Syed Muhammad Naquib al-Attas, sebagaimana disinyalir oleh Wan Mohd Nor Wan Daud dalam karyanya yang berjudul The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 2003). Tetapi sebenarnya pengaruh tersebut tidak terlalu dominan, karena konstruksi pemikiran al-Faruqi juga di pengaruhi oleh pemikir-pemikir lainnya, seperti Fazlur Rahman, Syed Husein Nasr, dan sebagainya. Walaupun Wan Mohd Nor Wan Daud mengklaim bahwa al-Faruqi banyak memanfaatkan tulisan al-Attas yang dijadikan rujukan gagasan Islamisasi sainsnya, namun yang jelas bahwa terminologi Islamisasi telah digunakan oleh al-Faruqi dengan sangat tegas, seperti yang tercermin dalam karyanya Islamization of Knowledge. Di samping itu, munculnya gagasan Islamisasi sains al-Faruqi juga sangat dipengaruhi oleh berbagai kegiatan intelektual Islam internasional, terutama pengaruh hasil konferensi dunia tentang pendidikan Islam (First World Conference on Muslim Education), pada tahun 1977 di Mekkah, yang menandai kesadaran umat Islam, tentang arti penting pendidikan Islam bagi kemajuan dunia Muslim, dan semangat kemandirian di antara umat Islam dari ketergantungan pada Barat.
Kesimpulan tersebut di atas didukung oleh berbagai sumber antara lain pernyataan Mehdi Golshani dalam karyanya Issues in Islam and Science, yang menyatakan bahwa al-Faruqi adalah tokoh yang paling aktif mensosialisasikan ide Islamisasi sains. Azyumardi Azra dalam karyanya Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999), juga menyatakan bahwa al-Faruqi adalah tokoh yang pertama kali memperkenalkan pemikiran Islamisasi sains. Kemudian dalam uraian Syed Ali Ashraf dan Syed Sajjad Husein, dalam Crisis of Muslim Education, (Jeddah, 1979) dengan jelas menyebutkan bahwa al-Faruqi adalah tokoh yang secara gigih dan kritis mencurahkan ide-idenya dalam program Islamisasi sains modern. Dalam batas tertentu, sikap kritis al-Faruqi terhadap sains modern Barat mempunyai kemiripan dengan sikap kritis para filosof Barat terhadap perkembangan sains modern. Sebagaimana kritik yang dilontarkan terhadap kemapanan sains modern oleh beberapa filosof Barat, antara lain Thomas Kuhn, Karl Jasper dan Karl Popper. Dalam perspektif ini, mengindikasikan bahwa tipologi pemikiran al-Faruqi juga dipengaruhi oleh tokoh-tokoh filsafat Barat tersebut, terutama dalam menggugat keabsahan sains Barat yang dianggap bebas nilai. Dalam konteks pendidikan, pemikiran al-Faruqi mirip dengan semangat pembebasan dalam pendidikan dan hak kaum tertindas atas pendidikan, seperti yang dilontarkan oleh Paulo Freire, tokoh pendidikan dari Brazilia. Gagasan universalisme pendidikan Islam menurut al-Faruqi juga mirip dengan semangat progressivisme dan demokrasi pendidikan John Dewey, yang menekankan pentingnya pendidikan bagi semua manusia secara universal.
Attas ideas, as Wan Mohd Nor Wan Daud claimed, in the his author, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 2003). But its impact is no more dominant, because the concept Islamization of science according to al-Faruqi also influenced by another Islamic thinker, like Fazlur Rahman for example, Syed Husein Nasr, etc. Althaugh Wan Mohd Nor Wan Daud have the assumption that al-Faruqi exploited several articles of Syed Muhammad Naquib al-Attas and purposed to his concept on Islamization of science, but in the fact, the terminology of Islamization of science used by al-Faruqi clearly, as can be read in his author, Islamization of Knowledge. In other side, the emergence concept on Islamization of science according to al-Faruqi also influenced by The First World Conference on Muslim Education, 1977 in Mecca, and its moment have brought the consciouness for the Muslim world, especially about the important mean of Muslim education and liberation from the West.
The research conclusion supported by several books serve as the source like te commentator Mehdi Golshani in his book, Issues in Islam and Science, he claimed that al-Faruqi is the most active prominent figure socialized of Islamization of science. Azyumardi Azra in Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi (Logos: Jakarta, 1999), claimed that al-Faruqi is the fisrt figure introduced the concept Islamization of science. Syed Ali Ashraf and Syed Sajjad Husein also claimed in Crisis of Muslim Education, (Jeddah, 1979), they claimed that al-Faruqi is critical and seriously figure in the program of Islamization of modern science. In other side, the critical attitude of al-Faruqi have any resembles with the critical attitude to the development of modern science according to West philosopher like introduced by Thomas Kuhn, Karl Jassper and Karl Popper. In the educational contexs, the concept of Islamization of science according to al-Faruqi resembled with the concept liberation of education like introduced by Paulo Freire from Bazilia. The idea of universalism education according al-Faruqi also resemble with John Dewey about democracy on education and the spririt on progressivism, that education for all human being.
The different of the present dissertation’s research conducted respectively by Wan Mohd Nor Wan Daud, Eni purwati, Ahmad Khudari Saleh, Azyumardi Azra about al-Faruqi, is that the former researches only interest on the concept of Islamization of science according to al-Faruqi without analized the critical idea’s from al-Faruqi about the Islamic concept of education. In this research, finding the core concept on Islamization of science al-Faruqi, wich its result for developed the fundamental philosophy in Islamic education, and his critical for Islamic education
The primary resources of this dissertation, have been many books Ismail Raji al-Faruqi, like Islamization of Knowledge, The Cultural Atlas of Islam,
! !!!!! !!!!!!!!! !!!! !!!!! !!! !!!!!º !!!!!!! !!!! !!! !!!!!!! !! !!! !!!!!! !!!!!! ! !! ! !•! !!!!!!!!!!º !!!!! !! !!!!!!!!!!!! !
!!! !!!! !!!!!!!!!!!!!!! !!! !!!!! ! !!! ! !!! !! !!•! !! ! !! !!!!! !!!!!!!!!!!!!!!!! !! ! !
!!
Disertasi pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada tanggal 28 Agustus 2008, dan
disetujui untuk dibawa ke sidang ujian Disertasi Terbuka (Promosi Doktor).
Tim Penguji
Prof. Dr. Suwito, MA (………)
(Ketua sidang/merangkap Penguji)
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA (……….)
(Penguji)
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA (……….)
(Penguji)
Dr. Akhyar Yusuf, MA (……….)
(Penguji)
Prof. Dr. R. Mulyadhi Kartanegara, MA (.………)
(Pembimbing/merangkap Penguji)
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA (……….)
(Pembimbing/merangkap Penguji)
Drs. Ikhwan, MA (……….)
(Sekretaris Sidang)
Disertasi pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada tanggal 28 Agustus 2008, dan
disetujui untuk dibawa ke sidang ujian Disertasi Terbuka (Promosi Doktor).
Ketua sidang/merangkap Penguji,
Prof. Dr. Suwito, MA
Disertasi pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada tanggal 28 Agustus 2008, dan
disetujui untuk dibawa ke sidang ujian Disertasi Terbuka (Promosi Doktor).
Penguji
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA
Disertasi pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada tanggal 28 Agustus 2008, dan
disetujui untuk dibawa ke sidang ujian Disertasi Terbuka (Promosi Doktor).
Penguji
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA
Disertasi pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada tanggal 28 Agustus 2008, dan
disetujui untuk dibawa ke sidang ujian Disertasi Terbuka (Promosi Doktor).
Penguji
Dr. Akhyar Yusuf, MA
Disertasi pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada tanggal 28 Agustus 2008, dan
disetujui untuk dibawa ke sidang ujian Disertasi Terbuka (Promosi Doktor).
Pembimbing/merangkap Penguji
Prof. Dr. R. Mulyadhi Kartanegara, MA
Disertasi pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada tanggal 28 Agustus 2008, dan
disetujui untuk dibawa ke sidang ujian Disertasi Terbuka (Promosi Doktor).
Pembimbing/merangkap Penguji
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA
Daftar Isi ……… iv
Daftar Transliterasi ……… v
Ucapan Terima kasih ……… vi
BAB I : PENDAHULUAN ……… 1
A. Latar Belakang Masalah ……… 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah … 15 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………. 17
D. Metodologi Penelitian ……… 17
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ……….. 24
F. Sistematika Penulisan ……… 28
BAB II : SEJARAH PENGEMBANGAN SAINS DALAM ISLAM ……… 30
A. SejarahTradisi Keilmuan Dalam Islam ………… 30
B. Peran Lembaga Pendidikan dalam Pengembangan Sains ……… 41
C. Perkembangan Sains dan Pengaruh Hellenisme ……… 53
BAB III : RIWAYAT HIDUP ISMAIL RAJI AL-FARUQI….. 67
A. Latar Belakang Sejarah Sosio-Politik Palestina…. 67 B. Akar Konflik Palestina-Israel ………. 70
C. Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan al-Faruqi.. 79
D. Pengaruh Keluarga dan Rumah Tangga………….. 82
Ismail Raji Al-Faruqi……… 107
C. Langkah Kerja Islamisasi Sains ………. 115
D. Landasa Kerja Islamisasi Sains ………. 127
E. Realitas Krisis Pendidikan Islam……….. 139
BAB V : PENGARUH ISLAMISASI SAINS TERHADAP DASAR FILOSOFIS PENDIDIKAN ISLAM………. 151
A. Relevansi Islamisasi Sains dan Pendidikan ………. 151
B. Pengembangan Aspek Filosofi Pendidikan Islam dan Tujuan Pendidikan Islam ……… 177
C. Integrasi Sistem Pendidikan . ……… 211
D. Membangun Visi Epistemologi Dalam Kurikulum Pendidikan Islam ……….. 222
E. Pengembangan Metodologi Pendidikan ………..…… 239
F. Pengembangan Manajemen Institusi Pendidikan Islam ………. 248
BAB VI : KESIMPULAN……… 271
A. Kesimpulan……… 271
B. Saran-Saran ………. 275
DAFTAR PUSTAKA ………. 277
Dengan tetap memanjatkan puji syukur kepada Allah Suhanahu Wa
Ta’ala, karena berkat rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, akhirnya disertasi ini dapat
diselesaikan penulis. Semoga shalawat juga tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW.
Dalam kesempatan ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama
penulisan disertasi ini sejujurnya banyak sekali mengalami berbagai kesulitan dan
kendala, terutama dalam menganalisis dan memahami berbagai bahan bacaan
yang menjadi sumber penelitian ini. Namun berkat bantuan dan dorongan moril
dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan selama penulisan disertasi ini
bisa diatasi. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, penulis menghaturkan ucapan
terima kasih sebesar-besarnya kepada Yth:
1. Bapak Prof. Dr. R. Mulyadhi Kartanegara, MA, selaku pembimbing I dan
sekaligus dosen penulis, yang telah banyak memberikan masukan konstruktif
dengan keluasan wawasan beliau dalam bidang filsafat Islam, sejak awal
penulisan disertasi, mulai dari awal seminar proposal hingga akhir penulisan
disertasi ini.
2. Bapak Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, selaku pembimbing II sekaligus
dosen penulis, yang telah banyak melakukan beberapa koreksi selama
penulisan disertasi ini, terhadap analisa metodologi dan relevansinya dengan
konsep-konsep pendidikan Islam, dengan segala kepakaran beliau dalam
pemikiran-pemikiran filosofis pengembangan pendidikan Islam.
3. Bapak Dr. Hazizan Md. Noon, dari IIITM (International Insstitute of Islamic Thought Malaysia), dan dalam kapasitas beliau sebagai pengajar di IIUM (International Islamic University Malaysia), yang telah berkenan dengan ikhlas memberikan bahan-bahan literatur karya Ismail Raji al-Faruqi kepada
5. Bapak Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin
Hiadayat, MA, dan Bapak Direktur Sekolah Pascasarjana, Prof. Dr.
Azyumardi Azra, MA , serta Deputi Direktur Sekolah Pascasarjana, antara
lain Bapak Dr. Fuad Jabali, MA, Bapak Prof. Dr. Suwito, MA, Bapak Dr.
Yusuf Rahman, MA, serta semua karyawan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, terutama Bapak Feni Arifiani, Bapak Ikhwan, dan staf
lainnya yang telah memberikan motivasi, dan hubungan yang sangat baik
selama penulis melakukan studi.
6. Bapak Dr. Syaripuddin, MA, selaku Ketua STAIN Jurai Siwo Metro
Lampung, yang tidak henti-hentinya mendorong penulis untuk segera
menyelesaikan studi. Kemudian juga kepada semua rekan-rekan dosen dan
semua karyawan di STAIN Jurai Siwo Metro, Lampung yang turut
memberikan semangat pada penulis disaat masa-masa sulit selama studi di
Jakarta. Terima kaasih juga saya sampaikan kepada Ketua STIT Agus Salim
Metro, dan rekan-rekan dosen di lembaga pendidikan tersebut yang
senantiasa mendukung penyelesaian tugas akhir studi S3 di UIN Jakarta.
7. Bapak-bapak dosen penulis selama studi S3 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, mereka adalah sosok ilmuwan yang sangat terpelajar; Prof. Dr.
Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. HD. Hidayat MA, Prof. Dr. Armei Arif, MA,
Prof. Dr. Bakhtiar Effendi, MA, Prof. Dr. Suwito, MA, Prof. Dr. Rif’at Syauqi
Nawawi, MA, Dr. Wahib Mu’ti, MA, Prof Dr. Soedijarto, MA, Dr. M.
Mashoeri Na’im, MA, Prof. Dr. Aminuddin Rasyad, MA, Dr. Syairozi
Dimyati, MA, dan dosen-dosen lainnya yang tidak mungkin saya sebutkan
satu persatu. Penulis haturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas
keihlasan dalam penyampaian cahaya ilmu pengetahuan, bimbingan dan spirit
memberikan kritik konstruktif bagi perbaikan disertasi ini.
9. Tobibatussa’adah, M.Ag, istri tercinta penulis yang banyak memberikan
dukungan dan semangat yang sangat tulus selama penulisan disertasi ini, juga
kepada kedua anak penulis Zaky dan Fachry yang selalu bertanya kapan ayah
selesai sekolahnya. Demikian juga kepada Ibunda Dzuriyati dan alm.
Ayahanda Ahmad Muhtadi, serta adik-adik penulis yang berada nun jauh di
desa Paciran Lamongan Jawa Timur, serta mertua penulis Bapak KH. Anwar
Nasihin dan Ibu Hj. Sa’adah di desa Bojong Sari Tasikmalaya, Jawa Barat,
yang banyak memberikan do’anya kepada penulis hingga selesainya penulisan
disertasi ini.
Akhirnya penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya ini merupakan
langkah awal dari gerakan pemikiran untuk mengembangkan sebagaian aspek
dari konsep pendidikan Islam yang sangat kaya. Penulis menyadari bahwa
penulisan disertasi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu saran dan kritik
yang membangun sangat penulis hargai guna perbaikan di masa mendatang.
Akhirul Kalam, semoga karya sahaja ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu dan bagi para pembaca yang cinta ilmu pengetahuan.
Metro, 20 September 2008
Penulis,
Zainal Abidin
DISERTASI
Dimajukan kepada Sekolah Pascasarjana
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Doktor
Dalam Bidang Ilmu Agama Islam
Konsentrasi Pendidikan Islam
Oleh:
ZAINAL ABIDIN
NIM: 02.3.00.1.03.01.0022
PROMOTOR:
PROF. DR. R. MULYADHI KARTANEGARA, MA PROF. DR. H. ABUDDIN NATA, MA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Disertasi dengan judul: Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Islamisasi Sains dan Pengaruhnya terhadap Dasar-Dasar Filosofi Pendidikan Islam, yang ditulis oleh Zainal Abidin, dengan NIM:: 02.3.00.1.03.01.0022, disetujui untuk dibawa ke sidang Ujian Pendahuluan (Ujian Tertutup).
P r o m o t o r,
Disertasi dengan judul; Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Paradigma Pendidikan Islam, yang ditulis oleh Zainal Abidin, dengan NIM: 02.3.00.1.03.01.0022, disetujui untuk dibawa ke sidang Ujian Pendahuluan (Ujian Tertutup).
Pembimbing I,
Disertasi dengan judul; Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Paradigma Pendidikan Islam, yang ditulis oleh Zainal Abidin, dengan NIM::
02.3.00.1.03.01.0022, disetujui untuk dibawa ke sidang Ujian Pendahuluan (Ujian Tertutup).
Pembimbing II,
A. Latar Belakang Masalah
Konsep pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan secara an sich dari bingkai pengkajian filosofi pendidikan terutama mengenai paradigma
epistemologi keilmuan pendidikan, begitu juga dengan eksistensi pendidikan
Islam secara otonom. Karena pengembangan konsep-konsep pendidikan Islam
berinteraksi langsung dengan konsep-konsep keilmuan secara filosofis dan
masalah pengembangan metodologi ilmiah yang sangat dibutuhkan dalam dunia
pendidikan. Dalam ranah konsep dasar bangunan keilmuan, konsep
epistemologi pendidikan Islam sebenarnya telah dikembangkan oleh para filosuf
muslim sejak munculnya agama Islam itu sendiri. Dalam perspektif ini
sebenarnya bisa digambarkan misalnya bagaimana upaya klasifikasi ilmu-ilmu
yang telah dikembangkan para filosof Muslim pada masa periode klasik Islam.
Pada umumnya para intelektual klasik pada masa itu secara bersemangat
telah melahirkan berbagai teori-teori keilmuan dalam perspektif Islam, melalui
berbagai karya intelektual mereka berupa klasifikasi ilmu, seperti yang
dilakukan oleh Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Miskawaih dan sebagainya. Dalam
perspektif kesejarahan itu mengindikasikan bahwa pembahasan mengenai
epistemologi dalam perspektif tradisi intelektual Islam, sebenarnya sudah
banyak dilakukan oleh para ulama klasik dan ulama periode pertengahan. Hal
ini dapat dilacak dalam beberapa literatur ulama, seperti karya-karya intelektual
mereka tentang klasifikasi ilmu, jenis-jenis ilmu, manfaat ilmu (aksiologi), serta
keutamaan ilmu dalam Islam yang dilakukan oleh beberapa ulama antara lain
al-Ghazali, Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina, al-Biruni, Ibnu Khaldun dan
sebagainya1. Bahkan dalam tinjauan transformasi budaya dan peradaban,
1
sebenarnya terjadinya kontak antara Islam dan Eropa, telah mengakibatkan
proses menuju penerangan (illumination) bagi kawasan Eropa, atau dengan kata lain kebudayaan Islam paling relevan bagi ilmu Eropa.2
Sebaliknya pada periode modern, secara faktual kajian tentang
epistemologi (teori pengetahuan) dalam Islam, masih sedikit dilakukan oleh
para pemikir Islam, hingga pada masa-masa berikutnya terutama pada periode
kontemporer Islam, termasuk pemikiran Islam di Indonesia. Kajian tentang
epistemologi secara realitas belum mencapai tingkat kajian yang memadai.
Padahal epistemologi Islam sangat penting untuk dikaji, sebagai sebuah
alternatif terhadap sistem epistemologi Barat yang mendominasi wacana
epistemologi kontemporer.3 Walaupun demikian bukan berarti pada periode modern tidak ada sama sekali cendekiawan Muslim yang peduli terhadap
masalah epistemologi Islam. Sebab dalam kenyataannya pada periode modern
ternyata ada juga beberapa cendekiawan Muslim yang tertarik mengkaji
masalah-masalah epistemologi dalam Islam, terutama gerakan intelektual di
kalangan para pemikir pembaru Muslim yang mulai bangkit kembali dan
munculnya semangat untuk mempelajari epistemologi Islam tersebut yang
melahirkan beragam polemik yang cukup intens mengenai masalah paradigma epistemologi yang berkembang dewasa ini. Meskipun jumlah
pemikir Muslim pada periode modern yang tertarik pada bidang epistemologi
Islam tersebut bisa dibilang sangat sedikit, tetapi munculnya beberapa pemikir
kontemporer Muslim yang konsens terhadap perkembangan epistemologi Islam
tersebut telah membuka cakrawala baru sebagai penerus tradisi intelektual klasik
Islam yang kaya.
2
Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan, terjemahan oleh Saut Pasaribu, dari judul aslinya, “The Philossophy of Science”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 19-20.
3
Paling tidak terdapat dua aliran mengenai paradigma epistemologi
pada masa modern. Pertama, di antara para pembaru Muslim tersebut terdapat beberapa tokoh yang terpengaruh aliran “antropo-sentris”, yang menjadi ciri
epistemologi Barat modern dan kontemporer. Di kalangan pemikir Barat,
paradigma epistemologi “antroposentris” hampir sepenuhnya menggusur
paradigma “theosentris”. Sebaliknya di kalangan para pemikir Islam modern
terjadi “tarik tambang” yang sangat intens di antara para pendukung dari
masing-masing paradigma ini. Para pemikir modernis Muslim yang mempunyai
kecenderungan pemikiran “antropo-sentris”, di antaranya seperti Muhammad
Abduh, Sayyid Amir Ali dan sebagainya. Mereka pada umumnya memiliki
kecenderungan mengembangkan epistemologi yang lebih kurang bersifat
“antroposaentris”. Kedua, aliran “theo-sentris” yang berkembang di kalangan sebagian pembaru pemikiran Muslim “neo-tradisionalis”, semacam Sayed
Husein Nasr, yang telah mengkritik keras epistemologi Barat dan pemikir
modernis Muslim yang sealiran dengan aliran “antropo-sentris”. Nasr pada
gilirannya sangat menganjurkan epistemologi yang “theo-sentris”.4
Menurut Azyumardi Azra, di tengah polemik dan proses tarik ulur
mengenai kontradiksi kecenderungan aliran epistemologi, antara faham
“antropo-sentris” dan “theo-sentris” tersebut, kemudian muncul gagasan yang
mencoba keluar dari polemik epistemologi itu, dan berusaha memperkenalkan
metode alternatif dalam menghadapi problem epistemologi yang cukup krusial.
Ide yang menggugat kembali mengenai keabsahan dan kemapanan epistemologi
keilmuan yang selama ini diakui, merupakan konsep baru dalam perspektif
perkembangan kontemporer pemikiran Islam, yakni gagasan Islamisasi sains
dengan segala ramifikasinya yang dicetuskan oleh Ismail Raji al-Faruqi.5 Gagasan itu sendiri merupakan respon dari kegagalan dan kemerosotan
paradigma Barat, yang diwakili oleh ideologi besar seperti kapitalisme dan
sosialisme. Di samping itu, gagasan tersebut juga muncul sebagai reaksi
terhadap kondisi obyektif yang terjadi dalam perspektif hubungan masyarakat
4
Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), h. 94.
5
Muslim dalam pergumulannya dengan Barat, termasuk dalam perspektif politis,
yaitu keberhasilan negara-negara Muslim dalam melakukan embargo minyak
terhadap Barat. Sehingga berkembang slogan, we can do something about it, untuk menunjukkan bahwa dunia Muslim juga mempunyai kekuatan ekonomi
untuk mengimbangi supremasi Barat, yang juga mengandung beberapa
kelemahan.6 Dengan demikian sebenarnya Ismail Raji al-Faruqi mencoba membangun sebuah aliran pemikiran yang berbeda dengan kecenderungan
pemikiran tentang epistemologi pada saat itu, di mana dia lebih menekankan
warna Islam yang dominan, yang dipadukan dengan semangat modernitas.
Di antara para pemikir muslim kontemporer yang beragam corak
pemikirannya tersebut, secara realitas al-Faruqi muncul di tengah mereka
sebagai sosok yang menawarkan ide-ide baru melawan arus pemikiran yang
berkembang saat itu. Al-Faruqi, merupakan seorang tokoh yang secara
intelektual dididik dan dibesarkan dalam tradisi keagamaan yang kuat di Timur
Tengah, dan dunia keilmuan Barat yang kritis. Dia tampil memukau dalam gaya
orator dan dialektika keislaman yang menampilkan sisi revivalisme Islam pada
masa post-modernisme. Dua sisi latar belakang kehidupan intelektual tersebut,
menjadikan al-Faruqi tampil menjadi seorang yang kuat secara religius dan
secara intelektual, sehingga tidak heran al-Faruqi terkenal sebagai sosok
intelektual Muslim yang tegas dan cenderung pada pola pemikiran kelompok
neo-revivalis, dalam perspektif perkembangan gerakan pemikiran Islam kontemporer.7 Sebagai seorang yang sangat mengagungkan tradisi ajaran Islam yang puritan, al-Faruqi biasanya dianggap mewakili aliran “neo-revivalis”
kontemporer dalam Islam. Kecenderungan ini bisa dilacak ketika al-Faruqi
mengungkapkan gagasan akan pentingnya sistem khilafah maupun imamah
6
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 2000), h. 15.
7
dalam perspektif politik Islam. Menurut al-Faruqi kedua sistem tersebut
merupakan prasyarat mutlak (qonditio sine quanon) bagi tegaknya paradigma Islam di muka bumi.8 Dari perspektif ini, tampaknya gagasan Islamisasi sains dapat dianggap sebagai refleksi dari romantisme sejarah kejayaan Islam masa
lalu yang akan diaktualisasikan al-Faruqi, terutama ketika melihat realitas
modernitas Barat yang sangat dominan termasuk dalam membingkai secara
epistemologis perkembangan sains secara kuat.
Semangat tradisionalisme dalam bidang politik juga dikembangkan
al-Faruqi, sehingga terkadang dia disebut juga sebagai tokoh Neo-Salafism
(Salafiyah Baru), terutama dalam menekankan ajaran-ajaran Ibnu Taimiyyah
dan Muhammad Ibn Abdul Wahhab. Al-Faruqi senantiasa menekankan
trasendensi Allah dengan menyebarkan imanensi Allah dengan makhluk-Nya. Dengan demikian ada kecenderungan al-Faruqi menolak keseluruhan tradisi
filsafat Islam.9 Mungkin penolakan al-Faruqi terhadap kecenderungan tradisi filsafat Islam, disebabkan secara kronologis-historis eksistensi filsafat Islam
tidak terlepas dari pengaruh akar tradisi filsafat Barat yang lebih banyak
didominasi oleh ”mitologi Yunani” yang politheis dalam proses hellenisme,
serta semangat Kristiani yang sinkretis, yang menyebabkan faham sekuleris dan
materialis di Barat yang sangat akut.
Karena pandangan-pandangan yang cukup berani dan puritan dalam
mengungkap gagasan Islamisasi sains dan fakta sejarah Islam masa lampau itu,
beberapa kalangan menyebut al-Faruqi sebagai tokoh intelektual yang
canggih, seperti pengakuan Direktur Islamic Studies, dari McGill University, W.C. Smith yang menggambarkan al-Faruqi sebagai tokoh yang sangat berani
dari Palestina yang dibekali kemampuan intelektual brilian dan siap
mengkaunter Barat terutama gerakan Zionisme.10 Gagasan Islamisasi sains sendiri, menurut al-Faruqi, secara metodologis muncul akibat adanya krisis
8
Ismail Raji al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, “al-Khilafah The State and World Order” dalam The Cultural Atlas of Islam, (New York: 1986), h. 158-161.
9
Azyumardi Azra, “Dari Arabisme ke Khilafatisme, Kasus Ismail al-Faruqi” dalam
Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme,
(Jakarta: Paramadina, 1996), h. 66.
10
epistemologi yang terjadi di dunia Islam pada umumnya. Krisis tersebut
menurut al-Faruqi bermuara pada dominasi karakter akar sejarah serta realitas
empiris dari sains yang berkembang pada masa modern, yang lebih banyak
dipengaruhi oleh kontruksi filosofis dan moralitas Barat yang “ antro-posentris”,
dan berseberangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Menurut al-Faruqi, secara
historis sains yang berkembang pada zaman modern dewasa ini tidak bisa lepas
begitu saja dari akar khazanah intelektual Islam masa lalu, akan tetapi dalam
proses selanjutnya, nilai-nilai Islam mengalami transfomasi dan degradasi nilai,
karena mulai diganti dengan nilai–nilai moral dan jargon-jargon Barat yang
menganggap bahwa ilmu itu “bebas nilai” dan menekankan aspek liberalisme
dunia Barat.11
Sesungguhnya akar yang menjadi perhatian utama dari gagasan
Islamisasi sains terkait erat dengan masalah filosofi dasar sains yang
berkembang dan diakui dewasa ini, termasuk paradigma dan metodologi sains
yang berkembang di dunia modern yang lebih banyak dipengaruhi oleh
paradigma pemikiran filsafat Barat yang sekuler. Sebagai implikasinya terjadi
bias epistemologi dan aksiologi yang dalam, antara sains yang ada dengan
paradigma moral yang dikembangkan dalam agama Islam. Dalam tataran
praksis sains yang dikembangkan menjadi kering dari sentuhan religius, dan
dampak realitas dari kondisi ini menimpa berbagai disiplin ilmu pengetahuan
yang selama ini juga dipelajari oleh umat Islam, termasuk disiplin ilmu
pendidikan Islam. Oleh karena itu gagasan Islamisasi sains kemudian muncul
dengan segala konsekuensinya dan segala reaksi pro-kontra terhadap terobosan
pembaruan pemikiran tersebut.
Sebagai salah satu bagian integral dari kajian mengenai epistemologi,
gagasan Islamisasi sains, secara kronologis historis muncul pada dekade tahun
1970-an, dan menjadi sebuah isu yang menarik, serta menjadi wacana
intelektual Islam yang banyak mendapatkan perhatian bagi sejumlah pemikir
11
Islam kontemporer, dari berbagai belahan dunia,12 di antara mereka adalah Ismail Raji al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Syed Hosein Nasr, dan
sebagainya. Perbedaan ketiga tokoh ini dalam mengagas ide Islamisasi sains
terletak pada penekanan subyek dan obyek Islamisasinya. Al-Faruqi
menekankan pentingnya melakukan Islamisasi sains yang lebih menekankan
pada upaya pengislaman berbagai materi dan buku referensi atau
buku-buku daras yang digunakan dalam proses studi di lembaga pendidikan tinggi.
Sementara al-Attas lebih menekankan Islamisasi pada subyek sains itu sendiri,
terutama pada aspek manusianya. Sedangkan Syed Hosein Nasr, lebih
menyoroti Islamisasi pada metodologi yang digunakan oleh sains modern.
Pada pertengahan tahun 1970-an itu juga isu-isu Islamisasi sains telah menjadi
agenda intelektual yang memberikan harapan besar pada kebangkitan Islam dan
menjadi salah satu topik yang sangat kontroversial.13
Polarisasi ide Islamisasi sains juga mengindikasikan bahwa terdapat
hubungan yang intens di antara para pemikir Muslim tersebut dalam inspirasi
dan warna gagasan tentang Islamisasi sains, sesuai dengan trend yang terjadi dan situasi budaya global yang terjadi pada masanya.14 Dengan begitu sebenarnya pemikiran Islamisasi sains yang dikemukakan oleh para
cendekiawan Muslim pada masa kontemporer tersebut mempunyai beberapa
persamaan dan tentunya beberapa perbedaan dalam kerangka epistemologi dan
12
Isu reaktualisasi pemikiran dalam Islam selama periode modern menjadi sentral kajian beberapa pemikir Muslim modern, terutama pada dekade tahun akhir tahun 1970-an sebagai implikasi pengaruh dari Revolusi Iran yang dipelopori oleh Ayatullah Khomaini. Pengaruh transformasi sosio-politik yang dramatis tersebut, banyak memunculkan gagasan pembaruan pemikiran dalam Islam, dari berbagai negara, termasuk pengaruh rekonstruksi sistem pendidikan, revitalisasi ajaran Islam yang bersumber pada ajaran al-Qur’an dan As-Sunnah di samping kondisi modernitas yang ada, termasuk semangat Islamisasi sains yang digagas oleh beberapa pemikir Muslim dari Barat maupun dari Timur. Perkembangan paling signifikan dari semangat pembaruan pemikiran Islam terjadi pada awal tahun 1980-an sampai akhir tahun 1990-an, ketika memasuki pergantian abad ke 21. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, h. 15
13
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, Syed M. Naquib al-Attas (Bandung: Mizan, 2003), h. 386.
14
metodologi, serta semangat puritan yang dikembangkannya. Gagasan
Islamisasi sains telah memberikan inspirasi kepada intelektual dan aktivis
Muslim di seluruh dunia sekaligus mengundang reaksi keras bagi kelompok
penentangnya. Karena pada saat yang sama, dalam kenyataannya umat Islam
benar-benar berada dalam keadaan tersisihkan dari berbagai bidang kehidupan
kolektif, tetapi secara mengejutkan kemudian muncul isu Islamisasi sains yang
sangat revolusioner.15 Secara jujur dapat dikatakan bahwa ide-ide Islamisasi sains yang dikembangkan oleh al-Faruqi banyak mendapat dukungan yang luas,
dan melahirkan banyak ide-ide semacam itu dari beberapa pemikir Muslim
kontemporer, seperti gagasan Islamisasi sains yang dipelopori oleh Muhammad
Naquib al-Attas, dan beberapa intelektual Muslim dunia lainnya.16 Namun demikian, gagasan Islamisasi sains juga mendapatkan kritikan yang tajam
dari beberapa pemikir Muslim. Isu Islamisasi tersebut misalnya, ditanggapi
secara skeptis oleh Ziauddin Sardar, dan dianggap sebagai usaha yang
membuang-buang energi. Menurut Ziauddin Sardar dari pada membuang
waktu dan energi dengan proyek Islamisasi sains, lebih baik dan bermanfaat
untuk langsung membuat paradigma Islam (Islamic world-view). Karena mustahil menghasilkan sains Islam dengan menggunakan paradigma yang
masih kebarat-baratan, dan karena itu yang penting bagi umat Islam adalah
membangun kembali epistemologi Islam.17
Meskipun kritikan Ziaudin Sardar tersebut tampaknya cukup
beralasan, akan tetapi menurut al-Faruqi, sesungguhnya upaya Islamisasi sains
secara implisit juga merupakan usaha merekonstrukssi epistemologi Islam.
15
Bahkan al-Attas misalnya, menyebut isu Islamisasi sains sebagai “revolusi epistemologis” yaitu revolusi yang mempunyai misi pembebasan secara inklusif dan universal, melampaui revolusi yang berbasis pada kepentingan nasionalistis dan etnis. Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, h. 386.
16
Perbedaan prinsipil dari gagasan Islamisasi sains antara al-Faruqi dan al-Attas, terletak pada stressing sasaran dari gagasan Islamisasi tersebut. Al-Faruqi dalam mengembangkan gagasan Islamisasi sains yang lebih menekankan pada aspek obyek ilmu pengetahuan, berarti melakukan Islamisasi pada disiplin ilmu itu sendiri. Sedangkan al-Attas, dalam menggagas ide Islamisasi sains lebih menekankan pentingnya Islamisasi bagi subyek sains, yakni manusianya bukan obyek ilmu. Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis,Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 137.
17
Alasan yang dikemukakan al-Faruqi untuk mempertegas argumennya tersebut
adalah bahwa dalam perspektif aksiologi, menurut al-Faruqi liberalisme yang
terjadi di Eropa (Barat) terjadi akibat berkembangnya faham filsafat
materialisme yang berujung pada munculnya pemikiran pemisahan antara ilmu
dan agama atau lebih dikenal dengan faham sekularisme. Sebagai implikasinya
sains yang berkembang justeru menjadi kering dan dangkal dari aspek
kemanusiaan dan aspek keagamaan. Walaupun secara faktual, ilmu dan
teknologi di Barat berkembang cukup pesat dan mencapai kemajuan yang luar
biasa, akan tetapi dari sudut filosofi kurang memperhatikan aspek aksiologis
ilmu, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian (humanities), dan cenderung lebih dekat pada upaya sekularisasi dan westernisasi bagi dunia
Islam.18
Dalam perspektif pendidikan, gagasan Islamisasi sains yang digulirkan
oleh al-Faruqi juga berpengaruh pada tradisi filosofis yakni dalam
merekonstruksi paradigma epistemologi dan pengembangan sistem pendidikan
Islam. Menurut al-Faruqi, secara realitas pendidikan yang berkembang dewasa
ini menganut dua sistem pendidikan. Kedua sistem pendidikan tersebut adalah
sistem pendidikan yang berdasarkan Islam dan sistem pendidikan sekuler.
Dalam bingkai proses Islamisasi sains, bagi al-Faruqi kedua sistem pendidikan
tersebut harus diintegrasikan menjadi sistem yang holistik sehingga
memunculkan sebuah sistem pendidikan yang kuat secara material dan
spiritual.19
Dalam pandangan al-Faruqi, krisis pendidikan yang terjadi di negara
Muslim di seluruh dunia disebabkan oleh terjadinya malaise (krisis) yang melanda mereka sebagai implikasi dari realitas historis, akibat beban
peninggalan kolonialisme Barat terhadap negara-negara tersebut, sehingga
sistem pendidikan yang diperoleh Ummah mengalami keterputusan hubungan dengan tradisi masa lampau Islam. Untuk mengantisipasi kondisi ini, menurut
18
Ismail al-Faruqi, Islamization of Knowledge, General Principle and Work Plann,
(Herndon, Virginia: IIIT, 1995), h. 4.
19
al-Faruqi diperlukan upaya berupa terobosan atau loncatan ke arah representasi
yang kreatif atau Vergegenwartigung (memperbaharui atau menghidupkan kembali) Islam yang terhalang akibat keraguan yang ditanamkan oleh sistem
pendidikan modern yang sekuler. Menurut al-Faruqi inti dari malaise itu terletak pada sistem pendidikan yang mengalami keterpurukan akibat dualisme
pendidikan, yang memisahkan pendidikan agama secara ketat dengan
pendidikan modern.20 Dari perspektif ini dapat dipahami bahwa semangat Islamisasi sains bisa dianggap sebagai sebuah usaha reformasi dalam sistem
pendidikan merupakan wacana reaktualisasi kesadaran sejarah masa lalu umat
Islam. Dalam konteks ini sebenarnya al-Faruqi bisa dianggap mewakili
kelompok aliran romantisme Islam modern, seperti tokoh semacam Abul ‘Ala
al-Maududi yang terkenal sebagai tokoh fundamentalis Islam atau Jamaluddin
al-Afghani, yang dikenal sebagai penganjur Pan-Islamisme dan Muhammad
Abduh yang rasionalis. Walaupun dalam pandangan-pandangan keagamaan
al-Faruqi tidak seliteral tokoh-tokoh fundamentalis dalam memahami teks-teks
ajaran Islam.
Salah satu problem serius yang dihadapi oleh pendidikan Islam menurut
al-Faruqi, adalah dari segi kurikulum pendidikan (subject matter), yang masih terbingkai secara dikhotomis, antara ilmu-ilmu Islam tradisional dengan disiplin ilmu modern. Dalam perspektif ini menurut al-Faruqi diperlukan
“sintesa-kreatif”, antara kedua disiplin ilmu tersebut untuk mendobrak kemandegan
selama beberapa abad. Khazanah ilmu-ilmu Islam harus berhubungan dengan
ilmu-ilmu modern sehingga membuka cakrawala baru yang menjangkau ke
depan dalam perspektif keilmuan. Sintesa-kreatif tersebut harus tetap terjaga
relevansinya dengan realitas ummat Islam dengan segala permasalahannya,
sekaligus mampu menawarkan solusi bagi permasalahan yang selalu muncul,
dan berwawasan pada kemajuan.21 Asumsi sekaligus alternatif yang ditawarkan al-Faruqi tersebut, sesuai dengan permasalahan realitas pendidikan yang ada di
beberapa negara Islam. Menurutnya, integrasi keilmuan sangat diperlukan
20
Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge, h. 11.
21
untuk mengembangkan sistem pendidikan yang lebih modern dan Islami.
Ide-ide semacam ini dalam konteks aplikatif sudah direspon oleh beberapa lembaga
pendidikan Islam modern yang berusaha mengintegrasikan secara sinergis
beberapa disiplin keilmuan (Islam dan Modern) dalam beberapa program studi
yang terpadu.
Dalam kerangka pengembangan dasar-dasar filosofis pendidikan
Islam, ide Islamisasi sains yang dikembangkan oleh al-Faruqi secara signifikan
mempengaruhi paradigma pendidikan yang selama ini telah dianggap mapan,
dan bebas kritik, terutama dari aspek filosofi pendidikan Islam itu sendiri,
terutama dalam perspektif masalah dialektika epistemologi22 yang dikembangkan dalam dunia pendidikan Islam, yang lebih dekat dengan
kerangka epistemologi yang berakar dari filsafat Barat, dari pada filsfat Islam
itu sendiri, karena ilmu-ilmu yang dikaji dalam konteks pendidikan lebih banyak
menggunakan referensi yang berasal dari Barat, misalnya tentang teori-teori
pendidikan modern, psikologi dan sebagainya. Meskipun begitu, sebenarnya
tidak selamanya al-Faruqi menolak sistem pemikiran dari Barat, karena dia juga
dibesarkan secara akademis di lembaga pendidikan Barat, sehingga dalam
pemikirannya juga terlihat bahwa dia berusaha mengakomodasi sisi positif dari
kemajuan sains Barat, atau bisa dikatakan bahwa al-Faruqi berusaha melakukan
konvergensi antara sains Islam dan sain Barat melalui proses pendidikan.
Banyak terminologi teknis yang mempunyai padanan makna dengan
terminologi “Islamisasi sains” seperti “integralisasi dan spritualisasi sains”, dan
sebagainya.23 Pemikiran Islamisasi sains merupakan fenomena baru gerakan
22
Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang meneliti asal, struktur, metode-metode dan kesahihan pengetahuan. Istilah epistemologi pertama kali dipakai oleh J.F. Ferrier (1854M), dengan membedakan dua cabang filsafat yakni “epistemologi dan ontologi” Epistemologi berbeda dengan logika. Logika adalah sains formal yang berkenaan dengan prinsip-prinsip penalaran yang sahih. Paul Edward, (ed.), dalam tulisan tentang “Epistemology”, The Encyclopedia of Philosopy, (New York-London: Macmillan Publishing, Co. and The Free Press-Collier, 1972), vol. VIII, h. 5-36.
23
Islam yang bisa disebut sebagai upaya “revitalisasi Islam” atau upaya
“membangkitkan kembali Islam” yang bertujuan menyelaraskan kehidupan
Muslimin dengan ketentuan syari’ah termasuk dalam kehidupan sosial dan
bidang ilmu dan teknologi. Pandangan ini bagi sebagian kalangan sering
dikonotasikan sebagai refleksi pemikiran kelompok fundamentalis. Akan tetapi
dalam konteks inilah, sebenarnya ide Islamisasi sains yang digagas al-Faruqi,
dapat dipahami sebagai sebuah format baru bagi gerakan pembaruan pemikiran
Islam pada dekade 1970-an dan 1980-an. Tema , “Islamisasi” ini dalam
perkembangan lebih lanjut tidak hanya dalam bidang ilmu alam dan fisika,
tetapi juga mengenai bidang-bidang ilmu sosial dan humaniora.24
Bahkan dalam perkembangan berikutnya gagasan Islamisasi sains juga
berimplikasi dalam rekonstruksi dasar filsafat pendidikan Islam. Al-Faruqi
sendiri dalam risalahnya yang berjudul Islamization of Knowledge, banyak menampilkan kritiknya terhadap kondisi sistem pendidikan Islam pada masanya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa implikasi pemikiran al-Faruqi tentang Islamisasi
sains, telah banyak mempengaruhi paradigma pemikir Muslim lainnya. Seperti
munculnya beberapa lembaga studi Islam. Bahkan al-Faruqi sendiri
mendirikan sebuah lembaga studi yang sangat terkenal yaitu The International Institute of Islamic Thougth (IIIT) yang bermarkas di Virginia Amerika serikat, dan beberapa cabangnya yang tersebar di beberapa negara, antara lain di
Malaysia, dan Pakistan. Khusus di Malaysia tampaknya gagasan al-Faruqi
cukup mewarnai beberapa cendekiawan Muslim. Sinyalemen ini dapat dilihat
dari aktivitas para pemikir yang tersebar di beberapa perguruan tinggi Islam di
Malaysia, seperti Universitas Islam Antar Bangsa (UIA) atau IIUM
(International Islamic University of Malaysia) dan sebagainya. Di Indonesia juga terdapat pengaruh pemikiran Islamisasi sains yang digagas al-Faruqi.
Terutama mempengaruhi beberapa tokoh pembaru Islam kontemporer
Indonesia. Ada kemungkinan bahwa kecenderungan berupa semangat
pengintegrasian ilmu yang terjadi belakangan di berbagai perguruan tinggi Islam
ilmu bersumbar dari Allah SWT, jadi term tentang “islamisasi” kurang tepat digunakan, yang lebih tepat adalah istilah “spritualisasi ilmu”.
24
adalah efek secara langsung ataupun tidak langsung dari ide Islamisasi sains
yang digagas al-Faruqi pada akhir tahun 1970-an sampai tahun 1980-an, dan
pengaruh beberapa pemikir Muslim lainnya yang satu ide dengan al-Faruqi.
Wujud dari pengaruh itu antara lain terjadinya keinginan kuat untuk melakukan
perubahan atau alih status beberapa lembaga pendidikan tinggi Islam25, termasuk kesadaran untuk mengintegrasikan antara ilmu agama dan ilmu umum
yang selama ini cukup lama membingkai secara dikhotomis paradigma
pendidikan di Indonesia.
Sebagai sebuah ide, tampaknya gagasan Islamisasi sains menurut Ismail
Raji al-Faruqi menjadi bagian menarik dalam konteks pengembangan paradigma
pendidikan Islam. Hal ini terlihat dari kuatnya hubungan ide-ide tersebut
dengan konstruksi dasar filsafat pendidikan Islam itu sendiri, yang berhubungan
dengan masalah-masalah fundamental pendidikan Islam, antara lain masalah
pengembangan kurikulum pendidikan Islam, metodologi pendidikan Islam dan
sebagainya. Karena pendidikan Islam itu sendiri secara terminologis mempunyai
karakteristik spesifik sebagai sebuah proses pendidikan yang diwarnai Islam.
Kata “Islam” dalam “pendidikan Islam” menunjukkan warna pendidikan
tertentu yaitu pendidikan yang berwarna Islam, pendidikan yang Islami atau
pendidikan yang berdasarkan Islam.26 Dalam proses pendidikan Islam, aspek manusia menjadi bagian yang sangat penting diperhatikan, karena pada
hakekatnya pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia, dan
membudayakan manusia. Oleh sebab itu posisi manusia dalam konteks
pendidikan menjadi sangat mulia dan sangat sentral sebagai obyek dan subyek
pendidikan sekaligus. Sebagai makhluk Allah yang dikarunia ilmu, sebenarnya
manusia mengemban amanah untuk menyebarkan ilmu yang diperolehnya
kepada generasi penerus, tentunya melalui proses pendidikan. Dengan demikian
ilmu yang dikembangkan harus tetap berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip
25
Sebagai ilustrasi bisa disebut bahwa semangat perubahan yang terjadi di beberapa IAIN yang berubah menjadi Universitas Islam Negeri, serta STAIN dan IAIN yang membuka program baru, yaitu program lintas disiplin, juga bisa dianggap mewarisi semangat puritan dari gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan.
26
aqidah Islam, dan semangat keilmuan sesuai dengan ajaran Islam, di sini proses
Islamisasi sains dalam konteks pendidikan menjadi sesuatu yang sangat
bermakna.
Semangat Islamisasi sains yang berujung pada upaya Islamisasi
pendidikan semakin gencar pasca diselenggarakannya Konferensi Pendidikan
Islam Internasional pertama tahun 1977 di Mekkah yang telah menimbulkan
kesadaran akan pentingnya pencarian format baru paradigma pendidikan Islam.
Paling tidak kesadaran tersebut telah menstimulir para cendekiawan Muslim
untuk memikirkan kembali format pendidikan Islam yang adaptif dengan
modernitas, temasuk gagasan Islamisasi sains menurut al-Faruqi. Fenomena ini
tidak saja didasari oleh pandangan bahwa pendidikan adalah sarana mencapai
tujuan modernisasi, terutama bagi negara-negara berkembang, karena
pendidikan dipandang sebagai sejenis “passion” (keinginan besar) yang
menjadikan negara-negara tersebut dengan cepat sejajar dengan negara-negara
maju atau negara-negara kaya, melainkan juga sebagai “jihad intelektual”27, untuk mengantisipasi sistem pendidikan yang masih ambivalen (terasa ada
pertentangan) karena pengaruh sistem pendidikan Barat, dan kondisi
pendidikan Islam yang selalu kalah dengan perkembangan dan perubahan
masyarakat.28
Secara umum, sistem pendidikan modern mempunyai karakter yang
berbeda dengan karakter pendidikan Islam. Pertama, pendidikan modern cenderung mengesampingkan eksistensi agama (sekuler). Kedua, pendidikan modern mendikhotomikan agama dan persoalan dunia. Ketiga, kurikulum pendidikan bersumber pada hasil penelitian ilmiah eksperimen dan empirisme
pragmatis, yaitu hanya diukur dengan apakah ia dapat digunakan untuk
kesejahteraan dan hegemonitas di dunia atau tidak. Jika tidak maka ia tidak
27
Istilah Jihad Intelektual pertamakali dicetuskan oleh Fazlur Rahman, yang dimaksudkan sebagai upaya serius dalam memahami pesan-pesan al-Qur’an serta penggalian dan sistematisasi prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan jangka panjang untuk selanjutnya dirumuskan dan direalisasikan pada masa kini. Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of Intelectual, (New York: The Chicago University Press, 1982), h. 5-6.
28
dijadikan sumber kurikulum. Di berbagai negara yang filsafat hidup dan struktur
budayanya berbeda, namun menganut filsafat dan struktur pendidikan Barat,
pada prosesnya mengalami ketidakcocokan (inconsistency). Tidak hanya dalam kiprah, tetapi dalam tingkah laku lulusannya dan dalam kedalaman mutu yang
tidak dapat diabdikan ke dalam masyarakatnya.29 Fenomena ini disebabkan oleh sikap para konseptor pendidikan Islam yang kurang tepat terhadap Barat.
Pertama, para pakar pendidikan seringkali mengabaikan perbedaan mendasar antara sistem pendidikan Barat dengan sistem pendidikan Islam. Kedua, adanya sikap apriori untuk mengadopsi sistem pendidikan Barat, karena adanya asumsi
bahwa kemajuan sektor pembangunan yang terjadi di negara maju adalah sistem
pendidikan modern dan sekuler.30
Berdasarkan kenyataan itu, suatu kajian yang komprehensif tentang
program Islamisasi sains yang digagas oleh al-Faruqi dan implikasinya bagi
pengembangan dasar-dasar filosofis pendidikan, menjadi seuatu menarik dan
merupakan tantangan baru yang perlu dilakukan di tengah transformasi politik
dan budaya yang begitu cepat. Karena pada masa modern ilmu-ilmu yang
berkembang banyak dipengaruhi oleh paradigma keilmuan Barat yang tidak
memperdulikan lagi nilai-nilai moral dan etika Islam juga nilai-nilai asasi
kemanusian. Dengan demikian, asumsi bahwa ide-ide dasar dari Islamisasi
sains tersebut tetap relevan dan fungsional dengan dinamika perubahan zaman.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah
di atas, maka masalah yang diteliti dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
Pertama, bahwa gagasan Islamisasi sains merupakan implikasi dari dominasi Barat dalam bidang epistemologi, yang menjadi salah satu faktor
utama yang menjadi penyebab terjadinya bias atau krisis epistemologis yang
29
Muslih Usa (ed.), Pendidikan Islam Indonesia: Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 128.
30
melanda umat Islam. Sebab secara epistemologi, sains modern yang menjadi
barometer dalam pengembangan sains di dunia Islam lebih dekat dengan
paradigma ilmu yang banyak dikembangkan di dunia Barat yang tidak
sepenuhnya sesuai dengan doktrin ajaran Islam.
Kedua, terdapat pengaruh kuat antara konsep Islamisasi sains dengan konsep pendidikan Islam. Hal ini disebabkan ilmu-ilmu modern yang dijadikan
rujukan dalam pengkajian pendidikan Islam lebih banyak didominasi oleh
berbagai referensi keilmuan dari Barat, termasuk pengaruh metodologi dan
pandangan filsafat keilmuan yang berkembang.
Ketiga, ada beberapa konsep Islamisasi sains, yang digagas tokoh-tokoh modernis Islam selain al-Faruqi, ketika merespon berbagai tantangan pemikiran
yang berkaitan dengan pengaruh kuat sains modern, seperti pemikiran Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Syed Husein Nasr, Fazlur Rahman dan
sebagainya. Bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa pemikiran Islamisasi
sains al-Faruqi sangat dipengaruhi oleh pemikiran al-Attas, sebagaimana tesis
yang dikemukakan Wan Mohd Nor Wan Daud terhadap kecenderungan
pemikiran al-Faruqi. Kemudian kecenderungan pemikiran al-Faruqi yang lebih
condong pada pola pemikiran aliran neo-salafisme, juga sering dianggap sebagai
seorang yang menolak tradisi filsafat dalam Islam.
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya masalah yang hendak diteliti berdasarkan identifikasi
masalah di atas, maka masalah yang diteliti dibatasi pada pengaruh konsep
Islamisasi sains menurut al-Faruqi terhadap dasar-dasar filosofis pendidikan
Islam.
3. Rumusaan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah dalam penelitian ini,
Bagaimanakah sesungguhnya konsep Islamisasi sains menurut Ismail
Raji al-Faruqi dan pengaruhnya terhadap dasar-dasar filosofis pendidikan
Islam?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian yang hendak dicapai adalah :
a. Untuk menganalisis pemikiran al-Faruqi tentang Islamisasi sains
secara utuh, termasuk paradigma epistemologi yang dikembangkan
serta metodologi pemikiran al-Faruqi dalam menggagas konsep
Islamisasi sains.
b. Untuk menemukan pengaruh pemikiran al-Faruqi tentang Islamisasi
sains terhadap dasar-dasar filosofis pendidikan Islam.
2. Kegunaan Hasil Penelitian
Melalui penelitian ini secara umum diharapkan dapat dijadikan bahan
pemikiran bagi para pemikir pendidikan Islam di Indonesia, dan dapat
memperkaya khazanah konsep pendidikan dalam dunia Islam. Di samping
sebagai wacana untuk pengembangan pembaruan pemikiran kontemporer
dalam Islam, khususnya bagi pengembangan filosofis dasar pendidikan Islam,
secara komprehensif, yang meliputi berbagai masalah pendidikan Islam.
D. Metode Penelitian
Untuk mengungkapkan permasalahan penelitian ini, penulis
menggunakan metode kepustakaan, yaitu menelaah dan mempelajari berbagai
literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti termasuk buku-buku yang
1. Pendekatan Penelitian
Secara metodologis penelitian ini dilihat dari sumbernya merupakan
penelitian kepustakaan (library research) deskriptif kualitatif. Adapun tujuan penelitianya adalah penelitian eksploratif yaitu penelitian yang bertjuan untuk
menemukan ide-ide baru yang cukup aktual dalam kerangka penemuan teori
baru. Obyek utama yang menjadi fokus penelitian ini adalah ide (gagasan)
seorang tokoh pemikir Islam kontemporer, yakni Ismail Raji al-Faruqi mengenai
gagasan Islamisasi sains dan pengaruhnya terhadap dasar filsafat pendidikan
Islam.31 Dengan demikian penelitian ini termasuk studi tentang pemikiran yang bersifat filosofis. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan filosofis (philosopycal approach).32 Pendekatan filosofis pada intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang
ada di balik obyek formalnya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas atau
inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriyah.33 Dengan menggunakan pendekatan filosofis seseorang akan dapat memberi makna terhadap sesuatu
yang dijumpainya, dan dapat pula menangkap hikmah dan ajaran yang
terkandung di dalamnya.34 Pendekatan filosofis juga dapat digunakan untuk mengkaji struktur ide-ide dasar (fundamental Ideas) yang dirumuskan pemikir.35
Sebagai implikasi dari pendekatan filosofis tersebut, maka dalam
penelitian ini juga secara simultan mengikuti logika yang dikembangkan dalam
pendekatan rasionalistik atau disebut juga paradigma verstehen.36 Secara
31
Menurut Jujun S. Suriasumantri, salah satu obyek penelitian itu adalah ide yang merupakan gagasan manusia Gagasan manusia itu meliputi antara lain filsafat, etika, estetika, dan teori ilmiah. M. Deden Riwan (ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, (Bandung: Nuansa, 2001), Cet. Ke-I, h. 75-76.
32
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), Cet. Ke-1, h. 45.
Pendekatan filosofis dalam perspektif metode penelitian filsafat dilakukan dengan cara menggunakan segala unsur metodis umum yang berlaku bagi pemikiran filsafat. Anton Baker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 63-65.
36
teoritis, pendekatan rasionalistik memandang realitas itu sebagaimana yang
difahami peneliti berdasarkan teori-teori yang ada dan dianalogkan dengan
subyek yang diteliti. Paradigma yang digunakan antara lain adalah metode
hermeunetik atau analisis isi (content analysis)37.
Sedangkan model yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah
Model Historis Faktual (MHF), yaitu penelitian tentang susbtansi teks yang
berupa gagasan-gagasan al-Faruqi. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ini
juga menggunakan pendekatan sejarah (historical approach), dengan memfokuskan perhatian pada penelitian biografi tokoh yang berhubungan
dengan masyarakat, sifat, watak pengaruh pemikiran dan idenya serta
pembentukan watak tokoh selama hidupnya.38
2. Pengolahan dan Analisis Data Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, maka proses pengolahan
datanya juga disesuaikan dengan konstruksi dan alur penelitiian tersebut, dengan
menelaah bahan-bahan berupa referensi pustaka sebagai data utama dalam
penelitian ini. Sedangkan analisis data penelitian menurut Lexy J Moloeng
adalah proses menyusun, mengkategorisasikan data, mencari pola atau tema
dengan maksud untuk memahami maknanya.39 Sedangkan Bogdan dan Bliken menjelaskan bahwa analisis data melibatkan pengerjaan organisasi data,
pemilahan menjadi satuan-satuan tertentu, sintetis data, pelacakan pola,
pengalaman empiri, seperti positivisme. Ilmu yang dibangun berdasarkan filsafat rasionalisme menekankan pada pemaknaan epmiri, pemahaman intelektual manusia dan kemampuan berargumentasi secara logik perlu didukung dengan data empirik yang relevan, dan berusaha sendiri mencari terhadap pemaknaan terhadap data empirik berdasarkan teori tertentu. Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1990), cet. Ke-2, h. 83.
37
Analisis isi adalah suatu tekhnik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru dengan data penelitian. Analisis Isi mencakup prosedur-prosedur khusus pemrosesan data ilmiah. Klaus Kropendorf, Content Analysis: Introduction to its Theory and Methodology, diterjemahkan oleh Farid Wajdi, Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi, (Jakarta: Rajawali, 1991), h. 15.
38
Penelitian sejarah merupakan penelitian yang berusaha memberikan interpretasi dari bagian trend yang naik turun dari suatu status keadaan masa lalu untuk memperoleh generalisasi yang berguna untuk memahami kenyataan sejarah, membandingkan dengan keadaan sekarang dan dapat dipergunakan untuk meramalkan keadaan yang akan datang. Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indah, 1993), h. 66.
39
penemuan hal-hal yang penting dan dipelajari, dan penentuan apa yang harus
dilakukan kepada orang lain.40 Sebenarnya analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sepanjang penelitian itu berlangsung, dan tidak hanya
setelah pengumpulan data. Dengan begitu analisis data bisa dianggap sebagai
proses pelacakan dan pengaturan secara sistematik bahan-bahan yang
dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut
agar dapat dipresentasikan kepada orang lain.41
Dalam penelitian kualitatif analisis42 data yang dilakukan peneliti ---seperti yang telah dikemukakan---tidak menungggu selesainya proses
pengumpulan data, tetapi sepanjang program penelitian dimulai termasuk
analisis data selama pengumpulan data. Kegiatan-kegiatan yang bisa dianggap
sebagai proses analisis data selama proses pengumpulan data antara lain: (a)
menetapkan fokus penelitian apakah tetap sebagaimana yang telah direncanakan
atau perlu dirubah, (b) penyusunan temuan-temuan sementara berdasarkan data
yang telah terkumpul, (c) pembuatan rencana pengumpulan data berikutnya
berdasarkan temuan-temuan pengumpulan data sebelumnya, (d) pengembangan
pertanyaan-pertanyaan analitik dalam rangka pengumpulan data berikutnya, dan
(e) penetapan sasaran-sasaran pengumpulan data (informasi, situasi dokumen)
berikutnya.43
Menurut Anton Baker analisis data dalam penelitian filsafat harus
menggunakan salah satu atau beberapa metode analisis data seperti interpretasi
(penafsiran dan pemahaman atau hermeunetika), pola pikir induksi-deduksi,
koherensi intern, holistika kesinambungan historis, idealisasi, komparasi,
heuristika, bahasa inklusif dan analogis, serta deskripsi.44
Secara operasional penelitian ini menerapkan beberapa metode analisis
data. Pertama, metode analisis data deskriptif. Penggunaan metode analisis
40
Bogdan, and Bliken, Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods, (Boston: Allyn and Bacon, 1982), h. 52.
41
Imran Arifin (ed.), Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Keagamaan, (Malang: Kalimasada, 1996), h. 84.
43
Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 192-193.
44
data deskriptif dimaksudkan untuk menganalisis semua pemikiran al-Faruqi,
terutama gagasan Islamisasi sains dan pengaruhnya terhadap dasar-dasar
filosofis pendidikan Islam.
Kedua, analisis data komparatif yakni metode analisis data yang menggunakan perbandingan sebagai cara memahami pemikiran seseorang.
Dalam hal ini peneliti akan membandingkan gagasan-gagasan al-Faruqi tentang
Islamisasi sains dan pemikirannya tentang pendidikan Islam dengan pemikir
lain, baik yang pro maupun yang kontra dengan gagasan al-Faruqi, termasuk
latar belakang timbulnya pemikiran tersebut.
Ketiga, metode analisis data hermeunetik, atau metode pemahaman dan penafsiran. Hermeunetika pada dasarnya adalah suatu metode atau cara untuk
menafsirkan “simbol”, berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks
untuk dicari arti dan maknanya, dimana metode hermeunetik ini mensyaratkan
adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami,
kemudian dibawa ke masa sekarang.45 Carl Braathen, lebih jauh menjelaskan bahwa hermeunetika adalah ilmu yang merefleksikan bagaimana satu kata
atau satu peristiwa di masa dan kondisi yang lalu bisa dipahami dan menjadi
bermakna secara nyata di masa kini, di mana di dalamnya sekaligus terkandung
aturan-aturan metodologis untuk diaplikasikan dalam penafsiran dan
asumsi-asumsi metodologis dari aktivitas pemahaman.46
Komarudin Hidayat mengingatkan bahwa hermeunetika sebagai sebuah
metode penafsiran, tidak hanya memandang teks dan berusaha menyelami
kandungan makna literalnya. Lebih dari itu, hermeunetika berusaha menggali
makna dengan mempertimbangkan horizon-horison yang melingkupi teks
tersebut. Horison yang dimaksud adalah horizon teks, horizon pengarang dan
horizon pembaca.47
Melihat uraian tersebut maka sesungguhnya upaya pemahaman dan
penafsiran itu kemudian menjadi sebuah aktivitas rekonstruksi dan bahkan
45
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 85.
46
Farid Esack, Liberation And Pluralism, (Oxford One World, 1997), h. 61.
47
reproduksi makna dan bahkan reproduksi makna teks, di samping melacak
bagaimana satu teks itu dimunculkan oleh pengarangnya dan muatan apa yang
masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks yang dibuatnya,
juga berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan
kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Dengan kata lain, sebagai
sebuah metode, hermeunetika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok
dalam upaya penafsiran yaitu teks, konteks, kemudian melakukan upaya
kontekstualisasi.48
Dalam konteks aplikatif, metode hermeunetika dalam penelitian ini
diterapkan dengan memahami dan menafsirkan pikiran al-Faruqi, melalui
pemahaman terhadap teks-teks tulisannya dalam beberapa referensi yang telah
ditulisnya dalam beberapa buku. Metode analisis data dengan pendekatan
hermeunetika ini juga berkaitan dengan penggunaan metode “analisis isi”
(content analysis) berupa isi teks, di samping metode sejarah yang berhubungan erat dengan konteks historis ketika teks tersebut muncul, dalam hal ini adalah
kondisi sosio-historis yang melatarbelakangi pemikiran tokoh tersebut.
3. Sumber Penelitian
Pada dasarnya sumber penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua
sumber yaitu sumber primer dan sumber skunder:
a. Sumber Primer
Yang dimaksud sumber primer dalam penelitian ini adalah karya-karya
yang ditulis oleh Ismail Raji al-Faruqi, terutama tentang gagasan Islamisasi
sains dan pemikirannya tentang pembaruan dan pengembangan pendidikan
Islam. Di antara karya-karya yang dianggap sebagai sumber primer tersebut
antara lain adalah Islamization of Knowledge General Priciples and Work Plan
(1995), Al-Tauhid Its Implication for Thought and Life (1995), Islam and Culture (1980), The Cultural Atlas of Islam (1996), Urubah and Religion: An
48