Pengertian yang diberikan dalam Kamus Bahasa Indonesia oleh Poerwadarminta terlalu

Pentingnya ketentuan Majelis Pendidikan Profesi Kedokteran Hewan sebagai acuan penyelenggaraan pendidikan profesi dokter hewan (PPDH) dalam mencapai Standar

Dalam rumusan tindak pidana korupsi suap menurut Hukum Pidana Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana