• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN TINDAK PIDANA PENYIMPANGAN SEKSUAL MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN HUKUM ISLAM. SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERBANDINGAN TINDAK PIDANA PENYIMPANGAN SEKSUAL MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN HUKUM ISLAM. SKRIPSI"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN TINDAK PIDANA PENYIMPANGAN SEKSUAL MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN HUKUM ISLAM.

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dalam memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

OLEH:

LIGA SAPLENDRA GINTING NIM: 130200433

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

PERBANDINGAN TINDAK PIDANA PENYIMPANGAN SEKSUAL MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN HUKUM ISLAM.

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dalam memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

OLEH:

LIGA SAPLENDRA GINTING NIM: 130200433

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, S.H., M.H NIP.195703261986011001

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Dr. M. Hamdan, S.H., M.H Dr. M. Ekaputra, S.H., M.Hum NIP.195703261986011001 NIP.197110051998011001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya yang selalu Penulis dapatkan, termasuk sepanjang proses perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini. Skripsi ini diberi judul

“Perbandingan Tindak Pidana Penyimpangan Seksual Menurut Hukum Positif di Indonesia dan Hukum Islam” yang disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari adanya keterbatasan dalam pengerjaan skripsi ini, namun semua itu dapat diatasi berkat motivasi dan bantuan dari berbagai pihak yang terkait. Untuk itu pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kedua Orang Tua Penulis, yakni Bak Juang Ginting dan Martalina Sembiring yang terus mendoakan dan memberi semangat kepada Penulis, memberi dukungan materi maupun dukungan moril yang tak terbalaskan serta kasih sayang tulus yang diberikan hingga menjadikan Penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini. Penulis mendapatkan banyak dukungan, semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(4)

3. Bapak Dr. Saidin, S.H., M.Hum., selaku wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing I Penulis yang memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini;

7. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Bapak Dr. M. Ekaputra, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini;

9. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo S.H., M.Hum., selaku Dosen Penasihat Akademik Penulis yang telah memberi masukan-masukan;

10. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Hukum USU selaku Staff Pengajar yang telah memberi dan mengajarkan segala ilmu pengetahuan kepada Penulis selama masa perkuliahan berlangsung;

11. Seluruh Staff Administrasi serta Pegawai di Fakultas Hukum yang telah membantu Penulis dalam berbagai hal;

(5)

12. Teman-teman seperjuangan yang banyak memberikan dukungan, kritik, saran dan motivasi, serta semua pihak lainnya yang telah membantu dengan tulus dan ikhlas hingga skripsi ini selesai.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, April 2017 Penulis

Liga Saplendra Ginting

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...iv

ABSTRAKSI...vii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Perumusan Masalah...7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...7

D. Keaslian Penulisan...9

E. Tinjauan Kepustakaan...9

1. Tindak Pidana...9

a. Tindak Pidana Menurut Kajian Hukum Pidana...9

b. Tindak Pidana Menurut Kajian Hukum Islam...12

2. Tujuan Hukum Pidana...14

3. Hukum Islam...16

F. Metode Penelitian...20

G. Sistematika Penulisan...25

BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA PENYIMPANGAN SEKSUAL MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Pengertian Penyimpangan Seksual...28

B. Faktor Penyebab Terjadinya Penyimpangan Seksual...35

(7)

C. Dampak Penyimpangan Seksual...40

D. Pengaturan Tindak Pidana Penyimpangan Seksual Menurut Hukum Positif di Indonesia...46

1. Pengaturan Homoseksual dan Lesbian... 46

2. Pengaturan Pedofilia... 47

3. Pengaturan Incest (Sumbang)...55

4. Pengaturan Zina...57

5. Pengaturan Perkosaan...59

6. Pengaturan Eksibisionisme...61

7. Pengaturan Bestialitas...64

BAB III : PENGATURAN TINDAK PIDANA PENYIMPANGAN SEKSUAL MENURUT HUKUM ISLAM A. Sejarah Terjadinya Penyimpangan Seksual...66

B. Dasar Hukum Penyimpangan Seksual dalam Hukum Islam...70

1. Penyimpangan Seksual Menurut Al-Quran...70

2. Penyimpangan Seksual Menurut Hadis...71

C. Pengaturan Tindak Pidana Penyimpangan Seksual Menurut Hukum Islam...73

1. Pengaturan Homoseksual dan Lesbian...73

2. Pengaturan Incest (Sumbang)...74

3. Pengaturan Zina...76

4. Pengaturan Nekrofilia...76

5. Pengaturan Perkosaan...77

(8)

6. Pengaturan Eksibisionisme...80 7. Pengaturan Bestialitas...81

BAB IV : PERBANDINGAN PENGATURAN TINDAK PIDANA PENYIMPANGAN SEKSUAL MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN HUKUM ISLAM.

A. Perbandingan Sumber Hukum Tindak Pidana Penyimpangan Seksual Menurut Hukum Positif di Indonesia dan Hukum Islam...83 B. Perbandingan Perbuatan Tindak Pidana Penyimpangan Seksual Menurut

Hukum Positif di Indonesia dan Hukum Islam...87 C. Perbandingan Sanksi Pidana Tindak Pidana Penyimpangan Seksual

Menurut Hukum Positif di Indonesia dan Hukum Islam...98

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan...107 B. Saran...110

DAFTAR PUSTAKA

(9)

ABSTRAK Liga Saplendra Ginting

M. Hamdan**

M. Ekaputra***

Skripsi ini berbicara tentang Perbandingan Tindak Pidana Penyimpangan Seksual menurut hukum positif di Indonesia dan hukum Islam. Karena dampak buruk yang dihasilkan penyimpangan seksual saat ini sangat membahayakan kepentingan bangsa dan negara. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yakni penelitian yang mempelajari berbagai norma- norma hukum. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan yang berkaitan dengan pemasalahan di dalam skripsi.

Pengaturan tindak pidana penyimpangan seksual menurut hukum positif di Indonesia diatur di dalam KUHP, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) No. 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan ke dua Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Di dalam KUHP tindak pidana penyimpangan seksual secara spesifik diatur di dalam BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesopanan. Adapun tindak pidana penyimpangan seksual yang diatur di dalam BAB XIV adalah Homoseksual dan Lesbian, Pedofilia, Incest (Sumbang), Zina, Perkosaan dan Eksibisionisme.

Pengaturan tindak pidana penyimpangan seksual menurut hukum Islam diatur di dalam Al-Qur‟an, As-Sunnah dan Ijtihad. Tindak pidana penyimpangan seksual adalah tindak pidana yang dikategorikan ke dalam tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja. Hukum islam tidak memandang apakah objek tindak pidana adalah orang yang dewasa atau tidak.

Nilai-nilai yang saat ini mengatur mengenai penyimpangan seksual sangat bertentangan dengan masyarakat Indonesia yang berKeTuhanan, sehingga banyak dampak buruk yang terus meningkat dari perbuatan hina ini. dan apabila masih dilanjutkan, maka dampak buruk tersebut tentunya akan terus meningkat. Maka dari itu Hukum Islam dianggap dapat memberikan jawaban serta solusi yang relevan dan komprehensif di dalam pengaturan mengenai tindak pidana penyimpangan seksual kedepannya.

Kata kunci : Penyimpangan Seksual, Hukum Positif di Indonesia, Hukum Islam

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

*** Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Seiring dengan perkembangan zaman, maka berkembang pula kemajuan budaya dan teknologi yang diiringi dengan perkembangan perilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat. Perkembangan perilaku tersebut apabila ditinjau dari segi hukum terdapat perilaku yang dapat dikategorikan sesuai dengan norma dan ada perilaku yang tidak sesuai dengan norma. Terhadap perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku, tidak menjadi masalah. Terhadap perilaku yang tidak sesuai norma biasanya dapat menimbulkan permasalahan di bidang hukum dan merugikan masyarakat. Perilaku yang tidak sesuai norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketertiban dan ketentraman kehidupan manusia.1

Sistem hukum Indonesia haruslah didasarkan kepada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini sebabnya mengapa sistem peradilan di Indonesia yang

merupakan bagian dari sistem hukum, harus didasarkan kepada prinsip ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Setiap putusan hakim, demi keadilan berdasarkan

ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula dalam Pembukaan UUD 1945, Tuhan diakui sebagai pemberi rahmat bagi upaya terwujudnya cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia dalam kata-kata : “... atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.., maka rakyat Indonesia, menyatakan dengan ini kemerdekaannya...”. Bahkan mengenai sumpah Presiden dan Wakil Presiden juga

1 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, Hal. 1.

(11)

diatur berdasarkan Pasal 9 UUD 1945, harus diucapkan dimulai dengan kata-kata

“Demi Allah”.2 Sejalan dengan hal tersebut di dalam Pasal 29 ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa Negara (Republik Indonesia) berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Roni Wijayanto dalam bukunya mengutip pendapat Soedarto yaitu, hukum pidana secara umum ditanggapi sebagai semua peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang berupa larangan dan bersifat memaksa, di mana penjatuhan pidana diberikan kepada seseorang yang melanggarnya. Menurutnya bahwa hukum pidana memuat aturan- aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu akibat yang berupa pidana.3

Dr. Marlina dalam bukunya Hukum Penitensier mengutip pendapat Roeslan Saleh tentang tujuan pidana, yaitu :4

1. Dari segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan;

2. Dari segi pembalasan yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu yang bersifat melawan hukum sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan melawan hukum. Di samping mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.

2 Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Angkasa, 1996, Hal. 194.

3 Roni Wijayanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2012, Hal. 9.

4 Marlina, Hukum Penitensier, Bandung, Refika Aditam, 2011, Hal. 24-25.

(12)

Realita di lapangan apabila melihat tujuan dari pidana yang diungkapkan Roeslan Saleh tersebut di atas dan dikaitkan dengan tindak pidana penyimpangan seksual yang telah diatur di dalam hukum pidana Indonesia (Kitab Undang- Undang Hukum Pidana) ternyata masih jauh dari harapan dan tujuan dari hukum pidana tersebut.

Terungkapnya kasus kekerasan seksual di Jakarta International School (JIS) menjadi pehatian sebagian besar masyarakat di Indonesia, mengingat kasus ini terjadi di lembaga pendidikan anak bertaraf internasional dan diduga dilakukan oleh seorang pegawai sekolah tersebut. Sepanjang Maret 2017 saja berbagai pengungkapan kasus pedofilia menunjukkan sebaran yang luas. Kasus-kasus yang diungkap merentang dari NTB hingga Sumatera Utara. Meluasnya kasus-kasus ini juga tergambar dari terungkapnya grup pedofil di Facebook yang beranggotakan 7.000-an orang. Di Sumatera Utara, kepolisian menangkap tersangka pelaku sodomi terhadap puluhan anak di Batang Angkola, Tapanuli Selatan, jumlah korban perbuatan cabul mencapai 42 anak dan tersebar di sejumlah daerah.

Di NTB Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB belakangan mengungkap kasus pedofilia yang dilakukan seorang warga negara Italia bernama Bruno Gallo.5 Koran Republika memaparkan data tentang kejahatan pedofilia di beberapa kota di Indonesia pada bulan Maret tahun 2017:

5 Mutia Ramadhani, “Daerah Waspada Pedofilia”, Republika, Artikel, 21 Maret 2017, Hal. 1.

(13)

Sumber: Pusat Data Republika

Fenomena penyimpangan seksual muncul dan menyita perhatian masyarakat luas. Sebutlah kasus prostitusi online yang melibatkan sejumlah artis ternama di negeri ini.

Fenomena maraknya berbagai penyimpangan seksual yang terjadi dewasa ini, seperti Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT), misalnya, tidak dapat dianggap remeh. Kehadirannya ibarat virus mematikan yang akan menggrogoti moral serta akhlak masyarakat yang pada gilirannya akan mengantarkan pada jurang kehancuran, cepat atau lambat. Kondisi demikian, apabila dibiarkan berlarut-larut akan berimplikasi negatif bagi moralitas umat serta meruntuhkan sendi-sendi agama.

Perilaku homoseksual menyebabkan timbulnya penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Pada tahun 1979, penyakit ini baru diketahui. Pusat penyakit yang berada di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat melapokan ada satu

(14)

penyakit aneh menimpa pada lima pemuda. Penyakit itu adalah pneumo cystis carini pheumonia, yang mengherankan kelima pemuda itu semuanya pelaku homoseksual. Dr. Martin, seorang anggota panitia khusus yang dibentuk UNISCO di tahun 1969 untuk meneliti penyakit seksual yang disebabkan oleh kelainan seks, menyatakan bahwa penyebab utama penyakit syphilish dan gonorhea adalah homoseksual. Di lain pihak, 65% penyakit syphilish yang terjadi pada kurun waktu 1960-1962 di London disebabkan homoseksual.6

George Harvard dalam bukunya Revolusi Seks mengungkapkan, “kita tidak begitu khawatir terhadap bahaya nuklir yang mengancam kehidupan manusia di abad modern ini, yang dikhawatirkan adalah serangan bom seks yang setiap saat dapat meledak, mengahancurkan moral manusia.” Pandangan semacam ini juga dilontarkan oleh sejarawan Arnold Toynbee yang mengatakan, “dominasi seks dewasa ini akan mengakibatkan runtuhnya peradaban manusia.”7

Hukuman dibuat untuk mencegah timbulnya pelanggaran aturan dan menimbulkan efek jera agar para pelakunya tidak lagi mengulangi perbuatan serupa dan tidak terlepas dari nilai keadilan yang utama. Bertitik tolak dari aspek tersebut, maka telaah hukum, yaitu mengenai penyimpangan seksual akan menjadi sisi lain dari ketidakhormatan pada sisi wahyu, spiritualitas dan ritualitas, serta moralitas. Dalam telaah penyimpangan seksual misalnya LGBT dengan mengatasnamakan HAM, faktanya justru banyak melanggar, bukan saja terhadap

6 Jaslin Bin Muhammad Bin MuHalhil Al Yasin, Seks Islami, Jakarta, Pt Al Mawardi Prima, 2006. Hal. 137.

7 Fathi Yakan, Al-Islam Waal-Jins, Penerj. Syafril Halim, Islam Dan Seks, Jakarta, Al- Hidayah, 1989, Hal. 78.

(15)

agama, tetapi Dasar Negara Pancasila dan UUD 1945. Bukan hanya itu, aspek penyakit seperti HIV dan AIDS pun mengancam para pelaku LGBT, bahkan pelaku LGBT ini dinilai oleh para ahli sudah mempunyai “penyakit psikologis tertentu”. Adapun propaganda berupa perang pemikiran seperti permintaan agar pernikahan sesama jenis dilegalkan, merupkan pemikiran kontroversial yang menyerang Indonesia dengan berbagai aliran dan ideologi yang sejatinya amat bertentangan dengan Pancasila.

Sangat diharapkan regulasi mengenai penyimpangan seksual kedepannya haruslah lebih komprehensif, serta relevan dengan kepentingan masyarakat dan tentunya dapat menjaga dan melindungi seluruh kepentingan, baik itu kepentingan yang bersifat horizontal (Manusia dengan Manusia) maupun yang bersifat vertikal (Manusia dengan Tuhan).

Hal tersebut sesuai dengan tujuan hukum yang disebutkan oleh Jeremy Bentham bahwa hukum harus menuju kearah barang apa yang berguna (anggapan yang mengutamakan utilitet utiliteis theorie). Menurut anggapan itu hukum mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang lain.8

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi yang berjudul “PERBANDINGAN TINDAK PIDANA PENYIMPANGAN SEKSUAL MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN HUKUM ISLAM.”

8 Chainur Arrasjid, Dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2001, Hal. 41.

(16)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Penyimpangan Seksual menurut Hukum Positif di Indonesia?

2. Bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Penyimpangan Seksual menurut Hukum Islam?

3. Bagaimana Perbandingan Pengaturan Tindak Pidana Penyimpangan Seksual menurut Hukum Positif di Indonesia dan Hukum Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui Pengaturan Penyimpangan Seksual menurut Hukum Positif di Indonesia.

b. Untuk mengetahui Pengaturan Penyimpangan Seksual menurut Hukum Islam.

c. Untuk mengetahui Perbandingan Pengaturan Tindak Pidana Penyimpangan Seksual menurut Hukum Positif di Indonesia dan Hukum Islam.

(17)

2. Manfaat Penelitian a. Secara Teoritis

Secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan akan dapat bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi baik dalam bentuk masukan, pemikiran serta menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur di dalam dunia akademis serta menambah kepastian hukum pada khususnya dan menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut dalam bidang hukum pidana pada umumnya dan tentang Perbandingan Tindak Pidana Penyimpangan Seksual Menurut Hukum Positif di Indonesia dan Hukum Islam penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian untuk meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta menambah wawasan khususnya dibidang ilmu hukum baik dalam konteks teori dan asas-asas hukum, serta memperdalam mengenai aspek hukum terhadap tindak pidana penyimpangan seksual menurut Hukum Positif di Indonesia dan Hukum Islam.

b. Secara Praktis

Secara praktis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah wawasan dan dapat menjadi sumbangsih serta bahan masukan terhadap perkembangan hukum di Indonesia dan memberikan sumbangan pemikiran untuk dijadikan sebagai bahan dan pedoman bagi Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum dalam upaya dan pengembangan Hukum Positif dan Hukum Islam mengenai ketentuan tindak pidana penyimpangan seksual.

(18)

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “Perbandingan Tindak Pidana Penyimpangan Seksual Menurut Hukum Positif di Indonesia dan Hukum Islam”. Sepanjang pengamatan dan penelusuran Penulis di Fakultas Hukum USU belum ada yang membahasnya ataupun pembahasan judul yang sama. Penulisan ini disusun berdasarkan literatur-literatur yang telah ada, baik dari literatur perpustakaan, media cetak ataupun media elektronik. Oleh karena itu penulisan skripsi ini adalah karya hasil Penulis dan apabila ternyata dikemudian hari terdapat judul dengan permasalahan sama, maka penulis akan bertanggung jawab atas skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Tindak Pidana

a. Tindak Pidana Menurut Kajian Hukum Pidana

Strafbaar Feit yang merupakan istilah asli bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang mempunyai berbagai arti di antaranya, yaitu: tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang dapat dipidana.9

Perkataan “Feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een geedelte van de werkwlijkheid”. Sedang “Strafbaar”

berarti “dapat dihukum”, hingga secara harfiah perkataan “Strafbaar Feit” dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan.10

9 Roni Wijayanto, Op.Cit, Hal. 160.

10 P.A.F. Lamintang, Op.Cit., Hal. 181.

(19)

Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan Strafbaar Feit untuk menyebutkan apa yang kemudian dikenal sebagai “Tindak Pidana” di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “Strafbaar Feit” tersebut.11 Di dalam prakteknya para ahli memberikan berbagai definisi Strafbaar Feit atau tindak pidana berbeda-beda, sehingga perkataan tindak pidana mempunyai banyak arti.12

Profesor Pompe mengatakan “Strafbaar Feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran” norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku. Dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.13

Kemudian apa yang dimaksud dengan tindak pidana, menurut Simons didefinisikan sebagai suatu perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (Onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (Schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.

Rumusan tindak pidana yang diberikan Simons tersebut dipandang oleh Jonker dan Utrecht sebagai rumusan yang lengkap, karena akan meliputi: 14

a) Diancam dengan pidana oleh hukum;

b) Bertentangan dengan hukum;

c) Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (Schuld);

d) Seseorang tersebut dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

Van Hammel juga sependapat dengan rumusan tindak pidana dari Simons, tetapi ia menambahkan adanya “sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat

11 Ibid.

12 Roni Wijayanto Op.Cit.

13 P.A.F. Lamintang, Op.Cit, Hal. 162.

14 Roni Wijayanto, Op. Cit.

(20)

dihukum”. Jadi pengertian tindak pidana menurut Van Hamel meliputi lima unsur, yakni ;15

a) Diancam dengan pidana oleh hukum;

b) Bertentangan oleh hukum;

c) Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (Schuld);

d) Seseorang tersebut dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya;

e) Sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum.

Sedangkan Vos merupakan salah satu di antara para ahli yang merumuskan tindak pidana secara singkat, yaitu hanya mencakup kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberi pidana. Kemudian pengertian tindak pidana yang diberikan Vos tersebut, dikomentari oleh Satochid Karta Negara , ia mengatakan rumusan Vos tersebut sama saja memberikan keterangan “een vierkante tafel is vier kant” (meja segi itu adalah segi empat), karena definisinya tidak menjepit isinya, sedangkan pengertian “orang” dan

“kesalahan” juga tidak disinggung, karena apa yang dimaksud Strafbaar Feit, sebagai berikut: 16

a) Pelanggaran atau pemerkosaan kepentingan hukum (Schanding of kreenking van een rechtsbelang);

b) Sesuatu yang membahayakan kepentingan hukum (het in gevearbrengen van een rechtsbelang).

Kepentingan hukum yang dimaksud Satochid Karta Negara ialah tiap-tiap kepentingan yang harus dijaga agar tidak dilanggar, yang terdiri atas tiga jenis, yaitu:17

a) Kepentingan perseorangan, yang meliputi: jiwa (leven), badan (lijk), kehormatan (eer) dan harta benda (Vermogen).

b) Kepentingan masyarakat, yang meliputi : ketentraman dan keamanan (rusten orde).

15 Ibid.

16 Ibid., Hal. 161.

17 Ibid.

(21)

c) Kepentingan Negara adalah keamanan Negara.

Dari berbagai pendapat para ahli tersebut di atas Penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana atau Strafbaar Feit merupakan rumusan yang memuat unsur-unsur tertentu yang menimbulkan dapat dipidananya seseorang atas perbuatannya yang dianggap telah melanggar kepentingan hukum yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan pidana.

b. Tindak Pidana Menurut Kajian Hukum Islam

Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayat atau jarimah. Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinayah merupakan bentuk verbal dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abdul Qodir Audah bahwa jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.18

Hukum Pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fiqh jinayah adalah segala ketentuan mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh seorang mukallaf (orang yang dibebani kewajiban), sebagai hasil pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al-Qur‟an dan Hadits.19 Tindakan kriminal dimaksud, adalah tindakan-tindakan kejahatan yang menganggu ketertiban umum serta tindakan melawan hukum atau tindakan

18 Gunawan Sri Guntoro,

http://gunawansriguntoro.wordpress.com/2011/12/20/jinayattindak-pidana-dan-peradilan-dalam- islam/, diakses pada hari Jum‟at, 24 Maret 2017, Pukul 04.35 WIB.

19 Zainuuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, Hal. 1.

(22)

melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Hadits.

Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqaha (ahli fiqih), perkataan Jinayat berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara’. Meskipun demikian, pada umunya fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang terlarang menurut syara‟.20

Meskipun demikian, pada umumnya fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqaha yang membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta’zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan-larangan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.

Hukum pidana Islam merupakan syariat Allah SWT yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syariat Islam dimaksud secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk melaksanakannya.21 Konsep kewajiban asasi syariat, yaitu menempatkan Allah SAW sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana yang berkewajiban

20 Gunawan Sri Guntoro, Op.Cit.

21 Ibid.

(23)

memenuhi perintah Allah SWT. Perintah Allah SWT, dimaksud, harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.

2. Tujuan Hukum Pidana

Merumuskan hukum pidana ke dalam rangkaian kata untuk dapat memberikan sebuah pengertian yang komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana, adalah sangat sukar. Namun setidaknya dengan merumuskan hukum pidana menjadi sebuah pengertian dapat membantu memberikan gambaran/deskripsi awal tentang hukum pidana. Banyak pengertian dari hukum pidana yang diberikan oleh para ahli hukum di antaranya adalah sebagai berikut:22

W.L.G. Lemaire

Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan- keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian juga dapat dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan- tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau atau tidak melakukan sesuatu di mana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan- keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.

Simons

Menurut Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam arti objektif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in subjectieve zin.

Secara umum hukum pidana berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan kehidupannya yang berbeda-beda terkadang mengalami pertentangan antara satu dengan yang lainnya,

22 Mohammad Ekaputra , Dasar-dasar Hukum Pidana Edisi 2, Medan : Usu Press, 2013, Hal. 1.

(24)

yang dapat menimbulkan kerugian atau mengganggu kepentingan orang lain dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut maka hukum memberikan aturan-aturan yang membatasi perbuatan manusia, sehingga ia tidak dapat berbuat sekehendak hatinya.23

Berkenaan dengan tujuan hukum pidana (strafrechtscholen) dikenal dua aliran dibentuknya peraturan hukum pidana, yaitu:24

a) Aliran klasik

Menurut aliran kalsik (de klassieke school/de klassieke richting) tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa (Negara). Peletak dasarnya adalah Markies Van Beccaria yang menulis tentang

“dei delitte edelle pene” (1764). Di dalam tulisan itu menuntut agar hukum pidana harus diatur dengan undang-undang yang harus tertulis. Pada zaman sebelum pengaruh tulisan Beccaria itu, hukum pidana yang ada sebagian besar tidak tertulis dan di samping itu kekuasaan raja absolute dapat menyelenggarakan pengadilan yang sewenang-wenang dengan menetapkan hukum menurut perasaan dari hakim sendiri. Penduduk tidak tahu pasti perbuatan mana yang dilarang dan beratnya pidana yang diancamkan karena hukumannya tidak tertulis. Proses pengadilan berjalan tidak baik, sampai terjadi peristiwa yang menggemparkan rakyat seperti di Perancis dengan kasus Jean Calas Te Toulouse (1762) yang dituduh membunuh anaknya sendiri bernama Mauriac Antonie Calas, karena anaknya itu terdapat mati di rumah ayahnya. Di dalam pemeriksaan Calas tetap tidak mengaku dan oleh hakim tetap dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana mati dan pelaksanaannya dengan guillotine. Masyarakat tidak puas, yang menganggap Jean Calas tidak bersalah membunuh anaknya, sehingga Voltaire mengecam putusan pengadilan itu, yang ternyata tuntutan untuk memeriksa kembali perkara Calas itu dikabulkan. Hasil pemeriksaan ulang menyatakan Mauriac mati dengan bunuh diri. Masyarakat menjadi gempar karena putusan itu, dan selanjutnya pemuka-pemuka masyarakat seperti J. J. Rousseau dan Montesquieu turut menuntut agar kekuasaan raja dan penguasa-penguasanya agar dibatasi oleh hukum tertulis atau undang-undang. Semua peristiwa yang diabadikan itu adalah usaha untuk melindungi individu guna kepentingan hukum perseorangan. Oleh karenanya mereka menghendaki agar diadakan suatu peraturan tertulis supaya setiap orang mengetahui tindakan-tindakan mana yang terlarang atau tidak, apa ancaman hukumannya dan lain sebagainya. Dengan demikian diharapkan terjamin hak-hak manusia dan kepentingan hukum perseorangan. Peraturan tertulis itu akan menjadi pedoman bagi rakyat, akan melahirkan kepastian hukum serta dapat menghindarkan masyarakat dari kesewenang-wenangan. Pengikut-pengikut ajaran

23 Ibid., Hal.11.

24 Ibid.

(25)

ini menganggap bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk menjamin kepentingan hukum individu. Setiap perbuatan yang dilakukan seseorang (individu) yang oleh undang-undang hukum pidana dilarang dan diancam oleh pidana harus dijatuhkan pidana. Menurut aliran klasik, penjatuhan pidana dikenakan tanpa memperhatikan keadaan pribadi pembuat pelanggaran hukum, mengenai sebab-sebab yang mendorong dilakukan kejahatan (etiologi kriminil) serta pidana yang bermanfaat, baik bagi orang yang melakukan kejahatan maupun bagi masyarakat sendiri (politik kriminil).

b) Aliran modern

Aliran modern (de moderne school/de moderne richting) mengajarkan tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan.

Sejalan dengan tujuan tersebut, perkembangan hukum pidana harus memperhatikan kejahatan serta keadaan penjahat. Kriminologi yang objek penelitiannya antara lain adalah tingkah laku orang perseorangan dan/atau masyarakat adalah salah satu ilmu yang memperkaya ilmu pengetahuan hukum pidana. Pengaruh kriminologi sebagai bagian dari social science menimbulkan suatu aliran baru yang menganggap bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk memberantas kejahatan agar kepentingan hukum masyarakat terlindungi

3. Hukum Islam

Zainudin Ali mengutip pendapat Ahmad Rafiq yang menyatakan hukum Islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama Islam.25

Menurut Wahyuni Retnowulandari hukum Islam adalah kumpulan norma- norma yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk kehidupan manusia dalam hidupnya secara pribadi dalam hubungannya dengan orang lain dalam bermasyarakat, makhluk lain dan dengan Allah.26

Dalam hukum Islam terdapat juga istilah syariat. Yang dimaksud dengan syariat atau yang ditulis dengan syariah secara harfiah adalah jalan ke sumber

25 Zainuddin Ali, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, Hal. 3.

26 Wahyuni Retnowulandari, Hukum Islam dan Tata Hukum di Indonesia, Jakarta:

Trisakti, 2009, Hal. 13.

(26)

mata air yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim. Syariat merupakan jalan hidup muslim. Syariat memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan maupun berupa suruhan, meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Dilihat dari segi ilmu, syariat merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat. Norma hukum dasar ini dijelaskan atau dirinci lebih lanjut oleh Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya. Karena itu syariat terdapat di dalam Al- Quran dan di dalam kitab-kitab hadis. Menurut sunnah Nabi Muhammad SAW, umat Islam tidak akan pernah sesat dalam perjalanan hidupnya di dunia ini selama mereka berpegang teguh atau berpedoman kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Dengan perkataan lain, umat Islam tidak pernah akan sesat dalam perjalanan hidupnya di dunia ini selama ia mempergunakan pola hidup, pedoman hidup, tolak ukur hidup dan kehidupan yang terdapat dalam Al-Quran dan kitab- kitab hadis yang sahih.27

Adapun ruang lingkup hukum Islam adalah sebagai berikut. Jika membandingkan hukum Islam bidang muamalah dengan hukum barat yang membedakan antara hukum privat dengan hukum publik, maka sama halnya dengan hukum adat di tanah air kita, hukum Islam tidak membedakan dengan tajam antara hukum perdata dengan hukum publik. Ini disebabkan karena menurut sistem hukum Islam pada hukum perdata terdapat segi-segi publik dan pada

27 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1998, Hal. 56.

(27)

hukum publik ada segi-segi perdatanya. Itulah sebabnya maka dalam hukum Islam tidak berdasarkan kedua bidang hukum itu. Yang disebutkan adalah bagian- bagiannya saja seperti misalnya, (1) munakahat, (2) wirasah, (3) mu’amalat, (4) jinayat, (5) al-ahkam as-sulthaniyah, (6) siyar, (7) mukhasamat. Kalau bagian- bagian hukum Islam itu disusun menurut sistematik hukum barat yang membedakan antara hukum perdata dengan hukum publik seperti yang diajarkan dalam Pengantar Ilmu Hukum di tanah air maka susunan hukum muamalah dalam arti luas itu adalah sebagai berikut:28

Hukum perdata Islam adalah:

(1) munakahat mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian dan akibat-akibatnya;

(2) wirasah mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan;

(3) muamalat dalam arti khusus mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan dan sebagainya.

Hukum publik Islam adalah:

(4) jinayat yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah takzir. Yang dimaksud dengan jarimah adalah perbuatan pidana, jarimah hudud adalah perbuatan yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumnya dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad. Jarimah takzir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya;

(5) al-ahkam as-sulthaniyah membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan, baik pemerintahan pusat maupun daerah, tentara, pajak dan sebagainya;

(6) syiar mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain;

(7) mukhasamat mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara.

Secara umum sering dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mecegah atau menolak yang mudarat,

28 Ibid.

(28)

yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Dengan kata lain, tujuan hukum islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia ini saja tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak. Abu Ishaq Al Shatibi (m.d. 790/1388) merumuskan lima tujuan hukum Islam. Yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta, yang (kemudian) disepakati oleh ilmuan hukum Islam lainnya. Al-maqasid al-khamsah atau Al-maqasid al-shari’ah.29

(1) Pemeliharaan agama merupakan tujuan hukum Islam. Sebabnya adalah karena agama merupakan pedoman hidup manusia, dan di dalam hukum Islam selain komponen-komponen akidah yang merupakan pegangan hidup setiap muslim serta akhlak yang merupakan sikap hidup seorang muslim, terdapat juga syariah yang merupakan jalan hidup seorang muslim baik dalam berhubungan dengan tuhannya maupun dalam berhubungan dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Ketiga komponen itu, dalam agama Islam berjalin berkelindan. Karena itulah maka hukum islam wajib melindungi agama yang dianut oleh seseorang dan menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut keyakinannya.

(2) Pemeliharaan jiwa merupakan tujuan kedua hukum Islam. Karena itu hukum Islam wajib memelihara hak asasi manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Untuk itu hukum Islam melarang pembunuhan sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang diperguakan oleh manusia untuk dan mempertahankan kemaslahatan hidupnya.

(3) Pemeliharaan akal sangat dipentingkan oleh hukum Islam, karena dengan dipergunakan akalnya manusia dapat berpikir tentang Allah, alam semesta dan dirinya sendiri. Dengan mempergunakan akalnya manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa akal, manusia tidak mungkin pula menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam. Oleh karena itu, pemeliharaan akal menjadi salah satu tujuan hukum Islam.

Pengunaan akal itu harus diarahkan pada hal-hal atau sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan hidup manusia, tidak untuk hal-hal yang merugikan kehidupan. Dan untuk memelihara akal itulah maka hukum Islam melarang orang meminum setiap minuman yang memabukkan yang disebut dengan istilah khamar dalam Al-quran dan menghukum setiap perbuatan yang dapat merusak akal manusia.

29 Ibid. Hal. 61.

(29)

(4) Pemeliharaan keturunan, agar kemurnian darah dapat dijaga dan kelanjutan umat manusia dapat diteruskan, merupakan tujuan ke empat umat Islam. Hal ini tercermin dari hubungan darah yang menjadi syarat untuk dapat saling mewarisi, larangan-larangan perkawinan yang disebut secara rinci dalam Al-quran, dan larangan berzina. Hukum kekeluargaan dalam kewarisan islam adalah hukum-hukum yang secara khusus diciptakan Allah untuk memelihara kemurnian darah dan kemaslahatan keturunan. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa dalam Al-quran, ayat- ayat hukum mengenai kedua bagian hukum islam ini diatur lebih rinci dan pasti dibandingkan dengan ayat-ayat hukum lainnya. Maksudnya adalah agar pemeliharaan dan kelanjutan keturunan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.

(5) Pemeliharaan harta adalah tujuan kelima hukum Islam. Menurut ajaran hukum Islam, harta adalah pemberian tuhan kepada manusia, agar manusia dapat mempertahankan hidup dan melangsungkan kehidupannya. Oleh karena itu, hukum Islam melindungi hak manusia untuk memperoleh harta dengan cara-cara yang halal dan sah serta melindungi kepentiangan harta seseorang, masyarakat dan negara, misalnya dari penipuan, penggelapan, perampasan, pencurian, dan kejahatan lain terhadap harta orang lain.

Peralihan harta seseorang setelah ia meningal pun diatur secara rinci oleh hukum Islam agar peralihan itu dapat berlangsung dengan baik dan adil berdasarkan fungsi dan tanggung jawab seseorang dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat.

F. Metode penelitian 1. Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas, meliputi:

30

a. Sebagai sumber datanya hanyalah data skunder yang terdiri dari bahan hukum primer; bahan hukum skunder; atau data tersier.

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari:

30 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1984, Hal. 114.

(30)

a) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

b) Peraturan dasar.

(1) Batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945

(2) Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

c) Peraturan perundang-undangan:

(1) Undang-undang dan peraturan yang setaraf, (2) Peraturan Pemerintah dan peraturan yang setaraf, (3) Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf, (4) Keputusan Menteri dan peraturan yang setaraf, (5) Peraturan-peraturan daerah.

d) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat, e) Yurisprudensi.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedia.

b. Penelitian hukum normatif sepenuhnya menggunaan data sekunder (bahan kepustakaan), penyusunan kerangka teoritis yang bersifat skema dapat ditinggalkan, tetapi penyusunan kerangka konsepsional mutlak diperlukan.

Di dalam menyusun kerangka konsepsional, dapat dipergunakan perumusan-perumusan yang terdapat di dalam peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar penelitian.

c. Penelitian hukum normatif tidak diperlukan hipotesis, kalaupun ada, hanya hipotesis kerja.

d. Konsekuensi dari (hanya) menggunakan data sekunder, maka pada penelitian hukum normatif tidak diperlukan sampling, karena data sekunder (sebagai sumber utamanya) memiliki bobot dan kualitas tersendiri yang tidak dapat diganti dengan data jenis lainnya. Biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisisnya. Salah satu bahayanya menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa tidak jarang seorang peneliti sedemikian tertariknya pada pengolahan dan penyajian data, sehingga dia melupakan analisisnya. Akhirnya, hasil penelitian tersebut bersifat deskriptif belaka, yang mungkin diselingi dengan kesimpulan- kesimpulan yang pada hakikatnya merupakan reformasi dari hasil penemuan-penemuan.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian adalah deksriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang terdiri atas satu variabel atau lebih dari satu variabel. Namun, variabel tidak saling

(31)

bersinggungan sehingga disebut penelitian bersifat deskriptif. Analisis data tidak keluar dari lingkup sampel, bersifat deduktif, berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum kemudian diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau mununjukkan komparasi atau hubungan seperangkat suatu data dengan seperangkat data yang lain.31

3. Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitian adalah data sekunder. Data sekunder tidak boleh dipahamkan sebagai mana kebutuhan dalam kehidupan. Data sekunder itu bukan data yang kurang atau lebih rendah kepentingan penelitiannya bila dibanding dengan data primer. Bahkan data sekunder itu dalam penelitian hukum merupakan ukuran-ukuran resmi tentang pengertian dari unsur-unsur yang diteliti.32

Kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan kepada peneliti semacam petunjuk ke arah mana peneliti melangkah. Apabila tulisan itu berupa tesis, disertasi atau artikel di jurnal hukum, boleh jadi tulisan itu memberi inspirasi bagi peneliti untuk menjadi titik anjak dalam memulai penelitian. Bagi kalangan praktisi bahan hukum sekunder ini bukan tidak mungkin sebagai panduan berpikir dalam menyusun argumentasi yang akan diajukan dalam persidangan atau memberikan pendapat hukum.33

Data sekunder yang digunakan dalam mengkaji adalah sebagai berikut:34

31 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Hal. 11-12.

32 Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum, Medan, Multi Grafik Medan, 2007, Hal. 75.

33 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010, Hal. 196.

34 Johnny Ibrahim, Teori Metode dan Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia, 2005, Hal. 241-242.

(32)

Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hirarki perundang-undangan.

Seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (deherseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi yang berkaitan dengan topik penelitian.

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum ini adalah studi kepustakaan. Kepustakaan tidak boleh dipahamkan harus institusi resmi perpustakaan, tetapi dengan adanya bahan kepustakaan seperti buku berarti sudah terpenuhi sumbernya sebagai kepustakaan.35

5. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif secara kualitatif 36 dengan beberapa langkah. Pertama, menginventarisir dan mengidentifikasikan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang relevan. Kedua, melakukan sistematisasi keseluruhan bahan hukum, asas-asas hukum, teori-teori, konsep- konsep, dan bahan rujukan lainnya dengan cara melakukan seleksi bahan hukum

35 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., Hal. 196.

36 Yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma hukum yang ada di dalam masyarakat.

(Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Cetakan 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Hal. 105.

(33)

kemudian melakukan klasifikasi bahan hukum dan menyusun data hasil penelitian secara sistematis yang dilakukan secara logis dengan menghubungkan dan mengaitkan antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum lainnya.37 Ketiga, analisis bahan hukum yang telah dikumpulkan dilakukan menurut cara- cara analisis dan penafsiran gramatikal serta sistematis dimana interpretasi dilakukan dengan menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan undang-undang lain secara logis dan sistematis.38 Keempat, hasil penelitian yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. Kelima, penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif yaitu pemikiran dimulai dari hal yang umum kepada hal yang khusus.39

6. Pendekatan

Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan statuta approach (pendekatan perundang-undangan) dan comparative approach (pendekatan perbandingan).

Suatu penelitian normatif harus menggunakan pendekatan perundang- undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral.40 Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. 41

Pendekatan perbandingan hukum merupakan kegiatan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain atau hukum dari suatu waktu

37 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, Hal. 160.

38 Hadin Muhjad dan Nunuk Nuswardani, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer, Yogyakarta: Genta Publishing, 2012, Hal. 163.

39 Syamsul Arifin, Falsafah Hukum, Medan: Uniba Press, 2011, Hal. 57.

40 Johnny Ibrahim, Op. Cit., Hal. 248-249.

41 Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., Hal. 96-97.

(34)

tertentu dengan hukum dari waktu yang lain. Di samping itu juga membandingkan suatu putusan pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan lainnya untuk masalah yang sama. Kegiatan ini bermanfaat bagi penyingkapan latar belakang terjadinya ketentuan hukum tertentu untuk masalah yang sama dari dua negara atau lebih. Penyingkapan ini dapat dijadikan rekomendasi bagi penyusunan atau perubahan perundang-undangan.42

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa bab, dimana dalam bab terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I :PENDAHULUAN

Pada bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan serta sistematika penulisan.

BAB II :PENGATURAN TINDAK PIDANA PENYIMPANGAN SEKSUAL MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA Dalam bab ini akan membahas mengenai pengertian penyimpangan seksual, faktor penyebab terjadinya penyimpangan seksual, dampak penyimpangan seksual dan pengaturan tindak pidana penyimpangan seksual menurut hukum positif di Indonesia

42 Ibid., Hal. 133

(35)

BAB III :PENGATURAN TINDAK PIDANA PENYIMPANGAN SEKSUAL MENURUT HUKUM ISLAM

Dalam bab ini akan membahas mengenai sejarah terjadinya penyimpangan seksual, tujuan pengaturan tindak pidana penyimpangan seksual dalam hukum pidana Islam, dasar hukum penyimpangan seksual dalam hukum Islam, dan pengaturan tindak pidana penyimpangan seksual menurut hukum Islam .

BAB IV :PERBANDINGAN TINDAK PIDANA PENYIMPANGAN SEKSUAL MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN HUKUM ISLAM.

Pada bab ini akan dibahas mengenai perbandingan sumber hukum tindak pidana penyimpangan seksual berdasarkan hukum positif dan hukum Islam, perbandingan perbuatan tindak pidana penyimpangan seksual berdasarkan hukum positif dan hukum Islam, serta perbandingan sanksi pidana tindak pidana penyimpangan seksual berdasarkan hukum positif dan hukum Islam.

BAB V :PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang telah dibahas.

(36)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA PENYIMPANGAN SEKSUAL MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

A. Pengertian Penyimpangan Seksual

Pengertian penyimpangan seksual adalah segala bentuk penyimpangan seksual, baik arah, minat, maupun orientasi seksual. Penyimpangan adalah gangguan atau kelainan. Sementara prilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama.

Objek seksualnya juga dapat berupa orang lain, diri sendiri, maupun objek dalam khayalan. Penyimpangan seksual merupakan salah satu bentuk prilaku yang menyimpang karena melanggar norma-norma yang berlaku. Penyimpangan seksual dapat juga diartikan sebagai bentuk perbuatan yang mengabaikan nilai dan norma yang melanggar, bertentangan atau menyimpang dari aturan-aturan hukum.43

Secara umum, penyebab terjadinya penyimpangan seksual adalah multifaktoral, mencakup gejala-gejala di dalam dan di luar pribadi (gejala intrinsik dan ekstrinsik) yang saling berkaitan. Faktor intrinsik adalah faktor herediter atau keturunan, misalnya seorang perempuan dengan sindrom adreno genital, yaitu dengan jumlah hormon androgen adrenal yang terlalu banyak atau berlebihan yang diproduksi selama janin ada dalam rahim, cenderung menjadi wanita tomboy yang kelaki-lakian. Sedangkan faktor ekstrinsik mencakup adanya

43 Siska lis sulistianti, Ibid., Hal. 7.

(37)

kerusakan-kerusakan fisik dan psikis disebabkan oleh pengaruh-pengaruh luar, atau oleh adanya interaksi pengalaman dengan lingkungan yang sifatnya traumatis. Penyimpangan seksual yang terjadi akibat faktor ekstrinsik ini juga dapat ditimbulkan oleh aktifitas hidup, entah dialami semasa kecil, atau ketika dewasa. Bentuknya dapat berupa perlakuan yang tidak layak, seperti perlakuan kasar, kejam, tekanan emosional, penghinaan, kecaman atau pengaruh media.44

Adapun jenis-jenis tindak pidana penyimpangan seksual adalah:

8. Homoseksual dan Lesbian

Homoseks adalah hubungan seks yang dilakukan oleh dua orang dengan jenis kelamin yang sama, baik laki-laki maupun perempuan.45 Kartini Kartono dan Dali Gulo, menyatakan bahwa gay adalah suatu istilah bahasa sehari-hari untuk menyebut homoseks, kini sering kali diakui oleh orang-orang homoseks, yang secara terang-terangan menyatakan orientasi seks mereka. 46 Homoseks merupakan perbuatan keji dan termasuk dosa besar, yang merusak etika, fitrah, agama, dan jiwa manusia. Homoseks adalah hubungan biologis antara sesama jenis kelamin, baik pria maupun wanita. Namun istilah homoseks ini kemudian lebih sering dipakai untuk seks sesama pria sedangkan yang sesama wanita dinamakan lesbian. Homoseks ini dilakukan denga cara memasukan zakar ke dalam dubur. Homosesks menyimpang dari fitrah manusia karena fitrah manusia cenderung kepada hubungan biologis secara heterosex, yakni hubungan seks

44 Didi Junaedi, Penyimpangan Seksual Yang Dilarang Al-Qur’an, Cet. 1, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2016, Hal. 8.

45 Ibid. Hal. 36.

46 Kartini Kartono dan Dali Gulo, Kamus Psikologi, Bandung, CV.Pionir Jaya, 1987, Hal 185.

(38)

antara pria dan wanita.47 Homoseks dalam bahasa arab disebut liwath, dinisbahkan kepada perbuatan kaum Nabi Luth AS yang pertama kali dalam sejarah kehidupan manusia melakukan perbuatan keji tersebut.48

Sedangkan Lesbianisme adalah homoseksual anatara sesama wanita.

Homoseksual adalah keadaan seseorang yang menunjukan prilaku seksual di antara orang-orang dari seks yang sama. Dalam psikologi, lesbian ini tidak dipisahkan pembahasannya dengan homoseksual karena mereka tersebut merupakan bentuk penyimpangan yang sejenis. Istilah homoseksual lebih lazim digunakan bagi pria yang menderita penyimpangan ini, sedang bagi wanita, keadaan yang sama lebih lazim disebut lesbian.49 Adapun lesbianism (dari kata lesbos, atau pulau tengah lautan Egis dalam mitologi Yunani dan dihuni oleh para wanita).50

9. Pedofilia

Pedofilia adalah perilaku orang dewasa yang mendapatkan kepuasan seksual dengan melakukan persetubuhan dengan anak-anak kecil. Tindakan pedofilia dapat berupa memperlihatkan alat kelamin sendiri pada anak-anak, membelai, mencium, mendekap dan melakukan senggama dengan anak-anak.

Pelaku pedofilia biasanya adalah laki-laki yang mempunyai kelainan atau penyimpangan mental, bersifat psikotis, psikopat, alkoholik atau asusila. Umur rata-rata dari orang yang melakukan tindakan ini beskisar antara 35-45 tahun.

47 Ramlan Yusuf Rangkuti, Homoseksual, Jurnal Asy-syir‟ah dan Hukum, vol. 46, No. 1 Januari-Juni 2012, Hal 195.

48 Siska lis sulistiani, Op.Cit., Hal. 43.

49 Sawitri Supardi Sadarjoen, Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, Bandung, PT Rafika Aditama, 2005, Hal. 41.

50 Didi Junaedi, 17+ Seks Menyimpang: Tinjauan Dan Solusi Berdasarkan Alquran Dan Psikologi,Jakarta, Sejuk, 2010, Hal. 41.

(39)

Psikoterapi (pengobatan secara phisikis) biasanya akan lebih berhasil dariada pemenjaraan pada penderita pedofilia tersebut.51

Beberapa kriteria yang termasuk pada pedofilia adalah:52

1) Intens terhadap fantasi sensual, dorongan seksual atau perilaku yang melibatkan aktivitas seksual terhadap anak pra-remaja atau anak-anak (umumnya usia 13 atau lebih muda).

2) Seseorang yang menuruti dorongan seksual dikarenakan faktor 5 tahun lebih tua atau usaha untuk menghilangkan stres dan kesulitan pribadi pada dirinya.

3) Orang tersebut setidaknya 16 tahun atau bahkan 5 tahun lebih tua dari anak pra-remaja atau anak-anak dalam tindakannya.

Di antara kasus yang ada, pelaku pedofilia banyak yang sudah memiliki keluarga sebagai salah satu bentuk kamuflase yang dilakukan untuk menutupi kelainan psikoseksualnya. Dengan memanfaatkan kepolosan anak-anak, para pelaku pidana pedofilia mendekati korbannya dengan menjadi teman atau pendamping yang baik bagi anak dan bahkan kebanyakan pedofil bekerja di sebuah sekolah atau daerah lain yang melibatkan anak-anak sebagai upaya untuk lebih dekat denga calon korban. Selain itu, upaya lain untuk memuaskan gairah seksualnya adalah dengan membujuk anak-anak atau korban dengan hal yang dapat menarik perhatian sehingga ia mau menuruti apa yang diinginkan oleh pelaku bahkan tidak jarang penderita pedofilia memaksa dengan ancaman terhadap anak-anak dibawah umur untuk mendapatkan kesenangan seksual.53

10. Incest (Sumbang)

51 Didi Junaedi, Op.Cit., Hal 51.

52 Siska lis sulistiani, Op.Cit., Hal. 76.

53 Muhammad Asnawi, Lika-Liku Seks Menyimpang Bagaimana Solusinya, T.Tp, Darussalamnoffset, 2005, Hal. 93.

(40)

Sumbang adalah hubungan seks atara laki-laki dan perempuan di dalam atau di luar ikatan perkawinan, dimana mereka terkait dengan hubungan kekerabatan/keturuan yang dekat sekali. Misalnya hubungan seks antara anak- ayah, ibu-anak, adik-kakak, paman-keponakan, dan sebagainya.54 Sumbang banyak terjadi dikalangan masyarakat dari tingkat sosial-ekonomi yang sangat rendah dan pada orang-orang keturunan bangsawan, dengan alasan untuk melanggengkan trah “darah biru/kebangsawanannya”.55

11. Zina

Zina dalam bahasa arab: zinah, menurut bahasa dan istilah syara’ mempunyai pengertian sama, yaitu persetubuhan yang dilakukan seorang laki-laki dan perempuan pada kemaluan depannya tanpa didasari dengan tali kepemilikan dan syubhat kepemilikan. Ulama Hanafiyah menyebutkan bahwa zina adalah koistus yang haram pada kemaluan depan perempuan yang masih hidup dan menggairahkan dalam kondisi atas kemauan sendiri (tidak paksaan) dan kehendak bebasnya di daarul ‘adl (kawasan negara islam yang dikuasai oleh pemerintah atau pemimpin yang sah) oleh orang yang berkewajiban menjalankan hukum- hukum Islam, tidak mempunyai hakikat kepemilikan, tidak memiliki hakikat tali pernikahan, tidak memiliki unsur syubhat kepemilikan, tidak ada unsur syubhat tali pernikahan, tidak mempunyai unsur syubhat berupa kondisi samar dan kabur pada tempat dan kondisi samar dan kabur pada kepemilikan maupun tali pernikahan sekaligus.56

12. Nekrofilia

54 Didi Junaedi, Op. Cit., Hal 55.

55 Ibid.

56 Wahbah Az-Zuhaili, Op.Cit., Hal. 303.

Gambar

Tabel Perbandingan Homoseksual dan Lesbian :  Berdasakan Hukum Positif Di
Tabel Perbandingan Pedofilia:
Tabel Perbandingan Sumbang :  Berdasakan Hukum Positif di
Tabel Perbandingan Nekrofilia:
+7

Referensi

Dokumen terkait

Di dalam hukum pidana positif, tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya menurut KUHP adalah seseorang yang dengan sengaja merampas nyawa orang lain,

Bahwa menurut hukum pidana Islam tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh penderita kleptomania masuk dalam kategori pencurian yang tidak sempurna, maka pencurian

Pengaturan tentang tindak pidana gratifikasi dalam hukum pidana positif terdapat pada UU khusus mengatur tindak pidana korupsi yaitu pada pasal 12 b yang berbunyi “setiap

Penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana perjudian ditinjau dari hukum pidana positif Indonesia diatur dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 1 Undang-Undang

Di dalam Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), sanksi bagi orang yang membantu melakukan suatu tindak pidana diatur dalam Pasal 56 dan 57 KUHP.. Dalam hukum pidana Islam,

Hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa perbandingan tindak pidana aborsi dalam hukum pidana positif dan hukum pidana Islam dapat dilihat dari

Hasil penelitian ini adalah: Pertama, pada hukum pidana positif aturan terkait gratifikasi telah diatur dalam Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 pasal 12 B dan C yang memiliki

Penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana perjudian ditinjau dari hukum pidana positif Indonesia diatur dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 1 Undang-Undang