• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis pengaruh kapasitas fiskal, investasi swasta dan tingkat partisipasi angkatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi regional sebelum dan sesudah otonomi daerah : ( Studi kasus antar propinsi dipulau jawa )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis pengaruh kapasitas fiskal, investasi swasta dan tingkat partisipasi angkatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi regional sebelum dan sesudah otonomi daerah : ( Studi kasus antar propinsi dipulau jawa )"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENGARUH KAPASITAS FISKAL, INVESTASI

SWASTA DAN TINGKAT PARTISIPASI ANGKATAN KERJA

TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL SEBELUM

DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH

(Studi Kasus: Antar Propinsi di Pulau Jawa)

Oleh :

Anna Amelia

NIM: 106084002786

Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

(2)
(3)
(4)

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

LEMBAR UJIAN KOMPREHENSIF

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

...

i

ABSTRACT

...

iii

ABSTRAK

...

iv

KATA PENGANTAR

...

v

DAFTAR ISI

...

vii

DAFTAR TABEL

...

xii

DAFTAR GAMBAR

………...

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

...

xv

BAB I

PENDAHULUAN

………..………

1

A.

Latar Belakang

………...

1

B.

Perumusan Masalah ……….

14

C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

……….

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

……… 17

A.

Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi ……..……….. 17

1.

Definisi Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi

….... 17

(5)

viii

3.

Faktor faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan

Ekonomi

………..

22

B.

Produk Domestik Regional Bruto

……… 27

C.

Kapasitas Fiskal

……… 31

1.

Definisi Denstralisasi Fiskal dan Kapasital Fiskal

……. 31

2.

Komponen Kapasitas Fiskal

……… 34

D.

Investasi Swasta

……… 40

1.

Definisi Investasi

……… 40

2.

Teori Investasi

……… 41

3.

Jenis Investasi swasta

……… 43

4.

Faktor – faktor yang mempengaruhi Investasi

…………...

43

E.

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

……… 47

F.

Otonomi daerah

...

...

49

G.

Penelitian Terdahulu ………..

51

H.

Kerangka Berfikir

………..

59

I.

Hipotesis

……….

62

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

……… 64

A.

Ruang Lingkup Penelitian

……… 64

B.

Metode Pengumpulan Data

……… 64

C.

Metode Penentuan Sampel

………..

64

D.

Metode Analisis

………..

65

1.

Analisis Data Panel

……… 65

(6)

ix

1)

Pendekatan Pooled Least Square

………. 67

2)

Pendekatan Fixed Effect Model ………. 68

3)

Pendekatan Random Effect Model

………. 69

b.

Pemilihan Model

... ……. 70

1)

Uji F atau Uji Chow

……… 70

2)

Uji Hausmann

………..

71

3)

Uji Lagrange Multiplier Test

……… 73

c.

Test of Goodness of Fit (Uji Kesesuaian)

...

74

1)

Koefisien Determinasi (R-Square)

……… 74

2)

Uji t-statistik

………..

74

3)

Uji F-statistik

………..

76

d.

Uji Asumsi Klasik

………..

77

1)

Normalitas

………..

77

2)

Multikolinearitas ………..

78

3)

Autokorelasi

………..

79

4)

Heterokedastisitas ………..

80

2.

Estimasi efek waktu (time effect) ………..

81

3.

Model Umum Penelitian ………..

81

E.

Definisi Operasional Variabel

……..………

82

1.

Variabel Bebas (Independent Variables) ………..

82

a.

Kapasitas Fiskal

………..

82

b.

Investasi Swasta

………...

83

(7)

x

d.

Dummy otonomi daerah

... ...

83

2.

Variabel Terikat (Dependent Variables) : PDRB …………

83

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

...

83

A.

Gambaran Umum

...

...

83

1.

DKI Jakarta

...

...

83

2.

Jawa Barat

...

...

85

3.

Jawa Tengah

...

....

88

4.

DI Yogyakarta

...

....

91

5.

Jawa Timur

...

....

94

B.

Penemuan dan Pembahasan ... ....

96

1.

Analisa Deskriptif

... ...

96

a.

Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB) ...

....

96

b.

Perkembangan Kapasitas Fiskal

...

100

c.

Perkembangan Investasi swasta

...

103

d.

Perkembangan Tingkat Partispasi Angkatan Kerja

(TPAK) ...

....

109

2.

Hasil Estimasi Model Data Panel

... ....

111

a.

Uji Chow

...

....

113

b.

Uji Hausman

...

....

114

3.

Analisis Estimasi

a.

Uji Kesesuaian Model (Test of Goodnest Fit)

...

115

(8)

xi

4.

Interpretasi Model

...

....

127

a.

Variabel Kapasitas Fiskal

... ....

127

b.

Variabel Investasi Swasta

... ....

128

c.

Variabel Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

(TPAK) ...

....

129

d.

Variabel Dummy Otonomi Daerah

... ....

130

5.

Pengujian Hipotesis Sebelum dan Sesudah Otonomi

Daerah ...

132

a.

Sebelum Otonomi Daerah (1994-2000)

...

132

b.

Sesudah Otonomi Daerah (2001-2008)

...

133

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

... ...

137

A.

Kesimpulan

...

...

137

B.

Saran ... ...

139

DAFTAR PUSTAKA

……….

135

(9)

xii

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1 Produk Domestik Regional Bruto atas dasar Harga

Konstan 2000 di Lima Propinsi di pulau Jawa Tahun

2006-2008 ... 4

1.2 Kapasitas Fiskal lima propinsi di pulau Jawa Tahun 2005-2008 ... 7

1.3 Perkembangan Realisasi Investasi swasta antar-Propinsi di Pulau Jawa Tahun 2004-2008 ... 9

1.4 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Lima Propinsi di Pulau Jawa Tahun 2003-2008 ... 11

3.1 Nilai Durbin-Watson dalam Eviews ... 79

4.1 Hasil Analisis Terhadap Model Estimasi ... 111

4.2 Hasil Uji Chow ... 112

4.3 Hasil Uji Hausman ... 113

4.4 Hasil Jarque Bera Test ... 117

4.5 Hasil Estimasi Perbaikan ... 119

4.6 Koefisien Fixed Effect Model (Cross-Section) ... 120

4.7 Koefisien variabel independen terhadap PDRB pada tiap Cross-section ... 123

4.8 Hasil Estimasi Model Sebelum Otonomi Daerah ... 131

(10)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1 Fluktuasi Lima Variabel Penelitian Tahun Periode

1994-2008 ... 12

4.1 Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Atas

Dasar Harga Konstan 2000 Lima Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 1994-2008 ... 96

4.2 Kapasitas Fiskal Lima Propinsi di Pulau Jawa

Tahun 1994-2008 ... 100

4.3 Perkembangan Investasi Swasta (PMDN dan PMA)

Lima Propinsi di Pulau Jawa Tahun 1994-2008 ... 103

4.4 Perkembangan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

di Lima Propinsi di Pulau Jawa Tahun ... 109

(11)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Data PDRB, Kapasitas Fiskal, Investasi Swasta dan

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, dan Variabel

Dummy Otonomi daerah ... 142

2 Data PDRB, Kapasitas Fiskal, Investasi Swasta dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, dan variabel Dummy Otonomi daerah yang telah ditransformasikan ke model LOG ... 145

3 Hasil Regresi Dengan Pooled Least Squared (PLS) ... 148

4 Hasil Regresi Dengan Fixed Effect Model (FEM) ... 149

5 Hasil Uji Chow / F-Restricted ... 150

6 Hasil Regresi Dengan Random Effect Model (REM) ... 151

7 Hasil Uji Hausman ... 152

8 Uji Heterokedastis dengan Estimasi GLS Cross-Section Weight ... 153

9 Hasil Regresi Perbaikan FEM dengan Cross-Section SUR ... 154

10 Hasil Estimasi Model Sebelum Otonomi Daerah ... 155

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pembangunan ekonomi merupakan pembangunan satu kesatuan politik,

ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan di dalam mewujudkan

tujuan nasional perlu selalu dilaksanakan dengan selaras, sehingga

pembangunan sektoral yang berlangsung di daerah-daerah benar-benar sesuai

dengan potensi dan prioritas daerahnya demi terciptanya tujuan dari

diberlakukannya otonomi daerah oleh pemerintah. Hasil dari pembangunan

diharuskan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat sebagai wujud dari

pembangunan yang adil dan merata.

Pembangunan daerah dilaksanakan agar ketimpangan pertumbuhan

ekonomi antar daerah tidak semakin meluas. Kegiatan pembangunan daerah

tidak terlepas dari peran seluruh pemerintah daerah dan masyarakatnya yang

secara bersama-sama mengambil inisiatif membangun daerah sehingga berhasil

memanfaatkan segala sumber daya yang tersedia di daerah masing-masing.

Tidak hanya itu, tetapi pemerintahan daerah harus dapat melihat sektor yang

memiliki keunggulan serta kelemahan, mengoptimalkan pemberdayaan semua

potensi yang dimiliki, dan menetapkan sektor komoditi yang diprioritaskan

pengembangannya.

Menurut Schumpeter (Jhingan, 2004: 125), pembangunan ekonomi adalah

(13)

2 senantiasa mengubah dan mengganti situasi keseimbangan yang ada

sebelumnya, sedang pertumbuhan adalah perubahan jangka panjang secara

perlahan dan mantap dan terjadi melalui kenaikan tabungan dan penduduk.

Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, sangat membutuhkan

ketepatan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal pembangunan.

Pembangunan ekonomi dapat memberi manusia kemampuan yang lebih besar

untuk menguasai alam sekitarnya dan mempertinggi tingkat kebebasannya

dalam mengadakan suatu tindakan tertentu. Jadi tujuan pembangunan ekonomi

disamping untuk meningkatkan pendapatan riil juga untuk meningkatkan

produktifitas masyarakatnya.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan proses berkelanjutan merupakan

kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi, karena Pertumbuhan

ekonomi merupakan salah satu indikator untuk melihat hasil pembangunan

yang telah dilakukan dan juga berguna untuk menentukan arah pembangunan

di masa yang akan datang. Pertumbuhan ekonomi yang positif menunjukkan

adanya peningkatan perekonomian sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang

negatif menunjukkan adanya penurunan.

Salah satu indikator yang sering digunakan untuk melihat adanya gejala

pertumbuhan ekonomi daerah adalah produk domestik regional bruto (PDRB),

karena didalamnya mencerminkan kegiatan ekonomi yang dilaksanakan dan

dicapai oleh penduduk selama periode tertentu. produk domestik regional bruto

(PDRB) juga dapat digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran dan

(14)

3 Pulau Jawa adalah pulau yang telah memenuhi beberapa aspek penting

yang mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, pertama dari segi tenaga

kerja, pulau jawa adalah pulau dengan penduduk terbanyak di Indonesia

dimana penduduknya mencapai sekitar 124 juta jiwa dengan luas pulau hanya

6% dari wilayah Indonesia secara keseluruhan. Dengan jumlah penduduk yang

tinggi maka hal ini dapat memberikan pulau Jawa tingkat penwaran tenaga

kerja yang tinggi, dimana tenaga kerja adalah salah satu faktor dalam

terciptanya kegiatan perekonomian. (http://id.wikipedia.org/wiki/ jawa)

Kedua, karena di Pulau Jawa terdapat Ibu kota negara sehingga perhatian

pemerintah pusat akan lebih besar kepada propinsi DKI Jakarta selaku Ibu

kota negara dan propinsi-propinsi yang berdampingan dengan DKI Jakarta baik

dari segi pembangunan maupun pertumbuhan ekonominya. Sehingga

perkembangan pembangunan baik dari segi infrastruktur maupun kegiatan

perekonomiannya lebih tinggi dibandingkan dengan pulau lain yang ada di

Indonesia. Hal ini menjadikan pulau Jawa sebagai pulau yang paling diminati

dan paling tinggi dalam menerima penanaman modal oleh para investor swasta

baik asing maupun domestik jika dibandingkan dengan pulau lain karena

pembangunan ekonomi di pulau Jawa dapat dikatakan lebih baik dibandingkan

dengan pulau lain di Indonesia. Sehingga memacu pertumbuhan ekonomi

kearah yang positif (KER, 2008: 45)

Pada tahun 1994 terdapat banyak perubahan-perubahan yang dilakukan

oleh pemerintah pusat dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, yaitu

(15)

4 tentang kepemilikian saham yang intinya mempermudah penanaman modal

asing di Indonesia, dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi.

Kemudian seperti yang dikemukakan pada Laporan Perekonomian Indonesia

tahun 1994, bahwa PDB perkapita Indonesia tahun 1994 mulai membaik sejak

krisis tahun 1993, sehingga peneliti akan melakukan penelitian sejak tahun

1994-2008 dimana pada tahun penelitian ini terdapat pula diberlakukannya

kebijakan otonomi daerah, yang mulai diberlakukan sejak tahun 2001.

Laju pertumbuhan ekonomi lima propinsi di Pulau Jawa selama kurun

waktu tiga tahun terakhir ini selalu mengalami kenaikan, walaupun kenaikan

itu tidak terlalu signifikan. Kondisi tersebut dapat dilihat dari Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto atas dasar Harga Konstan 2000 di Lima Propinsi di pulau Jawa Tahun 2006-2008

(Dalam Juta Rupiah)

Propinsi 2006 2007 2008 DKI Jakarta 312,826,712.00 332,971,253.00 353,539,057.00

Jawa barat 257,449,445.00 274,180,307.00 290,171,128.00 Jawa tengah 150,682,654.00 159,110,253.00 167,790,369.00 DIY 17,535,749.00 18,291,511.00 19,208,937.00 Jawa Timur 217,249,316.00 287,814,183.00 304,798,996.00

Sumber : PDRB Menurut Lapangan Usaha, BPS, 2006-2008

Pada Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa PDRB tertinggi dimiliki oleh Propinsi

DKI Jakarta dengan peningkatannya yang cukup signifikan pada tiap tahunnya

selama periode 2006-2008. Pada tahun 2006 PDRB DKI Jakarta atas dasar

harga konstan 2000 sebesar 312,826,712.00 (dalam juta rupiah) naik menjadi

332,971,253.00 di tahun 2007 (dalam juta rupiah) atau laju pertumbuhan

[image:15.612.187.450.432.524.2]
(16)

5 timur, Jawa tengah dan PDRB terendah dimiliki oleh Propinsi DI Yogyakarta

dengan nilai sebesar 19,208,937.00 (dalam juta rupiah) ditahun 2008.

Tetapi secara keseluruhan dari ke-lima propinsi di Pulau Jawa, terlihat

bahwa PDRB atas dasar harga konstan 2000 selama periode tahun tersebut

selalu naik, ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi antar propinsi di

Pulau Jawa selalu mengalami peningkatan, meskipun peningkatannya tidak

merata.

Seiring dengan perubahan kepemimpinan nasional dari Orde Baru menuju

Orde Reformasi, pola hubungan pemerintahan antara Pemerintah Daerah

dengan Pemerintah Pusat juga mengalami perubahan. Pada masa orde baru,

sistem pemerintahan kita bersifat sentralistik dan ternyata hanya menimbulkan

ketidak-adilan di seluruh daerah, hal tersebut dapat dilihat dari hasil

pembangunan di seluruh wilayah Indonesia terdapat ketimpangan yang

menunjukkan adanya perbedaan kecepatan pembangunan antara satu daerah

dengan daerah lainnya. Ketimpangan yang cukup besar antar daerah, baik

antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia, Pulau Jawa

dengan wilayah lainnya dan juga antara daerah perkotaan dengan daerah

pedesaan.

Sejak tanggal 1 Januari 2001 telah terjadi perubahan yang cukup

fundamental dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.

Perubahan tersebut terutama terkait dengan dilaksanakannya “secara efektif

otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Nomor 22 Tahun

(17)

6 Tahun 2004 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang telah direvisi dengan UU Nomor 33

Tahun 2004.

Menurut Halim dalam A.A.N.B Dwirandra (2007: 5)

“ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah (1)

kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki

kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan,

mengelola dan mengguanakan keuangannya sendiri untuk membiayai

penyelenggaraan pemerintahan; (2) Ketergantungan kepada bantuan pusat

harus seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD sebagai salah satu dasar

dari komponen penentu kapasitas fiskal harus menjadi sumber keuangan

terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan

daerah.”

Pada era otonomi ini, diharapkan dapat memotivasi daerah untuk

meningkatkan kreatifitas dan inisiatif untuk lebih menggali dan

mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh tiap-tiap daerah, dan

dilaksanakan secara terpadu, serasi, dan terarah agar pembangunan disetiap

daerah dapat benar-benar sesuai dengan prioritas dan potensi daerah, sehingga

daerah dapat menjadi mandiri di dalam pengelolaan kewenangannya yang

ditandai dengan semakin tinggi atau kuatnya kapasitas fiskal suatu daerah.

Sementara itu untuk beberapa hal yang mungkin masih kekurangan dana,

daerah masih diberi bantuan dari Pemerintah Pusat dalam bentuk Dana

Perimbangan.

Dalam rangka melihat hasil otonomi daerah terhadap pertumbuhan

(18)

7 berperan. Semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah menunjukkan

bahwa daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri

tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Karena besaran pengalokasian suatu

anggaran yang dimaksudkan untuk membangun daerah dengan tujuan

meningkatkan pertumbuhan ekonomi didasarkan terlebih dahulu dari

penerimaan daerah yang terangkum dalam ‘formula’ kapasitas fiskal.

Semakin besar kapasitas fiskal suatu daerah, semakin besar pula anggaran

yang mampu dialokasikan oleh suatu daerah untuk membangun daerah

tersebut. Dengan catatan bahwa pengalokasian anggaran tiap tahunnya oleh

pemerintah daerah yang terangkum dalam APBD benar-benar dialokasikan

dengan bijak dan sesuai porsinya.

Dengan demikian dalam meningkatkan pembangunan ekonomi daerah

tinggi rendahnya kapasitas fiskal sangat penting. Perlu ditekankan bahwa

setelah otonomi daerah efektif diberlakukan, pemerintah daerah tidak boleh

terlalu mengharapkan bantuan dari pemerintah pusat. Kapasitas fiskal propinsi

[image:18.612.157.482.565.668.2]

di pulau Jawa dapat dilihat pada table 1.2

Tabel 1.2 Kapasitas Fiskal lima propinsi di pulau Jawa Tahun 2005-2008

(Dalam Juta Rupiah)

Propinsi 2005 2006 2007 2008 DKI Jakarta 12,594,852.04 13,564,506.88 15,864,177.92 18,761,542.82

Jawa barat 4,254,228.27 4,481,446.21 5,044,326.98 4,781,698.00 Jawa tengah 2,747,820.40 2,926,061.99 3,301,415.73 3,791,733.22 DIY 440,458.31 476,880.62 532,434.45 607,220.46 Jawa Timur 3,919,811.67 4,259,258.74 4,828,991.69 4,280,659.00

(19)

8 Untuk melaksanakan pembangunan daerah secara menyeluruh dan

berkesinambungan, pemerintah daerah perlu adanya dukungan dari pihak

swasta. Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah daerah perlu membuat

kebijakan yang mendukung penanaman modal yang saling menguntungkan

baik bagi pemerintah daerah, pihak swasta maupun terhadap masyarakat

daerah.

Dalam hal ini, Investasi swasta memegang peranan penting dalam

meningkatkan pembangunan dan sebagai salah satu komponen yang

berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi.

Sukses tidaknya suatu daerah dalam menarik arus dana investasi swasta

tidak terlepas dari berbagai faktor ekonomi dan non ekonomi yang ada pada

daerah tersebut. Tumbuhnya iklim investasi yang sehat dan kompetitif

diharapkan akan memacu perkembangan investasi yang saling menguntungkan

dalam pembangunan daerah.

Pada dasarnya pemberian fasilitas yang sifatnya mendorong investor untuk

berinvestasi, seperti pembebasan pajak dan kemudahan untuk mengakses

bahan baku akan sangat efektif bila didukung oleh daerah tujuan. Iklim usaha

yang menunjang dan mendorong penanaman modal dan Infrastruktur yang

menunjang dan memadai.

Investasi swasta berdasarkan sumbernya, terbagi menjadi dua, yaitu

Penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan Penanaman modal asing (PMA).

(20)

9 yang berasal dari dalam negeri yang ditanamkan untuk kegiatan produksi

dalam penelitian ini yaitu lima propinsi dipulau Jawa setiap tahunnya.

Sebaliknya, PMA adalah investasi swasta asing, yaitu realisasi jumlah

investasi yang ditanamkan di lima propinsi di pulau Jawa yang berasal dari

swasta luar negeri setiap tahunnya. Perkembangan Investasi swasta lima

[image:20.612.132.515.316.399.2]

propinsi dipulau Jawa dapat dilihat pada tabel 1.3.

Tabel 1.3 Perkembangan Realisasi Investasi Swasta antar-Propinsi di Pulau Jawa Tahun 2004-2008

(Dalam Juta Rupiah)

Tahun DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur

P I P I P I P I P I

2004 253 15.928.846,03 179 13.708.761,10 12 992.070,55 5 26.125,14 41 2.107.013,88 2005 388 34.313.994,88 262 28.279.368,74 26 1.218.341,70 9 196.447,88 71 10.875.622,37 2006 359 16.580.967,06 229 20.190.168,44 47 3.759.949,85 12 467.303,92 70 3.895.137,16 2007 399 49.485.399,15 279 24.191.312,28 44 1.250.966,69 3 41.205,86 79 18.077.816,76 2008 467 104.966.253,06 357 30.826.009,51 56 2.742.883,02 6 18.233.066,50 113 7.533.179,68

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat, diolah.

Ket : I : Nilai Realisasi Investasi dalam juta rupiah P : Jumlah Izin Usaha Tetap yang dikeluarkan

Berdasarkan Tabel 1.3 dapat dilihat, investasi Swasta hanya terfokus di

dua provinsi yaitu DKI Jakarta dan Jawa Barat, dengan nilai realisasi lebih

tinggi dibandingkan lima provinsi penelitian di Pulau Jawa. Kedua provinsi

tersebut merupakan penyumbang investasi terbesar dari lima propinsi di Pulau

Jawa.

Nilai Investasi di lima propinsi di Pulau Jawa sangat fluktuatif, terutama

pada propinsi DIY yang tercatat di BKPM pada tahun 2008 tidak ada investor

swasta dalam negeri yang melakukan investasi. Hal tersebut dapat dilihat pada

tabel 1.3. Apabila dilihat secara umum, pertumbuhan investasi swasta selama

(21)

10 Modal pembangunan yang penting lainnya adalah sumber daya manusia.

Partisipasi aktif dari seluruh masyarakat akan mempercepat pembangunan

daerah karena rasa kepemilikan yang lebih besar terhadap daerah. Hasil yang

dicapai dalam pembangunan juga akan lebih cepat dirasakan untuk daerah

sendiri sehingga nantinya dapat merangsang kesadaran masyarakat

membangun wilayah lokal masing-masing.

Untuk mendukung pelaksanaan pembangunan diperlukan sumber daya

manusia yang berkualitas disamping terpenuhinya kuantitas permintaan tenaga

kerja. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) dianggap sebagai salah satu

faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Tingkat partisipasi

angkatan kerja merupakan angkatan kerja yang aktif dalam kegiatan ekonomi,

dan pertumbuhan ekonomi tercipta karena adanya pertumbuhan dari siklus

kegiatan ekonomi masyarakatnya. TPAK merupakan ukuran yang

menggambarkan jumlah angkatan kerja dengan penduduk usia kerja standar

nasional Indonesia. Angkatan kerja yang dimaksud disini adalah jumlah

penduduk usia kerja yang mencari pekerjaan dan sedang bekerja, termasuk usia

produktif yang mencari kerja.

Fluktuasi Tingkat Partisipasi Angkatan kerja (TPAK) Lima propinsi di

(22)

11 Tabel 1.4 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Lima Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 2003-2008

(Dalam Persen)

Tahun DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur 2003 60,45 61,44 70,30 71,99 68,91 2004 61,93 62,45 71,04 71,73 68,59 2005 63,08 62,88 71,18 71,95 69,50 2006 64,92 61,41 68,60 69,20 67,36 2007 64,95 62,50 70,16 68,56 68,99 2008 68,68 63,09 68,37 70,51 69,31

Sumber : Statistik Indonesia, BPS, 2003-2008, diolah

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di lima propinsi di Pulau Jawa

sangat fluktuatif, rata-rata menunjukkan peningkatan pada tingkat partisipasi

angkatan kerja setiap tahunnya walaupun tidak terlalu signifikan, sering pula

terjadi penurunan pekerja, seperti TPAK pada propinsi Jawa barat ditahun

2005 sebesar 62,88 turun ditahun 2006 menjadi 61,41% meskipun mengalami

peningkatan ditahun 2007 dan 2008. Hal serupa dialami juga oleh propinsi

Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur mengalami penurunan TPAK ditahun 2006

yang masing-masing menjadi 68,60% ; 69,20% dan 67,36% dari tahun 2005

yang masing-masing dapat mencapai 71,18% ; 71,95% dan 67,36%. Sementara

nilai TPAK untuk propinsi DKI Jakarta selalu mengalami peningkatan dari

tahun 2003 hingga 2008.

Kapasitas fiskal, peningkatan peran serta swasta dan peningkatan

partisipasi tenaga kerja lokal sebagai modal pembangunan daerah diharapkan

menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan daerah. Fluktuasi empat

[image:22.612.161.480.141.234.2]
(23)

12

[image:23.612.148.505.111.306.2]

Dalam Persen (%)

Gambar 1.1 Fluktuasi lima variabel penelitian tahun periode 1994-2008

Gambar 1.1 merupakan laju pergerakan empat variabel penelitian, baik

pergerakan positif maupun negatif, dalam penelitian ini adalah ingin melihat

bagaimana pengaruh variabel kapasitas fiskal, investasi swasta dan tingkat

partisipasi angkatan kerja terhadap PDRB. Jika kita lihat pergerakan PDRB

terus meningkat walaupun tidak terlalu signifikan, yang meningkat secara

signifikan terlihat pada variabel kapasitas fiskal, apabila kita melihat

pergerakan kapasitas fiskal yang merupakan cerminan dari peningkatan

penerimaan daerah, seharusnya pergerakannya diikuti dengan meningkatnya

PDRB, karena asumsinya, dengan meningkatnya kapasitas fiskal suatu daerah

berarti porsi anggaran pemerintah daerah untuk pembangunan daerah juga

membesar yang secara langsung akan berpengaruh terhadap meningkatnya

PDRB, tetapi hal tersebut tidak ditunjukkan pada gambar 1.1, dimana gambar

menunjukkan bahwa meningkatnya kapasitas fiskal secara signifikan belum

cukup mempengaruhi peningkatan PDRB secara signifikan pula. 0

1 2 3 4 5 6 7 8 9

PDRB

Kapasit as Fiskal

Invest asi Sw ast a

(24)

13 Kemudian hal lain yang ditunjukkan pada gambar adalah pergerakan

investasi swasta, dimana sekitar tahunh 1999-2001 terjadi fluktuasi yang

signifikan, yang seharusnya juga mempengaruhi flukrtuasi pada PDRB.

Dengan asumsi jika investasi swasta meningkat, akan meningkatkan kegiatan

ekonomi, pertambahan output, dan juga penyerapan tenaga kerja lokal

sehingga mampu mengurangi pengangguran sehingga meningkatkan

pendapatan perkapita yang berpengaruh terhadap PDRB. Tetapi jika kita lihat

pada garis PDRB, peningkatan yang signifikan pada kapasitas fiskal serta

pergerakan yangf berfluktuatif pada investasi swasta tidak cukup mampu

mempengaruhi pertumbuhan PDRB secara signifikan.

Berdasarkan gambar 1.1 diatas, masih terdapat beberapa hal yang belum

dapat terjawab oleh peneliti, oleh karena itu, berangkat dari uraian tersebut di

atas, terlihat hubungan yang cukup unik pada kapasitas fiskal, investasi swasta

yang terdiri dari PMDN dan PMA, serta tingkat partisipasi angkatan kerja yang

sesuai dugaan sementara mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi

di lima propinsi di pulau Jawa. Dari fenomena tersebut di atas maka perlu

adanya suatu penelitian yang diharapkan dapat memberikan rekomendasi demi

kelangsungan pertumbuhan ekonomi di lima propinsi di Pulau Jawa.

Hal ini yang melatarbelakangi penulis melakukan penelitian dengan judul

“Analisis Pengaruh Kapasitas Fiskal, Investasi swasta dan Tingkat

Partisipasi Angkatan Kerja Terhadap Pertumbuhan ekonomi Regional

Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah (Studi Kasus : Antar Lima Propinsi

(25)

14 B.Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan yang telah peneliti kemukakan pada latar

belakang, bahwa kapasitas fiskal, investasi swasta serta TPAK mempengaruhi

PDRB, dimana kapasitas fiskal merupakan cerminan dari tingkat kemampuan

daerah dalam menghimpun dana untuk kembali digunakan untuk membangun

daerahnya sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya,

investasi swasta akan meningkatkan kegiatan ekonomi, menambah pemdapatan

pajak, menghasilkan output serta penyerapan tenaga kerja lokal yang mampu

mendorong PDRB kearah yang positif ditambah dengan TPAK yang

merupakan faktor utama adanya kegiatan ekonomi.

Ketiga hal tersebut dirasa oleh peneliti merupakan hal penting yang

mampu meningkatkan PDRB secara signifikan, tetapi berdasarkan gambar 1.1

dan uraian yang telah peneliti sampaikan, bahwa kapasitas fiskal yang

meningkat signifikan serta investasi swasta yang berfluktuatif walaupun

meningkatkan PDRB, tetapi belum mampu menunjukkan peningkatan yang

signifikan. Pada tahun penelitian terdapat suatu kebijakan di Indonesia, yaitu

diberlakukannya otonomi daerah, dimana dengan diberlakukannya otonomi

daerah, pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengoptimalkan potensi

wilayahnya agar dapat memaksimalkan penerimaan daerah guna meningkatkan

pertumbuhan dan pembangunan daerahnya, dengan demikian tujuan dari

otonomi daerah adalah untuk meminimalisir adanya ketimpangan

(26)

15 timbul beberapa masalah yang akan dibahas oleh peneliti yang dapat

dirumuskan dalam pertanyaan peneliti sebagai berikut:

 Pertanyaan penelitian

1. Apakah Kapasitas fiskal, Investasi swasta, tingkat partisipasi angkatan

kerja dan Dummy otonomi daerah berpengaruh signifikan terhadap

pertumbuhan ekonomi antar lima propinsi di Pulau Jawa?

2. Manakah diantara Kapasitas fiskal, investasi swasta dan tingkat

partisipasi angkatan kerja yang paling berpengaruh signifikan

terhadap pertumbuhan ekonomi antar lima propinsi di Pulau Jawa.

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

 Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :

1. Untuk menganalisa pengaruh kapasitas fiskal, investasi swasta, tingkat

partisipasi angkatan kerja dan dummy otonomi daerah terhadap

pertumbuhan ekonomi antar lima propinsi di Pulau Jawa.

2. Untuk menganalisa variabel kapasitas fiskal, investasi swasta dan tingkat

partisipasi angkatan kerja yang paling berpengaruh terhadap

pertumbuhan ekonomi antar lima propinsi di Pulau Jawa.

 Hasil Penelitian ini dapat bermanfaat :

1. Hasil penelitian ini diharapan dapat memberikan gambaran bagaimana

kontribusi kapasitas fiskal, investasi swasta dan tingkat partisipasi

angkatan kerja terhadap Pertumbuhan ekonomi antar lima propinsi di

(27)

16 2. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai informasi bagi

lembaga-lembaga terkait dalam menentukan kebijaksanaannya yang berkaitan

dengan dengan pertumbuhan ekonomi daerah.

3. Sebagai sumber informasi bagi peneliti yang lain yang berminat pada

masalah yang sama dan analisis yang dapat diperoleh dapat menjadi

(28)

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi

1. Definisi Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi

(economic growth), pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan

ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses

pembangunan ekonomi.

Banyak pakar dalam bidang ekonomi yang menyatakan bahwa istilah

pertumbuhan ekonomi berbeda dengan istilah pembangunan ekonomi.

Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan

pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur

ekonomi suatu negara.

Pembangunan ekonomi mengandung arti yang lebih luas dan mencakup

perubahan pada tata susunan ekonomi masyarakat secara menyeluruh.

Menurut Sadono (2007:3), pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha

dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya

sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan semakin banyak

dan semakin berkembang, taraf pendidikan semakin tinggi dan teknologi

semakin meningkat.

(29)

18 Arsyad (2010: 11) menerangkan bahwa Pembangunan ekonomi pada

umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan

pendapatan riil perkapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang

disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan.

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah

proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan

dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan

mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil di

negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi

keberhasilan pembangunan ekonomi.

Menurut Sadono (2007: 9-11), pertumbuhan ekonomi adalah sebagai

suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu

perekonomian dalam suatu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan

tahun sebelumnya.

Perbedaan antara pertumbuhan ekonomi dengan istilah pembangunan

ekonomi itu sendiri adalah pada pertumbuhan ekonomi, keberhasilannya

lebih bersifat kuantitatif, hanya dilihat dari perkembangan kegiatan

perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan

didalam masyarakat bertambah, sedangkan pembangunan ekonomi lebih

bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga terdapat

perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada

berbagai sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, dan

(30)

19 2. Teori Pertumbuhan Ekonomi

Teori pertumbuhan ekonomi adalah teori-teori yang menerangkan

faktor-faktor yang menimbulkan dan menentukan lajunya pertumbuhan

ekonomi, teori tentang pertumbuhan ekonomi telah dikemukakan sejak

zaman historimus, seiring dengan perkembangan zaman dimana terjadinya

perubahan ideologi, revolusi dan inovasi teknologi, membuat perkembangan

twori dan konsep pemikiran tentang pertumbuhan ekonomi berkembang

sangat pesat (Adelman, dalam Arsyad (2010: 55-56))

Oleh karena itu peneliti menggunakan beberapa teori pertumbuhan yang

mendukung penelitian ini sebagai berikut :

Teori Ricardian

Asumsi Teori Ricardo :

Asumsi-asumsi tentang pertumbuhan ekonomi yang digunakan oleh

Ricardo (Arsyad, 2010: 80) yaitu, keadaan perekonomian saat itu adalah

dimana jumlah tanah terbatas; kemudian meningkat atau menurunnya

tenaga kerja (penduduk), tergantung pada tingkat upah nominal. Apabila

tingkat upah nominal lebih besar dibandingkan tingkat upah minimum,

maka jumlah tenaga kerja akan meningkat, begitupun sebaliknya;

Akumulasi modal terjadi jika tingkat keuntungan yang diperoleh para

pemilik modal berada diatas tingkat keuntungan minimal yang

diperlukan untuk menarik mereka untuk melakukan investasi.

Diasumsikan pula, bahwa kemajuan teknologi terjadi sepanjang

(31)

20 David Ricardo mengungkapkan pandangannya bahwa, dengan

terbatasnya jumlah tanah, maka pertumbuhan penduduk (tenaga kerja)

akan menurunkan produk marginal yang kemudian dikenal dengan istilah

Law of deminishing return atau hukum kenaikan hasil yang semakin

berkurang. Selama tenaga kerja yang dipekerjakan pada tanah tersebut

dapat menerima upah diatas tingkat upah alamiah, jumlah tenaga kerja

akan terus bertambah. Hal tersebut akan menurunkan lagi produk

marginal tenaga kerjanya dan pada gilirannya akan menurunkan tingkat

upah.

Menurut Ricardo (Arsyad, 2010: 81), peranan akumulasi modal dan

kemajuan teknologi akan cenderung meningkatkan produktivitas tenaga

kerja. Dengan kata lain akan memperlambat terjadinya the law of

deminishing return yang pada gilirannya akan memperlambat pula

penurunan tingkat hidup kearah tingkat hidup minimal.

Teori Keynes

Menurut Keynes terjadinya pengangguran merupakan akibat dari

kurangnya pengeluaran agregat, dan untuk mengatasinya Keynes

menyarankan agar memperbesar pengeluaran konsumsi dan non

konsumsi. Dalam hal ini maka Keynes menganjurkan adanya campur

tangan pemerintah melalui kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan

kebijakan segi penawaran yang dapat mempengaruhi permintaan efektif

(32)

21  Teori Harrod-Dommar

Teori Harrod-Domar merupakan teori pertumbuhan jangka panjang,

karena teori ini menerangkan syarat-syarat apa saja harus dipenuhi agar

suatu perekonomian dapat mencapai pertumbuhan yang teguh atau steady

growth.. Analisis Harrod-Dommar menggunakan pemisalan-pemisalan

berikut (Sadono, 2004: 435) :

“(i) barang modal telah mencapai kapasitas penuh, (ii) tabungan

adalah proporsional dengan pendapatan nasional, (iii) rasio

modal-produksi nilainya tetap, (iv) perekonomian terdiri dari dua sektor.”

Menurut Arsyad (2010: 84-85), Teori ini menunjukan bahwa

perekonomian dapat menyisihkan sejumlah proporsi tertentu dari

pendapatan nasionalnya untuk mengganti barang-barang modal seperti

gedung, peralatan dan lain-lain yang telah rusak. Namun demikian untuk

dapat meningkatkan laju perekonomian, diperlukan pula

investasi-investasi baru sebagai tambahan stok modal. Teori Harrod-domar

memandang bahwa ada hubungan ekonomis antara besarnya stok modal

dan output total, misalnya, jika 3 rupiah modal diperlukan untuk

menghasilkan output sebesar 1 rupiah, maka setiap tambahan bersih

terhadap stok modal akan mengakibatkan kenaikan output total sesuai

dengan rasio modal output tersebut.

Teori Schumpeter

Menurut Schumpeter, kemajuan perekonomian kapitalis disebabkan

(33)

22 keleluasaan tersebut cenderung memunculkan monopoli kekuatan pasar.

Monopoli inilah yang memunculkan masalah-masalah non ekonomi,

terutama sosial politik yang akhirnya dapat menghancurkan kapitalis itu

sendiri (Sadono, 2007:434).

Schumpeter berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi sangat

ditentukan oleh kemampuan kewirausahaan (entrepreneurship). Sebab,

para pengusahalah yang mempunyai kemampuan dan keberanian untuk

mengumpulkan dan mengorganisasikan seluruh faktor-faktor produksi

lain yang dapat digunakan untuk menghasilkan kebutuhan bagi

masyarakat (Sadono, 2007:251).

3. Faktor – faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi

Proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua macam, yaitu

(Jhingan , 2004: 67-77) :

a. Faktor Ekonomi

Para ahli ekonomi menganggap faktor produksi sebagai kekuatan

utama yang mempengaruhi pertumbuhan. Laju pertumbuhan ekonomi

jatuh atau bangunnya merupakan konsekuensi dari perubahan yang

terjadi didalam faktor produksi tersebut. Beberapa faktor ekonomi

tersebut akan dibahas dibawah ini :

1) Sumber Alam

Sumber alam seperti kesuburan tanah, letak dan susunannya,

(34)

23 sebagainya merupakan faktor utama yang mempengaruhi

perkembangan suatu perekonomian. Tersedianya Sumber alam secara

melimpah merupakan hal yang penting. Suatu negara yang

kekurangan Sumber alam tidak akan dapat membangun dengan cepat.

Tetapi melimpahnya sumber alam tidak menjamin perekonomian

suatu negara akan tumbuh jika tidak diorganisir dengan baik dan tepat.

Banyak negara kurang berkembang yang memiliki sumber alam

yang melimpah tetapi sering terbengkalai, kurang atau salah

pemanfaatan. Terbengkalai, kurang inovatif, ataupun salah

pemanfaatan sumber alam oleh negara yang bersangkutanlah salah

satu penyebab keterbelakangan itu. Tersedianya Sumber alam secara

melimpah saja belumlah cukup bagi pertumbuhan ekonomi. Apa yang

diperlukan ialah pemanfaatannya secara tepat. Jika Sumber alam yang

ada tidak dipergunakan secara tepat, negara itu tidak mungkin

mengalami kemajuan.

J.L Fisher dalam Williamson dan Buttrick, dalam Jhingan (2004:

67) dengan tepat mengatakan, “Tidak cukup beralasan untuk

mengharapkan pengembangan Sumber daya alam jika orang acuh tak

acuh pada produk dan jasa yang dapat disumbangkan oleh

sumber-sumber tersebut.” Hal ini disebabkan karena keterbelakangan ekonomi

dan langkanya faktor teknologi. Oleh karena itu, Sumber daya alam

dapat dikembangkan melalui perbaikan teknologi dan peningkatan

(35)

24 2) Akumulasi Modal

Faktor ekonomi penting kedua dalam pertumbuhan ialah

akumulasi modal. Modal berarti persediaan faktor produksi yang

secara fisik dapat direproduksi. Apabila stok modal naik dalam batas

waktu tertentu, hal ini disebut akumulasi modal atau pembentukan

modal.

Pembentukan modal merupakan kunci utama pertumbuhan

ekonomi. Di satu pihak ia mencerminkan permintaan efektif, dan di

pihak lain ia menciptakan efisiensi produktif bagi produksi di masa

depan. Proses pembentukan modal menghasilkan kenaikan output

nasional dalam berbagai cara. Pembentukan modal diperlukan untuk

memenuhi permintaan penduduk yang meningkat di negara yang

bersangkutan.

Investasi di bidang barang modal tidak hanya meningkatkan

produksi tetapi juga kesempatan kerja. Pembentukan modal ini pula

yang membawa kearah kemajuan teknologi. Pembentukan modal

membantu usaha penyediaan mesin, alat dan perlengkapan bagi tenaga

buruh yag semakin meningkat. Pembentukan modal ini pula yang

membawa kearah penggalian Sumber Daya Alam, industrialisasi dan

ekspansi pasar yang diperlukan bagi kemajuan ekonomi.

3) Organisasi

Organisasi merupakan bagian penting dari proses pertumbuhan.

(36)

25 kegiatan ekonomi. Organisasi bersifat melengkapi (komplemen)

modal, buruh dan membantu meningkatkan produktivitasnya. Dalam

pertumbuhan ekonomi modern, para wiraswastawan tampil sebagai

organisator dan pengambil resiko di antara ketidakpastian. Wiraswasta

bukanlah manusia dengan kemampuan biasa. Ia memiliki kemampuan

khusus untuk bekerja dibandingkan orang lain. menurut Schumpeter,

seorang wiraswastawan tidak perlu seorang kapitalis. Fungsi

utamanya ialah melakukan pembaharuan (inovasi).

4) Kemajuan Teknologi

Perubahan teknologi dianggap sebagai faktor paling penting

didalam proses pertumbuhan ekonomi. Perubahan itu berkaitan

dengan perubahan didalam metode produksi yang merupakan hasil

pembaharuan atau hasil dari teknik penelitian baru. Perubahan pada

teknologi telah menaikkan produktifitas buruh, modal dan faktor

produksi yang lain.

Simon Kuznet dalam Jhingan (2004: 72) ada lima pola penting

pertumbuhan teknologi di dalam pertumbuhan ekonomi modern.

Yaitu: penemuan ilmiah atau penyempurnaan pengetahuan teknik;

investasi; inovasi; penyempurnaan dan penyebarluasan penemuan

yang biasanya diikuti dengan penyempurnaan. Menurutnya, inovasi

terdiri dari dua macam : pertama, penurunan biaya yang tidak

(37)

26

Kedua, pembaharuan yang menciptakan produk baru dan

menciptakan perintaan baru akan produk tersebut. Yang kedua ini

merupakan perubahan yang menciptakan permintaan.

5) Pembagian Kerja

Spesialisasi dan pembagian kerja menimbulkan peningkatan

produktifitas. Keduanya membawa kearah ekonomi produksi skala

besar yang selanjutnya membantu perkembangan industri. Jika skala

produksi luas, spesialisasi dan pembagian kerja akan meluas pula.

Alhasil, jika produksi naik, laju pertumbuhan ekonomi akan melesat.

b.Faktor Non-ekonomi

Faktor non-ekonomi bersama-sama faktor ekonomi saling

mempengaruhi kemajuan perekonomian. Dalam kenyataannya, faktor

non-ekonomi pada umumnya, seperti organisasi sosial, budaya, dan

politik, mempengaruhi faktor-faktor ekonomi. Oleh karena itu, faktor

non-ekonomi juga memiliki arti penting di dalam pertumbuhan ekonomi.

Berikut faktor-faktor non-ekonomi :

1) Faktor Sosial

Faktor sosial dan budaya juga mempengaruhi pertumbuhan

ekonomi. Pendidikan dan kebudayaan barat membawa ke arah

penalaran (reasoning) dan skeptisme. Ia menanamkan semangat yang

menghasilkan berbagai penemuan baru dan akhirnya memunculkan

kelas pedagang baru. Kekuatan faktor ini menghasilkan perubahan

(38)

27 menabung dan berinvestasi, dan menikmati resiko untuk memperoleh

laba.

2) Faktor Manusia

Sumber daya manusia merupakan faktor terpenting dalam

pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tidak semata-mata

tergantung pada jumlah sumber daya manusia saja, tetapi lebih

menekankan pada efisieni mereka.

Peningkatan GNP per kapita yang besar berkaitan erat dengan

pengembangan faktor manusia sebagaimana terlihat dalam efisiensi

atau produktifitas yang melonjak di kalangan buruh. Penggunaan

secara tepat sumber daya manusia untuk pembangunan ekonomi dapat

dilakukan dengan cara berikut. Pertama, harus ada pengendalian atas

perkembangan penduduk. Sumber daya manusia dapat dimanfaatkan

dengan baik apabila jumlah penduduk dapat dikendalikan dan

diturunkan. Ini memerlukan keluarga berencana dan penelitian atas

penduduk untuk menurunkan angka kelahiran. Kedua, harus ada

perubahan dalam pandangan tenaga buruh. Perilaku sosial dari tenaga

buruh merupakan hal yang penting didalam proses pembangunan

ekonomi.

3) Faktor Politik dan Administratif

Faktor ini juga membantu pertumbuhan ekonomi modern.

Struktur politik dan administrasi yang lemah merupakan penghambat

(39)

28 yang kuat, efisien dan tidak korupsi, dengan demikian amat penting

bagi pembangunan ekonomi. Dalam administrasi yang bersih dan kuat

seperti itu keadilan sepenuhnya dapat merangsang pertumbuhan

ekonomi.

B.Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Pengertian PDRB menurut Badan Pusat Statistik (2004:8) yaitu jumlah

nilai tambah yang dihasilkan untuk seluruh wilayah usaha dalam suatu wilayah

atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan

seluruh unit ekonomi di suatu wilayah.

Penghitungan PDRB dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode

yaitu :

1. Metode Langsung

Penghitungan metode langsung ini dapat dilakukan melalui tiga

pendekatan yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan

pendekatan pengeluaran. Walaupun mempunyai tiga pendekatan yang

berbeda namun akan memberikan hasil penghitungan yang sama.

Seperti dikatakan di atas, penghitungan PDRB secara langsung dapat

dilakukan melalui tiga pendekatan sebagai berikut :

a. PDRB Menurut Pendekatan Produk Neto

Produk neto memiliki arti nilai tambah yang diciptakan dalam suatu

proses produksi. Dengan demikian, cara penghitungan dengan

(40)

29 tambah yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan diberbagai lapangan

usaha dalam perekonomian disuatu wilayah pada suatu waktu tertentu.

(Sadono, 2004: 42)

b.PDRB Menurut Pendekatan Pendapatan

Pada pendekatan ini, PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima

oleh faktor-faktor produksi yang ikut dalam proses produksi di suatu

wilayah pada jangka waktu tertentu (setahun). Penghitungan PDRB

melalui pendekatan ini diperoleh dengan menjumlahkan semua balas jasa

yang diterima faktor produksi yang komponennya terdiri dari upah dan

gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan ditambah dengan

penyusutan dan pajak tidak langsung neto (BPS, 2004: 27).

c. PDRB Menurut Pendekatan Pengeluaran

Pada pendekatan ini, PDRB adalah jumlah seluruh pengeluaran

untuk konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari

untung, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto,

perubahan stok dan ekspor netto di suatu wilayah. Perhitungan PDRB

melalui pendekatan ini dilakukan dengan bertitik tolak dari penggunaan

akhir barang dan jasa yang dihasilkan di wilayah domestik (BPS, 2004:

27).

2. Metode Tidak Langsung atau Metode Alokasi

Dalam metode ini PDRB suatu wilayah diperoleh dengan menghitung

PDRB wilayah tersebut melalui alokasi PDRB wilayah yang lebih luas.

(41)

30 antara lain: Nilai produksi bruto atau netto setiap sektor/ subsektor pada

wilayah yang dialokasikan, jumlah produksi fisik, tenaga kerja, penduduk

dan alokator tidak langsung lainnya. Dengan menggunakan salah satu atau

beberapa alokator dapat diperhitungkan persentase bagian masing-masing

propinsi terhadap nilai tambah setiap sektor dan subsektor.

Cara penyajian PDRB adalah sebagai berikut :

a. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku, semua agregat pendapatan dinilai atas

dasar harga yang berlaku pada masing-masing tahunnya, baik pada saat

menilai produksi dan biaya antara maupun pada penilaian komponen

PDRB. PDRB atas dasar harga berlaku menunjukkan kemampuan

sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Nilai PDRB

yang besar menunjukkan kemampuan sumberdaya ekonomi yang besar,

begitu juga sebaliknya.

b. PDRB Atas Dasar Harga Konstan, semua agregat pendapatan dinilai atas

dasar harga tetap, maka perkembangan agregat pendapatan dari tahun ke

tahun semata-mata karena perkembangan produksi riil bukan karena

kenaikan harga atau inflasi. PDRB atas dasar harga konstan

menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau setiap

(42)

31 C.Kapasitas Fiskal

1. Definisi Desentralisasi Fiskal dan Kapasitas Fiskal

a. Desentralisasi Fiskal

Berdasarkan UU RI No. 32 tahun 2004, Desentralisasi adalah

penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah

otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini berarti

kekuasaan yang sebelumnya secara penuh berada di pemerintah pusat,

kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah khususnya kabupaten/

kota. Penyerahan kewenangan ini kemudian disertai penyerahan

sumber-sumber pembiayaannya (money follows function), dengan tujuan untuk

memperkecil kesenjangan ekonomi antar daerah di Indonesia.

Meskipun demikian, sebagai negara yang masih tergolong baru

dalam menggunakan sistem otonomi daerah, pemerintah pusat masih

memberikan bantuan berupa Dana Alokasi Umum (DAU) yang besarnya

sekurang-kurangnya 25% dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan

dalam APBN. Sementara itu kesenjangan antara pemerintah pusat dengan

pemerintah daerah (vertical imbalances) seperti masa pemerintahan Orde

Baru juga hendak dihilangkan melalui mekanisme alokasi Dana Bagi

Hasil Non Sumber Daya Alam dan Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang

besarnya telah ditetapkan oleh UU.

Untuk kebutuhan khusus yang tidak dapat dicukupi dengan DAU

misalnya bencana alam dan dana darurat lainnya, maka pemerintah pusat

(43)

32 Menurut Oates, dalam Siti Parhah (2010: 1) “desentralisasi fiskal

menyebabkan efisiensi dalam perekonomian, yaitu terjadinya efisiensi

dalam alokasi sumber daya publik”. Menurutnya, alasan bahwa

desentralisasi fiskal meningkatkan pendapatan yaitu karena pemerintah

lokal mempunyai posisi yang lebih baik daripada pemerintah pusat untuk

menyalurkan pelayanan publik yang dibutuhkan baik oleh pemerintah

lokal maupun masyarakatnya, yang selanjutnya efisiensi akan mendorong

percepatan pertumbuhan ekonomi ditingkat lokal dan mendorong

pertumbuhan ekonomi di tingkat nasional.

Jika pemerintah lokal memahami dengan baik dan memberikan apa

yang terbaik yang dibutuhkan oleh masyarakatnya, perubahan struktur

ekonomi masyarakat ditambah peran masyarakat yang semakin besar

akan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

b.Kapasitas Fiskal

Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun

2009 Tentang Dana Alokasi Umum daerah Propinsi, kabupaten dan kota

tahun 2010, Kapasitas fiskal adalah gambaran kemampuan keuangan

masing-masing daerah yang dicerminkan melalui penjumlahan dari

Pendapatan Asli Daerah (PAD) ditambah dengan dana bagi hasil baik

bagi hasil pajak, maupun bukan pajak.

Menurut Keynes (Sadono, 2004: 85) masalah yang timbul pada

negara berkembang seperti Indonesia, disebabkan kurangnya pengeluaran

(44)

33 pada suatu waktu dengan tingkat harga yang berbeda dan dilakukan salah

satunya adalah perbelanjaan dalam hal ini pembangunan, dan investasi

pemerintah. Dapat disimpulkan bahwa, besarnya kapasitas fiskal suatu

daerah akan mempengaruhi jumlah biaya pembangunan pada APBD,

dengan semakin tinggi kapasitas fiskal suatu daerah, maka kegiatan dan

rencana pembangunan daerah dapat terealisasi dengan lebih cepat,

sehingga dapat mempercepat pembangunan yang mempengaruhi

pertumbuhan ekonomi ke arah yang positif.

Tujuan dari penghitungan kapasitas fiskal, selain untuk mengetahui

seberapa besar tingkat kemampuan suatu daerah dalam membiayai

pembangunannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat, juga

dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar porsi DAU oleh

pemerintah pusat yang akan diberikan kepada daerah-daerah propinsi

untuk membantu membiayai pembangunan daerah karena dianggap

dalam sistem otonomi daerah ini, daerah propinsi belum sepenuhnya

mampu untuk mandiri.

Tujuan diadakannya DAU adalah sebagai instrumen untuk mengatasi

masalah horizontal imbalances yang dialokasikan dengan tujuan

pemerataan kemampuan Keuangan antar daerah dimana penggunaannya

ditetapkan sepenuhnya oleh daerah (block grants). Konsep dasar DAU

sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No 25 Tahun 1999 itu secara

implisit merupakan penjabaran dari teori governmental transfer yang

(45)

34 kesenjangan fiskal yang merupakan selisih negatif antara kebutuhan

fiskal dengan kapasitas fiskal dianggap sebagai kebutuhan yang harus

ditutup melalui transfer Pemerintah Pusat.

Konsep DAU adalah, untuk daerah yang memiliki kapasitas fiskal

relatif lebih besar dibanding kebutuhan fiskalnya, maka DAU yang

dialokasikan tidak terlalu besar. Sebaliknyan daerah yang memiliki

kebutuhan fiskal relatif lebih tinggi terhadap kapasitas fiskalnya,

membutuhkan DAU yang relatif besar pula agar mereka tetap dapat

menyediakan pelayanan dasar yang cukup baik. Jadi kapasitas fiskal ini

dapat dianggap sebagai wakil kemampuan suatu Daerah di dalam

melaksanakan semua kewenangan wajibnya dalam pelaksanaan

pemerintahan maupun pembangunan daerahnya.

2. Komponen Kapasitas Fiskal

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun

2009 Tentang Dana Alokasi Umum daerah Propinsi, kabupaten dan kota

tahun 2010, Penghitungan Kapasitas Fiskal provinsi dan kabupaten/ kota

sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), didasarkan pada formula :

KF = PAD + DBH

Dimana :

KF = Kapasitas Fiskal

PAD = Pendapatan Asli Daerah

(46)

35 a. Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah salah satu sumber yang harus

selalu dan terus menerus di pacu pertumbuhannya, karena PAD

merupakan indikator penting untuk memenuhi tingkat kemandirian

pemerintah di bidang keuangan. Semakin tinggi peranan PAD terhadap

APBD maka semakin berhasil usaha pemerintah daerah dalam

membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.

Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut UU No.33

Tahun 2004 adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut

berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Dalam pasal 6 disebutkan bahwa sumber PAD terdiri dari :

1) Pajak Daerah

Pajak merupakan sumber keuangan pokok bagi daerah-daerah

restribusi daerah. Menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2000

tentang perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah

dan Retribusi Daerah, pasal 1 ayat (6):

“Adalah pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak,

adalah iuran wajib yang di lakukan oleh orang pribadi atau

badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang,

yang dapat di paksakan berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, yang di gunakan untuk membiayai

penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan

(47)

36 Sesuai dengan UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas

UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,

jenis-jenis pajak terdiri dari :

Jenis pajak Propinsi, yang terdiri dari : 1) Pajak Kendaraan

Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; 2) Bea Balik Nama Kendaraan

Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; 3) Pajak Bahan Bakar

Kendaraan Bermotor; 4) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air

Bawah Tanah dan Permukaan.

Jenis pajak Kabupaten/Kota terdiri dari : 1) Pajak Hotel adalah

pajak atas pelayanan hotel; 2) Pajak Restoran adalah pajak atas

pelayanan restoran; 3) Pajak Hiburan adalah pajak atas

penyelenggaraan hiburan; 4) Pajak Reklame adalah pajak atas

peyelenggaraan reklame; 5) Pajak Penerangan Jalan; 6) Pajak

Pengambilan Bahan Galian Golongan C; 7) Pajak Perparkiran.”

Relatif rendahnya kemampuan daerah dalam menggali kapasitas

pajak daerah disebabkan karena rendahnya pendapatan perkapita,

rendahnya distribusi pendapatan, tingkat kepatuhan wajib pajak, dan

relatif lemahnya kebijakan perpajakan daerah.

2) Retribusi Daerah

Sumber pendapatan daerah yang penting lainnya adalah retribusi

daerah. Menurut Suparmoko (2002:85) retribusi daerah adalah

(48)

37 tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah

daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.

Jenis-jenis retribusi daerah menurut UU No. 18 Tahun 1997

tentang Pajak Daerah dan retribusi Daerah sebagaimana telah di ubah

terakhir dengan UU No. 34 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah

Nomor 66 tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, juga berpedoman

pada KEPMENDAGRI Nomor 110 tahun 1998 tentang Bentuk dan

Susunan Anggaran Pendapatan Daerah, dapat di kelompokkan

menjadi 3 (tiga) jenis Retribusi Daerah yaitu :

“ 1. Retribusi Jasa Umum, adalah retribusi atas jasa yang di sediakan

atau di berikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan

dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi

atau badan. Jenis-jenis retribusi Jasa Umum terdiri dari: Retribusi

Pelayanan Kesehatan; Retribusi Pelayanan Persampahan

/Kebersihan; Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda

Penduduk dan Akte Catatan Sipil; Retribusi Pelayanan

Pemakaman dan Pengabuan Mayat; Retribusi Pelayanan Parkir di

Tepi Jalan Umum; Retribusi Pelayanan Pasar; Retribusi

Pengujian Kendaraan Bermotor; Retribusi Pemeriksaan Alat

Pemadam Kebakaran; Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta;

Retribusi Pengujian Kapal Perikanan.

2. Retribusi Jasa Usaha, adalah retribusi atas jasa yang di sediakan

oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial

karena pada dasarnya dapat pula di sediakan oleh sektor swasta.

Jenis-jenis Retribusi Jasa Usaha adalah sebagai berikut : Retribusi

Pemakaian Kekayaan Daerah; Retribusi Pasar Grosir dan/atau

Pertokoan; Retribusi Tempat Pelanggan; Retribusi Terminal;

(49)

38 /Pesanggrahan /Villa; Retribusi Penyedotan Kakus; Retribusi

Rumah Potong Hewan; Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal;

Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga; Retribusi Pengolahan

Limbah Cair; Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.

3. Retribusi Perizinan Tertentu, adalah retribusi atas kegiatan

tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada

orang pribadi atau badan yang di maksudkan untuk pembinaan,

pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan

pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang,

prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi

kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

Jenis-jenis Retribusi Perizinan Tertentu terdiri dari : Retribusi Izin

Mendirikan Bangunan, Retribusi Izin Tempat Penjualan

Minuman Beralkohol, Retribusi Izin Gangguan dan Retribusi Izin

Trayek.”

3) Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah

Bagian laba badan usaha milik daerah adalah bagian keuntungan

atau laba bersih dari perusahaan daerah atau badan lain yang

merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), sedangkan

perusahaan daerah ialah perusahaan yang modalnya sebagian atau

seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang di pisahkan.

4) Lain-lain PAD yang sah

Penerimaan selain yang disebutkan diatas tetapi sah. Penerimaan

ini mencakup penerimaan sewa rumah dinas daerah, sewa gedung dan

(50)

39 milik daerah dan penerimaan lain-lain yang sah menurut

Undang-undang.

b.Dana Bagi Hasil

Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari

pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Pemerintah Daerah

berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam

rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi Hasil merupakan dana

perimbangan yang strategis bagi daerah-daerah yang memiliki

sumber‐sumber penerimaan pusat di daerahnya, meliputi penerimaan

pajak pusat yaitu pajak penghasilan perseorangan (PPh perseorangan),

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam (Minyak

Bumi, Gas Alam, Pertambangan Umum, Kehutanan dan Perikanan).

D.Investasi Swasta

1. Definisi Investasi

Berdasarkan teori ekonomi, investasi berarti pengeluaran atau

pembelian barang-barang modal dan alat produksi yang digunakan untuk

menambah kemampuan memproduksi suatu barang/ jasa yang tersedia

didalam perekonomian. Contohnya membangun suatu pabrik, pembukaan

lahan, atau seseorang sekolah di universitas. (Sadono, 2004: 121)

Para pelaku investasi adalah pemerintah, swasta dan kerjasama antara

(51)

40 dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan, tetapi tujuannya untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat, seperti jalan raya, jembatan, rumah sakit

dan sebagainya. Bagi swasta lebih tertarik pada jenis investasi yang

ditujukan untuk memperoleh laba yang biasanya didorong karena adanya

pertambahan pendapatan.

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan investasi swasta disini adalah

investasi yang ditanamkan hanya oleh pihak-pihak swasta yang tertarik

berinvestasi, baik investor dalam negeri maupun investor asing. Sedangkan

investasi pemerintah termasuk dalam pengeluaran pemerintah daerah,

khususnya pengeluaran pembangunan.

Investasi swasta di Indonesia dijamin keberadaannya sejak

dikeluarkannya Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang penanaman

modal asing dan Undang-undang No. 6 tahun 1968 tentang penanaman

modal dalam negeri, yang kemudian dilengkapi dan disempurnakan dengan

Undang-undang No. 11 tahun 1970 tentang penanaman modal asing dan

Undang-undang No. 12 tahun 1970 tentang penanaman modal dalam negeri.

Berdasarkan dari sumber kepemilikan modal, maka investasi swasta dapat

di bagi menjadi penanaman modal asing dan penanaman modal dalam

negeri.

2. Teori Investasi

Dalam jangka panjang pertumbuhan investasi berpengaruh pada

bertambahnya stok kapital dan selanjutnya menaikkan produktivitas. Di

(52)

41 angkatan kerja yang menganggur dapat dimanfaatkan sebagai sumber

pembentukan modal.

 Teori Neo Klasik dalam Jhingan (2004: 274-276), yang diwakili oleh

teori pertumbuhan Robert Sollow dan Trevor Swan. Pandangan Neo

Klasik menekankan pentingnya tabungan sebagai sumber investasi.

Investasi dipandang sebagai salah satu penggerak utama pertumbuhan

ekonomi dan pembangunan. Makin cepat laju perkembangan investasi

ketimbang laju pertumbuhan penduduk, Makin cepat perkembangan

volume stok kapital rata-rata per tenaga kerja. Makin tinggi rasio kapital

per tenaga kerja cenderung makin tinggi kapasitas produksi per tenaga

kerja.

Tokoh Neo Klasik, Sollow dan Swan memusatkan perhatiannya pada

bagaimana pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital, kemajuan

teknologi dan output saling berinteraksi daiam proses pertumbuhan

ekonomi (Arsyad, 2010: 88-89).

 Teori Harrod-Domar

Harrod dan Domar tetap mempertahankan pendapat dari para ahli

ekonomi sebelumnya yang merupakan gabungan dari pendapat kaum

klasik dan Keynes, dimana

Gambar

Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto atas dasar Harga Konstan 2000 di Lima Propinsi di pulau Jawa Tahun 2006-2008
Tabel 1.2 Kapasitas Fiskal lima propinsi di pulau Jawa Tahun 2005-2008
Tabel 1.3 Perkembangan Realisasi Investasi Swasta antar-Propinsi di Pulau Jawa Tahun 2004-2008
Tabel 1.4 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Lima Propinsi di Pulau Jawa Tahun 2003-2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

Fokus utama ialah untuk mengkaji peranan simbol yang terdapat dalam upacara Pakan di dalam setiap ritual yang berkaitan dengan budaya masyarakat Penan di kawasan

Kleinberger diwakili oleh Aristoteles dan John Dewey. Tipe ini berpandangan bahwa moral itu merupakan suatau keharusan, akan tetapi tidak mencukupi untuk melahirkan

Peningkatan produktivitas tanah sawah mineral masam dapat diperbaiki dengan teknologi pengelolaan bahan organik dan pupuk berdasarkan konsep uji tanah untuk menanggulangi

Berdasarkan penelitian uji efektifitas infusa kulit buah jeruk nipis (Citrus aurantifolia) dengan pembanding spray anti nyamuk bermerk terhadap nyamuk Aedes

Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian bahwa Jumlah populasi ayam hutan merah ( Gallus gallus ) pada lokasi pengamatan di peroleh 11 ekor terdiri dari 7

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yang mana bentuk penelitiannya adalah penelitian tindakan kelas (PTK), dimana pelaksanaannya menyajikan semua temuan

Penyesuaian diri yang harus dilakukan oleh ibu mertua mengacu pada lima aspek yaitu memiliki persepsi terhadap realitas yang ada, kemampuan seseorang dalam

[r]