• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Kepolisian Resor Labuhan Batu Terhadap Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan (Studi Pada Wilayah Hukum Polres Kabupaten Labuhan Batu)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peranan Kepolisian Resor Labuhan Batu Terhadap Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan (Studi Pada Wilayah Hukum Polres Kabupaten Labuhan Batu)"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN KEPOLISIAN RESOR LABUHAN BATU TERHADAP

TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

TESIS

OLEH

ROBERTUS A. PANDIANGAN 097005114 / HK

[

PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERANAN KEPOLISIAN RESOR LABUHAN BATU TERHADAP

TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH

ROBERTUS A. PANDIANGAN 097005114 / HK

PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

(LEMBAR PENGESAHAN)

JUDUL TESIS : PERANAN KEPOLISIAN RESOR LABUHAN BATU

TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

NAMA : ROBERTUS A. PANDIANGAN

N.I.M. : 097005114

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING

Ketua

Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum.

Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum

Anggota Anggota

Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH.

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum

(4)

ABSTRAK

Salah satu unsur penting dalam menciptakan keamanan dan ketertiban untuk memberikan perlindungan, pelayanan, dan pengayoman kepada masyarakat adalah Kepolisian. Wilayah hukum Polres Labuhan Batu meliputi sekaligus tiga kabupaten yakni: Kabupaten Labuhan Batu Induk/Raya, Kabuapten Labuhan Batu Utara, dan Kabupaten Labuhan Batu Selatan. Kondisi demikian berdampak pada peranan Polres Labuhan Batu khususnya dalam menangani tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang rentan terjadi di wilayah hukum Polres Labuhan Batu.

Permasalahan yang diteliti adalah: pertama, bagaimanakah pengaturan tindak

pidana pencurian dengan kekerasan menurut hukum pidana? kedua, apakah

faktor-faktor yang dapat menimbulkan terjadinya tindak pidana pencurian dengan kekerasan

di wilayah hukum Polres Labuhan Batu? dan ketiga, bagaimanakah Peranan Polres

Labuhan Batu terhadap pencurian dengan kekerasan di wilayah hukumnya?

Jenis metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer melalui studi dokumen di kantor Polresta Labuhan Batu dan data sekunder diperoleh dari studi pustaka terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Kesimpulan diperoleh: pertama, pengaturan tindak pidana pencurian

dengan kekerasan (curas) yang diatur dalam Pasal 365 KUH Pidana, ditegaskan

dalam bentuk khusus yakni pencurian dengan kekerasan atau perampokan. Kedua,

faktor-faktor penyebab curas di wilayah hukum Polres Labuhan Batu antara lain, kemampuan personil yang tidak sebanding dengan luas wilayah hukum, faktor hasil-hasil kebun kelapa sawit dan karet, faktor kemiskinan, faktor strategis letak geografis ketiga daerah kabupaten. Ketiga, peranan Polres Labuhan Batu terhadap pencurian dengan kekerasan di wilayah hukumnya dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan prioritas terhadap penanganan curas dan kejahatan lainnya yang tergolong sebagai perkara yang menonjol.

Saran yang diharapkan: pertama, agar penjatuhan sanksi terhadap putusan terhadap pelaku curas yang dilakukan secara bersama-sama dikenakan Pasal 365 KUH Pidana dan di-juntokan dengan Pasal 56 KUH Pidana. Kedua, agar pihak terkait secara bersama-sama untuk berupaya meminimalisir faktor-faktor kondusif curas di

wilayah Polres Labuhan Batu. Ketiga, agar peranan Polres Labuhan Batu lebih

ditingkatkan skala prioritasnya terhadap kejahatan-kejahatan yang menonjol di wilayah hukumnya khususnya curas.

(5)

ABSTRACT

One of the important elements in creating security and order to provide protection and service for the community is the Police. The jurisdiction of Labuhan Batu Resort Police includes three districts such as the Districts of Labuhan Batu Induk/Raya, Labuhan Batu Utara, and Labuhan Batu Selatan. This condition brings an impact to the role of Labuhan Batu Resort Police, especially in handling the violent teft offences which are prone to occur in the jurisdiction of Labuhan Batu Resort Police.

The problem studied in this study was: first, how the violent teft offences is regulated according to criminal law; second, the factors that can arise the incident of violent theft offences in the jurisdiction of Labuhan Batu Resort Police; and third, the role of Labuhan Batu Resort Police in handling the violent theft offences in its jurisdiction.

The data for this analytical descriptive normative juridical study were the primary data obtained through documentation study conducted at the office of Labuhan Batu Resort Police and the secondary data in the forms of primary and secondary legal materials obtained through library research.

The conclusion drawn from the result of this study was: first, the regulation on the violent theft offences is regulated in Article 365 of the Indonesian Criminal Codes which is especially emphasized as the violent theft offences or robbery; second, the factors causing the violent theft offences in the jurisdiction of Labuhan Batu Resort Police are the yields of oil palm and rubber plantation, poverty, and the strategic geographical position of the three districts; and third, the role of Labuhan Batu Resort Police in handling the violent theft offences in its jurisdiction was implemented based on the existing legal provisions by prioritizing the handling of the violent theft offences and other crimes classified as the prominent cases.

It is suggested that, first, the sanction decided for the actors of the joint violent theft offences must based on Article 365 juncto Article 56 of the Indonesian Criminal Codes; second, the related parties should jointly do their best to minimize the condusive factors causing the violent theft offences in the jurisdiction of Labuhan Batu Resort Police; and third, the scale of priority of the role of Labuhan Batu Resort Police in handling the prominent crimes, especially the violent theft offences, in its jurisdiction should be improved.

(6)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan, atas berkat dan karunia,

penulis dapat menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H.)

di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul

penelitian tentang, ”Peranan Kepolisian Resor Labuhan Batu Terhadap Tindak Pidana

Pencurian Dengan Kekerasan (Studi Pada Wilayah Hukum Polres Kabupaten

Labuhan Batu)”.

Dengan kerendahan hati yang tulus dan ikhlas, penulis ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,

DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K) atas kesempatan fasilitas yang diberikan

kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program

magister.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung

Sitepu, SH, M. Hum atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi Mahasiswa

Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. M.H.,

telah banyak memberikan motivasi mulai sejak awal perkuliahan selalu

mengingatkan tesis sampai pada akhirnya meja hijau.

4. Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya penulis

sampaikan kepada Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, selaku Ketua Komisi

Pembimbing, Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH., dan Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum

selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian telah

memberikan bimbingan, arahan, petunjuk dan ide serta saran yang konsruktif

demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini.

5. Penghormatan saya atas apresiasi yang sangat luar biasa kepada Dr.Madiasa

(7)

6. Seluruh Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, beserta seluruh teman-teman Mahasiswa yang telah banyak

memberikan dukungan dan bantuannya.

7. Terimakasih juga kepada orang tua ku yang selalu memberi dukungan dalam

setiap waktu sehingga penulis dapat mencapai cita-cita.

8. Terima kasih kepada Istriku yang tercinta dr. Imelda Damayanti Simbolon dengan

doa dan dukungannya yang selalu memberikan semangat untuk dapat

menyelesaikan Program Studi Magister Hukum.

9. Terima kasih kepada anak-anakku: Nathannael Goegorius Hamonangan

Pandiangan, Stella Amara Viona Pandiangan yang memberikan inspirasi dan

semangat untuk dapat menyelesaikan Program Studi Magister Hukum di

Universitas Sumatera Utara.

Demikianlah sebagai kata pengantar dalam penulisan ini, mudah-mudahan

dalam penelitian ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak dan menambah

wawasan ilmu pengetahuan. Akhir kata, mohon maaf atas ketidaksempurnaan

substansi dalam penelitian ini, penulis mengharapkan saran dan kritik yang

membangun demi perbaikan ke depannya. Semoga penulis lebih giat lagi menambah

wawasan ilmu pengetahuan di masa-masa yang akan datang.

Medan, … Januari 2013

Penulis

(8)

CURRICULUM VITAE DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

N a m a : ROBERTUS ALEXANDER PANDIANGAN SIK .

Tempat/Tgl Lahir : Banyuwangi, 9 Agustus 1975

Alamat Rumah : Jln. Setia Budi / Mesjid No.22 Tjg Rejo Medan Sumatera

Utara.

Telepon : (061) 8226819

Pekerjaan : Kepolisian Replublik Indonesia

Agama : Katholik

Jenis kelamin : Laki-Laki

Hobby : Membaca dan Olah Raga.

Status Kawin : Menikah

Isteri : dr Imelda Damayanti Simbolon

Anak-anak : Nathanael Gregorius Hamonangan pandiangan (L), Stella

Amara Viona Pandiangan (P).

No

PENDIDIKAN FORMAL

Jenjang Pendidikan/Jurusan Tahun Selesai

1. SD RK Karya Dharma 1988

2. SMP Negeri I Medan 1991

3. SMA Kristen Immanuel Medan 1994

4. Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian 2006

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Jumlah Tindak Pidana (JTP) di Kepolisian Daerah Sumatera Utara

Tahun 2009 s/d Tahun 2011 ... 3

Tabel 2 : Jumlah Tindak Pidana (JTP) di Kepolisian Resor Labuhan Batu

Tahun 2009 s/d Tahun 2011 ... 4

Tabel 3 : JTP yang Menonjol (Crime Indeks) di Sumatera Utara Tahun 2009

s/d Tahun 2011 ... 4

Tabel 4 : JTP yang Menonjol (Crime Indeks) di Labuhan Batu Tahun 2009 s/d

Tahun 2011... 5

Tabel 5 : Jumlah Kasus Pencurian dengan Kekerasan (Curas) di Sumatera

Utara Tahun 2009 s/d Tahun 2011 ... 5

Tabel 6 : Jumlah Kasus Pencurian dengan Kekerasan (Curas) di Labuhan Batu

Tahun 2009 s/d Tahun 2011 ... 6

Tabel 7 : Persentase Jumlah Pencurian dengan Kekerasan di Polda Sumut

Tahun 2009 s/d Tahun 2011 ... 6

Tabel 8 : Persentase Jumlah Pencurian dengan Kekerasan di Polres Labuhan

Batu Tahun 2009 s/d Tahun 2011 ... 6

Tabel 9 : Kegiatan Sat Intelkam Tahun 2009 s/d Tahun 2011 ... 112

Tabel 10 : GKTM Bulan Januari-Maret Tahun 2009 s/d Tahun 2011 ... 113

Tabel 11 : Kasus Menonjol (Crime Index) Bulan Januari s/d Maret Tahun 2011 113

Tabel 12 : Kasus Narkotika Tahun Tahun 2009 s/d 2011 ... 115

Tabel 13 : Laka Lantas Bulan Januari-Maret 2011 ... 116

Tabel 14 : Kegiatan Rutin Polres Labuhan Batu yang Ditingkatkan Periode

Tanggal 1-19 April 2011 ... 118

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 15

E. Keaslian Penelitian ... 15

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 16

1. Kerangka Teori... 16

2. Landasan Konsepsional ... 23

G. Metode Penelitian... 24

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 24

2. Sumber Data ... 25

3. Teknik Pengumpulan Data ... 26

(11)

BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN

KEKERASAN MENURUT HUKUM PIDANA ... 28

A. Tinjauan Terhadap Istilah Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana ... 28

B. Tindak Pidana Pencurian yang Disertai Dengan Kekerasan ... 39

C. Pengaturan Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ... 47

BAB III : FAKTOR-FAKTOR YANG DAPAT MENIMBULKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN DI RANTAU PARAPAT KABUPATEN LABUHAN BATU ... 64

A. Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu ... 64

B. Faktor Wilayah Hukum dan Kemampuan Kepolisian Resor Labuhan Batu ... 70

C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan di Labuhan Batu ... 72

1. Faktor dari Hasil Pendapatan Penduduk ... 76

2. Faktor Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Penjagaan dan Pengawalan dari Aparat Kepolisian ... 81

3. Faktor Jalan Lintas Sumatera yang Strategis ... 83

BAB IV : PERANAN KEPOLISIAN RESOR LABUHAN BATU TERHADAP PENCURIAN DENGAN KEKERASAN ... 85

A. Peranan Kepolisian Berdasarkan Undang-Undang Kepolisian... 85

B. Peranan Polres Labuhan Batu Dalam Penanganan Kasus Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan ... 96

C. Upaya-Upaya yang Telah Dilakukan Polres Labuhan Batu ... 105

1. Tindakan Preemtif ... 105

2. Tindakan Preventif ... 106

(12)

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 128

A. Kesimpulan ... 128

B. Saran ... 130

(13)

ABSTRAK

Salah satu unsur penting dalam menciptakan keamanan dan ketertiban untuk memberikan perlindungan, pelayanan, dan pengayoman kepada masyarakat adalah Kepolisian. Wilayah hukum Polres Labuhan Batu meliputi sekaligus tiga kabupaten yakni: Kabupaten Labuhan Batu Induk/Raya, Kabuapten Labuhan Batu Utara, dan Kabupaten Labuhan Batu Selatan. Kondisi demikian berdampak pada peranan Polres Labuhan Batu khususnya dalam menangani tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang rentan terjadi di wilayah hukum Polres Labuhan Batu.

Permasalahan yang diteliti adalah: pertama, bagaimanakah pengaturan tindak

pidana pencurian dengan kekerasan menurut hukum pidana? kedua, apakah

faktor-faktor yang dapat menimbulkan terjadinya tindak pidana pencurian dengan kekerasan

di wilayah hukum Polres Labuhan Batu? dan ketiga, bagaimanakah Peranan Polres

Labuhan Batu terhadap pencurian dengan kekerasan di wilayah hukumnya?

Jenis metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer melalui studi dokumen di kantor Polresta Labuhan Batu dan data sekunder diperoleh dari studi pustaka terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Kesimpulan diperoleh: pertama, pengaturan tindak pidana pencurian

dengan kekerasan (curas) yang diatur dalam Pasal 365 KUH Pidana, ditegaskan

dalam bentuk khusus yakni pencurian dengan kekerasan atau perampokan. Kedua,

faktor-faktor penyebab curas di wilayah hukum Polres Labuhan Batu antara lain, kemampuan personil yang tidak sebanding dengan luas wilayah hukum, faktor hasil-hasil kebun kelapa sawit dan karet, faktor kemiskinan, faktor strategis letak geografis ketiga daerah kabupaten. Ketiga, peranan Polres Labuhan Batu terhadap pencurian dengan kekerasan di wilayah hukumnya dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan prioritas terhadap penanganan curas dan kejahatan lainnya yang tergolong sebagai perkara yang menonjol.

Saran yang diharapkan: pertama, agar penjatuhan sanksi terhadap putusan terhadap pelaku curas yang dilakukan secara bersama-sama dikenakan Pasal 365 KUH Pidana dan di-juntokan dengan Pasal 56 KUH Pidana. Kedua, agar pihak terkait secara bersama-sama untuk berupaya meminimalisir faktor-faktor kondusif curas di

wilayah Polres Labuhan Batu. Ketiga, agar peranan Polres Labuhan Batu lebih

ditingkatkan skala prioritasnya terhadap kejahatan-kejahatan yang menonjol di wilayah hukumnya khususnya curas.

(14)

ABSTRACT

One of the important elements in creating security and order to provide protection and service for the community is the Police. The jurisdiction of Labuhan Batu Resort Police includes three districts such as the Districts of Labuhan Batu Induk/Raya, Labuhan Batu Utara, and Labuhan Batu Selatan. This condition brings an impact to the role of Labuhan Batu Resort Police, especially in handling the violent teft offences which are prone to occur in the jurisdiction of Labuhan Batu Resort Police.

The problem studied in this study was: first, how the violent teft offences is regulated according to criminal law; second, the factors that can arise the incident of violent theft offences in the jurisdiction of Labuhan Batu Resort Police; and third, the role of Labuhan Batu Resort Police in handling the violent theft offences in its jurisdiction.

The data for this analytical descriptive normative juridical study were the primary data obtained through documentation study conducted at the office of Labuhan Batu Resort Police and the secondary data in the forms of primary and secondary legal materials obtained through library research.

The conclusion drawn from the result of this study was: first, the regulation on the violent theft offences is regulated in Article 365 of the Indonesian Criminal Codes which is especially emphasized as the violent theft offences or robbery; second, the factors causing the violent theft offences in the jurisdiction of Labuhan Batu Resort Police are the yields of oil palm and rubber plantation, poverty, and the strategic geographical position of the three districts; and third, the role of Labuhan Batu Resort Police in handling the violent theft offences in its jurisdiction was implemented based on the existing legal provisions by prioritizing the handling of the violent theft offences and other crimes classified as the prominent cases.

It is suggested that, first, the sanction decided for the actors of the joint violent theft offences must based on Article 365 juncto Article 56 of the Indonesian Criminal Codes; second, the related parties should jointly do their best to minimize the condusive factors causing the violent theft offences in the jurisdiction of Labuhan Batu Resort Police; and third, the scale of priority of the role of Labuhan Batu Resort Police in handling the prominent crimes, especially the violent theft offences, in its jurisdiction should be improved.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fungsi hukum sebagai sarana pengendali sosial tidak dapat diandalkan

sepenuhnya pada kemampuan peraturan perundang-undangan hukum formal.1

Bertolak dari persoalan ini, Satjipto Rahardjo, meragukan kemampuan nilai-nilai

hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat Indonesia sekarang yang sudah jauh

lebih rumit daripada sediakala.2

Hal tersebut dapat dilihat dari semakin meningkatnya kejahatan dan

meningkatnya pengangguran yang berdampak terhadap tingkat kesejahteraan

masyarakat. Tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah cenderung untuk tidak

mempedulikan norma, nilai atau kaidah hukum yang berlaku. Mengamati kondisi ini

untuk memenuhi kebutuhan manusia ada kecenderungan menggunakan segala cara

agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi, baik dengan cara melanggar norma hukum

maupun dengan tidak melanggar norma hukum.

Diperparah dengan terjadinya krisis moneter yang

berpengaruh besar terhadap masyarakat sehingga mengakibatkan masyarakat

mengalami krisis moral, sulitnya ruang untuk kesempatan kerja, Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK) dimana-mana, pengangguran, dan lain-lain.

1

Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: Suryandaru Utama,

2005), hal. 8.

2

Satjipto Rahardjo, “Pemanfaatan Ilmu Sosial Untuk Pembangunan Ilmu Hukum, Artikel,

(16)

Salah satu bentuk kejahatan atau tindak pidana yang sering terjadi di

tengah-tengah masyarakat adalah pencurian. Sulitnya perekonomian memungkinkan orang

untuk mencari jalan pintas dengan mencuri. Pemberitaan di media massa baik cetak

maupun elektronik menunjukkan fluktuasi kejahatan pencurian dengan berbagai

jenisnya dilatarbelakangi karena kebutuhan hidup yang tidak tercukupi.

Para pelaku pencurian (pencuri) dapat melakukan aksinya dengan berbagai

cara atau modus operandi (cara pelaksanaan kejahatan) yang berbeda-beda antara

kejahatan satu dengan lainnya apalagi didukung dengan ketersediaan sarana dan

prasarana untuk melakukan kejahatan dewasa ini, modus operandi para penjahat

mengarah kepada kemajuan ilmu dan teknologi. Cara-cara yang dilakukan dapat

dikelompokkan misalnya pencurian biasa, pencurian dengan pemberatan, pencurian

ringan, pencurian dalam keluarga, pencurian dengan kekerasan, dan lain-lain.

Secara normatif pengaturan tindak pidana pencurian diatur dalam KUH

Pidana Buku II Bab XXII Pasal 362 sampai dengan Pasal 367. Batasan pengertian

tentang pencurian diatur dalam Pasal 362, tentang jenis pencurian dan pencurian

dengan pemberatan diatur dalam Pasal 363, tentang pencurian ringan diatur dalam

Pasal 364, tentang pencurian dengan kekerasan diatur dalam Pasal 365, dan Pasal 367

mengatur tentang pencurian dalam keluarga. Salah satu yang memberatkan pelaku

tindak pidana adalah pencurian yang disertai dengan kekerasan.

Kekerasan yang sering terjadi misalnya dilakukan atau disertai dengan adanya

orang lain luka berat, kematian, pencurian itu dilakukan di malam hari, pencurian itu

(17)

melumpuhkan, memanjat, menodong korban menggunakan senjata api, menggunakan

kunci palsu, perintah palsu, dan lain-lain dengan tujuan untuk memudahkan

melakukan pencurian.

Faktor-faktor yang melatarbelakangi tindak pidana pencurian dengan

kekerasan adalah faktor ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan, meningkatnya

pengangguran, kurangnya kesadaran hukum, mengendurnya ikatan keluarga dan

sosial masyarakat.3

Data perbandingan Jumlah Tindak Pidana (JTP) Kepolisian Daerah Sumatera

Utara (Polda Sumut) dengan Kepolisian Resor (Polres) Labuhan Batu:

Tidak satupun norma yang membolehkan pencurian. Pencurian

dengan kekerasan bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun

hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa

dan negara. Pencurian dengan kekerasan merupakan salah satu penyakit masyarakat

yang meregenerasi dan merugikan orang lain.

Tabel 1

Jumlah Tindak Pidana (JTP) di Kepolisian Daerah Sumatera Utara Tahun 2009 s/d Tahun 2011

No. Tahun JTP Polda Sumut

1. 2009 35.336

2. 2010 41.806

3. 2011 46.907

Sumber: Kepolisian Daerah Sumatera Utara Tahun 2011

3

(18)

Tabel 2

Jumlah Tindak Pidana (JTP) di Kepolisian Resor Labuhan Batu Tahun 2009 s/d Tahun 2011

No. Tahun JTP Polres Labuhan Batu

1. 2009 3.691

2. 2010 3.885

3. 2011 3.699

Sumber: Kepolisian Resor Labuhan Batu Tahun 2011

Data Jumlah Tindak Pidana (JTP) tergolong sebagai kasus yang menonjol

Crime Indeks (CI) untuk Tahun 2009, 2010 dan Tahun 2011 dari Polda Sumut

disajikan berikut ini:

Tabel 3

JTP yang Menonjol (Crime Indeks) di Sumatera Utara Tahun 2009 s/d Tahun 2011

No Kasus Jumlah Tindak Pidana (JTP) Tahun

2009 2010 2011

Sumber: Kepolisian Daerah Sumatera Utara Tahun 2011

Sedangkan data Jumlah Tindak Pidana (JTP) tergolong kasus yang menonjol

Crime Indeks (CI) untuk Tahun 2009, 2010 dan Tahun 2011 di Wilayah Hukum

(19)

Tabel 4

JTP yang Menonjol (Crime Indeks) di Labuhan Batu Tahun 2009 s/d Tahun 2011

No Kasus

Jumlah Tindak Pidana (jtp) Tahun

Sumber: Kepolisian Resor Labuhan Batu Tahun 2011

Khusus untuk jumlah kasus pencurian dengan kekerasan (curas) selama 3

(tiga) tahun terakhir di Polda Sumut mencapai:

Tabel 5

Jumlah Kasus Pencurian dengan Kekerasan (Curas) di Sumatera Utara Tahun 2009 s/d Tahun 2011

No. Tahun Jumlah Curas di Sumut

1. 2009 946 kasus

2. 2010 1.003 kasus

3. 2011 941 kasus

Sumber: Kepolisian Daerah Sumatera Utara Tahun 2011

Sedangkan jumlah kasus pencurian dengan kekerasan (curas) selama 3 (tiga)

(20)

Tabel 6

Jumlah Kasus Pencurian dengan Kekerasan (Curas) di Labuhan Batu Tahun 2009 s/d Tahun 2011

No. Tahun JTP Curas di Labuhan Batu

1. 2009 62 kasus

2. 2010 101 kasus

3. 2011 67 kasus

Sumber: Kepolisian Resor Labuhan Batu Tahun 2011

Berdasarkan data tersebut apabila dipersentasikan jumlah pencurian dengan

kekerasan (curas) Polda Sumut dengan Polres Labuhan Batu, maka:

Tabel 7

Persentase Jumlah Pencurian dengan Kekerasan di Polda Sumut Tahun 2009 s/d Tahun 2011

Tahun JTP

Persentase Jumlah Pencurian dengan Kekerasan di Polres Labuhan Batu Tahun 2009 s/d Tahun 2011

Tahun JTP

Berdasarkan data yang diperoleh dari Polda Sumut untuk tahun 2009, JTP

(21)

pidana terhadap keamanan negara, melawan aparat, pemlasuan merek, korupsi,

penyuapan, penghinaan, penculikan, penipuan, pemerkosaan, pencurian dengan

kekerasan (curas), penggelapan, penadahan, illegal logging, narkoba, dan lain-lain.

Penyelesaian Tindak Pidana (PTP) dari jumlah di atas terpenuhi hanya 21.071 kasus.

Dari jumlah data tersebut, perkara yang menonjol (crime index/CI) adalah: pencurian

dengan kekerasan (946 kasus), pencurian dengan pemberatan (6.153 kasus),

pencurian kendaraan bermotor (3.046), kasus lainnya: judi, narkoba, penyelundupan,

illegal logging, dan tindak pidana korupsi.4

Dari jumlah data tahun 2009 Polda Sumut di atas, termasuk di dalamnya

jumlah data kriminalitas yang ada di wilyah hukum Polres Labuhan Batu atau JTP

3691 kasus. Jumlah tindak pidana yang sudah selesai proses hukumnya (PTP)

berjumlah 1.594 kasus. Perkara yang menonjol (CI) adalah: pencurian dengan

kekerasan (62 kasus), pencurian dengan pemberatan (857 kasus), pencurian

kendaraan bermotor (263), kasus lainnya: judi, narkoba, penyelundupan, illegal

logging, dan tindak pidana korupsi.

5

Untuk tahun 2010 Jumlah Tindak Pidana (JTP) di Polda Sumut mencapai

41.806 kasus sementara untuk PTP sekitar 20.370 kasus. Dari jumlah data tersebut,

perkara yang menonjol diantaranya: pencurian dengan kekerasan (1.003 kasus),

pencurian dengan pemberatan (7.154 kasus), pencurian kendaraan bermotor (4.917),

kasus lainnya: judi, narkoba, penyelundupan, illegal logging, tindak pidana korupsi

4

Data dari Humas Polda Sumut dalam Tiga Tahun Terakhir. Diterangkan JTP adalah: Jumlah Tindak Pidana, PTP: Penyelesaian Tindak Pidana, CC: Crime Clearing, CT: Crime Total.

5Ibid

(22)

dan lain-lain.6 Dari jumlah tahun 2010 Polda Sumut tersebut, CT untuk Polres

Labuhan Batu mencapai 260 kasus sedangkan CC 136 kasus. Perkara yang menonjol

(CI) adalah: pencurian dengan kekerasan (101 kasus), pencurian dengan pemberatan

(684 kasus), pencurian kendaraan bermotor (331), kasus lainnya: judi, narkoba,

penyelundupan, illegal logging, dan tindak pidana korupsi.7

Berdasarkan JTP di atas jika dibandingkan antara JTP pada tahun 2009

dengan 2010, baik di wilayah hukum Polda Sumut maupun di wilayah hukum Polres

Labuhan Batu, terjadi peningkatan JTP secara signifikan. Sementara data

penyelesaiannya (PTP) hanya menunjukkan separuhnya dari data JTP. Khusus tahun

2009 untuk pencurian dengan kekerasan (curas) di Polda Sumut, JTP mencapai 946

kasus dan untuk di Polres Labuhan Batu JTP 62 kasus. Sedangkan pada tahun 2010,

JTP pencurian dengan kekerasan di Polda Sumut 1.003 kasus sementara JTP di Polres

Labuhan 101 kasus. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada tahun

2010 JTP pencurian dengan kekerasan baik di wilayah hukum Polda Sumut maupun

di Polres Labuhan Batu meningkat secara tajam sampai 4 kali dari jumlah

sebelumnya.

Sebagaimana menurut data Polda Sumut pada tahun 2009 yang menunjukkan

JTP pencurian dengan kekerasan untuk wilayah hukum Polres Labuhan Batu

mencapai 21 kasus di Polres Labuhan Batu, namun menurut data Polres Labuhan

Batu data tersebut mencapai 62 kasus (JTP) sedangkan yang sudah diselesaikan 18

6Ibid

.

7Ibid

(23)

kasus.8 Untuk tahun 2010, JTP pencurian dengan kekerasan di Polres Labuhan Batu

meningkat dari 62 kasus menjadi 101 kasus. Data tersebut sesuai dengan data Polda

Sumut pada tahun 2010.9 JTP 101 kasus pencurian dengan kekerasan tersebut hingga

pada tahun 2011, menurun dari 101 menjadi 67 kasus.10

Salah satu diantara JTP pencurian dengan kekerasan yang terjadi pada tahun

2011 tersebut adalah peristiwa yang terjadi pada tanggal 15 April 2011 di Simpang

Hockly Jalan Baru By Pass Kecamatan Rantau Selatan Kabupaten Labuhan Batu

Propinsi Sumatera Utara.

11

Para pelaku menggunakan 1 (satu) unit Mobil Daihatsu

Terios BK 1310 YL warna silver menghadang korban, menodongkan senjata api,

mengikat tangan dan kaki serta menutup mata kedua korban. Sehingga Mobil

Mithsubishi Colt Diesel yang bermuatan getah (karet) gumpalan sebanyak 4000 Kg

(Empat Ribu Kilogram) yang dibawa korban dapat dikendalikan para pelaku dan

dibawa ke Kecamatan Aek Natas Kabupaten Labuhanbatu untuk dijual.12

Pencurian dengan kekerasan yang diputus melalui Putusan Pengadilan Negeri

Rantau Parapat Nomor: 1109/Pid.B/2011/PN-RAP tertanggal 12 Oktober 2011,

bahwa Nurdin Sipahutar Alias Udin melanggar Pasal 365 ayat (2) ke-2 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana), “Hukuman penjara selama-lamanya

dua belas tahun, dijatuhkan jika perbuatan itu dilakukan oleh dua orang

8

Laporan Data Kriminalitas Per Bulan Polres Labuhan Batu Tahun 2019.

9

Laporan Data Kriminalitas Per Bulan Polres Labuhan Batu Tahun 2010.

10

Laporan Data Kriminalitas Per Bulan Polres Labuhan Batu Tahun 2011.

11

Sebagai Studi Kasus dalam Penlitian ini.

12

(24)

sama atau lebih”.13 Ketentuan pasal tersebut menurut buku terjemahan Soesilo,

dinamakan pencurian biasa dengan pemberatan atau pencurian dengan kualifikasi

sehingga dapat diancam dengan hukuman yang lebih berat.14

Pemberatan dalam hal ini terpidana secara bersama-sama bertindak

melakukan pencurian disertai pula dengan tindakan kekerasan. Pencurian terjadi pada

hari Jumat tanggal 15 April 2011 sekitar pukul 01.00 WIB di Simpang Hockly Jalan

Baru By Pass Kecamatan Rantau Selatan Kabupaten Labuhanbatu yang dilakukan

oleh Nurdin Sipahutar alias Udin, Ahmad Dahlan Pasaribu alias Dahlan, Hubban

Sagala alias Ban, Ali Tua Tanjung alias Tua, sedangkan Mail dan Ipong dalam Daftar

Pencarian Orang (DPO) Kepolisian Labuhanbatu.

Dalam Putusan Pengadilan Negeri Rantau Parapat Nomor:

1109/Pid.B/2011/PN-RAP tersebut, hanya disebutkan pasal yang dilanggar adalah

Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUH Pidana junto Pasal 197 KUHAP. Pasal 365 ayat (2) ke-2

KUH Pidana adalah pencurian dengan kekerasan yang menurut Soesilo harus

di-junto-kan dengan Pasal 363 ayat (4) KUH Pidana yakni pencurian dengan

pemberatan atau dengan kualifikasi. Pemenuhan unsur-unsur dalam Pasal 365 ayat

(2) ke-2 KUH Pidana disingkron dengan Pasal 197 KUHAP yang memuat mengenai

syarat-syarat suatu surat putusan pemidanaan, sehingga dengan demikian memenuhi

syarat menjatuhkan pidana terhadap pelaku.

13

Putusan Pengadilan Negeri Rantau Parapat Nomor: 1109/Pid.B/2011/PN-RAP tertanggal 12 Oktober 2011 yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

14

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap

(25)

Berkas Perkara yang dibuat Kepolisian, atas nama Nurdin Sipahutar (berkas

terpisah) dengan kawan-kawannya mencantumkan ketentuan pasal yang dilanggar

adalah Pasal 365 KUH Pidana yakni pencurian dengan kekerasan. Pengenaan pasal

tersebut tidak menegaskan ayat berapa dari Pasal 365 KUH Pidana yang dilanggar

pelaku sehingga tampak seolah-olah semua ayat dalam Pasal 365 KUH Pidana

termasuk unsur yang dilanggar pelaku. Hal demikian menjadi persoalan sebab dapat

membuka peluang luas terhadap pasal tersebut untuk dijatuhkan oleh hakim yang

mengadilinya.

Unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang disebutkan

dalam Pasal 365 KUH Pidana yang mana harus dipenuhi misalnya pada ayat (1)

“diikuti dengan kekerasan untuk memudahkan pencurian”, ayat (2) ke-1 “pencurian

itu dilakukan di malam hari”, ayat (2) ke-2 “pencurian itu dilakukan oleh dua orang

secara bersama-sama atau lebih”, ayat (2) ke-3 “dengan cara membongkar atau

memanjat, menggunakan kunci palsu, perintah palsu, atau jabatan palsu”, ayat (2)

ke-4 “pencurian yang menyebabkan ada orang lain luka berat”, ayat (3) “menyebabkan

kematian”, ayat (4) “menyebabkan ada orang lain luka berat atau mati yang dilakukan

oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama”.

Hukum pidana memberikan batasan unsur mana yang dilanggar sesuai dengan

ketentuan setiap ayat di atas, akan tetapi dalam Berkas Perkara Nurdin Sipahutar

dengan kawan-kawannya dicantumkan ketentuan pasal yang dilanggar adalah Pasal

365 KUH Pidana yang mengandung unsur “pencurian dengan kekerasan” tidak

(26)

KUH Pidana yang di-junto-kan penyidik dalam analisis yuridisya tidak diputuskan

Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Rantau Parapat Nomor:

1109/Pid.B/2011/PN-RAP melainkan dibuat diputus secara terpisah.15

Penegakan hukum terhadap pencurian dengan kekerasan di Rantau Parapat

Kabupaten Labuhan Batu dalam Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice

System masih terdapat kejanggalan dalam penentuan unsur-unsur tindak pidana

pencurian dengan kekerasan yang disebutkan dalam hukum pidana. Selain itu, dalam

proses penegakan hukum terkendala dalam menentukan delik pidana, pelaku, sebab

pelaku tindak pidana pencurian tidak dilakukan oleh satu orang melainkan secara

bersama-sama. Hukum pidana menegaskan perbuatan demikian itu adalah perbuatan

penyertaan (deelneming) yang berbeda dengan perbuatan perbarengan (samenloop

atau concursus).16

Perbuatan penyertaan (deelneming) tersebut yang dilakukan pada saat

Maratogu Harahap (korban) melintas di Simpang Hockly Jalan Baru By Pass

Kecamatan Rantau Selatan Kabupaten Labuhanbatu dengan mengendarai Mobil

Mithsubishi Colt Diesel yang dikendarai oleh korban bermuatan getah (karet)

gumpalan sebanyak 4000 Kg (Empat Ribu Kilogram) bersama-sama dengan Parenta

15

Berkas Perkara Nomor: BP/278/V/2011/Reskrim, Op. cit, hal. 8.

16

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya”,

(Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 336. Penyertaan adalah perbuatan dua orang atau lebih melakukan satu tindak pidana atau dengan kata lain ada dua orang atau lebih mengambil bahagian untuk mewujudkan satu tindak pidana. Sedangkan di hal. 391 buku ini disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan perbuatan perbarengan (samenloop atau concursus) adalah beberapa tindak pidana yang

(27)

Siregar, dihadang oleh pelaku dengan menggunakan 1 (satu) unit Mobil Daihatsu

Terios BK 1310 YL warna silver. Ahmad Dahlan dan kawan-kawan keluar dari mobil

dan menarik korban (Maratogu Harahap dan Parenta Siregar) dari Mobil Mithsubishi

Colt Diesel dengan menodong korban menggunakan senjata api, mengikat tangan dan

kaki serta menutup mata kedua korban dimasukkan ke dalam Mobil Daihatsu Terios

BK 1310 YL.

Mobil Mithsubishi Colt Diesel yang bermuatan getah (karet) gumpalan

sebanyak 4000 Kg (Empat Ribu Kilogram) dikendalikan pelaku dan dibawa ke

Kecamatan Aek Natas Kabupaten Labuhanbatu untuk dijual. Sementara kedua korban

diturunkan di sebuah parit dengan kondisi tangan dan kaki terikat tali serta mata

ditutup. Kerugian yang ditimbulkan akibat pencurian dengan kekerasan tersebut

sebesar Rp.320.000.000,- (tuga ratus dua puluh juta rupiah).

Putusan Pengadilan Negeri Rantau Parapat Nomor: 1109/Pid.B/2011/PN-RAP

memutus perkara pidana atas nama Nurdin Sipahutar alias Udin dengan pidana

penjara 1 (satu) tahun 10 (sepuluh) bulan dikurangi masa tahanan. Sedangkan jika

dipertimbangkan pencurian tersebut dilakukan secara bersama-sama (deelneming),

melakukan kekerasan, yang menurut ancaman sanksi pidana dalam Pasal 365 ayat (2)

ke-2 KUH Pidana selama-lamanya 12 (dua belas) tahun penjara. Hukum pidana

menyatakan “selama-lamanya” dan tidak menyebutkan sanksi minimal sehingga

pasal ini membuka keleluasaan hakim menjatuhkan sanksi pidana dengan jumlah

yang relatif singkat seperti sanksi pidana penjara yang diterapkan kepada Nurdin

(28)

Menarik untuk dikaji dan dilakukan penelitian tentang pencurian dengan

kekerasan di sini mengingat bahwa pencurian tersebut dilakukan secara

bersama-sama atau perbuatan penyertaan (deelneming) yang selama ini menjadi target

Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Resor Labuhan Batu.

Maka, dipilih “Peranan Kepolisian Resor Labuhan Batu Terhadap Tindak Pidana

Pencurian Dengan Kekerasan”, sebagai judul dalam penelitian ini.

B. Perumusan Masalah

Sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang, maka perumusan masalah

yang diteliti adalah:

1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana pencurian dengan kekerasan menurut

hukum pidana?

2. Apakah faktor-faktor yang dapat menimbulkan terjadinya tindak pidana

pencurian dengan kekerasan di wilayah hukum Polres Labuhan Batu?

3. Bagaimanakah Peranan Polres Labuhan Batu terhadap pencurian dengan

kekerasan di wilayah hukumnya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan untuk melakukan penelitian ini terkait dengan permasalahan di atas

adalah:

1. Untuk mengetahui dan memahami unsur-unsur tindak pidana pencurian

(29)

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat menimbulkan terjadinya tindak

pidana pencurian dengan kekerasan di wilayah hukum Polres Labuhan Batu.

3. Untuk mengetahui dan memahami Peranan Polres Labuhan Batu terhadap

pencurian dengan kekerasan di wilayah hukumnya.

D. Manfaat Penelitian

Esensi suatu penelitian dapat memberikan sejumlah manfaat. Manfaat dari

penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir

untuk mengetahui, memahami, dan mendalami permasalahan hukum dalam

penegakan hukum terhadap pencurian dengan kekerasan di rantau parapat

kabupaten labuhan batu, mulai dari proses penyidikan sampai pada putusan.

Penelitian ini dapat pula sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya,

dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan.

2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi aparat Kepolisian hukum

khususnya Kepolisian Resor Labuhan Batu.

E. Keaslian Penulisan

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang

sama dengan permasalahan di atas, maka sebelumnya, peneliti telah melakukan

penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dan di Perpustakaan

(30)

ditemukan judul penelitian/tesis yang sama dengan permasalahan dan judul dalam

penelitian ini. Sementara fokus pembahasan yang dikaji dalam penelitian ini, judul

dan permasalahannya masih asli dan belum pernah diteliti sebelumnya.

Oleh sebab itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini, dinyatakan

masih asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis orang lain. Penulis

bertanggung jawab sepenuhnya apabila di kemudian hari terbukti atau dapat

dibuktikan terdapat plagiat atau duplikasi dalam penelitian ini dengan penelitian yang

sudah ada sebelumnya.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Dalam kerangka Penegakan hukum tidak terlepas dari sistem hukum yang

dianut suatu negara tertentu. Teori yang mendasari ini disebut dengan teori sistem

hukum (legal system theory). Ada dua sistem hukum yang mendominasi

negara-negara di dunia dan dibedakan atas sistem hukum civil law (continental europe legal

system) yang bercirikan hukum dalam bentuk perundang-undangan tertulis dan sistem

hukum common law (anglo american legal system) yang bercirikan hukum tidak

tertulis dan putusan-putusan pengadilan terdahulu (precedent) sebagai sumber

hukumnya.

Subekti menyebut sistem hukum itu adalah suatu susunan atau tatanan yang

teratur merupakan keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan

(31)

untuk mencapai suatu tujuan.17 Pandangan demikian juga disebutkan Sudikno

Mertokusumo, suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai

interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan.18

Senada dengan itu, Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra juga memandang hal

yang sama luasnya ruang lingkup sistem hukum sebagai suatu kesatuan sistem besar

yang tersusun atas sub-sub sistem yang kecil. Sub-sub sistem kecil itu misalnya

bidang pendidikan hukum, pembentukan hukum, peraturan perundang-undangan,

penerapan hukum, aparat penegak hukum, dan lain-lain, dan bidang-bidang lainnya.19

Dengan begitu luasnya elemen-elemen yang terdapat dalam sistem hukum,

Lawrence M. Friedman, mengelompokkannya dalam tiga kelompok yaitu:

20

a. Struktur hukum. Mencakup keseluruhan institusi-institusi hukum baik

lembaga-lembaga pemerintahan maupun aparat penegak hukum seperti: Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Lembaga Pemasyarakatan, dan Advokat.

b. Substansi hukum. Mencakup keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan

asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan yang bersifat mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

c. Kultur hukum. Mencakup pola, tata cara berfikir dan bertindak, baik atas

karena kebiasaan-kebiasaan maupun karena perintah undang-undang, baik dari perilaku aparat penegak hukum dan pelayanan dari instansi pemerintah maupun dari perilaku warga masyarakat dalam menerjemahkan hukum melalui perilakunya, dan lain-lain.

17

R. Subekti, dalam H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra

Aditya Bakti, Bandung, 1999), hal. 169.

18Ibid. 19

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju,

2003), hal. 151.

20

Lawrence M. Friedman, dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan

Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta:

(32)

Struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum menurut Soerjono

Soekanto, merupakan elemen-elemen penting dalam penegakan hukum, jika salah

satu elemen dari tiga kompenen ini tidak bekerja dengan baik, akan mengganggu

elemen lainnya hingga pada gilirannya mengakibatkan penegakan hukum yang tidak

diinginkan atau terjadi kepincangan hukum. Ketiga elemen ini menurut beliau

merupakan bagian dan faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan

karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang

diharapkan.21 Sebagai faktor penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan

dengan baik atau tidak, Lawrence M. Friedman menekankannya pada kinerja aparatur

hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, substansi hukum, dan budaya

hukum menyangkut perilaku.22

Pengelompokan demikian tidak mengurangi luasnya sistem hukum sebagai

suatu kompleksitas, tujuan pengelompokannya agar semua elemen mampu

mencermatinya secara tajam dalam memahami keutuhan proseduralnya. Substansi

hukum akan mampu bertahan dan evektif berlaku di masyarakat, apabila elemen

struktur hukum dan kultur hukum dijalankan secara profesional. Keterkaitan

elemen-elemen ini secara profesional untuk memperkecil terjadinya penyimpangan dan

penyalahgunaan wewenang pelaksanaan penegakan hukum. Pada prinsipnya KUHAP

sudah mengatur sistem pengawasan yang dapat diwujudkan melalui koordinasi

21

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta,

Rajawali, 1983), hal. 5.

22

Lawrence M. Friedman, diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah

(33)

fungsional dan instansional termasuk melakukan pendekatan dengan masyarakat. Hal

ini berarti masing-masing elemen sama berdiri sejajar antar instansi yang satu dengan

lainnya tidak berada dalam kerangka penegakan hukum. Dimana koordinasi

pelaksanaan fungsi penegakan hukum antar instansi harus saling mematuhi ketentuan

wewenang dan tanggung jawabnya demi kelancaran proses penegakan hukum.

Profesionalisme dalam menjalankan tugas merupakan unsur paling penting misalnya

kemampuan dan keterampilan secara personal dari aparat penegak hukum utamanya

adalah kalangan petinggi-petinggi hukum.23

Kelambatan, kekeliruan, tidak profesional, dan tidak memiliki kepemimpinan,

dan keterampilan yang baik dari aparatur hukum maupun pada instansi pemerintahan

tertentu mengakibatkan rusaknya jalinan pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi

penegakan hukum dalam sistim hukum. Konsekuensinya adalah instansi yang

bersangkutan dalam menangani perkara tidak akan berjalan untuk mencapai tujuan

hukum dan keadilan bagi pencari keadilan.24

Pada elemen struktur hukum misalnya yang terdiri dari lembaga Kepolisian,

Kejaksaan, Kehakiman, Lembaga Pemasyarakatan, dan Advokat tergabung dalam

23Ibid

.

24Ibid

, hal. 212-213. Teori tujuan hukum timur berbeda dengan tujuan hukum barat. Teori tujuan hukum timur umumnya tidak menempatkan ”kepastian” tetapi hanya menekankan pada tujuan ”keadilan adalah keharmonisan, dan keharmonisan adalah kedamaian”. Hal ini berbeda dengan tujuan hukum barat yang menghendaki ”kepastian”. Tujuan hukum di negara Indonesia memiliki kesamaan

dengan konsep tujuan hukum barat, sebab sistim hukum yang berlaku adalah civil law hal ini dikenal

(34)

sistem yang dikenal dengan Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang dalam bahasa lain

disebut sebagai Criminal Justice System (CJS) telah menjadi sebuah mekanisme kerja

dalam penegakan hukum dengan menggunakan pendekatan sistem.25

Pendekatan sistem dimaksud di sini adalah penegakan hukum secara litigasi

harus melibatkan elemen-elemen SPP atau CJS tersebut dalam penegakan hukum

dimulai dari proses penyelidikan, penangkapan, penyidikan, penahanan, penuntutan,

dan pemeriksaan di sidang pengadilan sampai pelaksanaan pidana di Lembaga

Pemasyarakatan.

26

Kondisi demikian menunjukkan kedudukan dan fungsi strategis dari

elemen-elemen SPP sebagai ciri dari negara hukum (rechtsstaat).27 Kekuasaan negara harus

dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil.28 Dalam negara konsep rechtsstaat,

hukum sebagai urat nadi yang mangandung makna jika hukum tidak dijalankan

dengan baik dan adil oleh penyelenggaranya, maka negara tersebut akan hancur.29

Elemen-elemen tersebut harus dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan

pada bidang masing-masing. Jika tugas, fungsi, dan wewenang itu tidak dijalankan

dengan baik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan kode etik, niscaya

pencapaian tujuan hukum tidak terealisasi sebagaimana mestinya. Salah satu dari

elemen-elemen SPP tersebut adalah Kepolisian. Elemen ini berwenang dalam

25

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Putra Bardin, 1996), hal.

33. Lihat juga: Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum Dalam Konteks

Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 70.

26Ibid

, hal. 14.

27

Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

28

Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama), hal. 295.

29

(35)

melakukan penyelidikan, penangkapan, penyidikan, penahanan, dan pelimpahan

berkas perkara ke Kejaksaan setempat. Kepolisian sebagai salah satu bagian dari

elemen SPP mempunyai kedudukan yang sentral dan posisi yang strategis di dalam

suatu negara hukum karena selain Kepolisian berfungsi sebagai aparat penegak

hukum, juga sebagai bagian dari pemerintahan yang bertugas di bidang pemeliharaan

keamanan dan ketertiban masyarakat dengan cara melindungi, mengayomi, dan

melayani masyarakat.30

Tugas, fungsi, dan wewenang Kepolisian sebagai aparat penegak hukum harus

tunduk dan patuh terhadap ketentuan perundang-undangan dan kode etik Kepolisian

Republik Indonesia yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (UU

Kepolisian). Sebagaimana dalam rangka melaksanakan penegakan hukum yang

dilakukan oleh Kepolisian Resor Labuhan Batu terhadap pencurian dengan

kekerasan, dilakukan melalui pendekatan sistem baik melalui dua kategori kebijakan

yakni: penal (menerapkan hukum pidana) maupun non penal (di luar hukum pidana).

Penerapan kebijakan tersebut dapat diuraikan lagi secara khusus yakni melalui

langkah-langkah preemtif, preventif, dan refresif. Preemtif dan preventif termasuk

dalam kategori kebijakan non penal sedangkan refresif masuk kategori penal.31

Preemtif sebagai langkah pencegahan dilakukan secara dini melalui

kegiatan-kegiatan edukatif yang tidak ada kaitannya dengan suatu pelanggaran atau tindak

30

Pasal 2 UU Kepolisian.

31

Bandingkan dengan Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy

dan Non-Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press,

(36)

pidana namun dilakukan pendekatan terhadap masyarakat dengan sasaran

mempengaruhi faktor-faktor kondusif penyebab (kriminogen) terjadinya

pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan. Misalnya tim Kepolisian melakukan kegiatan seminar,

melakukan kegiatan keagamaan, pendidikan, dan lain-lain. Preventif adalah

pencegahan yang mempriotitaskan pada pengawasan dan pengendalian secara

langsung yang sudah ada kaitannya dengan pelanggaran atau tindak pidana yang akan

muncul. Misalnya pencegahan dengan melakukan pengawalan objek-objek vital

termasuk mengawal mobil-mobil yang mengangkut barang-barang dagang jika

diperlukan. Upaya preemtif dan preventif bukan semata-mata dibebankan kepada

PoIri, namun juga melibatkan instansi terkait seperti Bea dan Cukai, Guru, Pemuka

Agama, Akademisi, dan tidak terlepas dari dukungan maupun partisipasi masyarakat.

Refresif merupakan upaya penindakan dan penegakan hukum atau penerapan hukum

pidana terhadap pelanggaran dan kejahatan yang telah terjadi dengan sanksi yang

tegas dan konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.32

Dalam rangka penegakan hukum di wilayah hukum Polres Labuhan Batu

terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan (curas) masuk dalam kategori

pendekatan sistem dalam kerangka SPP yakni menerapkan hukum pidana (kebijakan

penal) terhadap pelaku pencurian. Walaupun disebutkan fokusnya di wilayah hukum

Polres Labuhan Batu namun tidak tertutup kemungkinan proses hukum yang

dijalankan untuk menindak pelaku dalam kasus curas melibatkan semua elemen

32

Awaloedin Djamin, Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Sistem

(37)

dalam SPP seperti Kejaksaan, Kehakiman, Lembaga Pemasyarakatan, dan Advokat.

Selain melalui pendekatan sistem, sesuai dengan amanat UU Kepolisian, Polres

Labuhan batu juga melakukan pendekatan terhadap masyarakat setempat untuk dapat

mengungkap kasus curas tersebut dan dibawa ke sidang pengadilan.

Tentunya hubungan koordinasi elemen-elemen SPP tersebut merupakan

rangkaian kegiatan yang secara organisatoris terpisah namun tetap melakukan

koordinasi lintas intansi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya saling terkait

satu sama lain, dalam arti adanya suatu koordinasi fungsional dan instansional serta

adanya sinkronisasi dalam pelaksanaan proses hukum.33

2. Landasan Konsepsional

Koordinasi pelaksanaan

fungsi penegakan hukum antar instansi saling mematuhi ketentuan wewenang dan

tanggung jawab dalam perundang-undangan dan kode etik demi kelancaran proses

penegakan hukum.

Landasan konsepsional digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa

istilah untuk menghindari kesimpangsiuran dalam memahami dan menafsirkan

definisi/pengertian. Landasan konsepsional dimaksud adalah sebagai berkut:

a. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam menurut hukum

pidana (KUH Pidana).34

b. Pencurian dengan kekerasan adalah suatu tindak pidana yang memenuhi

semua unsur dalam Pasal 365 KUH Pidana.

33

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2000), hal. 116.

34

(38)

c. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara

yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang

dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya.35

d. Penegakan hukum adalah serangkaian tindakan aparat penegak hukum yang

tergabung dalam sistem peradilan pidana untuk menerapkan hukum.

e. Faktor kriminogen adalah faktor-faktor kondusif yang dapat mempengaruhi

atau sebagai penyebab terjadinya pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan

(kriminalitas).

f. Peran Kepolisian adalah pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang Polisi di

wilayah hukum Polres Labuhan Batu yang terdiri dari tiga kabupaten

sekaligus yakni: Kabupaten Labuhan Batu Induk, Labuhan Batu Selatan, dan

Labuhan Batu Utara.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yakni penelitian

terhadap asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan

putusan pengadilan. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan

menggambarkan fakta-fakta mengenai tindak pidana pencurian dengan kekerasan di

wilayah hukum Kepolisian Resor Labuhan Batu dalam bentuk uraian secara

35

(39)

sistematis dengan menjelaskan hubungan antara fakta dengan peraturan

undangan yang menyangkut peranan Kepolisian menurut peraturan

perundang-undangan. Sebagai data untuk memperkuat argumentasi-argumentasi dalam

penelitian ini dilakukan wawancara langsung kepada aparat Kepolisian di Polres

Labuhan Batu.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan

data sekunder. Data primer diperoleh dari penelitian lapangan (field research)

sedangkan data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan (field

research). Data sekunder dibagi dalam 3 (tiga) bahan hukum, yaitu:

a. Bahan hukum primer, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH

Pidana) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta UU

No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan terhadap

bahan hukum primer, seperti: buku-buku, makalah hasil-hasil seminar atau

pertemuan ilmiah, majalah, jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet,

surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

(40)

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka (library

research) dan studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di

perpustakaan dan kantor Polres Labuhan Batu dengan melakukan identifikasi

terhadap data yang ada. Selain itu, dilakukan studi lapangan (field research) berupa

wawancara mendalam kepada beberapa informan diantaranya: aparat penegak hukum

di Polres Labuhan Batu, pemuka masyarakat, kepada korban curas Maratogu Harahap

sebagai Pelapor yang mengalami langsung kejadian tersebut. Kemudian wawancara

terhadap pelaku Ahmad Dahlan Pasaribu untuk memperoleh data tentang bagaimana

kronologis yang dilakukan terkait dengan curas yang terjadi. Data yang diperoleh

melalui penelitian kepustakaan dan lapangan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah

guna memperoleh kaitannya dengan pasal-pasal dalam perundang-undangan terkait

dengan tindak pidana pencurian dengan kekerasan. Data tersebut kemudian

disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan

permasalahan dalam penelitian ini.

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu analisis yang bertolak dari data

dengan memanfaatkan teori yang ada sebagai penjelas dan berakhir dengan suatu

teori. Data yang dianalisis secara kualitatif yakni mendasarkan pada analisis terhadap

kaidah, asas, norma-norma hukum yang terdapat dalam KUH Pidana dan KUHAP

(41)

disistematisasikan sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan

permasalahan.

Analisis dilakukan dengan memberikan argumentasi-argumentasi yuridis

terhadap permasalahan mengenai penilaian apa dan bagaimana yang semestinya

menurut kaidah, asas, norma-norma hukum yang terdapat dalam

perundang-undangan. Data akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan

menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya dinyatakan secara

deskriptif yaitu menggambarkan dan mengungkapkan argumentasi yang menjadi

(42)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM PIDANA

A. Tinjauan Terhadap Istilah Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari dua kata, ”tindak” dan ”pidana”. Tindak

berarti perbuatan sedangkan pidana menyangkut kepentingan penguasa/negara dan

masyarakat. Apabila diambil padanan tindak pidana dipersamakan dengan istilah

strafbaar feit yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi tindak

pidana. Selain diterjemahkan sebagai tindak pidana, strafbaar feit, juga diartikan

atau disamakan dengan istilah:36

1. Perbuatan yang dapat atau boleh dihukum;

2. Peristiwa pidana; dan

3. Perbuatan pidana.

Istilah tindak pidana, perbuatan yang dapat atau boleh dihukum, peristiwa

pidana, dan perbuatan pidana pada parktiknya diartikan menjadi satu istilah saja

dimana terkadang disebut dengan tindak pidana atau peristiwa pidana atau perbuatan

pidana. Sehingga tampak dari beberapa istilah ini adalah delik yang dapat diberi

sanksi atau hukuman.37

36

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op, cit, hal. 204.

Namun, pada praktik umumnya, masyarakat cenderung

menggunakan istilah tindak pidana saja.

37

Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal.

(43)

Apakah keempat istilah ini berbeda satu sama lainnya?, maka untuk

menjawabnya terlebih dahulu diutarakan pendapat dari para pakar hukum pidana.

Misalnya sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana hukum barat:38

1. Simon. Beliau mengatakan strafbaar feit adalah suatu perbuatan atau tindakan

(handeling) yang diancam oleh pidana oleh undang-undang, bertentangan

dengan hukum (onrechtmatig), dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh

seseorang yang mampu bertanggung jawab.

2. Van Hamel. Beliau mengatakan strafbaar feit sama dengan yang dirumuskan

Simons, hanya ada penambahan sedikit dengan kalimat, ”tindakan mana

bersifat dapat dipidana”.

3. Vos merumuskan strafbaar feit adalah suatu kelakuan (gedraging) manusia

yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.

4. Pompe merumuskan strafbaar feit adalah suatu pelanggaran kaidah

(penggangguan ketertiban hukum) terhadap pelaku yang memiliki kesalahan

untuk dipidana secara wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan

menjamin kesejahteraan umum.

Selain dikemukakan di atas, para sarjana hukum Indonesia menerjemahkan

dan mengungkapkan istilah starfbaar feit sebagai berikut:

1. Moeljatno mengatakan strafbaar feit lebih cenderung diterjemahkannya

menjadi perbuatan pidana.39

38Ibid

, hal. 91-92. Lihat juga: E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Loc, cit.

39Ibid

(44)

2. Utrecht menganjurkan untuk menggunakan istilah peristiwa pidana.40

3. Satochid Kartanegara menganjurkan pemakaian itilah tindak pidana.41

4. Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah tindak pidana.42

5. Mr. R. Tresna menggunakan istilah peristiwa pidana, namun sedikit berbeda

dengan pendapat Moeljatno.43

Walaupun telah terjadi penafsiran yang berbeda antara satu sama lainnya di

kalangan para sarjana hukum baik di barat maupun di Indonesia, namun tidak

menjadi persoalan ketika perundang-undangan di Indonesia tetap menggunakan

istilah tindak pidana. Perundang-undangan tidak satupun bisa mendefinisikan

strafbaar feit melainkan digunakannya hanya istilah ”tindak pidana” saja. Oleh sebab,

perundang-undangan di Indonesia tidak mendefinisikan tindak pidana, maka dapat

a. Kalau untuk recht sudah lazim dipakai sitilah hukum, maka dihukum berarti diadili (berecht),

yang sama sekali tidak mesti harus berhubungan dengan pidana (straf), sebab perkara-perkara

perdata sekalipun tetap diadili (diberecht). Oleh karenanya beliau memilih menerjemahkan

strafbaar menjadi pidana sebagai singkatan dari ”yang dapat dipidana”.

b. Perkataan perbuatan sudah lazim digunakan dalam pembicaraan sehari-hari seperti: perbuatan

tidak senonoh, perbuatan jahat, perbuatan tidak terpuji, dan sebagainya. Perbuatan juga digunakan dalam istilah teknis misalnya: perbuatan melawan hukum. Perkataan perbuatan berarti dibuat oleh seseorang dan menunjukkan pada subjek yang melakukan maupun pada objeknya (akibatnya). Sedangkan perkataan peristiwa tidak menunjukkan bahwa yang menimbulkannya adalah

handeling atau gedraging seseorang, kemungkinan yang melakukannya bisa hewan atau alam.

Perkataan tindak berarti langkah dan baru dalam bentuk tindak tanduk atau tingkah laku.

40 Ibid

. Argumentasi Utrecht mengatakan demikian: karena istilah peristiwa itu meliputi perbuatan (handelen atau doen, positif) atau melalaikan (verzuim atau nalaten atau niet-doen, negatif).

41

Ibid. Argumentasi Satochid Kartanegara adalah: karena istilah tindak (tindakan) mencakup

pengertian melakukan atau berbuat (actieve handeling) dan/atau pengertian tidak melakukan sama

sekali atau tidak berbuat, tidak melakukan suatu perbuatan (passieve handeling).

42Ibid

, hal. 209. Alasannya karena suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan sebagai subjek tidak pidana.

43 Ibid

(45)

disimpulkan bahwa dalam perspektif perundnag-undangan, istilah tindak pidana itu

merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi oleh undang-undang.

UU No.1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH

Pidana) sebagai lex generalis sekalipun tidak mampu memberikan defenisi lengkap

dan secara rinci mengenai istilah tindak pidana.44 Agar tidak menjadi dilema dalam

menafsirkan istilah tindak pidana ini dan agar tidak menimbulkan ambigu (makna

ganda atau lebih) maka ada baiknya dirujuk pada ketentuan yang ditentukan dalam

Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana, ”Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas

kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu daripada

perbuatan itu”.45

Tindak pidana berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana di atas

dapat dikatakan bahwa tindak pidana itu menyangkut segala ketentuan-ketentuan

yang telah dilarang atau sudah diatur dalam undang-undang. Istilah tindak pidana

diterjemahkan dari istilah bahasa Belanda, strafbaar feit yang diartikan sebagai

sesuatu tindakan yang dilakukan pada suatu tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang

dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat

melawan hukum, mengandung kesalahan, dilakukan oleh seseorang yang mampu

bertanggung jawab.

46

Istilah tindak pidana dan perbuatan pidana tampaknya lebih dikenal karena

kedua istilah ini banyak digunakan dalam perundang-undangan untuk menyebut suatu

44

R. Soesilo, Op. cit, hal. 28-29.

45Ibid

, hal. 27.

46

(46)

perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman

(sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut.47

Bisa juga diartikan tindak pidana itu sebagai kelakuan atau tingkah laku

manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana. Tingkah laku

manusia itu dipandang salah menurut hukum atau mengandung sifat melawan hukum

yang diancam dengan pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung

jawab. Namun, tindak pidana tidak hanya menyangkut perbuatan manusia

(handeling) dan perbuatan manusia itu tidak hanya perbuatan (een doen) akan tetapi

juga melakukan atau tidak berbuat (een natalen atau niet doen).48

KUH Pidana merupakan produk hukum Indonesia yang isinya dibuat oleh

Pemerintahan Kolonial Belanda, sehingga KUH Pidana yang ada saat ini tidak lain

adalah hasil alih bahasa yang dilakukan beberapa sarjana Indonesia.49 Hukum pidana

menggunakan istilah strafbaar feit dalam menyebut tindak pidana,50 tindakan atau

perbuatan yang diancam dengan pidana oleh KUH Pidana dan undang-undang

lainnya, bertentangan dengan hukum, dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh

seorang yang mampu bertanggung jawab.51

47

Ibid.

48

C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), hal. 37.

49

Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, cet. 21, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001),

hal. 10.

50

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1990),

hal. 172.

51

S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni

Gambar

Tabel 1 Jumlah Tindak Pidana (JTP) di Kepolisian Daerah Sumatera Utara
Tabel 2
Tabel 5
Tabel 6
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.03- UM.06.02 Tahun 1999 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Bantuan Hukum Bagi

Menyediakan senter (kunjungan malam hari). Memakai tanda pengenal dan mengenakan pakaian yang sopan. Waspada pada bahasa tubuh yang diisyaratkan dari siapa saja yang ada

Tujuan dari dilakukannya studi ini adalah untuk menganalisis dan menghitung jumlah medan magnet yang di hasilkan oleh saluran transmisi krian-gresik 500 kV dan

Untuk mengetahui Hasil uji hubungan pola asuh orangtua dengan kejadian gangguan jiwa pada keluarga Desa Banaran Galur Kulon Progo Yogyakarta dapat dilihat

Terjemahan : Allah meninggikan orang-orang yang beriman dalam kalangan kamu, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dengan beberapa darjat. Pembelajaran yang berterusan di

Dengan dibuatnya sistem informasi digital raport berbasis android pada SMK Negeri 13 Kota Bekasi , agar dalam penyampaian informasi lebih efisien.. Sistem informasi digital

[r]

Pada perancangan digunakan tema rancangan “ Open - Dynamic Space ” untuk Panti Asuhan Anak Jalanan Kabupaten Gresik. Berdasarkan teori yang telah dijabarkan,