• Tidak ada hasil yang ditemukan

CRITICAL REVIEW

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "CRITICAL REVIEW"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Critical review

Sengketa Lembaga Negera

Mata Kuliah Judicial Review dan Sengketa Ketatanegaraan

OLEH :

JULANDI .J.JUNI

B 1111 2 385

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

(2)

Kata Pengantar

Assalamualaikum wr.wb

Alhamdulillah, pertama-tama marilah kita memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas izin-nya lah tugas paper critical review sebagai pemenuhan nilai pembelajaran dalam mata kuliah judicial review dan sengketa ketatanegaraan yang mengangkat topik “sengketa lembaga Negara” dapat terselesaikan. Tak lupa shalawat dan salam kami haturkan kepada Baginda Rasullullah Muhammad SAW sebagai nabi penutup yang melengkapi kesempurnaan agama islam sekaligus sebagai penyampai risalah dan tuntunan kaum muslimin dalam menjalani kehidupan didunia.

Pertama-tama, izinkan penulis memohon maaf sebesar-besarnya atas keterlambatan masuknya tugas pada perkuliahan judicial review yang merupakan tugas awal yang bersifat kelompok. Namun, sayangnya pada keterlambatan ini penulis malah menyelesaikan secara individual dikarenakan kurangnya komunikasi dan keteledoran penulis terhadap teman-teman sekelas. Namun, penulis telah berusaha untuk menyusul ketertinggalan tugas ini, karena memang dalam beberapa kesempatan, penulis dengan sadar tidak masuk dalam perkuliahan ini dikarenakan satu dan lain hal.

Adapun penulis mengharapkan bahwa tugas ini kiranya mampu menjadi sedikit titik cerah dalam mengulas fenomena struktur ketatanegaraan yang bersifat penting untuk kita ketahui cara penyelesaian permasalahannya ,terkhusus dalam kajian sengketa ketatanegaraan.

Demikian kiranya sedikit pengantar yang dapat penulis sampaikan, dan penulis memohon maaf apabila dalam tugas ini masih kurang dari kata “baik” dalam memenuhi hasrat kebutuhan pembaca atas permasalahan yang kiranya dibahas dalam paper ini. Dan penulis tak lupa mengucapkan terima kasih, semoga keberkahan dan keselamatan senantiasa tercurahkan kepada dosen-dosen pengajar pada mata kuliah judicial review yang telah memberikan kepada kami pemahaman-pemahaman dasar tentang persoalan ketatanegaraan, terkhusus judicial review dan sengketa ketatanegaraan.

Makassar, 04 Desember 2016

(3)

A. Defenisi Critical Review

critical review merupakan suatu bentuk evaluasi,seperti mereview,mengintreperstasi, maupun menganalisis terhadap suatu buku maupun artikel bukan untuk mencari kebenaran maupun kesalahan tetapi lebih kepada mencari keunggulan maupun kelemahan yang dibutuhkan oleh reviewer. Critical review lazimnya merupakan suatu tugas yang diberikan oleh pengajar seperti dosen kepada mahasiswanya dengan harapan mampu meningkatkan minat baca , membentuk kemampuan dalam mengeluarkan pendapat, serta membangun pola pemikiran yang bersifat kritis dan sistematis.

B. Tahap-Tahap Penulisan Critical Review

Setelah mengetahui tentang critical review, maka adapun tahap-tahap yang dapat kita tempuh dalam membuat suatu critical review adalah sebagai berikut :

1. Menentukan suatu topic dalam dalam sebuah bahan (buka/artikel) yang akan dibedah.

2. Membaca buku atau artikel tersebut secara utuh atau menyeluruh, tentunya hal ini dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu skamming maupun scanning.

3. Membaca secara aktif dengan memberikan catatan-catatan yang kemudian dapat dihimpun menjadi suatu bahan critical review

(4)

C. Artikel Sengketa Lembaga Negara

Presiden Bersengketa Dengan DPR Dan BPK

Perselisihan Pemerintah Di Satu Pihak Dengan DPR Dan BPK Di Lain Pihak Bermuara Di Mahkamah Konstitusi. Terkait Dengan Divestasi Newmont.

Selasa, 21 Februari 2012,Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lewat Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin dan Menteri Keuangan Agus Martowardjojo “menggugat” DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Gugatan dilakukan melalui Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) terkait pembelian divestasi 7 persen saham

PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) oleh pemerintah.

sidang pemeriksaan pendahuluan, Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Kiagus Ahmad Baharuddin mengganggap kebijakan pembelian saham 7 persen yang dilepas PT NNT itu murni kewenangan konstitusional pemerintah sesuai kewenangan yang diberikan Pasal 4 ayat (1), Pasal 17, Pasal 23C, dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Jadi, bukan

kewenangan DPR.

“Presiden melalui menteri keuangan mengklaim bahwa investasi pemerintah lewat pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT Tahun 2010 dengan pemegang saham asing seharusnya tanpa perlu persetujuan termohon I (DPR),” klaim Badaruddin dalam sidang perdana yang dipimpin Achmad Sodiki di ruang sidang MK, Selasa (21/2).

Badaruddin mengatakan persoalan ini menimbulkan perbedaan pendapat antara pemerintah dan DPR. DPR menganggap bahwa pemerintah hanya dapat membeli 7 persen saham divestasi PT NNT setelah mendapat persetujuan DPR. Hal itu dituangkan dalam surat No. PW.01/9333/DPR-RI/X/2011 dan No. AG/9314/DPR-RI/X/2011 tertanggal 28 Oktober 2011.

(5)

Dijelaskan Badaruddin, atas perbedaan pendapat ini DPR telah meminta termohon II (BPK) untuk mengaudit proses pembelian saham divestasi PT NNT ini. Dalam laporan hasil pemeriksaannya, BPK juga berpendapat keputusan pemerintah untuk investasi jangka panjang dalam bentuk penyertaan modal pemerintah di perusahaan swasta harus ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan DPR.

“Atas dasar laporan hasil pemeriksaan termohon II itu, termohon I (DPR) mengirimkan dua suratNo. PW.01/9333/DPR-RI/X/2011 dan No. AG/9314/DPR-RI/X/2011 tertanggal 28 Oktober 2011 itu kepada Menkeu dan Menteri ESDM,” jelasnya.

Menurut Badaruddin, investasi atas pembelian 7 persen saham PT NNT yang dilepas itu ditujukan untuk memberikan manfaat yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia sesuai tujuan bernegara. “Ini dalam rangka menjalankan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terkait penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya,” ujarnya.

Karena itu, pemohon meminta MK menyatakan pemohon memiliki kewenangan konstitusional sesuai Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 23C, dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berupa pembelian 7 persen divestasi PT NNT tanpa memerlukan persetujuan DPR.

“Menyatakan kesimpulan termohon II dalam laporan hasil proses pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT Tahun 2010 yang sebelumnya harus mendapatkan persetujuan DPR melampaui kewenangan konstitusional BPK”.

Menanggapi permohonan, anggota majelis panel hakim konstitusi Hamdan Zoelva menilai secara umum permohonan mudah dipahami dan dimengerti dengan baik. Namun, agar lebih baik bagian pendahuluan dimasukkan dalam pokok permohonan saja. Sebab, hal-hal yang dimuat dalam pendahuluan ini juga memuat alasan-alasan pokok permohonan. “Ini agar dalam materi permohonan tidak ada pengulangan dalam bagian alasan-alasan pokok permohonan,” kritik Hamdan.Berdasarkan catatan hukumonline, inilah pertama kali Presiden berseteru secara hukum lewat Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) di Mahkamah Konstitusi. 1

1

(6)

Critical Review

Sebelum melangkah pada pokok persoalan, pertama kita mengetahui bahwa Indonesia merupakan Negara demokrasi yang menganut system presidensial, yang dimana presiden memilki penguasaan penuh terhadap pemerintah dibanding parlementer (dewan perwakilan rakyat). Dan dalam hirarki perundang-undangan maka kita mengetahui bahwa Undang-undang dasar 1945 (UUD1945) merupakan puncak tertinggi dalam hirarki konsitusi di Indonesia. Kemudian berikut yang menjadi soal, apakah surat Pimpinan Dewan perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal ini dapat juga di defenisikan sebagai suatu keputusan yang dilakukan bersama PT.NSS yang dituangkan dalam surat No. PW.01/9333/DPR-RI/X/2011 dan No. AG/9314/DPR-RI/X/2011 tertanggal 28 Oktober 2011, mampu menjadi penghalang pemerintah dalam melakukan transaksi secara langsung kepada PT.NSS ?

yang perlu diperhatikan bahwa Hal ini telah memasuki babak peradilan ke Mahkamah konstitusi yang dimana landasan Gugatan Pemerintah oleh Presiden dilandaskan pada amanat UUD1945 yyang tercantum pada Pasal 4 ayat (1), Pasal 17, Pasal 23C, dan Pasal 33 ayat (3). Maka untuk untuk memperdalam analisis, terlebih dahulu kita akan melihat eksistensi DPR dan Presiden dalam pembuatan suatu perjanjian. Dalam system presidensil seperti yang dianut oleh Indonesia, sebenarnya telah secara otomatis memberikan kewenangan besar terhadap kepala Negara / presiden dalam mebuat suatu keputusan sepihak. Ini seperti yang dinyatakan Arend Lijphart (1994), presiden akan menjadi sosok yang sangat berkuasa (a very powerful president),apabila dukungan politik oleh Lembaga perwakilan rakyat terhadap presiden sangat besar. Bahkan, kondisi a very powerful president akan dengan mudah terwujud karena presiden memiliki fungsi ganda sebagai kepala negara dan sekaligus sebagai kepala pemerintah. Jebakan berayun dalam dua kondisi itu disebut sebagai paradoxes of presidential power.2 Tetapi, keputusan bersama dengan perundingan antara presiden dan DPR

secara garis besar sebenarnya hanya terbatas pada hal-hal tertentu. Seperti persetujuan DPR diperlukan dalam menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain; setelah presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu); dan anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan presiden dengan persetujuan DPR. Sementara itu, pertimbangan DPR diperlukan untuk mengangkat duta, menerima penempatan duta negara lain, dan memberi amnesti dan abolisi. Lebih jauh, persetujuan dan pertimbangan

2

(7)

masih muncul dalam proses pengisian jabatan-jabatan strategis yang diatur di level undang-undang.3

Oleh karena itu, terkait dengan sengketa antara Presiden melawan DPR dan BPK seharusnya dalam hal ini kekuatan DPR tidak melampaui hal-hal tertentu, utamanya membuat perjanjian yang sepihak dengan hanya melaui persetujuan Pimpinan DPR saja yang diwujudkan dalam beberapa Surat Keputusan antara pihak PT NSS dan DPR. Karena hal seperti ini mampu membangun kecurigaan masyarakat akan kecendurangan pemerintah yang berjuang semata-mata hanya karena ke aroganan masing-masing lembaga, bahkan jika kita perhatikan secara mendalam hal ini mampu membuat terbangunnya opini masyarakat akan korupsi /keinginan suatu lembaga Negara dalam mengawasi lahan-lahan basah seperti PT.NSS.

Referensi

Dokumen terkait

Sejalan dengan kebutuhan mahasiswa Program Studi Sistem Informasi S1 Fakultas Teknik Universitas Muria Kudus akan perlunya buku petunjuk penulisan skripsi, maka

Secara umum dalam penelitian ini telah ditunjukan mengenai hubungan fungsional antara variabel bebas dan variabel tak bebas dimana variabel tak bebas disini berbentuk proporsi,

Dalam penelitian digunakan optimasi menggunakan program non linier dan penyelesaian formulasi menggunakan solver pada Microsoft excel, dengan memanfaatkan kapasitas waduk

lebih rendah dibandingkan dengan onderdil asli, masih banyak konsumen yang menggunakan onderdil asli untuk menggantikan komponen kendaraan yang sudah aus.. Edi menyebutkan, tujuh

Hasil dari penelitian tersebut menunjukan bahwa kualitas data input dan Tingkat pemahaman pengguna mengenai SIMDA merupakan faktor pendukung dari implementasi SIMDA namun

Investasi dalam bentuk saham dimana Perusahaan mempunyai pemilikan saham minimal 20%, tetapi tidak lebih dari 50% dicatat dengan menggunakan metode ekuitas, dimana

bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, PARA PIHAK sepakat untuk mengikatkan diri dalam Kesepakatan Bersama tentang Kerja Sama Pengawasan Obat dan Makanan, dengan ketentuan

Fungsi utama dari valve ini adalah mengatur banyaknya udara panas yang masuk kedalam ruang pengering sehingga suhu dan kelembapan yang ada didalam mesin pengering dapat