commit to user
i
ANALISIS FAKTOR PENENTU DAN TINGKAT
KETIMPANGAN KEMISKINAN ANTAR WILAYAH
DI INDONESIA PERIODE 2007-2009
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk
Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
Ari Widi Andono F0107029
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
commit to user
commit to user
iv
MOTTO
“hasbunallah wa ni’mal wakil”
“Failure isn’t when you fall down;
It’s only when you don’t get up again.”
“ The only person who never makes a mistake
is the person who never does anything” .
“lihatlah ke belakang dengan syukur, lihatlah ke atas dengan doa
commit to user
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Penulis persembahkan karya kecil ini kepada:
Allah SWT.
Alhamdulillah ku ucapkan kepada-Mu. Kau telah banyak memberikan anugerah-anugerah terindah kepada hamba-Mu ini. Semoga Kau selau kuatkan hamba-Mu ini untuk selalu istiqomah di jalan-Mu, wahai sang Maha pembolak-balik qolbu. Hasbunallah wa ni’mal wakil.
Ayah, Ibu, Kakak dan Adikku tersayang.
Mereka adalah keluarga, teman dan sahabat yang telah tulus menemani masa kecil, remaja dan dewasaku serta selalu berdoa untuk kesuksesanku. Akan kulakukan yang terbaik sesuai dengan keinginan dan harapan mereka.
Sahabat-sahabatku.
Mereka yang telah memberikan motivasi, dukungan moril, semangat, bantuan, nasihat dan rela meluangkan waktunya untukku. Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan dan petunjuk dalam mewujudkan harapan dan cita-cita kita. Susah senang yang telah kita jalani dan rasakan bersama semoga selalu menjadi perekat di saat kita telah tua dan hidup masing-masing. Ingatlah selalu hari ini.
Almamater.
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah
melimpahkan berkat serta rahmat-Nya, sehingga dengan bimbingan, pertolongan,
izin dan kasih karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul :
“Analisis Faktor Penentu dan Tingkat Ketimpangan Kemiskinan Antar
Wilayah di Indonesia Periode 2007-2009”. Sebuah berkat dan kebahagian
tersendiri bagi penulis dapat menyusun karya kecil ini sebagai upaya untuk
memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Ekonomi Jurusan Ekonomi
Pembangunan Universitas Sebelas Maret.
Skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang berupa
bantuan, bimbingan, dukungan, doa serta motivasi. Oleh karena itu dengan segala
kerendahan hati penulis ingin menghaturkan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. Mulyanto, ME selaku Dosen Pembimbing yang dengan penuh
kesabaran membantu, membimbing, dan meluangkan waktu bagi penulis
dalam proses penulisan skripsi.
2. Ibu Siti Aisyah Tri R., SE, Msi., selaku Dosen Pembimbing Akademik
3. Bapak Drs. Kresno Sarosa Pribadi, M.Si selaku Ketua Jurusan Ekonomi
Pembangunan.
4. Ibu Izza Mafruhah, S.E., M.Si selaku Sekertaris Jurusan Ekonomi
commit to user
vii
5. Bapak dan Ibu tercinta yang senantiasa memberikan dorongan, kasih
sayang, kesabaran dan doa kepadaku.
6. Kakak dan Adikku yang selau memberikan dukungan.
7. Teman-teman Jurusan Ekonomi Pembangunan 2007 Rendi, Turis, Thithut,
Ebby, Andri, Andhika, Johan, Dezta, Eliza, Anind, Faisal, Galih, Ratna,
Yeyen, Fina, Satya, Eko, Angga, Faya, Tarni, Sesil, Nastiti, Iis, Wahyu,
Ratih, Mudmainah, Rizky, Fuad.
8. Chaw out community, Rendi, Thithut, Ebby, Desta, Tofan D.J, Ivan,
Bobbi, Rico, Milly, Ardian, Arif, Trisu, Diana “tetap jalin silaturahmi,
karena silahturahmi adalah segalanya!”
9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas bantuannya
kepada penulis hingga terselesaikan penelitian ini.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya atas
kekurangan tersebut. Semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat bagi diri
penulis dan pembaca semua.
Surakarta, 22 Februari 2011
Penulis
commit to user
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN MOTTO... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN... v
KATA PENGANTAR... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL... xi
DAFTAR GAMBAR... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
ABSTRAKSI... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ... 15
C. Tujuan Penelitian ... 15
D. Manfaat Penelitian ... 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 17
A. Kajian Teori... 17
1. Pembangunan Ekonomi... 17
a. Pengertian dan Tujuan Pembangunan Ekonomi... 17
commit to user
ix
2. Ketimpangan Pembangunan... 23
3. Kemiskinan... 24
a. Pengertian Kemiskinan... 24
b. Penyebab Kemiskinan... 27
c. Jenis Kemiskinan... 30
d. Ukuran Kemiskinan... 31
e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan... 33
B. Penelitian Terdahulu... 42
C. Kerangka Pemikiran. ... 51
D. Hipotesis... 53
BAB III METODE PENELITIAN... 54
A. Definisi Operasional Variabel... 54
B. Jenis dan Sumber Data... 55
C. Metode Pengumpulan Data... 56
D. Metode Analisis Data... 57
1. Regresi Data Panel... 57
2. Indeks Entropi Theil... 69
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN... 71
A. Gambaran Umum Indonesia... 71
1. Keadaan Geografis Indonesia... 71
2. Keadaan Demografi Indonesia... 73
3. Keadaan Kemiskinan Indonesia... 76
commit to user
x
5. Keadaan Pendidikan Indonesia... 85
6. Keadaan Pengangguran Indonesia... 87
7. Keadaan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia... 90
B. Hasil Analisis dan Pembahasan... 87
1. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan... 87
a. Pemilihan Model Estimasi... 87
b. Uji Statistik... 96
c. Uji Asumsi Klasik... 102
d. Interpretasi Hasil Secara Ekonomi... 104
2. Analisis Ketimpangan Kemiskinan... 109
a. Analisis Konsentrasi Spasial Kemiskinan... 109
b. Analisis Konsentrasi Spasial Kemiskinan Dalam Pulau.. 111
c. Analisis Konsentrasi Spasial Kemiskinan Antar Pulau... 117
d. Analisis Konsentrasi Spasial Kemiskinan di Indonesia.. 120
BAB V PENUTUP... 121
A. Kesimpulan... 121
B. Saran ... 122
DAFTAR PUSTAKA... 125
commit to user
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 PDRB Atas Harga Konstan 2000 Menurut Wilayah
Tahun 2007 - 2009 (Juta Rupiah)..….…………....……… 2
Tabel 1.2 Jumlah Penduduk Antar Wilayah di Indonesia Tahun
2007 - 2009 ………..………...………... 4
Tabel 1.3 Perkembangan Batas Garis kemiskinan Versi BPS dan
Jumlah Penduduk Miskin...………… 8
Tabel 1.4 Persentase Penduduk Miskin Menurut Sajogyo dan
Esmara... 10
Tabel 1.5 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Berdasarkan
Pembagian Wilayah dalam RPJMN (Ribu Jiwa)...……… 14
Tabel 4.1 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Menurut Provinsi
Tahun 2007 - 2009 …….……... 75
Tabel 4.2 Perkembangan Batas Garis kemiskinan Versi BPS dan
Jumlah Penduduk Miskin ….……... 77
Tabel 4.3 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Berdasarkan
Pembagian Wilayah dalam RPJMN (Ribu Jiwa)………... 80
Tabel 4.4 Garis Kemiskinan dan Jumlah Penduduk Miskin
Menurut Provinsi (Ribu Jiwa) ………... 82
Tabel 4.5 PDRB Atas Harga Konstan 2000 Menurut Wilayah
Tahun 2007 - 2009 (Juta Rupiah)...….. 84
Tabel 4.6 Jumlah PendudukMelek Huruf Antar Wilayah di
Indonesia Tahun 2007 - 2009 …....……..……….. 86
Tabel 4.7 Jumlah Pengangguran Menurut Provinsi Tahun 2007 –
commit to user
xii
Tabel 4.8 Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Tahun 2006-
2008... 91
Tabel 4.9 Hasil Uji Pendekatan Koutsoyiannis ...….. 103
Tabel 4.10 Kesenjangan Dalam Pulau…..……….………….. 112
Tabel 4.11 Perbandingan Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin
Provinsi Maluku dan Maluku Utara …...…...………….... 112
Tabel 4.12 Perbandingan Variabel Penentu Kemiskinan Provinsi
Maluku dan Maluku Utara ………...………...…... 113
Tabel 4.13 Perbandingan Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin
Provinsi NTB dan NTT ...…...…...……… 115
Tabel 4.14 Perbandingan Variabel Penentu Kemiskinan Provinsi
NTB dan NTT ………...…….. 116
Tabel 4.15 Kesenjangan Antar Pulau…..……….……… 118
commit to user
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Lingkaran Setan Kemiskinan ………... 28
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran ………... 53
Gambar 3.1 Daerah Kritis Uji t ...………... 64
Gambar 3.2 Daerah Kritis Uji F ...………... 65
Gambar 4.1 Peta Wilayah Indonesia ....……….... 72
Gambar 4.2 Uji t Untuk Variabel Pertumbuhan Ekonomi (GRW) …..… 98
Gambar 4.3 Uji t Untuk Variabel Pendidikan (AMH) …...………….. 99
Gambar 4.4 Uji t Untuk Variabel Pengangguran …...………….. 100
Gambar 4.5 Uji F………..……….... 101
commit to user
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Data Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, Pendidikan
(AMH), dan Pengangguran di Indonesia tahun 2007 – 2009. .127
Lampiran B Hasil Regresi Utama Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,
Pendidikan (AMH), dan Pengangguran Terhadap Tingkat
Kemiskinan di Indonesia tahun 2007 - 2009 ...131
Lampiran C Uji Asumsi Klasik Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,
Pendidikan (AMH), dan Pengangguran Terhadap Tingkat
Kemiskinan di Indonesia tahun 2007 - 2009 ... 135
Lampiran D Indeks Entropi Theil Ketimpangan Tingkat Kemiskinan
commit to user
commit to user
ABSTRAKSI
ANALISIS FAKTOR PENENTU DAN TINGKAT KETIMPANGAN KEMISKINAN ANTAR WILAYAH DI INDONESIA
PERIODE 2007-2009
Ari Widi Andono (NIM. F0107029)
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pertumbuhan ekonomi (growth), angka melek huruf (AMH) dan pengangguran terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 2007 – 2009, serta untuk mengetahui trend kesenjangan kemiskinan dalam pulau dan antar pulau di Indonesia pada tahun 2007 – 2009.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam. Untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen digunakan alat analisis panel data, dimana metode yang digunakan adalah Fixed Effect Model (FEM). Sedangkan untuk mengetahui trend kesenjangan kemiskinan digunakan alat analisis Indeks Entropi Theil.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi (growth), angka melek huruf (AMH) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 2007 - 2009, sedangkan variabel pengangguran berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 2007 - 2009. Tingkat kesenjangan kemiskinan dalam pulau di Indonesia mengalami peningkatan selama tahun 2007 – 2009, hanya wilayah Papua yang mengalami penurunan. Sementara itu, tingkat kesenjangan kemiskinan antar pulau di Indonesia mengalami penurunan selama tahun 2007 – 2009, dimana wilayah yang mengalami penurunan paling tinggi adalah Jawa-Bali.
commit to user
ABSTRACT
AN ANALYSIS ON DETERMINANT FACTOR AND INTER-AREAS POVERTY GAP RATE IN INDONESIA IN 2007-2009 PERIOD
Ari Widi Andono (NIM. F0107029)
The objective of research is to find out how much the effect of economic growth rate, literacy rate (AMH) and unemployment rate is on the poverty rate in Indonesia during 2007-2009, as well as to find out the trend of poverty gap intra-and inter-islintra-ands in Indonesia during 2007-2009.
There are two methods of analyzing data used in this research. To find out the effect of independent variables on dependent one, the data panel analysis was used in which the method used was Fixed Effect Model (FEM). Meanwhile, to find out the trend of poverty gap, Entropy Theil index analysis instrument was used.
The result of data analysis shows that the economic growth and literacy (AMH) rates variables affect negatively and significantly the poverty rate in Indonesia during 2007-2009, while the unemployment variable affects positively and significantly the poverty rate in Indonesia during 2007-2009. The poverty gap rate intra-island in Indonesia increases during 2007-2009, it is only Papua encounters decrease. Meanwhile, the intraisland poverty gap level in Indonesia decreases during 2007-2009, in which the area with the highest decreases is Java and Bali.
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana
pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan
membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor
swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang
perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah
tersebut (Arsyad, 1999). Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan
ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, harus
pula menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, kesenjangan
pendapatan, dan tingkat pengangguran (Todaro, 2000).
Adanya perbedaan endowment fa ctor antara satu daerah dengan yang
lain menyebabkan terjadinya ga p atau kesenjangan antar daerah-daerah
tersebut (Sadono, 1997). Perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antardaerah
yang berlebihan akan menyebabkan ba ckwa sh effects yang lebih besar dari
spread effects sehingga mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Perbedaan
atau ketimpangan tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dilihat dari
besarnya Produk Regional Domestik Bruto (PDRB) yang dihasilkan oleh
commit to user
Tabel 1.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Wilayah Tahun 2007-2009 (Juta Rupiah)
Wilayah Sumber: BPS. (2010). Statistik Indonesia 2009, data diolah
Berdasarkan tabel di atas dapat kita lihat bahwa besarnya PDRB
yang dihasilkan di wilayah Indonesia bagian barat jauh lebih besar dari pada
PDRB yang dihasilkan di Indonesia bagian timur. Pada tahun 2007 Indonesia
bagian barat menghasilkan PDRB sebesar Rp. 1.569.232.408,05,- juta, pada
tahun berikutnya meningkat jadi Rp. 1.657.642.700,13,- juta dan pada tahun
2009 sebesar Rp. 1.811.584.808,- juta. Sementara itu jumlah PDRB yang
dihasilkan di Indonesia bagian timur pada tahun 2007 hanya sebesar Rp.
309.506.240,33,- juta, pada tahun 2008 sebesar Rp. 326.191.265,06,- juta dan
pada tahun 2009 jumlahnya meningkat jadi Rp. 365.647.248,6,- juta. Jumlah
total PDRB yang dihasilkan oleh provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Bali
selalu menduduki posisi paling tinggi bila dibandingkan dengan pulau-pulau
lainnya. Dimana pada tahun 2007 total PDRB yang dihasilkan
commit to user
juta, lalu pada tahun 2008 dan 2009 jumlahnya meningkat masing-masing
menjadi Rp. 1.229.239.676,84,- juta dan Rp. 1.349.522.799,- juta. Pulau
Sumatera menduduki posisi kedua dimana total PDRB yang dihasilkan
seluruh provinsi-provinsinya pada tahun 2007 sebesar Rp. 408.321.074,15,-
juta, pada tahun 2008 meningkat menjadi sebesar Rp. 428.403.023,28,- juta
dan pada tahun 2009 meningkat lagi menjadi Rp. 462.062.008,7,- juta. Pada
posisi ketiga ditempati oleh Pulau Kalimantan, dimana total PDRB yang
dihasilkan povinsi-provinsinya pada tahun 2007 sebesar Rp. 166.365.987,16,-
juta, pada tahun 2008 sebesar Rp. 175.114.840,29,- juta dan pada tahun 2009
meningkat jadi Rp. 187.367.314,3,- juta. Pulau Sulawesi menempati posisi
keempat dimana total PDRB yang dihasilkan provinsi-provinsinya pada tahun
2007 sebesar Rp. 84.599.364,77,- juta, pada tahun 2008 naik jadi Rp.
91.128.054,18,- juta dan pada tahun 2009 naik lagi menjadi Rp.
104.134.955,6,- juta. Sedangkan Pulau Nusa Tenggara, Maluku dan Papua
menempati posisi terakhir, dimana pada tahun 2007 seluruh provinsinya
menghasilkan total PDRB sebesar Rp. 58.540.888,40,- juta, pada tahun 2008
jumlahnya meningkat menjadi Rp. 59.948.370,59,- juta dan pada tahun 2009
meningkat lagi menjadi Rp. 74.144.978,68,- juta.
Ketimpangan yang terjadi antara satu daerah dengan yang lain juga
sangat dipengaruhi oleh banyaknya penduduk, karena adanya penduduk atau
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu syarat dalam melakukan
pembangunan ekonomi selain Sumber Daya Alam (SDA) dan modal. Akan
tetapi jumlah penduduk yang tinggi saja tidak akan mempunyai daya guna
commit to user
penduduk tersebut. Adanya jumlah penduduk yang rendah dan kurang
mempunyai kualitas akan mempengaruhi tingkat produktifitas suatu wilayah.
Apabila tingkat produktifitas rendah maka akan mempengaruhi banyaknya
Produk Domestik Regional Bruto yang dihasilkan oleh wilayah tersebut.
Korelasi antara jumlah dan kualitas penduduk dengan besarnya Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) terbukti dengan adanya ketimpangan yang
terjadi antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Di mana
seperti yang kita ketahui bersama wilayah Indonesia bagian barat memiliki
jumlah dan kualitas penduduk yang lebih tinggi dapat menghasilkan PDRB
yang tinggi, sementara Indonesia bagian timur cenderung memiliki jumlah
dan kualitas penduduk yang kurang sehingga hanya menghasilkan PDRB
yang kecil.
Tabel 1.2 Jumlah Penduduk Antar Wilayah di Indonesia Tahun 2007-2009
Wilayah
Sumber: BPS. (2010). Statistik Indonesia 2009, data diolah
Dari tabel tersebut kita dapat melihat dengan jelas adanya
ketimpangan dalam penyebaran penduduk di Indonesia. Pada tahun 2007,
commit to user
Indonesia bagian barat terutama di wilayah Jawa dan Bali, padahal luasnya
hanya 7,08% dari total luas Indonesia. Pada tahun 2009 jumlah penduduk
yang berada di wilayah Jawa-Bali mencapai 59,52% atau sekitar 137.711,10
ribu jiwa. Wilayah Sumatera menempati peringkat kedua dengan jumlah
penduduk sebesar 49.615,40 ribu jiwa atau sekitar 21,44%. Penduduk yang
berada di wilayah Sulawesi pada tahun 2009 mencapai 16.767,70 ribu jiwa
atau sekitar 7,25% dari total populasi nasional. Wilayah Kalimantan yang
merupakan pulau terluas hanya ditinggali penduduk sebanyak 13.065,80 ribu
jiwa. Pada tahun 2009 jumlah penduduk yang berada di wilayah Nusa
Tenggara sekitar 3,91% dari jumlah populasi nasional atau berjumlah
9.053,70 ribu jiwa. Dua daerah yang berada di timur Indonesia yaitu wilayah
Maluku dan Papua pada tahun 2009 hanya ditinggali masing-masing sebesar
1% atau sekitar 2.314,50 ribu jiwa dan 1,23% dari jumlah populasi nasional
atau sekitar 2.841,40 ribu jiwa. Adanya ketimpangan pertumbuhan ekonomi
dan penyebaran penduduk yang terjadi antara satu wilayah dengan yang lain
pada akhirnya akan menimbulkan kesenjangan tingkat kemiskinan.
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dihadapi oleh
semua negara di dunia, terutama di negara sedang berkembang. Masalah
tersebut dapat dikatakan kompleks karena kemiskinan memiliki banyak
dimensi, bukan hanya dimensi ekonomi saja tetapi juga dimensi lain seperti
kesehatan dan pendidikan. Konsentrasi spasial kemiskinan memiliki definisi
yang berbeda dengan kemiskinan yang konvensional. Secara konvensional,
kemiskinan menunjuk pada individu atau keluarga yang tidak dapat
commit to user
proporsi tertentu dari pendapatannya untuk mencapai standar hidup tertentu
sedangkan konsentrasi spasial kemiskinan melihat tingkat kemiskinan pada
suatu komunitas tertentu (Ardyanto, 2003 dalam Sunarwan, 2007).
Komunitas dapat disebut miskin jika lebih dari 20% populasinya orang
miskin. Tingkat kemiskinan suatu komunitas inilah yang selanjutnya dapat
digunakan untuk memberikan informasi perbandingan kemiskinan antar
wilayah.
Mengingat kemiskinan merupakan masalah yang kompleks, maka
terdapat banyak faktor yang diduga dapat mempengaruhinya, antara lain: (i)
pertumbuhan ekonomi; (ii) pendidikan, dan (iii) pengangguran. Penelitian
yang dilakukan Wongdesmiwati (2009), menemukan bahwa terdapat
hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan.
Kenaikan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan tingkat kemiskinan.
Hubungan ini menunjukkan pentingnya mempercepat pertumbuhan ekonomi
untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Pendidikan juga merupakan faktor
penentu tinggi rendahnya tingkat kemiskinan. Investasi pendidikan akan
mampu meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang
diperlihatkan dengan meningkatnya pengetahuan dan keterampilan seseorang.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan dan
keahlian juga akan meningkat sehingga akan mendorong peningkatan
produktivitas dan efisiensi dalam pekerjaannya. Dari hal tersebut terlihat
dengan jelas adanya hubungan antara pendidikan dengan kemiskinan.
Pengangguran juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
commit to user
Agus Prasetyo (2010) menemukan bahwa ada hubungan yang positif antara
tingkat penggangguran dengan tingkat kemiskinan. Hubungan ini
menunjukkan pentingnya untuk menekan tingkat pengangguran untuk
menurunkan tingkat kemiskinan.
Dalam mengukur tingkat kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS)
menggunakan batas kemiskinan dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per
kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan
makanan (BPS, 1994 dalam Mudrajad, 2009). Untuk kebutuhan minimum
makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari. Sedang pengeluaran
kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan,
sandang, serta aneka barang dan jasa. Berdasarkan pengukuran tersebut di
dapatkan hasil bahwa selama periode 1976 sampai 2009, telah terjadi trend
peningkatan batas garis kemiskinan, yang disesuaikan dengan kenaikan harga
barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat, hal ini seperti yang
commit to user
Sumber: BPS. (1994, 2001, 2009) dalam Mudrajad Kuncoro. (2009). URL: www.mudrajad.com/ upload/kemiskinan_di_Indonesia-Mudrajad_18juli2009.doc diakses 12 November 2010 pukul 20.05
Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah dan persentase penduduk
miskin pada periode 1996-2009 berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada
periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta
jiwa dari 34,01 juta jiwa pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta jiwa pada tahun
1999. Pada periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun
dari 37,5 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta jiwa pada tahun 2005.
Pada tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup
drastis menjadi 39,30 juta jiwa (17,75%). Penduduk miskin di daerah
commit to user
bertambah 2,09 juta jiwa. Namun pada periode 2007-2008 terjadi penurunan
jumlah dan persentase penduduk miskin yang cukup signifikan, dari 37,17
juta jiwa (16,58%) pada tahun 2007 menjadi 34,96 juta jiwa (15,42%) pada
tahun 2008. Jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan turun lebih tajam
dari pada daerah perkotaan, dimana selama periode 2007-2008 penduduk
miskin di daerah perdesaan berkurang 1,42 juta jiwa, sementara di daerah
perkotaan berkurang 0,79 juta jiwa. Di tahun 2009 trend penurunan jumlah
penduduk miskin masih berlanjut, dimana pada tahun ini jumlah penduduk
miskin berkurang menjadi 32,53 juta jiwa dengan rincian penduduk miskin di
wilayah kota sebesar 11,91 juta jiwa dan penduduk miskin di wilayah desa
sebesar 20,62 juta jiwa.
Bank Dunia (1990) mengunakan 2 (dua) kriteria dalam melakukan
penelitian tentang kemiskinan, yaitu: (i) menggunakan garis kemiskinan
nasional yang didasarkan pada pola konsumsi 2.100 kalori per hari dan (ii)
garis kemiskinan internasional berdasarkan Purcha sing Power Pa rity (PPP)
US$ 1 dan US$ 2. Menurut penelitian yang dilakukan Bank Dunia di
Indonesia, bila garis kemiskinan dihitung berdasarkan Purcha sing Power
Pa rity (PPP) US$ 1 per kapita/hari maka persentase kemiskinan adalah
sebesar 5,9% pada tahun 2008, yang lebih rendah dibanding tahun
sebelumnya yaitu 6,7%. Namun bila dihitung berdasarkan PPP US$ 2 per
kapita/hari, maka persentase kemiskinan adalah sebesar 42,6%. Jika garis
kemiskinan naik dua kali lipat, terlihat bahwa jumlah penduduk miskin naik
lebih dari empat kali. Ini menunjukkan bahwa perhitungan angka kemiskinan
commit to user
sedikit saja dari harga-harga kebutuhan bisa berakibat banyak sekali
penduduk yang akan tergolong miskin (Mudrajad, 2009. URL:
www.mudrajad.com/upload/kemiskinan_di_Indonesia-Mudrajad_18juli2009.
doc diakses tanggal 12 November 2010 pukul 20.05)
Sajogyo (1974) melakukan penelitian mengenai kemiskinan dengan
menggunakan suatu garis kemiskinan yang didasarkan atas harga beras.
Sajogyo mendefinisikan batas garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per
kapita setahun yang sama dengan beras. Dengan kata lain, garis kemiskinan
versi Sajogyo adalah nilai rupiah yang setara dengan 20 kg beras untuk
daerah pedesaan dan 30 kg beras untuk perkotaan. Pendekatan Sajogyo ini
memiliki kelemahan mendasar yaitu tidak mempertimbangkan perkembangan
tingkat biaya riil (Mudrajad, 2009).
Dari penelitian kemiskinan yang didasarkan pada harga beras
tersebut di dapatkan hasil bahwa pada tahun 1964/65 jumlah penduduk kota
yang dapat dikategorikan miskin sebesar 65,1% sedangkan jumlah penduduk
Tabel 1.4 Persentase Penduduk Miskin Menurut Sajogyo dan Esmara
Tahun
Kota Desa
Sajogyo Esmara Sajogyo Esmara
(1) (2) (3) (4) (5)
commit to user
desa miskin sebesar 49,3%. Jumlah tersebut terus mengalami penurunan
sampai pada tahun 1981, dimana pada tahun tersebut jumlah penduduk kota
dan desa yang dikategorikan miskin masing-masing sebesar 13,2% dan 8%.
Namun pada tahun penelitian berikutnya yaitu tahun 1984 dan 1987
persentase penduduk miskin di kota dan desa mengalami perkembangan yang
berkebalikan. persentase penduduk miskin kota mengalami kenaikan dari
13,2% pada tahun 1981 menjadi 30,4% pada tahun 1987, sementara
persentase penduduk miskin desa mengalami penurunan dari 8% pada tahun
1981 menjadi 3,2% di tahun 1987.
Penelitian mengenai masalah kemiskinan lainnya adalah yang
dilakukan oleh Hendra Esmara. Hendra Esmara (1986) menggunakan suatu
garis kemiskinan perdesaan dan perkotaan yang dipandang dari sudut
pengeluaran aktual pada sekelompok barang dan jasa esensial seperti yang
diungkapkan secara berturut-turut dalam Susenas. Oleh karena itu ukuran
Esmara mampu menangkap dampak inflasi maupun dampak penghasilan riil
yang meningkat terhadap kuantitas barang-barang esensial yang dikonsumsi.
Hasil penelitian yang didapatkan melalui metode yang dipakai Hendra
Esmana (1986) ini menunjukkan bahwa pada tahun 1964/65 persentase
penduduk yang dikategorikan miskin di kota mencapai 44% sedangkan di
desa terdapat penduduk miskin sebesar 51,6%. Pada tahun-tahun berikutnya
persentase penduduk miskin baik di kota maupun di desa menunjukkan trend
yang menurun, akan tetapi trend penurunan tersebut tidak sebesar trend
penurunan yang terjadi dalam penelitian Sajogyo (1974). Dalam penelitian
commit to user
dapat dikategorikan miskin sebesar 30,4% sedangkan penduduk miskin di
desa mencapai 36%. Penelitian yang dilakukan Hendra Esmana (1986) selalu
menunjukkan persentase penduduk miskin yang ada di desa selalu lebih besar
dari pada persentase penduduk miskin yang ada di kota, hal ini berlawanan
dengan penelitian Sajogyo yang menunjukkan persentase penduduk miskin di
desa selalu lebih kecil dibandingkan penduduk miskin di kota (Mudrajad,
2009).
Penelitian mengenai masalah ketimpangan kemiskinan yang pernah
dilakukan adalah “Analisis Konsentasi Kemiskinan di Indonesia Periode
Tahun 1999-2003”. Penelitian yang dilakukan oleh Diana Wijayanti dan Heri
Wahono (2005) ini didasari adanya kenyataan bahwa masalah kemiskinan
tidak hanya terkait dengan jumlah populasi orang miskin saja tetapi juga
terkait dengan konsentrasi kemiskinan yang ada pada area tertentu. Hasilnya
adalah baik kesenjangan dalam pulau (within region) maupun antar pulau
(between region) di Indonesia relatif stabil. Di mana pulau yang memiliki
tingkat kesenjangan antar pulau tertinggi adalah Pulau Jawa dan yang
terendah adalah Pulau Kalimantan.
Penelitian dengan tema yang hampir sama dilakukan oleh Sunarwan
Arif Wicaksana (2007). Penelitian ini mengambil judul “Analisis
Kesenjangan Kemiskinan Antar Provinsi di Indonesia Periode Tahun
2000-2004”. Hasilnya adalah kesenjangan dalam pulau atau within isla nd di
Indonesia relatif stabil, dimana pulau yang memiliki tingkat kesenjangan
tertinggi adalah kelompok kepulauan lainnya yang terdiri dari Provinsi Bali,
commit to user
menghasikan angka yang relatif stabil,dimana pulau yang memiliki tingkat
kesenjangan tertinggi adalah Pulau Jawa, sedangkan pulau yang memiliki
tingkat kesenjangan terendah adalah Pulau Kalimantan.
Penelitian lainnya adalah yang dilakukan oleh Ardyanto (2003)
dengan judul “Analisis Konsentrasi Spasial Kemiskinan di Jawa”. Hasil
penelitian ini mendukung hipotesis yang telah dikemukakan oleh penulis,
terjadi kesenjangan yang semakin tinggi di Jawa antara sebelum krisis (1996)
dan sesudah krisis (1998). Selain itu juga disimpulkan bahwa kesenjangan
spasial di Jawa pada tahun 1996 lebih banyak disebabkan oleh kesenjangan
dalam satu provinsi. Hasil ini mengindikasikan bahwa konsentrasi
kemiskinan spasial terjadi di wilayah kabupaten dan kota sehingga terjadi
kesenjangan antar kabupaten/kota yang lebih besar dibandingkan kesenjangan
antar provinsi di Jawa.
Penelitian mengenai masalah kemiskinan antar wilayah di Indonesia
yang didasarkan atas pembagian wilayah menurut Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) Nasional selama ini masih jarang dilakukan.
Menurut RPJM Nasional wilayah Indonesia tidak hanya dibagi menjadi
wilayah Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur saja, tetapi
wilayah Indonesia dibagi menjadi 7 (tujuh) bagian yaitu: (i) wilayah
Sumatera, (ii) wilayah Jawa-Bali, (iii) wilayah Kalimantan, (iv) wilayah
Sulawesi, (v) wilayah Nusa Tenggara, (vi) wilayah Maluku dan (vii) wilayah
Papua. Dengan membagi wilayah Indonesia menjadi bagian-bagian seperti
commit to user
di Indonesia akan dapat terlihat dengan lebih jelas dari pada hanya membagi
wilayah Indonesia menjadi kawasan barat dan kawasan timur.
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa baik dalam tahun 2009
jumlah penduduk miskin terbesar berada dikawasan Jawa-Bali dengan jumlah
18.610,7 ribu jiwa. Di kawasan Sumatera jumlah penduduk miskin sebesar
6.854,2 ribu jiwa atau sekitar 21,07% dari total penduduk miskin di
Indonesia. Jumlah penduduk miskin yang berada di kawasan Sulawesi dan
Nusa Tenggara masing-masing sebesar 2.490,1 ribu jiwa dan 2.064 ribu jiwa.
Di Kawasan Papua terdapat penduduk miskin berjumlah 1.017,1 ribu jiwa
atau sekitar 3,13%. Jumlah penduduk miskin yang berada di kawasan
Kalimantan sebesar 1.015,9 ribu jiwa. Sedangkan kawasan Maluku
merupakan kawasan yang memiliki jumlah penduduk miskin yang paling
kecil yaitu sebesar 478 ribu jiwa. Meskipun jumlah penduduk miskin dari
Tabel 1.5 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Berdasarkan Pembagian Wilayah dalam RPJMN (Ribu Jiwa)
commit to user
tahun ke tahun menunjukkan adanya trend yang menurun, akan tetapi jumlah
penduduk Indonesia yang dikategorikan miskin masih tetap banyak.
Adanya perbedaan tingkat persentase dan jumlah kemiskinan yang
cukup signifikan disetiap wilayah di Indonesia, akan membawa dampak
perbedaan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang pada akhirnya akan
menyebabkan kesenjangan kemiskinan semakin membesar. Berdasarkan latar
belakang masalah diatas maka penulis mengangkat penelitian dengan judul
“ANALISIS FAKTOR PENENTU DAN TINGKAT KETIMPANGAN
KEMISKINAN ANTAR WILAYAH DI INDONESIA PERIODE
2007-2009”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas perumusan masalah
dalam studi ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah variable Pertumbuhan Ekonomi (Growth), Angka Melek Huruf
(AMH) dan Pengangguran berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di
Indonesia pada tahun 2007-2009.
2. Bagaimanakah trend kesenjangan kemiskinan dalam pulau dan antar pulau
di Indonesia pada tahun 2007-2009.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaruh variabel Pertumbuhan Ekonomi (Growth),
Angka Melek Huruf (AMH) dan Pengangguran terhadap tingkat
commit to user
2. Untuk mengetahui trend kesenjangan kemiskinan dalam pulau dan antar
pulau di indonesia pada tahun 2007-2009.
D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian yang dilakukan, diharapkan dapat memberi
manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun manfaat yang
diberikan yaitu:
1. Bagi Pengembangan Ilmu
Dapat digunakan untuk menambah khasanah pengetahuan tentang
kesenjangan kemiskinan antar wilayah di Indonesia periode tahun
2007-2009.
2. Bagi Pemerintah
Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil kebijakan
dalam upaya mengurangi dan menghilangkan kesenjangan kemiskinan
spasial yang terjadi di Indonesia.
3. Bagi Pihak Lain
Dapat memberikan informasi tambahan khususnya bagi pihak-pihak yang
berkepentingan dalam melakukan penelitian berikutnya, khususnya jika
commit to user
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Pembangunan Ekonomi
a. Pengertian dan Tujuan Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai
suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu
negara meningkat dalam jangka panjang (Arsyad, 1999). Dari definisi
tersebut pembangunan ekonomi mempunyai 3 (tiga) sifat penting
yaitu: (i) suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi secara
terus-menerus, (ii) usaha untuk menaikkan pendapatan perkapita, dan
(iii) kenaikan pendapatan perkapita dalam jangka panjang.
Pembangunan ekonomi (economic development) mempunyai
pengertian yang berbeda dengan pertumbuhan ekonomi (economic
growth), pembangunan ekonomi sebagai (Arsyad, 1999) :
1) Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat yaitu tingkat
pertambahan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic
Product (GDP) pada suatu tahun tertentu adalah melebihi tingkat
pertambahan penduduk, atau
2) Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross
Domestic Product (GDP) yang terjadi dalam suatu negara diikuti
commit to user
Sedangkan pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan
Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP)
tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari
tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah terjadi perubahan struktur
ekonomi atau tidak.
Pembangunan bukan merupakan tujuan melainkan hanya alat
sebagai proses instrumental untuk menurunkan kemiskinan, menyerap
tenaga kerja, dan menurunkan kesenjangan distribusi pendapatan.
Todaro (2000) menekankan bahwa pembangunan adalah suatu proses
yang multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan
mendasar dalam struktur sosial, sikap masyarakat dan kelembagaan
nasional seperti halnya percepatan pertumbuhan ekonomi,
pengurangan ketimpangan dan pemberantasan kemiskinan absolut.
b. Pembangunan Ekonomi Daerah
1) Pengertian Daerah
Pengertian daerah berbeda-beda tergantung pada aspek
tinjauannya. Dari aspek ekonomi daerah memiliki tiga pengertian
(Arsyad, 1999), yaitu:
a) Suatu daerah dianggap sebagai ruang dimana kegiatan
ekonomi terjadi dan di dalam berbagi pelosok ruang tersebut
terdapat sifat-sifat yang sama. Kesamaan sifat-sifat tersebut
antara lain dari segi pendapatan per kapitanya,
sosial-budayanya, geografisnya, dan sebagainya. Daerah dalam
commit to user
b) Suatu daerah dianggap sebagai suatu ekonomi ruang yang
dikuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan ekonomi.
Daerah dalam pengertian ini disebut daerah nodal.
c) Suatu daerah adalah suatu ekonomi ruang yang berada di
bawah suatu administrasi tertentu seperti satu provinsi,
kabupaten, kecamatan, dan sebagainya. Jadi daerah disini
didasarkan pada pembagian administratif suatu negara.
Daerah dalam pengertian ini dinamakan daerah administratif
atau daerah perencanaan.
Dalam praktik, jika kita membahas perencanaan
pembangunan ekonomi daerah maka pengertian yang ketiga
tersebut diatas lebih banyak digunakan.
2) Pengertian Pembangunan Ekonomi Daerah
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana
pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya–
sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan
antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk
menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan
kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah
tersebut.
Menurut Arsyad (1999) masalah pokok dalam
pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap
kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada
commit to user
dengan menggunakan potensi sumber daya manusia,
kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah).
Orientasi ini mengarahkan kita kepada pengambilan
inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses
pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan
merangsang peningkatan kegiatan ekonomi.
Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai
tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja
untuk masyarakat daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan
tersebut pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara
bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. Oleh
karena itu, pemerintah daerah beserta partisipasi masyarakatnya
dan dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang ada
harus mampu menaksir potensi sumber daya-sumber daya yang
diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian
daerah.
3) Teori Pembangunan Ekonomi Daerah
Saat ini tidak ada satu teori pun yang mampu untuk
menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komprehensif.
Namun demikian, ada beberapa teori yang secara parsial dapat
membantu untuk memahami arti penting pembangunan ekonomi
daerah. Pada hakikatnya, inti dari teori-teori tersebut berkisar
pada dua hal, yaitu: (i) pembahasan yang berkisar antara metode
teori-commit to user
teori yang membahas tentang faktor-faktor yang menentukan
pertumbuhan ekonomi suatu daerah tertentu (Arsyad, 1999).
a) Teori Ekonomi Neo Klasik
Teori ekonomi Neo Klasik memberikan dua konsep
pokok dalam pembangunan ekonomi daerah yaitu
keseimbangan (equilibrium) dan mobilitas faktor produksi.
Artinya, sistem perekonomian akan mencapai keseimbangan
alamiahnya jika modal bisa mengalir tanpa restriksi
(pembatasan). Oleh karena itu, modal akan mengalir dari
daerah yang berupah tinggi menuju ke daerah yang berupah
rendah.
b) Teori Basis Ekonomi
Teori basis ekonomi ini menyatakan bahwa faktor
penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah
berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan
jasa dari luar daerah. Pertumbuhan industri-industri yang
menggunakan sumber daya lokal, termasuk tenaga kerja dan
bahan baku untuk diekspor, akan menghasilkan kekayaan
daerah dan penciptaan peluang kerja (job crea tion).
Kelemahan model ini adalah pendasaran pada permintaan
eksternal bukan internal, sehingga pada akhirnya akan
menyebabkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap
commit to user
c) Teori Lokasi
Para ekonom regional sering mengatakan bahwa ada 3
(tiga) faktor yang mempengaruhi pertumbuhan daerah, yaitu:
lokasi, lokasi, dan lokasi. Pernyataan tersebut sangat masuk
akal jika dikaitkan dengan pengembangan kawasan industri.
Perusahaan cenderung untuk meminimumkan biayanya
dengan cara memilih lokasi yang memaksimumkan
peluangnya untuk mendekati pasar. Model pengembangan
industri kuno menyatakan bahwa lokasi yang terbaik adalah
biaya yang termurah antara bahan baku dengan pasar.
Keterbatasan dari teori lokasi ini pada saat sekarang adalah
bahwa teknologi dan komunikasi modern telah mengubah
signifikansi suatu lokasi tertentu untuk kegiatan produksi dan
distribusi barang.
d) Teori Tempat Sentral
Teori tempat sentral (centra l pla ce theory)
menganggap bahwa ada hierarki tempat (hiera rchy of
pla ces). Setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat
yang lebih kecil yang menyediakan sumberdaya industri dan
bahan baku. Tempat sentral tersebut merupakan suatu
pemukiman yang menyebabkan jasa-jasa bagi penduduk
daerah yang mendukungnya.
Teori tempat sentral ini bisa diterapkan pada
commit to user
maupun pedesaan. Misalnya, perlunya melakukan pembedaan
fungsi antara daerah-daerah yang bertetangga (berbatasan).
Beberapa daerah bisa menjadi wilayah penyedia jasa
sedangkan lainnya hanya sebagai daerah pemukiman.
Seorang ahli pembangunan ekonomi daerah dapat membantu
masyarakat untuk mengembangkan peranan fungsional
mereka dalam sistem ekonomi daerah.
e) Teori Kausasi Kumulatif
Kondisi daerah-daerah sekitar kota yang semakin
buruk menunjukkan konsep dasar dari tesis kausasi kumulatif
(cumula tive causation) ini. Kekuatan-kekuatan pasar
cenderung memperparah kesenjangan antara daerah-daerah
tersebut (maju versus terbelakang). Daerah yang maju
mengalami akumulasi keunggulan kompetitif dibanding
daerah-daerah lainnya.
f) Teori Daya Tarik (Attraction)
Teori daya tarik industri adalah model pembangunan
ekonomi yang paling banyak digunakan oleh masyarakat.
Teori ekonomi yang mendasarinya adalah bahwa suatu
masyarakat dapat memperbaiki posisi pasarnya terhadap
industrialis melalui pemberian subsidi dan insentif.
2. Ketimpangan Pembangunan
Ketimpangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh
commit to user
perbedaan faktor anugerah awal (Endowment Fa ctor). Perbedaan inilah
yang menyebabkan tingkat pembangunan di berbagai wilayah dan daerah
berbeda-beda, sehingga menimbulkan gap atau jurang kesejahteraan di
berbagai wilayah tersebut (Sadono, 1997).
Menurut Myrdal (1957), perbedaan tingkat kemajuan ekonomi
antar daerah yang berlebihan akan mengakibatkan pengaruh yang
merugikan (ba ckwa sh effects) mendominasi pengaruh yang
menguntungkan (sprea d effects) yang dalam hal ini dapat menyebabkan
ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar
secara normal akan cenderung meningkat bukannya menurun, sehingga
mengakibakan kesenjangan antar daerah (Arsyad, 1999). Adelman dan
Moris (1973) berpendapat bahwa ketimpangan pendapatan di daerah
ditentukan oleh jenis pembangunan ekonomi yang ditunjukkan oleh
ukuran negara, sumber daya alam, dan kebijakan yang dianut. Dengan kata
lain, faktor kebijakan dan dimensi structura l perlu diperhatikan selain laju
pertumbuhan ekonomi (Mudrajad, 1999).
3. Kemiskinan
a. Pengertian Kemiskinan
Di dunia ilmiah masalah kemiskinan telah banyak ditelaah oleh
para ilmuwan dari berbagai macam latar belakang disiplin ilmu
dengan menggunakan konsep-konsep dan ukuran yang bersesuaian
dengan latar belakang ilmuan tersebut. Sosiolog maupun ekonom
telah banyak menulis tentang kemiskinan, tetapi menurut Hardiman &
commit to user
“distribusi pendapatan“ lebih sering digunakan dalam ilmu ekonomi,
sedangkan para sosiolog lebih sering menggunakan istilah “kelas”,
“stratifikasi”, dan “marginalitas” (Arsyad, 1999). Bagi yang
memperhatikan masalah-masalah kebijakan sosial secara luas
biasanya lebih memperhatikan konsep “tingkat hidup”, yakni tidak
hanya menekankan pada tingkat pendapatan saja tetapi juga masalah
pendidikan, perumahan, kesehatan, dan kondisi-kondisi sosial lainnya
dari masyarakat. Namun demikian, sampai saat ini belum ada
definisi-definisi yang baku dan bisa diterima secara umum dari berbagai
macam istilah tersebut. Hal ini menunjukan bahwa masalah
kemiskinan itu sangatlah kompleks dan pemecahannya pun tidak
mudah.
Menurut Andre Bayo Ala (1981), kemiskinan merupakan suatu
masalah yang bersifat multidimensional (Arsyad, 1999). Artinya,
karena kebutuhan manusia itu bermacam-macam, maka kemiskinan
pun memiliki banyak aspek. Dilihat dari kebijakan umum, maka
kemiskinan meliputi aspek yang berupa miskin akan aset, organisasi
sosial politik, dan pengetahuan serta ketrampilan; dan aspek sekunder
yang berupa miskin akan jaringan nasional, sumber-sumber keuangan
dan informasi. Dimensi-dimensi kemiskinan tersebut
termanifestasikan dalam bentuk kekurangan gizi, air, perumahan yang
sehat, perawatan kesehatan yang kurang baik, dan tingkat pendidikan
commit to user
Selain itu, dimensi-dimensi kemiskinan saling berkaitan, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini berarti bahwa
kemajuan dan atau kemunduran pada salah satu aspek dapat
mempengaruhi kemajuan atau kemunduran pada aspek lainnya. Dan
aspek lainnya dari kemiskinan ini adalah bahwa yang miskin itu
manusianya, baik secara individual maupun kolektif. Kita sering
mendengar istilah kemiskinan pedesaan, kemiskinan perkotaan, dan
sebagainya. Namun demikian, bukan berarti desa atau kotanya yang
mengalami kemiskinan, tetapi orang-orang atau penduduknya yang
menderita miskin.
Kemiskinan digunakan sebagai salah satu indikator dalam
menilai hasil pembangunan. Tingkat kemiskinan di masing-masing
wilayah dapat menunjukkan wilayah mana yang mengalami
pembangunan yang baik atau buruk. Pembangunan suatu daerah
wilayah akan memiliki pengaruh positif dan negatif bagi wilayah lain.
Untuk mengurangi kesenjangan regional perlu adanya perpindahan
pelopor pembangunan dari suatu daerah atau wilayah ke wilayah lain.
Dengan berpindahnya perusahaan dan aktivitas ekonomi dari suatu
wilayah ke wilayah lain akan menyebarkan ekpansi kumulatif dari
suatu wilayah ke wilayah lain.
Pembangunan suatu wilayah dapat menimbulkan dampak yang
berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lain, bahkan dapat
bertolak belakang sama sekali. Perbedaan spasial tersebut sebenarnya
commit to user
perbedaan struktur oportunitas, yaitu gabungan oportunitas yang
bervariasi seperti tingkat pendidikan, pengalaman dan fasilitas lain
yang menarik. Struktur oportunitas yang menarik bagi orang miskin
adalah struktur industri yang membuka kesempatan kerja pendidikan
atau keterampilan rendah, biaya hidup yang rendah khususnya tempat
tinggal dan kesempatan berproduksi secara subsisten.
b. Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan merupakan suatu keadaan yang sangat
multidimensional dan disebabkan oleh berbagai hal yang saling
mengkait antara satu dengan yang lain. Mudrajad (1999) mengatakan
bahwa perang, pertanian yang masih subsisten dan tradisional
merupakan salah satu penyebab terjadinya kemiskinan.
Sedangkan menurut Sharp, et al (1996) dalam Mudrajad
(1999) bahwa kemiskinan dari sudut pandang ekonomi antara lain:
1) Secara mikro, kemiskinan terjadi karena adanya perbedaan
kepemilikan pendapatan
2) Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas Sumber
Daya Alam
3) Penyebab kemiskinan bermuara pada teori lingkaran setan
commit to user
Gambar 2.1 Lingkaran Setan Kemiskinan Sumber: Mudrajad (1999)
Breman (1985) dalam Sagung (2005), mengatakan bahwa bagi
kaum miskin “jalan menuju ke atas seringkali dirintangi, sedangkan
jalan ke bawah terlalu mudah dilalui”. Munculnya kemapanan
kemiskinan dikalangan masyarakat miskin lebih disebabkan karena
himpitan struktural, karena kemiskinan yang kronis itulah kaum
miskin mudah ditaklukkan dan dikelola untuk mengikuti kemauan dan
kepentingan golongan elit berkuasa. Kemiskinan tidak semata-mata
muncul karena kebudayaan tetapi lebih berkaitan dengan tatanan
ekonomi dan sosial yang membatasi peluang kaum miskin untuk
keluar dari belenggu kemiskinan.
Selain pendapat-pendapat di atas, menurut Samsubar Saleh
(2002) mengatakan faktor-faktor lain penyebab kemiskinan regional
di Indonesia adalah:
Ketidaksempurnaan Pasar, Keterbelakangan dan Ketertinggalan
Kekurangan Modal
Investasi Rendah
Tabungan Rendah
Produktivitas Rendah
commit to user
1) Tingkat pendapatan per kapita per provinsi.
2) Pengeluaran pemerintah untuk investasi sumber daya manusia per
kapita per provinsi, (penjumlahan pengeluaran pembangunan
sektor pendidikan, kebudayaan dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa; sektor kesehatan, kesejahteraan, peranan wanita,
anak, dan remaja; sektor tenaga kerja; dan sektor ilmu
pengetahuan dan teknologi).
3) Pengeluaran pemerintah untuk investasi fisik per kapita per
provinsi.
4) Angka harapan hidup.
5) Angka melek huruf persentase dari total penduduk.
6) Rata-rata lama bersekolah penduduk (dalam tahun).
7) Indeks Pengembangan Manusia (IPM) atau Huma n Development
Index (HDI).
8) Indeks partisipasi wanita dalam ekonomi dan politik a ta u Gender
Empowerment Index (GEI) atau lebih tepat diistilahkan Women
Empowerment Index.
9) Rasio Gini.
10) Rasio populasi rumah tangga yang tidak mendapat akses terhadap
fasilitas kesehatan.
11) Rasio populasi rumah tangga yang tidak mendapat akses terhadap
commit to user
c. Jenis Kemiskinan
Ellis (1994) dalam Sagung (2005), mengatakan bahwa untuk
membangun pengertian kemiskinan dapat diidentifikasikan ke dalam
beberapa dimensi seperti dimensi ekonomi, sosial, dan politik.
1) Kemiskinan ekonomi – adanya kekurangan sumber daya yang
dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok
orang. Kemiskinan ekonomi berkaitan dengan tingkat pendapatan
dan kebutuhan untuk hidup.
2) Kemiskinan sosial – kekurangan jaringan sosial dan struktur
sosial yang mendukung untuk mendapatkan
kesempatan-kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat.
3) Kemiskinan politik – lebih menekankan pada derajat akses
terhadap kekuasaan/power kekuasaan, disini berarti mencakup
tatanan sistem sosial (politik) yang dapat menentukan alokasi
sumber daya untuk kepentingan sekelompok orang atau tatanan
sistem sosial yang menentukan alokasi sumber daya.
Sedangkan menurut Azhari (1997) dalam Sagung (2005),
melihat macam kemiskinan dari sudut pandang yang lain, yaitu:
1) Kemiskinan alamiah – kemiskinan yang timbul karena
kelangkaan sumber daya dan jumlah penduduk yang tumbuh
dengan pesat.
2) Kemiskinan struktural – kemiskinan yang diderita oleh suatu
golongan masyarakat karena struktur sosial yang terbentuk dalam
commit to user
3) Kemiskinan kultural – kemiskinan yang muncul karena tuntutan
tradisi/adat yang membebani ekonomi masyarakat seperti upacara
perkawinan, kematian, atau pesta-pesta adat lainnya. Termasuk
juga sikap mentalitas penduduk yang lamban, malas, konsumtif
serta kurang berorientasi ke masa depan.
d. Ukuran Kemiskinan
Pada umumnya terdapat dua indikator untuk mengukur tingkat
kemiskinan di suatu wilayah, yaitu kemiskinan absolut dan
kemiskinan relatif. Mengukur kemiskinan dengan mengacu pada garis
kemiskinan disebut kemiskinan absolut, sedangkan konsep
kemiskinan yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis
kemiskinan yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis
kemiskinan disebut kemiskinan relatif (Tulus, 2001).
1) Kemiskinan Absolut
Kemiskinan absolut merupakan ketidakmampuan seseorang
dengan pendapatan yang diperolehnya untuk mencukupi
kebutuhan dasar minimum yang diperlukan untuk hidup setiap
hari. Kebutuhan minimum tersebut diterjemahkan dalam ukuran
finansial (uang). Nilai minimum tersebut digunakan sebagai batas
garis kemiskinan. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang
selalu konstan secara riil, sehingga dapat ditelusuri kemajuan
yang diperolah dalam menanggulangi kemiskinan pada level
commit to user
Wor ld ba nk (1990) menggunakan ukuran kemiskinan
absolut ini untuk menentukan jumlah penduduk miskin. Menurut
world bank, penduduk miskin adalah mereka yang hidup kurang
dari US$ 1 atau US$ 2 per hari dalam dolar Purcha sing Power
Pa rity (PPP). Akan tetapi, tidak semua negara mengikuti standar
minimum yang digunakan world ba nk tersebut, karena bagi
negara-negara berkembang level tersebut masihlah tinggi, oleh
karena itu banyak negara menentukan garis kemiskinan nasional
sendiri dimana kriteria yang digunakan disesuaikan dengan
kondisi perekonomian masing-masing negara.
Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (1994) menentukan
kemiskinan absolut Indonesia merupakan ketidakmampuan
seseorang untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum energi
kalori (2.100 kilo kalori per kapita per hari) yang dipergunakan
tubuh dan kebutuhan dasar minimum untuk sandang, perumahan,
kesehatan, pendidikan, transportasi, dan kebutuhan dasar lain.
2) Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif ditentukan berdasarkan ketidakmampuan
untuk mencapai standar kehidupan yang ditetapkan masyarakat
setempat sehingga proses penentuannya sangat subyektif. Mereka
yang berada di bawah standar penilaian tersebut dikategorikan
sebagai miskin secara relatif. Kemiskinan relatif ini digunakan
commit to user
Badan pemerintah yang menggunakan ukuran kemiskinan
relatif misalnya Badan Keluarga Kecil Berencana Nasional.
BKKBN mendefinisikan miskin atau kurang sejahtera dalam
pengertian Pembangunan Keluarga Sejahtera yang terdiri atas
Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I. Keluarga Pra
Sejahtera adalah keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi
kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan spiritual,
pangan, sandang, papan, kesehatan dan keluarga berencana.
Sedangkan Keluarga Sejahtera I adalah keluarga-keluarga yang
telah dapat memenuhi kebutuhan dasanya secara minimal, tetapi
belum dapat memenuhi kebutuhan sosial dan psikologis, serta
kebutuhan pendidikan, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan
lingkungan tempat tinggal dan transportasi.
e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan
1) Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam
jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk
menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya
yang ditentukan oleh adanya kemajuan atau
penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan), dan ideologis
terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada (Simon Kuznetz
dalam Todaro, 2004). Menurut Robinson Tarigan (2004)
commit to user
masyarakat yang terjadi di suatu wilayah, yaitu kenaikanseluruh
nilai tambah (va lue a dded) yang terjadi di wilayah tersebut.
Menurut pandangan kaum historis, pertumbuhan ekonomi
merupakan tahapan proses tumbuhnya perekonomian mulai dari
perekonomian bersifat tradisional yang bergerak di sektor
pertanian dimana produksi bersifat subsisten, hingga akhirnya
menuju perekonomian modern yang didominasi oleh sektor
industri manufaktur. Menurut pandangan ekonom klasik, Adam
Smith, David Ricardo, Thomas Robert Malthus dan John Straurt
Mill, maupun ekonom neo klasik, Robert Solow dan Trevor
Swan, mengemukakan bahwa pada dasarnya ada empat faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu: (i) jumlah
penduduk, (ii) jumlah stok barang modal, (iii) luas tanah dan
kekayaan alam, dan (iv) tingkat teknologi yang digunakan. Suatu
perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau
berkembang apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi dari
pada apa yang dicapai pada masa sebelumnya (Mudrajad, 1999).
Sedangkan menurut Schumpeter, faktor utama yang
menyebabkan perkembangan ekonomi adalah proses inovasi, dan
pelakunya adalah inovator atau wiraswasta (entrepreneur).
Kemajuan ekonomi suatu masyarakat hanya bisa diterapkan
dengan adanya inovasi oleh para entrepreneur.
Menurut Kuznets (Todaro, 2000), pertumbuhan ekonomi
commit to user
bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi
kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan
atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau
penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan), dan ideologis
terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada.
Menurut Todaro (2004), ada tiga faktor utama dalam
pertumbuhan ekonomi, yaitu :
a) Akumulasi modal termasuk semua investasi baru yang
berwujud tanah (lahan), peralatan fiskal, dan Sumber Daya
Manusia (huma n resources). Akumulasi modal akan terjadi
jika ada sebagian dari pendapatan sekarang di tabung yang
kemudian diinvestasikan kembali dengan tujuan untuk
memperbesar output di masa-masa mendatang. Investasi juga
harus disertai dengan investasi infrastruktur, yakni berupa
jalan, listrik, air bersih, fasilitas sanitasi, fasilitas komunikasi,
demi menunjang aktivitas ekonomi produktif. Investasi
dalam pembinaan sumber daya manusia bermuara pada
peningkatan kualitas modal manusia, yang pada akhirnya
dapat berdampak positif terhadap angka produksi.
b) Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja.
Pertumbuhan penduduk dan hal-hal yang berhubungan
dengan kenaikan jumlah angka kerja (la bor force) secara
tradisional telah dianggap sebagai faktor yang positif dalam
commit to user
angkatan kerja semakin produktif tenaga kerja, sedangkan
semakin banyak penduduk akan meningkatkan potensi pasar
domestiknya.
c) Kemajuan Teknologi. Kemajuan teknologi disebabkan oleh
teknologi cara-cara baru dan cara-cara lama yang diperbaiki
dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tradisional. Ada 3
klasifikasi kemajuan teknologi, yakni :
(1) Kemajuan teknologi yang bersifat netral, terjadi jika
tingkat output yang dicapai lebih tinggi pada kuantitas
dan kombinasi-kombinasi input yang sama.
(2) Kemajuan teknologi yang bersifat hemat tenaga kerja
(la bor sa ving) atau hemat modal (ca pita l sa ving), yaitu
tingkat output yang lebih tinggi bisa dicapai dengan
jumlah tenaga kerja atau input modal yang sama
(3) Kemajuan teknologi yang meningkatkan modal, terjadi
jika penggunaan teknologi tersebut memungkinkan kita
memanfaatkan barang modal yang ada secara lebih
produktif.
Salah satu alat pengukur pertumbuhan ekonomi adalah
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau yang
ditingkat nasional disebut Produk Domestik Bruto (PDB).
PDRB adalah jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan
oleh suatu perekonomian dalam satu tahun dan dinyatakan
commit to user
Wongdesmiwati (2009), menemukan bahwa terdapat
hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan
tingkat kemiskinan. Kenaikan pertumbuhan ekonomi akan
menurunkan tingkat kemiskinan. Hubungan ini menunjukkan
pentingnya mempercepat pertumbuhan ekonomi untuk
menurunkan tingkat kemiskinan.
2) Pendidikan
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2003 Tentang Sisitem Pendidikan, pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujutkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
sepiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara.
Tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Jalur pendidikan:
a) Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang tersetruktur
dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, menengah
commit to user
(1) Pendidikan dasar, merupakan jenjang pendidikan yang
melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan
dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah
Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan madrasah
tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
(2) Pendidikan menengah, merupakan lanjutan pendidikan
dasar. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan
menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.
Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah
Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah
Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
(3) Pendidikan tinggi, merupakan jenjang pendidikan setelah
pendidikan menengah yang mencakup program
pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan
doctor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi.
Perguruan tinggi dapat berbentuk akademik, politeknik,
sekolah tinggi, institut, atau universitas.
b) Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar
pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara
tersetruktur dan berjenjang. Pendidikan nonformal
diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan
commit to user
penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam
rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan
ini meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak
usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan
perempuan, pendidikan keaksaraan, dan lain-lain.
c) Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluargadan
lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Hasil pendidikan formal diakui sama dengan pendidikan
formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai
dengan setandar nasional pendidikan.
Investasi pendidikan akan mampu meningkatkan kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) yang diperlihatkan dengan
meningkatnya pengetahuan dan keterampilan seseorang. Semakin
tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan dan
keahlian juga akan meningkat sehingga akan mendorong
peningkatan produktivitas kerjanya. Perusahaan akan memperoleh
hasil yang lebih banyak dengan memperkerjakan tenaga kerja
dengan produktivitas yang tinggi, sehingga perusahaan juga akan
bersedia memberikan gaji yang lebih tinggi bagi yang
bersangkutan. Di sektor informal seperti pertanian, peningkatan
ketrampilan dan keahlian tenaga kerja akan mampu meningkatkan
hasil pertanian, karena tenaga kerja yang terampil mampu bekerja