I.ISTILAH & PENYEBUTAN ISTILAH:
Hukum Perdata International (HPI) di Indonesia oleh Prof. GOUW GIOK SIONG
(Gautama) dipergunakan istilah : Hukum Antar Tata Hukum (HATAH), yaitu dimana beberapa system hukum bertemu dengan posisi / kedudukan yang sama (azas equality). Cabang-cabang dari HATAH : A. HATAH Intern (pluralisme system hkum), terdiri dari: - Hukum Antar Waktu (HAW) dalam praktek ditemukan dalam Aturan Peralihan; - Hukum Antar Tempat (HAT) timbul karena adanya kekuasaan hukum adat; - Hukum Antar Golongan (HAG)
Warisan Belanda, yaitu penggolongan beberapa system Hukum
terhadap penduduk di Indonesia, al: Gol Eropah, Timur Asing dan
Bumiputera (Psl 131 IS jo 163), penggolongannya sudah dihapus,
tetapi hukumnya belum dihapus.
B. HATAH Ekstern, yaitu Hukum Perdata
International
- adanya unsure asing. Keadaan dimana dua / lebih system hukum bertemu, sehingga harus melakukan / memilih hukum mana yang berlaku, untuk itu perlu ada prinsip persamarataan (equal), dimana system hukum yang bertemu itu mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada system hukum yang lebih rendah atau lebih tinggi dari sistim hukum lainnya.
Masalah HPI timbul karena terdapat pluralisme HPI, dimana setiap Negara memiliki pengertian HPI
masing-masing. - Apakah HPI hukum Internasional atau hukum nasional? Silang pendapat mengenai ini dimulai dari judul materinya (dispute starts from the title of the page).
- HPI adalah hukum nasional, bukan International.
Sumbernya hukumnya nasional. Hanya saja dalam HPI ada unsure asingnya (foreign element). Perkataan International pada HPI jangan dipandang bahwa HPI bersumber dari hukum International. Sifat Internationalnya adalah karena HPI mengatur masalah keperdataan yang mengandung unsur asing. Istilah lain dari bertemunya beberapa sistim hukum ini adalah Hukum Perselisihan (Conflictenrecht- Van Hasselt), Hukum Konflik (Conflict of law- Diccey-Morris), Hukum Pertikaian (Collisierecht).
Istilah-istilah ini kurang / tidak tepat, karena yang terjadi bukanlah betrokan / tabrakan , namun suatu pertautan stelsel-stelsel hukum dalam suatu masalah keperdataan yang ada unsure asingnya.
Istilah yang tepat adalah : Choice of law, bukan Conflict of law, karena HPI bertugas untuk menghindari
bentrokan, dan bertugas untuk mengambil salah satu stelsel hukum yang
diberlakukan dalam suatu permasalahan.
HPI juga bukan konflik kedaulatan, karena hukum asing digunakan disebabkan hukum nasional
menginginkannya seperti itu, HPI bersumber dari hukum nasional.
Jadi HPI merupakan Hukum Perdata (nasional) untuk
hubungan-hubungan International.
- sumber hukumnya hukum nasional;
- hubungannya, fakta-faktanya, materinya bersifat International.
- Azas nasionalistis : sumber dari HPI adalah hukum nasional.
- Azas internationalistis : dari berbagai HPI ada satu HPI yang posisinya berada diatas dari system hukum yang ada (Supranasional). - HPI merupakan hubungan antara orang (person) dengan orang dimana terdapat unsure-unsur asing.
Contoh-contoh sumber hukum nasional:
1. Pasal 57 UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan: 2. UUPMA No. 1 Tahun 1967; 3. Pasal 16, 17, 18 AB (Algemeine Bevalingen) Pasal 16 AB mengatur : status & kewenangan hukum /status persona;
Dalam pasal ini diatur prinsip nasionalitas, dimanapun Warga Negara Indonesia (WNI) berada, hukum nasional Indonesia mengikutinya. Dalam hal ini Indonesia mengikuti Eropa Kontinental. (Anglo Saxon: yang berlaku prinsip domisili, dimana hukum yang berlaku pada seorang WN didasarkan pada tempat tinggalnya atau berlaku hukum dimana seseorang bertempat tinggal)
Pasal 17 AB mengatur : benda bergerak & tidak bergerak;
Pasal 18 AB mengatur : bentuk perbuatan hukum Dalam pasal ini diatur bahwa suatu perbuatan hukum tunduk pada hukum dimana perbuatan itu dilakukan (Locus Regim Actum). Jika perkawinan, hanya syarat formalnya saja yang tunduk pada hukum dimana
perbuatan itu dilakukan (Lex Loci Celebrationis)
II. PENGERTIAN HPI DEFENISI HPI:
Van Brakel (Grond Slagen en Beginselen Van Nederlands International Privat Recht) : “Hukum Perdata Interntional adalah hukum nasional yang ditulis (diadakan) untuk hubungan-hubungan International”
Graveson : Conflict of Law (HPI) adalah : “cabang dari hukum Inggris” yang berhadapan dengan
masalah-masalah yang fakta relevannya mempunyai hubungan geografis dengan Negara asing, dan
memungkinkan timbulnya pertanyaan tentang penerapan hukum Inggris atau asing yang sesuai untuk pemecahan masalah, atau seperti pada
pelanggaran yuridiksi oleh pengadilan Inggris atau pengadilan asing.
Prof. GOUW GIOK SIONG (S GAUTAMA) & Schnitzer: HPI bukanlah hukum international, tetapi hukum national. Di Indonesia HPI dan Hukum Antar Golongan (HAG) sangat erat
hubungannya. Kesimpulannya - Hukum Perdata
Interntional, bukan sumber hukumnya international, tetapi materinya (yaitu hubungan-hubungan /peristiwa-peristiwa yang merupakan objeknya) yang
interntional.
- HPI adalah hukum yang mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat yang didalam hubungan itu mengandung unsur asing;
2. OBJEK HPI
Ruang lingkup kaedah-kaedah HPI di setiap Negara berbeda, hal ini
menunjukkan juga bahwa HPI adalah hukum nasional. Di Inggris: HPI= (Confict of Laws) disamping mengatur hubungan antara orang Skot (sistim hukum Scotlandia lebih condong pd hukum Belanda) dengan orang Inggris, juga mencakup kaedah-kaedah hukum antar agama;
Di Amerika Serikat: HPI mencakup hubungan antara orang-orang dari Negara bagian yang berbeda (seperti Negara Bagian New York dengan Calipornia dsb), orang kulit putih dan orang negro, serta orang (WN) Amerika Serikat dengan orang Asing;
Di Aljazair : kaedah-kaedah HPI berkisar pada perbedaan agama (Hanya orang Kristen dan Yahudi yg sabagai orang asing memperoleh
perlindungan hukum). Agamalah yang menjadi criteria seseorang dianggap asing atau tidak;
Di Indonesia: HPI berkisar pada hubungan perdata dengan unsur asing dalam hubungan–hubungan International, Hukum Antar Golongan (HAG) hanya berlangsung dalam suasana hukum international, karenanya maka:
- HPI merupakan Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) extern, sedangkan
- HAG merupakan Hukum Antar Tata Hukum (HATAH)
intern. meskipun kedua-duanya merupakan hukum nasional.
Karena berdasarkan Pasal 131 I.S (Indische
Staatregeling) penduduk Indonesia dibedakan
kedalam golongan-golongan penduduk: Eropah, Timur Asing, dan Bumiputera, maka pada waktu lalu dalam prakteknya orang-orang yang berasal dari Eropah. Amerika, Jepang, Asia dan Afrika (sekarang unsure Asing) tunduk kepada hukum Barat yang berlaku di Indonesia. Hal ini
menunjukan peristiwa yang sesungguhnya HPI diubah menjadi HAG.
HPI tidak semata-mata hukum perdata
Corak HPI dibeberapa Negara menunjukkan bahwa sejarah dan struktur
ketatanegaraan suatu masyarakat hukum sangat menentukan corak dan luas lingkup kaedah-kaedah HPI, sehingga HPI tidak semata-mata mengenai hukum perdata.
Scholten & Hamaker: Antara hukum tata negara (constitutional law) dan hukum perdata dapat kita bedakan, tetapi antara hukum public dengan hukum perdata hanyalah hubungan antara hukum khusus (perdata) dengan hukum yang berlaku umum (public). Perbedaannya dalam hukum perdata orang dapat
melepaskan (tidak menggunakan) haknya, sedang dalam hukum public hal itu tidak mungkin. Kranenburg: (bukunya: Grondslagen der
Schnitzer:
Perbedaan antara hkm perdata dan hkm public makin kabur, karena kaedah-kaedah yang mengatur hukum public makin lama makin berkembang
disamping hukum perdata, sebagai contoh: hukum perjanjian International, hukum devisa, hkm
perdagangan International, hukum penanaman modal, hukum pengangkutan international dsb. Hal ini terjadi seiring dengan lahirnya gagasan tentang “Negara kesejahteraan” (welfare state) dimana pemerintah berkewajiban untuk mengatur kepentingan orang banyak.
Di Indonesia: hukum adatpun tidak mengenal pembedaan perdata dan public.
Hukum Inggris: tidak membuat perbedaan antara kaedah-kaedah hukum public dan hukum perdata, ini nampak dalam corak dan luas lingkup HPI nya.
Conplict of Law tidak hanya ditemui dalam hukum perdata saja tetapi juga dalam HTN, hukum pidana dan hukum lainnya (Graveson). Hukum kewarganegaraan pun dimasukkan dalam HPI (Dicey).
UNSUR ASING
HPI lahir sebagai akibat adanya unsure asing dalam suatu peristiwa. Maka karena ada unsure asing itu timbul pertanyaan: kaedah hukum mana yang harus berlaku, kaedah lex fori (hukum setempat) atau kaedah hukum asing yang bersangkutan?
Sebelum lahirnya HPI, di Eropah selalu Lex fori yang
dianggap berlaku sekalipun ada unsure asingnya, karena setiap orang yang berdiam disuatu Negara /kerajaan dianggap tunduk pada hukum setempat. Ketentuan ini didasarkan pada azas territorial. Penyelesaian masalah berdasarkan lex fori ini lama kelamaan
menimbulkan putusan-putusan yang bertentangan dengan rasa keadilan. Dengan berkembangnya hukum Romawi di Eropah, terjadilah pembagian antara soal-soal hukum materiil dan soal hukum acara. Bagi hukum acara berlaku lex fori (pengadilan setempat), sedang bagi masalah hukum materiil berlaku lex loci actus (yaitu hukum dari tempat perjanjian atau perbuatan itu diadakan), karena dianggap pada waktu dibuatnya perjanjian semua pihak tunduk pada hukum setempat. Sebagai contoh perkawinan dianggap tunduk pada hukum perkawinan dimana perkawinan itu dilaksanakan.
Kesimpulannya: HPI mengatur setiap peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsur asing, baik peristiwa termasuk hukum public (TUN, pajak, pidana) maupun termsuk hukum perdata (perkawinan, waris dan hukum dagang).
HPI akan mencari jawaban 3 masalah pokok yang
menyangkut peristiwa hukum yang mengandung unsure asingnya, yaitu: - Hakim mana yang berwenang ?
- Hukum mana yang berlaku ?
- Kapan dan sampai sejauh mana Hakim nasional wajib memperhatikan putusan hakim asing ?
3. Sejarah lahirnya Hukum Perdata International (HPI) Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar individu dalam pergaulan
masyarakat. Jika didalam suatu perkara perdata tersimpul ada unsur asingnya (pihak atau substansi),maka disebut sebagai Hukum Perdata International (HPI); HPI di Eropah Barat:
Di Eropah Barat, selalu ada pertentangan antara dua kutub, yaitu kepentingan masyarakat dan kepentingan individu.
A. YSSEN (dalam bukunya “Individu en Gemeenschap) “ manusia sepanjang masa selalu berhadapan dengan dilemma antara
individualisme dan kolektivisme, sehingga karenanya bentuk dan sifat tau pola kebudayaan setiap masyarakat manusia selalu berkisar pada dua ktub itu” Di Indonesia (dahulu), antara masyarakat dan individu tidak dapat dipisahkan atau dwi tunggal, tetapi di Eropah dan Amerika 2 kutub tersebut dipandang sebagai hal yang berlawanan (antagonistis), sehingga selalu terjadi dilemma. Pertentangan ini tercermin juga di lapangan hukum yang selalu
mempertentangkan antara hukum public dan hukum perdata. Khususnya HPI di Eropah Barat pertentangan selalu berkisar diantara prinsip personil dan prinsip territorial, atau pada zaman modern ini antara prinsip domisili dan prinsip
kewarganegaraan (Mancini dari Italia).
(suku-suku, hubungan darah) ke masy,geneologis-territorial (rumpun) dan dari masy territorial kepada masy territorial-geneologis (ikatan Negara nasional) sangat berpengaruh pada perkembangan hukum khususnya terhadap HPI; - masy geneologis, dibangun berdasarkan hubungan darah sebagai anggotanya, orang asing tidak punya hak apa-apa. Type ini berubah karena perang atau
penyatuan ikatan dgn masy lain;
- masy territorial, orang asing masuk (adopsi) kedalam masyarakat hukum tertentu, sehingga baginya berlaku hukum masyarakat yang mengangkatnya (prinsip territorial); - orang asing membawa bahasa dan kebiasaan Negara asalnya kedalam masyarakat hukum lain dalam keadaan damai (prinsip personil) ;
- Pertukaran barang dengan orang asing inilah yang melahirkan kaedah-kaedah hukum HPI;
- Cara pertukaran barang ini juga dikenal dalam Hukum Adat Indonesia, karenanya dapat dikatakan hkm adat juga mengandung kaedah-kaedah HPI;
II. - Commercium adalah hak berdagang ditempat yang bukan tempat asalnya yang diberikan Pemerintah Romawi kepada pedagang Yunani, Syiria dan Timur Tengah;
- Praetor peregrines : hakim pengadilan khusus yang menyelesaikan perselisihan antara orang Romawi dengan pedagang asing; - Ius Gentium : hukum yang digunakan untuk mengadili peristiwa yang mengandung unsure asing berdasarkan azas-azas keadilan,
disamping ius civile Romawi; - Pada abad ke 3 M setelah Romawi menaklukkan
seluruh wilayah Eropah Continental, ius civile hanya berlaku bagi Cives (warga) Roma, dan ius gentium berlaku bagi seluruh kerajaan Roma.
III. Sesudah keruntuhan Kerajaan Romawi Kuno, maka hukum kesukuan (stamenrecht) berlaku kembali dan berlaku prinsip personil. Tetapi karena banyaknya suku dan sukar untuk membuktikan
seseorang berasal dari suku tertentu, maka berkembang penundukan pada sistim hukum tertentu, maka mulailah “pilihan hukum” memegang peranan dalam HPI;
IV. Antara abad 6 dan ke-11, berlaku hukum Franka, yang dinamakan capitularia, yaitu hukum-hukum yang dinyatakan Raja-Raja Franka. Hukum ini berlaku diseluruh wilayahnya dan bagisetiap orang, berlaku secara territorial;
V. Abad ke-10 hukum personil (lex originis) kehilangan artinya di Perancis dan Jerman, berlakunya hukum masing-masing Negara mempunyai arti yang menentukan. Mulailah berkembang asas domisili;
VI. Abad ke-13 di Italia tumbuh kota-kota yang masing-masing mempunyai undang-undang (Statuta) tersendiri (missal: Geno Pisa, Milan, Bologna, Venezia, Plorence, Parma dll). Dalam konteks HPI, pada abad ke-12 Aldricus mempersoalkan apakah pengadilan akan
memberlakukan hukum / statute nya sendiri atau hukum orang asing, menurut pendapatnya hakim harus menggunakan hukum yang menurut pendapatnya lebih
baik dan lebih berguna. Tumbuhnya Teori-teori Statuta:
Abad ke-12 berdasarkan Corpus Iuris dari Justianus (Huku Romawi), azas HPI, yaitu hukum yang dibuat penguasa kota (principe) hanya berlaku bagi kaula kota yang bersangkutan (Statuta).
Pada masa ini Statuta dibedakan antara lain: - Statuta realita, yang berlaku dalam lingkungan batas wilayah kekuasaan, mengikat pada tempat, benda atau orang seperti: kaedah-kaedah hak atas tanah;
- Statuta personalia, yang berlaku mengikuti
seseorang, kemana saja orang pergi, seperti:
wewenang hubungan pribadi (perjanjian),
Abad ke-13 (1314-1357) Bartolus de Saxoferrata: - Statuta yang mengijinkan sesuatu, dan
- Statuta yang melarang sesuatu;
- Statuta Mixta, yaitu statute berlaku bagi semua
perjanjian yang dibuat ditempat berlakunya statute dgn segala akibat
hukumnya, sedang wanprestasi dan segala akibat hukumnya diatur menurut statuta ditempat seharusnya perjanjian dilaksanakan.
Teori Statuta di Perancis: Teori Statuta Bortolus diabad-abad berikutnya diikuti oleh ahli-ahli hukum Perancis,
Charles Dumoulin (1500-1566):
- setiap pihak dapat menentukan pilihan hukum yang berlaku dalam setiap perkara;
Bertrand D’Argente’ (1519-1590)
- barang warisan tunduk bukan hanya pada satu system hukum saja, tetapi setiap barang tak bergerak itu tunduk pada hukum tempat letaknya barang (lex rei sitae)
Teori Statuta di Belanda Ahli hukum Belanda Ulrik Huber (1636-1694): 1). Hukum suatu Negara hanya berlaku dalam batas-batas wilayah
hukumnya dan terhadap subjects nya sendiri; 2). Kaula (subject) negara adalah mereka yang berada dalam
lingkungan kekuasaan negara tersebut, baik yang menetap, maupun
yang hanya sementara tinggal;
3). Berdasarkan azas Comitas (sopan santun), hukum suatu Negara dapat dianggap seakan-akan berlaku dimana-mana, asalkan tidak
melanggar kekuasaan atau hak-hak negara lain; Johanes Voet 1666-1698), melahirkan theori Comitas, yaitu:
- Pada hakekatnya tidak ada Negara yg wajib
menyatakan berlakunya kaedah hukum asing dalam batas-batas wilayah
hukumnya, jika kaedah hukum asing itu diberlakukan, maka itu disebabkan semata-mata berdasarkan sopan santun pergaulan antar bangsa (Comitas gentium)
- Comitas harus ditentukan secara objectif, berdasarkan azas locus regit actum (perbuatan hukum tunduk pada hukum setempat); Teori Comitas gentium ini ditentang oleh Wolf, Van Brekel dan Cheshire, yang menyatakan: “Hukum
International tidak mengenal azas Comitas, karena berlakunya hukum asing hanyalah disebabkan karena keinginan untuk mencari penyelesaian yang seadil-adilnya (the desire to do justice)”.
Teori Statuta Jerman Ahli-ahli hukum Jerman antara lain Johan Nikolaus Hert (1651-1710)
menyempurnakan HPI yang menolak teori-teori statute dan mengemu
kakan teori tersendiri; Teori Statuta di Inggris Sampai akhir abad-17 HPI di Inggris tidak berkembang karena hukum setempat yang selalu berlaku. Ketika tampuk kerajaan Inggris dan kerajaan Scotlandia berada disatu tangan (Raja James I) mulailah dipikirkan
berlakunya hukum asing yang juga diakibatkan oleh perdagangan international yang pesat:
- tidak lagi berpegang pada azas lex fori;
- berlaku azas Comitas dan pilihan hukum
Teori-teori Modern (abad 19) Pada abad-19 ini HPI mengalami kemajuan yang pesat, berkat tiga
orang sarjana, yaitu: 1. Joseph Story (Hakim Amerika, bukunya: Commentaries on the Conflict of Law – 1834); Story mereview putusan-putusan hakim Inggris dan Amerika dengan cara induktif, sehingga ia berkesimpulan: adanya kaedah-kaedah HPI tertentu didalamnya.
2. Carl Frederick Von Savigny (Prof Jerman;bukunya: Sistem hukum Romawi- 1849):
- suatu hubungan hukum yang sama harus memberi penyelesaian yang sama, baik diputuskan oleh hakim di Negara A, maupun oleh Hakim di Negara B. maka karenanya penyelesaian yg menyangkut unsur asing hendaknya diatur
sedemikian rupa, sehingga putusannya akan sama dimana-mana;
- Adanya pergaulan hidup masyarakat international menimbulkan satu system hukum yang merupakan system hukum supra-nasional, yaitu HPI; - Pengakuan terhadap hukum asing bukan semata-mata berdasarkan comitas (sopan santun), akan tetapi berdasar pada
kebaikan/kegunaan (manfaat) fungsi yang dipenuhinya bagi semua pihak (Negara dan manusia) yang bersangkutan;
3. Pascuale Stanislao Mancini (bukunya :
Kewarganegaraan sebagai Dasar Hukum Antar Bangsa-1851) – mazhab Italy: - Semua nation (bangsa) mempunyai kedudukan yang sama dalam masyarakat antar bangsa, dan timbulnya Hukum Internasional adalah karena hidup bersama antar bangsa, yaitu kedudukan yang sama rendah dan sama tinggi;
Menurut Mazhab Italy ini, ada dua macam kaedah dalam setiap sistim hukum, yaitu :
a) kaedah-kaedah hukum yg menyangkut perseorangan; b) kaedah-kaedah hukum untuk melindungi dan menjaga keteriban umum (public order)
Berdasarkan pembagian ini, ada tiga azas HPI :
1. Kaedah-kaedah untuk kepentingan perseorangan berlaku bagi setiap warga Negara, dimanapun dan pada waktu apun juga (prinsip personil); 2. Kaedah-kaedah untuk menjaga ketertiban umum bersifat territorial dan berlaku bagi setiap orang yang berada dalam wilayah kekuasaan suatu Negara (azas territorial);
3. Azas kebebasan, yang menyatakan bahwa para pihak yang bersangkutan boleh memilih hukum manakah yang akan berlaku terhadap transaksi diantara mereka (pilihan hukum).
Konsepsi-konsepsi tentang Ruang Lingkup HPI, ada 4 konsepsi:
1. Konsepsi tersempit, HPI = Choice of Law (pilihan hukum)
Penganutnya : Jerman, Belanda.
2. Konsepsi Luas, HPI = Choice of Law + Choice of Juridiction (Pilihan hukum dan pilihan Yuridiksi) Penganutnya : Negara-negara Anglo Saxon. 3. Konsepsi Lebih Luas, HPI = Choice of Law + Choice of Juridiction + Status orang asing (Condition des strangers). Penganutnya :
Negara-negara Latin, spt: Itali, Spanyol, Amerika latin. 4. Konsepsi Paling Luas, HPI = Choice of Law + Choice of Juridiction + Status orang asing (Condition des strangers) +
kewarganegaraan
(nasionalitet). Penganutnya : Prancis.
Sejarah ASAS-ASAS HPI – HATAH EXTERN
- Prinsip Personalitas: Hukum berlaku digantungkan pada perorangan, ikatan personil, berdasarkan hubungan darah; (kemudian berkembang);
- Prinsip Territorialitas : ikatan didasarkan pada territorialitas (karena daerahnya makin luas); - Ius Gentium: hukum yang mengatur hubungan antara warga civitas dengan peregrine;
- Civitas : suatu wilayah yang sudah direbut oleh kerajaan romawi dan memppunyai aturan sendiri; - Peregrini : orang-orang /pedagang asing yang masuk kedalam civitas. - Setelah kerajaan Romawi runtuh, kekuasaan dipegang oleh kaum bar-bar, prinsip territorialitas kembali lagi kedalam prinsip
personalitas;
- Abad 11 – 12, kembali ke prinsip territorialitas, kota-kota dagang mempunyai ketentuan-ketentuan / hukum tersendiri yang dinamakan “Statuta”; - Abad 13-14, BARTOLUS DE SAXOFERRATA
mengembangkan “TEORI STATUTA” yang menjadi cikal bakal HPI, yaitu:
- STATUTA PERSONALIA, mempunyai lingkungan kuasa berlaku secara personil, mengikuti seseorang dimanapun dia pergi, mencakup aturan-aturan / hukum perorangan
termasuk hukum
kekeluargaan dan benda bergerak. (benda bergerak mengikuti status penguasa benda tersebut – mobilia sequntur personom); - STATUTA REALITA; berlaku secara territorial. Hanya benda yang terletak dalam wilayah pembentuk undang-undang tunduk pada peraturan yang berlaku tersebut, (berlaku juga untuk benda tidak bergerak); - STATUTA MIXTA; berlaku bagi yang tidak masuk statute realita dan statute personalia, yaitu bentuk perbuatan hukum (azas Locus Regit Actum) ditempat dimana perbuatan hukum itu dilakukan.
VON SAVIGNI :
- benda bergerak dan benda tidak bergerak disatukan tunduk pada azas Lex Recipe,;
- untuk hukum pribadi yang menjadi ukuran adalah tempat tinggal, (mulai berlaku Prinsip Domisili); - untuk hukum bidang kontrak/perjanjian berlaku Lex Loci Executionis hukum dimana konttrak
dilaksanakan / diselesaikan;
Kuliah : Hukum Perdata International (3)
(Dosen : Abdul Fickar Hadjar, SH., MH)
KUALIFIKASI atau PENGGOLONGAN Penggolongan suatu peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi kedalam system kaedah-kaedah Hukum perdata Internasional dan hukum materiil nasional disebut : kwalifikasi (Bartin, Van Brakel), atau
(Ehrensweig).
Kualifikasi dapat dilakukan baik pada lapangan hukum public, hukum pidana maupun hukum perdata. (sebagai contoh: seseorang yang memasuki rumah orang lain secara paksa dengan merusak pintu, maka kualifikasinya/
penggolonngan peristiwa ini kedalam hukum Pidana, dan kejahatannya (tindak pidananya) adalah: memasuki rumah orang tanpa izin melanggar Pasal 167 (1) KUHP dan merusak pintu: melanggar Pasal 167 ayat (2) KUHP)
- Contoh lain mengenai: seorang anak asing (bukan WNI) yang tidak diakui sah, akan menuntut hak-haknya dari ayahnya yang
berkewarganegaraan sama, maka penggolongan fakta-fakta ini kedalam hukum Perdata, mengenai status seorang anak yang diatur dalam Pasal 16 AB (prinsip nasionalitas).
Kualifikasi ada dua macam, yaitu:
1) QUALIFICATION OF LAW, yaitu penggolongan atau pembagian semua kaedah-kaedah hukum yang ada, menurut kriteria yang ditentukan lebih dahulu. Misalnya pembagian kedalam: hukum perjanjian, Hukum Penanaman Modal, Hukum Waris, Hukum Perseorangan dan sebagainya.
2) QUALIFICATION OF FACTS, penggolongan / penyalinan hukum dari fakta-fakta sehari-hari kedalam istilah hukum, fakta-fakta tersebut dimasukkan kedalam kotak-kotak hukum / bagian-bagian hukum yang telah tersedia (kaedah hukum yang bersangkutan).
Dalam melakukan kualifikasi terhadap suatu peristiwa /
fakta-fakta tertentu, dapat terjadi beberapa
kemungkinan:
a. Jika kaedah hukum yang harus berlaku bagi peristiwa (berdasar kaedah penunjuk dan titik taut) itu adalah lex fori (hukum setempat), maka kualifikasi seakan-akan terdiri dari satu macam perbuatan saja yaitu karena penggolongan kaedah-kaedah hukum yang harus berlaku itu dilakukan hanya menurut lex fori;
b. Jika kaedah penunjuk dan titik tautnya dalam
kumpulan fakta-fakta itu menunjuk pada kaedah hukum asing, maka kualifikasi / penggolongan dari hukum asing itu harus dilakukan menurut hukum asing tersebut (lex causae – the proper law);
c. Dalam hal tertentu, UU dengan nyata dan tegas menyatakan kualifikasi harus dilakukan menurut hukum tertentu, misalnya dalam Pasal 17 AB yang berbunyi: “Mengenai benda-benda tak bergerak (immovebles) berlaku ketentuan / UU dari Negara / wilayah hukum setempat ditempat benda tersebut terletak”. Sehingga kualifikasi ini bukan menurut lex fori, tetapi system hukum yang lain; d. Para pihak berhak menentukan kualifikasi dilakukan berdasarkan system hukum tertentu (pilihan hukum);
TEORI-TEORI KUALIFIKASI 1. KUALIFIKASI menurut LEX FORI
- Kualifikasi ini merupakan teori yang paling tua, dan paling banyak diakui, yaitu kualifikasi / penggolongan dilakukan menurut hukum sang hakim (BARTIN). - Kualifikasi lex fori ini harus dilakukan, karena kaedah HPI merupakan juga kaedah-kaedah hukum intern / nasional, lex fori dikenal baik
oleh hakim dan pembuat UU sehingga memudahkan penyelesaiannya. - Kelemahan teori ini seringkali menimbulkan ketidak adilan, karena kualifikasi kaedah-kaedah hukum itu bukan saja tidak sesuai dengan hukum asing, juga bahkan tidak dikenal oleh system hukum asing tersebut.
2. KUALIFIKASI menurut LEX CAUSAE
- Teori ini dikembangkan oleh MARTIN WOLFF dan CHESHIRE, yang
berpendapat bahwa kualifikasi hendaknya dilakukan sesuai dengan sistim dan ukuran-ukuran keseluruhan sistim hukum yang besangkutan (lex causae).
- Menurut Wolff, tujuan utama kualifikasi ini untuk menetapkan kaedah HPI yang mana dari lex fori yang berhubungan dengan atau menyangkut kaedah hukum materiil asing.
- kelemahan teori ini, jika kualifikasi berhadapan dengan suatu sistim hukum yang tidak mempunyai kualifikasi yang lengkap, seperti dalam Hukum Adat dan Hukum Inggris. Apalagi jika sistim hukum asing itu tidak mengenal lembaga hukum yang dikenal dalam hukum nasional setempat atau sebaliknya.
dibandingkan dengan kaedah-kaedah hukum yang serupa dari sistim hukum yang dikenal, dimaksudkan agar tercipta satu macam kualifikasi bagi HPI yang universal, yaitu tercipta pengertian-pengertian HPI yang diterima umum terlepas dari stelsel-stelsel hukum yang ada.
- Dalam praktek tidak mungkin dilakukan mengingat:1) sulit menyelidiki semua sistim hukum yg berlaku, 2) setiap sistim hukum selalu
berkembang, sehingga selalu sukar untuk mengejar perubahan-perubahan disemua sistim hukum, 3) seandainya dapat diciptakan suatu sistim kualifikasi universal, hanyalah gambaran rata-rata dari sistim hukum, bukan gambaran sistim yang riil yang berlaku di setiap negara. (Contoh: lembaga “trust” di Inggris tidak dikenal dalam sistim hukum lain, demikian jua “domicile” dalam hukum Inggris, berbeda sifatnya dengan “domicilie” dalam hukum Belanda, berlainan pula dengan arti “domisili” dalam hukum Indonesia.
4. KUALIFIKASI secara BERTAHAP
- Teori ini dikemukakan oleh SCHNITZER, yang
membedakan dua tingkat kualifikasi, yaitu:
- Kualifikasi tahap pertama kualifikasi menurut lex fori untuk menemukan hukum mana yang dipergunakan; dan
- kualifikasi tahap kedua kualifikasi menurut lex causae yaitu kualifikasi lebih jauh dari hukum asing mana yang harus dipergunakan. - Ada yang menganggap kualifikasi sama dengan interpretasi
(EHRENZWEIG) ,meskipun ada hubungan erat antara keduanya, namun tetap
harus dibedakan antara keduanya, karena “Menafsirkan” berarti memberi arti dan isi kepada suatu kaedah penunjuk (terlepas ada
kasus/peristiwa atau tidak), sebaliknya “kualifikasi” berarti menerapkan suatu kaedah hukum untuk suatu peristiwa tertentu
(LEMAIRE);
- Teori ini mengatasi kesulitan secara realistis, karena untuk menemukan lex causae, tidak mungkin dapat mempergunakan kualifikasi lain selain kualifikasi menurut lex fori. - Pengecualian dari kualifikasi ini, adalah: a. Kewarganegaraan, yang berlaku lex causae (hkum WN melekat);
b. Benda bergerak/tidak bergerak, lex rei sitae (dimana benda terletak)
c. Kontrak/perjanjian, pilihan hukum (choice of law) d. PMH / tort, lex loci delictie commissie (tempat
terjadinya PMH) 5. KUALIFIKASI HPI - Teori ini dikemukakan KEGEL, yang menyatakan kualifikasi kaedah hukum asing tergantung pada tujuan yang akan dicapai HPI, yaitu latar belakang kepentingan HPI (keadilan, ketertiban, kepastian, kelancaran pergaulan international) yang akan dilindungi. Jadi harus ditentukan lebih dahulu kepentingan HPI manakah yang dilindungi oleh suatu kaedah hukum HPI tertentu. - Kepentingan HPI, antara lain:
a. kepentingan para pihak (hukumnya sendiri atau hukum yang
dipilihnya);
b. kepentingan pergaulan dan lalu lintas international (kepastian hukum dan kecepatan dalam lalu lintas orang dan barang
menentukan menurut hukum mana kualifikasi dilakukan); c. ketertiban dan kepastian hukum (yg merupakan tujuan unifikasi hukum extern, dan kecenderungannya memerlukan lex fori); d. perasaan keadilan dalam masyarakat (pergaulan) international
TAHAP-TAHAP PEMERIKSAAN SUATU PERKARA HPI :
1. Menentukan Pengadilan mana yang berwenang memeriksa perkara HPI;
Penentuan ini
didasarkan/dengan bantuan “titik-titik taut primer”. Jika pengadilan Indonesia yang berhak memeriksa, maka HPI dan Hukum Acara Indonesia yang akan diberlakukan.
2. Menentukan jenis atau soal apakah peristiwa HPI itu, perkara adopsi, atau perkawinan atau PMH atau pidana. Pada tahap ini dilakukan kualifikasi dari fakta-fakta, disini baru diketahui lex forinya,
karenanya pengkualifikasian ini hanya dapat dilakukan menurut lex fori.
3. Dengan berdasarkan lex fori, dicari hukum mana yang berlaku, untuk itu harus dicari “titik-titik taut sekunder” guna menemukan hukum yang harus berlaku: lex causae.
- Kadang-kadang lex causae ini adalah lex fori juga, maka selanjutnya diteruskan menurut lex fori;
- Lex causae ditentukan letak benda tak bergerak, maka sistim hukum yang berlaku lex situs;
- Ditentukan oleh tempat terjadinya perjanjian (lex loci contractus), tempat
perkawinan (lex loci celebrationis).
- Bisa juga lex causae ini ditentukan oleh tempat tinggal terakhitr atau tempat asal seseorang (lex domicilii) 4. Setelah lex causae, maka kualifikasi dan penentuan perkara HPI dilakukan menurut lex causae, kecuali jika lex causae memberi hasil yang:
a. bertentangan dengan “kepentingan umum lex fori, maka lex fori yang berlaku, atau
b. lex causae tidak mengatur persoalan HPI yang
bersangkutan.
5. Penunjukan kembali (Renvoi)
Dalam mencari lex cause, jika yg dimaksud “hukum asing” seluruh kaedah hukum asing termasuk kaedah HPI, maka ada kemungkinan HPI asing itu menunjuk kembali kepada lex fori, atau kepada hukum asing yang kedua / lainnya, inilah yang disebut
persoalan renvoi
(penunjukan kembali dan penunjukan lebih lanjut). Contoh-contoh:
A. Kulaifikasi menurut lex fori, biasa dilakukan pengadilan Inggris.
I. Perkara Ogden Vs Ogden (1908)
- Suami (domisili di Perancis) menikahi istrinya
(berdomicile di Inggris) di Inggris;
- Perkawinan ini dibatalkan di Perancis, karena di Perancis suami masih dianggap belum dewasa dan tidak mendapat izin orang tuanya.
- Menurut HPI Inggris syarat-syarat formil suatu
perkawinan diatur oleh lex loci celebrationis dan syarat-syarat materiil oleh
lexdomicilie;
- Dalam hukum Inggris: izin orang tua dianggap unsure
formil (formality) yang diatur oleh hukum tempat
dilangsungkannya perkawinan (lex loci celebrationis), sedangkan menurut hukum Perancis: izin orang tua dianggap sebagai unsure materiil yang harus diatur menurut hukum pribadi personil yang bersangkutan;
- Jika izin dikualifikasikan menurut lex fori (hkm Inggris), maka perkawinan dianggap syah, tetapi jika dikualifikasi menurut hukum Perancis, maka perkawinan itu batal.
- Menurut Pengadilan Tinggi (Court of Appeal) harus dilakukan kualifikasi menurut lex fori, sehingga perkawinan seperti itu dianggap sah.
II. Perkara Apt Vs Apt (1947) - Ny. Apt (WN Jerman, bertempat tinggal dan mempunyai domisili di Inggris) telah menikah dengan perantaraan (by proxy) dengan Tn. Apt (WN Jerman tinggal dan
mempunyai domisili di Argentina);
- Pengadilan Inggris harus menentukan apakah “cara perkawinan” ini merupakan syarat formil ataukah syarat materiil. Jika cara ini
merupakan syarat formil, maka perkawinan yang dilangsungkan di Argentina harus berlangsung menurut hukum Argentina adalah sah. Namun jika cara itu dianggap sebagai syarat materiil, maka perkawinan itu dianggap tidak sah. - Pengadilan Inggris
mengnggap cara perkawinan ini sebagai syarat formil, maka perkawinan ini dianggap sah. Jika telah ditetapkan perkawinan itu sah, maka hakim akan mencari “titik-titik taut” yang menentukan
hukum yang harus berlaku. Dalam hukum Inggris “titik-titik taut” ini ditentukan pula oleh lex fori:
a). Jika perkawinan (di Argentina), maka Hkm Pdt Inggris akan memeriksa apakah menurut hukum Argentina, syarat-syarat formilnya dipenuhi atau tidak;
b). Jika mengenai warisan, maka akan ditentukan dimana domicile Pewaris pada waktu meninggal, dan dimana lex situs (letak) barang-barang tak bergerak yang ditinggalkan pewaris; c). Jika mengenai perjanjian, maka akan ditentukan dimana lex loci contractus (tempat terjadinya) atau lex loci solutionis (tempat dilaksanakannya);
B. Kualifikasi menurut lex causae:
I. Perkara Anton Vs Bartolo (1891)
- Ny. Anton dan suaminya pada permulaan perkawinan berdomisili di Malta,
kemudian pindah ke Aljazair (jajahan Perancis) dan membeli sebidang tanah; - Sesudah suaminya meninggal, Ny. Anton menggugat ¼ bagian hasil tanah tersebut sebagai harta warisan;
- Jika hukum Malta yang berlaku, maka gugatan akan dikabulkan, tetapi jika hukum Perancis yang berlaku akan ditolak. Yang jadi persolan adalah apakah perkara ini perkara
“warisan” ataukah masalah “harta perkawinan”;
- Baik hukum Perancis maupun Malta berlaku kaedah-kaedah HPI, dimana mengenai warisan benda tak bergerak tunduk pada lex situs (letak benda), dan mengenai harta perkawinan berlaku lex domicilii.
Gugatan hak waris tidak dikenal hukum Perancis, jika dianggap soal waris, maka yang berlaku hukum Perancis. Sedangkan jika dianggap sebagai masalah perkawinan berlaku hukum Malta
- Pengadilan Aljazair
menggolongkannya menurut hukum Malta, yang
menggolongkan hak janda ¼ bagian hasil tanah sebagai kaedah harta perkawinan, sehingga gugatan Ny. Anton dikabulkan.
C. Kualifikasi di dalam dua tingkat:
- Menurut HPI Swiss, warisan diatur menurut hukum tempat tinggal terakhir Pewaris, tanpa dibedakan barang bergerak atau tidak bergerak;
- Jika kualifikasi tingkat pertama, dapat ditentukan hukum Inggris yang berlaku (tempat tinggal terakhir Pewaris), maka harus ditentukan benda-benda apa yang merupakan benda bergerak (movables) dan benda tidak bergerak (immovables) menurut hukum Inggris (kualifikasi tingkat kedua);
- Hkum Inggris, jika tak ada wasiat, benda movables berlaku hukum dari lex dimicili Pewaris, terhadap benda immovables berlaku lex rei situs; (letak benda immovables);
- Jika lex domicile Pewaris adalah hukum Swiss, maka akan berlaku hukum Swiss terhadap benda movables (Renvoi). Dan jika lex situs dari benda immovables adalah Jerman, maka hukum Jermanlah yang harus berlaku (penunjukan lebih lanjut).
TITIK-TITIK TAUT / PERTALIAN Yang dimaksud dengan Titik-titik Taut (Prof. Sunaryati Hartono) atau Titik-Titik Pertalian (Prof. Gautama)
yaitu adanya unsure-unsur yang menandakan adanya unsure asing, sehingga ada kemungkinan suatu kaedah hukum asing diberlakukan dalam suatu peristiwa hukum.
Titik-titik Pertalian (TP) dalam HPI, yaitu: I. Titik Pertalian Primer; II. Titik Pertalian Skunder; III. Titik Pertalian Kumulatif; IV. Titik Pertalian Alternatif; V. Titik Pertalian Tambahan; VI. Titik Pertalian Accesoir; VII. Titik Pertalian Pengganti. I. Titik-titik Pertalian Primer Yaitu merupakan titik pertalian yang memberikan petunjuk bahwa suatu peristiwa merupakan HPI atau bukan, atau alat yang membedakan apakah suatu persoalan masuk kedalam lingkup HPI atau bukan, sehingga TP Primer ini disebut juga sebagai Titik Pembeda.
Yang merupakan TP Primer adalah:
1. Kewarganegaraan; - Seorang WNI menikah dengan WN Jepang. Kewarganegaraan Jepang menunjukkan ini merupakan peristiwa HPI;
2. Domisili, tempat tinggal seseorang yang sah menurut hukum (tetap); - Dua orang WN Inggris yang berlainan domicilinya satu berdomicili di negra X, yang satu lainnya di Negara Y, mereka menikah disalah satu domicili diantara mereka. HPI Inggris menanggap seorang WN Inggris tunduk pada hukum perkawinan negri
domisilinya yang baru. Domicili disini menunjukan peristiwa HPI;
3. Bendera kapal, menandakan kapal itu tunduk pada hukum apa; - Sebuah kapal berbendera
Panama, para
penumpangnya WNI. Kapal berlayar di perairan Indonesia. Jika timbul persoalan dengan kapal, ini merupakan peristiwa HPI, karena bendera bagi sebuah kapal merupakan
kewarganegaraan. 4. Tempat kediaman (Residence), sifatnya sementara (Habitual
residence , tempat kediaman seseorang yang nyata sehari-hari)
- Dua orang WN Malaysia bertempat kediaman di Jakarta tanpa melepaskan domisilinya di Kualalumpur. Jika mereka akan menikah apakah di KUA, Catatan Sipil atau di Embassy
(Kedutaan)nya, ini merupakan peristiwa HPI karena tempat
kediamannya;
5. Tempat kedudukan badan Hukum;
- Tempat kedudukan badan hukum sebuah perseroan terbatas dan sebagainya, menunjukan peristiwa HPI; 6. Pilihan Hukum dalam hubungan intern
- Dua orang Indonesia yang mempunyai domisili kantor berbeda masing-masing di Indonesia dan di London, mengadakan perjanjian import-export barang dari Inggris. Dalam perjanjian ditentukan hukum yang berlaku disepakati hukum Inggris, maka oleh karena adanya pilihan hukum (hukum Inggris),peristiwa ini merupakan HPI;
II. Titik-titik Pertalian Sekunder
sebagai Titik taut Penentu. Yang merupakan Titik Pertalian Sekunder (TPS), yalah:
1). TPS Dalam BIDANG KONTRAK:
a. Pilihan Hukum, yaitu hukum yang dipilih para pihak yang berlaku;
- Jika dalam suatu perjanjian dagang/kontrak para pihak menentukan hukum yang berlaku dalam kontrak tersebut, maka pilihan hukum yang dipilih itulah yang berlaku dalam kontrak tersebut.
Sebagai contoh: PT. Hotel Indonesia mengadakan kontrak dengan
management Hotel Corporation mengenai exploitasi dan mamagemen bersama HI di Jakarta, dengan ketentuan bahwa hukum Indonesia yang berlaku dalam kontrak tersebut.
Jika secara tegas pilihan hukum itu dipilih, maka pilihan hukum tersebut akan menentukan berlakunya hukum Indonesia, kecuali bertentangan dengan ketertiban umum.
b. Tidak ada pilihan hukum: b.1. Lex Loci Contractus, berlakunya / keberlakuan hokum
berdasarkan tempat penandatanganan kontrak; - Mail box theory (Anglo Saxon)
keberlakuan hukum
didasarkan didasarkan pada tempat dimana
dikirimkannya jawaban atas penerimaan penawaran. Contoh:
Pengusaha Inggris dan pengusaha Singapura mengadakan perja njian (kontrak) dalam hal jual beli kertas. Setelah pengusaha
Inggris memberikan penawaran (melalui korespondensi: surat, Fax, email dll), maka
Singapor menerima dan memberikan jawa-ban yang dikirimkan ke Inggris. (Inggris X Singapura) Maka hukum Singapura yang berlaku.
- Acceptance theory (Eropa Kontinental)
keberlakuan hukum didasarkan pada tempat dimana jawaban
atas penerimaan penawaran diterima.
Contoh:
Pengusaha Tasik (Indonesia) dan pengusaha Perancis
melaku-kan kontrak/perjanjian jual beli kain batik, pengusaha Tasik
memberikan penawaran yang kemudian diterima oleh pengusaha
Perancis, dan pengusaha Perancis tersebut
mengirimkan jawa-
ban penerimaannya ke Tasik (Tasik X Perancis).
Maka hukum Indonesia lah (Tasik) yang berlaku. b.2. Lex loci solutionis, berlakunya / keberlakuan hukum berdasar
kan tempat dimana suatu kontrak dilaksanakan / diselesaikan.
Contoh:
Pengusaha Jepang dan Perancis mengadakan kontrak mengenai pe-mbangunan sebuah Cottage di Bali, apabila ada
permasalahan
anta-ra kedua belah pihak (Jepang X Perancis), maka hukum yang
meng-atur bagi permasalahan tersebut adalah hukum Indonesia yang me rupakan tempat dimana kontrak tersebut
dilaksanakan / diselesai kan.
b.3. Proper law of the contract
hukum yang digunakan / berlaku adalah hukum yang
paling
banyak memiliki titik taut / pertalian di dalam kontrak yang
diadakan. Contoh:
Perjanjian import-export antara pengusaha Indonesia dan Jepa
ng, bertempat di Jakarta. Perjanjian dibuat dalam bhs Inggris.
Impor barang Jepang ke Indonesia dilaksanakan di Indonesia,
Export barang-barang Indonesia harus dilaksanakan di Tokyo. Jika pengusaha Jepang wanprestasi atas mutu barang, maka pe
ngusaha Indonesia dapat menggugat Pengusaha Jepang di Penga
dilan di Indonesia, karena ditemukan titik
taut/pertalian:
- kewarganegaraan Tergugat = Jepang.
- lex loci solutionis = Indonesia.
- lex rei sitae = Indonesia, karena brg te
lah tiba di Indonesia. - lex loci contractus = Indonesia (Jakarta)
- bentuk/bahasa perjanjian = Inggris.
- lex fori = Indonesia. b.4. The most characteristic connection
hukum yang digunakan adalah hukum pihak yang menanggung
re-siko paling besar.
- umumnya dipakai dalam konvensi jual beli
international. Contoh:
Penjual X Pembeli, hukumnya penjual;
Bank X Nasabah, hukumnya Bank;
Pengacara X Klien, hukumnya pengacara.
2. TPS DILUAR BIDANG KONTRAK
Dalam perkawinan dua orang yang berlainan kewarganegaraan, ma-ka jima-ka terjadi perselisihan / perceraian, maka hukum yang berla-
ku adalah hukum nasional sang suami, karena menurut Pasal 2 Pera
turan Perkawinan Campuran (S.1898-158) jo Pasal 58 UU No. 1/74
tentang Perkawinan, seorang istri mengikuti status hukum
suami-nya, kewarganegaraan suaminya menentukan kewarganegaraan iste rinya.
b. Domisili
Keberlakuan hukum didasarkan atas domisili para pihak
- Dua orang WN Inggris yang berlainan domicilinya satu berdomicili di negra X, yang satu lainnya di Negara Y, mereka menikah disalah satu domicili diantara mereka. HPI Inggris menanggap seorang WN Inggris tunduk pada hukum perkawinan negri
domisilinya yang baru. Domicili disini
menentukankan hukum mana yang berlaku bagi para pihak;
c. Bendera kapal Bendera merupakan kewarganegaraan sebuah kapal, jika terjadi
perselisihan diatas sebuah kapal yang berbendera Negara tertentu, maka hukum yang berlaku adalah hukum dimana kapal itu berbendera.
d. Tempat kediaman - Dua orang WN Malaysia bertempat kediaman di Jakarta tanpa melepaskan domisilinya di Kualalumpur. Jika mereka akan menikah di Jakarta (KUA atau Catatan Sipil), maka yang berlaku hukum Indonesia;
e. Tempat diadakan
perbuatan-perbuatan resmi yang penting (forum) termasuk tempat kedudukan badan hukum:
- Tempat Pendaftaran tanah, tempat izin diperolehnya untuk mendirikan badan hukum, tempat diajukannya suatu perkara (juridiksi), merupakan titik taut penentu, karena hukum acara ditentukan oleh lex fori yang bersangkutan. f. Letak suatu benda (lex rei sitae)
Terhadap benda-benda baik tak bergerak (immovable) maupun benda bergerak (movable) dibidang HPI berlaku hukum dimana letaknya benda-benda tersebut (lex rei sitae) Contoh:
Seorang WNI hendak meletakkan hak tanggungan (hypotheek) atas tanah dan rumah di Malaysia, maka hukum yang digunakan adalah hukum Malaysia yaitu hukum dimana tanah dan bangunan itu berada. g. Perbuatan Melawan Hukum (lex loci delicti commisi)
Hukum yang digunakan adalah hukum tempat dimana perbuatan melawan hukum (PMH) itu dilakukan. Ada 2 teori :
- The last event theory (Anglo Saxon)
hukum yang digunakan berdasarkan locus delicti, ditempat dimana akibat dari suatu perbuatan melawan hukum itu dirasakan. - The last event theory (Eropah Kontinental) locus delicti, ditempat terjadinya perbuatan melawan hukum yang sebenarnya.
h. Bentuk perbuatan hukum (locus regit actum)
Hukum tunduk pada tempat dimana suatu perbuatan
hukum akan dilakukan. Contoh: Perkawinan International.
- Seorang WNI akan menikah dengan seorang WN
Perancis di Jerman, maka syarat materiilnya (Status personal tunduk pada hukum masing-masing kewarganegaraannya – Pasal 16 AB), karena
perkawinannya akan dilaksanakan di Jerman, maka syarat formilnya / bentuk perbuatan hukumnya tunduk pada hukum Jerman (lex loci celebrationis – Pasal 18 AB).
III. Titik Pertalian Kumulatif: Yaitu beberapa titik pertalian yang digunakan sekaligus; IV. Titik Pertalian Alternatif: Yaitu memilih salah satu titik pertalian dari beberapa titik pertalian
yang ada;
V. Titik Pertalian Tambahan Yaitu titik-titik pertalian yang seharusnya dipergunakan tidak dipakai, karena dianggap tidak mencukupi, sehingga digunakan tambahan titik pertalian lainnya;
VI. Titik Pertalian Accesoir Yaitu titik pertalian yang mengikuti titik pertalian yang pokok.
VII. Titik Pertalian Pengganti Yaitu jika dalam peristiwa HPI terjadi hanya ada satu titik pertalian, namun tidak memadai, maka dapat diganti dengan titik pertalian lainnya. Bila tidak ada penggantinya, maka harus digunakan titik pertalian yang satu tersebut.
HUBUNGAN ANTAR TITIK-TITIK PERTALIAN;
maka dengan sendirinya Titik Pertalian Sekunder (TPS) juga tidak ada; (Contoh: jual beli yang dilakukan oleh dua orang WNI, di Jakarta, memakai hukum Indonesia, atas barang-barang yang terletak di Indonesia);
- Meskipun Titik Pertalian Sekunder (TPS) tidak ditemukan dalam suatu peristiwa hukum, namun dapat saja ditemukan Titik Pertalian Primer (TPP) dalam suatu peristiwa yang
menunjukan peristiwa HPI; (Contoh: dua pihak WNI melakukan perkawinan diatas kapal berbendera Panama yang sedang berlayar diatas perairan di Indonesia )
- Jika ada Titik Pertalian Pengganti (TP Pengganti) hanya satu, tidak sama dengan Titik Pertalian Alternatif (TP Alterbatif). - TP Alternatif dapat merupakan TP Pengganti, namun TP Pengganti tidak bias menjadin TP Alternatif. - Dalam suatu peristiwa hukum Kewarganegaraan dapat menjadi Titik Pertalian Primer (TPP) sekaligus juga menjadi Titik Pertalian Sekunder (TPS) yang menentukan hukum mana yang berlaku dalam peristiwa tersebut. (Contoh: dua orang WNI yang melaksanakan perkawinannya di Perancis) - Demikian juga “Domisili” dapat menjadi Titik Pertalian Primer (TPP) dalam suatu peristiwa hukum, sekaligus juga merupakan Titik Pertalian Sekunder (TPS) yang menentukan hukum asing apa yang berlaku dalam peris tiwa hukum tertentu.
(Contoh: seorang WNI melakukan perkawinan dengan seorang Warga Negara Inggris, yang dilaksanakan di Indonesia
dan keduanya berdomisili di Indonesia).
MENENTUKAN HUKUM YANG BERLAKU (LEX CAUSAE) DENGAN BANTUAN TITIK PERTALIAN
Dalam Hukum Antar
Golongan di Indonesia, Titik taut / ppertalian hanya ditentukan oleh Hukum Adat atau Hukum Barat yang berlaku di Indonesia, namun dalam HPI titik taut /
pertalian itu ditentukan oleh lebih dari satu sistim hukum, karena HPI menyangkut seluruh sistim hukum di dunia.
Maka oleh karenanya jika menghadapi suatu kasus HPI, cara kerjanya dilakukan sebagai berikut:
1. Pertama-tama harus dicari TTP (Titik Taut Primer) menurut Lex fori, apakah kasus yang dihadapi merupakan peristiwa HPI atau bukan;
2. Jika sudah diketahui bahwa suatu kasus itu HPI, maka harus dilakukan “qualification of facts” menurut lex fori;
3. Kemudian kita mencari titik taut sekunder (TTS) menurut lex fori, untuk menentukan sistim hukum yang berlaku (lex causae); 4. Titik-titik taut menurut lex causae kemudian akan menentukan apakah kaedah hukum lex causae, lex fori atau kaedah sistim hukum asing yang lain (ingat kemungkinan renvoi) yang harus berlaku;
5. Jika berdasarkan titik-titik taut dari lex causae telah ditentukan kaedah hukum materiil yang harus berlaku, barulah dapat kita
menentukan penyelesaian masalah atau menjatuhkan putusan in concreto.
Tetapi dalam kenyataan kemungkinan titik taut lex fori menunjuk pada dua lex
causae atau lebih. Contoh:
- Perjanjian import-ekport antara WNI dengan WN Jepang. Impor barang-barang Jepang ke Indonesia harus dlaksanakan di Indonesia, sedang export barang Indonesia harus dilaksanakan di Tokyo. Pembayaran dilakukan secara kompensasi. - Jika exporter Jepang menyerahkan barang yang harus diexport ke Indonesia kualitasnya tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, maka akan terjadi
kemacetan karena pihak Indonesia tidak mau mengirimkan barang-barangnya ke Jepang akibat pihak Jepang “wanprestasi” BEBERAPA PENYELESAIAN A. Jika pihak Indonesia melakukan gugatan ke Pengadilan negeri Jakarta Pusat, maka kita akan menemukan titik-titik perytalian sbb:
- kewarganegaraan tergugat = Jepang;
- lex loci solutionis = Indonesia;
- lex rei sitae = Indonesia, karena barang
telah datang di Indonesia. - lex loci contractus = Indonesia / Jakarta;
- bentuk perjanjian/bahasa = Inggris;
- lex fori = Indonesia. Karena lex fori Indonesia, maka yang berlaku kaedah-kardah HPI Indonesia, yang berlaku Pasal 18 AB
untuk orang Jepang berlaku BW (KUHPerdata)
, maka HPI ini dapat dianggap sebagai HAG. B. Jika perjanjian import-export tadi antara WN Inggris dengan WNI, dan pihak Indonesia melakukan gugatan di pengadilan negeri Inggris, maka Hakim Inggris akan
mempertimbangkan dahulu hukum manakah yang dipilih para pihak, atau hukum mana yang dapat
diseimpulkan telah dipilih oleh kedua belah pihak. - Dalam kasus ini meskipun lex loci contractus
(ditandatangani) daan lex loci solusionis (dilaksanakan) adalah Indonesia, namun karena bentuk perjanjiannya adalah suatu bentuk yang hanya dikenal dalam hukum Inggris, maka hukum Inggrislah yang dianggap sebagai lex causae. C. Jika perjanjian import-export, antara WN Swiss dengan WNI, dan pihak Indonesia akan mengajukan gugatan ke pengadilan Swiss, maka Hakim Swiss akan mempertimbangkan bahwa dalam perdagangan sperti ini, hukum yang berlaku ditentukan oleh “die typische Leistung” atau “die charakteristiche Leistung” (prestasi yang husus atau yang karakteristik) , yang dalam hal ini “penyerahan barang-barang import di Indonesia”, sehingga hukum Indonesialah yang di anggap sebagai lex causae.
Kuliah Hukum Perdata International (5)
(Dosen : Abdul Ficar Hadjar, SH., MH)
PRINSIP
KEWARGANEGARAAN & PRINSIP DOMISILI
Stelsel-stelsel / aliran HPI di negara-negara dunia saling
berbeda dalam menentukan status personil seseorang baik sebagai warga negaranya maupun warga Negara asing. Sebagian Negara menganut prinsip kewarganegaraan, dimana status personil WN/WNA ditentukan oleh hukum nasionalnya masing-masing. Sebaliknya sebagian lagi menganut prinsip domisili yang menentukan status personil seseorang
ditentukan oleh hukum yang berlaku di tempat
domisilinya / teritorialnya. Pinsip Nasionalitas / kewarganegaraan banyak dianut oleh Negara-negara Eropa Kontinental,
diantaranya: Perancis, Italia, Belgia, Luxemboug, Belanda, Indonesia, Rumania,
Bulgaria, Finlandia, Junani, Honggaria, Polandia, Portugal, Spanyol, Swedia, Turki, Tiongkok, dan Negara-negara Amerika Latin antara lain: Costa Rica, Republik Dominika, Ecuador, Haiti, Honduras. Mexico, Panama, dan Venezuela.
Prinsip Domisili banyak dianut oleh Negara-negara Anglo Saxon, diantaranya: Semua Negara-negara bekas jajahan Inggris yang
menganut sistim common law (Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, Australia dsb), Scotlandia, Africa Selatan, Quebec, Denmark, Norwegia, Iceland, dan Negara-negara Amerika Latin: Argentina, Brazilia, Guatemala, Nicaragua, Paraguay, dan Peru. - Prinsip Nasionalitas yang bertitik berat pada segi personalia, menentukan bahwa hukum-hukum yang berhubungan dengan status seseorang (WN/WNA) erat hubungannya dengan orang-orang tersebut, oleh
karenanya hukum nasional orang tersebut yang
ditentukan oleh kewarganegaraannya melekat dan mengikuti kemanapun seseorang pergi. (Latar belakang prinsip ini, menghendaki warga negaranya yang
mengembara ke luar negeri sedapat mungkin tetap tunduk kepada hukum mereka sendiri).
- Prinsip Domisili bertitik berat pada segi territorial, menentukan bahwa semua hubungan-hubungan orang yang berkaitan dengan soal-soal perorangan,
kekeluargaan, warisan atau “status personil”nya
ditentukan oleh domisilinya. Oleh karenanya prinsip ini menentukan bahwa setiap orang yang berada di dalam wilayah suatu Negara dianggap tunduk pada hukum Negara tersebut. (Latar belakang prinsip ini, terutama negara-negara muda seperti Amerika Serikat yang banyak imigrannya bertujuan agar para imigran tunduk pada hukum perdata dari Negara yang baru dibangun itu). - Namun ada sistim yang disebut “Juristichem Chauvinismus” (Chauvinis caya yuridis) dimana ada negara-negara yang memperlakukan WN nya yang berada di luar negeri ditundukkan pada prinsip nasionalitas, namun disisi lain orang asing (WNA) yang berada di negara yang bersangkutan ditundukkan kepada prinsip domisili. Beberapa Negara Amerika latin menganut sistim ini, al: Chili, Equador, Columbia, Peru, El Salvador, Venezuela dan Mexiko.
Belanda) yang berada di luar negeri berlaku hukum nasionalnya sebagai status personal mereka.”
Hal ini diinterpretasikan secara analogi terhadap WNA yang berada di Indonesia.
Alasan-alasan yang pro terhadap prinsip
Nasionalitas/Kewarganegara an:
1. Prinsip ini paling cocok dengan perasaan hukum seseorang.
Hukum nasional yang dibuat oleh warga Negara suatu Negara tertentu adalah lebih cocok bagi WNnya, pembuat hukum nasional/UU lebih memahami kepribadian dan kebutuhan WNnya sendiri. 2. Lebih permanent dari hukum domisili
Prinsip kewarganegaraan itu lebih tetap dari prinsip domisili, karena
kewarganegaraan tidak mudah untuk dirubah-rubah seperti halnya domisili. 3. Prinsip kewarganegaraan lebih banyak membawa kepastian hukum
Prinsip kewarganegaraan membawa kepastian karena pengertian keWNan lebih mudah diketahui dari pada domisili seseorang, hal ini disebabkan adanya
peraturan-peraturan tentang keWNan yang lebih pasti dari Negara ybs.
Alasan-alasan yang pro terhadap prinsip Domisili: 1. Hukum domisili adalah hukum dimana seseorang sesungguhnya hidup. Dimana seseorang sehari-hari hidup, tidak saja beradaptasi / mencocokkan diri terhadap kebiasan-kebiasaan, bahasa, pandangan social, tetapi juga terhadap ketentuan-ketentuan hukum di Negara
bersangkutan yang mengenai status personilnya.
2. Prinsip Nasionalitas seringkali membutuhkan Prinsip Domisili
Dalam praktek Prinsip Nasionalitas/kewarganegara an seringkali tidak
Dapat dilaksanakan dengan baik tanpa dibantu prinsip domisili.
3. Prinsip Domisili sama dengan hukum sang Hakim. Diajukannya perkara ke hadapan hakim dari tempat tinggalnya para pihak /tergugat yang menentukan kompetensi juridiksi hakim. Dalam kepentingan para pihak hakim seyogyanya memakai hukumnya sendiri, karena seorang hakim lebih mengenal hukum
nasionalnya itu dari pada hukum asing.
4. Cocok untuk negara-negara dengan pluralisme hukum.
Prinsip nasionalitas tidak dapat dipakai dalam suatu Negara yang struktur hukumnya tidak mengenai persatuan hukum. Untuk mengetahui hukum perdata mana yang berlaku bagi seorang WN yang hukumnya plural ( setiap daerah berlainan hukum/ ada penggolongan WN) maka perlu diperhatikan domisilinya.
5. Demi kepentingan adaptasi dan asimilasi para imigran.
Prinsip Domisili mencegah adanya kelompok-kelompok orang/imigran yang
mempertahankan hubungan mereka dan ikatan-ikatan dengan Negara mereka, sehingga prinsip ini dapat mempercepat adaptasi dan assimilasi orang-orang asing.
Pendapat Prof. GOUW GIOK
SIONG (Gautama): Republik Indonesia sebaiknya dipergunakan prinsip domisili, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Alasan praktis dengan pemakaian prinsip domisili dapat memperkecil berlakunya hukum asing. Pemakaian prinsip nasionalitas mempunyai pembawaan bahwa hukum asing akan lebih banyak digunakan.
2. Hukum Acara Perkara di pengadilan lazimnya digunakan KUHPerdata / BW untuk semua orang
(WNI/WNA). Pemakaian prinsip domisili akan mengsanksionir praktek hukum ini. Jika masih dipakai nasionalitas, maka praktek ini bertentangan dengan azas hukum yang berlaku. 3. Dalam praktek hukum selalu menggunakan prinsip domisili, karena prinsip domisili dianggap dapat menentukan hukum yang berlaku, tanpa
menghiraukan status WN atau asing.
4. Indonesia belum mempunyai cukup bahan-bahan tentang hukum asing. 5. Di Indonesia masih terjadi pluralisme hukum. Aneka warna hukum perdata tidak saja didasarkan pada perbedaan golongan rakyat, perbedaan sesama pribumi dari lingkungan hkm adapt. 6. Indonesia berada di lingkungan Negara yang memberlakukan prinsip domisili (Australia, India, Pakistan, Singapur, Malaysia)
7. Indonesia merupakan Negara imigrasi (banyak orang asing yang tinggal dan lalu lalang).
8. Sebagai Negara imigrasi Republik Indonesia
hendaknya melakukan assimilasi. (dengan
yang menjadi asing di negerinya sendiri)
- Bagi WNI berlaku prinsip nasionalitas berdasarkan Pasal 16 AB.
- Bagi WNA : - kurang dari 2 tahun di Indonesia berlaku prinsip
nasionalitas / kewarganegaraan; - lebih dari 2 tahun di Indonesia berlaku prinsip domisili.
- Dengan kata lain Prinsip Nasionalitas hanya dipakai untuk jangka waktu tertentu, selanjutnya digunakan prinsip Domisili.
Di Inggris Prinsip Domisilinya unik, karena ia mengenal 3 Prinsip Domisili:
1. Domicile of origin, yaitu domisili yang diperoleh sejak seseorang dilahirkan, mengikuti domisili bapaknya;
2. Domicile of choice, yaitu domisili yang diperoleh / dipilih seseorang setelah dia dewasa, dengan syarat : - seseorang menetap di Negara lain;
- tidak ada keinginan untuk pindah ke Negara lain; - keinginan memilih domisili; - kemampuan;
- recidence yang permanent; 3. Domicile by operation law, yaitu domisil yang
tergantung (dependant) dari seseorang, yaitu: anak yang belum dewasa, wanita dalam perkawinan, seseorang yang berada dalam perwalian.
- anak ikut domisili si ayah; - istri ikut domisili suami; - yang diampu ikut domisili si wali.
“Doctrine of Revival” adalah hidupnya domicile of origin seseorang yang telah tertidur lama karena
tercerabutnya domicile of choice orang tersebut dan ia tidak punya domisili lainnya. Yurisprodensi-yurisprodensi Kewarganegaraan:
De Ferrari Case (Perancis) - Th 1893 Ny. Ferrari (WN Perancis) memperoleh keWNan Itali karena perkawinannya dengan suaminya Tn. Ferrari (Itali); (di Itali tidak dikenal perceraian, yang ada persetujuan hidup terpisah / BW: pisah meja dan tempat tidur)
- Th 1899 mereka membuat kesepakatan hidup terpisah (consentement mutual), Ny. Ferrari pulang ke Negara asalnya Perancis;
- Th 1913 Ny. Ferrari melakukan “naturalisasi” menjadi WN Perancis kembali, suaminya tetap di Itali;
- Ny. Ferrari mengajukan gugatan “supaya
kesepakatan pisah” dirubah menjadi perceraian ke Pengadilan tingkat pertama LYON, pada pengadilan tingkat ini dikabulkan dan dikuatkan oleh pengadilan tingkat kedua HOF LYON; - Th 1922, COUR DE CASSATION (peradilan kasasi) membatalkan keputusan Hof Lyon, yang menyatakan: lembaga hidup terpisah meja dan tempat tidur cara Otalia belum cukup memenuhi syarat untuk diubah menjadi perceraian cara Perancis; - Kemudian Ny. Ferrari mengajukan lagi gugatan baru dengan sepenuhnya memakai hukum perdata Perancis, hukum Italia dikesampingkan; - Tahun 1928 COUR DE CASSATION memutuskan hukum Perancis harus digunakan untuk Ny. Ferrari yang sudah WN Perancis lagi karena naturalisasi, yang kemudian gugatan dikabulkan Ny. Ferrari memperoleh perceraian;
(Keputusan perkara DE FERRARI ini dicap sebagai “juridisch chauvinisme”, karena Hakim Perancis hanya mengutamakan hukum nasionalnya sendiri dan kepentingan WNnya sendiri, dan melalaikan tugasnya dalam HPI) RIVIERE CASE (Perancis) - Lydia Roumiantzelff (asal Rusia, WN Perancis) menikah dgn Petrov (asal Rusia, WN Ecuador), kemudian cerai karena persetujuan pihak (consentement mutual). - Th 1939, Ny. Roumiantzelff menikah lagi di Maroko dengan RIVIERE (Perancis). Perkawinan ini juga hendak diakhiri, Ny. Roumianzeff mengajukan gugatan di pengadilan Casablanca (Ecuador);
- Dalam pembelaannya RIVIERE menyatakan bahwa tidak perlu suatu perceraian, karena perkawinannya dengan Ny. Roumiantzeff adalah tidak sah (pembelaan ini dikemukakan untuk menghindari tuntutan alimentasi / nafkah, jika perkawinannya batal tidak ada dasar menuntut alimentasi);
- Argumen RIVIERE menyatakan perkawinan tidak sah, karena perceraian Ny. Roumiantzelff dengan Petrov tidak sah berdasarkan persetujuan bersama (Consntement mutual) yang tidak dikenal dalam hukum Perancis, kalau hakim Ecuador memutus berdasarkan hukum
Ecuador, maka bertentangan dengan “ketertiban umum” di Perancis;
- Pengadilan tingkat pertama menerima argument
RIVIERE, perkawinan antara dirinya dengan Ny.
Roumianzeff tahun 1939 di maroko adalah batal (putusan ini didasarkan prinsip
- Pengadilan tingkat banding Cour de Rabbat
membatalkan putusan tingkat pertama, dan kemudian peradilan tingkat Kasasi Cour de Cassation dalam putusannya tanggal 17 April 1953 menguatkan putusan banding dan memutuskan sebagai perceraian, dengan pertimbangan hukumnya: + fakta keWNan Perancis belaka tidaklah cukup untuk memaksakan
diberlakukannya hukum Perancis dalam perkara-perkara dimana status seorang perempuan WN Perancis yang dipersoalkan; + berkenaan dengan suami istri Petrov dan Ny.
Roumianzeff yang mempunyai keWNan berbeda (Ecuador-Perancis) adalah tepat Cour de Appel (pengadilan banding) memutuskan bahwa perceraian mereka
diaturoleh hukum Domisili, yang notabene sama dengan hukum personel pihak suami (Ecuador) dan dengan hukum sang Hakim, sehingga pperceraian yang diperoleh adalah wajar; (putusan ini hukum domisili bersama para pihak yang diberlakukan , meskipun para pihak berlainan kewarganegaraan) LEWNDOUSKI CASE (Perancis)
- Kasus perceraian antara Lewndouski (Polandia) dan seorang perempuan WN Perancis tanggal 15 Maret 1955 telah diputus oleh Cour de Cassation (pengadilan tingkat kasasi) Perancis dengan menggunakan hukum Perancis sebagai hukum dari domisili bersama anatara suami istri yang berbeda keWNannya; (Dalam putusan pengadilan Perancis menerapkan dalam mumutus perkara perceraian
yang berbeda keWNan dengan memakai hukum domisili bersama para pihak, dhi hukum Perancis)
BISBAL CASE (Perancis) - Perkara perceraian suami istri WN Spanyol yang berdomisili di Perancis, telah diputuskan oleh Cour de Cassation pada tahun 1959 dengan menggunakan hukum domisili bersama yaitu hukum Perancis, meskipun HPI Perancis sebenarnya berdasarkan prinsip nasionalitas dan jika digunakan hukum nasional Spanyol, maka para pihak tidak mungkin memperoleh perceraian;
(putusan ini menimbulkan kritik tajam, sehingga Perancis disebut sebagai “pabrik cerai” yang besar (une “usine de divorce), karena kemudian banyak WN asing yang bercerai di Perancis)
MASSIMO – DAWN ADDAMS - Aktris Dawn Adams tahun 1954 menikah dengan Massimo (WN Italia) di Roma, kemudian memperoleh ketetapan hidup berpisah dari pengadilan di Roma tahun 1958;
- Ny. Dawn Addams dating dan tinggal di Perancis (dapat KTP & Izin kerja), kemudian mengajukan gugatan perceraian pada suaminya Massimo di pengadilan Perancis; - tahun 1959 Pengadilan Perancis (Tribunal de Grande Instance de la Seine) melalui hakimnya memutuskan dirinya tidak berwenang untuk mengadili perkara perceraian ini karena gugatan telah diajukan bukan ditempat tinggal tergugat, yaitu di Italia; (putusan ini disetujui dan dipuji oleh penulis-penulis Perancis)
BOLL CASE (Perancis) - Suami JOHANES BOLL (WN Belanda) dengan Istri GERD ELISABETH LINDWALL (Swedia) memperoleh ke WN Belanda karena menikah, mempunyai anak bernama MARIA ELISABETH BOL lahir di Swedia (7 Mei 1945), dan mereka tinggal di Swedia; - 5 Desember 1953, Ny. Gerd Elisabeth meninggal dunia, tetapi mereka (ayah dan anak) tetap tinggal di Swedia;
- 18 Maret 1954, ayah BOLL mengajukan perwalian atas anak Maria Elisabeth Boll di pengadilan Norkoping Swedia dan dikabulkan; - Tgl. 2 Juni 1954 Hakim Belanda dari Kantonrechter dari Amsterdam telah mengangkat Jan Alvertus Idema (WN Belanda) sebagai wali pengawas anak Maria Boll;
- Tgl. 16 September 1954 Pengadilan Norkoping Swedia telah menetapkan EMIL LINDWALL (kakek anak Maria dari Ibu) sebagai curator dari anak Maria; - 26 April 1954 Dewan Perlindungan Anak-anak di Norkoping Swedia
menetapkan anak Maria dibawa perlindungan dewan tersebut. Wali pengawas Belanda mengajukan permintaan pengawasan, tetapi ditolak oleh Dewan Perlindungan Anak; - Pemerintah Swedia menganggap pemerintah Belanda telah ikut campur membela kepentingan warganya, dan Pemerintah Swedia dituding melanggar “perjanjian Den Hag 1902” tentang perwalian anak-anak di bawah umur; - kemudian perkara ii di bawa ke Mahkamah Agung International, yang
memutuskan :
oleh instansi Swedia terhadap anak Maria Elishbeth Boll; (putusan ini
menggambarkan adanya tendensi untuk
mengedepankan prinsip domisili pada bidang hukum kekeluargaan, yaitu
hubungan anak-anak dengan orang tua mereka).
Kuliah Hukum Perdata International (6)
(Dosen: Abdul Ficar Hadjar, SH, MH)
RENVOI ( PENUNJUKAN KEMBALI )
Renvoi terjadi karena adanya aneka macam sistim Hukum Perdata Internasional dalam status personal seseorang ( P. Nasionalitas / P. Domisili).
Renvoi timbul, apabila hukum asing yang ditunjuk oleh lex fori, menunjuk kembali kearah lex fori itu, atau kepada sistim hukum asing lain.
- Setelah mengkualifikasikan fakta-fakta yang ada dalam suatu perkara / kasus, maka kita kemudian mencari titik-titik taut yang memberi petunjuk kepada kita hukum (asing) mana yang akan berlaku.
Yang dimaksud dengan “hukum asing” adalah disebut:
a) Gesamtverweisung, jika menunjuk pada seluruh hukum asing termasuk didalamnya kaedah HPI dan kaedah hukum materillnya (hkm intern);
b) Schahnormverweisung, jika hanya menunjuk pada hukum materiil (Hkm Intern) dari sistim hukum asing yang bersangkutan.
SCHEMA RENVOI: (1)
1. Penunjukan kembali
---(X) --- (Y) L______________________l --- (2)
2. Penunjukan lebih jauh (1) (2)
(Z) (Y)
--(X)
---Contoh Renvoi Penunjukan kembali (1):
- Apabila seorang WN Inggris yang berdomisili di
Indonesia, untuk
menentukan sudah dewasa atau belum, atau akan menikah atau akan
melakukan tindakan hukum yang berkaitan dengan personilnya, maka menurut HPI Indonesia (berdasarkan Pasal 16 AB – hkm nasional mengikuti personilnya) yang harus digunakan adalah hukum Inggris;
- menurut Hukum Inggris, berdasarkan kaedah-kaedah HPI nya, untuk status personil yang dipakai adalah hukum dimana domisilinya dhi di Indonesia, maka yang berlaku adalah hukum Indonesia.
( Hukum Indonesia menunjuk hukum Inggris, dan hukum Inggris menunjuk kembali hukum Indonesia). Contoh Renvoi Penunjukan lebih jauh (2):
- Dua WN Swiss (Paman dan saudara sepupu perempuan) berdomisili di Moskow Rusia dan menikah di Rusia. Menurut HPI Rusia, perkawinan harus
berdasarkan hukum Rusia, menurut HPI Swiss (Psl 7f NAG) perkawinan yang dilakukan di luar negeri menurut hukum yang berlaku di sana, dianggap sah. Disisi lain hukum intern
(nasional)Swiss (Psl 100 ZGB) perkawinan antara Paman dan sepupu perempuan dilarang, ketentuan ini tidak berlaku karena perkawinan dilakukan di Luar Negeri, jadi
sebenarnya secara tidak sengaja telah terjadi “penyeludupan hukum”; - Suami istri ini pindah domisili ke Hamburg, terjadi perselisihan pihak istri mengajukan gugatan cerai, pihak paman (suami) mengajukan permohonan kepada Hakim supaya perkawinan mereka di Rusia dianggap batal adanya karena melanggar Pasal 100 ZBG Hukum Swiss;
- Hakim di Jerman yang mengadili tidak
menggunakan pasal 100 ZBG, tetapi hakim menerima apa yang dinamakan “penunjukan lebih lanjut” (Weiter-verweisung). HPI Jerman berdasarkan prinsip Nasionalitas menyatakan hukum nasional WN Swiss yang berlaku bagi WN Swiss tersebut, termasuk
penunjukan HPI Swiss (Psal 7f NAG) yang menunjuk lebih jauh pada hukum dimana perkawinan dilakukan ic hukum Rusia, maka Hakim Jerman menganggap perkawinan sah, dan “penunjukan lebih jauh” diterima dalam praktek HPI Jerman. CAUSE CELEBRE : Kasus FORGO
- Forgo WN Bavaria anak luar kawin, sejak kecil s/d
meninggalnya bertempat tinggal di Perancis,
surat wasiat, sehingga warisannya akan jatuh kepada ahli waris ab intestate.
- Saudara-saudara kandung Forgo menklaim harta warisan tersebut berdasarkan ketentuan hukum Bavaria, di lain pihak Pemerintah Perancis
berdasarkan hukum intern (nasional) Perancis yang tidak mengenal warisan anak luar kawin, sehingga warisan Forgo dianggap harus jatuh kepada Pemerintah Perancis; - Menurut HPI Perancis warisan benda-benda bergerak berlaku hukum domisili asal (domicile of origin), dhi HPI Perancis menunjuk hukum Bavaria, tetapi HPI Bavaria
menentukan bahwa warisan benda-benda bergerak akan berlaku hukum tempat tinggal sebenarnya dari si Pewaris, dalam hal ini Hukum Perancis. - Persoalan: apakah penunjukan HPI Perancis kepada Hukum Bavaria, apakah seluruh hukumnya (termasuk HPI), atau hanya kepada Hukum Intern Bavaria. Jika seluruhnya, maka ada penunjukan kembali kepada Hukum Perancis dan renvoi akan diterima dengan
memberlakukan hukum intern Perancis, jika hanya kepada hukum Intern Bavaria, maka hukum warisan Bavaria yang diberlakukan;
- COUR DE CASSATION dalam putusannya tahun 1878, telah menerima penunjukan kembali hukum Perancis dan menggunakan hukum Intern Perancis. Warisan Forgo hatuh ketangan Pemerintah Perancis.
Renvoi menimbulkan polemic dan perdebatan, sehingga menimbulkan adanya pihak-pihak yang
kontra dan pro terhadap institusi renvoi ini.
Alasan-alasan yang KONTRA RENVOI:
1. Renvoi tidak logis; doktrin renvoi tidak logis, karena jika renvoi diterima, maka akan terjadi suatu penunjukan kembali secara terus menerus, sehingga akan terjadi suatu “inextricable circle” yaitu tidak akan terjadi suatu penyelesaian karena akan terus menerus terjadi penunjukan kembali seperti bola pimpong.
2. Penyerahan kedaulatan Legislatif;
renvoi merupakan asing menggantikan kaedah-kaedah HPI nasional, “souverinitas” dari hukum suatu negara
dibahayakan.penyerahan kedaulatan legislatif, seolah-olah HPI
3. Renvoi membawa ketidak pastian hukum.
Jika renvoi diterima akan membawa ketidak pastian hukum karena penyelesaian HPI akan menjadi samara-samar, berjalan kesegala jurusan (ambiguous), tidak kokoh, tidak stabil. Akan terjadi “completely unpredictable”
(ketidakpastian) untuk menentukan teori renvoi mana yang diterima suatu negara, dan karenanya baik secara teoritis maupun praktis akan mendapatkan kesulitan.
4. Membawa kesukaran-kesukaran.
Renvoi membawa kesukaran / menyulitkan (inconvenient) bagi sang hakim, karena sang hakim harus
mempelajari hukum asing, dan hakim harus
mengetahui lebih dahulu HPI dari negara-negara lain yang bersangkutan.
Negara-negara yang kontra renvoi al: Italya, Belanda, Yunani, Egyft, Suriah. Dsb. Alasan-alasan yang PRO RENVOI
1. Memberi keuntungan praktis
Jika renvoi diterima maka baerarti hukum internal sang hakim sendiri yang akan dipergunakan dan ini berarti suatu keuntungan praktis, dimana seorang hakim akan lebih mudah dan tepat melaksanakan hukum internalnya.
2, Penunjukan secara keseluruhan
3. Jangan “plus royaliste que le roi” (bersifat lebih raja dari raja itu sendiri). Menunjuk kepada hukum asing sebenarnya suatu konsesi, jika kemudian hukum asing itu tidak menetrimanya / menunjuk kembali, maka harus diterima / jangan ditolak. (Jika kita menutup pintu terhadap hukum asing, maka akan membawa kita pada “chauvinisme yuridis” yang mematikan
kemungkinan perkembangan HPI.
hukum intern Negara Y, jika diperiksa di Negara Y akan menggunakan hukum Negara X).
5. Harmoni diantara keputusan-keputusan Dunia terbagi dalam 2 prinsip yaitu prinsip kewarganegaraan dan prinsip domisili, dengan menerima renvoi akan tercapai harmoni dari keputusan-keputusan perkara HPI yang mengatasi pertentangan diantara kedua sistim ini. 6. Memperbesar kemungkinan executie; 7. Sesuai dengan rasa keadilan para pihak. Negara-negara yang pro rrenvoi al: Perancis, German, Belgia, Swedia,
England, Swiss, Thailand dsb.
Jenis-jenis Renvoi
1. Single Renvoi (Negara-negara