ANALISIS PENGARUH KAPASITAS FISKAL, INVESTASI
SWASTA DAN TINGKAT PARTISIPASI ANGKATAN KERJA
TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL SEBELUM
DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH
(Studi Kasus: Antar Propinsi di Pulau Jawa)
Oleh :
Anna Amelia
NIM: 106084002786
Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
LEMBAR UJIAN KOMPREHENSIF
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
...
i
ABSTRACT
...
iii
ABSTRAK
...
iv
KATA PENGANTAR
...
v
DAFTAR ISI
...
vii
DAFTAR TABEL
...
xii
DAFTAR GAMBAR
………...
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
...
xv
BAB I
PENDAHULUAN
………..………
1
A.
Latar Belakang
………...
1
B.
Perumusan Masalah ……….
14
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
……….
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
……… 17
A.
Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi ……..……….. 17
1.
Definisi Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi
….... 17
viii
3.
Faktor faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan
Ekonomi
………..
22
B.
Produk Domestik Regional Bruto
……… 27
C.
Kapasitas Fiskal
……… 31
1.
Definisi Denstralisasi Fiskal dan Kapasital Fiskal
……. 31
2.
Komponen Kapasitas Fiskal
……… 34
D.
Investasi Swasta
……… 40
1.
Definisi Investasi
……… 40
2.
Teori Investasi
……… 41
3.
Jenis Investasi swasta
……… 43
4.
Faktor – faktor yang mempengaruhi Investasi
…………...
43
E.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
……… 47
F.
Otonomi daerah
...
...
49
G.
Penelitian Terdahulu ………..
51
H.
Kerangka Berfikir
………..
59
I.
Hipotesis
……….
62
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
……… 64
A.
Ruang Lingkup Penelitian
……… 64
B.
Metode Pengumpulan Data
……… 64
C.
Metode Penentuan Sampel
………..
64
D.
Metode Analisis
………..
65
1.
Analisis Data Panel
……… 65
ix
1)
Pendekatan Pooled Least Square
………. 67
2)
Pendekatan Fixed Effect Model ………. 68
3)
Pendekatan Random Effect Model
………. 69
b.
Pemilihan Model
... ……. 70
1)
Uji F atau Uji Chow
……… 70
2)
Uji Hausmann
………..
71
3)
Uji Lagrange Multiplier Test
……… 73
c.
Test of Goodness of Fit (Uji Kesesuaian)
...
74
1)
Koefisien Determinasi (R-Square)
……… 74
2)
Uji t-statistik
………..
74
3)
Uji F-statistik
………..
76
d.
Uji Asumsi Klasik
………..
77
1)
Normalitas
………..
77
2)
Multikolinearitas ………..
78
3)
Autokorelasi
………..
79
4)
Heterokedastisitas ………..
80
2.
Estimasi efek waktu (time effect) ………..
81
3.
Model Umum Penelitian ………..
81
E.
Definisi Operasional Variabel
……..………
82
1.
Variabel Bebas (Independent Variables) ………..
82
a.
Kapasitas Fiskal
………..
82
b.
Investasi Swasta
………...
83
x
d.
Dummy otonomi daerah
... ...
83
2.
Variabel Terikat (Dependent Variables) : PDRB …………
83
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
...
83
A.
Gambaran Umum
...
...
83
1.
DKI Jakarta
...
...
83
2.
Jawa Barat
...
...
85
3.
Jawa Tengah
...
....
88
4.
DI Yogyakarta
...
....
91
5.
Jawa Timur
...
....
94
B.
Penemuan dan Pembahasan ... ....
96
1.
Analisa Deskriptif
... ...
96
a.
Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) ...
....
96
b.
Perkembangan Kapasitas Fiskal
...
100
c.
Perkembangan Investasi swasta
...
103
d.
Perkembangan Tingkat Partispasi Angkatan Kerja
(TPAK) ...
....
109
2.
Hasil Estimasi Model Data Panel
... ....
111
a.
Uji Chow
...
....
113
b.
Uji Hausman
...
....
114
3.
Analisis Estimasi
a.
Uji Kesesuaian Model (Test of Goodnest Fit)
...
115
xi
4.
Interpretasi Model
...
....
127
a.
Variabel Kapasitas Fiskal
... ....
127
b.
Variabel Investasi Swasta
... ....
128
c.
Variabel Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK) ...
....
129
d.
Variabel Dummy Otonomi Daerah
... ....
130
5.
Pengujian Hipotesis Sebelum dan Sesudah Otonomi
Daerah ...
132
a.
Sebelum Otonomi Daerah (1994-2000)
...
132
b.
Sesudah Otonomi Daerah (2001-2008)
...
133
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
... ...
137
A.
Kesimpulan
...
...
137
B.
Saran ... ...
139
DAFTAR PUSTAKA
……….
135
xii
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1.1 Produk Domestik Regional Bruto atas dasar Harga
Konstan 2000 di Lima Propinsi di pulau Jawa Tahun
2006-2008 ... 4
1.2 Kapasitas Fiskal lima propinsi di pulau Jawa Tahun 2005-2008 ... 7
1.3 Perkembangan Realisasi Investasi swasta antar-Propinsi di Pulau Jawa Tahun 2004-2008 ... 9
1.4 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Lima Propinsi di Pulau Jawa Tahun 2003-2008 ... 11
3.1 Nilai Durbin-Watson dalam Eviews ... 79
4.1 Hasil Analisis Terhadap Model Estimasi ... 111
4.2 Hasil Uji Chow ... 112
4.3 Hasil Uji Hausman ... 113
4.4 Hasil Jarque Bera Test ... 117
4.5 Hasil Estimasi Perbaikan ... 119
4.6 Koefisien Fixed Effect Model (Cross-Section) ... 120
4.7 Koefisien variabel independen terhadap PDRB pada tiap Cross-section ... 123
4.8 Hasil Estimasi Model Sebelum Otonomi Daerah ... 131
xiv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1.1 Fluktuasi Lima Variabel Penelitian Tahun Periode
1994-2008 ... 12
4.1 Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Atas
Dasar Harga Konstan 2000 Lima Propinsi di Pulau
Jawa Tahun 1994-2008 ... 96
4.2 Kapasitas Fiskal Lima Propinsi di Pulau Jawa
Tahun 1994-2008 ... 100
4.3 Perkembangan Investasi Swasta (PMDN dan PMA)
Lima Propinsi di Pulau Jawa Tahun 1994-2008 ... 103
4.4 Perkembangan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
di Lima Propinsi di Pulau Jawa Tahun ... 109
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1 Data PDRB, Kapasitas Fiskal, Investasi Swasta dan
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, dan Variabel
Dummy Otonomi daerah ... 142
2 Data PDRB, Kapasitas Fiskal, Investasi Swasta dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, dan variabel Dummy Otonomi daerah yang telah ditransformasikan ke model LOG ... 145
3 Hasil Regresi Dengan Pooled Least Squared (PLS) ... 148
4 Hasil Regresi Dengan Fixed Effect Model (FEM) ... 149
5 Hasil Uji Chow / F-Restricted ... 150
6 Hasil Regresi Dengan Random Effect Model (REM) ... 151
7 Hasil Uji Hausman ... 152
8 Uji Heterokedastis dengan Estimasi GLS Cross-Section Weight ... 153
9 Hasil Regresi Perbaikan FEM dengan Cross-Section SUR ... 154
10 Hasil Estimasi Model Sebelum Otonomi Daerah ... 155
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pembangunan ekonomi merupakan pembangunan satu kesatuan politik,
ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan di dalam mewujudkan
tujuan nasional perlu selalu dilaksanakan dengan selaras, sehingga
pembangunan sektoral yang berlangsung di daerah-daerah benar-benar sesuai
dengan potensi dan prioritas daerahnya demi terciptanya tujuan dari
diberlakukannya otonomi daerah oleh pemerintah. Hasil dari pembangunan
diharuskan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat sebagai wujud dari
pembangunan yang adil dan merata.
Pembangunan daerah dilaksanakan agar ketimpangan pertumbuhan
ekonomi antar daerah tidak semakin meluas. Kegiatan pembangunan daerah
tidak terlepas dari peran seluruh pemerintah daerah dan masyarakatnya yang
secara bersama-sama mengambil inisiatif membangun daerah sehingga berhasil
memanfaatkan segala sumber daya yang tersedia di daerah masing-masing.
Tidak hanya itu, tetapi pemerintahan daerah harus dapat melihat sektor yang
memiliki keunggulan serta kelemahan, mengoptimalkan pemberdayaan semua
potensi yang dimiliki, dan menetapkan sektor komoditi yang diprioritaskan
pengembangannya.
Menurut Schumpeter (Jhingan, 2004: 125), pembangunan ekonomi adalah
2 senantiasa mengubah dan mengganti situasi keseimbangan yang ada
sebelumnya, sedang pertumbuhan adalah perubahan jangka panjang secara
perlahan dan mantap dan terjadi melalui kenaikan tabungan dan penduduk.
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, sangat membutuhkan
ketepatan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal pembangunan.
Pembangunan ekonomi dapat memberi manusia kemampuan yang lebih besar
untuk menguasai alam sekitarnya dan mempertinggi tingkat kebebasannya
dalam mengadakan suatu tindakan tertentu. Jadi tujuan pembangunan ekonomi
disamping untuk meningkatkan pendapatan riil juga untuk meningkatkan
produktifitas masyarakatnya.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan proses berkelanjutan merupakan
kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi, karena Pertumbuhan
ekonomi merupakan salah satu indikator untuk melihat hasil pembangunan
yang telah dilakukan dan juga berguna untuk menentukan arah pembangunan
di masa yang akan datang. Pertumbuhan ekonomi yang positif menunjukkan
adanya peningkatan perekonomian sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang
negatif menunjukkan adanya penurunan.
Salah satu indikator yang sering digunakan untuk melihat adanya gejala
pertumbuhan ekonomi daerah adalah produk domestik regional bruto (PDRB),
karena didalamnya mencerminkan kegiatan ekonomi yang dilaksanakan dan
dicapai oleh penduduk selama periode tertentu. produk domestik regional bruto
(PDRB) juga dapat digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran dan
3 Pulau Jawa adalah pulau yang telah memenuhi beberapa aspek penting
yang mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, pertama dari segi tenaga
kerja, pulau jawa adalah pulau dengan penduduk terbanyak di Indonesia
dimana penduduknya mencapai sekitar 124 juta jiwa dengan luas pulau hanya
6% dari wilayah Indonesia secara keseluruhan. Dengan jumlah penduduk yang
tinggi maka hal ini dapat memberikan pulau Jawa tingkat penwaran tenaga
kerja yang tinggi, dimana tenaga kerja adalah salah satu faktor dalam
terciptanya kegiatan perekonomian. (http://id.wikipedia.org/wiki/ jawa)
Kedua, karena di Pulau Jawa terdapat Ibu kota negara sehingga perhatian
pemerintah pusat akan lebih besar kepada propinsi DKI Jakarta selaku Ibu
kota negara dan propinsi-propinsi yang berdampingan dengan DKI Jakarta baik
dari segi pembangunan maupun pertumbuhan ekonominya. Sehingga
perkembangan pembangunan baik dari segi infrastruktur maupun kegiatan
perekonomiannya lebih tinggi dibandingkan dengan pulau lain yang ada di
Indonesia. Hal ini menjadikan pulau Jawa sebagai pulau yang paling diminati
dan paling tinggi dalam menerima penanaman modal oleh para investor swasta
baik asing maupun domestik jika dibandingkan dengan pulau lain karena
pembangunan ekonomi di pulau Jawa dapat dikatakan lebih baik dibandingkan
dengan pulau lain di Indonesia. Sehingga memacu pertumbuhan ekonomi
kearah yang positif (KER, 2008: 45)
Pada tahun 1994 terdapat banyak perubahan-perubahan yang dilakukan
oleh pemerintah pusat dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, yaitu
4 tentang kepemilikian saham yang intinya mempermudah penanaman modal
asing di Indonesia, dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kemudian seperti yang dikemukakan pada Laporan Perekonomian Indonesia
tahun 1994, bahwa PDB perkapita Indonesia tahun 1994 mulai membaik sejak
krisis tahun 1993, sehingga peneliti akan melakukan penelitian sejak tahun
1994-2008 dimana pada tahun penelitian ini terdapat pula diberlakukannya
kebijakan otonomi daerah, yang mulai diberlakukan sejak tahun 2001.
Laju pertumbuhan ekonomi lima propinsi di Pulau Jawa selama kurun
waktu tiga tahun terakhir ini selalu mengalami kenaikan, walaupun kenaikan
itu tidak terlalu signifikan. Kondisi tersebut dapat dilihat dari Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto atas dasar Harga Konstan 2000 di Lima Propinsi di pulau Jawa Tahun 2006-2008
(Dalam Juta Rupiah)
Propinsi 2006 2007 2008 DKI Jakarta 312,826,712.00 332,971,253.00 353,539,057.00
Jawa barat 257,449,445.00 274,180,307.00 290,171,128.00 Jawa tengah 150,682,654.00 159,110,253.00 167,790,369.00 DIY 17,535,749.00 18,291,511.00 19,208,937.00 Jawa Timur 217,249,316.00 287,814,183.00 304,798,996.00
Sumber : PDRB Menurut Lapangan Usaha, BPS, 2006-2008
Pada Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa PDRB tertinggi dimiliki oleh Propinsi
DKI Jakarta dengan peningkatannya yang cukup signifikan pada tiap tahunnya
selama periode 2006-2008. Pada tahun 2006 PDRB DKI Jakarta atas dasar
harga konstan 2000 sebesar 312,826,712.00 (dalam juta rupiah) naik menjadi
332,971,253.00 di tahun 2007 (dalam juta rupiah) atau laju pertumbuhan
[image:15.612.187.450.432.524.2]5 timur, Jawa tengah dan PDRB terendah dimiliki oleh Propinsi DI Yogyakarta
dengan nilai sebesar 19,208,937.00 (dalam juta rupiah) ditahun 2008.
Tetapi secara keseluruhan dari ke-lima propinsi di Pulau Jawa, terlihat
bahwa PDRB atas dasar harga konstan 2000 selama periode tahun tersebut
selalu naik, ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi antar propinsi di
Pulau Jawa selalu mengalami peningkatan, meskipun peningkatannya tidak
merata.
Seiring dengan perubahan kepemimpinan nasional dari Orde Baru menuju
Orde Reformasi, pola hubungan pemerintahan antara Pemerintah Daerah
dengan Pemerintah Pusat juga mengalami perubahan. Pada masa orde baru,
sistem pemerintahan kita bersifat sentralistik dan ternyata hanya menimbulkan
ketidak-adilan di seluruh daerah, hal tersebut dapat dilihat dari hasil
pembangunan di seluruh wilayah Indonesia terdapat ketimpangan yang
menunjukkan adanya perbedaan kecepatan pembangunan antara satu daerah
dengan daerah lainnya. Ketimpangan yang cukup besar antar daerah, baik
antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia, Pulau Jawa
dengan wilayah lainnya dan juga antara daerah perkotaan dengan daerah
pedesaan.
Sejak tanggal 1 Januari 2001 telah terjadi perubahan yang cukup
fundamental dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
Perubahan tersebut terutama terkait dengan dilaksanakannya “secara efektif”
otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Nomor 22 Tahun
6 Tahun 2004 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang telah direvisi dengan UU Nomor 33
Tahun 2004.
Menurut Halim dalam A.A.N.B Dwirandra (2007: 5)
“ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah (1)
kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki
kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan,
mengelola dan mengguanakan keuangannya sendiri untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan; (2) Ketergantungan kepada bantuan pusat
harus seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD sebagai salah satu dasar
dari komponen penentu kapasitas fiskal harus menjadi sumber keuangan
terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan
daerah.”
Pada era otonomi ini, diharapkan dapat memotivasi daerah untuk
meningkatkan kreatifitas dan inisiatif untuk lebih menggali dan
mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh tiap-tiap daerah, dan
dilaksanakan secara terpadu, serasi, dan terarah agar pembangunan disetiap
daerah dapat benar-benar sesuai dengan prioritas dan potensi daerah, sehingga
daerah dapat menjadi mandiri di dalam pengelolaan kewenangannya yang
ditandai dengan semakin tinggi atau kuatnya kapasitas fiskal suatu daerah.
Sementara itu untuk beberapa hal yang mungkin masih kekurangan dana,
daerah masih diberi bantuan dari Pemerintah Pusat dalam bentuk Dana
Perimbangan.
Dalam rangka melihat hasil otonomi daerah terhadap pertumbuhan
7 berperan. Semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah menunjukkan
bahwa daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri
tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Karena besaran pengalokasian suatu
anggaran yang dimaksudkan untuk membangun daerah dengan tujuan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi didasarkan terlebih dahulu dari
penerimaan daerah yang terangkum dalam ‘formula’ kapasitas fiskal.
Semakin besar kapasitas fiskal suatu daerah, semakin besar pula anggaran
yang mampu dialokasikan oleh suatu daerah untuk membangun daerah
tersebut. Dengan catatan bahwa pengalokasian anggaran tiap tahunnya oleh
pemerintah daerah yang terangkum dalam APBD benar-benar dialokasikan
dengan bijak dan sesuai porsinya.
Dengan demikian dalam meningkatkan pembangunan ekonomi daerah
tinggi rendahnya kapasitas fiskal sangat penting. Perlu ditekankan bahwa
setelah otonomi daerah efektif diberlakukan, pemerintah daerah tidak boleh
terlalu mengharapkan bantuan dari pemerintah pusat. Kapasitas fiskal propinsi
[image:18.612.157.482.565.668.2]di pulau Jawa dapat dilihat pada table 1.2
Tabel 1.2 Kapasitas Fiskal lima propinsi di pulau Jawa Tahun 2005-2008
(Dalam Juta Rupiah)
Propinsi 2005 2006 2007 2008 DKI Jakarta 12,594,852.04 13,564,506.88 15,864,177.92 18,761,542.82
Jawa barat 4,254,228.27 4,481,446.21 5,044,326.98 4,781,698.00 Jawa tengah 2,747,820.40 2,926,061.99 3,301,415.73 3,791,733.22 DIY 440,458.31 476,880.62 532,434.45 607,220.46 Jawa Timur 3,919,811.67 4,259,258.74 4,828,991.69 4,280,659.00
8 Untuk melaksanakan pembangunan daerah secara menyeluruh dan
berkesinambungan, pemerintah daerah perlu adanya dukungan dari pihak
swasta. Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah daerah perlu membuat
kebijakan yang mendukung penanaman modal yang saling menguntungkan
baik bagi pemerintah daerah, pihak swasta maupun terhadap masyarakat
daerah.
Dalam hal ini, Investasi swasta memegang peranan penting dalam
meningkatkan pembangunan dan sebagai salah satu komponen yang
berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi.
Sukses tidaknya suatu daerah dalam menarik arus dana investasi swasta
tidak terlepas dari berbagai faktor ekonomi dan non ekonomi yang ada pada
daerah tersebut. Tumbuhnya iklim investasi yang sehat dan kompetitif
diharapkan akan memacu perkembangan investasi yang saling menguntungkan
dalam pembangunan daerah.
Pada dasarnya pemberian fasilitas yang sifatnya mendorong investor untuk
berinvestasi, seperti pembebasan pajak dan kemudahan untuk mengakses
bahan baku akan sangat efektif bila didukung oleh daerah tujuan. Iklim usaha
yang menunjang dan mendorong penanaman modal dan Infrastruktur yang
menunjang dan memadai.
Investasi swasta berdasarkan sumbernya, terbagi menjadi dua, yaitu
Penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan Penanaman modal asing (PMA).
9 yang berasal dari dalam negeri yang ditanamkan untuk kegiatan produksi
dalam penelitian ini yaitu lima propinsi dipulau Jawa setiap tahunnya.
Sebaliknya, PMA adalah investasi swasta asing, yaitu realisasi jumlah
investasi yang ditanamkan di lima propinsi di pulau Jawa yang berasal dari
swasta luar negeri setiap tahunnya. Perkembangan Investasi swasta lima
[image:20.612.132.515.316.399.2]propinsi dipulau Jawa dapat dilihat pada tabel 1.3.
Tabel 1.3 Perkembangan Realisasi Investasi Swasta antar-Propinsi di Pulau Jawa Tahun 2004-2008
(Dalam Juta Rupiah)
Tahun DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur
P I P I P I P I P I
2004 253 15.928.846,03 179 13.708.761,10 12 992.070,55 5 26.125,14 41 2.107.013,88 2005 388 34.313.994,88 262 28.279.368,74 26 1.218.341,70 9 196.447,88 71 10.875.622,37 2006 359 16.580.967,06 229 20.190.168,44 47 3.759.949,85 12 467.303,92 70 3.895.137,16 2007 399 49.485.399,15 279 24.191.312,28 44 1.250.966,69 3 41.205,86 79 18.077.816,76 2008 467 104.966.253,06 357 30.826.009,51 56 2.742.883,02 6 18.233.066,50 113 7.533.179,68
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat, diolah.
Ket : I : Nilai Realisasi Investasi dalam juta rupiah P : Jumlah Izin Usaha Tetap yang dikeluarkan
Berdasarkan Tabel 1.3 dapat dilihat, investasi Swasta hanya terfokus di
dua provinsi yaitu DKI Jakarta dan Jawa Barat, dengan nilai realisasi lebih
tinggi dibandingkan lima provinsi penelitian di Pulau Jawa. Kedua provinsi
tersebut merupakan penyumbang investasi terbesar dari lima propinsi di Pulau
Jawa.
Nilai Investasi di lima propinsi di Pulau Jawa sangat fluktuatif, terutama
pada propinsi DIY yang tercatat di BKPM pada tahun 2008 tidak ada investor
swasta dalam negeri yang melakukan investasi. Hal tersebut dapat dilihat pada
tabel 1.3. Apabila dilihat secara umum, pertumbuhan investasi swasta selama
10 Modal pembangunan yang penting lainnya adalah sumber daya manusia.
Partisipasi aktif dari seluruh masyarakat akan mempercepat pembangunan
daerah karena rasa kepemilikan yang lebih besar terhadap daerah. Hasil yang
dicapai dalam pembangunan juga akan lebih cepat dirasakan untuk daerah
sendiri sehingga nantinya dapat merangsang kesadaran masyarakat
membangun wilayah lokal masing-masing.
Untuk mendukung pelaksanaan pembangunan diperlukan sumber daya
manusia yang berkualitas disamping terpenuhinya kuantitas permintaan tenaga
kerja. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) dianggap sebagai salah satu
faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Tingkat partisipasi
angkatan kerja merupakan angkatan kerja yang aktif dalam kegiatan ekonomi,
dan pertumbuhan ekonomi tercipta karena adanya pertumbuhan dari siklus
kegiatan ekonomi masyarakatnya. TPAK merupakan ukuran yang
menggambarkan jumlah angkatan kerja dengan penduduk usia kerja standar
nasional Indonesia. Angkatan kerja yang dimaksud disini adalah jumlah
penduduk usia kerja yang mencari pekerjaan dan sedang bekerja, termasuk usia
produktif yang mencari kerja.
Fluktuasi Tingkat Partisipasi Angkatan kerja (TPAK) Lima propinsi di
11 Tabel 1.4 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Lima Propinsi di Pulau
Jawa Tahun 2003-2008
(Dalam Persen)
Tahun DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur 2003 60,45 61,44 70,30 71,99 68,91 2004 61,93 62,45 71,04 71,73 68,59 2005 63,08 62,88 71,18 71,95 69,50 2006 64,92 61,41 68,60 69,20 67,36 2007 64,95 62,50 70,16 68,56 68,99 2008 68,68 63,09 68,37 70,51 69,31
Sumber : Statistik Indonesia, BPS, 2003-2008, diolah
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di lima propinsi di Pulau Jawa
sangat fluktuatif, rata-rata menunjukkan peningkatan pada tingkat partisipasi
angkatan kerja setiap tahunnya walaupun tidak terlalu signifikan, sering pula
terjadi penurunan pekerja, seperti TPAK pada propinsi Jawa barat ditahun
2005 sebesar 62,88 turun ditahun 2006 menjadi 61,41% meskipun mengalami
peningkatan ditahun 2007 dan 2008. Hal serupa dialami juga oleh propinsi
Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur mengalami penurunan TPAK ditahun 2006
yang masing-masing menjadi 68,60% ; 69,20% dan 67,36% dari tahun 2005
yang masing-masing dapat mencapai 71,18% ; 71,95% dan 67,36%. Sementara
nilai TPAK untuk propinsi DKI Jakarta selalu mengalami peningkatan dari
tahun 2003 hingga 2008.
Kapasitas fiskal, peningkatan peran serta swasta dan peningkatan
partisipasi tenaga kerja lokal sebagai modal pembangunan daerah diharapkan
menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan daerah. Fluktuasi empat
[image:22.612.161.480.141.234.2]12
[image:23.612.148.505.111.306.2]Dalam Persen (%)
Gambar 1.1 Fluktuasi lima variabel penelitian tahun periode 1994-2008
Gambar 1.1 merupakan laju pergerakan empat variabel penelitian, baik
pergerakan positif maupun negatif, dalam penelitian ini adalah ingin melihat
bagaimana pengaruh variabel kapasitas fiskal, investasi swasta dan tingkat
partisipasi angkatan kerja terhadap PDRB. Jika kita lihat pergerakan PDRB
terus meningkat walaupun tidak terlalu signifikan, yang meningkat secara
signifikan terlihat pada variabel kapasitas fiskal, apabila kita melihat
pergerakan kapasitas fiskal yang merupakan cerminan dari peningkatan
penerimaan daerah, seharusnya pergerakannya diikuti dengan meningkatnya
PDRB, karena asumsinya, dengan meningkatnya kapasitas fiskal suatu daerah
berarti porsi anggaran pemerintah daerah untuk pembangunan daerah juga
membesar yang secara langsung akan berpengaruh terhadap meningkatnya
PDRB, tetapi hal tersebut tidak ditunjukkan pada gambar 1.1, dimana gambar
menunjukkan bahwa meningkatnya kapasitas fiskal secara signifikan belum
cukup mempengaruhi peningkatan PDRB secara signifikan pula. 0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
PDRB
Kapasit as Fiskal
Invest asi Sw ast a
13 Kemudian hal lain yang ditunjukkan pada gambar adalah pergerakan
investasi swasta, dimana sekitar tahunh 1999-2001 terjadi fluktuasi yang
signifikan, yang seharusnya juga mempengaruhi flukrtuasi pada PDRB.
Dengan asumsi jika investasi swasta meningkat, akan meningkatkan kegiatan
ekonomi, pertambahan output, dan juga penyerapan tenaga kerja lokal
sehingga mampu mengurangi pengangguran sehingga meningkatkan
pendapatan perkapita yang berpengaruh terhadap PDRB. Tetapi jika kita lihat
pada garis PDRB, peningkatan yang signifikan pada kapasitas fiskal serta
pergerakan yangf berfluktuatif pada investasi swasta tidak cukup mampu
mempengaruhi pertumbuhan PDRB secara signifikan.
Berdasarkan gambar 1.1 diatas, masih terdapat beberapa hal yang belum
dapat terjawab oleh peneliti, oleh karena itu, berangkat dari uraian tersebut di
atas, terlihat hubungan yang cukup unik pada kapasitas fiskal, investasi swasta
yang terdiri dari PMDN dan PMA, serta tingkat partisipasi angkatan kerja yang
sesuai dugaan sementara mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi
di lima propinsi di pulau Jawa. Dari fenomena tersebut di atas maka perlu
adanya suatu penelitian yang diharapkan dapat memberikan rekomendasi demi
kelangsungan pertumbuhan ekonomi di lima propinsi di Pulau Jawa.
Hal ini yang melatarbelakangi penulis melakukan penelitian dengan judul
“Analisis Pengaruh Kapasitas Fiskal, Investasi swasta dan Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja Terhadap Pertumbuhan ekonomi Regional
Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah (Studi Kasus : Antar Lima Propinsi
14 B.Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan yang telah peneliti kemukakan pada latar
belakang, bahwa kapasitas fiskal, investasi swasta serta TPAK mempengaruhi
PDRB, dimana kapasitas fiskal merupakan cerminan dari tingkat kemampuan
daerah dalam menghimpun dana untuk kembali digunakan untuk membangun
daerahnya sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya,
investasi swasta akan meningkatkan kegiatan ekonomi, menambah pemdapatan
pajak, menghasilkan output serta penyerapan tenaga kerja lokal yang mampu
mendorong PDRB kearah yang positif ditambah dengan TPAK yang
merupakan faktor utama adanya kegiatan ekonomi.
Ketiga hal tersebut dirasa oleh peneliti merupakan hal penting yang
mampu meningkatkan PDRB secara signifikan, tetapi berdasarkan gambar 1.1
dan uraian yang telah peneliti sampaikan, bahwa kapasitas fiskal yang
meningkat signifikan serta investasi swasta yang berfluktuatif walaupun
meningkatkan PDRB, tetapi belum mampu menunjukkan peningkatan yang
signifikan. Pada tahun penelitian terdapat suatu kebijakan di Indonesia, yaitu
diberlakukannya otonomi daerah, dimana dengan diberlakukannya otonomi
daerah, pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengoptimalkan potensi
wilayahnya agar dapat memaksimalkan penerimaan daerah guna meningkatkan
pertumbuhan dan pembangunan daerahnya, dengan demikian tujuan dari
otonomi daerah adalah untuk meminimalisir adanya ketimpangan
15 timbul beberapa masalah yang akan dibahas oleh peneliti yang dapat
dirumuskan dalam pertanyaan peneliti sebagai berikut:
Pertanyaan penelitian
1. Apakah Kapasitas fiskal, Investasi swasta, tingkat partisipasi angkatan
kerja dan Dummy otonomi daerah berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi antar lima propinsi di Pulau Jawa?
2. Manakah diantara Kapasitas fiskal, investasi swasta dan tingkat
partisipasi angkatan kerja yang paling berpengaruh signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi antar lima propinsi di Pulau Jawa.
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :
1. Untuk menganalisa pengaruh kapasitas fiskal, investasi swasta, tingkat
partisipasi angkatan kerja dan dummy otonomi daerah terhadap
pertumbuhan ekonomi antar lima propinsi di Pulau Jawa.
2. Untuk menganalisa variabel kapasitas fiskal, investasi swasta dan tingkat
partisipasi angkatan kerja yang paling berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi antar lima propinsi di Pulau Jawa.
Hasil Penelitian ini dapat bermanfaat :
1. Hasil penelitian ini diharapan dapat memberikan gambaran bagaimana
kontribusi kapasitas fiskal, investasi swasta dan tingkat partisipasi
angkatan kerja terhadap Pertumbuhan ekonomi antar lima propinsi di
16 2. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai informasi bagi
lembaga-lembaga terkait dalam menentukan kebijaksanaannya yang berkaitan
dengan dengan pertumbuhan ekonomi daerah.
3. Sebagai sumber informasi bagi peneliti yang lain yang berminat pada
masalah yang sama dan analisis yang dapat diperoleh dapat menjadi
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi
1. Definisi Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi
(economic growth), pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan
ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses
pembangunan ekonomi.
Banyak pakar dalam bidang ekonomi yang menyatakan bahwa istilah
pertumbuhan ekonomi berbeda dengan istilah pembangunan ekonomi.
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan
pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan
penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur
ekonomi suatu negara.
Pembangunan ekonomi mengandung arti yang lebih luas dan mencakup
perubahan pada tata susunan ekonomi masyarakat secara menyeluruh.
Menurut Sadono (2007:3), pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha
dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya
sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan semakin banyak
dan semakin berkembang, taraf pendidikan semakin tinggi dan teknologi
semakin meningkat.
18 Arsyad (2010: 11) menerangkan bahwa Pembangunan ekonomi pada
umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan
pendapatan riil perkapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang
disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah
proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan
dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan
mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil di
negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi
keberhasilan pembangunan ekonomi.
Menurut Sadono (2007: 9-11), pertumbuhan ekonomi adalah sebagai
suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu
perekonomian dalam suatu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan
tahun sebelumnya.
Perbedaan antara pertumbuhan ekonomi dengan istilah pembangunan
ekonomi itu sendiri adalah pada pertumbuhan ekonomi, keberhasilannya
lebih bersifat kuantitatif, hanya dilihat dari perkembangan kegiatan
perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan
didalam masyarakat bertambah, sedangkan pembangunan ekonomi lebih
bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga terdapat
perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada
berbagai sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, dan
19 2. Teori Pertumbuhan Ekonomi
Teori pertumbuhan ekonomi adalah teori-teori yang menerangkan
faktor-faktor yang menimbulkan dan menentukan lajunya pertumbuhan
ekonomi, teori tentang pertumbuhan ekonomi telah dikemukakan sejak
zaman historimus, seiring dengan perkembangan zaman dimana terjadinya
perubahan ideologi, revolusi dan inovasi teknologi, membuat perkembangan
twori dan konsep pemikiran tentang pertumbuhan ekonomi berkembang
sangat pesat (Adelman, dalam Arsyad (2010: 55-56))
Oleh karena itu peneliti menggunakan beberapa teori pertumbuhan yang
mendukung penelitian ini sebagai berikut :
Teori Ricardian
Asumsi Teori Ricardo :
Asumsi-asumsi tentang pertumbuhan ekonomi yang digunakan oleh
Ricardo (Arsyad, 2010: 80) yaitu, keadaan perekonomian saat itu adalah
dimana jumlah tanah terbatas; kemudian meningkat atau menurunnya
tenaga kerja (penduduk), tergantung pada tingkat upah nominal. Apabila
tingkat upah nominal lebih besar dibandingkan tingkat upah minimum,
maka jumlah tenaga kerja akan meningkat, begitupun sebaliknya;
Akumulasi modal terjadi jika tingkat keuntungan yang diperoleh para
pemilik modal berada diatas tingkat keuntungan minimal yang
diperlukan untuk menarik mereka untuk melakukan investasi.
Diasumsikan pula, bahwa kemajuan teknologi terjadi sepanjang
20 David Ricardo mengungkapkan pandangannya bahwa, dengan
terbatasnya jumlah tanah, maka pertumbuhan penduduk (tenaga kerja)
akan menurunkan produk marginal yang kemudian dikenal dengan istilah
Law of deminishing return atau hukum kenaikan hasil yang semakin
berkurang. Selama tenaga kerja yang dipekerjakan pada tanah tersebut
dapat menerima upah diatas tingkat upah alamiah, jumlah tenaga kerja
akan terus bertambah. Hal tersebut akan menurunkan lagi produk
marginal tenaga kerjanya dan pada gilirannya akan menurunkan tingkat
upah.
Menurut Ricardo (Arsyad, 2010: 81), peranan akumulasi modal dan
kemajuan teknologi akan cenderung meningkatkan produktivitas tenaga
kerja. Dengan kata lain akan memperlambat terjadinya the law of
deminishing return yang pada gilirannya akan memperlambat pula
penurunan tingkat hidup kearah tingkat hidup minimal.
Teori Keynes
Menurut Keynes terjadinya pengangguran merupakan akibat dari
kurangnya pengeluaran agregat, dan untuk mengatasinya Keynes
menyarankan agar memperbesar pengeluaran konsumsi dan non
konsumsi. Dalam hal ini maka Keynes menganjurkan adanya campur
tangan pemerintah melalui kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan
kebijakan segi penawaran yang dapat mempengaruhi permintaan efektif
21 Teori Harrod-Dommar
Teori Harrod-Domar merupakan teori pertumbuhan jangka panjang,
karena teori ini menerangkan syarat-syarat apa saja harus dipenuhi agar
suatu perekonomian dapat mencapai pertumbuhan yang teguh atau steady
growth.. Analisis Harrod-Dommar menggunakan pemisalan-pemisalan
berikut (Sadono, 2004: 435) :
“(i) barang modal telah mencapai kapasitas penuh, (ii) tabungan
adalah proporsional dengan pendapatan nasional, (iii) rasio
modal-produksi nilainya tetap, (iv) perekonomian terdiri dari dua sektor.”
Menurut Arsyad (2010: 84-85), Teori ini menunjukan bahwa
perekonomian dapat menyisihkan sejumlah proporsi tertentu dari
pendapatan nasionalnya untuk mengganti barang-barang modal seperti
gedung, peralatan dan lain-lain yang telah rusak. Namun demikian untuk
dapat meningkatkan laju perekonomian, diperlukan pula
investasi-investasi baru sebagai tambahan stok modal. Teori Harrod-domar
memandang bahwa ada hubungan ekonomis antara besarnya stok modal
dan output total, misalnya, jika 3 rupiah modal diperlukan untuk
menghasilkan output sebesar 1 rupiah, maka setiap tambahan bersih
terhadap stok modal akan mengakibatkan kenaikan output total sesuai
dengan rasio modal output tersebut.
Teori Schumpeter
Menurut Schumpeter, kemajuan perekonomian kapitalis disebabkan
22 keleluasaan tersebut cenderung memunculkan monopoli kekuatan pasar.
Monopoli inilah yang memunculkan masalah-masalah non ekonomi,
terutama sosial politik yang akhirnya dapat menghancurkan kapitalis itu
sendiri (Sadono, 2007:434).
Schumpeter berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi sangat
ditentukan oleh kemampuan kewirausahaan (entrepreneurship). Sebab,
para pengusahalah yang mempunyai kemampuan dan keberanian untuk
mengumpulkan dan mengorganisasikan seluruh faktor-faktor produksi
lain yang dapat digunakan untuk menghasilkan kebutuhan bagi
masyarakat (Sadono, 2007:251).
3. Faktor – faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
Proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua macam, yaitu
(Jhingan , 2004: 67-77) :
a. Faktor Ekonomi
Para ahli ekonomi menganggap faktor produksi sebagai kekuatan
utama yang mempengaruhi pertumbuhan. Laju pertumbuhan ekonomi
jatuh atau bangunnya merupakan konsekuensi dari perubahan yang
terjadi didalam faktor produksi tersebut. Beberapa faktor ekonomi
tersebut akan dibahas dibawah ini :
1) Sumber Alam
Sumber alam seperti kesuburan tanah, letak dan susunannya,
23 sebagainya merupakan faktor utama yang mempengaruhi
perkembangan suatu perekonomian. Tersedianya Sumber alam secara
melimpah merupakan hal yang penting. Suatu negara yang
kekurangan Sumber alam tidak akan dapat membangun dengan cepat.
Tetapi melimpahnya sumber alam tidak menjamin perekonomian
suatu negara akan tumbuh jika tidak diorganisir dengan baik dan tepat.
Banyak negara kurang berkembang yang memiliki sumber alam
yang melimpah tetapi sering terbengkalai, kurang atau salah
pemanfaatan. Terbengkalai, kurang inovatif, ataupun salah
pemanfaatan sumber alam oleh negara yang bersangkutanlah salah
satu penyebab keterbelakangan itu. Tersedianya Sumber alam secara
melimpah saja belumlah cukup bagi pertumbuhan ekonomi. Apa yang
diperlukan ialah pemanfaatannya secara tepat. Jika Sumber alam yang
ada tidak dipergunakan secara tepat, negara itu tidak mungkin
mengalami kemajuan.
J.L Fisher dalam Williamson dan Buttrick, dalam Jhingan (2004:
67) dengan tepat mengatakan, “Tidak cukup beralasan untuk
mengharapkan pengembangan Sumber daya alam jika orang acuh tak
acuh pada produk dan jasa yang dapat disumbangkan oleh
sumber-sumber tersebut.” Hal ini disebabkan karena keterbelakangan ekonomi
dan langkanya faktor teknologi. Oleh karena itu, Sumber daya alam
dapat dikembangkan melalui perbaikan teknologi dan peningkatan
24 2) Akumulasi Modal
Faktor ekonomi penting kedua dalam pertumbuhan ialah
akumulasi modal. Modal berarti persediaan faktor produksi yang
secara fisik dapat direproduksi. Apabila stok modal naik dalam batas
waktu tertentu, hal ini disebut akumulasi modal atau pembentukan
modal.
Pembentukan modal merupakan kunci utama pertumbuhan
ekonomi. Di satu pihak ia mencerminkan permintaan efektif, dan di
pihak lain ia menciptakan efisiensi produktif bagi produksi di masa
depan. Proses pembentukan modal menghasilkan kenaikan output
nasional dalam berbagai cara. Pembentukan modal diperlukan untuk
memenuhi permintaan penduduk yang meningkat di negara yang
bersangkutan.
Investasi di bidang barang modal tidak hanya meningkatkan
produksi tetapi juga kesempatan kerja. Pembentukan modal ini pula
yang membawa kearah kemajuan teknologi. Pembentukan modal
membantu usaha penyediaan mesin, alat dan perlengkapan bagi tenaga
buruh yag semakin meningkat. Pembentukan modal ini pula yang
membawa kearah penggalian Sumber Daya Alam, industrialisasi dan
ekspansi pasar yang diperlukan bagi kemajuan ekonomi.
3) Organisasi
Organisasi merupakan bagian penting dari proses pertumbuhan.
25 kegiatan ekonomi. Organisasi bersifat melengkapi (komplemen)
modal, buruh dan membantu meningkatkan produktivitasnya. Dalam
pertumbuhan ekonomi modern, para wiraswastawan tampil sebagai
organisator dan pengambil resiko di antara ketidakpastian. Wiraswasta
bukanlah manusia dengan kemampuan biasa. Ia memiliki kemampuan
khusus untuk bekerja dibandingkan orang lain. menurut Schumpeter,
seorang wiraswastawan tidak perlu seorang kapitalis. Fungsi
utamanya ialah melakukan pembaharuan (inovasi).
4) Kemajuan Teknologi
Perubahan teknologi dianggap sebagai faktor paling penting
didalam proses pertumbuhan ekonomi. Perubahan itu berkaitan
dengan perubahan didalam metode produksi yang merupakan hasil
pembaharuan atau hasil dari teknik penelitian baru. Perubahan pada
teknologi telah menaikkan produktifitas buruh, modal dan faktor
produksi yang lain.
Simon Kuznet dalam Jhingan (2004: 72) ada lima pola penting
pertumbuhan teknologi di dalam pertumbuhan ekonomi modern.
Yaitu: penemuan ilmiah atau penyempurnaan pengetahuan teknik;
investasi; inovasi; penyempurnaan dan penyebarluasan penemuan
yang biasanya diikuti dengan penyempurnaan. Menurutnya, inovasi
terdiri dari dua macam : pertama, penurunan biaya yang tidak
26
Kedua, pembaharuan yang menciptakan produk baru dan
menciptakan perintaan baru akan produk tersebut. Yang kedua ini
merupakan perubahan yang menciptakan permintaan.
5) Pembagian Kerja
Spesialisasi dan pembagian kerja menimbulkan peningkatan
produktifitas. Keduanya membawa kearah ekonomi produksi skala
besar yang selanjutnya membantu perkembangan industri. Jika skala
produksi luas, spesialisasi dan pembagian kerja akan meluas pula.
Alhasil, jika produksi naik, laju pertumbuhan ekonomi akan melesat.
b.Faktor Non-ekonomi
Faktor non-ekonomi bersama-sama faktor ekonomi saling
mempengaruhi kemajuan perekonomian. Dalam kenyataannya, faktor
non-ekonomi pada umumnya, seperti organisasi sosial, budaya, dan
politik, mempengaruhi faktor-faktor ekonomi. Oleh karena itu, faktor
non-ekonomi juga memiliki arti penting di dalam pertumbuhan ekonomi.
Berikut faktor-faktor non-ekonomi :
1) Faktor Sosial
Faktor sosial dan budaya juga mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi. Pendidikan dan kebudayaan barat membawa ke arah
penalaran (reasoning) dan skeptisme. Ia menanamkan semangat yang
menghasilkan berbagai penemuan baru dan akhirnya memunculkan
kelas pedagang baru. Kekuatan faktor ini menghasilkan perubahan
27 menabung dan berinvestasi, dan menikmati resiko untuk memperoleh
laba.
2) Faktor Manusia
Sumber daya manusia merupakan faktor terpenting dalam
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tidak semata-mata
tergantung pada jumlah sumber daya manusia saja, tetapi lebih
menekankan pada efisieni mereka.
Peningkatan GNP per kapita yang besar berkaitan erat dengan
pengembangan faktor manusia sebagaimana terlihat dalam efisiensi
atau produktifitas yang melonjak di kalangan buruh. Penggunaan
secara tepat sumber daya manusia untuk pembangunan ekonomi dapat
dilakukan dengan cara berikut. Pertama, harus ada pengendalian atas
perkembangan penduduk. Sumber daya manusia dapat dimanfaatkan
dengan baik apabila jumlah penduduk dapat dikendalikan dan
diturunkan. Ini memerlukan keluarga berencana dan penelitian atas
penduduk untuk menurunkan angka kelahiran. Kedua, harus ada
perubahan dalam pandangan tenaga buruh. Perilaku sosial dari tenaga
buruh merupakan hal yang penting didalam proses pembangunan
ekonomi.
3) Faktor Politik dan Administratif
Faktor ini juga membantu pertumbuhan ekonomi modern.
Struktur politik dan administrasi yang lemah merupakan penghambat
28 yang kuat, efisien dan tidak korupsi, dengan demikian amat penting
bagi pembangunan ekonomi. Dalam administrasi yang bersih dan kuat
seperti itu keadilan sepenuhnya dapat merangsang pertumbuhan
ekonomi.
B.Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Pengertian PDRB menurut Badan Pusat Statistik (2004:8) yaitu jumlah
nilai tambah yang dihasilkan untuk seluruh wilayah usaha dalam suatu wilayah
atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan
seluruh unit ekonomi di suatu wilayah.
Penghitungan PDRB dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode
yaitu :
1. Metode Langsung
Penghitungan metode langsung ini dapat dilakukan melalui tiga
pendekatan yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan
pendekatan pengeluaran. Walaupun mempunyai tiga pendekatan yang
berbeda namun akan memberikan hasil penghitungan yang sama.
Seperti dikatakan di atas, penghitungan PDRB secara langsung dapat
dilakukan melalui tiga pendekatan sebagai berikut :
a. PDRB Menurut Pendekatan Produk Neto
Produk neto memiliki arti nilai tambah yang diciptakan dalam suatu
proses produksi. Dengan demikian, cara penghitungan dengan
29 tambah yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan diberbagai lapangan
usaha dalam perekonomian disuatu wilayah pada suatu waktu tertentu.
(Sadono, 2004: 42)
b.PDRB Menurut Pendekatan Pendapatan
Pada pendekatan ini, PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima
oleh faktor-faktor produksi yang ikut dalam proses produksi di suatu
wilayah pada jangka waktu tertentu (setahun). Penghitungan PDRB
melalui pendekatan ini diperoleh dengan menjumlahkan semua balas jasa
yang diterima faktor produksi yang komponennya terdiri dari upah dan
gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan ditambah dengan
penyusutan dan pajak tidak langsung neto (BPS, 2004: 27).
c. PDRB Menurut Pendekatan Pengeluaran
Pada pendekatan ini, PDRB adalah jumlah seluruh pengeluaran
untuk konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari
untung, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto,
perubahan stok dan ekspor netto di suatu wilayah. Perhitungan PDRB
melalui pendekatan ini dilakukan dengan bertitik tolak dari penggunaan
akhir barang dan jasa yang dihasilkan di wilayah domestik (BPS, 2004:
27).
2. Metode Tidak Langsung atau Metode Alokasi
Dalam metode ini PDRB suatu wilayah diperoleh dengan menghitung
PDRB wilayah tersebut melalui alokasi PDRB wilayah yang lebih luas.
30 antara lain: Nilai produksi bruto atau netto setiap sektor/ subsektor pada
wilayah yang dialokasikan, jumlah produksi fisik, tenaga kerja, penduduk
dan alokator tidak langsung lainnya. Dengan menggunakan salah satu atau
beberapa alokator dapat diperhitungkan persentase bagian masing-masing
propinsi terhadap nilai tambah setiap sektor dan subsektor.
Cara penyajian PDRB adalah sebagai berikut :
a. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku, semua agregat pendapatan dinilai atas
dasar harga yang berlaku pada masing-masing tahunnya, baik pada saat
menilai produksi dan biaya antara maupun pada penilaian komponen
PDRB. PDRB atas dasar harga berlaku menunjukkan kemampuan
sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Nilai PDRB
yang besar menunjukkan kemampuan sumberdaya ekonomi yang besar,
begitu juga sebaliknya.
b. PDRB Atas Dasar Harga Konstan, semua agregat pendapatan dinilai atas
dasar harga tetap, maka perkembangan agregat pendapatan dari tahun ke
tahun semata-mata karena perkembangan produksi riil bukan karena
kenaikan harga atau inflasi. PDRB atas dasar harga konstan
menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau setiap
31 C.Kapasitas Fiskal
1. Definisi Desentralisasi Fiskal dan Kapasitas Fiskal
a. Desentralisasi Fiskal
Berdasarkan UU RI No. 32 tahun 2004, Desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah
otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini berarti
kekuasaan yang sebelumnya secara penuh berada di pemerintah pusat,
kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah khususnya kabupaten/
kota. Penyerahan kewenangan ini kemudian disertai penyerahan
sumber-sumber pembiayaannya (money follows function), dengan tujuan untuk
memperkecil kesenjangan ekonomi antar daerah di Indonesia.
Meskipun demikian, sebagai negara yang masih tergolong baru
dalam menggunakan sistem otonomi daerah, pemerintah pusat masih
memberikan bantuan berupa Dana Alokasi Umum (DAU) yang besarnya
sekurang-kurangnya 25% dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan
dalam APBN. Sementara itu kesenjangan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah (vertical imbalances) seperti masa pemerintahan Orde
Baru juga hendak dihilangkan melalui mekanisme alokasi Dana Bagi
Hasil Non Sumber Daya Alam dan Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang
besarnya telah ditetapkan oleh UU.
Untuk kebutuhan khusus yang tidak dapat dicukupi dengan DAU
misalnya bencana alam dan dana darurat lainnya, maka pemerintah pusat
32 Menurut Oates, dalam Siti Parhah (2010: 1) “desentralisasi fiskal
menyebabkan efisiensi dalam perekonomian, yaitu terjadinya efisiensi
dalam alokasi sumber daya publik”. Menurutnya, alasan bahwa
desentralisasi fiskal meningkatkan pendapatan yaitu karena pemerintah
lokal mempunyai posisi yang lebih baik daripada pemerintah pusat untuk
menyalurkan pelayanan publik yang dibutuhkan baik oleh pemerintah
lokal maupun masyarakatnya, yang selanjutnya efisiensi akan mendorong
percepatan pertumbuhan ekonomi ditingkat lokal dan mendorong
pertumbuhan ekonomi di tingkat nasional.
Jika pemerintah lokal memahami dengan baik dan memberikan apa
yang terbaik yang dibutuhkan oleh masyarakatnya, perubahan struktur
ekonomi masyarakat ditambah peran masyarakat yang semakin besar
akan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
b.Kapasitas Fiskal
Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun
2009 Tentang Dana Alokasi Umum daerah Propinsi, kabupaten dan kota
tahun 2010, Kapasitas fiskal adalah gambaran kemampuan keuangan
masing-masing daerah yang dicerminkan melalui penjumlahan dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD) ditambah dengan dana bagi hasil baik
bagi hasil pajak, maupun bukan pajak.
Menurut Keynes (Sadono, 2004: 85) masalah yang timbul pada
negara berkembang seperti Indonesia, disebabkan kurangnya pengeluaran
33 pada suatu waktu dengan tingkat harga yang berbeda dan dilakukan salah
satunya adalah perbelanjaan dalam hal ini pembangunan, dan investasi
pemerintah. Dapat disimpulkan bahwa, besarnya kapasitas fiskal suatu
daerah akan mempengaruhi jumlah biaya pembangunan pada APBD,
dengan semakin tinggi kapasitas fiskal suatu daerah, maka kegiatan dan
rencana pembangunan daerah dapat terealisasi dengan lebih cepat,
sehingga dapat mempercepat pembangunan yang mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi ke arah yang positif.
Tujuan dari penghitungan kapasitas fiskal, selain untuk mengetahui
seberapa besar tingkat kemampuan suatu daerah dalam membiayai
pembangunannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat, juga
dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar porsi DAU oleh
pemerintah pusat yang akan diberikan kepada daerah-daerah propinsi
untuk membantu membiayai pembangunan daerah karena dianggap
dalam sistem otonomi daerah ini, daerah propinsi belum sepenuhnya
mampu untuk mandiri.
Tujuan diadakannya DAU adalah sebagai instrumen untuk mengatasi
masalah horizontal imbalances yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan Keuangan antar daerah dimana penggunaannya
ditetapkan sepenuhnya oleh daerah (block grants). Konsep dasar DAU
sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No 25 Tahun 1999 itu secara
implisit merupakan penjabaran dari teori governmental transfer yang
34 kesenjangan fiskal yang merupakan selisih negatif antara kebutuhan
fiskal dengan kapasitas fiskal dianggap sebagai kebutuhan yang harus
ditutup melalui transfer Pemerintah Pusat.
Konsep DAU adalah, untuk daerah yang memiliki kapasitas fiskal
relatif lebih besar dibanding kebutuhan fiskalnya, maka DAU yang
dialokasikan tidak terlalu besar. Sebaliknyan daerah yang memiliki
kebutuhan fiskal relatif lebih tinggi terhadap kapasitas fiskalnya,
membutuhkan DAU yang relatif besar pula agar mereka tetap dapat
menyediakan pelayanan dasar yang cukup baik. Jadi kapasitas fiskal ini
dapat dianggap sebagai wakil kemampuan suatu Daerah di dalam
melaksanakan semua kewenangan wajibnya dalam pelaksanaan
pemerintahan maupun pembangunan daerahnya.
2. Komponen Kapasitas Fiskal
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun
2009 Tentang Dana Alokasi Umum daerah Propinsi, kabupaten dan kota
tahun 2010, Penghitungan Kapasitas Fiskal provinsi dan kabupaten/ kota
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), didasarkan pada formula :
KF = PAD + DBH
Dimana :
KF = Kapasitas Fiskal
PAD = Pendapatan Asli Daerah
35 a. Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah salah satu sumber yang harus
selalu dan terus menerus di pacu pertumbuhannya, karena PAD
merupakan indikator penting untuk memenuhi tingkat kemandirian
pemerintah di bidang keuangan. Semakin tinggi peranan PAD terhadap
APBD maka semakin berhasil usaha pemerintah daerah dalam
membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut UU No.33
Tahun 2004 adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut
berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Dalam pasal 6 disebutkan bahwa sumber PAD terdiri dari :
1) Pajak Daerah
Pajak merupakan sumber keuangan pokok bagi daerah-daerah
restribusi daerah. Menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2000
tentang perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, pasal 1 ayat (6):
“Adalah pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak,
adalah iuran wajib yang di lakukan oleh orang pribadi atau
badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang,
yang dapat di paksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang di gunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan
36 Sesuai dengan UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas
UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
jenis-jenis pajak terdiri dari :
Jenis pajak Propinsi, yang terdiri dari : 1) Pajak Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; 2) Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; 3) Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor; 4) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air
Bawah Tanah dan Permukaan.
Jenis pajak Kabupaten/Kota terdiri dari : 1) Pajak Hotel adalah
pajak atas pelayanan hotel; 2) Pajak Restoran adalah pajak atas
pelayanan restoran; 3) Pajak Hiburan adalah pajak atas
penyelenggaraan hiburan; 4) Pajak Reklame adalah pajak atas
peyelenggaraan reklame; 5) Pajak Penerangan Jalan; 6) Pajak
Pengambilan Bahan Galian Golongan C; 7) Pajak Perparkiran.”
Relatif rendahnya kemampuan daerah dalam menggali kapasitas
pajak daerah disebabkan karena rendahnya pendapatan perkapita,
rendahnya distribusi pendapatan, tingkat kepatuhan wajib pajak, dan
relatif lemahnya kebijakan perpajakan daerah.
2) Retribusi Daerah
Sumber pendapatan daerah yang penting lainnya adalah retribusi
daerah. Menurut Suparmoko (2002:85) retribusi daerah adalah
37 tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah
daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.
Jenis-jenis retribusi daerah menurut UU No. 18 Tahun 1997
tentang Pajak Daerah dan retribusi Daerah sebagaimana telah di ubah
terakhir dengan UU No. 34 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 66 tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, juga berpedoman
pada KEPMENDAGRI Nomor 110 tahun 1998 tentang Bentuk dan
Susunan Anggaran Pendapatan Daerah, dapat di kelompokkan
menjadi 3 (tiga) jenis Retribusi Daerah yaitu :
“ 1. Retribusi Jasa Umum, adalah retribusi atas jasa yang di sediakan
atau di berikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan
dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi
atau badan. Jenis-jenis retribusi Jasa Umum terdiri dari: Retribusi
Pelayanan Kesehatan; Retribusi Pelayanan Persampahan
/Kebersihan; Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda
Penduduk dan Akte Catatan Sipil; Retribusi Pelayanan
Pemakaman dan Pengabuan Mayat; Retribusi Pelayanan Parkir di
Tepi Jalan Umum; Retribusi Pelayanan Pasar; Retribusi
Pengujian Kendaraan Bermotor; Retribusi Pemeriksaan Alat
Pemadam Kebakaran; Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta;
Retribusi Pengujian Kapal Perikanan.
2. Retribusi Jasa Usaha, adalah retribusi atas jasa yang di sediakan
oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial
karena pada dasarnya dapat pula di sediakan oleh sektor swasta.
Jenis-jenis Retribusi Jasa Usaha adalah sebagai berikut : Retribusi
Pemakaian Kekayaan Daerah; Retribusi Pasar Grosir dan/atau
Pertokoan; Retribusi Tempat Pelanggan; Retribusi Terminal;
38 /Pesanggrahan /Villa; Retribusi Penyedotan Kakus; Retribusi
Rumah Potong Hewan; Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal;
Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga; Retribusi Pengolahan
Limbah Cair; Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
3. Retribusi Perizinan Tertentu, adalah retribusi atas kegiatan
tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada
orang pribadi atau badan yang di maksudkan untuk pembinaan,
pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan
pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang,
prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi
kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Jenis-jenis Retribusi Perizinan Tertentu terdiri dari : Retribusi Izin
Mendirikan Bangunan, Retribusi Izin Tempat Penjualan
Minuman Beralkohol, Retribusi Izin Gangguan dan Retribusi Izin
Trayek.”
3) Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah
Bagian laba badan usaha milik daerah adalah bagian keuntungan
atau laba bersih dari perusahaan daerah atau badan lain yang
merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), sedangkan
perusahaan daerah ialah perusahaan yang modalnya sebagian atau
seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang di pisahkan.
4) Lain-lain PAD yang sah
Penerimaan selain yang disebutkan diatas tetapi sah. Penerimaan
ini mencakup penerimaan sewa rumah dinas daerah, sewa gedung dan
39 milik daerah dan penerimaan lain-lain yang sah menurut
Undang-undang.
b.Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Pemerintah Daerah
berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi Hasil merupakan dana
perimbangan yang strategis bagi daerah-daerah yang memiliki
sumber‐sumber penerimaan pusat di daerahnya, meliputi penerimaan
pajak pusat yaitu pajak penghasilan perseorangan (PPh perseorangan),
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam (Minyak
Bumi, Gas Alam, Pertambangan Umum, Kehutanan dan Perikanan).
D.Investasi Swasta
1. Definisi Investasi
Berdasarkan teori ekonomi, investasi berarti pengeluaran atau
pembelian barang-barang modal dan alat produksi yang digunakan untuk
menambah kemampuan memproduksi suatu barang/ jasa yang tersedia
didalam perekonomian. Contohnya membangun suatu pabrik, pembukaan
lahan, atau seseorang sekolah di universitas. (Sadono, 2004: 121)
Para pelaku investasi adalah pemerintah, swasta dan kerjasama antara
40 dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan, tetapi tujuannya untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat, seperti jalan raya, jembatan, rumah sakit
dan sebagainya. Bagi swasta lebih tertarik pada jenis investasi yang
ditujukan untuk memperoleh laba yang biasanya didorong karena adanya
pertambahan pendapatan.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan investasi swasta disini adalah
investasi yang ditanamkan hanya oleh pihak-pihak swasta yang tertarik
berinvestasi, baik investor dalam negeri maupun investor asing. Sedangkan
investasi pemerintah termasuk dalam pengeluaran pemerintah daerah,
khususnya pengeluaran pembangunan.
Investasi swasta di Indonesia dijamin keberadaannya sejak
dikeluarkannya Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang penanaman
modal asing dan Undang-undang No. 6 tahun 1968 tentang penanaman
modal dalam negeri, yang kemudian dilengkapi dan disempurnakan dengan
Undang-undang No. 11 tahun 1970 tentang penanaman modal asing dan
Undang-undang No. 12 tahun 1970 tentang penanaman modal dalam negeri.
Berdasarkan dari sumber kepemilikan modal, maka investasi swasta dapat
di bagi menjadi penanaman modal asing dan penanaman modal dalam
negeri.
2. Teori Investasi
Dalam jangka panjang pertumbuhan investasi berpengaruh pada
bertambahnya stok kapital dan selanjutnya menaikkan produktivitas. Di
41 angkatan kerja yang menganggur dapat dimanfaatkan sebagai sumber
pembentukan modal.
Teori Neo Klasik dalam Jhingan (2004: 274-276), yang diwakili oleh
teori pertumbuhan Robert Sollow dan Trevor Swan. Pandangan Neo
Klasik menekankan pentingnya tabungan sebagai sumber investasi.
Investasi dipandang sebagai salah satu penggerak utama pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan. Makin cepat laju perkembangan investasi
ketimbang laju pertumbuhan penduduk, Makin cepat perkembangan
volume stok kapital rata-rata per tenaga kerja. Makin tinggi rasio kapital
per tenaga kerja cenderung makin tinggi kapasitas produksi per tenaga
kerja.
Tokoh Neo Klasik, Sollow dan Swan memusatkan perhatiannya pada
bagaimana pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital, kemajuan
teknologi dan output saling berinteraksi daiam proses pertumbuhan
ekonomi (Arsyad, 2010: 88-89).
Teori Harrod-Domar
Harrod dan Domar tetap mempertahankan pendapat dari para ahli
ekonomi sebelumnya yang merupakan gabungan dari pendapat kaum
klasik dan Keynes, dimana