DENGAN TEKNIK
TALKING CHIPS
TERHADAP HASIL
BELAJAR KIMIA PADA KONSEP IKATAN KIMIA
OLEH : ACEP AMIRTA
105016203509
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
Question, Read, Reflect, Recite, dan Review) Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa” ditulis oleh Mahmudah (105016200544) diajukan kepada Jurusan Pendidikan IPA Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam ujian Munaqosyah pada tanggal 3 Mei 2010 di hadapan dewan penguji. Oleh karena itu, Penulis berhak memperoleh gelar sarjana S1 (S.Pd) dalam bidang Pendidikan Kimia.
Jakarta, 3 Mei 2010
Panitia Ujian Munaqosyah
Ketua Jurusan Tanggal Tanda Tangan
Baiq Hana Susanti, M.Sc
NIP. 19700209 200003 2 001 ………... ………..… Sekretaris (Sekretaris Jurusan)
Nengsih Juanengsih, M.Pd
NIP. 19790510 200604 2 001 ……… ……….. Penguji I
Ahmad Sofyan, M.Pd
NIP. 19650115 198703 1 020 ……… ……….. Penguji II
Burhanudin Milama, M.Pd
NIP. 19770201 200801 1 001 ……… ……….. Mengetahui
Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
“
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN TEKNIK
TALKING CHIPS TERHADAP HASIL BELAJAR KIMIA SISWA”
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi
Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
ACEP AMIRTA
105016203509
Mengetahui,
Pembimbing I
pembimbing II
Dra. Etty Sofyatiningrum. M.Ed
Burhanudin Milama. M.Pd
NIP:
131808296
NIP:
197702012008011001
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
students learning chemistry achievement.
This research aim to know effect of cooverative learning model with Talking Chips
technique on students learning achievement. This research was conducted at Madrasah
Aliyah Jamiyah Islamiyah, Pondok Aren, Tangerang, Banten on Oktober until November
2009. The method used in the research is quasy experiment, using purposive sampling
technique and there are 60 students divided two group, experiment group and control
group. The research instrument is students learning achievement. Student learning
achievement of experiment group is higher (means = 77,17 dan SD = 11,35) than control
group (means = 68,67 and SD = 12,66). From “t” test was obtained t
count2,74 while t
tableat level af significant 0,05 is 2,048 so t
count> t
table. It can be concluded that refused Ho
which told that cooperative learning model with Talking Chips technique has effect on
students learning chemistry achievement has been accepted.
Hasil Belajar Kimia Siswa
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif
teknik
Talking Chips
terhadap hasil belajar siswa. Penelitian ini dilakukan di Madrasah
Jamiyah Islamiyah, Pondok Aren, Tangerang, Banten pada bulan Oktober hingga bulan
November 2009. Metode penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen, sampel
diambil secara
purposive sampling
dari 60 siswa dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Instrumen yang digunakan adalah
instrumen tes hasil belajar. Hasil belajar siswa kelompok eksperimen lebih tinggi
(rata-rata/
mean
= 77,17 dan simpangan baku/SD = 11,35) daripada kelompok kontrol
(rata-rata/
mean
= 68,67 dan simpangan baku/ SD = 12,66) dan dari hasil perhitungan uji “t”
diperoleh nilai thitung sebesar 2,74, sedangkan ttabel pada taraf signifikansi 0,05 sebesar
2,048 atau t
hitung> t
tabel. Maka dapat disimpulkan menolak Ho yang menyatakan ada
pengaruh antara pembelajaran kooperatif teknik
Talking Chips
terhadap hasil belajar
kimia siswa diterima atau disetujui. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan model
pembelajaran kooperatif teknik
Talking Chips
memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap hasil belajar kimia siswa.
i
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran
Kooperatif Teknik
Talking Chips
Terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa (Penelitian
Eksperimen Pada MA Jamiyyah Islamiyah Pondok Aren-Tangerang)”.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad
, semoga shalawat ini selalu tercurah untuk nabi
Muhammad SAW, sebaik-baik makhluk ciptaan Allah SWT.
Selanjutnya, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tidak sedikit kesulitan dan
hambatan yang dihadapi selama penulisan skripsi ini. Namun, atas bimbingannya dan
motivasi dari berbagai pihak, penulis menyadari bahwa keberhasilan dan kesempurnaan
merupakan sebuah proses yang harus dijalani. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini tak
lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penulisan skripsi ini, diantaranya:
1.
Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Ibu Baiq Hana Susanti, M.Sc, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Alam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3.
Bapak Dedi Irwandi, M.Si, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Ilmu Kimia.
4.
Ibu Etty Sofyatiningrum, M.Ed, selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Burhanudin
Milama, M.Pd, selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk
membantu penulis dalam membimbing, memberikan saran, serta nasehat yang
berguna bagi penulis.
5.
Bapak dan Ibu dosen jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam yang telah
mendidik dan memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, semoga amal ibadah
ii
7.
Ayahanda Saudih dan Ibunda Sa’anah, yang selalu memberi kasih sayang,
bimbingan, doa dan dukungan baik secara moril maupun materil.
8.
Kakakku tersayang Arum, Ilung, Engkat, Farida, Yatna dan Dian yang selalu
memberikan motivator serta menjadi inspirator bagi penulis, terima kasih untuk
semuanya.
9.
Keponakan tersayang Nurul, Hani, Rafly, Idzhar, dan Syafwa semoga kalian menjadi
anak yang cerdas, dan semoga apa yang kalian cita-citakan tercapai.
10.
Teman-temanku Obay, Soni, Ichan, Zahra serta semua teman-teman pendidikan kimia
angkatan 2005 yang selalu menghiasi hari-hari penulis baik dalam suka maupun duka
selama dibangku perkuliahan, semoga diberikan kemudahan dalam menjalani
berbagai aktivitas.
11.
Teman-temanku Indra, Dewi, Rizqi, Budi, Ipul, Ridwan, Haryadi, Torof serta semua
teman-temanku yang tidak dapat ditulis satu persatu oleh penulis, kalian adalah
sahabatku.
Akhir kata semoga tulisan karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pengembangan
keilmuan, serta dapat berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka
mengkaji dan memahami lebih lanjut permasalahan yang diteliti pada masa yang akan
datang.
Jakarta, Februari 2010
iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah……….……1
B.
Identifikasi Masalah……….…..6
C.
Pembatasan Masalah……….….7
D.
Perumusan Masalah……….…..7
E.
Tujuan Penelitian………...7
F.
Manfaat Penelitian……….…7
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL
A.
Deskripsi Teoritik………...………….9
1.
Pembelajaran Kooperatif...………...…….9
2.
Teknik Talking Chips………...…….….17
3.
Hasil Belajar Kimia………...…….22
4.
Ikatan Kimia………...….33
B.
Kerangka Berfikir……….... 36
C.
Hasil Penelitian yang Relevan………..……40
D.
Pengajuan Hipotesis Penelitian………..…..41
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A.
Tempat dan Waktu Penelitian………..42
B.
Metode dan Desain Penelitian……….42
C.
Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel………..43
D.
Teknik Pengumpulan Data……….….44
E.
Analisis Data……….…..47
F.
Hipotesis Statistik……….……..50
iv
A.
Kesimpulan……….63
B.
Saran………...……64
DAFTAR PUSTAKA………...….65
v
Lampiran 1 RPP Kelas Eksperimen………..…67
Lampiran 2 RPP Kelas Kontrol………..…..83
Lampiran 3 LKS………..105
Lampiran 4 Kisi-kisi dan soal Uji Coba Instrumen Tes……….…….119
Lampiran 5 Uji Reliabilitas……….……156
Lampiran 6 Uji Tingkat Kesukaran………160
Lampiran 7 Uji Daya Beda……….162
Lampiran 8 Uji Korelasi……….164
Lampiran 9 Instrumen Tes (Pretest dan Posttest) konsep ikatan kimia……….166
Lampiran 10 Nilai Pretest dan Posttest Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol……….171
Lampiran 11 Analisis Skor Pretest dan Posttest Kelas Ekperimen dan Kelas Kontrol 172
Lampiran 12 Distribusi Data Pretest Siswa Kelas Eksperimen………...176
Lampiran 13 Distribusi Data Pretest Siswa Kelas Kontrol………177
Lampiran 14 Perhitungan Uji Normalitas Pretest Kelas Eksperimen………178
Lampiran 15 Perhitungan UJi Normalitas Pretest Kelas Kontrol………..179
Lampiran 16 Uji Homogenitas Data Pretest Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol...180
Lampiran 17 Uji Hipotesis Skor Pretest...181
Lampiran 18 Distribusi Data Posttest Siswa Kelas Eksperimen………...182
Lampiran 19 Distribusi Data Posttest Siswa Kelas Kontrol………...183
Lampiran 20 Perhitungan Uji Normalitas Posttest Kelas Eksperimen……...…184
Lampiran 21 Perhitungan UJi Normalitas Posttest Kelas Kontrol…………...185
Lampiran 22 Uji Homogenitas Data Posttest Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol….186
Lampiran 23 Uji Hipotesis Skor Posttest...187
Lampiran 24 Surat Keterangan Izin Penelitian………..…...188
vi
vii
Tabel 2.1 Perbedaan Kelompok Belajar Kooperatif dengan Kelompok Tradisional..…..11
Tabel 2.2 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif………...16
Tabel 2.3 Teknik Model Pembelajaran Talking Chips...……..20
Tabel 4.1 Deskripsi Data Rata-rata Pretest Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol...51
Tabel 4.2 Deskripsi Data Rata-rata Posttest Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol...52
Tabel 4.3 Deskripsi Data Rata-rata Pretest dan Posttest Kelas Eksperimen dan Kelas
Kontrol...52
Tabel 4.4 Hasil Uji Normalitas Pretest Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol………….53
Tabel 4.5 Hasil Uji Normalitas Posttest Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol…………54
Tabel 4.6 Hasil Uji Homogenitas Pretest Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol…….….55
Tabel 4.7 Hasil Uji Homogenitas Posttest Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol……...56
Tabel 4.8 Hasil Pretest Uji “t” Hasil Belajar Kimia Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas
Kontrol………57
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting yang tidak dapat di
pisahkan dari kehidupan manusia. Sifatnya mutlak dalam kehidupan seseorang,
keluarga, maupun bangsa dan negara. Sebab maju mundurnya suatu bangsa
banyak ditentukan oleh pendidikan bangsa itu sendiri.
Pendidikan merupakan suatu hal yang dinamis, selalu bergerak maju
mengikuti perkembangan masyarakat sebagai akibat dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab itu, pendidikan perlu mendapat
perhatian baik dalam usaha pengembangan maupun peningkatan mutu
pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat. Untuk meningkatkan
kualitas pendidikan, setiap negara mempunyai tujuan pendidikan yang berbeda,
begitu juga di Indonesia tujuan pendidikannya adalah untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dan pembentukan manusia indonesia seutuhnya.
Sebagaimana yang terdapat dalam Undang-undang tentang sistem Pendidikan
Nasional No.20 Bab II pasal 3 Tahun 2003 Menjelaskan1:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan, maka diperlukan
berbagai terobosan, baik dalam pengembangan kurikulum, inovasi
pembelajaran, dan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan. Untuk
meningkatkan hasil belajar siswa, maka guru dituntut untuk membuat
1
Etty Soffyatiningrum, Terapan Konstruktivisme Dalam Pembelajaran Kmia di SMA/MA (Prosiding Seminar Internasional Pendidikan IPA 2007), hal. 38
pembelajaran menjadi lebih inovatif yang mendorong siswa dapat belajar
secara optimal baik belajar secara mandiri maupun di dalam pembelajaran di
kelas. Penggunaan metode ataupun model-model pembelajaran sangat
diperlukan dan sangat mendesak terutama dalam menghasilkan model
pembelajaran baru yang dapat memberikan hasil belajar yang lebih baik,
peningkatan efisiensi dan efektivitas pembelajaran menuju pembaharuan.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) telah melaju dengan
pesatnya karena selalu berkaitan erat dengan perkembangan teknologi yang
memberikan wahana yang memungkinkan perkembangan tersebut.
Perkembangan yang pesat telah menggugah para pendidik untuk dapat
merancang dan melaksanakan pendidikan yang lebih terarah pada penguasaan
konsep IPA yang dapat menunjang kegiatan sehari-hari dalam masyarakat.
Oleh karena itu, untuk dapat menyesuaikan perkembangan tersebut menuntut
kreatifitas dan kualitas sumberdaya manusia harus ditingkatkan yang dapat
dilakukan melalui jalur pendidikan. Untuk meningkatkan kualitas peserta didik
melalui pengajaran IPA, guru diharapkan tidak hanya memahami disiplin ilmu
IPA, tetapi hendaknya juga memahami hakikat proses pembelajaran IPA yang
mencakup tiga ranah kemampuan, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Oleh
karena itu, pengalaman belajar IPA harus memberikan pertumbuhan dan
perkembangan siswa pada setiap aspek kemampuan tersebut.
Perkembangan IPA tidak hanya ditunjukkan oleh sekumpulan fakta saja
(produk ilmiah), tetapi juga oleh timbulnya metode ilmiah dan sikap ilmiah.
Jadi metode ilmiah itu merupakan bagian dari IPA termasuk salah satunya
IPA-Kimia. Selama proses belajar mengajar sejalan dengan hakikat IPA maka
pemahaman siswa terhadap IPA menjadi lebih bermakna.
Keberhasilan pembelajaran kimia siswa ditentukan oleh bagaimana
pembelajaran itu berlangsung dengan baik. Dengan adanya proses
pembelajaran kimia, diharapkan siswa dapat berfikir secara ilmiah sebagai
hasil belajar kimia. Oleh karena itu, penguasaan dan cara penyampaian materi
kimia perlu adanya variasi dan persiapan yang matang baik bagi guru maupun
Kimia merupakan pelajaran yang sangat penting didalam dunia
pendidikan, karena mata pelajaran kimia berfungsi untuk memahami peristiwa
alam yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, menemukan zat-zat yang
bermanfaat bagi kesejahteraan umat, mengetahui hakikat materi serta
perubahannya, menanamkan metode ilmiah, mengembangkan kemampuan
dalam mengajukan gagasan-gagasan, dan memupuk ketekunan serta ketelitian
kerja.
Kimia dipandang sebagai dasar bagi ilmu pengetahuan seperti
kedokteran, teknik, farmasi dan lain-lain. Dalam bidang kedokteran misalnya,
penggunaan alat pencuci darah (haemodialisis), dalam bidang teknik, silikon
yang merupakan bahan dasar untuk membuat mikroprosesor menyebabkan
komputer semakin kecil ukurannya dan semakin canggih, sedangkan dalam
bidang farmasi berperan sebagai obat-obatan, misalnya senyawa antibiotik
untuk anti infeksi. Dengan adanya proses pembelajaran kimia, diharapkan
siswa dapat membentuk pola fikir ilmiah. Oleh karena itu, kimia sebagai suatu
mata pelajaran di sekolah sangat diperlukan.
Pelajaran kimia menjadi momok yang menakutkan karena adanya
pandangan yang salah tentang kimia itu sendiri. Selama ini para siswa
mengangap konsep yang ada dalam pelajaran kimia sebagai
konsep-konsep abstrak yang sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan nyata. Akibatnya,
konsep-konsep kimia menjadi sangat jauh jaraknya dengan realita keseharian
dalam kehidupan mereka2.
Kesulitan dalam mempelajari kimia sebenarnya berawal dari kurangnya
pemahaman dan penguasaan konsep dasar dalam kimia. Untuk menanamkan
pemahaman akan konsep-konsep tersebut diperlukan adanya penggunaan
sebuah media pembelajaran yang tepat dalam menyampaikan kepada siswa
dalam proses belajar mengajar, penggunaan media yang dibarengi dengan
metode pembelajaran yang tepat merupakan faktor yang penting dan sangat
berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.
Konsep pembelajaran IPA khususnya kimia menuntut adanya perubahan
peran guru. Pada konsep tradisional guru lebih berperan sebagai transformator,
artinya guru berperan hanya sebagai penyampai informasi, ide, atau gagasan,
dan guru berada didepan kelas menyampaikan materi pelajaran, sedangkan
siswa hanya mendengar, menyimak, dan mencatat, kadang siswa diselingi
pertanyaan dan latihan. Pola ini membuat siswa kurang aktif hanya menerima
materi saja, seperti halnya analogi gelas yang siap diisi air. Kondisi ini tidak
sesuai dengan konsep pembelajaran (instructional). Pembelajaran memandang
siswa sebagai individu yang aktif, memiliki kemampuan dan potensi yang
perlu dieksplorasi secara optimal. Agar pembelajaran lebih optimal, maka
model pembelajaran harus efektif dan selektif sesuai dengan konsep yang
diajarkan, sehingga siswa termotivasi untuk ikt serta dalam proses
pembelajaran. Selain memandang penting peran aktif siswa dalam belajar,
pembelajaran juga menuntut peran guru lebih luas. Diantara tugas guru tersebut
adalah guru tidak hanya menerangkan dan menjelaskan materi kepada siswa,
tetapi juga mengajak siswa untuk ikut akif dalam proses belajar mengajar
tersebut, karena keberhasilan suatu proses belajar mengajar sangat ditentukan
oleh kualitas dan kemampuan guru3.
Pemilihan metode atau model pembelajaran yang tepat, tidak hanya
mempertimbangkan tujuan pendidikan, tetapi juga harus mempertimbangkan
keaktifan, potensi dan tingkat perkembangan siswa yang beragam, serta
bagaimana memotivasi siswa. Oleh karena itu, guru dituntut untuk mempunyai
kreativitas yang tinggi dalam menggunakan model pembelajaran untuk
menunjang tercapainya proses belajar mengajar.
Salah satu metode pembelajaran yang membuat siswa lebih aktif adalah
pembelajaran kooperatif. Metode pembelajaran kooperatif memiliki berbagai
3
Wina Sanjaya, STRATEGI PEMBELAJARAN Beroeientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta:Kencana, 2008), cet. 5, hal.50.
macam model, salah satunya adalah Talking Chips. Di dalam Talking Chips
siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil sekitar 4-5 orang perkelompok.
Dalam kelompoknya para siswa diminta untuk mendiskusikan suatu masalah
atau materi pelajaran. Kemudian setiap kelompok diberikan 4-5 kartu yang
digunakan untuk siswa berbicara. Setelah siswa mengemukakan pendapatnya,
maka kartu disimpan di atas meja kelompoknya. Proses dilanjutkan sampai
seluruh siswa dapat menggunakan kartunya untuk berbicara. Cara ini membuat
tidak ada siswa yang mendominasi dan tidak ada siswa yang tidak aktif, semua
siswa harus mengungkapkan pendapatnya. Teknik ini memberikan kesempatan
kepada siswa untuk lebih aktif berkomunikasi dengan guru atau siswa lainnya
di dalam kelas, sehingga terjadilah suatu pembelajaran yang hidup di dalam
kelas.
Talking Chips mempunyai dua proses yang penting, 4 yaitu; proses sosial
dan proses dalam penguasaan materi. Proses sosial berperan penting dalam
Talking Chips yang menuntut siswa untuk dapat bekerjasama dalam
kelompoknya, sehingga para siswa dapat membangun pengetahuan mereka di
dalam suatu bingkai sosial yaitu pada kelompoknya. Para siswa belajar untuk
berdiskusi, meringkas, memperjelas suatu gagasan, dan konsep materi yang
mereka pelajari, serta dapat memecahkan masalah-masalah.
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ikatan kimia. Dalam
ikatan kimia siswa harus dapat menentukan ikatan ion, ikatan kovalen, ikatan
kordinasi, dan ikatan logam. Pada tahap instrumen dalam Talking Chips, siswa
dalam satu kelompok berkumpul dalam satu meja, kemudian diberikan 4-5
kartu yang digunakan siswa untuk menjawab pertanyaan. Setiap kelompok
diberikan lembar soal dan setiap siswa dalam kelompok diminta berdiskusi
untuk menemukan jawabannya. Misalnya: dalam soal tersebut siswa harus
menentukan ikatan yang terbentuk dari 11Na dan 17Cl atau siswa diminta untuk
menyebutkan ciri-ciri dari ikatan kovalen koordinasi. Setiap siswa yang ingin
berbicara atau mengungkapkan suatu ide, siswa tersebut terlebih dahulu harus
4
Sonia Casal, “Talking Chips (A Book of Multiple Intelligence Exercise From Spain), google:
mengangkat kartunya, kemudian kartunya disimpan di tengah meja. Proses
dilanjutkan sampai seluruh siswa dapat menggunakan kartunya untuk
berbicara. Cara ini membuat tidak ada siswa yang mendominasi dan tidak ada
siswa yang tidak aktif, semua siswa harus mengungkapkan pendapatnya. Oleh
karena itu setiap siswa dalam setiap kelompok harus dapat memahami materi
Ikatan Kimia untuk mempertahankan posisi kelompoknya.
Pembelajaran kooperatif model Talking Chips yang diterapkan pada
pokok bahasan Ikatan Kimia juga diharapkan dapat meningkatkan motivasi
siswa secara efektif dan dapat menghilangkan kejenuhan siswa dalam belajar
ke arah pembelajaran yang menciptakan interaktif sesama siswa, sehingga
siswa dapat terdorong minat dan motivasinya untuk belajar kimia yang pada
akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar kimia.
Berdasarkan uraian di atas penulis mencoba melakukan penelitian
dengan mengangkat judul penelitian “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Dengan Teknik Talking Chips Terhadap Hasil Belajar Kimia Pada Konsep Ikatan Kimia”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, beberapa masalah yang dapat di
identifikasikan dan dijadikan alasan penulis untuk membahas judul penelitian
di atas adalah sebagai berikut:
1. Materi kimia dianggap sulit oleh sebagian siswa, karena kurangnya
pemahaman dan penguasaan konsep dasar dalam pembelajaran kimia.
2. Masih kurangnya kreativitas dari seorang guru dalam menggunakan model
pembelajaran untuk menunjang tercapainya proses belajar mengajar.
3. Masih minimnya penggunaan metode atau model dalam proses belajar
mengajar sehingga kurangnya motivasi siswa untuk ikut serta dalam
C. Pembatasan Masalah
Dari beberapa pertanyaan yang timbul dalam identifikasi masalah, disini
peneliti hanya membatasi pada pengaruh model pembelajaran kooperatif teknik
Talking Chips terhadap hasil belajar kimia siswa. Hasil belajar kimia yang
diukur pada penelitian ini adalah ranah kognitif pada hasil belajar kimia siswa
pada konsep Ikatan Kimia di MA Jamiyah Islamiyah Pondok Aren, Tangerang
kelas X.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah yang telah diuraikan
sebelumnya di atas, maka masalah yang akan diteliti dirumuskan sebagai
berikut: “Apakah terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif dengan
teknik Talking Chips terhadap hasil belajar kimia siswa?”
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empirik
apakah pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif
dengan teknik Talking Chips memperlihatkan hasil belajar yang lebih tinggi
dibandingkan pada pembelajaran konvensional/klasikal dalam pembelajaran
kimia.
F. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat bermanfaat
untuk:
1. Bagi peneliti, dapat membantu dalam mengembangkan metode
pembelajaran yang sudah ada menjadi metode yang lebih bervariatif dan
berkualitas bagi kemajuan pendidikan.
2. Bagi guru bidang studi khususnya kimia, dapat dijadikan sarana untuk
memperbaiki kualitas pendidikan dengan cara penggunaan metode
pembelajaran yang dapat menciptakan suasana belajar yang
3. Bagi siswa dapat memberikan motivasi belajar, melatih keterampilan,
bertanggung jawab pada setiap tugasnya, mengembangkan kemampuan
berfikir, meningkatkan interaksi sosial, dan memberikan bekal untuk dapat
bekerjasama dengan orang lain baik dalam belajar maupun dalam
masyarakat.
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL
A.Deskripsi Teoritis
1. Hakikat Pembelajaran Kooperatif
Kooperatif adalah sebuah kata yang diambil dari bahasa Inggris
dengan kata kerja to cooperate yang berarti bekerja bersama-sama.
Sedangkan kooperatif dalam kamus bahasa Indonesia memiliki arti bersifat
kerjasama. Secara umum, pengertian pembelajaran kooperatif ditafsirkan
berbeda-beda oleh para ahli. Seperti yang dikutip oleh Wakhinudin, menurut
Slavin (1995) pembelajaran kooperatif adalah salah satu variasi dari metode
pengajaran dimana siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil sehingga
mereka saling membantu antara satu dengan yang lainnya dalam
mempelajari suatu pokok bahasan.5
Menurut Wina Sanjaya, mendefinisikan pembelajaran kooperatif
adalah suatu model pembelajaran dengan menggunakan sistem
pengelompokkan/tim kecil, yaitu antara 4 atau 6 orang yang mempunyai
latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang
berbeda (heterogen)6. Sedangkan menurut Eggen dan Kauchak dalam
Trianto pembelajaran kooperatif merupakan sebuah kelompok strategi
pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara kolaborasi untuk mencapai
tujuan bersama. Di dalam pembelajaran kooperatif siswa belajar bersama
dalam kelompok – kelompok kecil yang terdiri dari 4 -5 orang. Tujuan
dibentuknya kelompok tersebut adalah untuk memberikan kesempatan
kepada semua siswa untuk dapat terlibat secara aktif dalam proses berfikir
5
Wakhinudin,S, Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Terhadap Hasil Belajar (Suatu Meta Analisis), Forum Pendidikan, Universitas Negeri Padang Press,(maret 2003), hal. 3.
6 Wina Sanjaya, STRATEGI PEMBELAJARAN Beroeientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta:Kencana, 2008), cet. 5, hal.240.
dan kegiatan belajar. Selama bekerja dalam kelompok, tugas anggota
kelompok adalah mencapai ketuntasan materi yang disajikan oleh guru dan
saling membantu teman sekelompoknya untuk mencapai ketuntasan
belajar.7
Dari beberapa pengertian pembelajaran kooperatif yang
dikemukakan para ahli dapat disimpulkan bahwa pembelajaan kooperatif
adalah kegiatan belajar mengajar dalam suatu kelompok kecil yang
memiliki tingkat kemampuan yang berbeda, tiap anggota kelompok saling
bekerjasama dalam menyelesaikan tugas untuk mencapai hasil belajar yang
baik.
Pembelajaran kooperatif mempunyai asumsi bahwa untuk mencapai
hasil yang optimal dalam pembelajaran, siswa perlu menjadi bagian dari
satu sistem kerjasama dalam kelompok. Yang perlu diperhatikan dalam
pembelajaran kooperatif adalah keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh
kemampuan semata, tetapi juga oleh peran masing-masing anggota secara
[image:23.612.113.516.101.653.2]bersama di dalam kelompok.
Tabel 2.1 Perbedaan kelompok belajar kooperatif dengan kelompok belajar
konvensional8.
Kelompok belajar kooperatif Kelompok belajar konvensional Adanya saling ketergantungan
positif, saling membantu, dan saling memberikan motivasi sehingga ada interaksi promotif
Guru sering membiarkan adanya siswa yang mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok.
Adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan materi pelajaran tiap anggota kelompok dan kelompok diberi umpan balik tentang hasil belajar para anggotanya, sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan.
Akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok sehingga anggota kelompok lainnya hanya “mendompleng” keberhasilan “pemborong”.
7
Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007, hal:41
8
Kelompok belajar heterogen, baik dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik, dan sebagainya.
Kelompok belajar biasanya homogen.
Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis atau bergilir untuk memberikan pengalaman memimpin bagi para anggota kelompok.
Pemimpin kelompok sering ditentukan oleh guru atau kelompok dibiarkan untuk memilih pemimpinnya dengan cara masing-masing.
Keterampilan sosial yang diperlukan dalam kerja gotong-royong seperti:
kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, mempercayai orang
lain, dan mengelola konflik secara langsung diajarkan.
Keterampilan sosial sering tidak secara langsung diajarkan.
Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung guru terus melakukan pemantauan melalui observasi dan melakukan intervensi jika terjadi masalah dalam kerjasama antar anggota kelompok.
Pemantauan melalui observasi dan intervensi sering tidak dilakukan oleh guru pada saat belajar kelompok sedang berlangsung.
Guru memperhatikan secara proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar.
Guru sering tidak memperhatikan proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar.
Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga hubungan interpersonal (hubungan antar pribadi yang saling menghargai).
Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas.
Pembelajaran kooperatif sangat berbeda dengan pengajaran
langsung. Di samping pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk
mencapai hasil belajar akademik, pembelajaran kooperatif juga efektif untuk
mengembangkan keterampilan sosial siswa. Beberapa ahli berpendapat
bahwa model pembelajaran ini unggul dalam membantu siswa dalam
memahami konsep-konsep yang sulit. Para pengembang model ini telah
menunjukkan bahwa model kooperatif telah meningkatkan penilaian siswa
pada belajar akademik, dan perubahan norma yang berhubungan dengan
hasil belajar.
Selain itu, model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk
keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial. Untuk mencapai hasil
belajar itu model pembelajaran kooperatif menuntut kerjasama dan
interpendensi peserta didik dalam struktur tugas, struktur tujuan, dan
struktur reward. Struktur tugas berhubungan bagaimana tugas diorganisir,
struktur tujuan dan reward mengacu pada derajat kerjasama atau kompetisi
yang dibituhkan untuk mencapai tujuan maupun reward.9
Penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi
belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial,
menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang lain, serta dapat
meningkatkan harga diri. Pembelajaran kooperatif juga dapat merealisasikan
kebutuhan siswa dalam belajar berfikir, memecahkan masalah, dan
mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan.
Agar pembelajaran kooperatif dapat berjalan sesuai dengan harapan,
maka siswa perlu diajarkan keterampilan-keterampilan kooperatif.
Keterampilan kooperatif tersebut berfungsi untuk melancarkan peranan
hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun
mengembangkan komunikasi antar anggota kelompok, sedangkan peranan
tugas dapat dilakukan dengan membagi tugas antar anggota kelompok.
Lungren dalam Trianto, menyusun keterampilan-keterampilan
kooperatif tersebut secara terinci dalam tiga tingkatan keterampilan.
Tingkatan tersebut yaitu keterampilan kooperatif tingkat awal, tingkat
menengah dan tingkat mahir.10
a. Keterampilan kooperatif tingkat awal, antara lain:
1). Berada dalam tugas, yaitu menjalankan tugas sesuai dengan
tanggungjawabnya.
2). Mengambil giliran dan berbagi tugas, yaitu menggantikan teman
dengan tugas tertentu dan mengambil tanggungjawab tertentu dalam
kelompok.
9
Agus Suprijono, Cooperative Learning, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009) hal. 61
10
3). Mendorong adanya partisipasi, yaitu memotivasi semua anggota
kelompok untuk memberikan konstribusi.
4). Menggunakan kesempatan, yaitu menyamakan persepsi/pendapat.
b.Keterampilan kooperatif tingkat menengah, antara lain:
1). Mendengarkan dengan aktif, yaitu menggunakan pesan fisik dan verbal
agar pembicara mengetahui anda secara energik menyerap informasi.
2) Bertanya, yaitu meminta atau menanyakan informasi atau klarifikasi
lebih lanjut.
3) Menafsirkan, yaitu menyampaikan kembali informasi dengan kalimat
berbeda.
4) Memeriksa ketepatan, yaitu membandingkan jawaban, memastikan
bahwa jawaban tersebut benar.
c. Keterampilan kooperatif tingkat mahir
Keterampilan kooperatif tingkat mahir ini antaralain: mengolaborasi, yaitu
memperluas konsep, membuat kesimpulan dan menghubungkan
pendapat-pendapat dengan topik tertentu.
Pembelajaran kooperatif diharapkan dapat meningkatkan
pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan, belajar untuk
bekerjasama, menghargai pendapat orang lain dan tanggung jawab antara
sesama siswa terhadap kelompoknya untuk memperoleh yang terbaik bagi
kelompoknya dalam belajar dan menyelesaikan tugas.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif
merupakan suatu pendekatan pengajaran yang mengutamakan siswa untuk
saling bekerjasama satu dengan yang lainnya untuk memahami dan
mengerjakan segala tugas belajar mereka. Beberapa unsur penting dalam
pembelajaran kooperatif meliputi kerjasama dalam menyelesaikan tugas,
mendorong untuk bekerjasama yang terstruktur, tanggungjawab individu
dan kelompok yang heterogen. Pembelajaran kooperatif digunakan dalam
kelas yang selalu diliputi kerjasama dalam menyelesaikan tugas. Dalam
kelompok belajar, semua anggota kelompok bekerjasama dan tidak memiliki
a. Prinsip dasar dan Ciri-ciri Dalam Pembelajaran Kooperatif
Adapun prnsip dasar dan elemen yang terkait dalam
pembelajaran kooperatif menurut Munir Tanree sebagai berikut11:
1). Saling ketergantungan positif. Dalam hal ini, dituntut adanya
interaksi promotif yang memungkinkan sesama siswa saling
memberikan motivasi untuk meraih hasil belajar yang optimal.
Saling ketergantungan antara lain dalam hal pencapaian tujuan,
penyelesaian tugas, bahan dan sumber, peran, dan hadiah.
2). Interaksi tatap muka. Siswa harus saling berhadapan da saling
membantu dalam pencapaian tujuan belajar dan sumbangan
pemikiran dalam pemecahan masalah, siswa harus mengembangkan
keterampilan berkomunikasi secara efektif.
3). Pertangungjawaban individu. Setiap individu dalam kelompok
bertanggung jawab terhadap nilai kelompok, penilaian kelompok
didasarkan pada rata-rata nilai semua anggota kelompok secara
individu.
4). Keterampilan menjalin hubungan antar pribadi merupakan
keterampilan sosial yang harus dimiliki dan diajarkan pada siswa
seperti: tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, berani
mempertahankan pikiran logis, mengkritik ide bukan mengkritik
teman, tidak mendominasi orang lain, dan mandiri.
Sedangkan menurut Shepardson, ciri-ciri model pembelajaran
kooperatif sebagai berikut12:
1). Pendidik harus mengupayakan terwujudnya interaksi antar peserta
didik yang berada dalam sebuah kelompok (student-to-student
interaction). Oleh karena itu, guru harus dapat menciptakan kondisi
11
Munir Tanree, Model Pembelajaran Konstruktiviis Realistik dengan Setting Kooperatif Serta Dampaknya Terhadap Pemahaman Konsep Kimia. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2009, hal. 268-269.
12
A. Syukur Ghazali, Menerapkan Paradigma Konstrktivisme Melalui Strategi Belajar Kooperatif dalam Pembelajaran Bahasa, (Malang: Universitas Malang) Jurnal Pendidikan dan
yang mampu memberikan kesempatan yang merata kepada anggota
kelompok untuk memberikan pendapat, menyampaikan ringkasan,
mempertahankan pendapat, ataupun memberikan jalan keluar jika
mengalami permasalahan dalam diskusi.
2). Pendidik harus menciptakan interpendensi positf di kalangan anggota
kelompok. Artinya, masing-masing anggota kelompok harus
diupayakan terlibat dalam kegiatan belajar mengajar, pendidik perlu
menjelaskan kepada kelompok bahwa masing-masing anggota harus
membiasakan diri mendengarkan dengan bak pendapat anggota lain,
menerima pendapat anggota lain, dan berupaya dapat membantu
teman lain menyumbangkan pikirannya.
3). Kemampuan masing-masing anggota kelompok diperhitungkan
secara adil (individual acountability). Di dalam pembelajaran
kooperatif, tidak ada peserta kelompok yang diperbolehkan
mengemukakan pendapatnya secara sukarela, masing-masing
anggota kelompok akan menyampaikan pendapatnya. Oleh karena
itu, seorang anggota kelompok akan menerima tugas dari pendidik,
misalnya sebagai pemimpin kelompok, sebagai perumus hasil
diskusi, atau sebagai penyamapi hasil diskusi.
4). Pembelajaran kooperatif menekankan pada pencapaian tujuan
bersama (group process skill). Pembelajaran ini mengajarkan kepada
peserta didik untuk saling memberi informasi, saling mengajarkan
jika ada anggota kelompok yang belum mampu, dan saling
menghargai pendapat anggotanya.
b. Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Pengelolaan pembelajaran dengan metode pembelajaran
kooperatif memiliki 3 tujuan yang ingin dicapai, yaitu:13
13
Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007, hal:47
1). Hasil belajar akademik
Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa
dalam tugas-tugas akademik. Banyak ahli berpendapat bahwa model
pembelajaran kooperatif unggul dalam membantu siswa yang sulit.
2). Pengakuan adanya keragaman
Model pembelajaran kooperatif bertujuan agar siswa dapat menerima
teman-temannya yang mempunyai berbagai macam perbedaan latar
belakang. Perbedaan latar belakang tersebut diantaranya: perbedaan
suku, agama, ras, kemampuan akademik, dan tingkat sosial.
3). Pengembangan keterampilan sosial
Model pembelajaran kooperatif bertujuan untuk mengembangkan
keterampilan sosial siswa. Keterampilan sosial yang dimaksud dalam
pembelajaran kooperatif antara lain: berbagi tugas, aktif bertanya,
menghargai pendapat oang lain, bekerja dalam kelompok, dan
sebagainya.
c. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif
Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran
yang menggunakan pembelajaran kooperatif. Langkah-langkah itu
[image:29.612.115.513.105.662.2]ditunjukkan pada tabel 2.2
Tabel 2.2 : Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif14
Fase Tingkah laku guru
Fase 1
Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajara tersebut dan memotivasi siswa belajar
Fase 2
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan
14
Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007, hal:48
Fase 3
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
Fase 4
Membimbing kelompok belajar dan bekerja
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka
Fase 5 Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing anggota kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
Fase 6
Memberkan penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok
2. Pembelajaran Kooperatif Model Talking Chips
Talking adalah sebuah kata yang diambil dari bahasa inggris yang
berarti berbicara, sedangkan Chips yang berarti kartu. Jadi arti Talking Chips
adalah kartu untuk berbicara. Sedangkan Talking Chips dalam pembelajaran
kooperatif yaitu pembelajaran yang dilakukan dalam kelompok kecil yang
terdiri atas 4-5 orang, masing-masing anggota kelompok membawa
sejumlah kartu yang berfungsi untuk menandai apabila mereka telah
berpendapat dengan memasukkan kartu tersebut ke atas meja.
Model pembelajaran Talking Chips merupakan salah satu model
pembelajaran yang menggunakan metode pembelajaran kooperatif. Dalam
pembelajaran kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok
kecil dan saling membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok
yang terdiri atas 4-5 orang siswa dengan kemampuan yang heterogen. Heterogen dalam hal ini, perolehan nilai sebelumnya, jenis kelamin, agama,
etnis/suku, dan sebagainya. Sehingga dalam setiap kelompok terdapat siswa
yang nilainya tinggi, sedang, dan rendah, baik laki-laki, maupun perempuan.
Talking Chips merupakan salah satu dari 200 struktur yang
dalam suatu kelompok15. Di dalam Talking Chips siswa dibagi dalam
kelompok-kelompok kecil sekitar 4-6 orang perkelompok. Dalam
kelompoknya para siswa diminta untuk mendiskusikan suatu masalah atau
materi pelajaran. Setiap kelompok diberi 4-5 kartu yang digunakan untuk
siswa berbicara. Setelah siswa mengemukakan pendapatnya, maka kartu
disimpan di atas meja kelompoknya. Proses dilanjutkan sampai seluruh
siswa dapat menggunakan kartunya untuk berbicara. Cara ini membuat tidak
ada siswa yang mendominasi dan tidak ada siswa yang tidak aktif, semua
siswa harus mengungkapkan pendapatnya. Disamping itu, penerapan model
pembelajaran kooperatif teknik Talking Chips merupakan suatu model
pembelajaran yang berpusat pada siswa (student oriented), dimana model
pembelajaran ini sesuai menempati posisi sentral sebagai subyek belajar
melalui aktivitas mencari dan menemukan materi pelajaran sendiri. Menurut
Wina Sanjaya dalam Supri Wahyudi Utomo, yang menyatakan bahwa
dengan beraktivitas siswa bukan hanya dituntut menguasai sejumlah
informasi dengan cara menghafal, akan tetapi bagaimana memperoleh
informasi secara mandiri dan kreatif melalui aktivitas mencari dan
menemukan. Dengan demikian apa yang dipelajari menjadi lebih bermakna,
sebab didapatkan melalui proses pengalaman belajar, bukan hasil
pemberitahuan orang lain.16
Talking Chips mempunyai dua proses yang penting, yaitu;17 proses
sosial dan proses dalam penguasaan materi. Proses sosial berperan penting
dalam Talking Chips yang menuntut siswa untuk dapat bekerjasama dalam
kelompoknya, sehingga para siswa dapat membangun pengetahuan mereka
di dalam suatu bingkai sosial yaitu pada kelompoknya. Para siswa belajar
15
Chris-hunt dan Alison Miyake, “Is Your Classoom Under Control? Dicipline In The Non-Teacher’s Classroom”, google: www. Davidenglishhouse.com/snakes pdfs/winter 2003/features/winter 2003 hunt-miyake.pdf.
16
Supri Wahyudi utomo, Penerapan Metode Talking Chips Dalam Pembelajaran Kooperatif Guna meningkatkan Prestasi Belajar Kewirausahaan di SMKN 1 Madiun, (Madiun: IKIP PGRI Madiun, 2007).hal. 49
17
Sonia Casal, “Talking Chips (A Book of Multiple Intelligence Exercise From Spain), google:
untuk berdiskusi, meringkas, memperjelas suatu gagasan, dan konsep materi
yang mereka pelajari, serta dapat memecahkan masalah-masalah.
Talking Chips juga mempunyai dua komponen utama, yaitu;18
komponen tugas kooperatif dan komponen insentif kooperatif. Komponen
tugas kooperatif berkaitan dengan hal yang menyebabkan anggota
bekerjasama dalam menyelesaikan tugas kelompok. Sedangkan komponen
insentif kooperatif merupakan sesuatu yang dapat membangkitkan motivasi
individu untuk bekerjasama mencapai tujuan kelompok.
Talking Chips mempunyai tujuan tidak hanya sekedar penguasaan
bahan pelajaran, tetapi adanya unsur kerjasama untuk penguasaan materi
tersebut. Hal ini menjadi ciri khas dalam pembelajaran kooperatif.
Disamping itu, Talking Chips merupakan metode pembelajaran secara
kelompok, maka kelompok merupakan tempat untuk mencapai tujuan
sehingga kelompok harus mampu membuat siswa untuk belajar. Dengan
demikian semua anggota kelompok harus saling membantu untuk mencapai
tujuan pembelajaran.
Selain dengan kelompoknya, siswa juga dapat berinteraksi dengan
anggota kelompok lain sehingga tercipta kondisi saling ketergantungan
positif di dalam kelas mereka pada waktu yang sama. Proses penguasaan
materi berjalan karena para siswa dituntut untuk dapat menguasai materi.
a. Cara-cara pembelajaran kooperatif model Talking Chips
Terdapat lima langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang
menggunakan pembelajaran kooperatif. Langkah-langkah itu
ditunjukkan pada tabel 2.3
18
Tabel 2.3 : Cara-cara pembelajaran kooperatif model Talking Chips19
No Tahap kegiatan
1. Masing-masing anggota dalam kelompoknya diberikan 4-5 kartu. 2. Para siswa dalam kelompoknya membahas topik atau berdiskusi untuk
menyelesaikan masalah yang diberikan guru.
3. Setiap siswa yang ingin berbicara atau mengungkap suatu ide, siswa tersebut terlebih dahulu harus mengangkat kartunya, kemudian kartunya disimpan di tengah meja pada kelompoknya.
4. Siswa tidak dapat berbicara lagi jika kartu miliknya sudah habis, sampai semua kartu milik siswa lain pada kelompoknya juga habis. 5. Jika kartu semuanya sudah digunakan dan kelompoknya masih
merasakan kebutuhan untuk mengungkapkan ide yang tertinggal, maka proses dapat dimulai kembali.
b. Kelebihan dan kelemahan pembelajaran kooperatif model Talking Chips.
Dalam pembelajaran kooperatif model Talking Chips
masing-masing anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk memberikan
kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota
yang lain dalam kelompoknya. Keunggulan lain dari model ini adalah
untuk mengatasi hambatan pemerataan kesempatan yang sering
mewarnai kerja kelompok. Dalam banyak kelompok kooperatif yang lain
sering ada anggota yang selalu dominan dan banyak bicara. Sebaliknya,
ada juga anggota yang pasif dan pasrah saja pada rekannya yang lebih
dominan. Dalam situasi seperti ini, pemerataan tanggung jawab dalam
kelompok bisa tidak tercapai karena anggota yang pasif akan selalu
menggantungkan diri pada rekannya yang dominan. Model pembelajaran
Talking Chips memastikan bahwa setiap siswa mendapatkan kesempatan
untuk berperan serta.
Sedangkan kelemahan dalam model pembelajaran Talking Chips
diantaranya:
1). Tidak semua konsep dalam kimia dapat mengungkapkan model
Talking Chips, disinilah tingkat profesionalitas seorang guru dapat
dinilai. Seorang guru yang profesional tentu dapat memilih metode
dan model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang akan
dibahas dalam proses pembelajaran.
2). Pengelolaan waktu saat persiapan dan pelaksanaan perlu
diperhatikan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, terutama
dalam proses pembentukan pengetahuan siswa.
3). Pembelajaran model Talking Chips adalah model pembelajaran
yang menarik namun cukup sulit dalam pelaksanaannya, karena
memerlukan persiapan yang cukup sulit. Selain itu dalam
pelaksanaannya guru dituntut untuk dapat mengawasi setiap siswa
yang ada di kelas. Hal ini cukup sulit dilakukan terutama jika
jumlah siswa dalam kelas terlalu banyak.
c. Persamaan dan perbedaan pembelajaran kooperatif model Talking Chips dengan model-model pembelajaran kooperatif yang lain.
Semua model-model pembelajaran kooperatif yang berlandaskan
metode pembelajaran kooperatif mempunyai tujuan, ciri-ciri,
unsur-unsur, konsep-konsep, dan keterampilan-keterampilan pembelajaran
yang sama, akan tetapi setiap model dalam pembelajaran kooperatif
mempunyai ciri khas tertentu.
Pembelajaran kooperatif model Talking Chips dapat
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan idenya,
sehingga tidak ada siswa yang mendominasi dan siswa yang diam saja.
Pembelajaran kooperatif model Talking Chips dapat membantu guru
untuk memonitor tanggung jawab individu siswa. Selain itu dalam
pembelajaran kooperatif model Talking Chips juga akan melatih siswa
untuk berpartisipasi aktif dalam berkomunikasi. Kemampuan ini sangat
penting sebagai bekal dalam hidup bermasyarakat, sehingga sangat
berkomunikasi, mengingat bahwa tidak semua siswa memiliki tingkat
kemampuan untuk berkomunikasi
3. Hasil Belajar Kimia a. Pengertian Belajar
Aktivitas belajar telah ada sejak manusia lahir. Hampir di
sepanjang waktunya manusia melaksanakan ritual-ritual belajar.
Pengetahuan, kemampuan, kebiasaan, kegemaran dan sikap seseorang
terbentuk, dimodifikasi dan berkembang disebabkan karena belajar.
Menurut pendapat yang tradisional, belajar hanyalah dianggap sebaga
pengumpul sejumlah ilmu saja.
Secara umum, pengertian belajar ditafsirkan berbeda-beda oleh
para ahli. Menurut Muhibbin Syah, belajar adalah tahapan perubahan
tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan
interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.20
Sedangkan menurut Ngalim Purwanto, belajar merupakan suatu
perubahan tingkah laku, dimana perubahan itu mengarah kepada tingkah
laku baik, tetapi ada juga kemungkinan mengarah kepada tingkah laku
yang lebih buruk.21 Menurut Syaiful Bahri Djamarah, belajar adalah
serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh perubahan tingkah
laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan
lingkungannya yang menyangkut aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik.22
Berdasarkan ketiga pendapat tersebut, dapat ditarik kesimpulan
bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku, baik kepada
tingkah laku yang baik atau buruk. Perubahan-perubahan yang terjadi
pada belajar ini terjadi secara sadar, brsifat relatif menetap, bersifat
20Muhibbin Syah, “Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru” PT Remaja Rosdakarya”,
2007. hal. 92 21
Drs. M.Ngalim Purwanto, MP.,”Psikologi Pendidikan”, PT Remaja Rosdakarya”, 2007. hal. 85 22
fungsional, positif dan aktif, bertujuan dan mencakup pada semua aspek
tingkah laku.
Definisi belajar ditinjau dari beberapa sudut pandang,
diantaranya:
1). Secara kuantitatif atau ditinjau dari sudut jumlah belajar, berarti
kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif
dengan fakta sebanyak-banyaknya.
2). Secara instusional atau tinjauan kelembagaan, belajar dipandang
sebagai poses validasi atau pengabsahan terhadap penguasaan
siswa atas materi-materi yang telah dipelajari.
3). Secara kualitatif atau tinjauan mutu, adalah proses memperoleh
arti-arti dan pengalaman-pengalaman serta cara-cara menafsirkan dunia
disekeliling siswa23
Selain itu, William Burton dalam buku The Guidance of
Learning Activities, memaparkan tentang prinsip-prinsip belajar, yaitu:24
1). Proses belajar ialah pengalaman, berbuat, mereaksi dan melampaui
(under going).
2). Proses itu melalui bermacam-macam ragam pengalaman dan mata
pelajaran-mata pelajaran yang berpusat pada suatu tujuan tertentu.
3). Pengalaman belajar secara maksimum bermakna bagi kehidupan
siswa.
4). Pengalaman belajar bersumber dari kebutuhan dan tujuan siswa
sendiri yang mendorong motivasi yang kontinu.
5). Proses belajar disyaratkan oleh hereditas dan lingkungan.
b. Pengertian Hasil Belajar
Definisi belajar tidak dapat didefinisikan secara pasti karena
tergantung pada teori yang dianut oleh seseorang dalam
23Muhibbin Syah, “Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru” PT Remaja Rosdakarya”,
2007, hal:91-92 24
mendefinisikannya. Morgan mendefinisikan belajar sebagai setiap
perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai
suatu hasil dari latihan/pengalaman.
Salah satu tanda bahwa seseorang telah belajar adalah perubahan
tingkah laku dalam dirinya yang menyangkut afektif, kognitif, dan
psikomotorik. Sehingga seseorang yang telah belajar akan menunjukkan
perubahan diantara ketiga aspek tersebut. Menurut Aunurrahman
menyatakan bahwa hasil belajar dapat ditandai dengan adanya perubahan
tingkah laku25.
Seperti yang dikutip oleh Agus Suprijono, bahwa hasil belajar
adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, apresiasi, dan keterampilan.
Merujuk pemikiran Gagne, hasil belajar berupa:26
1). Informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan
dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tulisan.
2). Keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan
konsep dan lambang
3). Strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan
aktivitas kognitifnya sendiri.
4). Keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian
gerak jasmani dalam urusan koordinasi, sehingga terwujud
otomatisme gerak jasmani.
5). Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan
penilaian terhadap objek tersebut.
Selain itu, seperti yang dikutip Ratna Wilis Dahar, dimana
menurut Gagne mengemukakan lima macam hasil belajar, yaitu 1)
keterampilan intelektual, yang merupakan penampilan yang ditunjukan
oleh siswa tentang operasi-operasi intelektual yang dilakukan seperti
memecahkan masalah, menyusun eksperimen, dan memberikan nlai-nilai
sains. 2) strategi kognitif, penampilan siswa yang ditunjukan secara
25
Aunurrahman, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung: Alfa Beta, 2009) h. 37 26
kompleks, dimana siswa diberikan sedikit bimbingan dalam memilih dan
menerapkan aturan-aturan, serta konsep-konsep yang telah dipelajari
sebelumnya. 3) informasi verbal, pengetahuan yang diperoleh siswa
sebagai hasil belajar di sekolah, begitu juga pengetahuan siswa diluar
sekolah seperti kata-kata yang diucapkan oleh orang, membaca, radio,
televisi, dan media-media lainnya. 4) sikap, sikap merupakan
pembawaan yang dapat dipelajari dan dapat mempengaruhi perilaku
seseorang terhadap benda-benda, kejadian-kejadian, atau makhluk hidup
lainnya, dalam pelajaran sains misalnya, sikap dapat dipelajari selama
para siswa melakukan percobaan di laboratorium. 5) keterampilan
motorik, keterampilan motorik tidak hanya mencakup kegiatan fisik,
melainkan juga kegatan motorik yang digabung dengan keterampilan
intelektual seperti membaca, menulis, memainkan alat musik,
menggunakan berbagai macam alat seperti mikroskop, buret, destilasi
dan alat-alat laboratorium lainnya27.
Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan
baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan
klasifikasi hasil belajar dan Benyamin Bloom yang secara garis besar
menjadi tiga bagian, yaitu:
1). Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang
terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan, ingatan, pemahaman,
aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi.
2). Ranah efektif berkenaan dengan sikap
3). Ranah psikomotor berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan
kemampuan bertindak28.
Ketiga ranah tersebut harus dinilai untuk mengetahui seberapa
besar pencapaian kompetensi secara operasional dari kompetensi dasar
dan standar kompetensi.
27
Ratna Wilis Dahar, Teori-teori Belajar, (Jakarta: Erlangga, 1996), hal. 135
1). Hasil Belajar Penguasaan Materi (Kognitif)
Hasil belajar pada ranah kognitif meliputi kemampuan menyatakan
kembali konsep atau prinsip yang telah dipelajari dan
kemampuan-kemampuan intelekual lainnya. Kemampuan-kemampuan-kemampuan intelektual
tersebut dikategorikan oleh Bloom dkk, menjadi enam jenjang
kemampuan. Enam jenjang tersebut adalah:29
(a) Hafalan (C1)
Jenjang hafalan (ingatan) meliputi kemampuan menyatakan
kembali fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang telah
dipelajarinya.
(b) Pemahaman (C2)
Jenjang pemahaman meliputi kemampuan menangkap arti dari
informasi yang diterima, misalnya dapat menafsirkan bagan,
diagram, atau grafik, menerjemahkan suatu pernyataan verbal ke
dalam rumusan matematis atau sebaliknya, meramalkan
berdasarkan kecenderungan tertentu (ekstrapolasi dan
interpolasi), serta mengungkapkan suatu konsep atau prinsip
dengan kata-kata sendiri.
(c) Penerapan (C3)
Jenjang penerapan meliputi kemampuan menggunakan prinsip,
aturan, metode yang dipelajarinya pada situasi baru atau pada
situasi konkrit.
(d) Analisis (C4)
Jenjang analisis meliputi kemampuan menguraikan suatu
informasi yang dihadapi menjadi komponen-komponennya
sehingga struktur informasi serta hubungan antar komponen
informasi tersebut menjadi jelas.
29
(e) Sintesis (C5)
Jenjang sintesis meliputi kemampuan untuk mengintegrasikan
bagian-bagian yang terpisah-pisah menjadi suatu keseluruhan
yang terpadu, misalnya kemampuan merencanakan eksperimen,
menyusun karangan (laporan praktikum, artikel, rangkuman),
menyusun cara baru untuk mengklarifikasikan obyek-obyek,
peristiwa dan informasi lainnya.
(f) Evaluasi (C6)
Jenjang evalasi meliputi kemampuan untuk mempertimbangkan
nilai suatu pernyataan, uraian, pekerjaan, serta berdasarkan
kriteria tertentu yang diterapkan.
2). Hasil Belajar Proses (Afektif)
Hasil belajar pada ranah afektif meliputi minat, sikap, dan nilai
yang ditanamkan melalui proses belajar mengajar. Ranah afektif ini
dikategorikan oleh Krathwohl dkk, menjadi lima jenjang
kemampuan. lima jenjang tersebut adalah:30
(a). Receiving : meliputi penerimanan secara pasif terhadap suatu
nilai dan keyakinan.
(b). Responding: meliputi keinginan dan kesenangan menanggapi
dan merealisasikan sesuatu yang sesuai dengan
nilai-nilai yang dianut masyarakat.
(c). Valuing : meliputi pemilikan serta pelekatan pada suatu
nilai tertentu.
(d).Organization: meliputi konseptualisasi nilai-nilai menjadi suatu
sistem nilai.
(e). Characterization: meliputi pengembangan nilai-nilai menjadi
karakter pribadi.
30
3). Hasil Belajar Aplikatif (Psikomotor)
Hasil belajar pada ranah psikomotor meliputi kemampuan yang
berupa keterampilan fisik (motorik) atau keterampilan manipulatif
seperti keterampilan menyusun alat-alat percobaan dan melakukan
percobaan. Ranah psikomotor ini dikategorikan oleh Trowbridge
dkk, menjadi empat jenjang kemampuan. empat jenjang tersebut
adalah:31
(a). Moving (bergerak)
Kategori ini meliputi pada sejumlah gerakan tubuh yang
melibatkan koordinasi gerakan-gerakan fisik. Kata kerja
operasional yang dapat digunakan untuk merumuskan indikator
pencapaian hasil belajar antara lain: membawa, membersihkan,
mengikuti, menempatkan atau menyimpan. Misalnya, siswa
dapat membersihkan alat-alat gelas atau siswa dapat membawa
mikroskop dengan benar.
(b). Manipulating (memanipulasi)
Kategori ini meliputi pada aktivitas yang meliputi pola-pola
yang terkoordinasi dari gerakan-gerakan yang melibatkan
bagian-bagian tubuh seperti tangan-jari, tangan-mata. Kata
kerja operasional yang dapat digunakan untuk merumuskan
indikator pencapaian hasil belajar antara lain: mengkalibrasi,
merangkai, meramu, mengubah, membersihkan,
menghubungkan, memanaskan, mencampurkan, mengaduk,
menimbang, mengoperasikan, dan memperbaiki. Misalnya,
siswa dapat menuangkan larutan dari botol reagen ke dalam
gelas kimia dengan benar.
(c). Communicating ( berkomunikasi)
Kategori ini meliputi pada pengertian aktivitas yang
menyajikan gagasan dan perasaan untuk diketahui oleh orang
31
lain. Kata kerja operasional yang dapat digunakan untuk
merumuskan indikator pencapaian hasil belajar antara lain:
mengajukan pertanyaan, menganalisis, mendeskripsikan,
mendiskusikan, mengarang, menggambar, menjelaskan,
membuat grafik, membuat tabel, mencatat, menulis, dan
membuat rancangan. Misalnya, siswa dapat mengajukan
pertanyaan mengenai masalah-masalah yang sedang
didiskusikan atau siswa dapat melaporkan data percobaan
secara akurat.
(d). Creating (menciptakan)
Kategori ini meliputi pada proses dan kinerja yang dihasilkan
dari gagasan-gagasan baru. Kata kerja operasional yang dapat
digunakan untuk merumuskan indikator pencapaian hasil
belajar antara lain: membuat kreasi, merancang, merencanakan,
mensintesis, menganalisis, dan membangun. Misalnya, siswa
dapat menggabungkan potongan-potongan alat untuk
membentuk instrumen atau peralatan baru dalam suatu
percobaan.
Berdasarkan dari beberapa pendapat tersebut, dapat ditarik kesimpulan
bahwa hasil belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang
dikelompokkan menjadi tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Hasil belajar juga dapat didefinisikan sebagai nilai akhir siswa yang diukur
melalui teknik-teknik evaluasi dan dapat digunakan sebagai pengukur
seberapa jauh materi pelajaran yang telah dikuasai.
c.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar
Belajar yang baik dapat menghasilkan nilai yang baik, begitupun
sebaliknya belajar yang buruk maka hasilnya pun akan buruk. Baik
Adapun faktor yang dapat mempengaruhi belajar menurut Muhibin Syah
adalah:32
1). Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor yang ada dalam diri siswa
meliputi dua aspek, yaitu aspek fisiologis dan aspek psikologis. Aspek
fisiologis mencakup kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot)
yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya,
dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti
pelajaran. Sedangkan untuk aspek psikologis siswa merupakan faktor
rohani yang didalamnya mencakup inteligensi, sikap, minat, dan motivasi
yang dapat mempengaruhi belajar siswa.
2). Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor dari luar siswa. Adapun faktor
eksternal yang dapat mempengaruhi belajar siswa terdiri dari dua macam,
yaitu faktor lingkungan sosial dan lingkungan nonsosial. Dimana yang
termasuk kedalam lingkungan sosial siswa adalah guru, para staf
administrasi, dan teman-teman sekolah. Selain itu masyarakat dan
tetangga juga teman-teman bermain siswa di sekitar perkampungan siswa
tersebut. Adapun lingkungan sosial yang sangat mempengaruhi kegiatan
belajar adalah orangtua dan keluarga siswa itu sendiri.
3). Faktor Pendekatan Belajar
Pada proses pembelajaran dimulai tentunya seorang guru harus
merangkul seluruh siswanya, dengan demikian siswa dapat mengenal
guru lebih dekat. Biasanya jika siswa sudah mengenal gurunya dia tidak
akan ragu untuk bertanya dan berbicara tentang hal-hal yang ingin ia
tanyakan kepada gurunya. Untuk itu diperlukan pendekatan agar siswa
merasa senang dan nyaman saat mempelajari pelajaran yang dibahas oleh
guru.
32
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Belajar
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Faktor Pendekatan
Belajar
Faktor Instrumental
Faktor Fisiologis
Kondisi Fisiologis umum Kondisi Pancaindera
Lingkungan Sosial
Faktor Psikologis
Intelgensi, sikap, minat, motif, dan motivasi
Lingkungan Non-sosial
Metode, Media, Model, dll
Kurikulum
[image:44.612.115.530.129.649.2]Sarana dan Prasarana
Gambar 2.1
Skema Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar
4). Faktor Instrumental33
Faktor-faktor instrumental adalah faktor yang keberadaan dan
penggunaanya dirancang sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan.
Faktor-faktor ini diharapkan dapat sebagai sarana agar tercapainya
tujuan-tujuan yang telah direncanakan. Faktor-faktor instrument ini dapat
berupa kurikulum, sarana dan fasilitas, dan gurunya sendiri.
Kalau sudah berbicara kurikulum berarti kita akan berbicara
mengenai komponen-komponennya, yakni tujuan, bahan atau program,
proses belajar mengajar, dan evaluasi. Kiranya jelas bahwa faktor
instrument ini sangat besar pengaruhnya terhadap proses dan hasil
belajar.
Skema Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar sebagai berikut:
d. Hakekat Pembelajaran Kimia
Ilmu kimia adalah ilmu pengetahuan alam yang mempelajari
tentang materi yang meliputi struktur, sifat dan perubahan materi serta
energi yang menyertainya.34 Ilmu kimia ini sarat dan konsep (terutama
konsep) bersifat abstrak dan konsep-konsep ini berjenjang, berkembang
dari konsep yang sederhana menuju konsep yang lebih kompleks.
Pelajaran kimia bagi sebagian siswa merupakan salah satu
pelajaran yang sulit. Banyak diantara siswa merasa tidak mampu atau
kurang mempunyai dasar yang kuat dalam mempelajari kimia. Dalam
mempelajari kimia diperlukan kemampuan yang intelektual untuk
memahaminya. Seperti yang dikutip oleh Atiek Winarti dan yudha
Irhasyuara, Pelajaran kimia menjadi momok yang menakutkan karena
adanya pandangan yang salah tentang kimia itu sendiri. Selama ini para
siswa mengangap konsep-konsep yang ada dalam pelajaran kimia sebagai
konsep-konsep abstrak yang sulit yang sulit diaplikasikan ke dalam
kehidupan nyata35.
Menurut teori belajar kontruktivisme, dalam mempelajari suatu
konsep, siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan
informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama
dan merevisinya apabila aturan-aturan tersebut tidak lagi sesuai. Hal
tersebut dilakukan agar siswa benar-benar paham terhadap materi yang
dipelajari dan dapat menerapkan pengetahuan, dapat memecahkan
masalah, berusaha dengan sungguh-sungguh melalui ide-idenya.36
Tujuan pembelajaran kimia yaitu agar siswa dapat memahami
konsep-konsep kimia dan saling keterkaitannya, mengembangkan daya
34J.M.C Johati, M Rachmawati, Kimia SMU Untuk Kelas X, (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 2 35 Atiek Winarti dan Yudha Irhasyuarna, Optimalisasi Peran Laboratorium Sebagai Upaya
Menyiapkan Pembelajaran Kimia di SMU dalam Menghadapi Abad 21 (vidya Karya : Jurnal pendidikan dan kebudayaan, 2001), No. 30,