• Tidak ada hasil yang ditemukan

Insidensi Interaksi Obat Pada Pasien Lansia dengan Terapi Polifarmasi di Puskesmas Pamulang Periode Januari 2011 - Maret 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Insidensi Interaksi Obat Pada Pasien Lansia dengan Terapi Polifarmasi di Puskesmas Pamulang Periode Januari 2011 - Maret 2011"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

LANSIA DENGAN TERAPI POLIFARMASI

DI PUSKESMAS PAMULANG

PERIODE JANUARI 2011 - MARET 2011

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

Disusun Oleh :

Santiko Restuadhi

NIM: 108103000064

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

ii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 24 November 2011

(3)

iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

INSIDENSI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN LANSIA DENGAN

TERAPI POLIFARMASI DI PUSKESMAS PAMULANG PERIODE

JANUARI 2011- MARET 2011

Laporan Penelitian

Diajukan Kepada Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)

Oleh :

Santiko Restuadhi

NIM: 108103000064

Pembimbing 1 Pembimbing 2

dr. Alyya Shiddiqa, Sp.FK dr. Rahmania Diandini, MKK

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(4)

iv

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Laporan Penelitian berjudul INSIDENSI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN LANSIA DENGAN TERAPI POLIFARMASI DI PUSKESMAS

PAMULANG PERIODE JANUARI 2011- MARET 2011 yang diajukan oleh

Santiko Restuadhi (NIM:108103000064), telah diujikan dalam sidang di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan pada 24 November 2011. Laporan penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada Program Studi Pendidikan Dokter.

Ciputat, 24 November 2011

DEWAN PENGUJI Penguji I

Dr. Dede moeswir, SpPD

Penguji II

PIMPINAN FAKULTAS

Dekan FKIK UIN

Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tadjudin, SpAnd

Kaprodi PSPD FKIK UIN

(5)

v

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan limpahan rahmat dan hidayahNya serta izin dan petunjukNya pula maka Penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian yang merupakan pelengkap dalam rangkaian persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Kedokteran pada program Studi Pendidikan Dokter Fakultas kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Jakarta.

Penulisan laporan penelitian ini tidak luput dari bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr (hc). dr. M. K. Tadjudin, Sp.And,Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. H. Dr. dr. Syarief Hasan Lutfi selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter. 3. dr. Alyya Shidiqa Sp.FK. dan dr.Rachmania Diandini, MKK selaku Dosen

Pembimbing yang telah dengan sangat sangat sabar banyak menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan penelitian ini.

4. Bapak, Ibu, Enggar, Mbak warti dan keluarga besar penulis yang telah mambantu, mendoakan dan memberikan dukungan baik moril maupun materil. 5. Sahara Effendy, yang selalu menjadi sahabat terbaik dan penyelamat dalam

terselesaikannya penelitian ini.

6. Arini Retno Palupi, Ning Widya, Akbar Andriansah, Anaytullah, Abdul Majid, Roysam Azmal, Faris Elhaq, dan semua teman teman di PSPD yang telah banyak membantu penulis dalam penyusunan penelitian ini.

7. Netadea Aprina, yang senantiasa berada disisi penulis dan selalu membuat semua seakan akan terasa mudah bahkan ketika penulis menemui kesulitan. 8. Audria Gupitarini, Ananda Dwi Nur Apriliani, Gery Askamal, Putri Ratna,

(6)

vi

semua sahabat penulis dimanapun berada, yang selalu menjadi inspirasi bagi penulis.

Penulis berharap riset ini dapat bermanfaat terutama baik bagi penulis sendiri, maupun pihak-pihak yang membutuhkan informasi terkait.

(7)

vii

ABSTRAK

Santiko Restuadhi. INSIDENSI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN LANSIA DENGAN TERAPI POLIFARMASI DI PUSKESMAS PAMULANG

PERIODE JANUARI 2011 - MARET 2011. Angka harapan hidup yang

semakin meningkat telah menyebabkan peningkatan jumlah penduduk lanjut usia. Hal ini pada umumnya diikuti dengan peningkatan kejadian polifarmasi karena pada lanjut usia sering dijumpai penurunan kesehatan yang membutuhkan penanganan yang kompleks dan pengobatan yang beragam. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah kejadian peresepan obat lebih dari 5 (polifarmasi) pada pasien lansia di Puskesmas Pamulang periode Januari 2011 – Maret 2011 dan mengetahui berapa yang memiliki interaksi obat didalamnya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain deskriptif dengan variabel penelitian ada tidaknya interaksi obat menurut literatur. Sampel adalah pasien lansia yang mendapat resep 5 obat atau lebih dengan obat variasi 20 terbanyak diberikan. Dalam penelitian ini digunakan jenis data sekunder, bersumber dari data logbook harian puskesmas pamulang bulan janauari 2011 sampai maret 2011. Analisa data yang digunakan adalah analisa univariat. Ditemukan dari 860 pasien lansia , 185 (21,5%) diantaranya mendapatkan terapi polifarmasi. Dan dari 103 pasien polifarmasi, ditemukan kejadian 26 jenis interaksi yang tersebar pada 67 pasien (65% sampel)

Santiko Restuadhi. INCIDENCE OF DRUG INTERACTION IN ELDERLY PATIENTS WITH POLYPHARMACY AT PUSKESMAS PAMULANG

PERIOD JANUARY 2011 - MARCH 2011. The increase of life expectancy has

(8)

viii

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK/ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR BAGAN ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan Umum ... 3

1.3.2 Tujuan Khusus ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti ... 3

1.4.2 Manfaat Bagi Perguruan Tinggi ... 4

1.4.3 Manfaat Bagi Masyarakat ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Landasan teori ... 5

2.1.1 Lanjut usia dan penuaan ... 5

2.1.2 Perubahan Pada Lanjut Usia ... 6

2.1.3 Masalah Pada Lanjut Usia ... 7

(9)

ix

4.1 Karakteristik Penelitian ... 22

(10)

x

4.2.1 Penilaian Penggunaan 20 jenis obat ... 23

4.2.2 Interaksi Obat ... 24

4.2.3 Pembahasan Efek Interaksi Obat ... 26

4.3 Keterbatasan Peneletian ... 31

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN ... 32

5.1 Simpulan ... 32

5.2 Saran ... 32

(11)

xi

DAFTAR TABEL

No. Tabel Halaman

Tabel 3.1 Definisi opeasional ... 17

Tabel 4.1 Sebaran sampel terhadap populasi ... 22

Tabel 4.2 Sebaran kualitatif sampel ... 22

Tabel 4.3 Sebaran kualitatif sampel ... 22

Tabel 4.4 Persentase Penggunaan Obat ... 23

Tabel 4.5 Sebaran interaksi obat ... 24

Tabel 4.6 Sebaran kejadian kombinasi 2 obat dengan efek interaksi ... 25

(12)

xii

DAFTAR BAGAN

No.Bagan Halaman

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

(14)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di Indonesia terutama di bidang kesehatan dan ilmu kedokteran telah memberikan hasil positif yang salah satunya ditandai dengan peningkatan angka harapan hidup. Angka harapan hidup penduduk Indonesia berdasarkan data Biro Pusat Statistik menunjukan peningkatan yang signifikan dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Pada tahun 1968 angka harapan hidup adalah 45,7 tahun, angka ini terus meningkat tiap tahunnya hingga menjadi 64.05 tahun pada tahun 2000.1 Seiring dengan peningkatan angka harapan hidup tersebut, akan juga didapatkan penigkatan jumlah penduduk lanjut usia. Pada tahun 1980 penduduk lanjut usia baru berjumlah 7,7 juta jiwa atau 5,2 persen dari seluruh jumlah penduduk. Jumlah ini terus meningkat di seluruh Indonesia menjadi 15,1 juta jiwa pada tahun 2000 atau 7,2 persen dari seluruh penduduk. Dan diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi 29 juta orang atau 11,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia meningkat secara konsisten dari waktu ke waktu. 1

Menurut Darmojo, akan didapatkan berbagai konsekuensi dari peningkatan jumlah penduduk lanjut usia menyangkut masalah kesehatan, ekonomi, serta sosial budaya yang cukup dari pola penyakit sehubungan dengan proses penuaan, seperti penyakit degeneratif, penyakit metabolik, dan gangguan psiko‐sosial. 2

(15)

Demikian juga temuan studi yang dilakukan Lembaga Demografi Universitas Indonesia di Kabupaten Bogor tahun 1998, sekitar 74 persen lansia dinyatakan mengidap penyakit kronis. Tekanan darah tinggi adalah penyakit kronis yang banyak diderita lanjut usia, sehingga mereka tidak dapat melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari.4

Masalah kesehatan yang beragam pada individu lanjut usia memerlukan penanganan yang kompleks untuk mengatasinya, seperti dengan pemberian obat yang juga beragam pada individu tersebut (polifarmasi). Menurut literatur polifarmasi adalah penggunaan beberapa obat. Walaupun tidak ada jumlah pasti obat yang dikonsumsi untuk mendefinisikan polifarmasi, mayoritas menggunakan 3 sampai 5 obat per pasien.5 Polifarmasi biasanya terjadi pada pasien lanjut usia yang memiliki banyak masalah kesehatan , yang setiap masalahnya memerlukan terapi obat obatan.6

Polifarmasi adalah masalah bagi pasien lanjut usia karena dapat meningkatkan risiko efek samping. Sebuah studi di Belanda meneliti tentang insiden dan prevalensi adverse drug reaction pada pasien praktek umum menggunakan dua atau lebih obat secara bersamaan, ditemukan bahwa tingkat kejadian menjadi 5,5 per 100 pasien usia lanjut (> 64 tahun), dan tingkat prevalensi 6,1 per 100. Risiko adverse drug reaction sangat terkait dengan meningkatnya jumlah obat yang diminum.7 Polifarmasi juga meningkatkan risiko sindrom geriatrik (gangguan kognitif dan delirium, jatuh dan patah tulang pinggul, inkontinensia urin), dan penurunan status fungsional.6

Tidak hanya resiko efek samping, polifarmasi juga meningkatkan resiko terjadinya interaksi obat. Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat yang dapat mempengaruhi kondisi klinis pada pasien. Suatu interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu atau lebih zat yang berinteraksi.8

(16)

3

karena Puskesmas Pamulang merupakan Puskesmas yang sudah memiliki sistem pendataan yang cukup baik.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Berapa prevalensi pasien lanjut usia dengan terapi polifarmasi di Puskesmas Pamulang Januari 2011 - Maret 2011?

2. Berapa kejadian interaksi obat pada pasien lanjut usia dengan terapi polifarmasi di Puskesmas Pamulang Januari 2011 - Maret 2011?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

1. Diketahuinya prevalensi pasien lanjut usia dengan terapi polifarmasi di Puskesmas Pamulang Januari 2011 - Maret 2011.

2. Diketahuinya angka kejadian interaksi obat pada pasien lanjut usia dengan terapi polifarmasi di Puskesmas Pamulang Januari 2011 – Maret 2011.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya karakteristik usia dan jenis kelamin pasien lanjut usia dengan terapi polifarmasi di Puskesmas Pamulang Januari 2011 - Maret 2011.

2. Diketahuinya jenis obat tersering yang diberikan pada pasien lanjut usia dengan terapi polifarmasi di Puskesmas Pamulang Januari 2011 - Maret 2011.

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti

1. Menambah keterampilan bagi peneliti dalam melakukan penelitian. 2. Mengaplikasikan ilmu yang didapat selama menjalani pendidikan di

(17)

1.4.2 Manfaat bagi perguruan tinggi

1. Mewujudkan Tri Dharma perguruan tinggi dalam melaksanakan fungsi dan tugas perguruan tinggi sebagiai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

2. Mewujudkan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah sebagai universitas riset dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan. 3. Meningkatkan kerjasama dan komunikasi antara mahasiswa dan staf

pengajar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

4. Mendapatkan data awal tentang prevalensi pasien lanjut usia dengan terapi polifarmasi di Puskesmas Pamulang Januari 2011 - Maret 2011.

1.4.3 Manfaat bagi masyarakat

1. Meningkatkan kewaspadaan bagi para sejawat dalam peresepan pasien lansia.

2. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang resiko terdapatnya efek interaksi obat pada terapi polifarmasi

(18)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Lanjut Usia dan Penuaan

Definisi lanjut usia

Pengertian dan Pengelompokkan Lanjut Usia Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Ada beberapa pengertian yang menjadi batasan kelompok lansia. Pada pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.9 Jika mengacu pada usia pensiun, lansia adalah mereka yang telah berusia di atas 56 tahun. 10

Sedangkan, Munro dkk., (1987) mengelompokkan older elderly ke dalam 2 bagian, yaitu 75-84 tahun dan 85 tahun.10

Sementara itu, WHO membagi lansia atas tiga kelompok: 1. Kelompok middle age (45-59 tahun)

2. Kelompok elderly age (60-74 tahun) 3. Kelompok old age (75-90 tahun) 11

Maryam dkk. (2008), dalam bukunya Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya, menyebutkan ada 5 klasifiksi pada lansia, yakni:

1. Pralansia (prasenilis), adalah seseorang yang berusia 45-59 tahun. 2. Lansia, adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

3. Lansia risiko tinggi, adalah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/ seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan 4. Lansia potensial, adalah lansia yang masih mampu melakukan

pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa. 5. Lansia tidak potensial, adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah

(19)

2.1.2 Perubahan-perubahan pada lanjut usia

Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita.12 Proses menua merupakan proses yang terus menerus (berlanjut) secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya pada semua mahkluk hidup. Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun dari luar tubuh. 13

Bagi sebagian orang besar, proses manua adalah suatu proses perubahan klinikal yang didasarkan pada pengalaman dan observasi yang di defenisikan dengan ; (1) penuaan pada kemikal dengan manifestasi perubahan struktur kristal atau pada makromolekular, (2) penuaan ekstraseluler dengan manifestasi progresif pada jaringan kolagen dan jaringan elastis atau kekurangan amiloid, (3) penuaan intraseluler dengan menifestasi perubahan komponen sel normal atau akumulasi substansi dan (4) penuaan pada organisme.13

Pada lansia sering terjadi komplikasi penyakit atau multiple penyakit. Hal ini di pengaruhi berbagai faktor, terutama oleh perubahan-perubahan dalam diri lansia tersebut secara fisiologis. Lansia akan lebih sensitif terhadap penyakit seperti terhadap nyeri, temperatur, dan penyakit berkemih.14

Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia :

a. Perubahan – perubahan fisik meliputi perubahan sel, sistem pernafasan, sistem pendengaran, sistem penglihatan, sistem cardiovaskuler, sistem pengaturan temperatur tubuh, sistem respirasi, sistem pencernaan, sistem genitourinaria, sistem endokrin, sistem kulit dan sistem muskuloskletal. Perubahan yang terjadi pada bentuk dan fungsi masing – masing.

(20)

7

c. Perubahan – perubahan psikososial: Pensiun dimana lansia mengalami kehilangan finansial, kehilangan status, kehilangan teman, dan kehilangan pekerjaan , kemudian akan merasakan atau sadar terhadap kematian, perubahan cara hidup, penyakit kronik dan ketidakmampuan, gangguan gizi akibat kehilangan jabatan dan hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik yaitu perubahan terdapat konsep diri dan gambaran diri.13

d. Perkembangan spiritual: Agama dan kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya.13

e. Perubahan minat: Terdapat hubungan yang erat antar jumlah keinginan dan minat orang pada seluruh tingkat usia dan keberhasilan penyesuaian mereka.13 Keinginan tertentu mungkin di anggap sebagai tipe keinginan dan minat pribadi, minat untuk berekreasi keinginan sosial, keinginan yang bersifat keagamaan dan keinginan untuk mati.15

2.1.3 Masalah - masalah pada lanjut usia

Secara individu, pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah fisik baik secara fisik-biologik, mental maupun sosial ekonomis. Dengan semakin lanjut usia seseorang, mereka akan mengalami kemunduran terutama di bidang kemampuan fisik, yang dapat mengakibatkan penurunan pada peranan-peranan sosialnya. Hal ini mengkibatkan pula timbulnya gangguan di dalam hal mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga dapat meningkatkan ketergantunga yang memerlukan bantuan orang lain.

Lanjut usia tidak saja di tandai dengan kenunduran fisik, tetapi dapat pula berpengaruh terhadap kondisi mental. Semakin lanjut seseorang, kesibukan sosialnya akan semakin berkurang hal mana akan dapat mengakibatkan berkurangnya integrasi dengan lingkungannya. Hal ini dapat memberikan dampak pada kebahagiaan seseorang 16

(21)

2.1.4 Penuaan

Teori – teori penuaan ada 2 jenis yaitu teori biologis dan teori psikologis. Teori biologis meliputi teori seluler, sintesis protein, sintesis imun, teori pelepasan, teori aktivitas, dan teori berkelanjutan.17

2.1.5 Teori biologis

Teori seluler mengemukakan bahwa sel di program hanya untuk membelah pada waktu yang terbatas serta kemampuan sel yang hanya dapat membelah dalam jumlah yang tertentu dan kebanyakan diprogram membelah sekitar 50 kali. Jika sebuah sel pada lanjut usia dilepas dari tubuh dan di biakkan dari laboratorium, lalu diobservasi, jumlah sel yang akan membelah akan terlihat sedikit, pembelahan sel lebih lanjut mungkin terjadi untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan sesuai dengan berkurangnya umur. 17

Teori sintesis protein mengemukakan bahwa proses penuaan terjadi ketika protein tubuh terutama kolagen dan elastin menjadi kurang fleksibel dan kurang elastis. Pada lanjut usia, beberapa protein di buat oleh tubuh dengan bentuk dan struktur yang berbeda dari pritein tubuh orang yang lebih muda. Banyak kolagen pada kartilago dan elastin pada kulit yang kehilangan fleksibilitasnya serta menjadi tebal, seiring dengan bertambahnya usia.17

Teori sistem imun mengemukakan bahwa kamampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa penuaan dan mengakibatkan terjadinya peningkatan infeksi, penyakit autoimun, dan kanker. Terdapat juga perubahan yang progresif dalam kemampuan tubuh untuk berespon secara adaptif (Homeostasis), seiring dengan pengunduran fungsi dan penurunan kapasitas untuk beradaptasi terhadap stres biologis dehidrasi, hipotermi, dan proses penyakit akut dan kronik. 17

Teori Pelepasan. Teori ini memberikan pandangan bahwa penyesuaian diri lanjut usia merupakan suatu proses yang secara berangsur – angsur sengaja di lakukan mereka dengan mengurangi aktivitasnya untuk bersama – sama melepaska diri atau menarik diri dari masyarakat. 17

(22)

9

mereka secara bertahap mengisi waktu luangnya dengan melakukan aktivitas lain sebagai kompensasi dan penyesuaian. dengan kata lain sebagai orang yang telah berumur, mereka meninggalkan bentuk aktivitas yang pasti dan mengkompensasikan dengan melakukan banyak aktivitas yang baru untuk mempertahankan hubungan antara sitem sosial dan individu daru usia pertengahan kelanjut usia. 17

Teori Berkelanjutan. Teori ini menjelaskan bahwa sebagaimana dengan bertambahnya usia, masyarakat berupaya secara terus menerus mempertahankan kebiasaan, pernyataan, dan pilihan yang tepat sesuai dengan dnegan kepribadiannya.17

2.1.6 Penuaan dan sensitifitas obat

Pasien lansia lebih beresiko terhadap kejadian efek samping obat (Adverse Drug Event), karena penuaan menyebabkan perubahan fisiologis yang membuat tubuh lebih sensitif terhadap efek obat. Perubahan ini mempengaruhi baik farmakokinetik dan farmakodinamik.18

Penuan dapat mempengaruhi farmakokinetik, yakni absorbsi, disttribusi, metabolisme, dan eksresi. Absorbsi , pada obat oral sedikit terpengaruh . Pada pasien lansia, absorbsi secara umum lebih lambat namun tetaop terabsorbsi seluruhnya. Makin banyak obat yang dikonsumsi , makin banyak pula kemungkinan satu obat dapat mempengaruhi obat yang lain. 18

(23)

yang lain seperti protein pengikat obat, juga berpengaruh terhadap distribusi obat.18

2.1.7 Polifarmasi

Menurut literatur polifarmasi adalah penggunaan beberapa obat. Walaupun tidak ada jumlah pasti obat yang dikonsumsi untuk mendefinisikan polifarmasi, mayoritas menggunakan 3 sampai 5 obat per pasien.5 Polifarmasi biasanya terjadi pada pasien lanjut usia yang memiliki banyak masalah kesehatan, yang memerlukan terapi obat obatan yang beragam.6

2.1.8 Polifarmasi dan Usia lanjut

Polifarmasi biasanya terjadi pada pasien lanjut usia yang memiliki banyak masalah kesehatan, yang memerlukan terapi obat obatan yang beragam.6 Dalam penelitian yang dilakukan di Quebec, menunjukkan bahwa individu-individu diatas usia 75 tahun rata rata mengonsumsi enam obat yang berbeda.19

2.1.9 Polifarmasi dan interaksi obat

(24)

11

2.1.10 Interaksi obat

Definisi Interaksi Obat

Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat yang dapat mempengaruhi keadaan klinis pasien. Suatu interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu atau lebih zat yang berinteraksi.8

Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama dapat berubah efeknya secara tidak langsung atau dapat berinteraksi. Interaksi bisa bersifat potensiasi atau antagonis efek satu obat oleh obat lainnya, atau adakalanya beberapa efek lainnya.23

Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya. Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir bersama satu dengan yang lainnya.22

Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik.24

2.1.11 Mekanisme Interaksi Obat

Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat :

2.1.11.1 Interaksi Farmakokinetik

(25)

Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe :

a. Interaksi pada absorbsi obat

i. Efek perubahan pH gastrointestinal

Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi.22

ii. Absorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek

Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis terapetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan. Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dapat membentuk khelat dengan sejumlah ion logam divalen dan trivalen, seperti kalsium, bismut aluminium, dan besi, membentuk kompleks yang kurang diserap dan mengurangi efek antibakteri.22

iii. Perubahan motilitas gastrointestinal

Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil, obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi absorpsi. Propantelin misalnya, menghambat pengosongan lambung dan mengurangi penyerapan parasetamol (asetaminofen), sedangkan metoklopramid memiliki efek sebaliknya.22

iv. Induksi atau inhibisi protein transporter obat

(26)

13

v. Malabsorbsi dikarenakan obat

Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat.22

b. Interaksi pada distribusi obat

i. Interaksi ikatan protein

Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak yang lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul-molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi.22

ii. Induksi dan inhibisi protein transport obat

Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara aktif membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping CNS.22

c. Interaksi pada metabolisme obat

i. Perubahan pada metabolisme fase pertama

(27)

kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi)untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450. 22

ii. Induksi Enzim

Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik yang sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya.22

iii. Inhibisi enzim

Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2 sampai 3 hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis.22

iv. Faktor genetik dalam metabolisme obat

(28)

15

sebagai metabolisme lambat. Sebagian lainnya memiliki isoenzim cepat atau metabolisme ekstensif. Kemampuan yang berbeda dalam metabolisme obat-obatan tertentu dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien berkembang mengalami toksisitas ketika diberikan obat sementara yang lain bebas dari gejala.22

v. Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi

Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi isoenzim ini, sedangkan ketokonazol menghambatnya, sehingga tidak mengherankan bahwa rifampisin mengurangi efek siklosporin sementara ketokonazol meningkatkannya.22

d. Interaksi pada ekskresi obat

i. Perubahan pH urin

Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5) sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10.5. Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat.22

ii. Perubahan ekskresi aktif tubular renal

Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai contoh, probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya. Dengan meningkatnya pemahaman terhadap protein transporter obat pada ginjal, sekarang diketahui bahwa probenesid menghambat sekresi ginjal banyak obat anionik lain dengan transporter anion organik (OATs).22

iii. Perubahan aliran darah renal

(29)

2.1.11.2 Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat obat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi.23

a. Interaksi aditif atau sinergis

Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika diberikan dalam jumlah sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat (misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk berlebihan. Kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas, depresi sumsum tulang dan perpanjangan interval QT).22

b. Interaksi antagonis atau berlawanan

Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan kegiatan yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat memperpanjang waktu pembekuan darah yang secara kompetitif menghambat efek vitamin K. Jika asupan vitamin K bertambah, efek dari antikoagulan oral dihambat dan waktu protrombin dapat kembali normal, sehingga menggagalkan manfaat terapi pengobatan antikoagulan. 22

2.2 Definisi Operasional

(30)

17

Tabel 2.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional

Cara Ukur Alat Ukur Skala Hasil Ukur

1. Lansia Seseorang

2. Polifarmasi Seseorang yang sedang

3. Interaksi obat Peristiwa berubahnya efek

Studi pustaka literatur Deskripsi efek interaksi yang terjadi

2.3 Kerangka Konsep

Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mengetahui prevalensi terapi polifarmasi pada lansia di Puskesmas Pamulang Januari 2011 sampai Maret 2011, maka peneliti akan lebih difokuskan pada beberapa faktor sesuai dengan kerangka konsep berikut ini.

(31)

18 3.1 Desain Penelitian

Berdasarkan data statistik yang digunakan, desain penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif untuk mendapat data sekunder dan menilainya sehingga didapat data interaksi obat pada usia lanjut dengan terapi polifarmasi. Adapun berdasarkan waktu penelitian, desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian potong lintang (cross-sectional) dimana data yang diambil adalah data aktual atau langsung dilakukan pada saat sekarang.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Puskesmas Pamulang pada bulan Agustus – November 2011.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi Target

Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh pasien lansia di Puskesmas Pamulang tahun 2011.

3.3.2 Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien lansia yang mendapat terapi polifarmasi di Puskesmas Pamulang Januari 2011 - Maret 2011.

3.3.3 Subjek Penelitian

(32)

19

3.3.4. Besar Sampel

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kategorik dimana penilaian akan dilakukan dengan cara pengelompokan apakah terdapat efek interaksi atau tidak. Maka dari itu untuk menentukan besarnya sampel dalam penelitian ini digunakan rumus besar sampel untuk penelitian deskriptif kategorik sebagai berikut :

(zα)2 P.Q 28 d2

Keterangan: n : jumlah sampel

P : Proporsi : prevalensi dari penelitian 0,411 23 d : tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki = 0.1 α : tingkat kemaknaan = 1.96

Q : 1 – P = 1 – 0.5 = 0.5

1.962 x 0.411 (1 - 0.411) = 92,99 (0.1)2

n = 93

Maka, diperoleh jumlah sampel yang diperlukan adalah 93 subjek. Untuk menjaga kemungkinan adanya drop out (DO), maka jumlah subjek ditambah sebanyak 10%. Jadi jumlah subjek adalah 93 + 9,3 = 102,3 dibulatkan menjadi 102 subjek

3.3.5 Kriteria Sampel Penelitian

3.3.5.1 Kriteria Inklusi

Pasien usia diatas 60 tahun yang mendapatkan terapi 5 obat oral atau lebih dan terdaftar sebagai pasien di Puskesmas Pamulang Januari 2011 - Maret 2011.

3.3.5.2Kriteria Eksklusi

Pasien dengan terapi diluar 20 variasi obat yang paling sering digunakan dalam terapi polifarmasi pada pasien usia lanjut

(33)

3.4 Cara Kerja

3.4.1 Alur Penelitian

Bagan 3.1 Alur Penelitian

3.5. Managemen Data

3.5.1. Pengumpulan Data

1. Data dikumpulkan dengan melihat logbook kunjungan harian pasien di Puskesmas Pamulang periode Januari 2011 - Maret 2011. Kemudian dari data tersebut diseleksi yang memenuhi kriteria yakni berusia 60 tahun atau lebih dan menjalani terapi polifarmasi.

2. Data kemudian diurutkan untuk mendapat 20 jenis obat yang paling sering digunakan pada pasien usia lanjut yang mendapat terapi polifarmasi

(34)

21

3. Sehingga data yang digunakan adalah sejumlah pasien yang mendapat terapi polifarmasi dalam 20 variasi jenis obat yang sudah ditentukan, yaitu 103 orang.

3.5.2. Pengolahan Data

Data dimasukkan ke dalam komputer melalui data entry pada program Microsoft Excell untuk diolah dan dilihat jumlah dan jenis kombinasi 2 obat yang terjadi pada seluruh sampel. Lalu kombinasi obat tersebut dimasukan kedalam program yang tersedia dari situs www.drugs.com/drug_interactions untuk mempermudah mengetahui kombinasi obat yang berpotensi menimbulkan efek interaksi. Kombinasi 2 obat yang memiliki potensi efek interaksi selanjutnya di cari penjelasannya lebih lanjut di literatur.

3.5.3. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan distribusi frekuensi dan prevalensi. Data yang didapat kemudian dinilai, dan diteliti untuk mendapat jumlah interaksi obat yang terjadi dan dianalisa bentuk interaksi yang terjadi melalui studi pustaka.

3.5.4. Penyajian Data

(35)

22 4.1 Karakteristik Penelitian

Tabel 4.1 Sebaran Sampel Terhadap Populasi

Jumlah Persentase (%)

Total pasien lansia 860

Pasien polifarmasi 185 21,5

Pasien dengan pengobatan 5 obat atau lebih dengan variasi obat 20 tersering (sampel)

103 12

Tabel 4.1 menunjukkan jumlah dan persentase sampel sebanyak 103 orang dari total populasi sebanyak 860 orang. Jumlah yang termasuk kriteria inklusi sebanyak 185 orang, tereksklusi sebanyak 82 orang karena menggunakan obat diluar 20 jenis obat tersering pada pasien lansia di puskesmas Pamulang dengan terapi polifarmasi.

Tabel 4.2 Sebaran Kualitatif Sampel

Jenis Kelamin Pasien Jumlah Presentase

Laki laki 38 37%

Perempuan 65 63%

Pada tabel 4.2 dapat kita lihat sampel penelitian didominasi oleh perempuan

Tabel 4.3 Sebaran Kuantitatif Sampel

Nilai Mean Min-Maks SD

Umur 67,17 60-86 5,893

(36)

23

tahun. Secara keseluruhan hasil analisis simpang baku menunjukkan nilai > 0 yang berarti data yang diujikan memiliki variasi (heterogen).

4.2 Analisis Univariat

4.2.1 Penilaian Penggunaan 20 Jenis Obat

Dalam penelitian ini, peneliti menemukan 42 jenis obat yang dipakai pada pasien lanjut usia dengan terapi polifarmasi. Untuk memudahkan fokus penelitian dalam mencari kemungkinan efek interaksi obat dalam terapi polfarmasi, peneliti hanya menggunakan pasien dengan penggunaan 20 jenis obat tersering sebagai sampel penelitian.

Tabel 4.4 Persentase Penggunaan Obat

Golongan obat Nama Obat Jumlah

kejadian Persentase

Vitamin B Kompleks 89 17,28%

C 10 1,94%

Antipiretik Parasetamol 87 16,89%

Antihipertensi Ace-Inhibitor Kaptopril 57 11,07%

Antasida Antasid 49 9,51%

Antibiotik Penicilin Amoksisilin 16 3,11%

Antagonis Resepto H2 Ranitidin 15 2,91%

Obat SSP, Benzodiazepin Diazepam 14 2,72%

Anti Hipertensi Ca+ channel blocker Nifedipin 13 2,52%

Antiurisemia Allopurinol 13 2,52%

Mineral Kalsium 12 2,33%

Anti Diabetik Oral Insulin Sekretagog,

Sulfonilurea Glibenklamid 12

2,33%

Antidiabetik Oral Metformin 8 1,55%

Kortikosteroid Prednison 7 1,36%

Deksametason 6 1,17%

Antibiotirimetoprimk Kombinasi Sulfonamid Dan

Trimetopim Kotrimoksazole 4

0,78%

(37)

antihipertensi, antasida dan sebagainya. Obat dengan persentase pengguaan tertinggi adalah Vitamin B-Kompleks dan Parasetamol.

4.2.2 Interaksi Obat

Secara matematis bila ada 2 obat atau lebih dikombinasikan, maka kemungkinan kombinasi 2 obat yang terjadi adalah :

[1/2n(n-1)] kombinasi, n = jumlah obat

(matematika dasar)

Dalam penelitian ini terdapat 20 jenis obat, maka :

[1/2(20)(20-1)] kombinasi = 190 kemungkinan kombinasi 2 obat

Pada penelitian ini dari 190 jenis kemungkinan terjadinya kombinasi 2 obat, ditemukan 140 jenis kombinasi. Untuk memudahkan peneliti dalam menentukan adanya potensi interaksi atau tidak, 140 jenis kombinasi tersebut dimasukan ke situs www.drugs.com. Menurut situs www.drugs.com dari 140 jenis kombinasi obat yang ditemukan, didapat 26 jenis kombinasi yang memiliki efek interaksi obat. Selanjutnya 26 jenis kombinasi obat tersebut dicari penjelasan efek interaksi di literatur farmakologi.

Tabel 4.5 Sebaran Interaksi Obat

No Interaksi Jumlah Pasien Persentase dari sampel (%)

(38)

25

Tabel 4.5 menunjukkan jenis kombinasi 2 obat yang dinyatakan memiliki interaksi oleh www.drugs.com dan sebaran pasien yang mengalaminya. Dari 26 jenis interaksi didapatkan 1 jenis interaksi obat yang sifatnya berbahaya dengan 7 kejadian, yaitu interaksi Kaptopril dengan Allupurinol. Tabel 4.5 juga menunjukan interaksi obat yang paling sering terjadi, yakni Kaptopril dengan Antasid, menurut literatur pemberian Kaptopril bersamaan dengan Antasid dapat menurunkan absorbsi dan bioavailabilitas oral Kaptopril dan ACE-inhibitor

lainnya. Sebenarnya efek interaksi ini dapat dicegah dengan memisahkan penggunaan kedua obat tersebut selama 1 sampai 2 Jam.

Tabel 4.6 Sebaran kejadian kombinasi 2 obat dengan efek interaksi

Seluruh jenis pertemuan obat 140 kombinasi 1030 kejadian Jenis kombinasi 2 obat yang memiliki interaksi 26 kombinasi 134 kejadian

Persentase (%) 18,57 13,07

Tabel 4.6 menjelaskan sebaran kejadian 26 jenis kombinasi obat yang memiliki efek interaksi , yaitu sejumlah 134 kasus atau sekitar 13% dari total kejadian keseluruhan jenis kombinasi yang terjadi. Tiap masing-masing kombinasi yang berpotensi menimbulkan efek interaksi akan dibahas pada poin 4.2.3.

Tabel 4.7 Sebaran pasien dengan interaksi obat

Jumlah Persentase (%)

Jumlah pasien tanpa interaksi obat 36 35

Jumlah pasien dengan interaksi obat 67 65

(39)

Tabel 4.7 menunjukan bahwa 134 kejadian kombinasi 2 obat dengan efek interaksi tersebar pada 65% sampel (67 orang). Tingginya angka kejadian interaksi obat pada pasien dengan terapi polifarmasi ini mengemukakan kemungkinan bahwa interaksi obat mendasari fakta yang ditemukan pada penelitian sebelumnya, bahwa 4% dari adverse drug reaction per tahun dilaporkan ketika kurang dari lima obat yang dikonsumsi, namun hal ini meningkat menjadi 54% ketika lebih dari lima obat yang diresepkan.19

4.2.3 Pembahasan Efek Interaksi Obat

Dalam penelitian ini didapatkan 26 jenis kombinasi obat yang memiliki efek interaksi, namun ada beberapa efek interaksi yang sama yang ditimbulkan oleh 2 kombinasi obat berbeda. Hal ini disebabkan obat tersebut masih dalam golongan yang sama, misalkan interaksi antara Kaptopril – Prednison dan Kaptopril – Deksametason. Selain itu, didapatkan beberapa kombinasi yang dinyatakan berpotensi memiliki efek interaksi oleh program di situs www.drugs.com namun tidak dapat dikonfirmasi lebih lanjut dari literatur, hal ini mungkin disebabkan hal tersebut masih sebatas penelitian dan laporan dari beberapa kasus. Berikut adalah kombinasi obat yang berpotensi menimbulkan efek interaksi menurut literatur :

a. Piroksikam – Glibenklamid

Piroksikam dapat meningkatkan efek hipoglikemi dari Glibenklamid.22 Namun NSAID lain dari golongan salisilat seperti aspirin dapat meningkatkan efek hipoglikemi dari antidiabetik oral lebih signifikan. Hal ini disebabkan salisilat diketahui juga memiliki efek hipoglikemi sehingga efek dari kedua obat itu saling bertambah. Penurunan dosis dari obat antidiabetik diperlukan jika digunakan bersamaan dengan dosis salisilat yang tinggi.22

b. Piroksikam – Kaptopril

(40)

27

itu, NSAID dapat menyebabkan retensi cairan, yang juga mempengaruhi tekanan darah. Beberapa NSAID juga dapat mengubah farmakokinetik dari beberapa obat

ACE-inhibitor tertentu.22

c. Piroksikam – Ranitidin

Konsentrasi piroksikam dapat meningkat oleh pemberian H-2 reseptor antagonis khususnya simetidin. Hal ini mungkin disebabkan oleh penghambatan metabolisme oleh simetidin. Tidak ada dampak klinis yang signifikan, pemberian rantidin justru ditujukan untuk memproteksi mukosa lambung karena efek iritan dari NSAID.22

d. Piroksikam – Dexametason

Penggunaan kombinasi antara kortikosteroid dengan NSAID dapat meningkatkan toksisitas terhadap gastrointestinal, termasuk resiko terjadinya inflamasi, pendarahan, ulserasi dan perforasi. 22

e. Kaptopril – Diazepam

Banyak obat psikoterapi dan obat yang mempengaruhi SSP seperti misalnya, anti ansietas, sedatif, hipnotik,antidepresan, antipsikotik, opioid, alkohol, relaksan otot, menunjukkan efek hipotensi, terutama selama inisiasi terapi dan peningkatan dosis. Pemberian bersamaan dengan obat antihipertensi khususnya vasodilator dan alpha-blocker, dapat mengakibatkan efek aditif pada tekanan darah.22

f. Kaptopril – Allopurinol

(41)

stephen-johnson sindrom sudah pernah dilaporkan, setelah 3 sampai 5 minggu penggunaan allopurinol bersamaan dengan Kaptopril.22

g. Kaptopril – Prednison , Kaptopril – Dexametason, Nifedipine – Dexametason

Kortikosteroid dapat menghambat efek dari obat antihipertensi dengan meningkatkan retensi cairan dan natrium. Efek ini lebih sering ditemui pada kortikosteroid alami seperti kortison dan hidrokortison karena memiliki efek mineralo kortikoid yang lebih besar. Sebaliknya beberapa jenis obat penyekat kanal kalsium seperti diltiazem dan verapamil dapat meningkatkan jumlah kortikosteroid dalam plasma sehingga efeknya meningkat . Hal ini terjadi akibat penghambatan pemnbersihan kortikosteroid oleh metabolisme enzim CYP 3A4. 27

h. Kaptopril – Antasid

Antasida ditemukan dapat menurunkan absorbsi dari Kaptopril sebanyak 40%. Mekanismenya masih belum jelas, namun diperkirakan bukan karena penurunan pH lambung karena simetidin tidak mempunyai efek yang sama. Signifikansi klinis dari interaksi ini tampaknya kecil karena ditemukan tidak mempengaruhi efek penurunan tekanan darah oleh Kaptopril. Sebagai tindakan pencegahan, pasien mungkin memisahkan penggunaan ACE-inhibitor dan antasida dengan 1 sampai 2 jam. 22

i. Glibenklamid – Kaptopril, Kaptopril – Metformin

(42)

29

hipoglikemia yang berlebihan dapat terjadi sewaktu waktu dan tidak dapat diprediksi.22

j. Glibenklamid – Antasid

Antasid dapat meningkatkan rasio absorbsi dari sulfonilurea secara signifikan. Namun tidak ada bukti bahwa terjadi pengaruh klinis pada pasien diabetes akibat dari interaksi tersebut. Pemberian Glibenklamid 30 menit sampai 1 jam lebih awal dari antasid disarankan untuk mencegah interaksi.22

k. Glibenklamid – Ranitidin

Antagonis reseptor H2 seperti Simetidin dan Ranitidin dapat meningkatkan efek hipoglikemi. Mekanismenya diduga berhubungan dengan inhibisi metabolisme sulfonilurea di hati oleh simetidin sehingga meningkatkan efeknya.22

l. Glibenklamid – Deksametason

Efektifitas dari obat antidiabetik oral dan insulin dapat terganggu oleh obat obatan kortikosteroid karena kortikosteroid memiliki efek hiperglikemi, sehingga dosis obat antidiabetik oral mungkin dperlu ditingkatkan dengan tepat untuk mencapai efek terapi yang diinginkan.22

m. Piroksikam - Nifedipine

(43)

n. Kalsium - Nifedipine

Obat yang mengandung kalsium termasuk suplemen kalsium dapat mengurangi efek antihipertensif dari obat antihipertensi golongan Ca2+ channel blocker dengan meningkatkan konsentrasi kalsium dalam kanal. Salah satu buktinya, kalsium klorida digunakan untuk mengatasi keracunan verapamil 22

o. Nifedipine – Metformin

Efek hipoglikemi dari obat antidiabetik oral dapat terganggu akibat pemberian bersamaan dengan obat obatan Ca2+ channel blocker .Beberapa mekanisme yang diduga adalah penghambatan sekresi insulin oleh Ca2+ channel blocker , perubahan uptake glukosa oleh sel hati dan sel lain, peningkatan kadar glukosa darah setelah sekresi katekolamin pada keadaan vasodilatasi, dan perubahan metabolisme glukosa akibat obat Ca2+ channel blocker. 22

p. Antasid – Diazepam

Antasid dapat menurunkan rasio absorbsi dari obat golongan benzodiazepine seperti Clorazepate, Chlordiazepoxide dan Diazepam. Mekanisme pastinya belum diketahui namun diduga berhubungan dengan keterlambatan pengosongan lambung dan mengganggu pengikatan benzodiazepine. Akhirnya onset obat benzodiazepine tertunda dan efek terapi menjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan jika penggunaan pada kondisi akut.22

q. Antasid – Ranitidin

(44)

31

r. Antasid - Allopurinol .

Obat-obatan yang mengandung alumunium dapat menghambat absorbsi dari allopurinol yang akan menurunkan efek terapinya.22

s. Antasid – Deksametason, Antasid – Prednison

Penggunaan antasida dosis tinggi dapat mempengaruhi absorbsi dari Deksametason, Prednison, Prednisolon dan kortikosteroid lainnya. Mekanisme interaksi dan perbedaan klinisnya masih belum diketahui karena data dari penelitian yang masih terbatas.22

4.3 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini adalah variasi jenis obat yang diteliti dipilih berdasarkan 20 jenis obat tersering yang digunakan oleh usia lanjut dengan terapi polifarmasi. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat menjalankan penelitian lebih fokus dan tepat sasaran.

(45)

32 5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Dari 860 pasien lansia di Puskesmas Pamulang periode januari 2011 sampai maret 2011 ditemukan insidensi peresepan 5 obat atau lebih pada 185 pasien (21,5 %).

b. Dari 185 pasien dengan resep obat lebih dari 5 ditemukan 103 pasien mendapatkan variasi 20 obat terbanyak.

c. Dari 103 pasien polifarmasi ditemukan kemungkinan terjadi interaksi sebanyak 140 kombinasi. Dari 140 kombinasi didapatkan 26 jenis kombinasi yang memiliki interaksi obat. Interaksi obat terjadi sebanyak 134 kali dan tersebar pada 67 pasien (65%).

d. Dari 26 jenis efek interaksi 1 interaksi dinyatakan literatur sebagai interaksi yang berbahaya yakni Kaptopril dengan allopurinol. Didapatkan jenis interaksi yang tersering adalah antasid dengan Kaptopril dimana pemberian antasid dapat menurunkan bioavailabilitas oral dari Kaptopril.

5.2 Saran

1. Dokter disarankan untuk tidak berlebihan dan lebih rasional dalam peresepan obat untuk pasien lansia, mengingat lebih sedikit obat dapat memperkecil timbulnya interaksi obat yang tidak diharapkan.

2. Dokter sebaiknya lebih teliti memperhatikan adanya kemungkinan interaksi obat dalam peresepan obat pasien lanjut usia.

(46)

33

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Pusat Statistik (BPS). Data Statistik Indonesia.2000 Diakses dari

http://www.datastatistik-indonesia.com/component/option,com_search/Itemid,132 , pada 10 Agustus 2011

2. Darmojo, R. Boedhi. Buku Ajar Geriatri ( Ilmu Kesehatan Usia Lanjut ), Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta. 1999 3. Wirakartakusumah. For Elderly Welfare. Dokumen RAN Lansia. Jakarta.

2000

4. Ilyas, Baharudin,, Profil Penduduk lanjut Usia di Kotamadya Ujung Pandang. Warta Demografi. Th-27, No. 4. 1997

5. MeReC Bulletin. Prescribing for the older person. No.10.Vol.11 . The National Prescribing Centre. Liverpool. 2000

6. Hanlon JT, Handler S, Maher R, Schmader KE, Geriatric Pharmacotherapy and Polypharmacy.In: Fillit H, Rockwood K, Woodhouse K, eds.

Bracklehurst’s Textbook of Geriatric Medicine 7th Ed. Churchil Livingstone. 2008

7. Veehof LJ, Stewart RE, Meyboom-de JB, Haaijer-Ruskamp FM. Adverse drug reactions and polypharmacy in the elderly in general practice. Eur J Clin Pharmacol.1999

8. Piscitelli S.C., Rodvold K.A., ed. Drug Interactions in Infectious Diseases, 2nd ed.Humana Press.Tottowa. 2005

9. Maryam, dkk. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Salemba Medika.Jakarta.2008

10. Arisman, DR. Gizi dalam daur kehidupan, EGC. Jakarta .2004

11. Bustan. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. PT. RINEKA CIPTA. Jakarta.2000

(47)

13. Nugroho, wahyudi. Keperawatan Gerontik. EGC. Jakarta. 2000 14. Hodkinson, F. Teori dan praktek keperawatan. EGC. Jakarta. 1982 15. Hurlock, E. B. Psikologi perkembangan : suatu pendekatan sepanjang

rentang kehidupan. Erlangga.Surabaya. 2002

16. Stanley, M. Buku ajar keperawatan gerontik, edisi dua. EGC. Jakarta. 2007 17. Watson, R. Perawatan pada lansia. EGC. Jakarta. 2003

18. Brazeau,S. Polypharmacy in Elderly. The Canadian Journal of CME.Quebec. 2001

19. Allard J, Hebert R, Rioux M, et al: Efficacy of a clinical medication review

on the number of potentially inappropriate prescriptions prescribed for

community-dwelling elderly people. Can Med Assoc J 2001; 164(9):1291-6.

20. Doucet J, Capet C, Jégo A, et al: Les effets indésirables des médicaments

chez le sujet âgé; épidémiologie et prévention. La Presse Médicale 1999;

28(32):1789-93.

21. Nolan L, O’Malley K: Prescribing for the elderly, Part 1: Sensitivity of the

elderly to adverse drug reactions. JAGS 1988; 36(2):142-9.

22. Stockley, I.H. Drug Interactions, 8th edition, University of Nottigham Medical School, Pharmaceutical Press. London. 2008

23. Martin, J. (Managing Editor). British National Formulary 58.BMJ Group and RPS Publishing.London. 2009

24. Gunawan, S.G, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta. 2007

26. Akkawi, Faten : Prevalence and Risk Factors affecting polypharmacy among elderly patients in the North of West Bank. An-Najah National University.Nablus.2008:4:40

27. www.drugs.com/drug_interactions.php

28. Dahlan, M.Sopiyudin : Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Edisi 2. Penerbit salemba medika. Jakarta, 2009.

(48)

35

Gambar

Tabel 3.1   Definisi opeasional  .......................................................................
Tabel 2.1 Definisi Operasional
Tabel 4.2 Sebaran Kualitatif Sampel
Tabel 4.4 Persentase Penggunaan Obat
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil data pengujian sistem pendeteksi barang dan sistem pendeteksi ketinggian benda dengan menggunakan aplikasi sensor cahaya, maka dapat disimpulkan kerja

Kepala Bidang Pembudayaan Olahraga, Kasi Pembinaan Sentra, PPLP dan PPLM PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017. DINAS PEMUDA DAN OLAHRAGA KABUPATEN

Adapun konsep diri dari aspek fisik yang dirasakan oleh responden 2 sesuai dengan hasil wawancara adalah :Bahwa Septi merasa kalau ia berjilbab mode, ia akan terlihat

mementingkan perasaan orangtua dan teman sebayanya. Sebaliknya remaja yang kurang mampu mengontrol dirinya menungkinkan remaja untuk melanggar aturan-aturan. Lemahnya

kesesuaian tindakan aktor yang terlibat. • Yang menunjukkan bahwa lebih berpengaruh dibandingkan variabel lainnya, yang mana menunjukkan besarnya kekuatan masyarakat dalam

Untuk mengevaluasi kinerja dosen dalam pembelajaran pada setiap mata kuliah, maka dilakukan penyebaran kuesioner yang harus diisi mahasiswa serta pemberian kritik dan saran

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segalaa anugerah-Nya sehinga penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul PEMBERDAYAAN KARYAWAN DAN

Orang Kelantan, walau pun yang berkelulusan PhD dari universiti di Eropah (dengan biasiswa Kerajaan Persekutuan) dan menjawat jawatan tinggi di Kementerian atau di Institusi