PENGARUH TINGKAT PEMAHAMAN, KEPATUHAN DAN
KETEGASAN SANKSI PERPAJAKAN TERHADAP
KEWAJIBAN PERPAJAKAN PENGUSAHA USAHA
KECIL DAN MENENGAH (UKM) DI WILAYAH
JAKARTA SELATAN
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi Dan Ilmu Sosial
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Disusun Oleh:
Nama : Choiriyatuz Zahidah NIM : 106082002582
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PENGARUH TINGKAT PEMAHAMAN, KEPATUHAN DAN
KETEGASAN SANKSI PERPAJAKAN TERHADAP
KEWAJIBAN PERPAJAKAN PENGUSAHA USAHA
KECIL DAN MENENGAH (UKM) DI WILAYAH
JAKARTA SELATAN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh
Choiriyatuz Zahidah NIM: 106082002582
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Ahamad Rodoni Reskino, SE.,Ak.,M.Si NIP. 196902032001121003
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Hari ini Rabu Tanggal 15 Bulan Juni Tahun Dua Ribu Sepuluh telah dilakukan
Ujian Komprehensif atas nama Choiriyatuz Zahidah NIM: 106082002582 dengan
judul Skripsi “Pengaruh Tingkat Pemahaman, Kepatuhan dan Ketegasan Sanksi Perpajakan terhadap Kewajiban Perpajakan Pengusaha UKM di Wilayah Jakarta Selatan)”. Memperhatikan penampilan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 Juni 2010
Tim Penguji Ujian Komprehensif
Yessi Fitri, SE., Ak., M.Si Fitri Damayanti, SE
Ketua Sekretaris
Hari ini Tanggal 31 Bulan Agustus Tahun 2010 telah dilakukan Ujian Skripsi atas
nama Choiriyatuz Zahidah NIM: 106082002582 dengan judul Skripsi
“Pengaruh
Tingkat Pemahaman, Kepatuhan Dan Ketegasan Sanksi Perpajakan Terhadap Kewajiban Perpajakan Pengusaha Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Wilayah Jakarta Selatan”. Memperhatikan penampilan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka skripsi ini sudah dapat diterima sebagaisalah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan
Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 31 Agustus 2010
Tim Penguji Ujian Skripsi
Prof. Dr. Ahmad Rodoni Reskino, SE., Ak., M.Si Ketua Sekretaris
Drs. Abdul Hamid Cebba, MBA, CPA Yessi Fitri, SE., Ak., M.Si
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama : Choiriyatuz Zahidah
2. Tempat & Tanggal Lahir : Bandar Lampung, 22 Juni 1987
3. Alamat : Jl. Kota Agung No.72 Taman Rejo
Bernung Gedong Tataan, Pesawaran Lampung
4. Telepon : 085730294130
II. PENDIDIKAN
1. TK Diniyah Putri Lampung Tahun 1992-1993
2. SDN Tambak Rejo 1 Jombang Tahun 1993-1999
3. SLTP Negeri 2 Jombang Tahun 1999-2002
4. MAN Tambak Beras Jombang Tahun 2002-2005
5. S1 Ekonomi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2005-2010
III.LATAR BELAKANG KELUARGA
1. Ayah : Choirul Chuluq
2. Ibu : Azimah Mushoffie
3. Alamat : Jl. Kota Agung No. 72 Ds. Taman Rejo Kec.Bernung Kel. Gedong Tataan, Pesawaran Lampung
THE INFLUENCE OF CONSEPT LEVEL, COMPLIANCE AND TAX SANCTION FIRMNESS TOWARD TO THE TAX OBLIGATION OF
MIDDLE LOW INDUSTRY BUSINESSMAN IN SOUTH JAKARTA
ABSTRACT
This research exaimed to analyse the influence of concept level,compliance and tax sanction firmness toward to the tax obligation of middle low industry businessman. The respondent from this research are middle low industry businessman in South Jakarta. The sampling method used is convenience sampling method. The data that used by this research was primary data it was collected by questionnaires. The questionnaires can be used in analysis total 65 questionnaires from 100 questionnaires were distributed. This research used multiple regression analysis to test the hypotesis. The result of this research found that the concept level, compliance and tax sanction firmness have significantly influence to the tax obligation of middle low industry businessman.
PENGARUH TINGKAT PEMAHAMAN, KEPATUHAN DAN KETEGASAN SANKSI PERPAJAKAN TERHADAP KEWAJIBAN PERPAJAKAN PENGUSAHA USAHA KECIL DAN MENENGAH (UKM)
DI WILAYAH JAKARTA SELATAN ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh tingkat pemahaman, kepatuhan dan ketegasan sanksi perpajakan terhadap kewajiban perpajakan pengusaha UKM. Responden dari penelitian ini adalah pengusaha UKM yang berada di wilayah Jakarta Selatan.
Metode penentuan sampel menggunakan metode convenience sampling. Data yang digunakan adalah data primer yang dikumpulkan melalui kuesioner. Kuesioner yang bisa diolah adalah sejumlah 65 kuesioner dari 100 kuesioner yang disebarkan. Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda untuk pengujian hipotesis.
Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa tingkat pemahaman, kepatuhan dan ketegasan sanksi perpajakan berpengaruh signifikan terhadap kewajiban perpajakan pengusaha UKM baik secara bersama maupun terpisah.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah S.W.T yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Pengaruh Tingkat Pemahaman, Kepatuhan dan Ketegasan Sanksi Perpajakan Terhadap Kewajiban Perpajakan Pengusaha Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Wilayah Jakarta Selatan . Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian syarat-syarat guna mencapai gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada:
1. Allah S.W.T atas rahmat dan karunia-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Bpk. Choirul Chuluq dan Ibu Azimah Mushoffie, selaku orang tua terima kasih atas bantuan dan doa yang senantiasa kalian berikan untukku, tanpa mengenal lelah, kalian adalah sumber motivasiku.
3. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Afif Sulfa SE., Ak., M.Si selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.Kakak dan adikku, 5. Bapak Prof. Dr Ahmad Rodoni selaku dosen Pembimbing Skripsi I yang telah
bersedia meluangkan waktu, memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.
6. Ibu Reskino, SE., Ak., M.Si selaku dosen Pembimbing Skripsi I yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.
7. Ibu Yessi Fitri SE., Ak., M.Si selaku Sekretaris Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Mbak Atik, Dhe’ Hanif, Dhe’ Rosyid dan si kecil Aziz yang telah memberikan semangat, doa dan inspirasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
10.Sahabat-sahabatku Rahmah (Lili), Siwi, Oti, Rurry, Rochmah, Sari dan Zizah yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan selama ini.
11.Kawan-kawanku di akuntansi D Rikawati, Iis, Zakiyah, Tiur, Ichi, Yuli, Asri, Adzilah, Putri, Puput, Santi, Novia, Kibaq, Erna, Reza, Anwar (Alm), Mas Mul, Andre, Ian, Ridho, Arif, Hirfan, Fauzi, Samsul, dan lain-lain.
12.Kawan-kawanku di Akuntansi Perpajakan Romi, Fani, Diyah, Sayuti, Tajir, Aji, Dara, Made, Ani, Ida Hamadah, Ary dan lain-lain.
13.Rekan-rekan Audit dan Akuntansi Manajemen angkatan 2005 yang telah memberikan dukungannya selama ini kepada penulis.
14.Teman Terdekat, yang telah memberikan motivasi dan perhatian yang tiada henti-hentinya, yang dengan setia menjadi pendengar setia untuk semua keluh kesahku.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak.
Semoga Allah SWT memberikan semua kebaikan, kepada pihak yang telah disebutkan atas semua bantuannya kepada penulis. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan membantu para pembaca dan rekan-rekan mahasiswa atau mahasiswi lainnya.
Jakarta, 24 Agustus 2010
DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Lembar Pengesahan Skripsi ... ii
Lembar Pengesahan Uji Komprehensif ... iii
Lembar Pengesahan Uji Skripsi ... iv
Daftar Riwayat Hidup ... v
Abstract ... vi
Abstrak ... vii
Kata Pengantar ... viii
Daftar Isi ... x
Daftar Tabel ... xv
Daftar Gambar ... xvi
Daftar Lampiran ... xvii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...………. 1
B. Rumusan Masalah ...……….. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum atas Perpajakan... 9
1. Pengertian Perpajakan... 9
4. Asas Pemungutan Pajak………... . 14
5. Sistem Pemungutan Pajak……… 15
B. Tingkat Pemahaman... 17
C. Tingkat Kepatuhan... 19
1. Pengertian Tingkat Kepatuhan... 19
2. Pelayanan Perpajakan dalam Meningkatkan Kepatuhan.... 20
D. Ketegasan Sanksi Perpajakan... 24
E. Pengusaha dan Kriteria Usaha Kecil Menengah (UKM)... 28
F. Kewajiban Perpajakan Pengusaha UKM... 29
G. Keterkaitan antar Variabel... 31
H. Penelitian Terdahulu... 35
I. Kerangka Pemikiran... 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian………... 39
B. Metode Penentuan Sampel……..………..……….. 39
C. Metode Pengumpulan Data…………....………. 40
D. Metode Analisis Data………... 41
1. Uji Kualitas Data……… 41
2. Uji Asumsi Klasik……….. 42
3. Uji Hipotesis………... 44
BAB IV PENEMUAN DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian………. 50
B. Hasil Uji Instrumen Penelitian……….. 54
C. Pembahasan……….. 69
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……….. 72
B. Implikasi……….. 72
C. Saran……… 73
Daftar Pustaka... 75
Daftar Tabel
No. Keterangan Halaman
2.1 Penelitian Terdahulu ... 35
3.1 Tingkat Penilaian Jawaban ... 41
3.2 Operasional Variabel Penelitian ... 47
4.1 Data Sampel Penelitian ... 51
4.2 Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 51
4.3 Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Usia ... 52
4.4 Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir.. 52
4.5 Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Lama Bekerja……… 53
4.6 Hasil Uji Statistik Deskriptif ... 54
4.7 Hasil Uji Validitas Variabel Tingkat Pemahaman……… 55
4.8 Hasil Uji Validitas Setelah P2 Dikeluarkan……….. 56
4.9 Hasil Uji Validitas Variabel Kepatuhan……… 57
4.10 Hasil Uji Validitas setelah K7 dikeluarkan………... 58
4.11 Hasil Uji Validitas Variabel Ketegasan Sanksi Perpajakan ... 58
4.12 Hasil Uji Validitas Variabel Kewajiban Perpajakan……… 59
4.13 Hasil Uji Reliabilitas Variabel Tingkat Pemahaman ... 59
4.14 Hasil Uji Reliabilitas Variabel Kepatuhan……… 60
4.15 Hasil Uji Reliabilitas Variabel Ketegasan Sanksi Perpajakan…….. 60
4.16 Hasil Uji Reliabilitas Variabel Kewajiban Perpajakan………. 61
4.17 Hasil Uji Multikolonieritas ... 62
4.18 Hasil Uji Koefisien Determinasi ... 65
4.19 Hasil Uji Statistik t ... 66
Daftar Gambar
No. Keterangan Halaman
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Pajak merupakan pengetahuan yang harus dimiliki oleh setiap wajib
pajak, penguasaan terhadap peraturan perpajakan bagi wajib pajak akan
meningkatkan kepatuhan kewajiban perpajakan agar terhindar dari
sanksi-sanksi yang berlaku dalam ketentuan umum perpajakan. Sebagaimana
dimaklumi, suatu kebijakan berupa pengenaan sanksi dapat dipergunakan
untuk 2 (dua) maksud, yang pertama adalah untuk mendidik dan yang kedua
adalah menghukum. Dengan mendidik dimaksudkan agar mereka yang
dikenakan sanksi akan menjadi lebih baik dan lebih mengetahui hak dan
kewajibannya sehingga tidak lagi melakukan hal yang sama. Maksud yang
kedua adalah pengenaan sanksi menghukum, sehingga pihak yang terhukum
akan menjadi jera (Mulyodiwarno, 2007).
Oleh karena itu, pemahaman tentang pajak diberikan kepada pelajar
dan masyarakat, agar sejak dini pelajar dan masyarakat sudah mengetahui
pentingnya pajak terhadap negara. Pengetahuan tentang pajak atau perpajakan
sangat penting tidak hanya bagi pelajar maupun pengusaha tapi juga bagi
orang pribadi dan semua kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan karena
terkait dengan hak dan kewajiban perpajakannya. Bagaimana mereka bisa
melaksanakan hak dan kewajibannya kalau mereka tidak tahu dan paham
meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pajak. Hal ini merupakan tugas
utama dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk melakukan sosialisasi
tentang perpajakan (Rizal, Blog Pajak).
Dalam sistem self assessment, Wajib Pajak dipercaya untuk
menghitung, memperhitungkan sendiri, membayar, melaporkan kewajiban
perpajakannya ke DJP (Zein, 2003 dalam Hutagaol, 2006). Self assessment
system dapat berjalan dengan baik, jika pemerintah dalam hal ini Direktorat
Jendral Pajak menjalankan ketiga fungsinya yaitu pelayanan, penyuluhan dan
penegakan hukum secara optimal. Kegiatan pelayanan meliputi segala jenis
pelayanan yang berhubungan dengan pemenuhan kewajiban maupun hak
Wajib Pajak dibidang perpajakan seperti penerbitan atau pencabutan Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP), permohonan keberatan dan permohonan restitusi
Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sedangkan kegiatan penyuluhan mencakup
penyebarluasan informasi tentang ketentuan perpajakan yang perlu diketahui
oleh wajib pajak guna pemenuhan kewajiban dan haknya dibidang perpajakan.
Kegiatan penegakan hukum terdiri dari tiga pilar yaitu, pemeriksaan pajak,
penyidikan pajak dan penagihan pajak. Kegiatan penegakan hukum bertujuan
mendorong wajib pajak untuk mematuhi ketentuan perpajakan yang berlaku.
Dengan demikian, penyuluhan maupun penegakan hukum merupakan bentuk
lain dari pelayanan pajak (Hutagaol, 2006). Dalam sistem ini diharapkan wajib
pajak memiliki kesadaran terhadap pemenuhan kewajibannya, kejujuran
membayar pajak, dan disiplin dalam menjalankan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Kepatuhan pajak merupakan persoalan yang sudah biasa sejak dulu
ada di perpajakan. Di dalam negeri, rasio kepatuhan wajib pajak dalam
melaksanakan pemenuhan kewajiban perpajakannya dari tahun ke tahun masih
menunjukkan persentase yang tidak mengalami peningkatan secara berarti.
Hal ini didasarkan jika kita melihat perbandingan jumlah wajib pajak yang
memenuhi syarat patuh di Indonesia sedikit sekali jika dibandingkan dengan
jumlah total wajib pajak terdaftar. Jika tingkat kepatuhan pajak rendah, maka
secara otomatis akan berdampak rendah terhadap penerimaan pajak, sehingga
menurunkan tingkat penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) pula. Dari berbagai data indikator kepatuhan pajak tersebut, terlihat
bahwa terdapat permasalahan kepatuhan pajak di Indonesia yang masih
menunjukkan tingkat kepatuhan yang rendah (Widodo, 70:2010).
Dengan mematuhi hukum yang berlaku, secara tidak langsung wajib
pajak telah menegakkan budaya disiplin pada diri sendiri. Kedisiplinan yang
ia tetapkan secara tidak langsung membantu pemerintah dalam hal
menentukan kebijakan, tentunya kebijakan yang terkait dengan dunia usaha.
Dengan patuh kepada hukum yang berlaku, setidaknya ia telah membuat
pemerintah merasa dihargai. Selain itu kepatuhan pengusaha tersebut
merupakan bentuk paling kecil dari tindakan yang dapat dilakukan terhadap
namun memberikan semangat kepatuhan dalam hukum (Susanta dan
Syamsudin, 11:2009).
Peranan usaha skala kecil dan menengah dalam perekonomian
akhir-akhir ini mulai banyak diperhitungkan dalam proses merencanakan suatu
kebijakan di bidang perpajakan. Hal tersebut adalah salah satu bagian dari
usaha meningkatkan peranan pengusaha dalam proses pengambilan keputusan
dan kebijakan dalam lingkungan otoritas pajak. Sebagai negara berkembang,
Indonesia perlu memperhatikan usaha kecil dan menengah (UKM) secara
serius. Dengan tumbuh kembangnya UKM membuat kinerja usaha lebih baik
sehingga mampu menyediakan tenaga kerja yang produktif dan meningkatkan
produktivitas. Adanya UKM ini dapat menjadi pendorong dan pendukung
hidupnya perusahaan-perusahaan besar (Susanta dan Syamsudin, 4:2009).
Apabila diperhatikan dengan lebih seksama, selama ini perekonomian
dalam negeri secara umum masih buruk, tetapi harus kita akui bahwa beberapa
sektor usaha (terutama sektor swasta), masih menunjukkan kinerja yang cukup
bagus. Usaha yang bisa dikatakan bertahan hidup dalam segala situasi dan kondisi
tersebut kebanyakan adalah usaha kecil dan menengah. Banyaknya usaha-usaha
tersebut, baik yang berskala kecil maupun menengah bila diperhatikan dengan
sungguh-sungguh merupakan sumber pajak yang dapat dipergunakan untuk
menambah pendapatan negara. Sebagai contoh adalah usaha yang mulai
meramaikan industri jasa maupun industri perdagangan di wilayah Jakarta Selatan
seperti di daerah Mampang, Pondok Pinang, Bintaro, Tebet, Kebayoran Lama,
Dalam sistem self assessment, wajib pajak memiliki kewajiban untuk
menghitung, menyetor dan melaporkan kewajiban perpajakannya, tidak terkecuali
wajib pajak kecil, dimana mereka memiliki kewajiban yang sama dengan wajib
pajak dalam negeri yang lain. Namun, bagi sebagian besar wajib pajak kecil,
untuk melakukan pembukuan transaksinya ini akan terasa sulit dilakukan.
Terutama kebijakan perpajakan yang membebani wajib pajak kecil ini akan
berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban
perpajakannya. Selain itu, ketidaktahuan mengenai kebijakan perpajakan bagi
wajib pajak kecil akan menghambat pelaksanaan kewajiban perpajakan (Widodo,
173:2010).
Program kemitraan usaha kecil menengah dengan industri-industri
skala besar pun digulirkan agar tercapai sinergi antar keduanya, khususnya
bagi usaha kecil menengah seperti peluang pasar, modal kerja dan manajemen.
UKM memiliki beberapa kelemahan antara lain adalah menghadapi
ketidakpastian pasar, ketidakpastian dapat bertahan hidup atau tidak dalam
tahun pertama usaha, serta adanya pembukuan yang tidak jelas.
Kelemahan-kelemahan inilah yang bisa mempengaruhi pemahaman dan kewajiban setiap
pengusaha UKM dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Harapan
selanjutnya yaitu adanya regulasi yang mendukung sekaligus mendorong
berkembangnya usaha kecil menengah tersebut secara menyeluruh, seperti
persoalan perpajakannya (Wibowo, 2004).
Dalam perkembangannya, UKM diharapkan kemandiriannya dan
menjadi salah satu elemen penting yang mendukung industri-industri besar
saatnya dilakukan agar sektor usaha kecil menengah mampu tumbuh di
kancah perekonomian nasional, bahkan bersaing dalam bisnis global. Institusi
pemerintah yang terkait dengan sektor industri yang menjadi bidang
kompetensinya semestinya menjadi motivator penggerak usaha kecil
menengah, termasuk bagaimana Direktorat Jendral Pajak (DJP) peduli
terhadap pemajakan usaha kecil menengah ini. Pajak menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari pengembangan usaha kecil menengah secara
terintegrasi. Keberpihakan dan kepedulian Direktorat Pajak terhadap usaha
kecil menengah seperti pemberian insentif pajak yang menjadi sangat penting
jika tidak memungkinkan tax holiday. Rancangan Undang-Undang (RUU)
Perpajakan yang sedang menunggu pembahasan dari Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) merupakan salah satu yang dapat kita cermati secara seksama.
Jangan sampai terjadi undang-undang perpajakan yang baru justru
menyurutkan semangat berwirausaha kecil menengah tersebut (Wibowo,
2004).
Pajak memiliki fungsi budgeteir yaitu, untuk mengisi kas Negara
sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku dan digunakan untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara. Berdasarkan fungsi pajak sebagai fungsi
budgeter, maka sangat diperlukan adanya kesadaran dan kedisiplinan
masyarakat untuk memahami dan mematuhi kewajiban perpajakan sebagai
warga negara Indonesia (Liana, 2007)
Selain sebagai fungsi budgeteir, pajak juga memiliki manfaat yaitu
mengatur mekanisme berkembangnya sektor-sektor riil. Usaha kecil
menengah yang berkembang memberi harapan nyata terhadap tumbuhnya
sektor riil, yakni kegairahan perekonomian sekaligus membuka peluang
lapangan pekerjaan baru yang berarti mengurangi pengangguran. Kebijakan
pajak bagi usaha kecil menengah yang terdapat dalam Undang-Undang
Perpajakan yang baru mudah-mudahan tidak mengesampingkan peran usaha
kecil menengah dalam perekonomian nasional tersebut (Wibowo, 2004).
Liana (2007) melakukan penelitian mengenai analisis tingkat
pemahaman dan kepatuhan pengusaha UKM dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya di Yogyakarta. Dalam penelitiannya, Liana memberikan bukti
empiris bahwa terdapat perbedaan pada tingkat pemahaman pengusaha UKM
dalam hal pengisian SPT, penghitungan, penyetoran, pelaporan pajak dan
tingkat kepatuhan pengusaha UKM dalam hal penyetoran serta pelaporan
pajak dilihat dari tingkat pendidikan pengusaha UKM.
Ferry Dwi Prasetyo (2006) melakukan penelitian mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi pemilik usaha kecil menengah dalam pelaporan
kewajiban perpajakan di daerah Yogyakarta. Dalam penelitian tersebut
menggunakan sampel penelitian sebanyak 50 perusahaan kecil dan menengah
di bidang usaha coffeshop yang terdaftar di wilayah Yogyakarta. Sementara
itu Sampel yang digunakan oleh Nugrahanti (2005) adalah perusahaan kecil
dan menengah sebanyak 78 perusahaan, dengan perincian untuk pengusaha
kecil berjumlah 43 dan pengusaha menengah berjumlah 31 perusahaan.
1. Adanya penambahan satu variabel independen berupa ketegasan sanksi
perpajakan yang diperoleh dari penelitian Sartika dan Rini (2009).
Penelitian sebelumnya hanya menguji pengaruh tingkat pemahaman dan
kepatuhan pengusaha UKM terhadap kewajiban perpajakannya, sedangkan
penelitian ini menguji pengaruh tingkat pemahaman, kepatuhan dan
ketegasan sanksi perpajakan terhadap kewajiban perpajakan pengusaha
UKM.
2. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan sampel pengusaha UKM yang
telah memiliki NPWP dan bergerak diberbagai jenis bidang usaha yang
berada di wilayah Jakarta Selatan, tidak di fokuskan kepada satu macam
bidang usaha saja.
3. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan sampel sebanyak 100
perusahaan yang berada di wilayah Jakarta Selatan.
Mengingat banyak ditemukannya pelaku UKM tidak memahami
kewajiban pajak, atau tidak mengetahui apabila UKM memiliki kewajiban
dalam bidang perpajakan, seperti halnya perusahaan-perusahaan yang ada.
Saat ini sudah waktunya para pelaku UKM khususnya pengusaha memahami
aspek-aspek perpajakan yang terkait usahanya, maka penulis tertarik
melakukan penelitian dengan judul ”Pengaruh Tingkat Pemahaman,
Kepatuhan dan Ketegasan Sanksi Perpajakan terhadap Kewajiban Perpajakan
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka masalah dalam
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah tingkat pemahaman, kepatuhan dan ketegasan sanski perpajakan
berpengaruh secara signifikan terhadap kewajiban perpajakan pengusaha
UKM?
2. Variabel manakah yang paling dominan mempengaruhi kewajiban
perpajakan pengusaha UKM?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari masalah yang ingin dibahas dalam penulisan ini
adalah untuk menguji secara empiris pengaruh yang ditimbulkan oleh
tingkat pemahaman, kepatuhan dan ketegasan sanksi perpajakan terhadap
pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh pengusaha UKM.
Dan tujuan penelitian ini juga untuk menemukan bukti empiris atas hal-hal
sebagai berikut:
a. Menganalisis pengaruh tingkat pemahaman, kepatuhan dan ketegasan
sanksi perpajakan terhadap kewajiban perpajakan pengusaha UKM.
b. Menganalisis variabel yang paling dominan mempengaruhi kewajiban
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
a. Peneliti, sebagai media untuk menambah wawasan pengetahuan
berfikir dan rekan-rekan mahasiswa, khususnya jurusan akuntansi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Pengusaha UKM, agar memahami dan mematuhi peraturan perpajakan
yang telah di tetapkan oleh pemerintah.
c. Pemerintah, sebagai masukan untuk perbaikan sistem pelayanan pajak
yang lebih baik lagi.
d. Masyarakat, yaitu sebagai sarana informasi mengenai masalah yang
berkenaan dengan perpajakan.
e. Peneliti selanjutnya, yaitu sebagai referensi ilmiah mengenai masalah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum atas Perpajakan 1. Pengertian Perpajakan
Pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan bagi negara
dalam menjalankan pemerintahan. Pajak ikut ambil bagian dalam
pembangunan di seluruh aspek kehidupan di negara ini. Tanpa pajak,
pembangunan tidak akan berjalan lancar karena besarnya pembiayaan
yang diperlukan tidak akan bisa ditutupi dengan pinjaman dan bantuan
luar negeri.
Menurut Soemitro (dalam Rahayu, 2010:22) pajak adalah iuran
rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontrapretasi) yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang
berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak
rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan
surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama
untuk membiayai public investment.
Menurut Adriani dalam Brotodiharjo (2003:19), pajak adalah
iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
(undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung
dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan.
Dari pengertian-pengertian tersebut disimpulkan bahwa pajak
memiliki unsur-unsur (Rahayu, 2010:23):
a. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya.
b. Pajak dapat dipaksakan. Hal ini berarti pelanggaran atas aturan
perpajakan akan berakibat adanya sanksi.
c. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontrapretasi
secara langsung oleh pemerintah.
d. Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah, tidak boleh dilakukan pihak swasta yang orientasinya adalah
mencari laba.
e. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang
bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, maka akan
dipergunakan untuk membiayai public invesment.
2. Fungsi Pajak
Pengertian fungsi dalam fungsi pajak adalah pengertian fungsi
sebagai kegunaan suatu hal. Maka fungsi pajak adalah kegunaan pokok,
manfaat pokok pajak. Sebagai alat untuk menentukan politik
meningkatkan kesejahteraan umum. Suatu negara dipastikan berharap
kesejahteraan ekonomi masyarakatnya selalu meningkat dengan pajak
sebagai salah satu sumber penerimaan negara, diharapkan banyak
pembangunan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan negara (Rahayu,
2010:25). Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi,
yaitu:
a. Fungsi Budgetair
Fungsi budgetair ini merupakan fungsi utama pajak, yaitu pajak
dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke
kas negara yang dilakukan sistem pemungutan berdasarkan
undang-undang perpajakan yang berlaku. Pajak berfungsi sebagai alat untuk
memasukkan uang dari sektor swasta (rakyat) ke dalam kas negara
atau anggaran negara berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan fungsi inilah pemerintah sebagai pihak yang
membutuhkan dana untuk membiayai berbagai kepentingan melakukan
upaya pemungutan pajak ke penduduknya.
b. Fungsi Regulerend
Fungsi regulerend disebut juga fungsi mengatur, yaitu pajak
merupakan alat kebijakan pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu.
Merupakan fungsi lain dari pajak selain fungsi budgetair. Disamping
usaha untuk memasukkan uang untuk kegunaan kas negara, pajak
dimaksudkan juga sebagai usaha pemerintah untuk ikut andil dalam
kekayaan dalam sektor swasta. Fungsi regulerend juga disebut sebagai
fungsi tambahan, karena fungsi ini hanya sebagai tambahan atas fungsi
utama pajak yaitu fungsi budgetair.
3. Jenis Pajak
Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan
menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak
yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola
oleh Direktorat Jenderal Pajak dan Departemen Keuangan, sedangkan
Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah
baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
Pajak-pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi:
a. Pajak Penghasilan (PPh)
PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak.
Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari
luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan
demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji,
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi,
perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap
barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak,
kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. Tarif PPN adalah
tunggal yaitu sebesar 10%. Dalam hal ekspor, tarif PPN adalah 0%.
Yang dimaksud dengan daerah pabean adalah wilayah Republik
Indonesia yang meliputi wilayah darat, peraian, dan ruang udara
diatasnya.
c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang
tergolong mewah, juga dikenakan PPnBM, yang dimaksud dengan
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah:
1) Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
2) Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;
3) Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat
berpenghasilan tinggi;
4) Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status;
5) Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral
d. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan
tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun
demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada
Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
e. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan(BPHTB)
BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola
oleh pemerintah pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya
diserahkan kepada pemerintah daerah baik Propinsi maupun
Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.
4. Asas Pemungutan Pajak
Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai
asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak,
khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling
sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak
adalah (Rahayu, 2010:13):
a. Asas domisili, pengenaan pajak tergantung pada tempat tinggal wajib
pajak. Dimana wajib pajak tinggal di suatu negara, maka di negara
itulah ia dikenakan pajak atas segala hal yang berhubungan dengan
obyek yang dimiliki wajib pajak yang menurut undang-undang
maupun luar negeri, maka dikenakan pajak atas seluruh
penghasilannya yang diterima di dalam maupun luar negeri tersebut.
b. Asas sumber, cara pemungutan pajak yang bergantung pada sumber di
mana obyek pajak diperoleh. Jika suatu negara terdapat sumber
penghasilan, negara tersebut berhak memungut pajak tanpa melihat
wajib pajak itu bertempat tinggal. Baik wajib pajak dalam negeri
maupun luar negeri yang memperoleh penghasilan yang bersumber
dari Indonesia, akan dikenakan pajak di Indonesia.
c. Asas kebangsaan, adalah asas yang menganut cara pemungutan pajak
yang dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Cara ini menurut
Brotodiharjo dipergunakan untuk menetapkan pajak obyektif.
5. Sistem Pemungutan Pajak
Dalam sistem perpajakan dikenal official assessment system, self
assessment system dan with holding system. Rahayu (2010:101) dalam
bukunya menguraikan sitem tersebut sebagai berikut:
a. Official Assesment system merupakan sistem perpajakan dimana
inisiatif untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada di pihak fiskus.
Jadi dalam sistem ini wajib pajak bersifat pasif sedang fiskus bersifat
aktif. Menurut sistem ini utang pajak timbul apabila telah ada
ketetapan pajak dari fiskus.
b. Self Assesment System, adalah sistem pemungutan pajak di mana wajib
pajak harus menghitung, memperhitungkan, membayar, dan
melakukan penyuluhan dan pengawasan untuk mengetahui kepatuhan
wajib pajak. Dengan demikian, jika dihubungkan dengan ajaran
timbulnya utang pajak, maka self assesment system sesuai dengan
timbulnya utang pajak menurut ajaran materil, artinya utang pajak
apabila ada yang menyebabkan timbulnya utang pajak. Untuk
mensukseskan sistem tersebut dibutuhkan beberapa prasyarat dari
wajib pajak antara lain:
1) Kesadaran Wajib Pajak
2) Kejujuran dan kedisiplinan Wajib Pajak
3) Kemauan membayar pajak dari Wajib Pajak.
c. With Holding System, adalah sistem pemungutan pajak yang mana
besarnya pajak terutang dihitung dan dipotong oleh pihak ketiga. Pihak
ketiga yang dimaksud disini antara lain pemberi kerja, dan
bendaharawan pemerintah.
Sebagaimana telah diketahui bahwa dengan Reformasi
Perpajakan tahun 1983, sistem perpajakan di Indonesia menganut self
assessment system. Dari sistem tersebut yang paling utama yaitu adanya
kewajiban wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor,
melapor sendiri pajak yang terutang sesuai peraturan perundang-undangan
perpajakan. Harapan agar sistem perpajakan tersebut dapat dilaksanakan
dengan baik diperlukan adanya kesadaran dan kepatuhan wajib pajak serta
Sebagai unsur penegakan hukum ini, dilakukan tindakan
pemeriksaan, penyidikan dan penagihan pajak. Tindakan pemeriksaan ini
merupakan upaya dalam menilai tingkat kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan bagi setiap wajib pajak dengan perlakuan yang sama. Dengan
demikian, secara yuridis tidaklah terdapat perbedaan antara pemeriksaan
pada wajib pajak tertentu dibandingkan dengan wajib pajak lainnya
(Waluyo, 2009:59)
B. Tingkat Pemahaman
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), pemahaman dapat
diartikan sebagai proses, perbuatan, cara memahami atau memahamkan.
Wajib pajak yang tidak memahami peraturan perpajakan secara jelas
cenderung akan menjadi wajib pajak yang tidak taat. Jelas bahwa semakin
paham wajib pajak terhadap peraturan perpajakan, maka semakin paham pula
wajib pajak terhadap sanksi yang akan diterima bila melalaikan kewajiban
perpajakan mereka.
Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut
Soemitro (2010), merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya
undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk
menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai
kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk
penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan
menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak
maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
Setiap akhir tahun para wajib pajak disibukkan dengan pengisian
SPT tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dan melaporkannya paling
lambat tanggal 31 Maret serta kekurangan setoran PPh Pasal 29 dibayar paling
lambat tanggal 25 Maret. Meskipun pengisian SPT sudah menjadi hal rutin
yang dilakukan oleh Wajib Pajak, tetapi masih terdapat berbagai hal yang
terasa sulit dalam pengisiannya sehingga sering terjadi kesalahan-kesalahan.
Untuk memperkecil bahkan menghilangkan kesalahan-kesalahan tersebut,
berbagai kegiatan dan program telah dilakukan di antaranya pendekatan
penyuluhan dan sosialisasi pajak yang juga berguna untuk menciptakan
masyarakat patuh pajak.
Tidak mudah untuk meningkatkan kepatuhan pajak pada saat ini,
diperlukan adanya kepercayaan masyarakat, baik terhadap integritas
administrasi perpajakan maupun sistem perpajakan sebagai sarana untuk
mensejahterakan masyarakat. Selain itu, pemerintah juga harus dapat secara
nyata membuktikan dan bila memang terbukti bahwa dana pajak telah
terdistribusi dengan baik untuk meningkatkan pembangunan dan memperbaiki
kesejahteraan secara luas akibat kontribusi tidak langsung dari uang pajak
(Rahayu, 2010:29).
Jika yang terdengar masih seputar isu mengenai
kebocoran-kebocoran keuangan negara, terutama dana dari pajak, tentu sulit untuk
ini, DJP harus memastikan target penerimaan pajak dapat tercapai bila perlu
Gijzeling ‘hukuman badan’ bagi wajib pajak yang tidak patuh pajak. Selain itu
diperlukan reformasi administrasi perpajakan yang meliputi prosedur, tata cara
atau proses pemajakan, fungsi, sistem, dan kelembagaan (Prasetyo, 2006).
Wajib pajak yang tidak memahami peraturan perpajakan secara jelas
cenderung akan menjadi wajib pajak yang tidak taat. Jelas bahwa semakin
paham wajib pajak terhadap peraturan perpajakan, maka semakin paham pula
wajib pajak terhadap sanksi yang akan diterima bila melalaikan kewajiban
perpajakan mereka. Pada Harian Kedaulatan Rakyat, 4 Agustus 2001 (dalam
Prasetyo, 2006) menyatakan bahwa pemahaman peraturan perpajakan sangat
kecil. Setiap wajib pajak yang telah memahami peraturan perpajakan sangat
baik, biasanya akan melakukan aturan perpajakan yang ada sesuai dengan apa
yang tercantum di dalam peraturan yang ada.
Mungkin semua yang dilakukan DJP adalah sebuah metode
pencapaian target pajak dengan penyadaran pajak melalui penyuluhan dan
dengan terpaksa diikuti dengan law inforcement bagi setiap penyelenggaranya.
Penyuluhan pajak yang efektif menjadi ujung tombak DJP untuk
memasyarakatkan pajak dan meningkatkan kepatuhan pajak.
C. Tingkat Kepatuhan
1. Pengertian Tingkat Kepatuhan
Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh, yang menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2005), patuh berarti suka menurut perintah, taat
patuh, ketaatan, tunduk, atau patuh pada ajaran atau aturan. Adapun
definisi kepatuhan yang dijabarkan oleh tim subdit verifikasi Dit PPh
Ditjen Pajak menyatakan bahwa: “Kepatuhan biasanya berkisar pada
istilah tingkat sampai dimana wajib pajak memenuhi Undang-Undang dan
administrasi perpajakan, tanpa perlunya kegiatan penegakan hukum.”
Kepatuhan wajib pajak dalam teori psikologi, yaitu rasa bersalah dan rasa
malu, persepsi wajib pajak atas kewajaran dan keadilan beban pajak yang
mereka tanggung, dan pengaruh kepuasan terhadap pelayanan pemerintah.
Tingkat kepatuhan perpajakan yaitu suatu keadaan dimana wajib
pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak
perpajakannya. Kewajiban pajak tersebut berupa: tepat waktu dalam
menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) Tahunan dalam dua tahun
terakhir, tidak mempunyai tunggakan untuk semua jenis pajak, kecuali
telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda, dan membayar
pajak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Hak pajak yang
dimaksud adalah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak (Nurmantu, 2005 dalam Rahayu, 2010).
2. Pelayanan Perpajakan dalam Meningkatkan Kepatuhan
Pelayanan perpajakan sebagai pelayanan publik. Keputusan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 Tahun 1993
mengartikan pelayanan umum atau pelayanan publik adalah sebagai
bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi
bentuk barang dan jasa baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan
masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan peraturan
perundang-undangan. Pelayanan pajak merupakan produk pelayanan produk dari
instansi pemerintah yang khusus berwenang mengurusi pajak yaitu
Direktorat Jendral Pajak. Kendati DJP tidak memberikan pelayanan secara
maksimal, penerimaan pajak yang ditetapkan dalam target penerimaan
tetap akan tercapai, berbeda dengan organisasi lain. Hal ini disebabkan
karena adanya sistem perpajakan yang disebut Self assesment system
(Rahayu, 134:2010).
Salah satu langkah penting yang dilakukan DJP sebagai wujud
nyata kepedulian pada pentingnya kualitas pelayanan adalah memberikan
pelayanan prima kepada wajib pajak dalam mengoptimalkan penerimaan
negara. Untuk itu pada awal tahun 2003 dibentuk Tim Modernisasi
Administrasi Perpajakan Jangka Menengah yang menyusun administrasi
perpajakan modern dengan sasaran:
1. Tercapainya tingkat kepatuhan sukarela wajib pajak yang tinggi.
2. Tercapainya tingkat kepercayaan terhadap administrasi perpajakan
yang tinggi.
3. Tercapainya produktivitas aparat perpajakan yang tinggi.
Terdapat dua macam kepatuhan, yakni: (1) kepatuhan formal
adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakan
secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan.
Penghasilan (SPT PPh) Tahunan tanggal 31 Maret. Apabila wajib pajak
telah melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh)
Tahunan sebelum atau pada tanggal 31 Maret maka Wajib Pajak telah
memenuhi ketentuan formal, akan tetapi isinya belum tentu memenuhi
ketentuan material, yaitu suatu keadaan dimana wajib pajak secara
substantif memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai
isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan material dapat
meliputi kepatuhan formal. (2) kepatuhan material adalah wajib pajak
yang mengisi dengan jujur, lengkap, dan benar Surat Pemberitahuan (SPT)
sesuai ketentuan dan menyampaikannya ke Kantor Pelayanan Pajak
sebelum batas waktu berakhir (Nurmantu, 2005 dalam Rahayu, 2010).
Kepatuhan wajib pajak dibentuk oleh dimensi pemeriksaan
pajak, penegakan hukum dan kompensasi pajak. Tujuan pemeriksaan
pajak adalah untuk menguji kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan
kewajiban perpajakannya. Kajian mengenai pemeriksaan juga banyak
dilakukan oleh peneliti di negara Barat. Menurut Karanta yang dikutip
oleh Suryadi (2006) menyimpulkan bahwa pemeriksaan pajak akan
mendeteksi upaya wajib pajak untuk menghindar. Audit perpajakan juga
dapat menemukan kesalahan pelaporan pajak oleh wajib pajak.
Menurut Suryadi (2006), apabila penegakan hukum dapat
memberikan keadilan dan kepastian hukum maka Wajib Pajak akan taat,
Pajak merasa kompensasi pajak telah memenuhi harapan mereka maka
mereka akan membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Wajib Pajak yang tergolong patuh dapat mencerminkan bahwa
dalam diri jiwa wajib pajak telah tertanam jiwa kebangsaan yang kuat
dalam mempertahankan kemaslahatan hidup manusia, sepanjang dalam
membayar pajak tersebut tidak merasa adanya unsur paksaan, walaupun
secara teori paksaan merupakan unsur pengertian pajak. Penekanan jiwa
kebangsaan dalam diri Wajib Pajak patuh berkaitan dengan pelayanan
yang diberikan kepada Wajib Pajak yang bersangkutan adalah hal yang
wajar terlebih dalam era reformasi dan transparansi yang saat ini di tuntut
oleh pemerintah (Burton, 2006).
Kriteria untuk di tetapkan sebagai Wajib Pajak patuh Keputusan
Menteri Keuangan No. 235/KMK.03/2003 tentang kriteria Wajib Pajak
yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No.
192/PMK.03/2007 adalah:
a. Tepat waktu dalam menyampaikan SPT dalam 2 tahun terakhir.
b. Dalam tahun terakhir, penyampaian SPT masa yang terlambat tidak
lebih dari 3 tiga masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak
berturut-turut.
c. SPT Masa yang terlambat telah disampaikan tidak lewat batas waktu
penyampaian SPT Masa pajak berikutnya.
1) Kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajak;
2) Tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan STP yang
diterbitkan untuk 2 dua masa pajak terakhir.
e. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir.
Kepatuhan Wajib Pajak adalah sifat patuh atau ketaatan wajib
pajak pada perintah-perintah yang dimaksud dalam Keputusan Menteri
Keuangan No 235/KMK.03/2003 tentang kriteria Wajib Pajak yang dapat
diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No.
192/PMK.03/2007, tentang kriteria wajib pajak yang dapat diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Jadi, tingkat
kepatuhan wajib pajak adalah tingkat ketaatan wajib pajak pada
perintah-perintah sebagaimana dimaksud dalam keputusan diatas.
D. Ketegasan Sanksi Perpajakan
Menurut Resmi (2008:71), sanksi perpajakan terjadi karena terdapat
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga
apabila terjadi pelanggaran maka wajib pajak dihukum dengan indikasi
kebijakan perpajakan dan undang-undang perpajakan.
Sebagaimana dimaklumi, suatu kebijakan berupa pengenaan sanksi
dapat dipergunakan untuk 2 (dua) maksud, yang pertama adalah untuk
dimaksudkan agar mereka yang dikenakan sanksi akan menjadi lebih baik dan
lebih mengetahui hak dan kewajibannya sehingga tidak lagi melakukan
kesalahan yang sama. Maksud yang kedua adalah untuk menghukum sehingga
pihak yang terhukum akan menjadi jera dan tidak lagi melakukan kesalahan
yang sama (Mulyodiwarno, 2007)
Dalam undang-undang perpajakan dikenal dua macam sanksi, yaitu
sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi dapat dijatuhkan
apabila wajib pajak melakukan pelanggaran, terutama atas kewajiban yang
ditentukan dalam UU KUP dapat berupa sanksi administrasi bunga, denda dan
kenaikan. Sedangkan sanksi pidana dapat berupa hukuman kurungan dan
hukuman penjara (Rahayu, 2010:213). Pelaksanaan pengenaan sanksi
perpajakan kepada wajib pajak dapat berupa sanksi administrasi saja, sanksi
pidana saja atau kedua-duanya.
Sanksi merupakan imbalan atas kesalahan atau pelanggaran yang
pernah dilakukan. Sanksi perpajakan terjadi karena terdapat pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan dimana semakin besar
kesalahan yang dilakukan seorang wajib pajak, maka sanksi yang diberikan
juga akan semakin berat. Contoh pelanggaran yang sering dilakukan adalah
keterlambatan dalam membayar pajak, kurang bayar dan kesalahan dalam
pengisian SPT (Sartika dan Rini, 2009).
Sanksi perpajakan merupakan salah satu upaya pemerintah untuk
mengikat wajib pajak akan tanggungjawabnya. Pemerintah sebaiknya
pajak dalam hal ketepatan waktu membayar pajak, ketelitian dalam pengisian
dan pelaporan SPT dan ketelitian dalam melaksanakan pencatatan dan
pembukuan (Sartika dan Rini, 2009).
Permasalahan dalam bidang penegakkan hukum perpajakan dapat di
klarifikasikan sebagai berikut (Tambunan, 2005):
1. Peraturan Perundang-Undangan Kurang Kondusif
Pada umumnya peraturan perundang-undangan perpajakan kita masih sulit
dimengerti Wajib Pajak, tarifnya tidak kompetitif karena relatif lebih
tinggi dan dengan lapisan yang lebih banyak dibanding negara tetangga.
Pesatnya perkembangan praktek bisnis dan keuangan yang diikuti dengan
pemanfaatan teknologi informasi modern sering terlambat diantisipasi
peraturan perundang-undangan dan disamping itu masih terdapat peraturan
perundang-undangan lain yang tidak sejalan dengan ketentuan perpajakan
2. Kesadaran dan Kepatuhan Wajib Pajak Masih Rendah
Kondisi ini merupakan produk dari berbagai faktor-faktor kehidupan
masyarakat. Kurangnya kontraprestasi pembayaran pajak yang dirasakan
oleh wajib pajak karena banyaknya kebocoran mengakibatkan kurangnya
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam mengelola keuangan
negara. Ketimpangan tersebut menimbulkan persepsi dalam masyarakat
seolah-olah pajak tersebut merupakan bentuk pemerasan terhadap rakyat.
keadaan ini lebih dipertajam lagi dengan adanya alokasi anggaran dalam
Kepatuhan wajib pajak juga sangat dipengaruhi budaya pajak masyarakat
yang rendah. Fenomena ini dipengaruhi persepsi lama bahwa, pajak
hanyalah untuk kepentingan penguasa. Disamping itu tingkat pendidikan
wajib pajak yang rendah mengakibatkan ketidakmampuan memahami
fungsi dan manfaat pajak.
3. Aparatur Pajak Kurang Profesional
Permasalahan dari aspek aparatur antara lain, sebagai akibat dari
kesejahteraan aparatur yang tidak memadai sedangkan tantangan, tawaran,
godaan, dan kesempatan KKN memungkinkan. Kurangnya kesejahteraan
ini juga mengakibatkan dedikasi dan integritas aparatur yang lemah.
Pendidikan dan pelatihan aparatur juga sering tertinggal dari pesatnya
perkembangan kemajuan praktek bisnis, keuangan dan teknologi informasi
di masyarakat global dewasa ini. Sistem birokrasi yang kurang
memberikan penghargaan bagi aparatur berprestasi dan kurang tegas
memberi hukuman bagi aparat yang melanggar aturan menyebabkan
aparatur kurang profesional.
4. Administrasi Perpajakan Belum Kondusif
Sistem dan prosedur administrasi perpajakan masih kurang sederhana dan
sebagian besar masih bersifat manual sehingga menyulitkan wajib pajak.
Sistem informasi dan komunikasi data belum memadai karena basis data
dan informasi perpajakan masih parsial di berbagai unit kantor dan belum
sepenuhnya terintegrasi secara elektronis menjadi satu kesatuan sehingga
E. Pengusaha dan Kriteria Usaha Kecil Menengah (UKM)
Menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000,
pengusaha adalah Orang pribadi atau Badan (dalam bentuk apapun) yang
kegiatan usaha atau pekerjaannya :
a. Menghasilkan barang
b. Mengimpor barang
c. Mengekspor barang
d. Melakukan usaha perdagangan
e. Memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean
f. Melakukan usaha jasa
g. Memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
UKM adalah sebuah istilah yang mengacu ke jenis usaha kecil yang
memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000 tidak termasuk tanah
dan bangunan tempat usaha. Dan usaha yang berdiri sendiri. Menurut
Keputusan Presiden RI No. 99 tahun 1998 pengertian Usaha Kecil adalah
“Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang
secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk
mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat. Kriteria usaha kecil
menurut UU No. 9 tahun 1995 adalah sebagai berikut:
a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus
Juta Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (Satu
c. Milik Warga Negara Indonesia.
d. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan
yang tidak dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak
langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar.
e. Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan
hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
Jadi pengertian pengusaha UKM adalah orang pribadi atau badan
hukum yang memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan
sebanyak-banyaknya Rp. 200.000.000 dan atau mempunyai hasil penjualan
rata-rata pertahun sebanyak Rp. 1.000.000.000 dan usaha tersebut berdiri
sendiri.
F. Kewajiban Perpajakan Pengusaha UKM
Kewajiban perpajakan adalah merupakan perwujudan dari
pengabdian dan sarana peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan
bersama-sama melaksanakan perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan
negara dan pembangunan nasional dengan tanggung jawab atas kewajiban
pelaksanaannya dipercayakan sepenuhnya kepada anggota masyarakat
(Kustadi Arianta, 1984 dalam Prasetyo, 2006).
Berdasarkan pengertian diatas, hal-hal atau keadaan-keadaan yang
dapat melatarbelakangi pemilik usaha kecil menengah dalam melaporkan
1. Pengetahuan pengusaha UKM tentang Pajak
Pengetahuan pengusaha UKM tentang pajak adalah proses pengubahan
sikap dan tata laku seorang Wajib Pajak atau kelompok Wajib Pajak dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.
2. Pemahaman Pengusaha UKM terhadap Peraturan Perpajakan
Pemahaman Pengusaha UKM terhadap peraturan perpajakan adalah cara
pengusaha UKM dalam memahami peraturan perpajakan yang telah ada.
3. Manfaat pajak yang dirasakan Pengusaha UKM sebagai Wajib Pajak
Manfaat pajak yang dirasakan Wajib Pajak adalah guna atau faedah atau
baik dan buruknya pajak yang dapat diterima atau dirasakan oleh Wajib
Pajak.
4. Sikap Optimis Pengusaha UKM sebagai Wajib Pajak terhadap Pajak
Sikap optimis Wajib Pajak terhadap pajak adalah pandangan yang
mengandung harapan baik karena tidak khawatir akan rugi atau tidak
untung dari Wajib Pajak terhadap pajak.
Kewajiban Wajib Pajak menurut Mardiasmo (2009) adalah:
a. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP).
b. Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar.
c. Mengambil sendiri Surat Pemberitahuan, mengisinya dengan benar
dan memasukkannya sendiri ke Kantor Pelayanan Pajak dalam batas
waktu yang telah ditetapkan.
e. Apabila dalam waktu mengungkapkan pembukuan, pencatatan atau
dokumen serta keterangan yang diminta Wajib Pajak terikat oleh suatu
kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan
itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan.
f. Jika diperiksa, wajib:
1) Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan,
dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang
berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha,
pekerjaan bebas wajib pajak, atau objek terutang pajak.
2) Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan
guna memperlancar pemeriksaan.
G. Keterkaitan Antar Variabel
1. Tingkat Pemahaman Terhadap Kewajiban Perpajakan Wajib Pajak
Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo (2006) tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi pemilik usaha kecil menengah dalam
pelaporan kewajiban perpajakan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
pemahaman pengusaha UKM terhadap peraturan perpajakan mempunyai
pengaruh positif dan berpengaruh kuat terhadap kesadaran wajib pajak
dalam pelaporan kewajiban perpajakannya.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Nugrahanti (2005)
dalam Januar Eko Prasetyo, Windyastuti dan Andhika Ari Winindyah
(2006) mengenai pengaruh pemahaman wajib pajak badan pelaksanaan
dan menengah di kota Yogyakarta dengan menggunakan sampel adalah
perusahaan kecil dan menengah yang terdaftar di KPP D.I Yogyakarta
minimal 4 tahun. Sampel yang digunakan 78 perusahaan, dengan perincian
untuk pengusaha kecil berjumlah 43 dan pengusaha menengah berjumlah
31 prusahaan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa pemahaman
wajib pajak badan mengenai Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan dan Pajak Penghasilan wajib pajak badan pengusaha kecil
dan menengah tidak berbeda dan tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan
self assessment system.
Hasil penelitian Nugrahanti (2005) tidak konsisten dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Hero (2002). Hero (2002) menyimpulkan
bahwa pemahaman wajib pajak badan pengusaha kecil dan pengusaha
menengah tidak berbeda namun pemahaman tersebut berpengaruh
terhadap pelaksanaan self assessment system (Nugrahanti, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Wardhani (2005) mengenai
pengaruh pemahaman akuntansi pajak terhadap kepatuhan wajib pajak
badan dalam memenuhi kewajiban pajak penghasilan di KPP Palembang
Ilir Timur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman akuntansi
pajak mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap
kepatuhan wajib pajak badan dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Hal
tersebut dikarenakan sebagian besar badan atau perusahaan masih
menggunakan jasa konsultan dalam pengisian SPT. Berdasarkan hasil
pemahaman berpengaruh terhadap kewajiban perpajakan. Oleh karena itu
tingkat pemahaman diduga berpengaruh terhadap kewajiban perpajakan,
sehingga hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.
Ha1: Tingkat pemahaman wajib pajak mengenai pajak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakannya.
2. Tingkat Kepatuhan Terhadap Kewajiban Perpajakan Wajib Pajak
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Manurung (2004),
penelitian ini ingin menguji pengaruh penilaian wajib pajak tentang
kualitas pelayanan publik terhadap kepatuhan pajaknya. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak sebesar 57,39%
cenderung memiliki sikap yang tidak patuh terhadap kewajiban
perpajakannya. Sehingga dihasilkan korelasi sebesar 58,8% dan 73,1%
menandakan besarnya pengaruh antara kualitas pelayanan publik terhadap
kepatuhan pajak. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa variabel tingkat kepatuhan berpengaruh terhadap
kewajiban perpajakan. Oleh karena itu tingkat kepatuhan diduga
berpengaruh terhadap kewajiban perpajakan, sehingga hipotesis penelitian
ini dirumuskan sebagai berikut.
3. Ketegasan Sanksi Terhadap Kewajiban Perpajakan Wajib Pajak
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sartika dan Rini
(2009) mengenai pengaruh kecerdasan spiritual, kinerja pelayanan pajak
dan ketegasan sanksi perpajakan terhadap motivasi wajib pajak dalam
memenuhi kewajiban perpajakan. Hasil penelitian Sartika dan Rini (2009)
menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual, kinerja pelayanan pajak dan
ketegasan sanksi perpajakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
motivasi wajib pajak. Hal ini berarti bahwa kecerdasan spiritual, kinerja
pelayanan pajak dan ketegasan sanksi perpajakan mampu memberikan
kesadaran kepada wajib pajak sehingga mereka bertanggung jawab dan
jujur dalam memenuhi kewajibannya, memberikan keamanan dan
kenyamanan kepada wajib pajak sehingga mereka termotivasi untuk
memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Berdasarkan hasil
penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa variabel ketegasan sanksi
perpajakan berpengaruh terhadap kewajiban perpajakan. Oleh karena itu
ketegasan sanksi perpajakan diduga berpengaruh terhadap kewajiban
perpajakan, sehingga hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.
4. Tingkat Pemahaman, Tingkat Kepatuhan dan Ketegasan Sanksi Perpajakan Bersama-sama Berpengaruh Terhadap Kewajiban Perpajakan Wajib Pajak
Apabila tingkat pemahaman, tingkat kepatuhan dan ketegasan
sanksi perpajakan yang mempengaruhi kewajiban perpajakannya, jelas
bahwa semakin tinggi pemahaman, kepatuhan dan ketegasan sanksi
perpajakan maka kewajiban perpajakannya akan terpenuhi. Hal ini berarti
bahwa, kewajiban perpajakan akan terpenuhi apabila didukung oleh
tingkat pemahaman, kepatuhan dan ketegasan sanksi perpajakan tersebut.
Oleh karena itu tingkat pemahaman, kepatuhan dan ketegasan sanksi
perpajakan diduga berpengaruh terhadap kewajiban perpajakan, sehingga
hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.
Ha4: Tingkat Pemahaman, Tingkat Kepatuhan dan Ketegasan Sanksi Perpajakan Bersama-sama Mempunyai Pengaruh yang Signifikan Terhadap Kewajiban Perpajakan Wajib Pajak.
H. Penelitian Terdahulu
Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para peneliti
sebelumnya, maka tertarik adanya penelitian dengan judul “Pengaruh Tingkat
Pemahaman, Kepatuhan dan Ketegasan Sanksi Perpajakan terhadap
Kewajiban Perpajakan Pengusaha Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Nama Judul Variabel Metodologi
Tabel 2.1 (Lanjutan) positively related to the level of economic freedom, the level of importance of the equity market and the effectiveness of competition laws and negatively related to crime rate as a proxy pelayanan publik terhadap WP sebesar 57,3% cenderung memiliki sikap yang tidak patuh terhadap dalam hal pengisian SPT, penghitungan, penyetoran,
dilihat dari tingkat pendidikan
pengusaha UKM
I. Kerangka Pemikiran
Pajak merupakan penghasilan negara yang saat ini sudah diandalkan
sebagai modal pembangunan. Pemerintah mencoba untuk merubah kesadaran
masyarakat untuk memenuhi kewajiban pajaknya, yang semula tidak mengerti
sama sekali masalah pajak sedikit demi sedikit diberikan penyuluhan
mengenai perpajakan agar pengusaha UKM memahami dan mematuhi
mengenai kewajiban perpajakannya. Selain itu, ketegasan sanksi perpajakan
juga mampu memberikan kesadaran kepada pengusaha UKM sehingga
mereka bertanggung jawab dan jujur dalam memenuhi kewajibannya,
memberikan keamanan dan kenyamanan kepada pengusaha UKM sehingga
mereka termotivasi untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dengan demikian
kewajiban perpajakan akan terpenuhi apabila didukung oleh tingkat
pemahaman, kepatuhan dan ketegasan sanksi perpajakan pengusaha UKM.
Kerangka berfikir ini dapat dituangkan dalam sebuah model penelitian sebagai
Variabel Independen Variabel Dependen
Tingkat Pemahaman (X1)
Tingkat Kepatuhan (X2)
Ketegasan Sanksi Perpajakan
(X3)
Kewajiban Perpajakan Pengusaha UKM
(Y)
Gambar 2.1 Model Penelitian
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh tingkat pemahaman,
kepatuhan dan ketegasan sanksi perpajakan terhadap kewajiban perpajakan
pengusaha UKM. Populasi penelitian ini adalah para pengusaha yang
mempunyai perusahaan kecil dan menengah yang terletak di Jakarta Selatan.
B. Metode Penentuan Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah seluruh pengusaha UKM yang
telah mempunyai nomor pokok wajib pajak yang masih membuka usahanya di
Jakarta Selatan. Dasar pemilihan sampel ini menggunakan metode
Convenience sampling. Convenience sampling adalah metode pemilihan
sampel berdasarkan kemudahan, dimana metode ini memilih sampel dari
elemen populasi yang datanya mudah diperoleh peneliti. Elemen populasi
yang dipilih sebagai subyek sampel adalah tidak terbatas sehingga peneliti
memiliki kebebasan untuk memilih sampel dengan cepat (Nur Indriantoro dan
Bambang Supomo, 2002). Responden yang digunakan dalam penelitian ini
adalah para pengusaha dan akuntan perusahaan kecil dan menengah, karena
mereka memiliki informasi yang lengkap dan menyeluruh untuk mengelola
C. Metode Pengumpulan Data
Dalam memperoleh data-data pada penelitian ini, maka peneliti
menggunakan dua cara yaitu penelitian pustaka dan penelitian lapangan.
1. Penelitian Pustaka (Library Research)
Kepustakaan merupakan bahan utama dalam penelitian data sekunder
(Indriantoro dan Supomo, 2002). Peneliti memperoleh data yang berkaitan
dengan masalah yang sedang diteliti melalui buku, jurnal, skripsi, tesis,
internet dan perangkat lain yang berkaitan dengan judul penelitian.
2. Penelitian Lapangan (Field Research)
Data utama penelitian ini diperoleh melalui penelitian lapangan, peneliti
memperoleh data langsung dari pihak pertama (data primer). Pada
penelitian ini, yang menjadi subyek penelitian adalah pengusaha UKM
yang mempunyai perusahaan. Peneliti memperoleh data dengan
mengirimkan kuesioner kepada 100 pengusaha UKM secara langsung
ataupun melalui perantara.
Bobot penilaian angka hasil kuesioner dalam penelitian ini sesuai
dengan yang digambarkan dalam skala ordinal, yaitu metode yang digunakan
untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok
orang tentang suatu fenomena sosial (Indriantoro dan Supomo, 2002).
Skala ordinal yang dipergunakan untuk menjawab bagian pernyataan
penelitian memiliki lima kategori sebagaimana disajikan dalam tabel di bawah