TESIS
Oleh
M. REZZA SEPTHIO
117011112/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
M. REZZA SEPTHIO
117011112/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PROVINSI ACEH
Nama Mahasiswa : M. REZZA SEPTHIO
Nomor Pokok : 117011112
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD) (Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA
Anggota : 1. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD
2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
Nama : M. REZZA SEPTHIO
Nim : 117011112
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK WARIS ISTRI DALAM PERKAWINAN SIRI PADA MASYARAKAT ADAT ACEH DI KECAMATAN DARUL IMARAH
MUKIM DAROY/JEUMPET DESA GAROT
KABUPATEN ACEH BESAR PROVINSI ACEH
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
i
Aceh sehingga perkawinanpun bergantung pada Fikih Islam. Islam masuk ke Aceh dengan membawa perubahan ditengah masyarakat adat Aceh terlebih lagi dengan kedatangan Islam bermazhab Syafi’i dan tumbuhnya pesantren yang bernafaskan Syafi’iah sehingga nikah siri dikenal dimasyarakat adat Aceh.Dalam kedudukan adat Aceh Nikah siri adalah perkawinan yang sah menurut agama, akan tetapi tidak dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dalam hal ini tidak ada dikhotomi tentang keabsahan suatu pernikahan antara Hukum Islam dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun dengan Kompilasi Hukum Islam sebagai Hukum positif yang berlaku di Indonesia. Ketentuan di atas berarti bahwa perkawinan orang-orang yang beragama Islam adalah sah bila menurut hukum perkawinan tersebut adalah sah. Pengertian sah menurut istilah Hukum Islam ialah sesuatu yang dilakukan sesuai dengan rukun dan syaratnya dan telah terhindar dari segala penghalangnya. Dengan demikian nikah yang sah adalah nikah yang telah dilaksanakan telah memenuhi rukun syarat pernikahan dan telah terlepas dari segala halangan pernikahan itu.
Dalam adat aceh kedudukan wanita nikah siri yang berpedoman pada Fikih Islam sehingga wanita yang dinikahi secara siri berbeda kedudukannya dengan istri yang dinikahi secara sah seperti umum biasanya sehingga wanita yang dinikahi secara siri mendapatkan warisan dari suaminya namun apabila terjadi sengketa dalam pembagian harta warisan dan penyelesaian sengketa tersebut di Pengadilan agama maka isteri yang dinikahi secara siri tidak mendapatkan bagian warisan. Akibat hukum perkawinan siri terhadap istri yang dinikahi secara siri pada masyarakat adat Aceh menurut UU No.1 Tahun 1974 dan KHI secara hukum istri tidak dianggap sah.
Masyarakat adat Aceh sebaiknya harus tetap berpegang teguh pada Hukum Islam dan UU No. 1 tahun 1974 dan KHI. Hukum kewarisan yang diatur oleh hukum Islam sebaiknya menjadi pedoman oleh masyarakat adat Aceh. Terhadap istri yang dinikahi secara siri sebagai rasa kemanusiaan dapat diberikan wasiat wajibah sebagai jalan keluarnya.Istri yang dinikahi secara siri sebaiknya harus melakukan upaya hukum berupa melakukan itsbat nikah atau melakukan perkawinan ulang.
ii
development of Islam in Aceh so that marriage is always related to Islamic Fiqh. Since Islam, esepecially Syafi’i religious sect, and the growth of pesantren (Islamic boarding school) which followed Syafi’i religious sect, existed in Aceh by causing changes in Acehnese community, Aceh community begins recognize unregistered marriage. In Aceh adat, unregistered marriage is valid in the Islamic law although the process is ot before PPN (marriage clerk) in Subdistrict Religious Affairs Office. In thiscase, there is no dichotomy abaout the validity of the marriage between the Islamic law and Law No. 1/1974 in Marriage and between the Islamic law and KHI (Compilation of Islamic Law) as the positive law in Indonesia. It mean that marriages among Moslems is valid when it is valid. What it means by validity according to the Islamic Law is something which is in line with the principles and requirements without any obstacles. Therefore, a valid marriage is a marriage which has fulfilled all requirements without any obstacles.
In the Aceh adat, the position of woman who performs an unregistered marriage according to the Islamic Fiqh is equal to woman who has registered marriage such as getting inheritance from her husband; but, when there is adispute in distributing inheritance and the resolution is performed in the Religous Court, she does not get inheritance. The consequence is, a woman who has unregistered marriage in Aceh adat, according to Law No. 1/1974 and to KHI is considered invalid.
The Acehnese should comply with the Islamic Law No. 1/1974 and KHI. Law of Inheritance which is relugated in the Islamic Law should the guidance for the Acehnese. A woman who has unregistered marriage can get ‘wasiat wajibah’ (gift) as the way out. Legal remedy should be performed for her to have registered marriage.
iii
penulisan ini yang merupakan syarat guna mencapai gelar Magister Kenotariatan.
Penulisan tesis ini bertujuan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat
dalam menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana
di Universitas Sumatera Utara, berkat rahmat dan karuniaNya yang diberikan kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan studi dan penulisan tesis ini dengan judul
“TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK WARIS ISTRI DALAM
PERKAWINAN SIRI PADA MASYARAKAT ADAT ACEH DI
KECAMATAN DARUL IMARAH MUKIM DAROY/JEUMPET DESA
GAROT KABUPATEN ACEH BESAR PROVINSI ACEH “Pemilihan judul ini
didasari oleh rasa ketertarikan penulis terhadap permasalahan terhadap analisis
Hukum Islam tentang penetapan hak wasiat wajibah terhadap ahli waris non muslim.
Harapan penulis, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bukan hanya
pada penulis sendiri, tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya, dan bagi mahasiswa
khususnya yang berada, di lingkungan pendidikan hukum. Penulis sangat menyadari
bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, karena penulis adalah
manusia biasa dan tak luput dari kesalahan dan kekurangan.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
iv Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. H. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi S2
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang penuh
perhatian, kesabaran dan ketelitian dalam memberikan bimbingan, arahan,
petunjuk hingga selesainya penulisan tesis ini.
5. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD, selaku Pembimbing Kedua yang telah
meluangkan waktu dan memberi motivasi, bimbingan, dorongan, saran dan
perhatian hingga selesainya penulisan tesis ini.
6. Prof. Dr. H. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Pembimbing Ketiga yang
telah meluangkan waktu dan memberi motivasi, bimbingan, dorongan, saran dan
perhatian hingga selesainya penulisan tesis ini.
7. Para Bapak/ Ibu Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang
v 2011.
10. Keluarga penulis tercinta, orang tua penulis yaitu Ayahanda H.Nilwan SH dan
Ibunda Hj.Dynna Siregar.
Hanya Allah yang dapat membalas segala kebaikan dan jasa-jasa yang
diberikan mereka semua. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharapkan
kritik dan saran dari semua pihak atas segala kekurangan yang penulis sadari
sepenuhnya terdapat dalam tesis ini guna perbaikan dikemudian hari.
Medan, Januari 2014
Penulis,
vi
Nama : M. Rezza Septhio
Tempat Tanggal Lahir : Medan, 9 September 1988
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Alamat : Jln. Karya Kasih, Perumahan Bukit Johor Mas
Blok N. No. 3.
II. KELUARGA
1. Nama Ayah : H. Nilwan, SH
2. Nama Ibu : Hj. Dynna S. Siregar
3. Nama Saudara : Kapten (Tek). M. Norfyanka
III. PENDIDIKAN
SD : SD Negri I Banda Aceh Tahun 1994-2000
SMP : SLTP Negri I Banda Aceh Tahun 2000-2003
SMA : SMA Negri I Banda Aceh Tahun 2003-2004
SMA SMA Negri II Medan Tahun 2004-2006
Perguruan Tinggi (S1) : Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara Tahun 2006-2010
vii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR ISTILAH ... ix
DAFTAR SINGKATAN ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Keaslian Penelitian ... 10
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 11
G. Metode Penelitian ... 20
BAB II KEDUDUKAN ISTRI YANG DINIKAHI SECARA SIRI PADA MASYARAKAT ADAT ACEH MENURUT HUKUM ISLAM ... 24
A. Kedudukan Nikah Siri Dalam Islam ... 24
B. Perkawinan Siri Dalam Pandangan Hukum Positif Indonesia ... 34
C. Perbedaan Antara Perkawinan Siri Dengan Perkawinan Pada Umumnya ... 37
D. Perkawinan Dalam Perspektif Masyarakat Adat Aceh ... 61
BAB III HAK WARIS ISTRI YANG DINIKAHI SECARA SIRI PADA MASYARAKAT ADAT ACEH ... 88
A. Hukum Kewarisan ... 88
viii
BAB IV AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI TERHADAP
ISTRI YANG DINIKAHI SECARA SIRI PADA
MASYARAKAT ADAT ACEH ... 101
A. Akibat Hukum Perkawinan Siri Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ... 101
B. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Istri Yang Dinikahi Secara Siri Pada Masyarakat Adat Aceh ... 113
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 115
A. Kesimpulan ... 115
B. Saran ... 116
Haria Peukan : pejabat adat yang mengatur ketertiban, kebersihan pasar
Imeum Chik : imam mesjid pada tingkat mukim.
Imeum Meunasah : imam/kepala mesjid.
Imeum Mukim : orang yang dipercayakan untuk mengurusi masalah keagamaan pada tingkat mukim.
Kejreun Blang : ketua adat yang membantu urusan pengaturan irigasi untuk pertaniandan sengketa sawah.
Lafadz : kata.
Laot : laut.
Lintoe Baroe : pengantin baru laki-laki.
Makruh : perbuatan yang sebaiknya tidak dilakukan.
Mubah : boleh.
Mukim : kesatuan masyarakat hukum dari gabungan beberapa desa/kampung.
Peusijuk : serangkaian prosesi adat.
Qanun : peraturan perundang-undangan mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat di provinsi Aceh.
Qabul : perjanjian.
Qudrat : kuasa.
Sunnah : sebuah aktivitas dalam islam yang dianjurkan.
Syahbanda : pejabat adat yang mengatur urusan kepelabuhan dan lalu lintas laut.
Terhijab : tertutup/terdindinh.
Tuha peut : penasehat adat/lembaga adat.
Tuha lapan : penasehat adat/lembaga adat.
Ureung : orang.
UU : Undang-Undang
Q.S : Qur’an Surat
KHI : Kompilasi Hukum Islam
i
Aceh sehingga perkawinanpun bergantung pada Fikih Islam. Islam masuk ke Aceh dengan membawa perubahan ditengah masyarakat adat Aceh terlebih lagi dengan kedatangan Islam bermazhab Syafi’i dan tumbuhnya pesantren yang bernafaskan Syafi’iah sehingga nikah siri dikenal dimasyarakat adat Aceh.Dalam kedudukan adat Aceh Nikah siri adalah perkawinan yang sah menurut agama, akan tetapi tidak dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dalam hal ini tidak ada dikhotomi tentang keabsahan suatu pernikahan antara Hukum Islam dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun dengan Kompilasi Hukum Islam sebagai Hukum positif yang berlaku di Indonesia. Ketentuan di atas berarti bahwa perkawinan orang-orang yang beragama Islam adalah sah bila menurut hukum perkawinan tersebut adalah sah. Pengertian sah menurut istilah Hukum Islam ialah sesuatu yang dilakukan sesuai dengan rukun dan syaratnya dan telah terhindar dari segala penghalangnya. Dengan demikian nikah yang sah adalah nikah yang telah dilaksanakan telah memenuhi rukun syarat pernikahan dan telah terlepas dari segala halangan pernikahan itu.
Dalam adat aceh kedudukan wanita nikah siri yang berpedoman pada Fikih Islam sehingga wanita yang dinikahi secara siri berbeda kedudukannya dengan istri yang dinikahi secara sah seperti umum biasanya sehingga wanita yang dinikahi secara siri mendapatkan warisan dari suaminya namun apabila terjadi sengketa dalam pembagian harta warisan dan penyelesaian sengketa tersebut di Pengadilan agama maka isteri yang dinikahi secara siri tidak mendapatkan bagian warisan. Akibat hukum perkawinan siri terhadap istri yang dinikahi secara siri pada masyarakat adat Aceh menurut UU No.1 Tahun 1974 dan KHI secara hukum istri tidak dianggap sah.
Masyarakat adat Aceh sebaiknya harus tetap berpegang teguh pada Hukum Islam dan UU No. 1 tahun 1974 dan KHI. Hukum kewarisan yang diatur oleh hukum Islam sebaiknya menjadi pedoman oleh masyarakat adat Aceh. Terhadap istri yang dinikahi secara siri sebagai rasa kemanusiaan dapat diberikan wasiat wajibah sebagai jalan keluarnya.Istri yang dinikahi secara siri sebaiknya harus melakukan upaya hukum berupa melakukan itsbat nikah atau melakukan perkawinan ulang.
ii
development of Islam in Aceh so that marriage is always related to Islamic Fiqh. Since Islam, esepecially Syafi’i religious sect, and the growth of pesantren (Islamic boarding school) which followed Syafi’i religious sect, existed in Aceh by causing changes in Acehnese community, Aceh community begins recognize unregistered marriage. In Aceh adat, unregistered marriage is valid in the Islamic law although the process is ot before PPN (marriage clerk) in Subdistrict Religious Affairs Office. In thiscase, there is no dichotomy abaout the validity of the marriage between the Islamic law and Law No. 1/1974 in Marriage and between the Islamic law and KHI (Compilation of Islamic Law) as the positive law in Indonesia. It mean that marriages among Moslems is valid when it is valid. What it means by validity according to the Islamic Law is something which is in line with the principles and requirements without any obstacles. Therefore, a valid marriage is a marriage which has fulfilled all requirements without any obstacles.
In the Aceh adat, the position of woman who performs an unregistered marriage according to the Islamic Fiqh is equal to woman who has registered marriage such as getting inheritance from her husband; but, when there is adispute in distributing inheritance and the resolution is performed in the Religous Court, she does not get inheritance. The consequence is, a woman who has unregistered marriage in Aceh adat, according to Law No. 1/1974 and to KHI is considered invalid.
The Acehnese should comply with the Islamic Law No. 1/1974 and KHI. Law of Inheritance which is relugated in the Islamic Law should the guidance for the Acehnese. A woman who has unregistered marriage can get ‘wasiat wajibah’ (gift) as the way out. Legal remedy should be performed for her to have registered marriage.
Masyarakatadat Aceh adalah kultur budaya yang berdasarkan pada hukum
Islam termasuk akan halnya mengenai pernikahan secara siri, pernikahan siri dikenal
oleh masyarakat adat Aceh akibat berkembangnya peradaban masyarakat Islam di
Aceh sehingga perkawinanpun bergantung pada Fikih Islam. Islam masuk ke Aceh
dengan membawa perubahan ditengah masyarakat adat Aceh terlebih lagi dengan
kedatangan Islam bermazhab Syafi’i dan tumbuhnya pesantren yang bernafaskan
Syafi’iah sehingga nikah siri dikenal dimasyarakat adat Aceh.1
Perkawinan adalah perbuatan yang disuruh Allah dan Nabi.2 Perkawinan
adalah sebuah kontrak hukum sipil laki-laki membayar mahar mempelai wanita.3
Islam datang dengan membawa syariat untuk selamat termasuk syariat perkawinan4.
Islam adalah yang memiliki aturan perkawinan sedang bangsa Yahudi tidak
mengetahui aturan dalam menentukan jumlah istri5. Salah satu perjanjian suci antara
seorang pria dan wanita adalah perkawinan yang mempunyai fungsi perdata.6Nikah
artinya :
1Hasballah M.Thaib, 2010,Bahan Kuliah Pascasarjana Magister Kenotariatan USU,Medan 2Amir Syarifuddin, 2003,Garis-Garis Besar Fiqih, Piramida Media, Jakarta, hal.78
3Josep Schacht, 2010,Pengantar Hukum Indonesia, Nuansa bandung, hal.230
4M.Ahyar dan Umma Khoiroh, 2001,Poligami Dimata Islam, Putra
Pelajar,Surabaya,hal.143.
5Abdurrahman Husein, 2007,Hitam Putih Poligami, fakultas Ekonomi UI, hal.2
6Wahyuni RetubWulandari, 2010,Hukum Islam Dalam Tatanan Hukum di Indonesia,
“Suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan
perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban antara
keduanya”7. Para ulama fikih memandang bahwa nikah menurut Islam terjadi dalam
mubah, makruh, makdub, wajib, harus8.
Pada dasarnya pernikahan itu diperintahkan/dianjurkan oleh syara’. Firman
Allah Swt. dalam Surat An-Nisa Ayat 3 yang artinya :
“…Maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu sukai, dua, tiga dan empat, tetapi kalau kamu khawatir tidak dapat berlaku adil (antara perempuan-perempuan itu), hendaklah satu saja”
Dalam Al-quran Surat An-Nur ayat 32 juga menyatakan:
“Dan kawinilah orang-orang yang sendirian (janda) di antara kamu dan hamba
sahaya laki-laki dan perempuan yang patut...!”
Akad nikah tidak sah kecuali dengan seorang wali (dari pihak perempuan)dan
dua orang saksi yang adil. Sabda Rasulullah Saw yang artinya :
“Dari ‘Aisyah Ra, ia berkata : RasulullahSaw telah bersabda : “Siapapun perempuan yang menikah dengan tidak seizin walinya, maka batallah pernikahannya; dan jika, ia telah bercampur, maka emaskawinnya itu bagi perempuan itu, lantaran ia telah menghalalkan kemaluannya; dan jika terdapat pertengkaran antara wali-wali, maka Sulthan-lah yang menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali”9.
Dalam Hadist lain Rasulullah Saw, yang artinya :
“Dari Abu Hurairah Ra., ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Saw : “Janganlah perempuan mengawinkan orang perempuan, dan janganlah perempuan mengawinkan dirinya sendiri”10.
7Moh. Rifai’i, 1978,Ilmu Fiqih Islam Lengkap,PT. karya Toha Putra, Semarang, hal. 453 8Syaiful Islah Mubarak, 2007,Poligami Pro dan Kontra, PT.Syaamil Cipta Media , Bandung,
hal 30
9http://al-quran-sunnah.com/kitab/tabligh/-wacana/soore/8%dokitab%20kitab/1.%20 hadits%
20%20 nikah.htm,hadits No.1010.diakses tg.13 Juni 2013.
Allah Swt. berfirman dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 228 yang
artinya:
“Dan bagi mereka (wanita) hak yang seimbang, dengan kewajibannya dengan
cara yang sebaik-baiknya”.
Berdasarkan kitab-kitab yang dijadikan pedoman oleh Departemen Agama
dalam menyelesaikan perkara dalam lingkungan Peradilan Agama, tidak terdapat
ulama yang menetapkan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah pencatatan baik
sebagai syarat sah maupun sebagai syarat pelengkap. Akan tetapi dalam
undang-undang perkawinan yang diberlakukan pasal yang mengatur pencatatan perkawinan
itu ada sebagai bagian dari pengawasan perkawinan yang diamanatkan oleh
undang-undang.11
Dalam konteks pencatatan perkawinan, banyak istilah yang digunakan untuk
menunjuk sebuah perkawinan yang tidak tercatat, ada yang menyebut kawin di bawah
tangan, kawin syar'i, kawin modin, dan kerap pula disebut kawin kiyai. Sedangkan
Hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang
bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran,upacara perkawinan dan putusnya
perkawinan di Indonesia. Aturan-aturan hukum adat perkawinan diberbagai daerah
diIndonesia berbeda-bedadikarenakan sifat kemasyarakatan,adat istiadat,agama dan
kepercayaan masyarakat yang berbeda-beda.12
11Jaih Mubarok, 2006,Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung, Pustaka Bani
Quraisy, hal. 69
Monogami dikenal Islam sejak abad 1513 .Perkawinan tidak tercatat secara
Fikih Islam adalah sah manakala memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Meskipun
demikian, karena pernikahan tersebut tidak tercatat maka dalam hukum positif
dianggap tidak sah karena tidak diakui negara (dasarnyaPasal 1 ayat 2
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974)14.Azzwaj al-‘urfy adalah pernikahan tidak
tercatat15. Suatu perkawinan yang tidak tercatat akan menghilangkan hak istri untuk
menuntut secara hukum. Dengan kata lain, wanita tidak mendapat perlindungan
hukum. Perkawinan yang demikian bertentangan dengan aspek kesetaraan jender.
Karena itu menurut M. Quraish Shihab, perkawinan yang tidak tercatat merupakan
salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan karena dapat menghilangkan
hak-hak kaum perempuan.16
Aktifitas nikah siri atau nikah diluar Kantor Urusan Agama (KUA), hingga
kini masih sering terjadi. Dalam Islam, Nikah siri sah secara syariat sepanjang
syarat-syarat dan ketentuannya dipenuhi. Namun, dalam terminologi fikih nikah siri tidak
ada. Apa yang dikenal masyarakat adalah kawin/nikah siri, dikenal sebagai
pernikahan yang tidak tercatat dan sembunyi-sembunyi. Pemaknaan nikah siri di
Indonesia adalah nikah yang tidak tercatat (secara hukum) tapi tetap diketahui oleh
kedua keluarga, ada saksinya dan ada penghulunya. Jadibukan kawin diam-diam
karena akan menimbulkan fitnah dan prasangka serta efek negatif, kalau pun
13Masjfuk Zuhdi, 1989,Masalah Fiqhiyah, PT. Karya Uni Press, Jakarta, hal. 11
14Moh Idris Ramulyo, 2002 ,Tinjauan Beberapa Pasal Undang – Undang Nomor 1 Tahun
1974 dan Segi Hukum Perkawinan Islam, PT. Bumi Aksara, Jakarta, hal. 224.
15Satri Effendi, M.Zein, 2004,Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,
Prenada Media, Jakarta, hal.33
disalahkan, pelakunya yang salah karena kegiatan tersebut bisa merugikan pihak lain.
Misalnya, ketika mengurus pensiun janda, maka isteri yang tidak tercatat (syarat
administratif) tidak bisa mendapatkan pensiun janda itu, demikian pula bagi seorang
anak dari pernikahan siri (begitu juga ibunya selaku isteri sah menurut hukum Islam)
yang ingin menjadi ahli waris, maka ia tidak akan dapat menjadi ahli waris tanpa
terlebih dulu mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah
kalau di Aceh).
Nikah siri dapat didefinisikan sebagai nikah yang dilaksanakan bukan di
hadapan petugas pencatat nikah dan tidak didaftar pada kantor urusan agama
kecamatan atau instansi lain yang sah. Berdasarkan fatwa Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU) Aceh Nomor 01 Tahun 2010, difatwakan juga bahwa pencatatan nikah
bukanlah rukun dan syarat sahnya nikah. Namun, akad nikah siri yang sah wajib
dilaporkan oleh mempelai (suami/istri) untuk dicatat. Petugas pencatat nikah wajib
mencatatnya. Ditegaskan pula bahwa pencatatan nikah siri yang sah dapat dilakukan
setelah akad nikah dalam batas waktu yang tidak ditentukan.17
Dalam Undang undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh yaitu tentang lembaga adat yaitu:
Pasal 98
(1) Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan
17http://mpubandaaceh.wordpress.com/2010/05/24/fatwa-mpu-acehnikah-siri-ada-yang-sah/#
kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban
masyarakat.
(2) Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui
lembaga adat.
(3) Lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), meliputi:
a. Majelis Adat Aceh;
b. imeum mukimatau nama lain;
c. imeum chikatau nama lain;
d. keuchikatau nama lain;
e. tuha peutatau nama lain;
f. tuha lapanatau nama lain;
g. imeum meunasahatau nama lain;
h. keujreun blangatau nama lain;
i. panglimalaotatau nama lain;
j. pawanggleeatau nama lain;
k. peutua seuneubokatau nama lain;
l. haria peukanatau nama lain; dan
m. syahbandaatau nama lain.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, wewenang, hak dan kewajiban
lembaga adat, pemberdayaan adat, dan adat istiadat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.
(1) Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai dengan
perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada
nilai-nilai syari’at Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe.
(2) Penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh
dilakukan oleh lembaga adat dengan pertimbangan Wali Nanggroe.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.
Lembaga Tuha Peut merupakan salah satu lembaga adat dalam masyarakat
Aceh yang memiliki otoritas dalam menjaga eksistensi hukum adat secara turun
temurun. Lembaga ini terdiri dari empat unsur di dalamnya yaitu unsur ulama, unsur
adat, unsur cerdik pandai, dan unsur tokoh masyarakat. Otoritas lembaga Tuha Peut
antara lain mengangkat dan memberhentikan keuchik, dan menyelesaikan sengketa
yang terjadi dalam masyarakat. Disfungsionalisasi lembaga Tuha Peut akan mudah
terjadi sengketa/konflik secara berkesinambungan dalam masyarakat, seperti terjadi
sengketa tapal batas lahan pertanian, sengketa batas desa/gampong, masalah
pembagian air sawah, etika masuk sebuah kampung dan lain sebagainya. Kemudian
tidak sedikit juga terlihat sengketa masyarakat seperti sengketa antarwarga, sengketa
keluarga, dan sengketa tanah. Namun demikian sengketa-sengketa itu selama ini telah
diselesaikan melalui kebijakan para ”Ureung Tuha Gampong” secara adat
kampung.Penyelesaian sengketa dilakukan melalui beberapa pendekatan di
lembaga adat gampong dalam masyarakat Aceh tidak difungsikan dengan baik,
padahal lembaga ini memiliki pengaruh yang besar bagi kemaslahatan masyarakat.
LembagaTuha Peutterdiri dari unsur pemimpin Adat, Cerdik Pandai, Pemuda
dan Perempuan, yang berada di Gampong atau Mukim yang berfungsi memberi
nasehat kepadakeuchik danImum Mukimdalam bidang Pemerintahan, Hukum Adat,
Adat Istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat serta menyelesaikan segala
sengketa di Gampong atau Mukim; Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah dan peraturan pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang
pedoman umum pengaturan mengenai desa serta Qanun Provinsi NAD Nomor 5
Tahun 2002 secara tegas menyatakan bahwa sebagai perwujudan demokrasi di
gampong dibentuk tuha peut atau sebutan lain yang sesuai dengan nilai-nilai sosial
budaya yang berkembang digampong yang bersangkutan. Berbeda dengan lembaga
musyawarah desa sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1979 bahwatuha peutmerupakan unsur pemerintahangampongyang dipisahkan dari
pengertian pemerintahan gampong dan anggotanya dipilih dari dan oleh masyarakat
gampongsetempat.Dalam hal mengenai pembagian warisan dalam masyarakat Aceh
terhadap istri nikah siri, maka berdasarkan latar belakang diatas, maka tesis ini akan
membahas tentang “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK WARIS ISTRI
DALAM PERKAWINAN SIRI PADA MASYARAKAT ADAT ACEH DI
KECAMATAN DARUL IMARAH MUKIM DAROY/JEUMPET DESA
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan istri yang dinikahi secara nikah siri pada masyarakat
adat Aceh menurut hukum Islam?
2. Bagaimana Hak Waris istri yang dinikai secara nikah siri pada masyarakat
adat Aceh?
3. Bagaimana akibat hukum perkawinan siri terhadap istri yang dinikahi secara
siri pada masyarakat adat Aceh menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan diatas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kedudukan secara hukum Islam istri yang dinikahi secara
nikah siri pada masyarakat adat Aceh.
2. Untuk mengetahui Hak Waris istri yang dinikahi secara nikah siri pada
masyarakat adat Aceh.
3. Untuk mengetahui akibat hukum perkawinan siri terhadap istri yang dinikahi
secara siri pada masyarakat adat Aceh menurut Undang-Undang No.1 Tahun
D. Manfaat Penelitian
Penelitian tesis ini memiliki manfaat teoritis dan praktis yang didasarkan pada
tujuan penelitian. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis
Manfaat penelitian ini adalah untuk memberi sumbangan pemikiran dalam
pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam lapangan hukum waris dan hukum
perkawinan yaitu mengenai waris istri nikah siri ditinjau dari hukum Adat Aceh.
2. Secara praktis
Manfaat penelitian ini memberi masukan kepada para penegak hukum dan
pembuat peraturan untuk menyempurnakan kembali peraturan-peraturan di bidang
hukum waris dan hukum pernikahan, agar tercipta suatu unifikasi hukum didalam
masyarakat khususnya masyarakat Aceh.
E. Keaslian Penelitian
Dari hasil penelusuran kepustakaan yang ada di dalam lingkungan Universitas
Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, maka penelitian dengan judul :“TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK
WARIS ISTRI DALAM PERKAWINAN SIRI PADA MASYARAKAT
ADAT ACEH DI KECAMATAN DARUL IMARAH MUKIM
DAROY/JEUMPET DESA GAROT KABUPATEN ACEH BESAR PROVINSI
ACEH”, belum pernah ada yang meneliti sebelumnya.
Dari hasil penelusuran keaslian penelitian, penelitian yang menyangkut
Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, yaitu:
1. Nama :Muhammad Hekki Mikhail
NIM :107011107
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Tesis : Analisis Hukum terhadap Hak Waris Istri NonMuslim
(Studi Putusan No.0141/Pdt/2012/PA.SBY)
2. Nama :Panji Aulia Ramadhan
NIM :107011066
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Tesis : Analisis Yuridis Mengenai Kedudukan Isteri atas Harta
Bersama bagi Isteri yang dicerai dari Pernikahan Siri
berdasarkan Kompilasi Hukum Islam
3. Nama : Netti
NIM : 097011066
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Tesis :Tinjauan Yuridis Pernikahan Siri Ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis,
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau
proses tertentu terjadi.18
Pendapat Gorys Keraf tentang definisi teori adalah19 : “Asas-asas umum dan
abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk
menerangkan fenomena-fenomena yang ada”.
Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang berarti perenungan,
yang pada gilirannya berasal dari kata theadalam bahasa Yunani yang secara hakiki
menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dari kata dasar thea ini pula datang kata
modern teater yang berarti pertunjukan atau tontonan. dalam banyak literatur,
beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang
tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), juga simbolis.20
Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan,
yang pada gilirannya berasal dari kata theadalam bahasa Yunani yang secara hakiki
menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dari kata dasar thea ini pula datang kata
modern teater yang berarti pertunjukan atau tontonan. Dalam banyak literatur,
beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang
tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), dan juga simbolis.21
18 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal.
122
19Soerjono Soekanto, 2008,Pengantar Penelitian Hukum,(UI PressJakarta ), hal.6.
20 H.R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum, PT. Refika Aditama,
Bandung, hal. 21
Menurut Shorter Oxford Dictionary, teori mempunyai beberapa definisi yang
salah satunya lebih tepat sebagai suatu disiplin akademik,suatu skema atau sistem
gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai penjelasan atau keterangan dari
sekelompok fakta atau fenomena, suatu pernyataan tentang sesuatu yang dianggap
sebagai hukum, prinsip umum atau penyebab sesuatu, yang diketahui atau diamati.22
Menurut Neuman:
“Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. la adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.”23
Dengan mendasarkan kepada pendapat Malcom Walters, maka teori
hendaknya meliputi semua pernyataan yang disusun dengan sengaja yang dapat
memenuhi kriteria :
a. Pernyataan itu harus abstrak, yaitu harus dipisahkan dari praktek-praktek
sosial yang dilakukan. Teori biasanya mencapai abstraksi melalui
pengembangan konsep teknis yang hanya digunakan dalam komunitas
sosiologis dan sosial.
b. Pernyataan itu harus tematis. Argumentasi tematis tertentu harus diungkapkan
melalui seperangkat pernyataan yang menjadikan pernyataan itu koheren dan
kuat.
22Ibid
23W.L. Neuman,1991, Social Research Methods,Allyn dan Bacon, London, hal. 20 dalam
c. Pernyataan itu harus konsisten secara logika. Pernyataan-pernyataan itu tidak
boleh saling berlawanan satu sama lain dan jika mungkin dapat ditarik
kesimpulan dari satu dan lainnya.
d. Pernyataan itu harus dijelaskan. Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau
argumentasi tentang fenomena, tertentu yang dapat menerangkan bentuk
substansiatau eksistensinya.
e. Pernyataan itu harus umum pada prinsipnya. Pernyataan itu harus dapat
digunakan dan menerangkan semua atau contoh fenomena apapun yang
mereka coba terangkan.
f. Pernyataan-Pernyataan itu harus independen. Pernyataan itu tidak boleh
dikurangi hingga penjelasan yang ditawarkan para partisipan untuk tingkah
laku mereka sendiri.
g. Pernyataan-pernyataan itu secara substansi harus valid. Pernyataan itu harus
konsisten tentang apa yang diketahui dunia sosial oleh partisipan dan ahli-ahli
lainnya. Minimal harus ada aturan-aturan penerjemahan yang dapat
menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lain.24
Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya
mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis
yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.25
24Ibid,hal. 23
25Made Wiratha, 2006, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Andi,
“Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas
penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”.26
“Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran.”27
Menurut M. Solly Lubis bahwa :
“Teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual diamana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan walau bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.”28
Menetapkan landasan teori pada waktu diadakan penelitian agar tidak salah
arah, M.Solly Lubis menyebutkan :
“bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahm (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan rumusan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.”29
Menurut Soerjono Soekanto bahwa :
“Suatu kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau yang akan diteliti.”30
Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari
hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita
26Ibid, hal. 6
27J.J.J. M. Wuisman, 1996,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas,Penyunting : M. Hisyam,
Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 203
28M. Solly Lubis, 1994,Filsafat Ilmu dan Penelitian,CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 27 29Ibid,hal. 80
merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.31Adapun teori yang
digunakan adalah Teori Kepastian Hukum oleh Hans Kelsen”32. dan untuk
pemecahan masalah sisi substansi setiap sistem hukumnya digunakan teori maslahat
mursalah yaitu maslahat yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun baik yang
mengakuinya ataupun yang menolaknya33, Zaky a-Din Syakban, menyebutkan tiga
syarat menggunakan maslahat mursalah karena tidak ada dalil yang menolaknya,
dapat dipastikan , bersifat umum34.
Menurut H.L.A. Hart hukum merupakan suatu sistem. Inti dari pemikirannya
terletak pada apa yang dijelaskan oleh Hart sebagai primery rules dan secondary
rules. Bagi Hart penyatuan tentang apa yang disebutnya sebagai primery rules dan
secondary rulesmerupakan pusat dari sistem hukum.”35
Mengenai primery rules (aturan utama) terdapat dua model. Model yang
pertama, adalahprimery rulesyang didalamnya berisi apa yang disebut aturan sosial
(social rule), yang eksis apabila syarat-syarat sebagai berikut dipenuhi. Pertama,
adanya suatu keteraturan perilaku didalam beberapa kelompok sosial, suatu hal yang
umum dan banyak dijumpai dalam masyarakat untuk tercipta kondisi yang demikian
diperlukan penyesuaian yang menitikberatkan pada perlunya tekanan sosial dengan
memusatkan kepada perbuatan (mereka) yang menyimpang (aspek internal). Kedua,
31Satjipto Rahardjo, 1991,Ilmu Hukum, (PT. Citra Aditya Bakti,Bandung ), hal. 253. 32Penegakan-hukum http://www.sribd.com/doc/1953532/, diakses tanggal 20 Juni 2013.
33H.Zamakhsyari, 2013,Teori-teori Hukum Islam dalam Fiqih dan Usul Fiqih, Cita Pustaka
Media Perintis, hal.30
34 Zaky al-Din Sya’ban, 1965, Ushul al-Fiqh al-Islami, Mesir: Mathba’dah Dar al-Ta’lif,
hal.173.
aturan itu harus dirasakan sebagai suatu kewajiban oleh suatu (sebagian besar) dalam
anggota kelompok sosial yang relevan. Dari sudut pandang internal, anggota
masyarakat itu merasakan bahwa aturan yang hendaknya dipatuhi itu menyediakan
alasan baik untuk tekanan sosial dan reaksi yang kritis bagi perilaku yang tidak dapat
menyesuaikan diri (aspek eksternal).36
Hart melihat aturan diatas sebagai satu kesatuan seperti dua muka dalam satu
mata uang, setiap aturan mempunyai aspek internal dan eksternal yang dapat
dilihat/memiliki sudut pandang masing-masing. Aturan menyatakan apa yang
hendaknya (seharusnya) dilaksanakan ini juga sekaligus merupakan pernyataan
tentang perilaku anggota kelompok sosial. Bagi Hart kedua-duanya (baik aspek
internal daneksternal) sangat penting.37
Menurut M. Yahya Harahap, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga
bahagia yang kekal dimana :
1. Suami istri saling bantu-membantu serta saling lengkap melengkapi.
2. Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan
untukpengembangan kepribadian itu suami-istri harus saling bantu-membantu.
3. Dan tujuan terakhir yang dikejar oleh keluarga bangsa Indonesia adalah
keluarga bahagia yang sejahtera spritual dan material.38
Syarat pengantin laki-laki dalam Islam, yaitu :
1. Tidak dipaksa/terpaksa.
36Ibid,hal. 91 37Ibid
2. Tidak dalam ihram haji atau ‘umrah.
3. Islam (apabila kawin dengan perempuan Islam).
Sedangkan syarat-syarat pengantin perempuan dalam Islam yaitu :
1. Bukan perempuan yang dalam ‘iddah.
2. Tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain.
3. Antara laki-laki dan perempuan tersebut bukan muhrim.
4. Tidak dalam keadaan ihram haji dan ‘umrah.
5. Bukan perempuan musyrik.
Akibat yang timbul karena kematian adalah terbukanya warisan dari si
meninggal. Dalam pewarisan terdapat tiga unsur penting, yakni adanya harta
peninggalan atau harta kekayaan pewaris yang disebut warisan (nalaten Schap),
adanya pewaris (Erflater) dan adanya ahli waris (Erfenaam).39
2. Konsepsional
Konsep berasal dari Bahasa Latin,conceptusyang memiliki arti sebagai suatu
kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.40
“Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu kontruksi mental, yaitu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis”.41
39Ibid, hal. 4
40Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, 2000,Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah,
(Bumi Aksara,Jakarta ), hal. 122.
“Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian
yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.”42
Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau membentuk
pengertian-pengertian hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka
konsepsional saja, akan tetapi bahkan pada usaha merumuskan definisi-definisi
operasional di luar peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, konsep
merupakan unsur pokok dari suatu penelitian.43
“Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Dalam suatu penelitian konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkret, yang disebut definisi operasional (operational definition)”.44
Pentingnyadefinisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan
pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut :
1. Tinjauan yuridis diartikan sebagai suatu tinjauan dalam pandangan hukum.
2. Hak Waris Istri diartikan sebagai istri yang mempunyai hak untuk
mendapatkan bagian dari harta peninggalan suami yang telah meninggal.
3. Perkawinan siri diartikan sebagai nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan
nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan.
42Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 7
43Koentjaraningrat, 1997,Metode Penelitian Masyarahat(Gramedia Pustaka Utama,Jakarta),
hal. 24.
44 Sultan Remy Sjahdeini, 1983, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang
4. Masyarakat adat Aceh diartikan sebagai sesuatu kebiasaan yang berhubungan
dengan adat istiadat Aceh.
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum
normatif dimaksudkan untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara
melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku serta doktrin-doktrin.
Dalam penelitian ini penelitian hukum normatif bertujuan untuk meneliti
aturan-aturan mengenai perkawinan.
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu “suatu penelitian yang dimaksudkan
untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau
gejala-gejala lainnya”.45
Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan
perundang-undangan (statue approach). “Pendekatan undang-undang (statute approach)
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut pact
dengan isu hukum yang sedang ditangani”.46Dengan pendekatan undang-undang ini,
maka akan dianalisis adakan konsistensi dan kesesusaian antara suatu undang-undang
dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dan Undang-Undang
Dasar atau antara regulasi dan undang-undang.
2. Sumber Data
45Soerjono Soekanto,Ibid,hal. 10
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulan data primer dan
data sekunder. Data primer yang dimaksud di sini adalah data yang dikumpulkan
melalui wawancara yang informannya yaitu Pemimpin Adat Aceh (tuha peut) .
Sedangkan data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi
dokumen terhadap bahan kepustakaan yang terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer.
Bahan hukum primer adalah hukum yang mengikat dari sudut norma dasar,
peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini bahan
hukum primernya yaitu Al-qur’an dan Hadist, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penyelesaian
mengenai bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau
karya ilmiah dari kalangan hukum tentang perkawinan
-c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan
terhadap bahan bukan primer dan bahan hukum sekunder; seperti kamus hukum,
ensiklopedia dan sebagainya.
3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara
Sedangkan slat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
pedoman wawancara(interview guide).
4. Analisis Data
“Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menguraikan
data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema
dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data”.47
Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis datapada hakekatnya
berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis. “Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum
terlulis tersebut, untukmemudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi”.48
Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan
danevaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (primer, sekunder maupun
tertier), untuk mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan
disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh
jawaban yang baik pula.49Hal tersebut dilakukan pada penelitian ini. Analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, yaitu data yang
diperoleh disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara kualitatif agar dapat
diperoleh kejelasan masalah yang akan dibahas.
47
Lexy J. Moleong, 2002,Metode Penelitian Kualitatif,Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 101 48Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Loc. Cit,hal. 251
49
Pengertian analisis disini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan
penginterpretasian secara logis dan sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara
berfikir deduktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan penelitian ilmiah.
Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu
dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan
yang diteliti.50
50H.B. Sutopo, 1998, Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif, Bagian II, (UNS
BAB II
KEDUDUKAN ISTRI YANG DINIKAHI SECARA SIRI PADA MASYARAKAT ADAT ACEH MENURUT HUKUM ISLAM
A. Kedudukan Nikah Siri Dalam Islam
Perkawinan/pernikahan dalam Islam memiliki kedudukan yang mulia, karena
tujuannya untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala dengan memperbanyak keturunan,
menjaga kehormatan, dan sebagai sarana untuk menyempurnakan agama seseorang.
Oleh karena itu Islam mengatur dengan sebaik-baiknya masalah pernikahan dalam
syariatnya, sehingga dapat mengantarkan kepada tujuan yang sesungguhnya.
Pernikahan yang sah secara hukum Islam adalah yang telah sempurna
rukun-rukunnya dan terpenuhi syarat-syaratnya.
Rukun Nikah :
1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i
untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu
pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram
dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan
penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya.
Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita
yang akan dinikahinya seorang muslimah.
2. Adanya ijab,yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan
(“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah”
(“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang
mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu
Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”
Syarat Nikah :
Syarat pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan wanita dengan isyarat
(menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak
cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”,
sementara ia memiliki beberapa orang putri.
Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458).Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.
Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1839).51
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan
Al-51Muhammad Nashiruddin al-Albani, 2012, Ringkasan SHAHIH MUSLIM (1-2)Lengkap,
Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud), Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain”.52
Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang kuat. Adapun
Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi
seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain,
sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya53. Ulama
berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun
jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan
selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya
adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan
kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak
keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti
ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki
paman dari pihak ayah, dan seterusnya.
Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan
menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya dengan dalil
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
52Muhammad Nashiruddin Al-Albani, 2012, ShahihSunan Abu Daud (1-3)Lengkap, Penerbit:
Pustaka Azzam, Jakarta.
“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.”
(HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam
Shahih Abi Dawud).54
Syarat keempat:Persaksian atas akad nikah tersebut dengan dalil hadits Jabir
bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’:
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR.
Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu
dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557).55Oleh
karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.
Al-Imam At-Tirmidzi Rahimahullahu mengatakan, “Pengamalan hal ini ada di
kalangan ahlul ilmi, baik dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in dan yang lainnya. Mereka
mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun
di antara mereka yang menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari
kalangan mutaakhirin.” (Sunan At-Tirmidzi, 2/284).56
Tentang poligami Allah Swtberfirman :
“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahlah dengan seorang wanita saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada sikap tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa: 3).57
54Muhammad Nashiruddin Al-Albani, 2012, ShahihSunan Abu Daud (1-3)Lengkap,
Op.Cit.hal.122
55Muhammad Nashiruddin al-Albani, 2012, Ringkasan SHAHIH MUSLIM (1-2) –
Lengkap,hal.203
56Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Tirmidzi (1 - 3) Lengkap, penerbit:
Pustaka Azzam,Jakarta, hal.75
Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam sikap tidak adil
semacam ini. Dalam hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallambersabda:
“Siapa yang memiliki dua istri, namun dia hanya mementingkan salah satunya, maka dia akan datang pada hari kiamat, sementara salah satu sisi badannya condong. (jawa: sengkleh).” (HR. Ahmad, An-Nasai, Ibn Majah, dan dishahihkan al-Albani).58
Meskipun, bukan syarat poligami harus diizinkan istri pertama. Dua hal yang
perlu dibedakan, diketahui istri dan izin dari istri. Poligami harus diketahui istri,
meskipun tidak diizinkan oleh istri. Hanya saja, sebagian ulama menegaskan, bahwa
dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di keluarga, membangun ketenangan dan
kebahagiaan keluarga, selayaknya setiap suami yang hendak poligami meminta izin
istrinya. Sebagaimana yang dinasehatkan Syaikh Sa’d al-Humaid (Fatwa Islam, no.
9479).59
Islam sebagai agama yang sempurna, tidak ketinggalan untuk memperhatikan
martabat wanita. Islam memberikan hak kepada para wanita untuk menuntut suami
agar menunaikan hak dan kewajibannya. Termasuk para istri dalam naungan
poligami, mereka punya hak untuk menuntut suami bersikap adil dan memberikan
materi yang memenuhi standar kelayakan. Jika tuntutan yang menjadi hak pokok istri
ini tidak dipenuhi, istri berhak melakukan gugat cerai. Sebagaimana keterangan
Syaikh Abdullah bin Jibrin (Fatwa Islamno. 1859).60
58Ibid
59Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
Semua ini dalam rangka mewujudkan keadilan dan bersikap baik kepada
sesama. Karena Allah hanya memerintahkan yang adil,Sesungguhnya Allah hanya
menyuruh (kamu) untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl:
90).61
Abu Hurayrah Ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah
Saw bersabda:
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy.62
Firman Allah Swt;
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allahtelah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu,(Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan
61Ibid
tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yangdemikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah MahaMengetahuisegala sesuatu”.(QS AL Baqarah : 282)63.
Nikah Siri Dalam kitab-kitab Fikih tidak dikenal dengan istilah tersebut.
Istilah ini lebih popular secara lokal dalam fikih perkawinan di Indonesia. Nikah Siri
dalam konteks masyarakat di Indonesia sering dimaksudkan dalam dua pengertian.
Pertama: perkawinan yang dilaksanakan dengan sembunyi-sembunyi, tanpa
mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai. Kemudian tidak
mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama sehingga perkawinan
mereka tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif di Indonesia
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.
Kedua: perkawinan yang dilakukan sembunyi-sembunyi oleh sepasang
laki-perempuan tanpa diketahui oleh kedua pihak keluarganya sekalipun. Bahkan
benar-benar dirahasiakan sampai tidak diketahui siapa yang menjadi wali dan saksinya.dan
tidak didaftarkan di P3N(Pegawai Pencatat Nikah) Kantor Urusan Agama.
Selama pernikahan siri itu memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang
disepakati para ulama, maka dapat dipastikan hukum perkawinan itu ada dasarnya
sudah sah secara fikih, tapi tidak sejalan dengan perintah Nabi Saw yang
menganjurkan agar perkawinan itu terbuka dan diumumkan dan bertentangan dengan
Undang-Undang No. 1 tahun 1974.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia : Nikah siri sah menurut hukum Islam.
Sebagian masyarakat berpendapat nikah siri atau nikah di bawah tangan tidak sah.
Sebagian lain mengatakan sah. Untuk itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan fatwa. Nikah siri sah dilakukan asal tujuannya untuk membina rumah
tangga. “ Pernikahan dibawah tangan hukumnya sah kalau telah terpenuhinya syarat
dan rukun nikah, tetapi haram jika menimbulkan mudharat atau dampak negatif, “
ujar Ketua Komisi Fatwa MUI Ma’ruf Amin dalam jumpa pers di kantor MUI
Jakarta, (30/5/2006)64
Pada prinsipnya, selama pernikahan siri itu memenuhi rukun dan syarat
perkawinan yang disepakati para ulama sebagaimana disebutkan di atas, maka dapat
dipastikan hukum perkawinan itu ada dasarnya sudah sah, tapi tidak sejalan dengan
perintah Nabi Saw yang menganjurkan agar perkawinan itu terbuka dan diumumkan
kepada orang lain agar tidak menjadi fitnah-tuduhan buruk dari masyarakat.
Bukankah salah satu perbedaan perzinaan dengan perkawinan itu dalam hal
diumumkan dan terang-terangannya. Orang berzina tentu takut diketahui orang
karena perbuatan keji, sedang perkawinan ingin diketahui orang karena perbuatan
mulia.
Tujuan usaha pembaruan hukum keluarga berbeda antara satu negara dengan
negara lain, yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok.
Pertama, negara yang bertujuan untuk unifikasi hukum keluarga. Alasan pembaruan
untuk unifikasi ini adalah karena adanya sejumlah mazhab yang diikuti di negara
bersangkutan, yang boleh jadi terdiri dari mazhab masih di kalangan Sunni, namun
boleh juga antara Sunni dan Syah. Bahkan untuk kasus Tunisia unifikasi hukum
keluarga ditujukan bukan hanya untuk kaum muslimin, tetapi juga untuk semua
warga negara tanpa memandang perbedaaan agama. Anderson misalnya menyebut,
“Undang-Undang Tunisia berlaku untuk semua warga Tunisia, khususnya setelah
dicapai kesepakatan dengan Perancis pada tanggal 1 Juli 1957, termasuk Yahudi
sejak tanggal 1 Oktober 1957, kecuali untuk kasus-kasus yang belum ada aturannya
dalam Undang-Undang ini, berlaku Rabbinical. Tujuan kedua, lain dari usaha
pembaruan hukum keluarga Muslim adalah untuk pengangkatan status wanita.
Meskipun tujuan ini tidak disebutkan secara eksplisit, namun dapat dilihat dari
sejarah munculnya, yang diantaranya untuk merespon tuntutan-tuntutan peningkatan
status wanita. Undang-Undang Perkawinan Mesir dan Indonesia masuk dalam
kelompok ini. Tujuan ketiga, adalah untuk merespon perkembangan dan tuntutan
zaman karena konsep fikih tradisional dianggap kurang mampu menjawabnya.65
Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang lelaki dan seorang
perempuan di dalam bidang hukum keluarga66. Dewasa ini fenomena
perkawinan/pernikahan siri merupakan bukan hal baru dan asing dibicarakan dalam
masyarakat pada saat ini. Perbincangan dan berbagai pendapat maupun opini sering
ada di dalam kalangan masyarakat baik kalangan mahasiswa, ulama, ibu rumah
tangga, praktisi hukum, aktifis dan masih beragam lainnya. Adanya perbedaan
65Tahir Mahmood,Op.Cit, hal 76
66Ali Afandi. Hukum Waris, Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. (PT. Rineka Cipta :
pendapat dan pandangan yang setuju maupun yang menolak keberadaan perkawinan
siri. Melihat bukti dan fakta saat ini tidak sedikit masyarakat Indonesia yang
melakukan perkawinan siri. Bahkan dari hari ke hari praktek perkawinan siri kian
populer dikalangan masyarakat. Berbagai alasan juga mendukung tentang praktek
perkawinan siri dari alasan tidak adanya persetujuan wali, biaya administrasi
perkawinan yang mahal, keinginan melakukan perkawinan siri yang dilakukan
adanya wali dan terpenuhinya syarat-syarat lainnya namun tidak di catat Kantor
Urusan Agama.
Dampak positif maupun negatif juga menyertai praktek perkawinan siri
diantaranya untuk dampak postifinya meminimalisasi adanya perzinaan melalui seks
bebas. Namun disisi lain juga dampak negatifnya adalah merugikan banyak pihak
terutama hak dan kewajiban wanita dan anak-anak.
Kata “sirri” dalam istilah nikah siri berasal dari Bahasa Arab, yaitu “sirrun”
juga berarti rahasia. Nikah siri bisa didefinisikan sebagai “bentuk pernikahan yang
dilakukan hanya berdasarkan aturan (hukum) agama dan atau adat istiadat, tetapi
tidak diumumkan kepada khalayak umum dan juga tidak dicatatkan secara resmi pada
kantor pegawai pencatat nikah67. Dalam pasal 1 Undang-Undang Pokok perkawinan
No. 1 tahun 1974, disebutkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa68.
Kata siri berasal dari bahasa Arab yang berarti sembunyi-sembunyi dan dapat
disimpulkan bahwa nikah siri merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki
dan perempuan sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia
berdasarkan ketuhanan yang maha esa yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi /
dirahasiakan yaitu dengan tidak mencatatkan perkawinan tersebut kepada dinas
catatan sipil yang ada. Pekawinan/pernikahan siri juga digolongkan menjadi dua:
Perkawinan/pernikahan yang dilakukan tanpa wali (belum meninggal dunia) dan
perkawinan/pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan terpenuhinya
syarat-syarat lainnya tetapi tidak dicatat Kantor Urusan Agama setempat.
B. Perkawinan Siri Dalam Pandangan Hukum Positif Indonesia
Secara umum, dalam perspektif fikih islam, perkawinan/pernikahan siri
cenderung diperbolehkan asalkan memenuhi syarat dan rukun perkawinan.
Sebaliknya dalam hukum positif nasional, perkawinan siri telah ditegaskan sebagai
perkawinan yang ilegal. Bahkan dalam perundang-undangan nasional tentang
perkawinan, baik dalam Undang-Undang perkawinan No.1 Tahun 1974 maupun
dalam Kompilasi Hukum Islam, tidak ada satu katapun yang menyebut nikah siri.
Yang dibahas adalah perkawinan/pernikahan secara umum. Hal ini menunjukkan
bahwa perkawinan siri tidak dianggap dalam hukum perkawinan nasional.
68http://destylestary.blogspot.com/2010/11/fenomena-nikah-siri-dalam-prespektif.html