• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Perbandingan Hukum Pidana Indonesia

BAB IV TINJAUAN HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM

C. Analisa Perbandingan Hukum Pidana Indonesia

ﺄ ﺎ اثﺮ

)

اور

دوادﻮ أ

(

Artinya: Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Saw, ia bersada “seorang pembunh tidak dapat hak waris sama sekali” (HR. Abu Daud).

Kata sesuatu

( )

dalam hadits tersebut diartikan sebagai warisan dan termasuk juga di dalamnya wasiat. Nash hadits di atas dijadikan dalil oleh para ulama yang berpendapat bahwa secara mutlak pembunuh tidak mendapat hak waris, baik pembunuhanya dengan sengaja atau pun karena keliru, diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Syafi’I, Abu Hanifah dan kebanyakan ahli ilmu. Mereka juga mengatakan bahwa pembunuh tidak mendapatkan hak waris, baik dari harta orang yang terbunuh itu sendiri maupun harta yang berasal dari diyat.115

C. Analisa Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam.

Secara garis besar penulis mencoba menganalisa dengan cara menarik perbandingan antara hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam mengenai permasalahan tindak pidana profesi kedokteran yang menjadi objek kajian penulis dalam skripsi ini, dan telah di uraikan secara ringkas pada bagian-bagian terdahulu dalam beberapa bab.

1. Persamaan

a. Ditinjau dari niat pelaku kejahatan.

Dari uraian sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana profesi kedokteran adalah tindakan (medik) yang salah atau kekeliruan yang dilakukan oleh profesi kedokteran yang buruk dan berakibat hukum atas perbuatan tersebut.

115

Begitu pula dalam perspektif hukum pidana Islam, ditinjau dari segi niat pelaku tindak pidan atas selain jiwa dapat digolongkan kepada tindak pidana atas selain jiwa dengan tidak sengaja atau karena kesalahan. Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana atas selain jiwa dengan tidak sengaja atau karena kesalahan adalah:

ناوﺪ اﺪ نود ا ﻰ ﺎ ا ﺪ ﺎ ﻮهﺄ او

Artinya: “Perbuatan karena kesalahan adalah suatu perbuatan di mana pelaku sengaja melakukan suatu perbuatan, tetapi tidak ada maksud untuk melawan hukum”.

Jelaslah bahwa dalam hukum pidan Indonesia dan hukum Pidana Islam adanya persamaan, yaitu kejahatan (tindakan) itu dilakukan karena kesalahan (tidak sengaja) dan tidak didasari oleh faktor-faktor kesengajaan dari diri si pembuat.

b. Ditinjau dari unsur-unsur tindak pidana profesi kedokteran

Dalam hukum pidana Indonesia, suatu tindakan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila secara teoritis memenuhi unsur-unsur yaitu:

1) melanggar hukum yang tertulis

2) bertentangan dengan hukum atau melanggar hukum 3) berdasarkan kelalaian atau kesalahan yang besar.

Sedangkan unsur-unsur kesalahan (schuld) dalam pengertian pidana dalam suatu perbuatan itu adalah:

1) bersifat betentangan dengan hukum

2) akibatnya dapat dibayangkan atau ada penduga-dugaan

3) akibatnya itu sebenarnya dapat dihindarkan atau ada unsur penghati-hatian 4) dapat dipertanggung jawabkan atau dipersalahkan kepadanya.

Dalam hukum pidana Islam, unsur-unsur dalam Jarimah Al-Khata’ (pembunuhan tersalah) ialah:

1) adanya perbuatan yang menyebabkan kematian bagi korban 2) perbuatan itu terjadi karena kesalahan si pembuat

3) adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan dengan kematian korban.

Akan tetapi ada sedikit perbedaan di antara keduanya, dalam hukum pidana Indonesia mengenai tindak pidana profesi kedokteran yaitu fokusnya kausa atau sebab bukan akibat. Namun secara garis besar adanya persamaan antara hukum pidana Indonesia dan hukum Islam, yaitu dilihat dari unsur perbuatan melawan hukum dan unsur kesalah atau kelalaian yang dilakukan oleh para tenaga kedokteran.

2. Perbedaan dari segi sanksi pidananya

Mengenai bentuk sanksi bagi profesi kedokteran yang melakukan tindak pidana dalam hukum pidana Indonesia terdapat di beberapa pasal dari KUHP dan UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

1. Sanksi pidana yang terdapat dalam KUHP, antara lain:

a. Sanksi bagi pelanggaran terhadap kewajiban menyimpan rahasia, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah. (pasal 322 ayat (1) KUHP).

b. Sanksi pelanggaran kewajiban memberikan pertolongan, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. (pasal 304 KUHP).

c. Sanksi bagi kejahatan nama baik seseorang, misalnya seorang dokter memberitahukan kepada rumah sakit melalui surat untuk melarang temannya bekerja di rumah sakit yang bersangkutan. Maka ancaman pidana atas perbuatan penghinaan tersebut tercantum dalam (pasal 310 KUHP), dengan ancaman pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. d. Sanksi untuk kejahatan terhadap kesusilaan, seperti ilustrasi kasus seorang dokter

yang memeriksa seorang wanita tanpa didampingi oleh seorang perawat pun, tiba-tiba si wanita tesebut menjerit, kemudian datanglah seorang laki-laki yang mengaku sebagai suami dari wanita itu, pasien mengatakan kepada suaminya kalau dokter memaksa untuk mencium atau memeluk si pasien, dan pasien akan menuntut dokter karena perlakukan yang tidak sebagaimana mestinya yang dialami oleh pasien. Maka seorang dokter diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun (pasal 289 KUHP).

e. Hukuman atas kejahatan terhadap pemalsuan, yaitu seorang dokter yang memberikan surat keterangan sakit palsu, dapat terkena ancaman pidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun (pasal 267 ayat (1) KUHP). Dan apabila surat keterangan yang diberikan dengan maksud untuk memasukan seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau menahannya di situ, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan (pasal 267 ayat (2) KUHP).

f. Sanksi bagi kejahatan terhadap tubuh dan nyawa karena kesengajaan, seorang dokter dincam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika secara melawan hukum memaksa orang

lain, supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan (pasal 355 ayat (1) poin 1 KUHP). Perbuatan seorang dokter sebagai kesengajaan di antaranya termasuk juga mengenai masalah Euthanasia, dan merupakan tindakan yang dapat dikenakan ancaman pidana penjara paling lama dua belas tahun (pasal 344 KUHP), dan diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri (pasal 345 KUHP). juga para tenaga kedokteran yang menggugurkan kandungan dengan atau tanpa persetujuan seorang wanita yang bersangkutan, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun (pasal 347 ayat (1) KUHP), dan jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun (KUHP pasal 347 ayat 2). Serta para tenaga kedokteran yang mengugurkan kandungan atas persetujuan seorang wanita, dapat diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan, dan apabila perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dincam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun (pasal 348 ayat 1 dan 2 KUHP).

g. Sanksi bagi kejahatan terhadap tubuh dan nyawa karena kelalain (kealpaan), walaupun tindakan dokter telah mendapat persetujuan dari pasien, namun bila tindakan tersebut mengakibatkan kematian, maka terhadap dokter diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun (pasal 359 KUHP).

2. Sanksi pidana dalam Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, antara lain:

a. Sanksi bagi pelanggaran terhadap kewajiban administrasi, yaitu dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi (STR), dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) terdapat dalam (pasal 75 ayat 1. UU Praktik Kedokteran). Dan seorang dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara, dapat terkena ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak seratus juta rupiah (pasal 75 ayat 2 UU Praktik Kedokteran). juga dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik (SIP), maka dapat terkena ancaman pidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak seratus juta rupiah (pasal 76 UU Praktik Kedokteran). Seorang dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan melaksanakan praktik kedokteran wajib memasang papan nama praktik kedokteran, apabila hal ini diindahkan dapat terkena ancaman pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak lima puluh juta rupiah (pasal 79 poin a UU Praktik Kedokteran).

b. Sanksi bagi pelanggaran yang berhubungan dengan kewajiban terhadap pasien, seperti misalnya dokter atau dokter gigi dengan sengaja menyelenggarakan praktik kedokteran tidak mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi, dapat dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak lima puluh juta rupiah (pasal 79 poin c UU Praktik Kedokteran). Dan dalam hal dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran dengan

sengaja tidak membuat rekam medis, maka apabila mengindahkan ketentuan tersebut dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak lima puluh juta rupiah (pasal 79 poin b UU Praktik Kedokteran). Serta dokter atau dokter gigi yang tidak dapat menyimpan rahasia kedokteran, dapat terkena ancaman pidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak lima puluh juta rupiah, ketentuan tersebut terdapat dalam (pasal 79 poin c UU Praktik Kedokteran).

c. Sanksi bagi pelanggaran kewajiban yang berhubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kewajiban seorang dokter atau dokter gigi adalah untuk selalu menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran, apabila kewajiban ini tidak dilaksanakan oleh dokter atau dokter gigi, maka akan terkena ancaman pidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak lima puluh juta rupiah. Hal ini sebagaimana tertuang dalam (pasal 79 poin c UU Praktik Kedokteran).

d. Sanksi bagi pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. Yang pertama yaitu setiap orang yang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter, maka orang yang bersangkutan dapat terkena ancaman pidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak seratus lima puluh juta rupiah (pasal 77 UU Praktik Kedokteran). Dan setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang memiliki surat tanda

registrasi atau surat izin praktik, maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak seratus lima puluh juta rupiah, berdasarkan (pasal 78 UU Praktik Kedokteran).

e. Sanksi pelanggaran yang ditunjukan bagi pimpinan atau sarana kesehatan (korporasi), apabila mengizinkan dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki surat izin praktik kedokteran untuk melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatannya, maka orang atau badan hukum (korporasi) yang memberikan izin tersebut terkena ancaman pidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau denda paling banyak tiga ratus juta rupiah. Akan tetapi apabila dilakukan oleh badan hukum (korporasi), maka pidana yang dijatuhkan adalah denda dengan ditambah sepertiga atau dujatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak, ketentuan di atas berdasarkan (pasal 80 ayat 1 dan 2 UU Praktik Kedokteran).

Sedangkan dalam Islam, apabila dalam tindak pidana profesi kedokteran didasarkan atas berat ringannya akibat yang menimpa sasaran atau obyek dari tindak pidana tersebut, dapat dikategorikan kepada tindak pidana atas selain jiwa

,

yang hukumannya dikaitkan kepada akibat yang timbul dari tindak pidana atas selain jiwa. Ditinjau dari segi objek atau sasarannya, tindak pidana atas selain jiwa dibagi kepada lima bagian, yaitu perusakan anggota badan atau sejenisnya, menghilangkan manfaatnya, syajjaj, jirah, dan tindakan yang tidak termasuk keempat jenis tersebut. Hukuman untuk tindak pidana atas selain jiwa tergantung kepada akibat yang timbul atas beberapa jenis tindak pidana tersebut, baik perbuatannya dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja.

Dalam penelitian ini penulis hanya membatasi kepada dua bagian dari tindak pidana atas selain jiwa, yaitu perusakan anggota badan atau sejenisnya dan menghilangkan manfaatnya.

1) Hukuman untuk Ibanah (perusakan) Athraf dan semacamnya.

Hukuman pokok untuk perusakan athraf dengan sengaja adalah qishash, sedangkan hukuman penggantinya adalah Diyat dan Ta’zir. Adapun hukuman pokok untuk perusakan athraf yang menyerupai sengaja dan kesalahan adalah diat, sedangkan hukuman penggantinya adalah ta’zir.

c. Hukuman Qishash.

Hukuman qishash merupakan hukuman pokok untuk tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja, sedangkan diat dan ta’zir merupakan hukuman pengganti yang menempati tempat qishash. Menurut pendapat Imam Malik, Abu Hanifah dan sebagian fuqaha Hanabilah, hukuman pokok (qishash) tidak mungkin dijatuhkan bersama-sama dengan hukuman pengganti (diyat) dalam satu jenis pelukaan. Dengan demikian apabila si pelaku sudah di-qishash untuk sebagian pelukaan, tidak ada hukuman diyat untuk sisanya (sebagian pelukaan lainnya). Oleh karena itu dalam kasus semacam ini, korban diwajibkan untuk memilih antara qishash tanpa diyat atau langsung mengambil diyat.

d. Hukuman Diyat.

Hukuman diyat merupakan hukuman pengganti untuk qishash apabila hukuman

qishash terhalang karena suatu sebab atau gugur karena sebab-sebab yang tidak dapat dikenakan qishash.

Diyat baik sebagai hukuman pokok maupun sebagai hukuman pengganti, digunakan untuk pengertian diyat penuh (kamilah) yaitu seratus ekor unta. Adapun untuk hukuman

yang kurang dari diyat yang penuh (kamilah), maka digunakan untuk hukuman dari diyat yang penuh (kamilah) dengan istilah irsy

(شرإ).

Terdapat dua macam diyat dalam tindak pidana atas selain jiwa, yaitu diyat kamilah dan diyat ghair kamilah. Diyat kamilah atau diyat sempurna berlaku apabila manfaat jenis anggota badan dan keindahannya hilang sama sekali. Hal ini terjadi dengan perusakan seluruh anggota badan yang sejenis atau dengan menghilangkan manfaatnya tanpa merusak atau menghilangkan bentuk atau jenis anggota badan. Adapun anggota badan yang berlaku diyat sempurna adalah:

1) Anggota badan tanpa pasangan yaitu, hidung, lidah, kemaluan, tulang belakang

(ash-shulb), lubang kencing dan dubur, kulit, rambut, dan jenggot.

2) Anggota badan yang berpasangan yaitu, tangan, kaki, mata, telinga, alis, bibir, payudara, telur kemaluan laki-laki, bibir kemaluan perempuan, pinggul, dan tulang rahang.

3) Anggota badan yang terdiri dari dua pasang yaitu, kelopak mata dan bulu mata. 4) Anggota badan yang terdiri lima pasang atau lebih yaitu, jari tangan, jari kaki, dan

gigi.

Sedangkan untuk diyat ghair kamilah berlaku dalam ibanah al-athraf apabila jenis anggota badan atau manfaatnya hilang sebagian, sedangkan sebagian lagi masih utuh. Diyat ghair kamilah atau irsy ini berlaku untuk semua jenis anggota badan, baik tunggal (tanpa pasangn) mapun yang berpasangan. Seperti misalnya, pada pemotongan satu jari berlaku irsy muqaddar yaitu sepuluh ekor unta, dua jari dua puluh ekor unta dan seterusnya.

2) Hukuman untuk menghilangkan manfaat anggota badan.

Hukuman untuk tindak pidana menghilangkan manfaat anggota badan ini adalah sebagai berikut:

a. Hukuman Qishash.

Meskipun faktor kesulitan untuk melaksanakan qishash dalam tindak pidana menghilangkan manfaat ini sangat besar, namun menurut jumhur fuqaha selama hal itu memungkinkan, tetap diupayakan untuk melaksanakannya. Apabila qishash betul-betul tidak memungkinkan untuk dilaksanakan maka pelaku dibebani hukuman diyat.

b. Hukuman Diyat.

Hukuman diyat dikenakan apabila manfaat dari anggota badan hilang atau rusak karena suatu tindak pidana, baik manfaat itu menyatu maupun terpisah dari anggota badan. Berikut ini diyat atau ganti rugi untuk sebagian manfaat anggota badan yang dianggap sangat penting, antara lain:

1. Diyat akal.

Apabila seseorang melakukan tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya akal, ia dapat dikenakan hukuman diyat, yaitu seratus ekor unta. Ketentuan ini didasarkan kepada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Amr ibn Hazm yang di dalamnya disebutkan:

...

ﻹا ﺔ ﺎ اﻰ و

)

ﻰ ﻬ ا اور

(

Artinya: “…dalam perusakan akal berlaku hukuman diyat yaitu seratur ekor unta”

(HR. Baihaqi)

2. Diyat pendengaran.

Apabila terjadi suatu tindak pidana yang mengkibatkan rusak atau lenyapnya daya pendengaran, maka pelakunya dapat dikenakan hukuman diyat. Dalam hal diyat bagi pendengaran Sayyidina Umar memutuskan dengan memberikan hukuman empat macam

diyat atau empat ratus ekor unta. Sebagaimana hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Mu’adz bahwa Nabi Saw bersabda:

...

ﺔ ﺪ ا اﻰ و

) ...

ﻰ ﻬ ا اور

(

Artinya: “…Dalam melenyapkan daya pendengaran berlaku hukuman diyat…” (HR. Baihaqi)

3. Diyat daya penglihatan.

Hukuman bagi tindak pidana yang menghilangkan daya penglihatan adalah separuh diyat, yaitu lima puluh ekor unta. Karena penglihatan merupakan manfaat kedua mata. Apabila hilangnnya anggota badan mewajibkan hukuman diyat, maka demikian pula menghilangkan manafaatnya. Akan tetapi apabila manfaat itu hilang bersama-sama dengan hilangnya kedua mata maka hukumannya hanya satu diyat, yaitu diyat mata.

4. Diyat penciuman.

Tindakan yang dapat menghilangkan daya penciuman bagi pelakunya dapat dikenakan hukuman diyat. Apabila seseorang memotong hidung orang lain yang mengakibatkan hilangnnya daya penciuman hukumannya adalah dua diyat, karena penciuman terpisah dari hidung. Apabila daya penciuman hilang sebelah lubang maka berlaku separuh diyat, yaitu lima puluh ekor unta.

5. Diyat perasaan (Dzauq).

Para ulama fuqaha berbeda pendapat tentang berlakunya hukuman diyat bagi tindakan yang menghilangkan daya perasaan. Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah, dalam melenyapkan perasaan lidah (dzauq) berlaku hukuman diyat. Alasannya adalah mengkiaskan perasaan lidah kepada panca indra yang lain, seperti penciuman. Di

kalangan mazhab Hambali berkembang dua pendapat. Pendapat pertama berlaku hukuman diyat, sedangkan menurut pendapat yang kedua tidak berlaku hukuman diyat

6. Diyat kemampuan berbicara.

Apabila seseorang memotong lidah orang lain, sehingga mengakibatkan hilangnya kemampuan berbicara dan perasaan lidahnya maka untuk semua akibat tersebut pelaku hanya dikenakan satu diyat, karena diyat kalam (berbicara) dan diyat rasa (dzauq) sudah termasuk ke dalam diyat lidah. Akan tetapi apabila seseorang melakukan tindak pidana sehingga mengakibatkan hilangnya kemampuan berbicara dan perasaan lidahnya sedangkan lidahnya masih utuh, pelaku dikenakan dua diyat.

Sedangkan apabila dalam tindak pidana kedokteran didasarkan atas niat pelaku dan mengakibatkan meninggalnya korban, dalam hukum pidan Islam termasuk kepada jarimah pembunuhan karena kesalahan

(ﺄ ا ),

yang sanksi pidananya meliputi hukuman pokok (asli). Pertama yaitu denda atau diyat. Adapun kadar diyatnya adalah seratus ekor unta, yang dalam seratus unta tersebut harus ada 40 ekor unta yang bunting, 20 ekor unta betina berumur tiga tahun, 20 ekor unta yang layak, dan 20 ekor unta yang masih muda. Kedua dari hukuman asli bagi jarimah pembunuhan karena kesalahan (al-hata’) adalah Kafarat, yang berupa memerdekakan hamba sahaya (budak) yang Muslim. Akan tetapi apabila tidak menemukan atau mempunyai maka hendaklah berpuasa.

Selain hukuman asli bagi jarimah pembunuhan karena kesalahan (al-khata’) dalam hukum pidana Islam dikenal juga adanya hukuman pengganti yaitu berpuasa. Dalam menjalankan hukuman berpuasa disyaratkan berpuasa dua bulan berturut-turut. Sedangkan berpuasa adalah hukuman pengganti dari hukuman kafarat yaitu memerdekakan hamba sahaya, maka tidak diwajibkan berpuasa apabila sudah

memerdekakan hamba sahaya, dan apabila tidak menemukan maka hendaklah berpuasa. Dan yang terakhir yaitu hukuman tambahan (mengikuti) bagi jarimah pembunuhan karena kesalahan (al-khata’), yaitu berupa pencabutan hak waris dan pencabutan hak wasiat. Hal ini sebagaimana yang tersirat dalam hadits Nabi Muhammad Saw :

ﺄ ﺎ اثﺮ لﺎ و ﷲا ﻰ ﻰ ا ﺪ أ ﺮ

)

اور

دوادﻮ أ

(

Artinya: Dari ‘Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Saw, ia bersabda “seorang pembunuh tidak bisa mendapat hak waris sama sekali” (HR. Abu Daud).

Ada sedikit persamaan antara sanksi pidana atau hukuman dalam hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam, yaitu dalam hukum pidana Indonesia dikenal adanya hukuman denda seperti yang tertera pada beberapa pasal dalam KUHP dan Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran di atas, sedangkan istilah denda merupakan prinsif dasar (konsep) dari hukuman-hukuman yang terdapat dalam hukum pidana Islam yang dikenal dengan istilah Diyat. Akan tetapi yang membedakan antara keduanya hanyalah dari segi kadar besaran dendanya yang dibebankan kepada pelaku tindak pidana.

Jika ditinjau dari segi teori pemidanaan atas penjatuhan suatu hukuman. Hukuman-hukuman yang terdapat dalam syari’at Islam sangatlah komprehensif. Karena di dalamnya mengakomodasi beberapa aspek, diantaranya aspek yang bersinggungan dengan hubungan sesama manusia yaitu berupa pemberlakuan sanksi qishash yang sepenuhnya diserahakan kepada korban dan merupakan hak baginya. Dan adanya pemberlakukan Diyat dan Kafarat yang merupakan suatu keharusan untuk ditunaikan oleh pembuat suatu jarimah. Serta adanya aspek Rububiyah yaitu hubungannya langsung dengan Allah Swt, seperti ditetapkannya hukuman berpuasa. Sementara sanksi dalam

hukum yang berlaku di Indonesia lebih bersifat pertalian antara pelaku kejahatan dengan korban dari suatu tindak pidana. Hal ini dikarenakan sanksi pidana dalam syari’at Islam tidak sama dengan hukum buatan manusia yang aturan-aturannya ada setelah terjadinya suatu kejadian yang dikiranya perlu dibuat suatu aturan dan sanksi, jika perbuatan tersebut termasuk ke dalam tindak pidana ataupun kriminal.

Di samping itu syari’at Islam dalam menjatuhkan hukuman mempunyai tujuan untuk membentuk masyarakat yang baik dan yang kuasai oleh rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya. Karena suatu jarimah pada hakekatnya adalah perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak keadilan serta mengakibatkan kemarahan masyarakat terhadap pembuatnya, di samping menimbulkan rasa kasih sayang terhadap korbannya, maka hukuman yang dijatuhkan atas diri pembuat tidak lain merupakan salah satu cara menyatakan reaksi dan balasan dari masyarakat terhadap perbuatan atau pembuat yang telah melanggar kehormatannya dan merupakan usaha penenangan terhadap diri korban. Dengan hukuman itu dimaksudkan untuk memberikan rasa derita yang harus dialami oleh pembuat dan semata-mata memohon pengampunan dari sang Khaliq Allah Swt. Dengan