• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA PENYIMPANGAN

D. Pengaturan Tindak Pidana Penyimpangan Seksual Menurut Hukum Positif

2. Pengaturan Pedofilia

Menurut hukum positif mengenai pedofilia belum ada undang-undang khusus yang membahas, karena kasus tersebut disamaartikan dengan pencabulan. Dalam undang-undang hanya dijelaskan mengenai pasal tentang pencabulan terhadap anak di bawah umur seperti dalam Pasal 290 ke-2 KUHP.90 Yang menentukan:

Pasal 290

“Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun dihukum:

2e. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup lima belas tahun, atau umur itu tidak ternyata, bahwa orang itu belum pantas untuk dikawin.

3e. Barangsiapa membujuk (menggoda) seseorang, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa ia belum masanya buat kawin, akan melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, atau akan bersetubuh dengan orang lain dengan tiada kawin.

Juga di dalam Pasal 292, 294 dan 287 KUHP.

Pasal 292

“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.”

Pasal 294

“(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”

Pasal 287

“(1) barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.

90 Siska Lis Sulistiani Op.Cit., HAL. 85.

(2) penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umurnya perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu hal yang tersebut pada pasal 291 dan 294.”

Menurut Pasal 287 KUHP, seseorang dapat dikategorikan sebagai pelaku zina, yaitu terhadap orang yang melakukan persetubuhan di luar perkawinan dengan seorang perempuan, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga olehnya, bahwa perempuan bersangkutan belum berumur 15 tahun. Jika usia perempuan tersebut tidak jelas, maka dapat diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa perempuan tersebut belum waktunya untuk dinikahi.91

Dalam ketentuan Pasal 287 KUHP yang melarang persetubuhan di luar nikah tersebut, memang tidak ada pemaksaan terhadap perempuan yang disetubuhinya dan/atau bukan perempuan yang berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, tetapi ia lakukan dengan perempuan yang belum berumur lima belas tahun.92

Jenis delik yang ditentukan Pasal 287 ayat (2) KUHP adalah delik aduan absolut (absolut klacht delict) 93, yaitu suatu delik yang baru ada penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.94

Jadi dapat dipahami bahwa di dalam KUHP tersebut sanksi bagi pelaku bersetubuh dengan anak dapat dikenakan hukuman penjara paling lama sembilan tahun dan bagi pelecehan seksual terhadap anak dikenakan hukuman penjara paling lama tujuh tahun. Apabila pelaku dan apabila sang anak tersebut berjenis kelamin sama dengan pelaku maka dikenakan hukuman penjara paling lama lima

91 Neng Djubaedah, Op.cit., Hal. 66.

92 Ibid.

93 Ibid., Hal. 67.

94 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana (Kumpulan Kuliah), Bagian Ke-Satu,Tt, Tanpa Lokasi.

tahun serta apabila anak tersebut merupakan anak kandungnya atau anak yang dititipkan kepadanya untuk ditanggung dikenakan hukuman penjara paling lama tujuh tahun.

Jika anak yang disetubuhi di luar perkawinan itu belum berumur 12 tahun, atau perempuan tersebut mengalami luka berat atau kematian, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 291 dan Pasal 294, maka jenis delik tersebut, bukan lagi merupakan delik aduan, tetapi merupakan delik umum. Sebagaimana telah diketahui, bahwa perbuatan zina dalam KUHP termasuk kejahatan (misdrijven).95

Meskipun di dalam KUHP tidak dijelaskan secara rinci mengenai bentuk pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur atau pedofilia, namun hal tersebut masuk kategori penyimpangan seksual. Sedangkan tindak pidana pedofilia ada diatur di dalam Pasal 81-82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.96

Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan, antara lain Pasal 81 (perkosaan anak) dan Pasal 82 (pencabuan anak).

Ketentuan pasal 81 dan 82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menentukan sebagai berikut:97

Pasal 81

(1) “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).

95 Neng Djubaedah, Op.Cit., Hal. 68.

96 Ibid., Hal. 86.

97 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”

Pasal 82

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).”

Dari rumusan Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di atas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik perkosaan dan pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Delik biasa dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban).98

Selain itu, di pertengahan tahun 2016 Presiden RI mengesahkan dengan menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan ke dua Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Perppu ini memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara. Perppu juga mengatur sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik. Perppu ini mengubah dua pasal dari undang-undang

98 Siska Lis Sulistiani, Op.Cit., Hal. 98

sebelumnya yakni Pasal 81 dan Pasal 82, serta menambah satu Pasal 81A. Berikut ini isi dari Perppu Nomor 1 Tahun 2016:99

1. Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 81

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D100 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.

(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

(6) Selain dikenakan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenakan pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.

(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenakan tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan cip.

(8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.

99 Perppu Nomor 1 Tahun 2016 telah dijadikan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 pada tanggal 9 November 2016.

100 (catatan: Pasal 76D dalam UU 23/2004 berbunyi "Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.")

(9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.” dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok.

(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.

(3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

3. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 82

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E101 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orangtua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.

(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya

101 Catatan: Bunyi Pasal 76E dalam UU 23/2004 berbunyi" Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul."

ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(5) Selain dikenakan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenakan pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.

(6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenakan tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan cip.

(7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.

(8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.”

4. Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan satu Pasal yakni Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 82A

(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6) dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok.

(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Demikian juga aturan hukum yang terdapat di dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Apabila kejahatan pedofilia tersebut dilakukan dalam lingkup rumah tangga maka pelaku dapat dikenakan sanksi pidana. Adapun Pasal yang mengatur adalah Pasal 5, Pasal 8 dan Pasal 46 yang bunyinya adalah sebagai berikut: 102

102 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Pasal 5

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:

a. Kekerasan fisik;

b. Kekerasan psikis;

c. Kekerasan seksual; atau d. Penelantaran rumah tangga.”

Pasal 8

“Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.”

Pasal 46

“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).”

Sedangkan yang dimaksud lingkup rumah tangga di dalam Undang-undang ini tertera di dalam Pasal 2 yang berbunyi: 103

Pasal 2

(1) “Lingkup rumah tangga dalam Undang-undang ini meliputi:

a. suami, istri, dan anak;

b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau

c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

103 Ibid.

(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.”

Dari bunyi Pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang yang telah dewasa di dalam lingkup rumah tangga yang melakukan tindak pidana penyimpangan seksual terhadap seseorang yang belum dewasa dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,-.

Dokumen terkait