• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANTO LANGGENG PRAYOGO-FST

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANTO LANGGENG PRAYOGO-FST"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Dilaksanakan sebagai Salah Satu Tugas Akademik untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)

Oleh:

Anto Langgeng Prayogo

1110022000007

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

Bismillahirrahmanirrahim.

Tidak ada untaian kata yang pantas penulis ucapkan untuk pertama kalinya

selain rasa syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat pada setiap

hamba-Nya berupa kecerdasan, seperti memudahkan penulis dalam membuat

skripsi ini. Dengan anugerah tersebut mudah-mudahan dapat menjadi manfaat

bagi kehidupan di dunia maupun akhirat. Dan tidak ketinggalan pula sholawat

serta salam penulis limpahkan kepada kekasih-Nya, Nabi Muhammad Shalallahu

‘Alaihi Wassalam, seorang Revolusioner yang telah menenggelamkan era

kejahiliyahan menuju tatanan kehidupan penuh kemuliaan dalam bendera Islam.

Dalam membuat sebuah karya skripsi, penulis membutuhkan waktu dan

suasana sebagai usaha untuk mencari inspirasi serta mood guna mengerjakan

skripsi ini dengan baik. Alunan musik dari salah satu band favorit L’arc~en~Ciel

dipilih sebagai partner dalam menemani setiap dentuman ketikan serta sebagai

langkah meningkatkan mood penulis. Walaupun demikian, pastinya dalam proses

pembuatan skripsi terdapat suatu kendala berupa kemalasan yang terkadang

menghantui diri penulis, namun pada akhirnya, sikap malas tersebut dapat penulis

atasi. Akan tetapi hal tersebut dapat dilakukan apabila kita mempunyai kemauan

serta niat yang kuat, dan diimbangi dengan usaha nyata. Sehingga atas adanya

sikap tersebut terciptalah target penulis, one day one page. Mengingat hal itu, kini

tidak terasa usaha yang dijalankan selama beberapa bulan tersebut telah

menghasilkan sebuah karya yang patut penulis banggakan, seakan waktu dan

tenaga yang telah digunakan tidak terbuang sia-sia.

Selain itu penulis juga mengucapkan rasa terima kasih kepada mereka

yang telah membantu, membimbing dan menemani penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini:

1. Bapak Prof. Dr. Oman Faturahman M.Hum, selaku Dekan Fakultas Adab

(6)

Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah menyetujui dan

menerima judul skripsi ini sebagai tugas akhir penulis.

3. Ibu Sholikatus Sa’diyah, M.Pd, selaku Sekertaris Jurusan Sejarah

Kebudayaan Islam, yang selalu memberikan pelayanan kepada

mahasiswanya dengan baik.

4. Bapak Dr. H. M. Muslih Idris, Lc, M.A dan Bapak H. Nurhasan, M.A,

selaku dosen pembimbing yang telah menyempatkan waktu luangnya

untuk siap direpotkan serta dengan sabarnya memberikan arahan dan

masukan kepada penulis dalam membantu menyelesaikan penulisan

skripsi ini dengan baik.

5. Ibu Awalia Rahma, M.A, selaku ibunda penulis selama di kampus yang

telah memberikan nasehat, motivasi, dan masukan atas segala kegalauan

serta kegundahan penulis pada masa pencaharian judul skripsi.

6. Bapak Dr. Saidun Derani, M.A, selaku Dosen Pembimbing Akademik

yang dengan penuh perhatiannya telah membantu penulis dalam

merumuskan proposal skripsi, sehingga penulis mampu melanjutkan

tulisan ini pada tahap berikutnya.

7. Bapak dan Ibu Dosen yang selalu memberikan bimbingan dan pelajaran

selama penulis mengikuti perkuliahan.

8. Seluruh Staff Fakultas Adab dan Humaniora, yang telah memberikan

pelayanannya dengan baik dan tidak mempersulit penulis dalam usaha

mengumpulkan setiap syarat-syarat yang diperlukan.

9. Para karyawan/karyawati Perpustakaan Utama, khususnya Amcore yang

telah menyediakan fasilitas mendownload jurnal-jurnal online, sehingga

semakin mempermudah penulis mendapatkan bahan-bahan untuk skripsi

ini.

10.Kedua orang tua penulis, Ayahanda tersayang Bapak Sriyoto dan Ibunda

tercinta Ibu Lainah, yang secara tidak langsung telah membantu proses

penyeselaian skripsi ini. Penulis yakin Ayah dan Ibu pasti selalu

menyempatkan memberikan do’anya pada penulis, yang dengan do’a itu

(7)

saat ini, terima kasih untuk semuanya. Semoga penulis yang sedang

mengenyam pendidikan ini bisa bermanfaat dan juga dapat mewujudkan

cita-citanya sehingga dapat melihat senyum bahagia dari kedua bibir Ayah

dan Ibu.

11.Nenek tercinta, Mbah Sidem yang selalu memberikan masakan-masakan

yang terbaik dan tanpa lelah rela bangun setiap sepertiga malam untuk

memulai aktivitas, sehingga hal tersebut menambah motivasi serta rasa

semangat penulis dalam mengerjakan tugas akhir ini.

12.Teman-teman, Endi, Nana, Hanafi, Hanifah, Agung, Iwan, Ela, Irna, Okta,

Lidya, Dian, dalam membantu menterjemahkan sebahagian teks yang

penulis tidak terlalu mamahaminya, serta kepada teman-teman satu

perjuangan SKI 2010 yang secara tidak langsung memberikan motivasi

dan semangat ketika penulis melihat kalian juga bekerja keras dalam

menyelesaikan tugas akhir ini. Tidak ketinggalan pula penulis

berterimakasih kepada teman-teman KKN Ceria 2013 (Desa Pabuaran -

Bogor) yang telah memberikan pengalaman serta cerita menarik selama

kita mengemban tugas sosial, dan kepada teman-teman LDK Syahid

(An-najm) yang hampir setiap harinya kita bertemu di PU untuk mengerjakan

skripsi bersama.

Semoga semua pihak yang membantu dan menyelesaikan Skripsi ini akan

selalu diberi pertolongan, meskipun penulis belum mampu membalas segala jasa

mereka, mudah-mudahan Allah swt selalu memberikan pintu berkah untuk

mereka, salut untuk mereka semua.

Jakarta, 5 Maret 2015

(8)

Dalam sejarah perlawanan bangsa Palestina, perjuangan seperti perang fisik ataupun diplomasi, telah marak diketahui publik global. Akan tetapi, tidak banyak yang mengetahui tentang eksistensi mural sebagai media perlawanan Palestina. Mural secara tersirat ataupun tersurat mempunyai makna di dalamnya, sehingga mural dimanfaatkan kelompok pemuda untuk memobilisasi perjuangan rakyat Palestina melawan cengkraman Israel. Penulis sebagai mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam dengan konsentrasi Timur Tengah khususnya mengenai Palestina, sangat tertarik terhadap pembahasan ini, dikarenakan dari berbagai sumber tertulis belum ada yang menyinggung secara jauh tentang keberadaan fenomena mural pada masa Intifadha. Jadi, studi ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana fenomena perjuangan Intifadha melalui media mural. Penulis menggunakan pendekatan antropologis dan teori terpaan media, di mana pandangan seseorang diterpa secara terus menerus oleh isi pesan yang secara tidak langsung akan menarik perhatian mereka. Melalui pendekatan serta teori tersebut penulis menemukan bahwa mural memiliki peranan yang signifikan sebagai bahasa protes dan perlawanan sebuah bangsa ketika dalam keadaan tertekan. Di Palestina keberadaan mural telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan, karena mural selalu hadir dalam mewarnai setiap langkah perjuangan bangsa Palestina.

(9)

ABSTRAK ... iv

BAB III BENTUK BARU RESISTENSI PALESTINA ... 34

A. Palestina ... 34

B. Konflik Palestina – Israel ... 35

C. Perlawanan Non Kekerasan Palestina ... 38

D. Bentuk Non Kekerasan Palestina 1967-1987 ... 40

E. Intifadha ... 44

BAB IV DINAMIKA POLITIK MURAL SEBAGAI MEDIA RESISTENSI RAKYAT PALESTINA PADA MASA INTIFADHA ... 47

A. Munculnya Politik Mural di Palestina ... 47

B. Mural Intifadha ... 53

(10)

C. Makna dari Simbol Teks dan Gambar ... 68

1. Teks Dinding ... 69

2. Gambar Dinding ... 71

D. Tema-tema Mural Intifadha ... 73

1. Tahanan Palestina ... 74

2. Kesyahidan ... 75

3. Nakba Day ... 76

E. Dampak Mural ... 78

1. Bagi Rakyat Palestina ... 79

2. Sikap dan Respon Tentara Israel ... 80

BAB V PENUTUP ... 84

A. Kesimpulan ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 86

(11)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Membahas mengenai media khususnya di era modern seperti sekarang ini,

hampir dipastikan pikiran seseorang akan tertuju pada bentuk media seperti;

internet, televisi, radio, dan surat kabar. Hal itu dikarenakan bahwa media-media

tersebut telah menjadi bagian dari kehidupan umat manusia, baik dalam urusan

berkomunikasi atau sekedar mendapatkan informasi. Namun, bentuk media tidak

hanya sebatas pada media cetak dan elektronik semata, tetapi juga melalui sebuah

karya seni, dalam hal ini mural.1 Mural merupakan lukisan besar yang terpajang

pada dinding ruang publik.2 Pada era modern, mural sangat dikenal dengan

konten-konten berbau pesan kritik sosial dan politik terhadap pemerintahan di

suatu wilayah tertentu. Pada hakikatnya mural terbentuk melalui tangan para

pemuda yang dinilai anarkis oleh sebagian masyarakat umum, oleh sebab itu

maka tidak jarang mural disebut sebagai polusi pemandangan. Namun, perlu

dicatat bahwa sesungguhnya aksi mencoret-coret dinding di sebagian wilayah

dunia yang sedang mengalami konflik, merupakan tindakan kritis. Sehingga

dalam lanskap tersebut, mural tidak hanya sebatas penghias mata (baca: visual),

1

Mural merupakan salah satu karya visual dengan bermodelkan penuh warna, motif, dan komposisinya terdapat pada ruang publik. Lihat Mikke Susanto, Diksi Rupa, (Yogyakarta: Kanisius, 2002, h.77).

2

(12)

tetapi juga penuh unsur pesan di dalamnya, sebagai langkah untuk memobilisasi

massa. Alasannya, karena mural yang terbentuk di wilayah berkonflik lebih

efektif daripada wilayah dengan status damai, hal tersebut dikarenakan audiens

merasa ikut terjebak di dalamnya. Dengan demikian, sangat tidak aneh apabila

para pelaku pembuat mural selalu berhadapan dengan aksi pemukulan serta

penangkapan oleh aparat penegak hukum.

Dalam sejarahnya mural telah memainkan peranannya di berbagai belahan

negara atau wilayah yang sedang mengalami konflik seperti di Amerika Serikat,

Irlandia Utara, dan Tembok Berlin Jerman.3 Namun yang lebih menariknya,

penampakkan mural ternyata juga terlihat pada wilayah yang selama ini dianggap

kaku seperti Timur Tengah, dan Palestina telah menjadi bangsa yang membantah

anggapan tersebut.

Di Palestina, kehadiran mural diakibatkan karena efek gerakan Intifadha

yang muncul pada tahun 1987. Intifadha berasal dari bahasa Arab (nafadha) yang

berarti kebangkitan, mengguncang, dan revolusi.4 Istilah ini digunakan untuk

3

Tembok Berlin menjadi batas pemisah antara Jerman Barat dan Jerman Timur selama masa Perang Dingin (1961). Segala perbedaan antar kedua wilayah tersebut menjadi tampat yang sempurna bagi setiap orang untuk mengekspresikan pendapat mereka, khususnya tentang keinginan dan penolakan yang dituangkan melalui dinding-dinding tersebut. Sehingga Tembok Berlin bagian barat memiliki karya seni yang sepenuhnya menutupi dinding, sementara pada sisi Berlin bagian Timur dijaga untuk selalu bersih dari warna-warni cat mural, karena masyarakat tidak diizinkan untuk melukis apapun oleh pemerintah di sana. Namun setelah runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989, sekelompok seniman internasional diundang untuk membuat mural pada sisi bagian Timur Tembok sebagai reaksi mereka atas runtuhnya Tembok tersebut. Akhirnya, mural-mural di Tembok Berlin menjadi populer dikalangan seniman dari seluruh dunia dan objek menarik bagi para wisatawan. Sebagian konteks lukisan mural tersebut adalah refleksi historis, untuk mengingatkan mereka tentang peristiwa yang pernah dialami Jerman. Lihat Miglena

Ivanova, “Graffiti and the Symbolic Dismantling of the Berlin Wall”, (Anthropology of Culture, Vol. 02/2013, h. 157).

4

Dr Fathi Ibrahim Shaqaqi, Sekjen pertama Gerakan Jihad Islam Palestina mengatakan,

(13)

menggambarkan pemberontakan rakyat Palestina melawan pemerintahan

pendudukan Israel. Namun bangsa Barat memandang Intifadha sebagai suatu

pemberontakan dengan kekerasan.5 Sedangkan menurut dunia Arab, Intifadha

adalah bentuk sah dari sebuah pemberontakan dan menjadi salah satu cara untuk

mencapai kemerdekaan sehingga terlepas dari penindasan Israel.

Gerakan Intifadha dikenal dengan kecepatan dan kekuatan yang muncul

secara tiba-tiba.6 Padahal saat dekade 1980-an, rakyat Palestina tidak memiliki

sarana dan fasilitas apapun untuk memperjuangkan kebebasan negeri mereka

melawan tentara Israel. Namun, keterbatasan akses tersebut tidak menyurutkan

langkah rakyat Palestina dalam bertindak, dan faktanya secara serentak rakyat

Palestina berani bangkit untuk melawan walaupun hanya bermodalkan batu

sebagai senjata pembelaan diri.

Berbicara mengenai konteks Intifadha, memang tidak dapat dipisahkan

antara Intifadha dengan batu, karena batu dalam Intifadha merupakan perangkat

revolusioner. Dewasa ini, telah menjadi rahasia umum bahwa gambaran seorang

remaja sedang melempar batu mendominasi presentasi publik terhadap Intifadha.

Akan tetapi kali ini, batu dapat berfungsi lebih dari sekedar senjata pertahanan,

dengan menjadikannya sebagai senjata cetak, dalam hal ini dinding. Dengan

dominasi sebuah batu dan dinding, maka lanskap yang diciptakan telah tersedia,

kemenangan revolusi. Apa yang terjadi saat ini di Palestina tak lain adalah tahap bagi sebuah revolusi. Kita tak pernah membayangkan gerakan kebangkitan ini akan berjalan secara luas dan universal seperti ini. Kita namakan gerakan ini dengan nama intifada. Karena itu, kami di Gerakan Jihad Islam menyebut kebangkitan ini sebagai intifada dan revolusi.” Sumber: http://beritapalestina.com/sejarah-intifada-palestina-kami-lawan-zionis/, (akses 2/2/15).

5

Robert A. Pape, James K. Feldman. Cutting the Fuse: The Explosion of Global Suicide Terrorism and How to Stop It, (Universityof Chicago Press, 2010), h. 219.

6

(14)

yaitu sejata yang mudah diakses; berawal dari mengajak berkomunikasi, menjadi

menyerang, dan sekaligus bertahan (baca: mural).

Selama masa-masa Intifadha, mural telah mewarnai setiap perjuangan

rakyat Palestina, mereka hadir untuk memobilisasi masyarakat agar ikut terlibat

ke dalam aksi solidaritas menentang pendudukan Israel. Dalam setiap harinya

mural selalu muncul bahkan konten mereka selalu berubah-ubah dalam setiap

waktunya, baik pagi, sore, dan malam hari, sesuai dengan kondisi tertentu.

Sehingga tidak mengherankan jika lanskap budaya yang paling mencolok mata

dari terjadinya aksi Intifadha pada tahun 1987 adalah banyaknya penampakkan

mural di setiap dinding Palestina.7

Namun sayangnya, dari berbagai literatur yang membahas mengenai

masalah Palestina, sedikit sekali yang mangkaji lebih jauh mengenai keberadaan

fenomena mural. Padahal faktanya, mural telah menjadi bagian yang tidak

terpisahkan dari Intifadha, sebagai media mobilisasi massa terkait keterbatasan

akses. Dengan latar belakang ini, penulis sangat tertarik membahas lebih jauh

tentang eksistensi mural di Palestina. Dengan sumber-sumber tertulis yang penulis

dapatkan, penulis menelaah bahwa keberadaan mural di setiap wilayah yang

sedang berkonflik merupakan bentuk dari identitas: seni, nasionalisme,

perlawanan, kebanggaan, harga diri, dan semangat. Dan secara tidak langsung,

mural seperti halnya sebuah cerita tentang suatu rakyat yang hidup dengan penuh

tekanan, namun berusaha melawan dengan kelemahan mereka.

7

(15)

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Dengan melihat latar belakang di atas, ada sejumlah masalah yang dapat

diidentifikasi antara lain:

1. Media-media perlawanan;

2. Terciptanya mural;

3. Seni mural menjadi sarana politik;

4. Pandangan masyarakat terhadap mural;

5. Afiliansi pembuat mural kepada faksi-faksi politik;

6. Perkembangan politik mural;

7. Peran fungsi yang dibawakan;

8. Dampak keberadaan mural.

2. Pembatasan Masalah

Dari beberapa identifikasi masalah di atas, maka penulis batasi tulisan

sesuai dengan judul studi ini di antaranya:

1. Mural sebagai media perlawanan Palestina;

2. Mural selama masa Intifadha (1987-1993 dan 2000-2005).

3. Rumusan Masalah

Rumusan pokok masalah dari studi ini adalah bagaimana fenomena

keberadaan mural di Palestina bagi rakyatnya selama masa Intifadha?

(16)

1. Bagaimana perkembangan mural di Palestina pada masa Intifadha?

2. Tema besar apa saja yang selalu muncul pada pembahasan mural

selama terjadinya Intifadha?

3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari fenomena mural bagi rakyat

Palestina ataupun bagi tentara Israel?

C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana mestinya sebuah penelitian, penelitian ini pun memiliki

tujuan untuk menjelaskan peran mural terhadap perjuangan rakyat Palestina pada

masa Intifadha. Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui bagaimana perkembangan mural di Palestina pada

masa Intifadha.

2. Mengetahui bagaimana peran fungsi mural di Palestina.

3. Serta mengetahui dampak yang ditimbulkan mural bagi rakyat

Palestina.

D. Manfaat Penelitian

Selain tujuan, dalam penelitian ini pun diharapkan memiliki manfaat.

Untuk itu, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi penulis, skripsi ini diharapkan dapat diterima sebagai prasyarat

kelulusan penulis untuk mendapatkan gelar S. Hum.

2. Memberikan hasil karya penelitian sebagai bahan bacaan teman-teman

Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora khususnya, terlebih lagi

kepada teman-teman Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah secara

(17)

3. Skripsi ini penulis harapkan dapat meneruskan penelitian untuk studi

S2 tentang mural di Palestina.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode historis, yaitu sebuah

metode yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis

peristiwa-peristiwa masa lampau yang bertumpu pada empat langkah di antaranya,

heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.8

Ada pun sistematika yang dilakukan dalam metode historis, di antaranya

sebagai berikut:

1. Heuristik

Heuristik merupakan tahap pertama, yakni kegiatan pengumpulan data

atau sumber. Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data-data sebagai bahan

penulisan dengan melakukan penelitian kepustakaan (Library Research), merujuk

pada sumber-sumber yang berhubungan dengan tema skripsi penulis, dapat

berbentuk buku, jurnal, buletin, koran, foto, dan sebagainya. Dalam upaya

mendapatkan bahan-bahan tersebut, penulis mengunjungi beberapa perpustakaan,

seperti; Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Adab

dan Humaniora, Perpustakaan UI Depok, Perpusnas (Perpustakaan Nasional).

Selain melakukan penelitian kepustakaan, penulis juga melakukan search online

dengan mengunjungi American Corner di Perpustakaan Utama UIN Jakarta guna

mendapatkan jurnal-jurnal online. Penulis juga mengunjungi beberapa situs

pemberitaan online dari media lokal maupun internasional seperti, Kompas.com,

8

(18)

Republika.com, Al-Jazeera.com, The Guardian.com, Al-Monitor.com dan

CNN.com.

2. Kritik Sumber

Kritik sumber merupakan tahap yang kedua setelah melakukan

pengumpulan data. Dalam tahap ini penulis menganalisis dan mengkiritisi

sumber yang didapat serta melakukan perbandingan terhadap

sumber-sumber yang didapat agar mendapatkan sumber-sumber yang valid dan relevan dengan

tema yang dikaji penulis.

3. Interpretasi

Setelah sumber-sumber yang didapat dianalisis dan dikritisi, tahapan

selanjutnya yang dilakukan ialah penulis mencoba menafsirkan terhadap sumber

yang telah dikritisi dan melihat serta menafsirkan fakta-fakta yang didapat oleh

penulis, sehingga mendapatkan pemecahan atas permasalahannya.

4. Historiografi

Terakhir penulis menuliskan pemikiran dari penelitian serta memaparkan

hasil dari penelitian sejarah secara sistematik yang telah diatur dalam pedoman

skripsi, sehingga penelitian ini bukan hanya baik dari segi isi tetapi juga baik

dalam metode penulisannya. Tahapan terakhir ini disebut dengan historiografi.9

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan antropologi.

Antropologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan tata

cara kehidupan serta proses perjalanan manusia itu sendiri. Sartono Kartodirdjo

9

(19)

mengatakan, pendekatan antropologi mengungkapkan nilai-nilai, status dan gaya

hidup, sistem kepercayaan dan pola hidup yang mendasari perilaku seseorang.10

Antopologi dan sejarah pada hakikatnya memiliki objek kajian yang sama, ialah

manusia dan pelbagai dimensi kehidupannya. Kedua disiplin ilmu tersebut dapat

dikatakan hampir tumpang tindih, sehingga seorang antropolog terkemuka,

Evans-Pritchard, menyatakan bahwa ”antropologi adalah sejarah”.11 Dalam hal ini,

pendekatan antropologi digunakan penulis pada studi ini adalah untuk melihat

bagaimana sikap dan perilaku masyarakat Palestina terhadap fenomena

keberadaan mural di wilayahnya.

F. Tinjauan Pustaka

Dari hasi penelusuran penulis, penulis menemukan beberapa skripsi dari

Mahasiswa jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang membahas Palestina. Beberapa skripsi tersebut menjadi tinjauan

pustaka dalam penulisan ini di antaranya:

1. Skripsi yang berjudul Konflik Arab-Israel: Pengusiran Etnis Palestina dan

Diaspora Etnis Palestina, ditulis oleh Rian Yuliana (2011). Dalam skripsi

tersebut ia menjelaskan tentang konflik Arab-Israel yang berujung pada

terdiasporanya penduduk Palestina ke berbagai wilayah. Dimulai setelah

Perang Dunia I usai, dan turki merupakan pihak yang kalah, sedangkan

Zionis menjalin hubungannya dengan Inggris yang menggantikan posisi

Turki sebagai penguasa Palestina. Inggris mendukung Zionisme dengan

10

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodelogi Sejarah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 4.

11

(20)

maksud agar kekuasaan mereka di Timur Tengah tetap terjamin. Hal

tersebut ditambah dengan keluarnya surat dari Menteri Luar Negeri

Inggris, Arthur James Balfour, kepada para tokoh Zionis tentang kesediaan

Inggris mendukung Zionis, sehingga kaum zionis mendapatkan angin

segar, dan orang-orang Yahudi yang tersebar di seluruh dunia mulai

bermigrasi ke Palestina. Atas kejadian ini Palestina dibagi menjadi dua

bagian, yaitu 55 persen untuk orang-orang Israel dan 45 persen untuk

orang Palestina. Dan akibatnya orang-orang Palestina dengan terpaksa

pergi dari wilayahnya menuju kamp-kamp pengungsian yang tersebar di

berbagai wilayah bahkan di beberapa negara tetangga seperti Yordania,

Suriah, dan Libanon,

2. Skripsi yang berjudul, Pandangan Abdurrahman Wahid terhadap Konflik

Palestina Israel, dibuat oleh Johan Wahyudi (2011). Skripsi ini

menjelaskan bahwa konfli Palestina-Israel telah mengundang banyak

perhatian tokoh intelektual muslim dunia, termasuk Abdurrahman Wahid

(Gus Dur). Dalam pandangan Gus Dur, dari konflik ini harus ada kerelaan

dari kedua belah pihak untuk hidup berdampingan sebagai dua negara

yang berbeda. Walaupun sebagian kaum muslim menganggap perdamaian

merupakan sebuah hal yang tabu, namun dibantah dengan tegas olehnya,

karena upaya menerima perdamaian adalah langkah kongkret untuk

menyelesaikan masalah tersebut.

3. Sedangkan skripsi berikutnya berjudul, Kebijakan Politik Palestina pada

masa Presiden Yaseer Arafat (1994-2004) yang ditulis oleh Ashabul Kahfi

(21)

kebijakan-kebijakan pemerintahan Yaseer Arafat dalam usahanya

memerdekakan Palestina secara de jure. Yaseer Arafat merupakan tokoh

sekaligus pemimpin yang sangat berpengaruh dan kontroversial. Disebut

kontroversial karena perjuangan yang ia lakukan melalui proses

kebijakan-kebijakan perundingan, padahal kala itu perlawanan fisik seolah menjadi

satu-satunya jalan bagi kemerdekaan bangsa Palestina.

4. Selanjutnya skripsi yang berjudul, Gerakan Intifada dan Dampaknya

terhadap Perjuangan Palestina, ditulis oleh Gustin Aryani (2010). Skripsi

ini menuliskan tentang hadirnya Intifadha merupakan sebuah periode

kebangkitan rakyat Palestina untuk melawan rezim zionis Israel.

Terjadinya Intifada ini menyusul dari semakin kerasnya aksi terror yang

dilakukan Israel. Di samping itu rakyat palestina juga telah berputus

harapan atas bantuan dari pemerintahan Barat dan organisasi-organisasi

intern Palestina yang pada hakikatnya tidak dapat membebaskan Palestina

dari cengkraman Israel. Dampak dari Intifada adalah melahirkan sebagian

gerakan-gerakan yang berjuang melalui senjata seperti Hamas ataupun

Brigade al-Qassam, sebagai langkah untuk mengusir keberadaan Israel

dari tanah Palestina.

5. Penulis juga menemukan satu skripsi yang membahas mengenai Palestina

namun ditulis oleh Mahasiswa jurusan Ilmu Politik, Ubaidallah dengan

judul, Pengaruh Gerakan Jihad Izzudin Al Qassam terhadap Perjuangan Rakyat

Palestina Sebelum dan Sesudah Berdirinya Negara Israel. Dalam skripsi ini,

Izzuddin al-Qassam merupakan seorang ulama yang identik dengan jihadnya.

Seluruh kehidupannya difokuskan pada pembebasan umat Islam dari belenggu

(22)

Palestina adalah untuk berjihad di medan perang. Perjuangannya ia tuangkan

dalam sebuah organisasi, yang kemudian hari dinamakan organisasi jihad. Motif

kedatangannya hanya untuk berjihad memerangi Inggris dan mengusir kaum

Yahudi. Dalam organisasi ini Izzuddin al-Qassam menuangkan idenya, baik dari

sistem perekrutan, pengkaderan, program organisasi, dan lainnya. Titik

perjuangannya adalah berjihad dengan mengangkat senjata. Perjuangan Izzudin

telah memberikan motivasi sekaligus tamparan bagi rakyat Palestina yang

seharusnya perjuangan tersebut dilakukan oleh mereka. Akibatnya, ide dan

aktivitas Izzuddin memberikan dampak yang signifikan terhadap perjuangan

rakyat Palestina, baik sebelum atau sesudah berdirinya Israel.

Dari beberapa judul yang telah diuraikan di atas, secara keseluruhan

pembahasan mereka mengenai Palestina. Akan tetapi, dari semua uraian tersebut

sama sekali tidak ada yang menyinggung masalah mural di Palestina pada masa

Intifadha. Penulis hanya menemukan sebuah skripsi dari Gustin Aryani yang

merupakan mahasiswa SKI, dengan judul Gerakan Intifada dan Dampaknya

terhadap Perjuangan Palestina. Namun, walaupun tema yang dibawakan

sama-sama membahas Intifadha, tetapi pada bagian ini perbedaan penulis dengan

skripsi tersebut adalah pada aspek kajian, yaitu mengenai fenomena mural pada

masa Intifadha, sehingga hal ini menjadi pembeda antara skripsi penulis dengan

pembahasan skripsi sebelumnya.

(23)

G. Landasan Teori

Pada penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan teori Media

Exposure (Terpaan Media).12 Terpaan media diartikan sebagai suatu kondisi di

mana orang diterpa oleh isi media atau bagaimana isi media menerpa audiens.

Kelompok pergerakan Palestina percaya bahwa target (audiens) perlu

mendapatkan bombarder exposure agar pesan perjuangan dapat

mempengaruhinya. Pesan bertubi-tubi yang datang melalui lukisan mural sangat

penting karena memiliki potensi untuk mendapatkan perhatian dari audiens. Hal

tersebut dikarenakan manusia tidak dapat terlepas dari sifat alaminya dalam

melihat. Perilaku ini menurut Blumler dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:

1. Surveillace, yaitu kebutuhan individu untuk mengetahui

lingkungannya.

2. Curiosity, yaitu kebutuhan individu untuk mengetahui

peristiwa-peristiwa menonjol di lingkungannya.

3. Diversion, yaitu kebutuhan individu untuk lari dari perasaan tertekan,

tidak aman, atau untuk melepaskan ketegangan jiwa.

4. Personal identity, yaitu kebutuhan individu untuk mengenal dirinya

dan mengetahui posisi keberadaannya di masyarakat.13

Sissors dan Bumba mendefinisikan bahwa terpaan media lebih dari

sekedar mengakses media. Terpaan media tidak hanya menyangkut apakah

seseorang secara fisik cukup dekat dengan kehadiran media massa, tetapi apakah

12

Joseph Straubhaar, Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, (Cengage Learning, 2011), h. 134.

13

(24)

seseorang itu benar-benar terbuka terhadap pesan-pesan media tersebut (baca:

terpengaruh). Terpaan media merupakan kegiatan mendengarkan, melihat, dan

membaca pesan media massa atau mempunyai pengalaman dan perhatian terhadap

pesan tersebut yang dapat terjadi pada individu atau kelompok.14

Pada penelitian ini, pesan politik perjuangan Palestina menggunakan

sebuah seni mural sebagai bahan medianya. Media tersebut tidak hanya berisi

tulisan atau gambar tanpa makna, akan tetapi mereka mengandung unsur

pengalaman rakyat Palestina sendiri sehingga dengan hanya melihat dan

membaca, para audiens Palestina mengerti apa yang disampaikan pada layar

dinding. Hal tersebut juga ditambah dengan adanya terpaan dari mural yang

membuat mereka tidak dapat terlepas dari daya tarik yang dimunculkan dari

lukisan atau gambar tersebut.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini akan terdiri atas lima Bab pembahasan dengan rincian:

Bab I (pertama), membahas tentang signifikansi tema yang diangkat,

pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, pendekatan dan

metode penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori serta sistematika penulisan.

Bab II (kedua), membahas tentang sejarah mural serta keberadaannya

dibeberapa negara.

14

(25)

Bab III (ketiga), membahas tentang bentuk perlawanan nonfisik Rakyat

Palestina.

Bab IV (keempat), membahas tentang dinamika politik mural sebagai

media resistensi rakyat palestina pada masa intifadha.

Bab V (kelima), berisi kesimpulan, tentang segala pertanyaan yang

(26)

POLITIK MURAL

A. Sejarah Mural

Mural1 menurut Susanto, merupakan lukisan besar yang berguna untuk

mendukung ruang arsitektur, jika didefinisikan lebih lanjut maka mural tidak dapat

dilepaskan dari tata ruang bangunan dalam hal ini dinding.2 Dinding dipandang tidak

hanya sebagai pembatas ruang pada sebuah bangunan rumah dan gedung, namun

dapat juga sebagai medium guna memperindah ruangan.

Mural termasuk salah satu bentuk dari seni visual. Mural bukan seni yang

berdiri tanpa adanya makna, melainkan ia berdiri dengan ribuan pesan yang

terkandung di dalamnya. Mural merupakan seni visual tertua yang pernah hidup di

dunia, dan diperkirakan telah ada jauh sebelum peradaban modern lahir yaitu sekitar

30.000 tahun SM. Sejak ditemukannya sejumlah gambar prasejarah pada dinding gua

di Lascaux, selatan Perancis. Gambaran tersebut melukiskan aksi-aksi berburu dan

aktivitas religius, sehingga acapkali hal ini disebut sebagai bentuk awal dari seni

mural.3 Pada zaman tersebut mural digunakan sebagai sarana mistik maupun spiritual

untuk membangkitkan semangat berburu. Mural dilukiskan dengan cara mengukir,

1

Mural berasal dari bahasa latin Murus yang berarti dinding. Dalam KBBI online Mural berarti lukisan pada dinding. Sumber : http://kbbi.web.id/mural (akses: 20/9/14)

2

Mikke Susanto. Diksi Rupa, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 76 3

(27)

menatah, dan melukis menggunakan cat air yang terbuat dari sari buah limun, dan

biasanya berbentuk manusia atau hewan.

Seiring perkembangan zaman dan peradaban manusia, mural mengalami

transformasi dari sebuah media ritual menjadi salah satu kaya seni pelengkap elemen

ruang seperti; dinding, langit-langit, dan permukaan datar lainnya. Seni pelengkap

elemen ini digadang-gadang telah muncul pada Loggia4 di kota Pompeii, yaitu suatu

ruang terbuka yang berada di dalam badan ruang bangunan.

Pada masa kerajaan Romawi, mural menjadi salah satu identitas keindahan

dari segi arsitektur bangunan. Selain sebagai identitas, mural juga melambangkan

semangat spiritualitas kaum Katolik Roma. Mural yang bersifat spiritual

menghidupkan imajinasi dari adanya kehidupan setelah kematian.5

Seni mural mulai berkembang sebagai seni modern yang bersifat sosial politik

di tahun 1920-an di Mexico, saat itu pelopornya adalah Diego Rivera, Jose Clemente

Orozco dan David Alfaro6. Namun, Cikal bakal mural politik yang dibuat pada

4

Loggia merupakan ruang atau gedung dengan sisi terbuka yang membentang di sepanjang bagian depan atau di samping bangunan. (sumber: http://artikata.com/arti-109045-loggia.html, akses 20/9/14).

5

Mario Sironi. Manifesto of Mural Painting. Art in Theory 1900-1990: Anthology of Changing Ideas. Eds Charles Harrison and Paul Wood. (Oxford: Blackwell Publishing, 2007), h.107.

6

Diego Rivera yang lahir pada tahun 1886 ini adalah salah satu tokoh pemimpin gerakan mural di Mexico tahun 1920-an. Ia seorang anggota Partai Komunis di Mexico. Karya mural politiknya sangat terkenal di Mexico. Sasaran yang biasa dituju dari karyanya tersebut adalah semacam penguasa, gereja, dan kapitalisme.

Jose Clemente Orozco lahir pada tahun 1883, lebih muda tiga tahun dari Diego Rivera. Ia seorang pelukis dari Mexico yang terkenal berani dalam membuat karyanya. Ia juga dikenal sebagai muralis yang kompleks, tema yang lebih disukai adalah tentang penderitaan manusia tetapi kurang realistik dan lebih tertarik dengan apa yang dibuat oleh Diego Rivera.

(28)

dinding terbuka muncul ketika Pablo Picasso telah menyelesaikan lukisan yang

berjudul Guernica7 dengan menggunakan media berupa sebidang kanvas yang

besarnya menyerupai dinding, dan di dalam lukisan tersebut, bercerita tentang perang

sipil di Spanyol.8 Namun, lukisan yang menyuarakan tentang kritik sosial dan politik

ini dibawakan dengan gambar yang humoris, sehingga kesan yang tergambarkan

bersifat sindiran ataupun ejekan. Hal ini dilakukan sebagai cara untuk menghindari

bentrokan dengan otoritas setempat.9

Lukisan tersebut menjadi titik awal cikal bakal munculnya mural politik.

Sejak saat itulah beberapa negara yang sedang mengalami konflik menggunakan

media mural sebagai bentuk penyampaian sebuah pesan yang mengandung kritik

ataupun sebagai alat propaganda kepada audiens yang menyaksikannya. Beberapa

negara yang menggunakan mural sebagai media untuk menyampaikan pesan kritik

ataupun propaganda politik, seperti; tembok Berlin di Jerman, Amerika Serikat,

Indonesia, Irlandia Utara, dan Palestina.

juga merupakan anggota dari Stalinis dan Partai Komunis di Mexico. Lihat Folgarait Leonard, Mural Painting and Social Revolution in Mexico, 1920-1940: Art of the New Order. (Cambridge University Press, 1998), h. 7-18.

Mereka bertiga adalah tokoh pendiri Mexican Muralism. 7

Guernica adalah lukisan karya Pablo Picasso yang diciptakan untuk menanggapi pemboman di Guernica, nama sebuah desa di wilayah Basque, Spanyol Utara, oleh pesawat tempur Jerman dan Italia atas perintah pasukan Nasionalis Spanyol, selama perang saudara Spanyol pada tahun 1937.

8

Rudolf Arnheim. The Genesis of a Painting: Picasso's Guernica, (London: University of California Press, 1973), h. 43.

9

(29)

B. Politik Mural di Beberapa Negara

Seperti yang telah penulis katakan di atas bahwa mural merupakan salah satu

genre dari seni visual. Seni selalu dihubungkan dengan estetika pada setiap kajiannya.

Di dalam estetika ini, seni sering mencangkup nilai elok, molek, cantik, anggun,

bagus, lembut, utuh, seimbang, padu, hening, terang, hampa, suram, dinamik, kokoh,

hidup, gerak, dan tragis. Pada intinya nilai estetika ini ingin mengisyaratkan bahwa di

dalam seni tersebut terdapat sebuah persentuhan selera, pemahaman, dan kepekaan

untuk membedakan serta mengapresiasikan makna dari suatu karya manusia yang

mengakibatkan tumbuhnya perasaan-perasaan bagi para audiens yang melihatnya.10

Seni dalam hal ini mural, telah banyak digunakan sepanjang sejarah hidup

manusia sebagai media untuk mengekspresikan keadaan sosial, keyakinan, maupun

yang berhubungan dengan politik dan pemberontakan. Semua ekspresi tersebut

sengaja ditunjukkan untuk tampil di hadapan publik. Mural yang dibuat sebagai

bentuk kritik atau perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, dinilai lebih

efektif sebagai media komunikasi dua arah yakni, visual-verbal terhadap masyarakat.

Alasannya karena media semacam ini lebih terlihat menarik untuk disaksikan

ketimbang dengan membacanya pada sebuah artikel koran yang mungkin bagi

sebagian orang menjenuhkan.

Di era modern seperti sekarang, mural dapat kita ibaratkan sebagai sebuah

status pada jejaring sosial yang berguna untuk menuliskan segala macam ekspresi hati

10

(30)

dan perasaan yang bersifat resistensi, penghentian blokade atau perang, pemenuhan

hak, rasisme, dan lain-lain yang bersifat pengaduan terhadap fenomena ketidakadilan.

Beberapa negara yang menggunakan mural sebagai media resistensi rakyat antara

lain:

1. Mural di Jerman

Tembok Berlin di Jerman adalah salah satu tembok di dunia yang banyak

menyimpan sejarah. Inilah bukti dari kebebasan terhadap dinding pembatas. Tidak

hanya menyimpan sejarah, namun tembok ini juga menjadi sarana kreativitas

masyarakat. Tidak heran jika tembok ini dijuluki East Side Gallery. Hal ini karena

berbagai mural warna-warni dan graffiti yang menggambarkan kehidupan politik,

ketegangan, serta pengorbanan manusia di masa lalu menyelimuti setiap sudut

dinding.

Tembok Berlin menjadi dikenal sebagai dinding mural, gambar dan lukisan di

tembok Berlin muncul di sisi barat pada periode antara tahun 1960-an dan 1980-an.

Beberapa gambar mural cenderung berisikan tentang cinta ataupun penghinaan.

Tembok Berlin terbuat dari dinding beton yang pada dasarnya didirikan pada tahun

1961 oleh Republik Demokratik Jerman (GDR)11 yang memisahkan Berlin Barat dan

11

(31)

Berlin Timur serta daerah Jerman Timur lainnya sehingga membuat Berlin Barat

terlihat seperti enklave.12 Dinding pemisah tersebut menjadikannya simbol dari

Perang Dingin. Tembok pembatas ini juga dibarengi dengan pendirian menara

penjaga yang dibangun sepanjang tembok, terdapat pula sebuah daerah terlarang

yang diisi dengan ranjau anti kendaraan. Jerman Timur beralasan bahwa tembok ini

dibangun untuk melindungi para warganya dari elemen-elemen fasis yang dapat

memicu gerakan-gerakan besar, sehingga mereka dapat membentuk pemerintahan

komunis di Jerman Timur. Meski begitu, dalam praktiknya ternyata tembok ini

digunakan untuk mencegah semakin besarnya pelarian penduduk Berlin Timur ke

wilayah Berlin Barat, yang berada dalam wilayah Jerman Barat.13

Pemerintah kota Jerman Barat pada kesempatannya acapkali mengatakan

bahwa Tembok Berlin adalah Tembok Memalukan, sebutan tersebut dicetuskan oleh

Walikota Willy Brandt untuk mengutuk keberadaan tembok ini karena membatasi

kebebasan bergerak.14 Gerakan protes dari para mahasiswa di akhir tahun 1960-an

menjadikan awal dari peran dinding tersebut sebagai media protes sosial. Pada

awalnya permukaan dinding tersebut masih tidak rata, sehingga pada saat itu bagi

sebagian orang yang ingin mencoba menulis di Tembok Berlin tidak dapat berbuat

banyak, melainkan hanya dapat membuat sebuah tulisan atau gambar yang sangat

12

Menurut KBBI oneline enklave adalah negara atau bagian negara yang dikelilingi oleh wilayah dari suatu negara lain. (sumber: http://kbbi.web.id/enklave ,akses: 22/9/14).

13

David Childs. The Fall of the GDR, (London: Longman, 2001), h. 44. 14

(32)

sederhana.15 Renovasi yang dilakukan oleh pemerintah GDR di pertengahan tahun

1970-an, sehingga mengubah sisi permukaan tembok tersebut benar-benar terlihat

halus ibarat sebuah kanvas yang memudahkan seseorang untuk membuat semacam

goresan, khususnya permukaan tembok bagian Barat. Dan pada saat yang sama,

goresan tersebut menjadi simbol akan jendela kebebasan Barat dan monumen

kesaksian memalukan dari dekadensi Barat.16

Kreutzberg, merupakan wilayah yang paling dekat dengan tembok dan

terkenal akan muralnya. Pada periode kemunduran perang dingin, wilayah tersebut

secara bertahap ditinggal pergi oleh penduduk aslinya. Akibatnya, wilayah tersebut

dihuni oleh seniman tunawisma, punk, dan massa anarkis sebagai gantinya. Mereka

biasa membuat mural di tembok tersebut dan meninggalkan pesan pribadi berupa

slogan-slogan politik dan gambar.17

Pada tahun 1970-an dan 1980-an terdapat beberapa kompetisi untuk

proyek-proyek seni lukis yang terorganisir. Banyak karya seni yang diusulkan pada

kompetisi tersebut, dengan mempopulerkan gambar simbolis perlawanan terhadap

dinding seperti; tangga, lubang, ritsleting, dan bahkan figur manusia yang sedang

melompati tembok.18 Meskipun kompetisi ini dilakukan oleh para seniman

profesional, namun aksi ini tidak mempunyai tujuan sebagai bentuk penghias tembok

(Chicago: the University of Chicago Press, 1997), h. 27.

17

Ladd Brian. The Ghosts of Berlin: Confronting German History in the Urban Landscape, h, 41.

18

Greverus Maria, “Poetics with Politics. Towards an Anthropology of the Own”,

(33)

melainkan sebagai bentuk kritik dan protes terhadap keberadaan tembok yang

membatasi hak keberadaan rakyat untuk berpindah tempat. Mural tersebut seakan

memberikan saran dan cara bagi seseorang yang ingin melewati dinding, yaitu

dengan cara melompatinya, menggali lubang, atau bahkan terbang di atasnya.19

Kini tembok sepanjang 1,3 kilometer tersebut menjadi saksi bisu atas sejarah

kebebasan bangsa Jerman di masa lalu. Tidak hanya sebagai saksi dari sebuah

sejarah, Tembok Berlin pun kini telah menjadi objek wisata yang banyak dikunjung

oleh para wisatawan mancanegara.

2. Mural di Amerika Serikat

Mural modern mulai dikenal di Amerika Serikat sebagai sebuah budaya seni

visual ketika orang pertama kali melihat bahwa seseorang sedang menulis kata

“TAKI 183”20 di setiap

subway stop di New York sekitar tahun 1970.21 Namun

sebelumnya, sekitar akhir tahun 1960-an mural sudah diperkenalkan di Amerika

Serikat. Mural pada saat itu digunakan sebagai bentuk ekspresi jiwa aktivis politik,

dan juga sebagai penanda wilayah oleh beberapa kelompok seperti Savage Skulls, La

Familia, dan Savage Nomans.

19

Baker Frederick, The Berlin Wall P. Ganster & D. E. Lorey (eds.) Borders and Border Politics in a Globalizing World, (Oxford: SR Books, 2005), h. 34.

20

Taki 183 adalah salah satu penulis grafiti paling berpengaruh dalam sejarah. “Tag”-nya adalah sebuah singkatan dari kata Demetraki, yang berasal dari bahasa Yunani yaitu Demetrius, dan nomor 183 berasal dari alamatnya , Jalan 183 di Washington Heights. Lihat Joel Siegal, “When TAKI Ruled Magik Kingdom”, (Daily News, April 9, 1989).

21

(34)

Pada akhir tahun 1960-an telah terjadi kerusuhan tragis terhadap kaum kulit

hitam. Akibatnya, terjadilah penjarahan di pemukiman orang-orang kulit hitam

Amerika Serikat. Pada saat itu dinding pemisah antara kulit putih dan kulit hitam

begitu terasa. Hak-hak sipil sulit diterima oleh penduduk minoritas Amerika Serikat

khususnya warga kulit hitam, karena itu sebagian dari mereka berinisiatif untuk

melakukan perlawanan demi merebut kembali hak-hak mereka. Lima puluh tokoh

blues, jazz, dunia teater, politikus, agamawan, sastrawan, dan olahragawan,

umumnya dipilih untuk menjadi karakter dari beberapa kelompok seniman fotografer

dan pelukis.

William Walker dan OBAC Association22 menjadi salah satunya, dengan

menjadikan sebuah bangunan menjadi dinding aspirasi masyarakat kulit hitam untuk

menyatakan kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah. Bangunan tersebut

diberi nama Wall of Respect, yang bertujuan untuk mendefinisikan kembali dan

memberitahukan beberapa kejadian ketidakadilan yang dialami orang kulit hitam di

Amerika Serikat.

Ketegangan politik dan sosial yang berjalan tinggi di pemukiman orang-orang

kulit hitam, menjadikan Wall of Respect menjadi tren positif masyarakat sebagai

sebuah media baru. Dengan segera dinding tersebut menunjukkan korelasi langsung

dengan perjuangan hak-hak sipil. Wall of Respect juga menjadi obyek wisata yang

22

(35)

dikunjungi oleh ratusan orang yang penasaran untuk berbagi pandangan mereka

dengan para seniman. Dinding tersebut didukung dan dilindungi langsung oleh geng

di lingkungan setempat. Dinding menjadi tempat yang netral, simbol kebanggaan

menjadi hitam, tempat pertemuan di mana orang mengajarkan anak-anaknya sejarah

kulit hitam Amerika Serikat.23

Selain Wall of Respect, di tahun 1969 juga terdapat kasus yang sama. Yaitu

sebuah bangunan tua yang disulap menjadi dinding aspirasi, dikenal dengan nama

Wall of Truth. Gambar dari mural di Wall of Truth memperihatkan kondisi

masyarakat tentang kelaparan, kemiskinan, kekerasan xenophobia24, perjuangan, dan

solidaritas etnis.25

3. Mural di Irlandia Utara

Mural telah menjadi simbol Irlandia Utara, yang menggambarkan perpecahan

politik dan agama dari dulu hingga sekarang. Irlandia Utara merupakan salah satu

bagian dari Britania Raya. Konflik Irlandia Utara memiliki latar belakang yang

sangat panjang secara historis. Etnis Kelt yang mendiami kepulauan Britania

termasuk pulau Irlandia, saat itu dikuasai oleh kekaisaran Romawi kemudian bangsa

Romawi mewariskan peradaban dan kebudayaannya kepada orang-orang Kelt di

23

Laetitia Espanol. The Chicago Mural Group, Art society, (Boston: Editions L’Harmattan, 2006), h, 55.

24

Xenofobia adalah perasaan ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain, atau yang dianggap asing. Beberapa definisi menyatakan xenofobia terbentuk dari keirasionalan dan ketidak masuk akalan. Berasal dari bahasa Yunani xenos, artinya orang asing, dan phobos, artinya ketakutan. Lihat Guido Bolaffi. Dictionary of race, ethnicity and culture, (London: SAGE Publications, 2003). h. 332.

25

(36)

kepulauan Britania, termasuk agama Katolik Roma. Pada abad ke-5 kekaisaran

Romawi runtuh dan menyebabkan mereka pergi meninggalkan kepulauan Britania,

setelah itu kemudian bangsa Anglo menginvasi kepulauan Britania. Itulah awal

terjadinya permusuhan yang berujung pada konflik etnis, antara Kelt dan Anglo.

Kepulauan Britania yang telah diwarisi oleh peradaban dan kebudaan Romawi,

akhirnya secara perlahan tersingkirkan oleh kebudayaan Anglo.26

Etnis Kelt yang tersebar di kepulauan Britania secara perlahan menjadi

terpusat di wilayah pulau Irlandia. Dari cikal bakal itulah maka etnis Kelt lahir

menjadi orang-orang Irish, sementara etnis Anglo menjadi cikal bakal lahirnya

orang-orang English.

Pada tahun 1592 kerajaan Inggris memutuskan untuk keluar dari struktur

Gereja Katolik Roma dan kemudian membuat Gereja Nasional. Namun, orang-orang

Irlandia tidak lantas mengikuti hal tersebut karena orang-orang Kelt masih banyak

terpengaruh oleh kebudayaan Romawi. Maka ketika terjadinya penutupan

gereja-gereja Katolik Roma akibat kebijakan kerajaan Inggris, orang-orang Katolik Roma

yang berada di Irlandia menjadi tidak simpatik terhadap Inggris, hal tersebut

berujung pada tindakan diskriminasi terhadap orang-orang Irlandia. Oleh sebab itu

orang-orang Irlandia menjadikan agama Katolik Roma mereka sebagai bentuk dan

sikap anti Inggris. Berawal dari alasan ini, maka lahirnya konflik yang bersifat

26

(37)

sentimen agama atau sektarianisme,27 ditambah lagi pada tahun 1690 William of

Orange (Protestan) memenangkan pertempuran terhadap James II (Katolik)28,

membuat kebencian mereka semakin kuat.

Hingga abad ke-19 kerajaan Inggris tetap memegang kekuasaan dan

orang-orang Katolik terus mengalami diskriminasi. Maka pada pertengahan abad ke-19

muncul benih-benih nasionalisme pada masyarakat Irlandia di mana nilai

kebanggaan kebangsaan masa lalu dikobarkan untuk bersatu melawan dominasi

Inggris. Pada tahun 1921 Inggris memutuskan untuk menyetujui didirikannya Irish

Free State (Negara Irlandia Merdeka), akan tetapi Inggris tetap berkuasa atas

sebagian pulau Irlandia dengan tetap menguasai Ulster (wilayah Irlandia bagian

utara) dengan dalih untuk melindungi hak rakyat yang tetap menginginkan berada di

bawah kekuasaan Inggris, karena wilayah tersebut merupakan tempat bermukimnya

orang-orang keturunan Inggris. Hal tersebut membuat peluang konflik menjadi

semakin besar, konflik antara orang-orang Nasionalis Irlandia yang menginginkan

pulau Irlandia merdeka secara penuh dan membebaskan Ulster dari Inggris, dengan

orang-orang Ulster yang bersikeras ingin tetap bergabung bersama Inggris.29

27

Richard Jenkins. Rethinking Ethnicity: Arguments and Explorations, (London: SAGE Publications, 1997) h. 120

28

Kemenangan Pangeran William menyebabkan James II melepaskan tanggung jawab dan melarikan diri ke Perancis pada akhir tahun. Hal tersebut memberikan efek mendalam bagi orang Irlandia. Penduduk asli Irlandia pada abad kemudian menjadi sasaran sistem hukum yang kejam. Sistem hukum tersebut mengakibatkan terjadinya pemblokiran kemajuan politik, ekonomi mereka dan membuat kaum tani tetap dalam kemiskinan. Lihat Richard Jenkins, Rethinking Ethnicity: Arguments and Explorations, (London: SAGE Publications, 1997) h. 141

29

(38)

Puncaknya, pada tahun 1966 terjadilah konflik di Irlandia Utara. Konflik

tersebut dipicu karena orang-orang Katolik yang tinggal di Irlandia Utara

diperlakukan secara diskriminatif, baik sosial, politik, dan ekonomi, oleh

orang-orang pemerintahan (Protestan). Irlandia Utara merupakan wilayah yang

mayoritasnya penganut paham Protestan dan orang-orang yang loyal terhadap

Inggris (Unionis), sementara orang-orang Katolik yang menginginkan Irlandia Utara

bebas dari Inggris (Nasionalis) menjadi minoritas di wilayah ini.30

Konflik sengit antara orang-orang Protestan dan Katolik di Irlandia Utara

dikenal dengan nama The Troubles. Konflik yang berlangsung beberapa dekade

tersebut memunculkan gambar-gambar dan slogan-slogan yang dibuat pada

dinding-dinding kota dan daerah pemukiman.31

Kemunculan lukisan-lukisan dinding di Irlandia berawal setelah seratus tahun

pertempuran Boyne, ketika sebuah organisasi dibentuk untuk merayakan

kemenangan Pangeran William. Beberapa pawai digunakan sebagai bentuk

penghormatan terhadap jasa Pangeran William yang mereka anggap sebagai sosok

manusia taat, mulia dan abadi, karena ia telah memberikan agama Protestan di

Irlandia. Kebebasan, agama, dan hukum adalah saksi keberhasilan Pangeran William

yang menjadikan kebanggaan orang-orang Protestan di Irlandia. Biasanya pawai

dilakukan oleh semua golongan Protestan di Irlandia, pawai tersebut berisi barisan

marching band dan spanduk. Spanduk dilukis dengan sangat cermat oleh para

30

Gordon Gillespie, Historical Dictionary of the Northern Ireland Conflict, (Amerika Serikat: scarecrow press), h. 250

31

(39)

seniman. Lukisan tersebut menunjukkan pemandangan kekuasaan kekaisaran

Inggris, cerita dari Alkitab, dan lainnya. Tapi gambar yang paling dominan adalah

sosok Raja Billy yang sedang menyeberangi Boyne dengan penuh kasih sayang di

atas kudanya.32

Pada awal abad ke-20 gambar-gambar tersebut mulai dipindahkan ke gable

dinding, di mana semua orang dapat melihat gambar tersebut setiap waktu bukan

hanya sekali dalam setahun pada saat hari perayaan. Beberapa tema lain juga dibuat,

seperti pertempuran Somme atau tenggelamnya kapal Titanic yang digambar di

Belfast. Tetapi gambar dari sosok Raja Billy tetap menjadi yang utama. Setiap

wilayah yang dihuni oleh kalangan Protestan selalu bersaing untuk menggambar

sosok Raja Billy dan Boyne.33

Sebelum terjadi partisi pada tahun 1921, mereka menaruh perhatian khusus

terhadap penduduk Unionis di Irlandia Utara yang sedang melakukan perayaan

sebagai bentuk solidaritas, setelah negara Irlandia Utara terbentuk dari pertumpahan

darah dan dibangun di atas diskriminasi. Mural telah menjelma menjadi sesuatu yang

sangat penting bagi masyarakat Unionis.

Tetapi di Irlandia Utara pada kuartal terakhir abad ke-20 merupakan tempat

yang sangat berbeda dari apa yang telah terjadi sebelumnya. Diskriminasi yang terus

dilakukan terhadap orang-orang Katolik, membuat para kaum Nasionalis (Katolik)

32

Bill Rolston. The War of The Walls: Political Murals in Northern Ireland. (Belfast: University of Ulster, 2003), h. 39.

33

(40)

melakukan aksi demonstrasi tentang hak-hak sipil. Namun, beberapa aktifis

kampanye hak-hak sipil dipukuli di jalanan, dan beberapa tentara Inggris juga

turunkan sebagai bentuk dari legitimasi negara runtuh. Administrator Inggris

menuntut politisi dan birokrat lokal bertindak adil dan inklusif, organisasi militer

yang loyal terhadap Inggris seperti Ulster Defence Association (UDA) dan Ulster

Volunteer Force (UVF) membantai penduduk Katolik dan Irish Republican Army

(IRA).34 Akibat dari kejadian itu aktivis pro-Irlandia menyatakan sikap perang

terhadap institusi Inggris di Irlandia. Mural yang pada awalnya berisikan gambar

Raja Billy untuk beberapa waktu digantikan dengan gambar hiasan bendera,

mahkota, Alkitab, dan simbol mati lainnya.35

Setelah IRA mengambil alih Irlandia Utara pada akhir tahun 1970-an, lukisan

mural dari pro-Irlandia (Nasionalis) mulai bermunculan. Mural tersebut muncul

untuk memperjuangkan suara politik yang lebih besar dan menyerukan bersatunya

kembali Republik Irlandia. Mural-mural yang dibuat oleh kaum Nasionalis lebih

bersifat perlawanan dan lebih mempunyai variasi genre yang beragam seperti, aksi

mogok makan dan lukisan para tokoh tahanan sebagai korban sistem pemerintahan

Inggris. Namun selain berisikan masalah internal, kaum Nasionalis juga membuat

mural yang bertemakan internasional. Tema tersebut berisikan dukungan dan rasa

simpatik mereka terhadap penderitaan berbagai kelompok global yang sedang

mengalami penindasan. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk solidaritas mereka

34

Bill Rolston. The War of The Walls : Political Murals in Northern Ireland, h, 41 35

(41)

terhadap negara atau kelompok yang juga sedang mengalami konflik.36 Mural

internasional berkaitan dengan peristiwa di Afrika Selatan, Nikaragua, dan Palestina,

serta lukisan mural dengan ikon tokoh global terkenal seperti Che Guevara, Nelson

Mandela, Martin Luther King, dan Malcolm X.37

Berbagai tema menunjukkan bahwa mural produksi kaum Nasionalis

merupakan karya dari masyarakat pro-Irlandia yang meliputi kelompok-kelompok

komunitas, aktifis politik dan aktifis militer. Tidak seperti mural Unionis yang hanya

diperintahkan oleh kelompok sipil bersenjata yang mendominasi daerah setempat.

Selain itu, mural produksi kaum Nasionalis juga banyak berisikan opini publik dari

para muralis.

Sejak saat itulah mural kaum Nasionalis Irlandia Utara telah berkembang

menjadi simbol keyakinan, bahwa waktu berada di pihak mereka. Meskipun

merupakan pendatang baru dalam proses pembuatan mural, namun mural mereka

lebih memiliki visi dan keyakinan akan terjadinya sebuah perubahan yang tidak

dapat dihindarkan, sehingga menampilkan sikap kepercayaan diri dan kegembiraan

yang terlihat jelas.

4. Mural di Palestina

Beberapa kasus di negara-negara tersebut merupakan contoh bagaimana seni

mural memainkan peran lebih dari sekedar pengantar pesan singkat yang sederhana.

36

Bill Roston. “The Brothers on The Walls : International Solidarity and Irish Political Mural”, Jurnal of Black Studies, vol 39, no.3, (Northern Ireland : University of Ulster, 2009), h. 451

37

(42)

Mural menunjukkan tampilan aspek budaya dan sejarah dengan cara komunikasi dua

arah antara gambar dengan audiens. Di Palestina sendiri, selama Intifadha pertama

mural telah mengubah dinding-dinding jalan dan bangunan menjadi monumen

kesaksian atas pergolakan yang terjadi selama masa pendudukan Israel.

Perlawanan Israel terhadap perjuangan nasionalisme Palestina telah muncul

sejak 1967 silam. Di wilayah pendudukan, mereka membuat kebijakan untuk tidak

mentolerir tanda-tanda visual nasionalisme Palestina. Salah satu metode efektif yang

digunakan rakyat Palestina selama intifada adalah dengan menggunakan dinding.38

Ini merupakan cara untuk mengedarkan informasi dan melambangkan perlawanan.

Israel mencoba menekan tindakan seperti ini, mereka memerintahkan warga Palestina

agar tidak melukis dinding dengan tema nasionalistik. Dunia pers melihat insiden

tentara Israel ini dinilai menarik, rakyat Palestina akan berada di bawah todongan

senjata Israel untuk mengecat ulang dinding yang telah dilukis.39 Ini merupakan

gambaran bahwa sebuah pemerintahan yang demokratis akan merasa terancam oleh

gambar visual yang diekspresikan melalui mural.

Kepemimpinan Palestina percaya akan keefektifan dari seni jalanan tersebut,

selanjutnya gerakan bawah tanah memberikan perintah kepada anggotanya untuk

menggerakkan para pemuda Palestina melakukan kampanye lukisan bendera

Palestina pada setiap dinding pada bangunan-bangunan di wilayah pendudukan yang

secara simbolis hal ini menandakan sebagai wilayah Palestina.

38

Julie Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, No. 2. May, 1996) h. 139.

39

(43)

Selang beberapa waktu ketika perlawanan graffiti mulai popular di kalangan

rakyat Palestina, mereka selanjutnya mengembangkan dinding menjadi seperti sistem

media massa. Pembahasan isu serta dengungan peringatan, mewarnai bentuk

perlawanan nonfisik ini dan keberadaan mereka pun dapat membuat Israel merasa

terusik. Akibatnya, Israel berusaha menutupi layar dinding tersebut. namun secepat

mereka menutupinya, secepat itu pula mural baru kembali muncul.40

Menjelang masa intifadha pertama berakhir, dinding selain sebagai bentuk

perlawanan nasional dan media massa, juga sebagai media pembaca konflik

kepemimpinan internal Palestina. suatu organisasi Islam seperti Hamas dan organisasi

nasionalis seperti PLO atau Fatah, saling serang menyerang masalah ideologi serta

kepemimpinan Palestina. Mereka menggunakan dinding sebagai sumber sirkulasi

informasi kepada khalayak luas. Terlepas dari hal itu, dalam menilai seni jalanan

selama Intifadha, adanya respon Israel telah membuktikan keefektifan perlawanan

non-fisik tersebut. Namun, strategi non-fisik bukan menjadi hal baru bagi rakyat

Palestina. Pada periode sebelum Intifadha dimulai, perlawanan non-fisik telah turut

mewarnai perjuangan Palestina untuk melengserkan pendudukan Israel.

40

(44)

BENTUK BARU RESISTENSI PALESTINA

A. Palestina

Palestina (Arab: Filastin) merupakan wilayah yang terletak di kawasan Asia

Barat, di antara laut Mediterania dan laut Yordan. Palestina di dalam ajaran Yahudi

disebut dengan istilah “Tanah yang dijanjikan” atau ada juga yang menyebutnya

“Tanah suci”, karena Palestina merupakan tempat dari tiga agama besar di dunia

yaitu: Islam, Kristen dan Yahudi. Secara historis wilayah ini juga dikenal dengan

nama-nama seperti; Kanaan, Suriah Selatan dan Kerajaan Yerusalem.1 Palestina juga

terletak di daerah yang amat strategis yaitu antara Mesir, Suriah dan Jazirah Arab.

Karena lokasinya terletak di pertengahan negara-negara Arab, Palestina membentuk

kombinasi geografis yang natural dan humanistik bagi medan terestrial yang luas.

Tanah Palestina mempunyai keistimewaan dibanding dengan daerah lain,

karena Palestina merupakan bagian dari tempat bercokolnya semua agama samawi,

tempat di mana peradaban kuno muncul, menjadi jembatan aktivitas komersial dan

tempat penyusupan ekspedisi militer di sepanjang era bersejarah yang berbeda.

Lokasi strategis yang dinikmati Palestina memungkinkannya untuk menjadi faktor

penghubung antara berbagai benua : Asia, Afrika dan Eropa.2 Palestina juga menjadi

tempat yang dijadikan pintu masuk bagi perjalanan ke negara-negara tetangga. Ia

1

Simon S. Montefiore. Jerusalem: The Biography. (New York: Alfred A. Knopf, 2011), h. 33. 2

(45)

menjadi jembatan penghubung bagi manusia sejak dahulu, sebagaimana ia juga

menikmati lokasi sentral yang memikat sebagian orang untuk bermukim dan hidup

dalam kemakmuran.

Namun dibalik letaknya yang strategis, bukan rahasia umum lagi bahwa dari

dahulu hingga kini wilayah Palestina selalu menjadi perebutan. Palestina telah

dikuasai oleh berbagai bangsa, yaitu : Mesir Kuno, bangsa Kanaan, Bani Israil,

Assyiria, Babilonia, Farsi, Yunani Kuno, Romawi, Romawi Timur, Kekhalifahan

Arab Sunni, Kekhalifahan Fatimiyah Syi’ah, Salibi, Ayyubiyah, Mamluk, Turki

Utsmani, Britania (Inggris Raya) dan yang terkini Pendudukan tanah Palestina oleh

bangsa Israel, yang menyatakan berhak atas tanah Palestina.

B. Konflik Palestina – Israel

Konflik antara orang Arab Palestina – Israel merupakan sebuah fenomena

modern yang muncul sejak akhir abad ke-19 Masehi. Meskipun kedua kelompok

memiliki kepercayaan yang berbeda (Palestina: Muslim, Kristen, dan Druze),

perbedaan agama bukanlah penyebab perselisihan.3 Sebab konflik dimulai dengan

alasan kepemilikan hak atas tanah, sehingga terjadilah perebutan terhadap tanah

tersebut.

Konflik berawal ketika gerakan Zionisme atau nasionalisme Yahudi yang

dipopulerkan oleh seorang jurnalis berkebangsaan Austria bernama Theodore Herzl,

3

(46)

mulai marak di Eropa sebelum tahun 1920-an.4 Gerakan ini menyebabkan terjadinya

perpindahan masyarakat Yahudi dari Eropa ke kawasan Timur Tengah. Sementara

pada saat itu, kawasan Timur Tengah termasuk wilayah Israel atau Palestina (pada

saat ini) masih berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani. Eksistensi kekuasaan

Turki Utsmani di kawasan Timur Tengah berakhir setelah mengalami kekalahan pada

Perang Dunia I. Kekalahan tersebut tidak hanya disebabkan oleh Inggris atau

Perancis, melainkan juga oleh bangsa Arab sendiri. Bangsa Arab yang berada di

bawah kekuasaannya (baca: Turki Utsmani) melakukan pemberontakan kepada

pemerintahannya sendiri. Hal tersebut dilakukan dengan dalih janji Inggris, bahwa

Inggris akan membantu mereka untuk membentuk sebuah pemerintahan Arab yang

independen apabila mereka mau melawan pemerintahan Turki Utsmani. Janji Inggris

kepada bangsa Arab ini tertuang dalam korespondensi antara Sir Mac Mahon (pejabat

Inggris di Kairo) dengan Sharif Hussein (tokoh bangsa Arab) yang dikenal dengan

Hussein-Mac Mahon Correspondence.5

Akan tetapi, janji Inggris terhadap bangsa Arab tersebut tidak segera

diwujudkan. Inggris bersama dengan Perancis justru membuat perjanjian bilateral

yang membagi eks-wilayah pemerintahan Turki Utsmani untuk negara-negara Eropa.

Perjanjian ini dikenal dengan sebutan Sykes-picot Agreement. Dalam perjanjian

tersebut, Inggris mendapatkan Yordania, Irak, dan sebagian wilayah Haifa, sedangkan

Perancis mendapatkan wilayah Turki, Irak bagian utara, Suriah dan Lebanon.

4

R. Garaudy, The Case of Israel: a Study of Political Zionism, (London: Shorauk, 1983), h. 4 5

Gambar

gambar yang sering muncul adalah kepalan tangan, tanda V, senapan, bendera
Gambar 2.2. Pameran galeri Reina Sophia di Madrid, Spanyol. Pengunjung
gambaran dengan beberapa tahanan yang sedang menanti datangnya kebebasan

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya permintaan, penawaran,dan harga terhadap suatu produk, maka perlu dicari solusi pengelolaan produksi tersebut agar dapat diketahui jumlah produksi yang diperlukan

Langkah- langkah yang diambil dalam evaluasi ini adalah (1) memilih struktur, sistem, clan komponen yang termasuk dalam lingkup perawatan (2) menetapkan clan mengaplikasikan

Analisis Gambaran Umum Kondisi Daerah Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Evaluasi Kondisi Perekonomian & Keuangan Daerah Persiapan Penyusunan RKPD Pengolahan Data

adanya keseimbangan antara ganti keruguian yang dibayarkan oleh penanggung dengan kerugian yang diderita oleh pihak tertanggung yang merupakan tujuan dari asuransi itu

pengalaman diantara organisasi perintis dalam mitigasi bencana pengalaman diantara organisasi perintis dalam mitigasi bencana baik didalam ITB maupun di tingkat nasional dan

Gunakan bahan yang tidak mudah terbakar seperti vermikulit, pasir atau tanah untuk menyerap produk ini dan.. tempatkan dalam kontainer untuk

Sindhu [6] telah meneliti komposit polimer yang diperkuat serat sabut kelapa pada kondisi yang berbeda dan dibandingkan dengan serat E glass, hasil penelitian tersebut

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua