• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TINJAUAN HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM

D. Contoh Kasus Seputar Tindak Pidana

Istilah tindak pidana profesi kedokteran merupakan istilah yang asing dan merupakan istilah yang baru dalam disiplin ilmu hukum. Kebanyakan para fakar menggunakan istlah “Medical Malpractice” atau dikenal dengan istilah “kelalaian medik” bagi tindak

pidana profesi kedokteran. Maka dalam sus bab ini kasus-kasus yang penulis angkat ke permukaan ialah seputar masalah malpraktik medik.

Menurut dr. Kartono Muhammad yang merupakan mantan ketua umum IDI, mengatakan bahwa “malpraktik merupakan kasus yang amat jarang terjadi, dan jika jatuh vonis pun biasanya terkena pasal perdata, yang paling banter cuma mengganti kerugian yang diderita pasien atau pihaknya”.116 Sedangkan Ikatan Dokter Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa sebelum adanya kepastian hukum dari pengadilan. Sanksi pencabutan izin praktik misalnya, baru bisa dilakukan setelah adanya kejelasan hukum tersangaka oleh pengadilan. Oleh karena itu dalam hal ini penulis hanya menggambarakan kasus-kasus yang terindikasi sebagai tindakan malpraktik yang dilakukan oleh para pengemban profesi kedokteran.

Kehilangan orang yang kita cintai akibat kematian selalu menorehkan luka hati yang cukup dalam. Namun, jika kematian itu terjadi karena kesalahan yang sebetulnya dapat dihindari tentunya akan membuat penyesalan dan kesedihan yang jauh lebih menyakitkan.

Gambaran itulah yang umumnya dialami oleh keluarga korban kesalahan praktik kedokteran atau malpraktik. Kepergian anak, orang tua, kerabat dan sahabat akibat kesalahan diagnosa, terapi atau obat terkadang membuat kegeraman dan rasa kehilangan yang sangat mendalam. Terlebih lagi, jika kematian itu sebenarnya dapat dihindari senadainya dokter atau tenaga medis bersikap hati-hati dan waspada.

Hal tersebut sebagaimana yang dialami oleh sepasang suami-isteri, Lilin Tri Murwani, 34 tahun dan Hasanudin Harahap, 30 tahun. Kasus ini berawal ketika Tri

116

Luthfi Assyaukanie, Politik, Ham, dan Isu-isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1998), cet pertama, h. 187

melahirkan bayinya, Aldi Nusafitra di RS Islam Jakarta, 7 September 2006 lau.117 Proses persalinan dilakukan oleh dr. Susilowati melalui operasi sesar. Perawatan bayi yang diduga mengidap penyakit kuning di bawah pengawasan dr. Omi, sepesialis anak.

Setelah persalinan, Tri dan bayinya dirawat selama 4 hari di rumah sakit itu. Karena penyakitnya, Aldi disarankan untuk dirawat dua hari lagi. Menurut Tri “Tapi baru dua hari, anak saya diperbolehkan pulang”.

Sesampainya di rumah, Aldi mengalami kejang-kejang. Karenanya Tri membawa bayinya ke RS tempat Aldi dilahirkan. Di sana, Aldi hanya dimasukan ke instalasi gawat darurat. “Anak saya hanya dikasih oksigen dan tidak ada dokter yang menjaga, padahal ia kejang-kejang”. Kata Tri, warga Cempaka Baru IV, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Dengan alasan ruang Intensif Care Unit (ICU) penuh, seorang suster menyarankan untuk mencari runah sakit lain agar bisa dirawat dalam ICU. Lalu Aldi dirujuk ke RSAB Harapan Kita. Untuk bisa masuk ke RS Harapan Kita, keluarga pasien harus membayar lebih dahulu uang muka Rp. 7,5 juta. Dari hasil pemeriksaan, dokter menyatakan Aldi mengalami pendarahan di otak. Menurut Hasanudin ayahnya Aldi “Padahal di RS Islam, Aldi dinyatakan kena penyakit kuning”.

Selama 24 hari dirawat di RSAB, kondisi Aldi makin memprihatinkan. Bayi malang itu akhirnya meninggal 7 Oktober 2006 lalu. “Akibat kesalah diagnosa, anak saya meninggal. Saya merasa dipermainkan”. Kata Hasanudin.

Hal senada juga dialami oleh (almh) Sita Darwati Darmoko, kasus ini bermula saat almarhumah Sita Dewi melakukan operasi tumor di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI)

117

Muchamad Nafi, “Dokter RS Islam Jakarta dilaporkan Malparaktek”, artikel diakses pada 4 Oktober 2007 dari http:// www. tempointeraktif. com/hg

pada 12 Febuari 2005 lalu.118 Tim dokter yang melakukan operasi itu di pimpin Prof DR. Ichramsyah A. Rachman, dimana saat itu berdasarkan hasil uji Pathology Anatomi (PA) bahwa tumor yang menjangkit di tubuh Sita dinyatakan tidak ganas. Setelah tumor itu diangkat, sampelnya dikirim untuk dites lagi. Hasilnya, pada 16 Februari 2005, PA justru menunjukkan fakta yang sebaliknya. Tumor yang ada di ovarium Sita ternyata ganas. Namun PA ini tidak pernah dikabarkan ke Sita maupun keluarganya.

Setelah setahun berlalu. Tepatnya pada 16 Februari 2006, Sita mengeluhkan adanya benjolan di sekitar perutnya. Saat berkonsultasi dengan dokter dari RSPI, baru pada saat itulah Sita diberitahu hasil PA-nya yang menyatakan bahwa tumor ganaslah yang menggerogoti tubuhnya. Disitulah emosi Sita membuncah. Ia menilai tidak adanya koordinasi dan pertanggung jawaban antara dokter dan manajemen rumah sakit untuk menyampaikan hasil PA yang sebenarnya. Karenanya, Sita merasa telah kehilangan waktu selama satu tahun untuk menyembuhkan tumor yang ternyata ganas itu. Dan benar saja. Ketika baru menjalani beberapa kali terapi, nyawa Sita tidak tertolong lagi. Dan akhinya ia pun menghembuskan napas yang terakhir.

Merasa adanya faktor keteledoran dokter dan RSPI, Pitra Azmirla dan Damitra Almira, anak (almh) Sita Dewi kemudian menuntut pertanggung jawaban. Pihak RSPI juga bukannya tidak mau bertanggung jawab. Kepada Pitra dan Damitra, RSPI menawarkan uang sejumlah Rp. 400 juta. Belakangan, RSPI menaikkannya hingga Rp1 miliar. Namun Pitra dan Damitra tidak mau menerimanya. Karena buntu, keduanya kemudian mengajukan gugatan perdata ke PN Jakarta Selatan.

118

Kejadian serupa juga dialmi oleh Mesdiwanda Sitepu, seorang ibu rumah tangga, yang bertempat tinggal di Kelurahan Cipayung, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Peristiwa itu bermula ketika Mesdiwanda melahirkan bayinya yang bernama Andreas Paska Vinindo di rumah Sakit Pasar Rebo Jakarta Timur.119 Saat Mesdiwanda dinyatakan positif hamil, proses kehamilannya ditangani dan diperiksa kesehatanya oleh bidan Herawati di RS Pasar Rebo, dan sewaktu umur kandungannya berusia 7-8 bulan, kondisi janin dinyatakan sehat sesuai dengan hasil USG. Demikian juga dengan pertumbuhan janinnya dan diperkirakan lahir pada tanggal 19 April 2001.

Pada tanggal 21 April 2001, sekitar pukul 00:45 Wib, Mesdiwanda melalui proses Vacum hingga 3 (tiga) kali melahirkan bayi laki-laki, Andreas Paska Vinindo, dengan berat badan 300 gram dan panjang badan 51 cm. Dan saat proses kelahiran tersebut Andreas tidak menangis dan langsung dibawa ke ruang perawatan anak.

Kemudian dokter anak yang merawat Andreas menyatakan kepada ibunya, bahwa di kepala Andreas banyak cairan dan terjadi pendarahan pada otak yang diakibatkan luka sewaktu dilakukan Vacum. Dan pada tanggal 23 April 2001 dokter yang merawat Andreas mengatakan kepada Mesdiwanda dan suaminya bahwa Andreas dalam keadaan “kritis”.

Dengan alasan di RS Pasar Rebo tidak mempunyai spesialis syaraf, seorang dokter spesialis anak menganjurkan agar Andreas dirujuk ke rumah sakit Cipto Mangunkusumo, akan tetapi sesampainya di RS Cipto Mangunkusumo, suami Mesdiwanda tidak menemukan dokter syaraf, karena sedang mengikuti pendidikan ke luar Negeri. Kemudian pihak RS Cipto Mangunkusumo merujuk kembali Andreas ke rumah sakit

119

Riset kasus Malpraktik di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan, Jl. Manggarai Utara IV No. D-8, Jakarta Selatan, pada tanggal 26 September 2007

Gatot Sobroto untuk menjalankan operasi, agar dapat melakukan operasi keluarga pasien harus lebih dahulu membayar uang muka sebesar Rp. 10.000.000

Karena ketidak mampuan biaya, maka Mesdiwanda dan suaminya membawa kembali Andreas ke RS Pasar Rebo. Kemudian pihak RS Pasar Rebo merujuk kembali Andreas ke rumah sakit Harapan Bunda untuk melakukan CT Scan. Berdasarkan hasil CT Scan dari RS Harapan Bunda, bahwa terjadi pendarahan di luar tengkorak syaraf otak Andreas. Setelah itu dokter di RS Pasar Rebo menyarankan Andreas untuk dilakukan penyedotan pada bagian kepala, dan kepada Mesdiwanda disuruh untuk membeli alat sedot dan resep untuk menyedot cairan di kepala anaknya, namun dokter tersebut tidak mempergunakan alat yang telah dibeli oleh Mesdiwanda. Dan pada tanggal 10 Mei 2001, Mesdiwanda membawa anaknya pulang ke rumah dengan tetap mengalami pendarahan di luar tengkorak syaraf otak yang menyebabkan Andreas cacat seumur hidup.

Merasa adanya kejanggalan dalam pelayanan medis terhadap anaknya, maka Mesdiwanda melalui kuasa hukumnya, Danco Tohanes, SH, A. Nazara, SH, dkk dari (LBH Kesehatan) memperkarakan kasus ini ke pengadilan Negeri Jakarta Timur. Dengan melakukan gugatan perdata kepada bidan Herawati, pihak rumah sakit Pasar Rebo, dan Pemerintah Republik Indonesia cq Menteri Kesehatan Republik Indonesia, yang telah melakukan perbuatan melawan hukum pada saat dan pasca melakukan tindakan medik dan pengobatan terhadap Andreas yang merupakan anak dari Mesdiwanda, di mana akibat tindakan medik yang dilakukan tersebut mengakibatkan Andreas mengalami pendarahan di luar tengkorak syaraf otak yang menyebabkan cacat seumur hidup.

Setelah melihat contoh-contoh kasus dugaan malpraktik medik diatas, kita sepenuhnya menyadari bahwa begitu besar dampak yang ditimbulkan akibat kasus

malpraktik medik, terlebih lagi sulit membuktikan di pengadilan bahwa kasus yang diduga malpraktik medik menjadi kategori kasus malpraktik medik.

Terlepas dari faktor ajal yang menjadi hak preogratif Tuhan, namun kasus malpraktik telah banyak menelan korban. Kematian dan kecacatan adalah harga yang harus dibayar pasien karena keteledoran tenaga-tenaga kedokteran. pasien di Indonesia pada umumnya pasrah terhadap kesalahan atau kelalaian dokter. Biasanya para pasien itu tidak menuntut dokter yang telah merugikan mereka.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.

Berdasarkan uraian di atas pada bab-bab sebelumnya terhadap permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, penulis mengambil beberapa kesimpulan:

1. Yang dimaksud dengan profesi kedokteran dalam hukum Indonesia adalah, Secara bahasa (etimologis) pengertian dokter dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai “Lulusan pendidikan kedokteran yang ahli dalam hal penyakit dan pengobatannya”. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Bab I (Ketentuan Umum) pasal 1 butir 11 Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran), dapat disimpulkan bahwa dokter sebagai pengemban profesi adalah orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kedokteran yang memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

Sedangkan dalam literatur Islam, pengertian dari perofesi kedokteran dijelaskan bahwa kata dokter ( ا), berasal dari akar kata (ﺎ و -ﺎ - - ) merupakan bentuk transitif yang maknanya mengobati. Yang bentuk jamaknya adalah

و ﺔ أ)

ءﺎ أ

( ,

dan bentuk muannasnya adalah (ﺔ ). Kemudian asal kata ( ا) oleh Ibn al-Manzur diartikan sebagai :

رﻮ ﻷﺎ قدﺎ أ ﻮه ﻷاﻰ ا

,

ﺎﻬ فرﺎ ا

,

Artinya: “Asal kata dokter bermakna: orang yang cakap atau ahli dalam segala permasalahan, dan mengethaui tentang segala sesuatu, dan dikatakan dokter ialah orang yang ahli dalam mengobati orang saki.”

2. Mengenai hak profesi kedokteran dalam pandangan hukum Indonesia tertuang dalam pasal 50 Undang-undang Nomor. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, menjelaskan bahwa dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasianal, memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya, dan menerima imbalan jasa.

Sedangkan kewajiban profesi kedokteran terdapat dalam pasal 51 undang-undang praktik kedokteran, yang menerangkan bahwa dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien, merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia, melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusian, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya, dan menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

Dalam ajaran Islam, secara garis besar kewajiban-kewajiban tenaga kedokteran muslim adalah:

7) Kewajiban dokter muslim yang terberat adalah beribadah dan beramal sebanyak-banyaknya.

8) Senantiasa mempelajari dan menerapkan pengetahuan kedokteran serta pengetahuan agama secara berimbang dalam kehidupanya sehari-hari.

9) Pendekatan kepada pasiennya selalu bersifat holistik. 10)Menghormati dan memulyakan orang sakit.

11)Senantiasa menunjukan kasih sayang kepada orang sakit.

12)Senantiasa menggembirakan dan memberikan harapan hidup, guna menumbuhkan kekuatan dan harapan dalam hati penderita.

3. Dalam pandangan hukum pidana Indonesia bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana profesi kedokteran adalah tindakan (medik) yang salah atau kekeliruan yang dilakukan oleh profesi kedokteran yang buruk dan berakibat hukum atas perbuatan tersebut.

Suatu perbuatan atau tindakan dapat dikatakan sebagai tindak pidana, apabila secara teorotis memenuhi setidaknya tiga unsur yaitu, melanggar norma hukum yang tertulis, bertentangan dengan hukum atau melanggar hukum dan berdasarkan suatu kelalaian atau kesalahan besar.

Di dalam KUHP terdapat ketentuan yang dikenakan kepada dokter atau dokter gigi yang memenuhi unsur-unsur rumusan tindak pidana dalam KUHP, antara lain yang berkaitan dengan masalah pelanggaran kewajiban dokter atau dokter gigi, kejahatan terhadap nama baik seseorang, kejahatan terhadap kesusilaan, kejahatan terhadap pemalsuan, kejahatan terhadap tubuh dan nyawa karena kesengajaan, dan kejahatan terhadap tubuh dan nyawa karena kelalaian.

Adapun bentuk hukuman yang terberat dalam KUHP adalah pidana penjara paling lama lima belas tahun (KUHP pasal 347 ayat 2), atas kejahatan terhadap tubuh dan nyawa karena kesengajaan, yaitu dalam hal tindakan dokter yang menggugurkan kandungan tanpa persetujuan dari wanita dan mengakibatkan matinya wanita tersebut. Dan hukuman yang terendah adalah pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah (pasal 310 KUHP), yaitu dalam hal dokter yang melakukan kejahatan nama baik seseorang berupa perbuatan penghinaan.

Sedangakan ketentuan di luar KUHP diatur dalam Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, diantanya yang mengatur tentang Pelanggaran terhadap kewajiban Administrasi, Pelanggaran yang berhubungan dengan kewajiban terhadap pasien, Pelanggaran yang berhubungan dengan perkembangan ilmu kedokteran, Pelanggaran yang dilakukan orang lain, dan Pelanggaran yang dilakukan oleh pimpinan sarana kesehatan atau badan hukum (korporasi).

Sanksi pidana yang terberat dalam Undang-undang No. 29 tahun 2004 (UU Praktik Kedokteran) adalah pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau denda paling banyak Rp.300.000.000 (tiga ratus juta rupiah), dalam pelanggaran yang dilakukan oleh pimpinan saran kesehatan atau badan hukum (korporasi), yaitu pimpinan saran kesehatan yang mengizinkan dokter yang tidak mempunyai surat izin praktik untuk melakukan praktik kedokteran di sarana kesehatannya, apabila hal itu dilakukan oleh badan hukum (korporasi) maka pidana yang dijatuhkan adalah denda dengan ditambah sepertiga atau ditambah hukuman tambahan berupa pencabutan hak (pasal 80 ayat 1 dan 2 UU Praktik Kedokteran). Adapun hukuman yang rendah dalam Undang-undang Praktik kedokteran yaitu mengenai pelanggaran yang berhubungan

dengan kewajiban terhadap pasien, yang sanksi pidananya berupa pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) apabila dokter dalam melakukan praktik kedokterannya tidak membuat rekam medis (pasal 79 pon b UU Praktik Kedokteran).

Dalam pandangan hukum pidana Islam, apabila tindak pidana profesi kedokteran didasarkan atas berat ringannya akibat yang menimpa sasaran atau obyek dari tindak pidana tersebut, dapat dikategorikan kepada tindak pidana atas selain jiwa

ﻰ ﺔ ﺎ )

ا نودﺎ

( .

Ditinjau dari objek atau sasaranya, tindak pidana atas selain jiwa baik sengaja maupun tidak sengaja dapat dibagi ke dalam lima bagian, yaitu penganiayaan atas anggota badan dan semacamnya, menghilangkan manfaat anggota badan sedangkan jenisnya masih tetap utuh, asy-syajjaj atau pelukaan khusus pada bagian muka dan kepala, al-jirah atau pelukaan pada anggota badan selain wajah, dan kepala, dan tindakan selain dari keempat bagian tersebut.

Adapun hukuman untuk tindak pidana atas selain jiwa tergantung kepada akibat yang timbul atas beberapa jenis tindak pidana tersebut, baik perbuatannya dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja. Dalam hal ini penulis hanya membatasi kepada dua bagian dari tindak pidana atas selain jiwa, yaitu perusakan anggota badan atau semacamnya dan menghilangkan manfaatnya.

3) Hukuman untuk Ibanah (perusakan) Athraf dan semacamnya.

Hukuman qishash merupakan hukuman pokok untuk tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja, sedangkan diat dan ta’zir merupakan hukuman pengganti yang menempati tempat qishash, apabila hukuman qishash terhalang karena suatu sebab

atau gugur karena sebab-sebab yang tidak dapat dikenakan qishash. Anggota-anggota badan yang berlaku diyat sempurna adalah:

5) Anggota badan tanpa pasangan yaitu, hidung, lidah, kemaluan, tulang belakang (ash-shulb), lubang kencing dan dubur, kulit, rambut, dan jenggot. 6) Anggota badan yang berpasangan yaitu, tangan, kaki, mata, telinga, alis, bibir,

payudara, telur kemaluan laki-laki, bibir kemaluan perempuan, pinggul, dan tulang rahang.

7) Anggota badan yang terdiri dari dua pasang yaitu, kelopak mata dan bulu mata.

8) Anggota badan yang terdiri lima pasang atau lebih yaitu, jari tangan, jari kaki, dan gigi.

4) Hukuman untuk menghilangkan manfaat anggota badan.

Hukuman untuk tindak pidana menghilangkan manfaat anggota badan ini adalah hukuman Qishash. Apabila qishash betul-betul tidak memungkinkan untuk dilaksanakan maka pelaku dibebani hukuman diyat.

Hukuman diyat dikenakan apabila manfaat dari anggota badan hilang atau rusak karena suatu tindak pidana, baik manfaat itu menyatu maupun terpisah dari anggota badan. Diyat atau ganti rugi untuk sebagian manfaat anggota badan yang dianggap sangat penting, antara lain: (1). Diyat menghilangkan akal yaitu seratus ekor unta, (2). Diyat pendengaran, dalam hal diyat bagi pendengaran Sayyidina Umar memutuskan dengan memberikan hukuman empat macam diyat atau empat ratus ekor unta, (3). Diyat daya penglihatan. Hukumannya adalah separuh diyat, yaitu lima puluh ekor unta, (4). Diyat penciuman, apabila daya penciuman hilang sebelah lubang maka

berlaku separuh diyat, yaitu lima puluh ekor unta, (5). Diyat perasaan (Dzauq). Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah, dalam melenyapkan perasaan lidah (dzauq)

berlaku hukuman diyat. Alasannya adalah mengkiaskan perasaan lidah kepada panca indra yang lain, seperti penciuman, (6). Diyat kemampuan berbicara, apabila seseorang melakukan tindak pidana sehingga mengakibatkan hilangnya kemampuan berbicara dan perasaan lidahnya sedangkan lidahnya masih utuh, pelaku dikenakan dua diyat.

Sedangkan apabila dalam tindak pidana profesi kedokteran didasarkan atas niat pelaku dan mengakibatkan meninggalnya korban, dalam hukum pidana Islam termasuk kepada jarimah pembunuhan karena kesalahan

(ﺄ ا ),

yang sanksi pidananya meliputi hukuman pokok (asli), pertama yaitu denda atau diyat. Adapun kadar diyatnya adalah seratus ekor unta, kedua yaitu kafarat, yang berupa memerdekakan hamba sahaya (budak) yang Muslim.

Selain hukuman asli bagi jarimah pembunuhan karena kesalahan (al-khata’) dalam hukum pidana Islam dikenal juga adanya hukuman pengganti yaitu berpuasa. Dalam menjalankan hukuman berpuasa disyaratkan berpuasa dua bulan berturut-turut. Dan yang terakhir hukuman tambahan (mengikuti) bagi jarimah pembunuhan karena kesalahan (al-khata’), yaitu berupa pencabutan hak waris dan pencabutan hak wasiat. 4. Persamaan pandangan antara hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam

mengenai tindak pidana profesi kedokteran terdiri dari dua aspek tinjauan, yaitu ditinjau dari niat pelakunya dan ditinjau dari unsur-unsur tindak pidana profesi kedokteran.

Ditinjau dari niat pelaku kejahatan dalam hukum pidana Indonesia dan hukum Pidana Islam adanya persamaan, ialah kejahatan (tindakan) itu dilakukan karena kesalahan atau tidak sengaja dan tidak didasari oleh faktor-faktor kesengajaan dari diri si pembuat.

b. Ditinjau dari unsur-unsur tindak pidana profesi kedokteran.

Secara garis besar antara hukum pidana Indonesia dan hukum Islam adanya persamaan, yaitu dilihat dari unsur perbuatan melawan hukum dan unsur kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh para tenaga kedokteran. Akan tetapi ada sedikit perbedaan di antara keduanya, dalam hukum pidana Indonesia mengenai tindak pidana profesi kedokteran yaitu fokusnya kausa atau sebab bukan akibat.

Adapun perbedaan pandangan antara hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana profesi kedokteran adalah hanya ditinjau dari segi hukumannya.

Bentuk hukuman yang terberat dalam KUHP diantaranya adalah pidana penjara paling lama lima belas tahun (KUHP pasal 347 ayat 2), atas kejahatan terhadap tubuh dan nyawa karena kesengajaan, yaitu dalam hal tindakan dokter yang menggugurkan kandungan tanpa persetujuan dari wanita dan mengakibatkan matinya wanita tersebut. Sedangakan ketentuan di luar KUHP diatur dalam Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang diantara sanksi pidanya adalah pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau denda paling banyak Rp.300.000.000 (tiga ratus juta rupiah), dalam pelanggaran yang dilakukan oleh pimpinan saran kesehatan atau badan hukum (korporasi), yaitu pimpinan saran kesehatan yang mengizinkan dokter yang tidak mempunyai surat izin praktik untuk melakukan praktik kedokteran di sarana

kesehatannya, apabila hal itu dilakukan oleh badan hukum (korporasi) maka pidana yang dijatuhkan adalah denda dengan ditambah sepertiga atau ditambah hukuman tambahan berupa pencabutan hak (pasal 80 ayat 1 dan 2 UU Praktik Kedokteran). Dalam hukum pidana Islam, apabila tindak pidana profesi kedokteran didasarkan atas berat ringannya akibat yang menimpa sasaran atau obyek dari tindak pidana tersebut, dikategorikan kepada tindak pidana atas selain jiwa

( ا نود ﺎ ﻰ ﺔ ﺎ )

Adapun hukuman untuk tindak pidana atas selain jiwa tergantung kepada akibat yang timbul atas beberapa jenis tindak pidana tersebut. Dalam penilitian ini hanya membatasi kepada dua bagian dari tindak pidana atas selain jiwa, yaitu perusakan anggota badan atau semacamnya dan menghilangkan manfaatnya.