• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA PENYIMPANGAN

C. Pengaturan Tindak Pidana Penyimpangan Seksual Menurut Hukum

4. Pengaturan Nekrofilia

Adapun sanksi hukum bagi pelaku yang menyetubuhi mayat perempuan yang bukan istrinya, Abdul Qadir Audah mengatakan bahwa menurut Imam Abu Hanifah bahwa pelaku tidak dapat disebut berzina. Demikian halnya seorang perempuan yang berusaha memasukkan zakar laki-laki ke dalam farji-nya juga tidak dapat dianggap ia telah berzina. Hal ini juga merupakan salah satu pendapat dari kalangan Ulama Mazhab Syafi‟i dan Hanbali. Oleh sebab itu, sanksi hukumnya berupa takzir. Menyetubuhi mayat tidak termasuk ke dalam ranah

149 M.Nurul Irfan Dan Masyrofah, Op.Cit., Hal 20.

150 Nurul Irfan, Op.Cit., Hal. 61.

pidana hudud layaknya perzinaan biasa, sebab pada umumnya seseorang tidak bernafsu terhadap mayat karena tubuhnya sudah rusak atau membusuk.151

Berbeda dengan pendapat di atas, Ulama lain dari kalangan Mazhab Syafi‟i, Hanbali, dan Syiah Zaidiyah tetap memasukkan persetubuhan dengan mayat itu sebagai sebuah bentuk perzinaan. Dengan demikian, pelakunya tetap dihukum had zina sebagai peringatan keras bagi pihak lain. Tidak hanya itu, menyetubuhi mayat dinilai sebagai sebuah bentuk pelecehan norma dan kemuliaan mayat manusia.152

Lebih lanjut Imam Malik berpendapat, siapa pun yang menyetubuhi mayat orang lain yang bukan istrinya, baik pada bagian qubul maupun dubur, tetap dianggap telah berzina sehingga harus dihukum had zina. Lain halnya jika perbuatan itu dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya yang sudah meninggal, ia tidak boleh dihukum. Akan tetapi, seorang perempuan yang memasukkan zakar mayat laki-laki ke dalam vaginanya secara paksa, ia harus dikenakan sanksi takzir karena perbuatan itu bersifat konyol dan dipastikan tidak akan menimbulkan kenikmatan.153

5. Pengaturan Perkosaan

Dilihat dari sisi pandang hukum pidana Islam, hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana perkosaan adalah had zina, bukan berdasarkan ta’zir.154

151 Ibid., Hal. 170.

152 Ibid.

153 Ibid.

154 Neng Djubaedah, Op.Cit., Hal. 81.

Pemerkosa memang dihukum pada masa Nabi SAW, dan korban perkosaan dilepaskan dengan harapan akan memperoleh ampunan dari Allah SWT. Pada saat itu, hukuman perkosaan yang dilakukan dengan cara paksa dan kekerasan sama persis dengan hukuman perzinaan, yang tidak dilakukan dengan cara pemaksaan dan kekerasn. Karena itu, mayoritas Ulama hadis dan Ulama fiqih menempatkan tindak perkosaan sama persis dengan perzinaan. Hanya perbedaannya, dalam tindak perzinaan kedua pelaku harus menerima hukuman, sementara dalam tindak perkosaan hanya pelaku pemerkosa yang menerima hukuman, sementara korban harus dilepas. Tetapi ancaman hukuman terhadap kedua kasus tersebut adalah sama.155

Selanjutnya, terkait masalah perkosaan yang dilakukan oleh seorang wanita terhadap seorang pria, Abdul Qadir Audah menyampaikan pernyataan sebagai berikut:156

“Kalau ada seorang pria diperkosa untuk berzina, ia tetap harus dihukum.

Demikian pendapat terkuat dari Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi‟i, Imam Ahmad, dan Ulama kalangan Syiah Zaidiyah. Alasan mereka, kalau seorang wanita diperkosa jelas wajar karena posisinya sebagai objek; sedangkan pria tidak mungkin ia mengaku diperkosa oleh wanita, terlebih lagi jika ia tetap mengalami ereksi. Hal itu karena terjadinya ereksi jelas sebagai indikasi adanya kemauan. Maksud dari pendapat mengenai masalah ini adalah kalau tidak ada raksi berupa ereksi pada zakar pria itu dan memang benar-benar ia dipaksa untuk berzina, ia harus dibebaskan dari tuntutan hukuman had zina.”

Adapun pembuktian dalam perkara kejahatan perkosaan sama dengan pembuktian zina, yaitu dengan salah satu dari tiga bukti (al baniyah) terjadinya perzinaan berikut:157

155 Siska Lis Sulistiani, Op.Cit., Hal. 104.

156 Nurul Irfan, Op.Cit., Hal. 161.

157 Siska Lis Sulistiani, Op.Cit., Hal. 104.

1. Pengakuan (iqrar) orang yang berbuat zina sebanyak empat kali secara jelas, dan dia tidak menarik pengakuannya itu hingga selesai eksekusi hukuman zina.

2. Kesaksian (syahadah) empat laki-laki muslim yang adil (bukan fasik) dan merdeka (bukan budak), yang mempersaksikan satu perzinaan (bukan perzinaan yang berbeda-beda) dalam satu majelis (pada waktu dan tempat yang sama), dengan kesaksian perzinaan dengan jelas.

3. Kehamilan (al habl), yaitu kehamilan pada perempuan yang tidak bersuami.

Jika seorang perempuan menklaim dihadapan hakim (qadhi) bahwa dirinya telah diperkosa oleh seorang laki-laki, sebenarnya dia telah melakukan qadzaf (tuduhan zina) kepada laki-laki itu. Kemungkinan hukum syara’ yang diberlakukan oleh hakim dapat berbeda-beda sesuai fakta (manath) yang ada, antara lain adalah sebagai berikut:158

1. Jika perempuan itu mempunyai bukti (al bayyinah) perkosaan, yaitu kesaksian empat laki-laki muslim, atau jika laki-laki pemerkosa mengakuinya, maka laki-laki itu dijatuhi hukuman zina, yaitu dicambuk 100 kali jika dia bukan muhshan, dan dirajam hingga mati jika dia muhshan.

2. Jika perempuan itu tidak mempunyai bukti (al bayyinah) perkosaan, maka hukumnya dilihat lebih dahulu; jika laki-laki yang dituduh memperkosa itu orang baik-baik yang menjaga dari zina , maka perempuan itu dijatuhi hukuman menuduh zina (hadd al qadzaf), yakni 80 kali cambukan sesuai Q.S. An-Nuur: 4. Adapun jika laki-laki yang dituduh memperkosa itu orang fasik, yakni bukan orang baik-baik yang menjaga diri dari zina, maka perempuan itu tidak dapat dijatuhi hukuman menuduh zina.

Jika seorang wanita disetubuhi secara paksa, maka tidak ada hukuman had baginya, sesuai ayat berikut:159

“Tetapi barangsiapa terpaksa, bukan karena menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (Q.S.Al-Baqarah:173).

158 Ibid., Hal. 104-105.

159 Ibid., Hal. 103.

6. Pengaturan Eksibisionisme

Al-Quran secara implisit maupun eksplisit menyebutkan prinsip haya (rasa malu) pada diri masing-masing individu. Perintah menutup aurat baik bagi laki-laki maupun perempuan merupakan bukti pentingnya rasa malu dalam kehidupan manusia.160

Sejumlah ayat menegaskan hal tersebut. Antara lain terdapat dalam Surah Al-A‟raf (7): 26: 161

“Hai anak Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda keksuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.”

Senada dengan maksud di atas, dalam surah An-Nur (24): 30-31 dijelaskan lebih rinci tentang pentingnya rasa malu bagi laki-laki maupun perempuan sebagai benteng keimanan mereka.162 Adapun bunyi ayat tersebut: 163

“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman, „hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya (memamerkan kecantikan), kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan (memamerkan kecantikan) kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau orang-orang yang menyertai mereka yang tidak mempunyai keinginan (tehadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti aurat wanita. Janganlah mereka berjalan sambil menghentakkan kakinya supaya dapat diketahui orang, perhiasan yang mereka

160 Didi Junaedi, Op.Cit., Hal. 76.

161 Ibid., Hal. 77.

162 Ibid.

163 Ibid.

sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.”

Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda;164

“Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian.”(HR.

Imam Muslim)

Berdasarkan landasan teologis di atas, jelaslah bahwa perilaku seks menyimpang berupa eksibisionisme, pamer aurat merupakan tindak pelanggaran terhadap ajaran agama.

7. Pengaturan Bestialitas

Di dalam hukum Islam bestialitas merupakan perbuatan yang dilarang, karena tidak sesuai dengan fitrah Islam. Karena dalam Islam telah diatur tatacara hubungan seks yang baik, sehingga manusia dapat menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Allah SWT. Dengan demikian bestialitas dalam pidana Islam digolongkan sebagai perbuatan melanggar ketentuan agama, apabila seseorang melakukannya maka akan dikenakan hukuman atau sanksi had atau takzir.

Hukum Islam mengatur larangan hubungan seksual dengan binatang dan hukuman bagi pelakunya terdapat di dalam hadis Rasulullah SAW sebagai berikut.165

164 https://hizbut-tahrir.or.id/2009/06/12/ancaman-bagi-wanita-yang-membuka-auratnya/

(Diakses Senin 6 Maret 2017)

“Dari Ibnu Abbas berkata, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda

„Barangsiapa menyetubuhi binatang, bunuhlah ia dan bunuh pula binatang yang telah digauli itu bersama-sama.‟ Kami bertanya kepada Ibnu Abbas,

„Mengapa binatang itu juga harus dihukum?‟ Ibnu Abbas menjawab. „Aku tidak mendengar satu penjelasanpun dari Rasulullah SAW tentang masalah ini, tetapi aku pernah mengetahui bahwa beliau tidak suka makan daging binatang yang telah disetubuhi itu. Demikian juga kulitnya agar tidak dimanfaatkan. Sebaiknya hal ini yang dipegang untuk diamalkan.‟”

(HR.Ad-Daruquthni)

Dalam persfektif hukum pidana Islam, mayoritas Ulama berpendapat bahwa menyetubuhi binatang dinilai sebagai perbuatan maksiat yang hukumnya haram, walaupun tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan zina. Sementara itu, Sayyid Sabbiq mengemukakan bahwa Ulama berbeda pendapat mengenai sanksi hukum yang harus dikenakan terhadap pelaku. Imam Ali dan Al-Hasan mengatakan bahwa jika pelaku pernah menikah, statusnya muhshan dan dianggap telah berzina sehingga sanksinya adalah dihukum rajam.166

165 Neng Djubaedah, Op.Cit., Hal. 281.

166 Nurul Irfan, Op.Cit., Hal. 166.

BAB IV

PERBANDINGAN TINDAK PIDANA PENYIMPANGAN SEKSUAL MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN HUKUM ISLAM.

A. Perbandingan Sumber Hukum Tindak Pidana Penyimpangan Seksual Menurut Hukum Positif di Indonesia dan Hukum Islam

1. Menurut Hukum Positif di Indonesia

Menurut C.S.T Kansil, sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.167 Sumber hukum dapat ditinjau dari segi material dan segi formal:168

a. Sumber-sumber hukum material

Sumber hukum material ini dapat ditinjau dari segi atau beberapa sudut, yaitu sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, dan lain sebagainya;

b. Sumber Hukum formal

Sumber hukum formal terbagi lagi ke dalam beberapa bagian, antara lain yaitu; Undang-Undang (statute), kebiasaan (custom), keputusan-keputusan hakim (jurisprudence), traktat (treaty) dan pendapat para sarjana (doktrin).

Oleh karena pembagian sumber hukum tersebut maka KUHP, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang-Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi serta Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan ke dua Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang mengatur tentang berbagai tindak pidana penyimpangan seksual merupakan produk hukum yang bersumber dari hukum formal yaitu undang-undang.

167 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 2011, Hal. 57

168 Ibid.

2. Menurut Hukum Islam

Sumber hukum Islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum Islam. Dalam kepustakaan hukum Islam di tanah air kita, sumber hukum Islam, kadang-kadang disebut „dalil‟ hukum Islam atau „pokok‟ hukum Islam atau dasar hukum Islam.

Allah telah menentukan sendiri sumber hukum (ajaran dan agama) Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Menurut Al-quran surat An-Nisa (4) ayat 59, setiap muslim wajib mentaati (mengikuti) kemauan atau kehendak Allah, kehendak Rasul dan kehendak Ulil Amri yakni orang yang mempunyai kekuasaan atau penguasa. Kehendak Allah berupa ketetapan kini tertulis di dalam Al-quran, kehendak Rasul berupa sunnah terhimpun sekarang dalam kitab-kitab hadis, kehendak penguasa kini dimuat dalam peraturan perundang-undangan (dulu dan sekarang) atau dalam hasil karya orang yang memenuhi syarat untuk ber-ijtihad karena mempunyai kekuasaan berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan ajaran hukum Islam dari dua sumber utamanya yakni Al-Quran dan dari kitab-kitab hadis yang memuat sunnah Nabi Muhammad.169

Sumber hukum tindak pidana penyimpangan seksual dalam hukum pidana Islam sama halnya dengan syariat Islam, yakni bersumber pada tiga dalil, yaitu:

a. Al-Quran berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril.

Al-Quran merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat

169 Mohammad Daud Ali, Op.Cit., Hal. 73

di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.

b. As-Sunnah atau Hadis adalah sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran, berupa perkataan, perbuatan dan sikap diam Rasulullah yang tercatat dalam kitab-kitab hadis. Hadis merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang Al-quran.170 Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya.

c. Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al-Quran maupun Hadits, dengan menggunakan akal fikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukum yang telah ditentukan. Hasil Ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga.

Dalam ber-ijtihad seseorang dapat menempuhnya dengan cara Ijma’ dan Qiyas. Ijma’ adalah kesepakatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa masa setalah wafatnya Rasulullah SAW. Qiyas adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya.

170 Ibid.

3. Perbandingan Sumber Hukum :

Telah diuraikan di atas mengenai sumber hukum dari tindak pidana penyimpangan seksual . Penjelasan tersebut memberikan beberapa perbedaan di antara kedua sumber hukum tersebut, yaitu Sumber hukum pidana Indonesia, yaitu KUHP dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya didasarkan dari hasil pemikiran (ratio) manusia yang dibuat secara tertulis yang kemudian diundangkan ke dalam sebuah lembaran negara agar berlaku dan mengikat secara umum, selain itu sumber hukum pidana Indonesia juga bersumber dari hukum adat, di mana hukum adat tersebut berisi hukum pidana salah satunya.

Sedangkan Hukum pidana Islam bersumber dari Al-Qur‟an, Hadits, dan Ijtihad para ulama. Hukum pidana Islam pada umumnya langsung bersumber dari Allah SWT. yang disampaikan kapada utusan-Nya Nabi Muhammad SAW. Adapun mengenai hadits, merupakan perkataan yang disabdakan oleh Nabi sendiri dengan bimbingan Allah SWT. sedangkan Ijtihad merupakan pendapat para ulama yang disandarkan kepada Al-Qur‟an dan Hadits.

Sedangkan persamaan kedua sumber hukum tersebut yaitu kedua sumber hukum tersebut telah dituliskan ke dalam sebuah buku yang dijadikan suatu pedoman bagi suatu bangsa yang menganut sumber hukum tersebut.

B. Perbandingan Perbuatan Tindak Pidana Penyimpangan Seksual Menurut Hukum Positif di Indonesia dan Hukum Islam

1. Homoseksual dan Lesbian

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tentang pengaturan tindak pidana penyimpangan seksual menurut hukum positif di Indonesia homoseksual dan lesbian diatur di dalam pasal 292 KUHP, yaitu perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang dewasa dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama. Perbuatan cabul sendiri menurut R. Soesilo adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya : cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan dan sebagainya.171 Menurut hukum Islam perbuatan homosekseual dan lesbian disamakan dengan perbuatan zina. Dengan demikian, pelakunya termasuk di bawah keumuman dalil dalam masalah zina.172

Tabel Perbandingan Homoseksual dan Lesbian : Berdasakan Hukum Positif Di

2. Si pembuat/pelaku haruslah orang yang telah dewasa.173 3. Objeknya hanyalah orang

sesama jenis yang belum dewasa.

1. Perbuatannya tidak sekedar perbuatan cabul melainkan persetubuhan yang didasarkan suka sama suka.

2. Si pembuat/pelaku adalah setiap orang yang melakukan hubungan sejenis.

3. Objeknya adalah orang sesama jenis baik dewasa maupun belum dewasa.

171 R. Soesilo, Op.Cit., Hal. 212

172 Siska lis susanti, Op.Cit., Hal. 48.

173 Dewasa menurut Pasal 292 KUHP sama dengan dewasa menurut Pasal 330 BW yakni berumur 21 tahun atau telah menikah.

Dilihat dari unsur subjektifnya menurut hukum pidana adalah yang diketahuinya belum dewasa; atau yang seharusnya patut diduganya belum dewasa, sementara menurut pandangan dalam hukum Islam adalah yang diketahuinya sesama jenis atau yang seharusnya patut diduganya sesama jenis. Hal ini didasarkan bahwa pada hukum pidana aturan Pasal 292 KUHP ini dimaksudkan untuk melindungi orang yang belum dewasa dari pelaku homoseksual sehingga unsur kesalahan yang harus ada adalah diketahui atau seharusnya patut diduganya orang yang belum dewasa. Sedangkan hukum Islam menekankan aturan demi menjaga agar tidak terputusnya keturunan manusia akibat perilaku tersebut dan memuliakan manusia.

2. Pedofilia

Hukum positif di Indonesia secara spesifik menentukan beberapa jenis perbuatan tindak pidana pedofilia berupa persetubuhan, melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa (perkosaan), atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul yang dilakukan oleh setiap orang terhadap orang yang belum dewasa atau belum berusia lima belas tahun.

Sedangkan Hukum Islam tidak secara spesifik mengatur tantang perbuatan tindak pidana pedofilia, Adapun dalam hukum Islam, pedofilia merupakan salah satu perbuatan yang dilarang oleh agama dan merupakan perbuatan zina. Perbuatan pedofilia tersebut dapat diartikan pemuasan nafsu seksual dengan anak-anak sebagai objeknya.174

174 Siska Lis Sulistiani, Op.Cit., Hal. 86.

Tabel Perbandingan Pedofilia:

Berdasakan Hukum Positif di Indonesia

Berdasarkan Hukum Islam 1. Perbuatannya berupa perbuatan

persetubuhan, melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan, memaksa

(perkosaan), melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

2. Pelaku adalah setiap orang baik orang dewasa atau orang yang belum dewasa.

3. Objeknya setiap orang yang belum dewasa (belum berusia lima belas tahun).

---1.-Tidak diatur.

3. Incest (Sumbang)

Menurut hukum positif di Indonesia perbuatan sumbang tidak hanya terbatas pada anak kandunganya saja tetapi juga terhadap anak tiri atau anak pungutnya, anak peliharaannya, atau dengan seseorang yang belum dewasa yang dipercayakan padanya untuk ditanggung, dididik atau dijaga. Adapun perbuatannya berupa persetubuhan dan pencabulan terhadap anaknya yang belum dewasa serta perbuatan kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga (keluarga). Sedangkan menurut hukum Islam perbuatan sumbang adalah hubungan seks antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan anggota keluarga baik dari jalur nasab maupun kerabat dekat. Dari jalur nasab ini antara lain; ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan seterusnya. Sedangkan yang

dimaksud dengan kerabat dekat antara lain; ibu-ibu yang menyusukan (bukan ibu kandung), saudara sepersusuan, mertua, menantu dan seterusnya.

Tabel Perbandingan Sumbang :

peliharaannya, dan anak yang dipercayakan padanya untuk ditanggung yang belum dewasa serta orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga pelaku.

1. Perbuatannya berupa persetubuhan.

2. Pelaku hanyalah orang dewasa.

3. Objeknya adalah anggota keluarga baik dari jalur nasab maupun kerabat dekat.

4. Zina

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dimaksud dengan zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang sudah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Agar dapat termasuk dalam Pasal ini maka persetubuhan itu harus didasarkan atas suka sama suka, tidak boleh adanya paksaan oleh satu pihak.

Bukanlah dikatakan zina apabila perzinaan itu dilakukan dengan paksaan (Pasal 285), persetubuhan dengan perempuan dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (Pasal 286) dan persetubuhan dengan perempuan yang belum cukup umur lima belas tahun (Pasal 287).175

175 Siska Lis Sulistiani, Op.Cit., Hal. 96.

Sedangkan di dalam hukum Islam, Seperti yang disebutkan Abdul Qadir Audah (w. 1373 H/ 1945 M; ahli hukum pidana Islam Mesir), ia mengemukakan bahwa rukun zina itu ada dua, yaitu hubungan seksual yang diharamkan, dan dilakukan secara sadar dan sengaja.176 Unsur kedua dari jarimah zina (sadar dan sengaja) maksudnya adalah adanya niat dari pelaku yang melawan hukum. Unsur ini terpenuhi apabila pelaku melakukan suatu perbuatan (persetubuhan) padahal ia tahu bahwa wanita yang disetubuhinya adalah wanita yang diharamkan padanya.177 Juga kalau perempuan yang berzina menyerahkan dirinya dan tahu bahwa orang yang menyetubuhinya tidak halal baginya.178 Dengan demikian apabila seseorang mengerjakan sesuatu perbuatan dengan sengaja, tetapi ia tidak tahu bahwa perbuatan yang dilakukannya haram maka ia tidak dikenakan hukuman had. Contohnya seperti seseorang yang menikah dengan seorang wanita yang sebenarnya mempunyai suami tetapi ia rahasiakan kepadanya. Apabila terjadi persetubuhan setelah dilaksanakannya pernikahan tersebut maka suami tidak dikenakan pertanggung jawaban (tuntutan) selama ia benar-benar tidak tahu bahwa wanita itu masih dalam ikatan perkawinan dengan suami yang terdahulu.179

Sedangkan di dalam hukum Islam, Seperti yang disebutkan Abdul Qadir Audah (w. 1373 H/ 1945 M; ahli hukum pidana Islam Mesir), ia mengemukakan bahwa rukun zina itu ada dua, yaitu hubungan seksual yang diharamkan, dan dilakukan secara sadar dan sengaja.176 Unsur kedua dari jarimah zina (sadar dan sengaja) maksudnya adalah adanya niat dari pelaku yang melawan hukum. Unsur ini terpenuhi apabila pelaku melakukan suatu perbuatan (persetubuhan) padahal ia tahu bahwa wanita yang disetubuhinya adalah wanita yang diharamkan padanya.177 Juga kalau perempuan yang berzina menyerahkan dirinya dan tahu bahwa orang yang menyetubuhinya tidak halal baginya.178 Dengan demikian apabila seseorang mengerjakan sesuatu perbuatan dengan sengaja, tetapi ia tidak tahu bahwa perbuatan yang dilakukannya haram maka ia tidak dikenakan hukuman had. Contohnya seperti seseorang yang menikah dengan seorang wanita yang sebenarnya mempunyai suami tetapi ia rahasiakan kepadanya. Apabila terjadi persetubuhan setelah dilaksanakannya pernikahan tersebut maka suami tidak dikenakan pertanggung jawaban (tuntutan) selama ia benar-benar tidak tahu bahwa wanita itu masih dalam ikatan perkawinan dengan suami yang terdahulu.179

Dokumen terkait