• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dominasi Dan Dinamika Etnis Melayu Dalam Pemilihan Kepala Desa Kwala Gunung Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dominasi Dan Dinamika Etnis Melayu Dalam Pemilihan Kepala Desa Kwala Gunung Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abe, A. 2001. Perencanaan Daerah Memperkuat Prakarsa Rakyat dalam Otonomi Daerah, Yogyakarta; Lappera Pustaka Utama.

Adisasmita, Rahardjo. 2006. Membangun Desa Partisipati, Makassar; Graha Ilmu

Afif, Afthonul. 2012. Identitas Tionghoa Muslim Indonesia, Depok, Jawa Barat; Penerbit Kepik.

Ananta, Aris, Evi Nurvidya Arifin dan Leo Suryadinata. 2004. Indonesia’s Population. Series No. 7. Singapore; Institute of Southeast Asian Studies.

Barker, C. 2006. Cultural Studis.Teori dan Praktek, Yogyakarta: Kreasi Wacana Edwin, Donni dkk. 2005. Pilkada Langsung Demokratisasi Daerah dan Mitos

Good Governanc, Jakarta; Pusat Kajian Politik, Departemen Ilmu Politik

Universitas Indonesia

Faturochman. 2003. Konflik: Ketidak-adilan dan Identitas, Yogyakarta; PPSK UGM.

Habib, Achmad. 2004. Konflik Antaretnik di Pedesaan, Yogyakarta; PT LKiS Hardiman, F. Budi, 2009. Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta; Kanisius.

Haris, Syamsuddin. 2005. Desentralisasi & Otonomi Daerah Desentralisasi, Demokratisasi & Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, Jakarta; LIPI

PRESS.

(2)

Karim, Abdul Gaffar. 2006. Kompleksitas Persoalan Otonomi daerah Di Indonesia, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Kartasasmita, Ginanjar. 1996..Pembangunan Untuk Rakyat, Jakarta; CIDES. Liliweri, Alo. 2008. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Jakarta; LkiS Pelangi Aksara

Mahardika, Timur. 2006. Strategi Membuka Jalan Perubahan, Malang; Bantul

Pondok Pustaka.

Manan, Bagir. 2002. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta; FH UII Press.

Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, Yogyakarta:LKiS.

Nadir, Ahmad. 2005. Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi, Malang; Averroes Press.

Nawawi, Hadari. 2000. Manajemen Strategik Organisasi non Profit Bidang

Pemerintahan dengan Ilustrasi di Bidang Pendidikan, Yogyakarta;

Gadjah Mada Press.

Nawawi, Hadari. 1995. Metodologi Penelitian BidangSosial, Yogyakarta; Gadjah Mada Press.

Oommen, T.K. 2009. Kewarganegaraan, Kebangsaan, dan Etnisitas: Mendamaikan Persaingan Identitas, Bantul; Kreasi Wacana.

Panjaitan, Merphin. 2002. Memberdayakan Kaum Miskin, Jakarta; PT BPK Gunung..

Pruitt.G.Dean. 2004. Teori Konflik Sosial, Jogyakarta : Pustaka Pelajar.

(3)

Saproedin. Bahar, 2007, Diktat Posisi Etnisitas Dalam Proses Integrasi Nasional, Ancaman Gagal Negara, dan pembinaan ketahanan Nasional Indonesia,

Jakarta; KPG

Surya, Leo Dinata. 2003. Penduduk Indonesia, Etnisitas dan Agama dalam Perubahan Politik, Jakarta; Pustaka LP3ES Indonesia.

Syaukani, Afan Gaffar dan Ryaas Rasyid. 2009. Otonomi Daerah dalam Negara

Kesatuan, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Usman, Husni dan Purmono Setiady Akbar. 2009. Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara

Widjaja, HAW. 2003. Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh.Jakarta; Raja Grafindo Persada

Wawancara :

- Wawancara dengan Bapak Abdul Latif yang merupakan Mantan kepala Desa Kwala Gunung sebelum kepemimpinan Bapak Jum’ah Haidiryah di kediamannya di Desa Kwala Gunung, tanggal 23 Januari 2016, Pukul.12.00 wib.

- Wawancara dengan Bapak Syahmidun merupakan Tokoh Masyarakat etnis Jawa Kwala Gunung di kediamannya di Desa Kwala Gunung, tanggal 23 Januari 2016, Pukul. 09.00 wib.

(4)

Internet :

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20313856-T%2031752-Representasi%20asia-full%20text.pdf diakses pada tanggal 1 Juli 2015, Pukul 13.42 Wib.

https://zainulhadi.wordpress.com/2011/01/19/sistem-pemerintahan-desa/ diunduh

pada tanggal 1 Juli 2015, pukul 15.58.

http://www.kemendagri.go.id/produk-hukum/category/peraturan-menteri diunduh pada tanggal 1 juli 2015 pukul 16.45 wib.

http;//teorietnisitas.barker. diakses pada tanggal 1 Juli 2015, Pukul 13.42 Wib.

http://eprints.uny.ac.id/8543/3/BAB%202%20-%2008401241005.pdf diunduh pada tanggal 3 Juli 2015 pukul 15.51 wib.

Data lainnya :

Data dari Kantor Kepala Desa Kwala Gunung Kecamatan Lima Puluh Kaur Desa Kwala Gunung, Kecamatan Lima Puluh.

 

 

(5)

BAB III

HUBUNGAN ANTAR SUKU DAN ANALISIS

III.1. Hubungan Harmonis Suku Melayu-Jawa di Kwala Gunung

Etnisitas atau kesukuan merupakan istilah yang relatif baru. Konotasi arti

yang terkandung dalam istilah tersebut lebih dipergunakan untuk menunjuk kandungan sifat-sifat atau kualitas kesukubangsaan, karenanya etnisitas dapat pula diartikan sebagai “kesukubangsaan“. Pada hakekatnya, berbagai konsepsi ethnic group atau suku bangsa yang selama ini ada, lebih berpangkal dari konsep

budaya, karenanya keaneka ragaman suku bangsa juga tergantung dari sudut manakah kebudayan didefinisikan.

Semakin beraneka ragam suku bangsa disuatu negara, maka semakin banyak terdapat variasi perbedaan kebudayaan, karena jika hanya mendasarkan konsepsi hukum bangsa semata tidak cukup dipakai untuk menganalisis etnisitas berbagai perbedaan yang ada, tidak selalu dapat dianggap etnisitas sepanjang diantara mereka terjadi efektivitas relasi yang mencerminkan suatu tinggi rendahnya level integrasi sosial. Dengan kata lain, bahwa fenomena utama dari masalah etnisitas yang dianggap sebagai masalah kesukubangsaan apabila interaksi mereka cukup rendah, karena itulah banyak ahli cenderung menilai bahwa etnisitas adalah lebih merupakan fenomena politik.

(6)

kearah terwujudnya integrasi nasional. Nasionalisme yang dikembangkan tentunya membutuhkan adanya saling pengakuan loyalitas dan solidaritas diantara kebudayaan yang berbeda. Untuk menuju bagian dari masyarakat yang lebih luas, misalnya sebagai satu nation state, pada dasarnya ada tiga masalah pokok yang dibahas dalam etnisitas.

Pelaksanaan pemilihan kepala desa di Indonesia sering menimbulkan permasalahan di daerah-daerah di Indonesia seperti konflik yang terjadi pada saat-saat momentum pelaksanaan pemilihan kepala desa di desa yang memiliki etnis yang heterogen. Pemahaman etnisitas penting bagi suatu daerah atau desa, agar keanekaragaman suku bangsa dapat dikembangkan sebagai strategi nasional kearah untuk terwujudnya integrasi nasional. Nasionalisme yang dikembangkan tentunya membutuhkan adanya saling pengakuan, loyalitas dan solidaritas diantara kebudayaan yang berbeda yang ada di desa-desa tersebut.

Permasalahan yang timbul di daerah yang merusak dan mengancam stabilitas nasional seperti:

- Pertama, budaya politik etnis dalam pemilihan kepala Daerah.

- Kedua, mental pejabat birokrasi yang mengedepankan jiwa

etnosentrisme pada etnis lain.

- Ketiga, kurangnya pemahaman Pancasila dan konstitusi terhadap

hak-hak bernegara.

- Keempat, budaya kompetisi tidak sehat.

(7)

- Keenam, etnis pendatang tidak mampu melakukan asimilasi dan akulturasi didaerah yang dia tempati.

Ide multikulturalisme pada dasarnya adalah gagasan mengatur keberagaman dengan prinsip dasar pengakuan dengan keragaman itu sendiri (politics of recognition). Lebih jauh lagi, gagasan ini menyangkut pengaturan

relasi antara kelompok mayoritas dan minoritas. Diskursus ide yang berkaitan dengan kesukuan sejauh ini berkaitan dengan penghargaan eksistensi masyarakat dan stabilisasi pengakuan terhadap kelompok minoritas baik dari sisi etnis maupun kepercayaan.

Gelombang pasang diskusi multikulturalisme sebagai ide tak bisa dilepaskan dari keterbatasan teori demokrasi yang saat ini ada, menyangkut upaya menjawab pertanyaan seperti apa sebuah daerah demokratis mengelola isu keberagaman kelompok etniskultural. Dalam konteks ini gagasan heterogenisasi digunakan oleh banyak kalangan. Multikulturalisme sesungguhnya merupakan salah satu dari sebagian alternatif pemikiran dalam mengelola keberagaman.

Alternatif lain yang tersedia adalah otonomi territorial dan non territorial power sharing atau yang lebih dikenal sebagai demokrasi konsensual. Inti

gagasan yang terakhir ini adalah representasi politik berdasarkan keberadaan kelompok yang ada disebuah masyarakat. Gagasan yang dikenal sebagai power sharing ini lebih jauh lagi mendasarkan diri pada prinsip sebagai berikut:

- Pertama, ide proporsionalitas.

(8)

- Ketiga, pemilikan hak veto.

- Keempat, pemberian otonomi pada kelompok minoritas, misalnya

pemberian hak pemerintahan sendiri44.

Pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa karakteristik hubungan antar etnis disebuah daerah masing masing memiliki upaya untuk mendapatkan pengakuan terhadap eksistensi kelompok minoritas lewat ide multikulturalisme menyangkut hak menggunakan bahasa ibu bagi masing-masing kelompok dan upaya institusionalisasi ide multikulturalisme ini tidak mudah.

Disamping kebutuhan perangkat hukum dan infrakstruktur pengaturan teknis yang amat rumit, ide ini memiliki nilai politis yang sangat kuat yakni sebagai syarat bagi keharmonisasian suatu wilayah (daerah). Lebih jauh lagi adalah pertanyaan sejauh mana hak-hak kelompok minoritas ini dapat dieksekusi apabila dikaitkan dengan eksistensi nation state disisi lain. Apakah ide liberal ini akan mentoleransi kemungkinan praktek liberal oleh kelompok minoritas itu terhadap komunitasnya. Terlepas dari pandangan kritis diskursus ide ini dilevel akademik dan rumitnya pengejewantahan gagasan ini di level praktis, mulai tampaknya raut keterbatasan teoritisasi liberal tentang pengelolaan pluralitas dapat terus menjadi remantik bagi keberlangsungan diskusi ini ke depan.

Pemilihan kepala desa di Desa Kwala Gunung pada tanggal 26 Mei 2015 lalu merupakan bentuk yang nyata suatu wilayah menununjukan harmonisasinya. Setiap suku baik itu suku mayoritas Jawa (62%) serta suku yang lebih minoritas

      

(9)

seperti suku Melayu (24%), suku Batak (65%) dan 8% suku lainnya menunjukan keberagaman yang sangat maksimal.

Hal ini diperkuat oleh Bapak Abdul Latif yang mengatakan:

“Kesadaran tentang keberagaman terhadap konstitusi membuat masyarakat dan pemerintah desa di sini tidak diskriminasi atas etnis lain yang hidup dan berdomisili didaerah di Desa Kwala Gunung. Disamping itu etnis lain selain dari suku Jawa yang mayoritas diberikan pengetahuan tentang tradisi masyarakat lokal, dengan tujuan etnis lain yang minoritas dapat berinteraksi dengan etnis mayoritas di Kwala Gunung, siapa yang mampu mengharmonisasikannya dia yang

akan jadi pemimpin disini dan Jum’ah Haidiryah sangat mampu” 45 .

Dengan strategi ini, konflik yang terjadi dimasyarakat dapat diminimalisir, karena masing-masing etnik punya peranan yang sama dalam mensukseskan pembangunan di Desa Kwala Gunung. Wujudnya adalah ketika pada perayaan hari-hari besar negara, seluruh etnis dipersatukan dalam kegiatan, baik kegiatan olahraga, kesenian maupun dalam kehidupan keagamaan atau perayaan budaya dari masing-masing etnis.

Interaksi yang terlihat dan telah menjadi tradisi pada sebagian masyarakat yang ada di Kwala Gunung, adalah tradisi yang ada pada etnis Jawa, dalam penyelenggaraan yang tadinya hanya bersifat rasa syukur kepada sang pencipta atas keberhasilan panen, yang diwujudkan dalam kegiatan perayaan ritual keagamaan. Telah menjadi tradisi pada sebagian mayarakat penduduk Kwala Gunung yang juga di rayakan semua etnis di desa tersebut.

      

45Wawancara dengan Bapak Abdul Latifyang merupakan Mantan kepala Desa Kwala Gunung

(10)

Hal ini menunjukan antara etnis Jawa dan etnis lain terjalin hubungan yang sangat harmonis. Sehingga etnis Jawa dan enis Melayu serta etnis lain menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Desa Kwala Gunung. Kemudian untuk menelusuri interaksi antar etnik lain, kita dapat melihat Desa Kwala Gunung dalam bidang perekonomian dikuasai secara merata oleh etnis Jawa, etnis Melayu, etnis Batak dan etnis yang lain dalam berbagai bentuk usaha. Ini dapat dilihat dari kepemilikan usaha-usaha yang dapat menggerakkan perekonomian di Desa Kwala Gunung ini.

Secara teori, hubungan dominasi etnis sendiri pada dasarnya sudah mengandung kekerasan struktural, karena bukan merupakan hubungan setara, melainkan ditandai oleh keunggulan dominan satu pihak dan ketergantungan pada pihak lain. Kalau dominasi ini kemudian menimbulkan represi langsung oleh pihak yang kuat dalam bidang politik, atau perbedaan yang terlalu besar dalam penguasaan aset dan penghasilan ekonomi, maka cepat atau lambat akan muncul perlawanan dari pihak yang mengalami deperesi atau ketergantungan.

Hal ini di perkuat oleh bapak Abdul Latif yang mengatakan :

“Jika kepemimpinan Jum’ah Haidiryah yang merupakan suku melayu tidak maksimal bisa menyebabkan konflik antara pihak yang menguasai dan pihak yang merasa dikuasai, yang apabila mengalami peningkatan, dapat berkembang menjadi kekerasan. Peran strategi komunikasi juga sangat diperlukan dalam pengelolaan konflik terutama pada konflik

laten di Desa Kwala Gunung” 46.

      

46Wawancara dengan Bapak Abdul Latif yang kbjmerupakan Mantan kepala Desa Kwala Gunung

(11)

Komunikasi harmonis antar suku merupakan kunci Jum’ah Haidiryah menjaga toleransi suku. Komunikasi merupakan kunci dalam mengelola konflik, dengan komunikasi seseorang dapat mengelola konflik kearah yang lebih baik. Komunikasi yang baik dapat membantu pihak yang bertikai mengidentifikasi masalah serta dapat memahami masalah dari sudut pandang masing-masing pihak. Komunikasi dapat mencegah konflik di Desa Kwala Gunung, apabila aktor komunikasi menggunakan pesan yang dapat diterima secara psikolog dan sosial oleh para pihak yang terlibat komunikasi, dan jika salah satu atau semua aktor komunikasi menghormati simbol adat, suku, agama dan kepercayaan, serta jika salah satu aktor atau semua aktor komunikasi mau dan mampu menempatkan diri atau setara dengan pihak yang lain.

(12)

Secara garis besar masyarakat Desa Kwala Gunung adalah masyarakat religius dengan prinsip keagamaan yang bersumber pada kegamaan yang harmonis, ditambah dengan agama Islam menjadi agama mayoritas di derah tersebut. Hal inilah yang memperkuat harmonisasi interaksi antar etnis di Desa Kwala Gunung Sebagai perekat persaudaraan antar etnis. Kesadaran seperti ini akan membuat pemerintah daerah dan masyarakat Desa Kwala Gunung khususnya memperlakukan etnis lain diluar etnis Jawa dan Melayu mendapatkan hak yang sama bahkan pada jabatan politik tertinggi di desa itu sebagai kepala desa tidak dipersoalkan oleh masyarakat Desa Kwala Gunung.

Interaksi antar etnis yang harmonis menjadi harapan semua desa di Indonesia. Setelah melihat tragedi yang terjadi di negara lain yang porak poranda karena etnis, hal ini harus kita hindari bersama, sehingga upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah adalah memperlakukan semua etnis yang ada di Desa Kwala Gunung secara adil dan merata dalam semua kegiatan dan kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah desa.

(13)

diluar Desa Kwala Gunung (etnis lainnya) adalah melibatkan mereka dalam semua aktivitas, misalnya setiap tanggal 17 Agustus dilaksanakan perayaan olahraga dan kesenian, seluruh masyarakat dilibatkan tak terkecuali etnis diluar Jawa dan Melayu di Desa Kwala Gunung.

Hal ini dipertegas oleh Bapak Syahmidun yang mengatakan:

“Selain itu pembinaan interaksi antar etnis dilakukan dengan melalui penyuluhan yang diberikan oleh pemerintah daerah pada generasi muda melalui peran karang taruna yang ada pada kecamatan Lima Puluh dan Desa Kwala Gunung, desa-desa yang ada, kegiatan seperti ini sangat efektif karena pemerintah daerah memiliki rasa tanggung jawab yang sama pada seluruh etnis yang ada di Desa Kwala Gunung. Dengan kegiatan seperti itu seluruh komponen masyarakat Desa Kwala Gunung merasa diperhatikan oleh pemerintah desa. Sehingga dengan demikian hal itu akan membuat kehidupan antar etnis Desa Kwala

Gunung menjadi semakin harmonis” 47.

Pemerintahan daerah merupakan perpanjangan pemerintahan pusat yang ada di daerah, pemerintahan desa adalah bagian dari pelaksanaan organisasi negara dalam hal melaksanakan fungsi pemerintahan di desa. Kita ketahui bersama bahwa tanggung jawab pemerintah daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan sistem desentralisasi adalah dalam rangka pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang telah diberikan kewenangan dalam menyelenggarakan pemerintahan. Termasuk dalam hal stabilitas didaerahnya.

      

47Wawancara dengan Bapak Syahmidun merupakan Tokoh Masyarakat etnis Jawa Kwala

(14)

Persoalan etnis kalau tidak dicermati dengan baik, akan menjadi penghambat dalam melaksanakan pembangunan didalam negeri khusunya Desa Kwala Gunung, pemberian otonomi daerah oleh pemerintah pusat untuk menjawab tuntutan pemerintah daerah yang menghendaki adanya sistem desentralisasi kekuasaan, yaitu daerah meminta sebagian kewenangan dan potensi pendapatan asli daerahnya dikelola oleh daerah untuk kepentingan kesejateraan masyarakat Desa Kwala Gunung.

Menyadari hal itu, maka konsep pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah desa di Desa Kwala Gunung harusnya berwawasan nusantara artinya konsep ini mewajibkan kepada kita terutama pemerintah daerah agar supaya untuk bersikap adil dan bijaksana terhadap etnis yang ada di Desa Kwala Gunung. Pembinaan etnisitas harus menjadi perhatian pemerintah desa untuk dapat menghindari perilaku etnosentrisme dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dapat mengancam stabilitas daerah.

(15)

membina keharmonisan antar etnis di Desa Kwala Gunung. Harmonisasi yang dibangun oleh Jum’ah Haidiryah untuk periode ketiga memimpin Desa Kwala Gunung menunjukan kemampuannya menjaga stabilitas keharmonisan antar etnis.

Apabila selama ini Jum’ah Haidiryah (Melayu) tidak mampu menyelesaikan keharmonisan tentu dia tidak akan terpilih untuk ketiga kalinya dan pasti akan diambil alih suku lain diluar Melayu dan berpotensi mengakibatkan permasalahan etnis. Permasalahan etnis merupakan suatu masalah nasional kalau pembinaan etnis tidak mampu menumbuhkan rasa kebangsaan kepada etnis disemua daerah, akan mengancam integritas desa termasuk di Desa Kwala Gunung. Oleh karenanya pembinaan etnis harus menjadi perhatian oleh semua komponen bangsa ini sehingga tidak menjadi ancama di Desa Kwala Gunung. Caranya adalah dengan menanamkan rasa kebangsaan dan memberikan pemahaman Pancasila sebagai dasar Negara dan konstitusi pada generasi antar etnis yang ada di daerah.

III.2. Ketokohan yang Kuat

(16)

Kemunculan fenomena politik berbasis ketokohan ini tidak terlepas dari kecenderungan perilaku memilih masyarakat Indonesia yang bersifat psikologis. Ketokohan merupakan faktor yang penting dalam membentuk pilihan politik masyarakat Indonesia. Temuan ini sekaligus menyatakan bahwa perilaku memilih masyarakat Indonesia semenjak pemilu 1955, cenderung dipengaruhi oleh faktor sosiologis atau budaya, seperti agama, etnisitas, wilayah, dan kelas sosial.

Pengaruh ketokohan di Desa Kwala Gunung, kecamatan Lima Puluh sangat meyakinkan. Kepribadian kandidat atau peran ketokohan mempunyai pengaruh yang kuat dalam membentuk perilaku memilih. Bukti kuatnya pengaruh ketokohan Jum’ah Haidiryah dapat dilihat dari fenomena kemenangannya pada tiga kali pemilihan kepala desa di Desa Kwala Gunung periode 2004-2009, periode 2009-2015 dan 2015-2020. Dalam studinya tentang pengaruh kepribadian disimpulkan bahwa ketokohan Jum’ah Haidiryah merupakan faktor yang paling kuat dalam mempengaruhi pilihan kepala desa di Desa Kwala Gunung. Keputusan akhir pemberian suara dalam pemilu sangat dipengaruhi oleh kesukaan terhadap tokoh desa tersebut.

(17)

Pemilihan Kepala Desa di Desa Kwala Gunung ini menghasilkan temuan menarik bahwa secara umum, kecenderungan demokrasi di Indonesia saat ini mengarah kepada politik berbasis pada ketokohan atau “figure-based politics”, yaitu jenis politik yang terfokus pada figure-figur individual. Hal ini ditandai dengan munculnya aktor-aktor di tingkat lokal yang menjadi pemimpin dan pejabat publik meskipun tidak mempunyai basis organisasi dan kesukuan yang kuat. Sejalan dengan munculnya politik berbasis ketokohan,temuan lain yang cukup menarik di Desa Kwala Gunung ini adalah munculnya fenomena politik populisme. Populisme yang dimaknai sebagai pemerintahan yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat dan dekat dengan rakyat, seolah menjadi gaya baru bagi para elit lokal yang akan berlomba dan tengah menduduki jabatan publik khususnya pada pemilihan kepala desa di Desa Kwala Gunung ini.

Lahirnya elit lokal seperti Jum’ah Haidiryah merupakan bukti bahwa politik populisme telah menjadi sebuah “tren” yang ditunggu-tunggu oleh rakyat. Munculnya politik populisme menjadi pertanda bahwa hubungan patron-klien (elit-massa) yang berkembang di Indonesia, cenderung di dasarkan atas hubungan

(18)

alasan yang sederhana adalah pergeseran orientasi tersebut seiring dengan adanya perubahan dalam tatanan di Desa Kwala Gunung tersebut, sehingga pemilih mempunyai kecenderungan untuk memilih orang yang dikenal daripada mendasarkan basis politik kesukuan tertentu.

(19)

Hal ini diperkuat oleh Bapak Abdul latif yang mengatakan:

“Kualitas Personal calon kepala desa menunjukkan populasi pemilih di Desa Kwala Gunung mendambakan calon kepala desa yang jujur atau bisa dipercaya. Jujur atau bisa dipercaya adalah kualitas personal paling penting yang harus dimiliki oleh kepala desa. Hal ini menunjukkan bahwa bagi pemilih pada umumnya, kualitas personal kepala desa yang ditandai oleh sifat jujur, justru menjadi ukuran yang paling penting dibandingkan kepintaran, ketegasan, dan wibawa seorang

calon kepala desa” 48.

Pernyataan ini menunjukkan bahwa kepribadian calon kepala desa ternyata berpengaruh positif terhadap perilaku pemilih. Apabila seorang kandidat dinilai memiliki sifat-sifat positif oleh pemilih, maka semakin tinggi pula preferensi memilih terhadap calon tersebut. Kemudian temuan lain dari pemilihan kepala desa di Desa Kwala Gunung menyatakan bahwa variabel kepribadian kandidat bertujuan untuk mengukur keyakinan mengenai pribadi kandidat di mata pemilih, misalnya jujur, dapat dipercaya, dapat mengambil keputusan, terpelajar, pandai, berpengalaman, kuat, ramah, dan memenuhi kualifikasi.

Efek figuritas (ketokohan) juga dipercaya menjadi faktor penentu pilihan politik seseorang. Perilaku pemilih pada pemilukada di Desa Kwala Gunung menegaskan bahwa bahwa figuritas mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pilihan politik seseorang. Perilaku pemilih berdasarkan ketokohan dipengaruhi

      

48Wawancara dengan Bapak Abdul Latif yang merupakan Mantan kepala Desa Kwala Gunung

(20)

oleh pertimbangan popularitas, kemampuan, dan track record yang dimiliki oleh seorang kandidat seorang kepala desa.

Hal ini diperkuat oleh Bapak Syamidun yang mengatakan:

‘Secara umum pemilih di Desa Kwala Gunung lebih melihat figur kandidat daripada latar belakang organisasi yang mengusungnya. Artinya Pemilih di desa Kwala Gung semakin terbuka dalam menentukan pilihan politiknya. Orientasi pemilih di daerah tersebut lebih bersifat klasik, yakni mendasarkan pilihannya politiknya pada isu

ketokohan, harmonisasi, kandidat, dan ekonomi” 49.

III.3. Visi Misi Membangun

Pelaksanaan pemilihan umum termasuk pemilihan kepala desa dengan bebas, rahasia, jujur, dan adil sehingga pilkada langsung dapat menjadi suatu sistem rekruitmen pejabat publik yang dapat memenuhi parameter demokrasi. Hal ini berlanjut ke pemilihan kepala desa di Kwala Gunung. Saat ini pemilihan kepala desa telah menjadi agenda penting bagi setiap desa. Calon kepala desa fokus pada mengefektifkan strategi pendekatan kepada pemilih di pemilihan kepala desa, maka seorang kontestan dituntut harus mampu memasarkan dirinya ditengah-tengah masyarakat sesuai dengan kemajuan jaman dan keterbatasan di daerah pemilihan. Metode pemasaran politik (political marketing) merupakan strategi kampanye yang sedang disukai saat ini, secara sadar ataupun tidak pendekatan marketing dalam dunia politik telah dilakukan oleh para kontestan untuk dapat menyampaikan pesan-pesan politik mereka kepada pemilih (warga).

      

49Wawancara dengan Bapak Syahmidun merupakan Tokoh Masyarakat etnis Jawa Kwala

(21)

Pemilih yang memiliki pengetahuan politik lebih luas akan memberikan perhatian lebih pada isu-isu kebijakan dan kesamaan ideologi, sedangkan pemilih dengan pengetahuan politik yang lebih sedikit, cenderung untuk memilih berdasarkan partai yang ada sejak lama dalam menangani permasalahan politik, walaupun beberapa pemilih melakukan evaluasi terhadap kandidat lewat pendekatan yang didasarkan pada ingatan, kebanyakan pemilih melakukan proses evaluasi tersebut dengan suatu pola tertentu.

Pemilih dengan pengetahuan politik yang lebih sedikit akan menggunakan pendekatan berdasarkan ingatan, dengan proses memasuki tempat pemungutan suara dan mengambil keputusan lewat pertimbangan yang dapat pemilih munculkan dalam benak pemilih pada saat tersebut, sementara pemilih yang lain dengan pengetahuan politik yang lebih luas, akan melakukan pendekatan yang terproses, mengkonstruksikan evaluasi dari masing-masing kandidat selama kampanye berlangsung, dan akan menggunakan hasil evaluasi tersebut ketika memberikan suara di bilik pemungutan suara.

(22)

2004-2009 dan periode 2009-2015. Pada Pemilihan kepala desa 26 Mei 2015 yang lalu Jum’ah Haidiryah (Melayu) bertarung dengan Jumali (Jawa) dan Rudi Hartono (Jawa). Sehingga strategi dan konsep pemasaran politik yang diterapkan Jum’ah Haidiryah sangat menarik dalam proses pemilihan kepala desa di Desa Kwala Gunung.

Hal ini diperkuat oleh Bapak Jum’ah Haidiryah yang mengatakan : “Pertimbangan yang menjadi tolok ukur pemilih rasional adalah hitungan untung rugi yang akan dia dapatkan ketika ia menjatuhkan pilihan politiknya terhadap salah Calon tertentu dalam setiap pemilihan. Dalam tradisi pemilih rasional, seorang akan memilih kandidat yang bisa memaksimalkan keuntungan (setidaknya kepentingan pribadi) dan meminimalisir kerugian. Salah satu hal yang turut menjadi pertimbangan pemilih dalam pemilu adalah isu atau program kerja Calon kepala desa yang sedang berkompetisi di Desa Kwala Gunung. Pertimbangan ini cukup beralasan karena pemilih tidak akan serta merta memberikan suaranya kepada partai atau calon presiden yang tidak mempunyai

program kerja yang jelas” 50.

Program kerja calon kepala desa sejatinya merepresentasikan kebijakan sang calon dan janji-janji yang akan diberikannya apabila Calon kepala desa tersebut terpilih. Progam kerja dan janji-janji ini dapat mempengaruhi pertimbangan pemilih mengenai kebijakan sosial dan ekonomi, khususnya yang terkait dengan urusan publik.

      

50Wawancara dengan Bapak Jum’ah Haidiryah yang juga merupakan Calon kepala desa Incumbent

(23)

Pemilih sebenarnya sedang mempertimbangkan keuntungan dan kerugian yang akan dia peroleh manakala sang calon kepala desa terpilih menjadi kepala desa. Implikasinya, tiap pemilih akan memberikan suara untuk kandidat yang diperkirakan akan memberikan keuntungan yang lebih besar kepada dirinya. Pemilih akan memilih kandidat yang memiliki kebijakan yang dapat memaksimalkan aliran keuntungan yang akan pemilih dapatkan sebagai warganegara daripada kandidat yang tidak dapat memberikan keuntungan.

Calon pemilih akan melihat tipe pemimpin ideal menurut pemilih dalam pemilihan kepala desa yang menunjukkan bahwa salah satu tipe kepala desa yang ideal adalah pemimpin yang memiliki visi dan misi yang jelas. Melalui visi dan misi inilah rakyat bisa mengetahui program-program kerja pemimpinnya dan juga bisa mengetahui ke mana negara akan dibawa, apakah ke arah yang lebih baik atau malah lebih buruk dalam pemilu presiden 2014, program kerja calon presiden yang terkait isu buruh dapat dilihat dari visi dan misi calon presiden yang sudah mendaftar.

Hal ini dipertegas oleh Bapak Jum’ah Haidiryah yang mengatakan : “Rasional pemilih di Desa Kwala Gunung ditentukan oleh faktor yang berbeda-beda antara pemilih yang satu dengan pemilih yang lain dan dipengaruhi siapa calon yang ada. Rasional pemilih didasarkan atas pendidikan yang dimiliki oleh warga Desa Kwala Gunung, keterjangkauan informasi dan akses kampanye, serta tingkatan umur pemilih di Desa Kwala Gunung. Melalui mobilisasi politik dan visi misi

masyarakat ke dalam kehidupan publik” 51.

      

51Wawancara dengan Bapak Jum’ah Haidiryah yang juga merupakan Calon kepala desa Incumbent

(24)

III.4. Mampu Menjaga Keselarasan

Secara sosial psikologis kepemimpinan merupakan produk dari interaksi sosial.Kepemimpinan yang baik tentunya berhubungan dengan keselarasan yang ada dalam sebuah ruang lingkup kekuasaan. Dalam sebuah tatanan pemerintahan yang memerlukan kerjasama antar masyarakat, masyarakat menyadari bahwa masalah yang utama adalah masalah keselarasan. Pada masalah ini perhatian belum cukup dicurahkan. Kita melihat perkembangan dari kepemimpinan pra ilmiah kepada kepemimpinan yang ilmiah. Dalam tingkatan ilmiah kepemimpinan itu disandarkan kepada pengalaman, intuisi dan kecakapan praktis. 52

Konsep tentang keselarasan suatu wilayah melahirkan peranan baru yang harus dimainkan oleh seorang pemimpin. Titik berat peranan dari pemimpin sebagai orang yang membuat rencana, berfikir dan mengambil tanggung jawab untuk kelompok serta memberikan arah kepada orang-orang lain, beralih kepada anggapan bahwa pemimpin itu pada tingkatan pertama adalah pelatih dan koordinator bagi kelompoknya. Fungsinya yang utama ialah membantu kelompok untuk belajar memutuskan dan bekerja secara lebih efisien. Dalam peranannya sebagai pelatih seorang pemimpin dapat memberikan bantuan-bantuan yang khas dan memberikan keselarasan. Pemimpin yang mampu menjaga keselarasan pada umumnya berbeda dengan pemimpin lain karena penggunaan secara meluas contohnya pribadi dan model peranan, sikapnya yang mengandalkan taktik tidak

      

(25)

konvensional, serta penggunaan praktek pemberian kekuasaan untuk memperlihatkan seperti apa wawasannya bisa dicapai.

Demikian pula, wawasan mereka mungkin berisi unsur-unsur kinerja yang memberikan rangkaian peraturan keputusan untuk memecahkan masalah sehari-hari dan cara pendekatan yang mampu menjaga keselarasan. Pemimpin mampu menjaga keselarasan memperlihatkan taktik tidak kovensional yang harus digunakan oleh kepemimpinan kalau ingin mencapai wawasan pemimpin dan melalui pujian pemimpin kharismatik membina kepercayaan pengikut kepada kemampuan mereka mencapai keselarasan. Pemimpin yang mampu menjaga keselarasan semakin dipandang kharismatik.53

Jum’ah Haidiryah selama ini dianggap mampu memperpadukan nilai-nilai kunci di Desa Kwala Gunung dan sangat mampu dianggap memadukan semua unsur untuk saling selaras. Keahlian Jum’ah Haidiryah dalam hal wawasan, komunikasi, membina kepercayaan, dan memotovasi sangat luar biasa. Jum’ah Haidiryah dianggap memiliki kelengkapan penuh keahlian ini, kemungkinannya besar sekali bahwa meraka akan dipandang sebagai pemimpin kharismatik. Kepemimpinan kharismatik selama ini selalu identik dengan pengamatan pemimpin di politik dan keagamaan yang mampu menjaga keselarasan kehidupan masyarakat di Desa Kwala Gunung.

Masyarakat Desa Kwala Gunung dalam dua periode kepemimpinan Jum’ah Haidiryah dianggap mampu membangun keselarasan yang maksimal.

      

(26)

Jum’ah Haidiryah membuat sebuah sistem baru maupun lembaga baru berupa institusi kepengurusan yang melibatkan masyarakat desa. Kepemimpinan Jum’ah Haidiryah dalam menjaga keselarasan memang bukan sesuatu yang baru namun tetap relevan dan penting dikaji. Banyaknya perhatian terhadap kepemimpinan, mengingat peran strategi dalam tatanan pemerintahan desa.

Dalam hal ini Jum’ah Haidiryah memiliki program yang sangat maksimal dalam membangun keselarasan di Desa Kwala Gunung yaitu:54

- Pertama, pada dasarnya, proses transformasi dalam berbagai bidang

kehidupan yang multidimensional berlangsung di Desa Kwala Gunung melalui proses administrasi desa. Dimana semua urusan administrasi yang berhubungan dengan Pemerintahan desa diusahakan untuk dapat diselesaikan dengan cepat.

- Kedua, selama ini pelayanan tidak hanya diarahkan pada masalah

sumber daya manusia aparatur desa, kelembagaan desa dan sistem tatalaksana desa. Namun, selama kepemimpinan Jum’ah Haidiryah model pelayanan yang hanya menekankan pada sistem dan aspek teknis pelayanan Desa Kwala Gunung dengan sasaran harus dilaksanakan dengan maksimal.

- Ketiga, dilihat dari perspektif administrasi desa, bahwa tantangan desa

selama ini menuntut paradigma baru manajemen, pemimpin perubahan dan kemampuan mengelola informasi serta produktivitas pegawai

      

(27)

berbasis ilmu pengetahuan di desa dan kepemimpinan Jum’ah Haidiryah dianggap mampu menyelesaikannya.

Nasib sebuah pemerintahan, baik pusat maupun daerah, akan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan para pemimpin dalam mewujudkan keselarasan. Keberhasilan sebuah rezim dan penguasa dalam membangun legitimasi kekuasaan sering dipengaruhi oleh kemampuan mereka dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang baik dan memuaskan masyarakat.

Keberhasilan pemimpin dalam mewujudkan keselarasan ini bisa dijadikan contoh untuk para pimpinan di jajaran aparatur negara yang memiliki kepentingan untuk melakukan pembaharuan dalam praktik penyelenggaraan pelayanan publik dalam menjaga keselarasan. Apakah dapat mempertahankan jabatannya atau tidak dipengaruhi kualitas pelayanan publik yang diberikan. Pertimbangan tersebut memperkuat niat membangun paradigma baru kepemimpinan yang berbasis pelayanan. Pelayanan sebagai sebuah konsep dasar paradigma baru kepemimpin, berangkat dari pemikiran bahwa, nilai dasar dari ajaran administrasi publik adalah ”memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa membedakan siapa yang

dilayani”.

Hal ini diperkuat oleh bapak Abdul Latif yang mengatakan:

(28)

suatu komitmen yang kuat terhadap diri sendiri di desa, institusi dan

masyarakat yang dilayani serta pengorbanan” 55.

Komitmen bermakna sikap keberpihakan yang tinggi terhadap masyarakat yang dilayani. Sebagai sebuah proses, komitmen menuntut konsistensi dari para pemimpin. Sikap ini menjadi penting, karena konsistensi akan memberikan kenyamanan dan ketenangan serta keamanan bagi masyarakat terutama di Desa Kwala Gunung. Konsep-konsep yang telah dikembangkan, keterlibatan para pemimpin sangat tinggi dan menentukan keberhasilan pelayanan yang dilakukan pemerintahan desa. Bahkan dalam model pelayanan yang dikembangkannya, secara tegas menempatkan kepemimpinan sebagai faktor utama dalam kualitas manajemen pelayanan.

Pada pemerintahan yang dipimpin oleh Jum’ah Haidiryah memperlihatkan bahwa Desa Kwala Gunung merupakan desa unggul dan dapat berkembang pesat, karena daerah tersebut dipimpin oleh pemimpin yang memiliki kecerdasan pelayanan yang prima. Sikap ikhlas berkorban Jum’ah Haidiryah untuk kepentingan yang lebih besar dalam menjaga keselarasan di Desa Kwala Gunung. Konsep kepemimpinan berbasis pelayanan menjadi sangat penting di Desa Kwala Gunung, sebagai konsekuensi logis dalam sistem demokrasi, dimana rakyat atau masyarakat adalah yang berkuasa. Tercantum dalam konsep demokrasi, masyarakat bukan didudukkan sebagai obyek kekuasaan tetapi sebagai subyek

      

55Wawancara dengan Bapak Abdul Latif yang merupakan Mantan kepala Desa Kwala Gunung

(29)

dan sekaligus obyek penyelenggaraan pemerintahan negara. Hal ini bermakna sumber kekuasaan berada di tangan masyarakat. Kepemimpinan dalam sistem politik demokratis, hakikatnya adalah kepemimpinan yang memiliki kemampuan partisipatif, kecerdasan multikultural dan sosial dan bahkan kecerdasan spiritual. Kemampuan partisipatif dimaknai, sebagai sikap kepemimpinan yang selalu mendengar keluhan dan kebutuhan masyarakat dan bukan hanya mau didengar saja. Kecerdasan multi-kultural sebagai konsep dasar kepemimpinan pelayanan, dengan asumsi dasar bahwa sebuah kepemimpinan yang berhasil adalah sebuah kepemimpinan yang mengenal, memahami, mendalami dan menghargai nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan bermasyarakat.

Hal ini kemudian diperkuat oleh Bapak Abdul Latif yang mengatakan: “Kepemimpinan Jum’ah Haidiryah mencerminkan konsep kecerdasan sosial sebagai konsep kepemimpinan pelayanan di Desa Kwala Gunung yang menunjukan kemampuan seorang pemimpin terhadap aspirasi masyarakat yang dilayani di desa. Kemampuan spiritual sebagai dasar dan landasan kepemimpinan pelayanan, bahwa Jum’ah Haidiryah percaya sentuhan langsung akan lebih efektif dibandingkan pendekatan

lain dalam menjaga keselarasan di Desa Kwala Gunung” 56.

      

56Wawancara dengan Bapak Abdul Latif yang merupakan Mantan kepala Desa Kwala Gunung

(30)

BAB IV

PENUTUP

IV.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab sebelumnya, telah didapatkan temuan-temuan terkait hubungan antar suku di Desa Kwala Gunung, Kecamatan Lima Puluh dan dominasi kemenangan etnis Melayu dalam pemilihan kepala desa di Desa Kwala Gunung. Untuk memberikan penjelasan mengenai temuan-temuan tersebut, ada beberapa hal yang perlu dipaparkan sebagai hasil analisis hubungan antar suku di Desa Kwala Gunung, Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batu Bara.

Konsep pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah desa di Desa Kwala Gunung harusnya dijadikan sebagai wawasan nusantara artinya konsep ini mewajibkan kepada kita terutama pemerintah daerah untuk bersikap adil dan bijaksana terhadap etnis yang ada di daerah seperti di Desa Kwala Gunung ini. Pembinaan etnisitas harus menjadi perhatian pemerintah desa untuk dapat menghindari perilaku etnosentrisme dalam penyelenggaraan pemerintahan yang akan dapat mengancam stabilitas daerah.

(31)

menjadi ukuran yang paling penting dibandingkan kepintaran, ketegasan, dan wibawa seorang calon kepala desa.

Pada pemerintahan yang dipimpin oleh Jum’ah Haidiryah memperlihatkan bahwa Desa Kwala Gunung merupakan desa unggul dan berkembang pesat, karena daerah tersebut dipimpin oleh pemimpin yang memiliki kecerdasan dalam hal berkomunikasi dan mampu memberikan pelayanan yang prima. Sikap ikhlas berkorban Jum’ah Haidiryah untuk kepentingan yang lebih besar dalam menjaga keselarasan di Desa Kwala Gunung selama ini.

Konsep kepemimpinan berbasis pelayanan menjadi sangat penting di Desa Kwala Gunung, sebagai konsekuensi logis dalam sistem demokrasi, dimana rakyat atau masyarakat adalah yang berkuasa. Dalam konsep demokrasi, masyarakat bukan didudukan sebagai obyek kekuasaan tetapi sebagai subyek dan sekaligus obyek penyelenggaraan pemerintahan negara. Hal ini bermakna sumber kekuasaan berada di tangan masyarakat. Kepemimpinan dalam sistem politik demokratis, hakikat-nya adalah kepemimpinan yang memiliki kemampuan partisipatif, kecerdasan multikultural dan sosial dan bahkan kecerdasan spiritual.

(32)

IV.2.Implikasi Teori

Pelaksanaan Pemilihan kepala desa di Indonesia sering menimbulkan permasalahan di daerah-daerah di Indonesia sepertia konflik yang terjadi pada saat-saat momentum pelaksanaan pemilihan kepala desa yang heterogen. Pada hakekatnya, berbagai konsepsi etnisitas lebih berpangkal dari konsep budaya, karenanya keaneka ragaman suku bangsa juga tergantung dari sudut manakah kebudayan didefinisikan.

Semakin beraneka warnanya etnis disuatu daerah, maka semakin banyak terdapat variasi perbedaan kebudayaan. Karena jika hanya mendasarkan konsepsi hukum bangsa semata, kiranya tidak cukup dipakai untuk menganilisis etnisitas.berbagai perbedaan yang ada, tidak selalu dapat dianggap etnisitas sepanjang diantara mereka terjadi efektivitas relasi yang mencerminkan suatu tinggi rendahnya level integrasi sosial.

Dengan kata lain, bahwa fenomena utama dari masalah etnisitas yang dianggap sebagai masalah kesukubangsaan apabila interaksi mereka cukup rendah. Pemahamanetnisitas penting bagi suatu daerah atau desa, agar keanekaragaman suku bangsa dapat dikembangkan sebagai strategi nasional kearah terwujudnya integrasi nasional. Nasionalisme yang dikembangkan tentunya membutuhkan adanya saling pengakuan loyalitas dan solidaritas diantara kebudayaan yang berbeda.

(33)

Kwala Gunung, pemberian otonomi daerah oleh pemerintah pusat untuk menjawab tuntutan pemerintah daerah yang menghendaki adanya sistem desentralisasi kekuasaan, dimana daerah meminta sebagian kewenangan dan potensi pendapatan asli daerahnya dikelola oleh daerah untuk kepentingan kesejateraan masyarakat Desa Kwala Gunung.

Penelitian ini telah menunjukkan bahwa etnis mayoritas bisa kalah dalam sebuah pemilihan kepala desa. Artinya telah terjadi pergeseran stigma selama ini etnis mayoritas hampir dipastikan memenangkan sebuah pemilihan. Hasil penelitian ini memberikan beberapa implikasi, antara lain:

1. Teori etnisitas menjelaskan bagaimana penelitian ini memberikan penjelasan bahwa ada suatu proses pemahaman lain mengenai etnis mayoritas yang mendominasi suatu wilayah akan pasti memenangkan pemilihan, tetapi hal ini tidak berlaku di Desa Kwala Gunung karena untuk yang ketiga kalinya etnis minoritas mengalahkan etnis mayoritas di Desa Kwala Gunung.

(34)

keselarasan kehidupan bermasyarakat mampu mengalahkan strategi dari calon-calon yang berasal dari etnis mayoritas.

(35)

BAB II

PROFIL, KOMPOSISI DAN EKSISTENSI ANTAR SUKU

II.1. Profil Kesukuan di Desa Kwala Gunung

Dalam setiap pemilihan umum di Indonesia isu kesukuan tiba-tiba menguat dan sangat kental dalam diri sebagian calon pemilih. Rasa yang muncul dari pandangan pertama atau dari kesamaan tempat asal dan dimana dibesarkan. Baik disadari penuh atau hanya setengah-setengah. Kesukuan adalah salah satu bagian kecil dari primordialisme disamping isu kepercayaan, adat istiadat, tradisi dan sebagainya. Saat mereka dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan dan bentuk interaksi suku yang terasa dominan atau memang sedarah.27

Isu kesukuan dalam pemilu atau pemilihan kepala desa bukan hal baru lagi. Walaupun terkesan strategi politik klasik, nyatanya mengangkat isu kesukuan masih menjadi topik yang laku dijual dalam perhelatan pemilihan kepala desa di beberapa daerah. Isu kesukuan, putra daerah, isu agama, bergaris keturunan raja, ahli waris, selalu menjadi tema kampanye untuk meraup suara dari calon pemilih. Isu primordial memang tidak melanggar hukum selagi tidak mengandung fitnah terhadap lawan politik dan mengadudombakan rakyat dan secara positif primordialisme itu sendiri merupakan suatu kekayaan budaya bangsa yang harus dijaga eksistensinya dalam ruang lingkup Bhinneka Tunggal

      

27Hefner, RW . Politik Multikulturalisme: Menggugar Realitas Kebangsaan. 2011. Yogyakarta:

(36)

Ika, dengan syarat tidak menggunakan isu tersebut sebagai alat untuk kepentingan segelintir orang yang punya ambisi kekuasaan.28

Hal ini rupanya berbanding terbalik pada kenyataan praksis. Kebanyakan aktor politik justru menggunakan isu ini sebagai senjata ampuh untuk memenangkan pemilihan kepala desa. Isu kesukuan tentunya menjadi sangat subur ketika dilemparkan dalam pemilih tradisional yang masih memilih berdasarkan emosional dan loyalitas. Realitas ini merupakan bentuk kejanggalan dalam demokrasi (dari, oleh dan untuk rakyat). Jika demokrasi itu oleh rakyat maka seharusnya penentuan tipikal pemimpin, berdasarkan pertimbangan pribadi rakyat bukannya dimainkan oleh segelintir elit. Rakyat bawah selalu dijadikan obyek isu para elit pragmatis. Rakyat berada pada posisi pasif yang siap menerima segala gempuran isu, sementara elit politik berpangku tangan melihat reaksinya.

Isu kesukuan memang bukan hal baru dari proses demokrasi di tingkat lokal ketika mengalihkan perhatian masyarakat pemilih dari penilaian sesungguhnya atas seorang calon, baik kecerdasan, kebijakan, jiwa kepemimpinan serta ide-ide brilian yang seharusnya lebih ditonjolkan untuk kemajuan daerahnya. Dari sudut integritas bangsa, kampanye dengan mengangkat isu primordial berpotensi bahaya laten terhadap kesatuan dan persatuan bangsa. Dengan menonjolkan aspek agama dan suku tertentu berarti menganaktirikan agama dan suku lainnya.29

      

28Faturochman, Konflik: Ketidak-adilan dan Identitas. 2003, Yogyakarta : PPSK UGM, Hal.1

(37)

Kesukuan merupakan bagian dari fakta sejarah atas berdirinya negara ini. Indonesia lahir dari rahim kebhinnekaan, di mana kesukuan merupakan salah satu bagian terpenting dari komponen kemajemukan sebuah bangunan bangsa. Sejalan dengan proses demokratisasi di Indonesia sering timbul gejala-gejala negatif seperti ekses-ekses yang mementingkan kelompok dan suku sendiri (sukuisme), adanya kecenderungan untuk menggunakan nilai-nilai kelompok. Kesukuan berkaitan dengan lahirnya demokrasi di dunia.

Maraknya proses demokrasi yang sejalan dengan politik desentralisasi dimana pemerintah pusat memberikan hak kepada pemerintah daerah untuk memperoleh kebebasan dan pengakuan politik dalam pemilihan kepala daerah sendiri. Kesukuan yang menjadi ikatan yang sangat emosional dan mendalam telah melahirkan perjuangan kelompok-kelompok etnis tertentu dari dominasi etnis mayoritas. Kesukuan berkaitan pula dengan kebudayaan masing-masing yang memiliki ciri khas dari kelompok etnis tersebut, dalam kelompok tersebut terjadi keterikatan antara orang-orang dalam kelompok tersebut atau dikenal sebagai primordialisme. Sehingga tidak jarang keterikatan etnis ini dimanipulasi dan dijadikan alat atau kendaraan oleh kelompok elit dalam memperebutkan sumber kekuasaan, terutama di desa yang penduduknya heterogen.30

Pemilihan kepala desa merupakan salah satu bentuk pelaksanaan demokrasi yang bertujuan untuk menciptakan sebuah tatanan pemerintahan desa yang bersih, akuntabel dan demokratis di ruang lingkup desa. Pemilihan kepala

      

(38)

desa yang karena konsekuensi dari otonomi daerah yang mana sejak jaman orde lama pemilihan ini sudah bersifat langsung, yaitu pemilihan kepala desa dengan melibatkan seluruh rakyat di desa yang memiliki hak pilih, karenanya Pemilihan Kepala Desa kini menjadi arena pertarungan elit di desa yang ingin berkuasa.

Dalam masyarakat yang multietnik di desa, dinamika politik senantiasa memiliki situasi yang lebih tinggi dibandingkan pada desa yang relatif homogen. Hal tersebut dapat kita lihat pada kontestasi politik di tingkat lokal pada beberapa pemilihan kepala desa di seluruh Indonesia. Aspek etnis tidak boleh dilupakan perannya dalam pemilihan kepala desa di Indonesia. Mobilisasi pemilih dapat dilakukan dengan mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan etnisitas, baik etnis, agama dan sebutan penduduk asli atau pendatang.31

Latar belakang etnis kandidat sedikit banyak mempengaruhi pilihan pemilih. Ini terutama terjadi di wilayah-wilayah yang mempunyai perimbangan etnis dimana ada dua atau lebih suku dominan di wilayah tersebut. Meski gambaran posisi etnis agak berbeda antara suatu daerah dengan daerah lainnya.

Beragamnya etnis yang mendiami Desa Kwala Gunung telah menyebabkan suburnya politik identitas etnis. Mobilisasi dukungan digunakan dengan memanfaatkan komunikasi politik dengan pesan utama, putra daerah dan etnisitas lainnya. Ditambah lagi dengan disparitas agama yang dianut. Wacana tersebut juga menguat dalam penentuan kepala desa. Mereka berlomba-lomba melobi dukungan, kesukuan menjadi hal yang sangat menentukan namun

nilai-      

(39)

nilai kesukuan yang transenden begitu merasuk dalam politik lokal manakala berbagai aturan formal tetap bersifat sekuler.

Desa Kwala Gunung merupakan salah satu desa di Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batu Bara. Desa Kwala Gunung terdiri dari 5 Dusun. Jumlah penduduk di Desa Kwala Gunung berjumlah 2.179 jiwa dengan jumlah perempuan 1.018 jiwa dan laki-laki berjumlah 1.158 jiwa dengan 470 KK. Keragaman budaya atau "cultural diversity" adalah keniscayaan yang ada di Desa Kwala Gunung. Keragaman budaya Desa Kwala Gunung adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok suku, masyarakat Desa Kwala Gunung juga terdiri dari berbagai etnis bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok etnis yang ada didaerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 2.179 orang dimana mereka tinggal tersebar di 5 dusun. 32

Salah satu yang perlu dilihat dalam hal ini adalah aspek demografi di Desa Kwala Gunung. Persentase kesukuan di Desa Kwala Gunung yaitu dari 2.179 penduduk di Desa Kwala Gunung 67% penduduknya bersuku Jawa, 26% suku Melayu, 5% suku Batak dan 2% suku yang lainnya. Sejarah Desa Kwala Gunung menunjukkan bahwa, dalam setiap pelaksanaan pemilihan kepala desa baik pasca reformasi selalu dimenangkan oleh calon bersuku Melayu meskipun di Desa Kwala Gunung penduduk dominannya adalah suku Jawa.

Kesukuan menjadi aspek yang penting dalam hubungan politik di Desa

      

(40)

Kwala Gunung. Pada dasarnya term ini muncul karena menyangkut gagasan tentang pembedaan, dikotomi antara kami dan mereka dan pembedaan atas klaim terhadap dasar, asal-usul dan karakteristik budaya. Kesukuan di Kwala Gunung adalah hasil dari proses hubungan, bukan karena proses isolasi. Jika tidak ada pembedaan antara orang dalam dan orang luar, maka tidak ada yang namanya Kesukuan. Kesukuan adalah kelompok tersebut telah menjalin hubungan, kontak dengan kelompok etnis yang lain dan masing-masing menerima gagasan dan ide-ide perbedaan di antara mereka, baik secara kultural maupun politik.

Kesukuan di Desa Kwala Gunung pada sendirinya merupakan konsep baru dalam kajian ilmu politik. Konsepsi tentang politik kesukuan mulai mengemuka karena elit dominan kalah melawan minoritas. Kemunculan politik kesukuan diawali oleh tumbuhnya kesadaran yang mengidentikkan mereka ke dalam suatu golongan atau kelompok etnis tertentu. Kesadaran ini kemudian memunculkan solidaritas kekelompokan dan kebangsaan. Politik kesukuan mengacu kepada politik “kelompok kesukuan” dan minoritas kecil sementara penafsiran kelompok etnis bisa mencakup bangsa etnis (ethnic nation) di Desa Kwala Gunung. Pada konteks ini, biasanya kelompok kesukuan di Desa Kwala Gunung tidak memiliki wilayah tertentu dalam menentukan pilihan. Tujuan mereka pun berbeda dengan konsep kesukuan pada umumnya.

(41)

saat pemilihan kepala desa, identifikasi identitas kesukuan menjadi kemestian dalam perilaku dan komunikasi politik baik dalam aktifitas dan peran politik maupun dalam kehidupan sosial secara umum, terutama dalam rangka menarik simpati calon pemilih, meningkatkan popularitas dan tujuan politik lainnya.33

Proses sosial menandai sekelompok masyarakat di Desa Kwala Gunung bisa dipakai untuk “menunjuk” (labeling), dan berlangsung dalam sebuah generasi yang dipengaruhi oleh kekuasaan. Proses pendeskripsian ini dalam perpektif sejarah berfungsi seolah-olah seperti deskripsi terhadap sekelompok orang dan bagi kelompok itu deskripsi sebagai aturan bertindak di Desa Kwala Gunung. Dalam hal ini di Desa Kwala Gunung suku Jawa lalu dianggap punya perangai halus, pintar membawa dan mengendalikan diri, sementara suku Melayu dianggap lebih hidup bersahaja dari pada bersusahpayah meningkatkan kesejahteraan. Selain itu, orang Melayu memiliki harga diri yang tinggi, dan gemar memberikan makna tersirat dari setiap ucapannya dan suku Batak yang terlihat sangat tegas dan agak kasar.

Dalam sejarah etnisitas di Desa Kwala Gunung terdapat hubungan antara kekuasaan yang dominan. Selama hubungan kekuasaan masih berupa persaingan, kesukuan terbatas pada rules of conduct sehingga disebut cultural identity. Begitu hubungan mulai jadi perebutan hegemoni, etnisitas menjadi political ethnicity yang bisa memicu konflik, selain itu hegemoni kekuasaan berhasil menjadikan kekuasaan di Desa Kwala Gunung berdaulat yang mampu bertahan. Kondisi

      

(42)

etnisitas di Desa Kwala Gunung lebih kepada bentuk mekanisme saja karena pilihan yang rasional dalam pemilihan.

Secara substansi pemahaman etnisitas di Desa Kwala Gunung melihat kesukuan sebagai sesuatu yang “primordial” dan menempatkannya sebagai sebuah kesukuan yang cenderung tetap, perspektif constructivist melihat kesukuan sebagai sesuatu yang bisa berubah dan tidak menetap. Bagi penganut perspektif ini, kesukuan etnik bersifat situasional dan bisa setiap saat bergeser atau berubah jika situasi atau konteks perubahan sosial. Etnisitas dalam kajian politik di Indonesia terutama di Desa Kwala Gunung merupakan aspek yang dianggap penting dan mendapatkan tempat yang cukup besar meskipun mengalami pasang surut seirama dengan naik turunnya perhatian ilmuan politik terhadap isu kesukuan itu sendiri, sedangkan munculnya politik kesukuan di Desa Kwala Gunung diawali tumbuhnya kesadaran orang yang mengidentikkan diri mereka ke dalam salah satu kelompok kesukuan tertentu, yang kesadaran itu memunculkan solidaritas kelompok. Dari teori post-strukturalis34 kemudian post-modernitas35 yang mengkritik modernitas khususnya terhadap wacana kesukuan dalam konteks politik (ethnic politic).

Suku-suku yang ada di Desa Kwala Gunung berada dalam kawasan yang sama dan berkembang amat pesat dari daerah pertanian terutama tanaman padi yang merupakan persawahan. Dari dulu kawasan Desa Kwala Gunung merupakan

      

34Post-strukturalis adalah faktor sosial budaya berpengaruh dalam mendefenisikan tubuh dengan

kakakter ilmiah, universal dan tergantung tempat yang berkaitan dengan budaya.

35Post-Modernitas merujuk pada suatu epos, jangka waktu, zaman, masa sosial dan politik yang

(43)

kawasan pertanian dengan hasil andalan seperti padi (pemasok stok beras nasional) dan biji-bijian (seperti jagung), kelapa yang dipergunakan sebagai bahan multiguna untuk kebutuhan keseharian (diperas untuk santan, dibuat minyak kelapa,cuka atau gula), coklat (daerah pengekspor coklat terbesar di Indonesia), serta hasil lainnya. Kini desa ini berkembang menjadi kawasan multi usaha karena pola pertanian/perkebunan dan perikanan yang menjadi fondasi utama pendapatan masyarakat Desa Kwala Gunung.

II.2. Komposisi Antar Suku

Kesukuan merupakan identitas sosial yang berbeda dengan identitas diri dan kelompok sosial. Kesukuan lebih memeberikan pemahaman tentang pemahaman diri sebagai kepribadian. Identitas ini dimiliki oleh setiap individu dan tidak dimiliki secara komunal.

Berbeda halnya dengan kesukuan, kepribadian dan identitas dimaknai secara individu oleh kelompok sosial. Kadangkala kelompok sosial juga masih membawa identitas dirinya dalam kelompok, sedangkan kelompok sosial adalah gabungan dari dua orang atau lebih. Biasanya mereka memiliki pemahaman tentang pandangan hidup, atribut dan definisi yang sama untuk mendefinisikan siapa mereka selain itu kelompok sosial biasanya membentuk karakter yang berbeda dengan kelompok yang lain. Hal ini dilakukan dikarenakan ada keinginan kelompok untuk berbeda dengan kelompok yang lain.36

      

(44)

Kesukuan adalah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan tersebut. Identitas sosial yang dimiliki oleh seorang anggota kelompok atas kelompoknya yang dianggap sesuai dengan identitas yang ada pada dirinya. Keberadaannya pada kelompok akan membentuk ikatan emosi antara dirinya dan kelompoknya.37

Pemerintahan desa merupakan lembaga perpanjangan pemerintah pusat memiliki peran yang strategis dalam pengaturan masyarakat desa/kelurahan dan keberhasilan pembangunan nasional, karena perannya yang besar, maka perlu adanya peraturan-peraturan atau Undang-Undang yang berkaitan dengan pemerintahan desa yang mengatur tentang pemerintahan desa, sehingga roda pemerintahan berjalan dengan optimal. Hal inilah yang menjadi salah satu latar belakang munculnya kebijakan anggaran yang baru dari pemerintah Indonesia.

Dari 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) desa atau nagori yang berada di Indonesia, diantaranya terletak di Kabupaten Batu Bara. Kabupaten Batu Bara adalah sebuah kabupaten yang berada di Sumatera Utara dan Kota Lima Puluh adalah ibu kota kabupaten ini. Kabupaten ini memiliki 7 (Tujuh) kecamatan dan keseluruhan kecamatan terdiri dari 103 (seratus tiga) desa. Desa Kwala Gunung adalah salah satu desa yang terdapat di Kabupaten Batu Bara, dimana Desa Kwala Gunung adalah sebagai objek penelitian. Desa Kwala Gunung, berjarak 10 (sepuluh) kilometer dari jalan besar Siantar –Kisaran.

      

37Aris Ananta, Evi Nurvidya Arifin dan Leo Suryadinata, , Indonesia’s Population. Series No. 7,

(45)

Desa Kwala Gunung memiliki jumlah penduduk sebanyak 2.179 jiwa yang mana komposisinya :38

Komposisi kesukuan di Desa Kwala Gunung

Etnis Jumlah Persen (%)

Jawa 1.459 Jiwa 67%

Melayu 567 Jiwa 26%

Batak Toba dan Mandailing 65 Jiwa 3%

Batak Karo 22 Jiwa 1%

Batak Simalungun 22 Jiwa 1%

Lainnya 44 Jiwa 2%

Jumlah 2.179 Jiwa 100%

Sumber : Kantor Desa Kwala Gunung, Kecamatan Lima Puluh.

Desa Kwala Gunung merupakan desa yang terdapat di Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batu Bara. Desa Desa Kwala Gunung adalah salah satu jenis desa yang dapat dikategorikan sebagai desa swakarsa, yakni desa yang sedang berkembang. Dimana kita ketahui desa ini masih alami yang belum banyak mendapatkan fasilitas-fasilitas memadai.Secara struktur dan infrastuktur pembanguann di Desa Kwala Gunung belum merata, sehingga membuat kehidupan dari masyarakat masih berada tahap pembangunan.

Suku bangsa di Desa Kwala Gunung biasanya membentuk suatu komunitas yang berdasarkan kesukuan dominan yang terdiri dari:

      

(46)

1. Dusun 1 mayoritas suku Jawa. 2. Dusun 2 mayoritas suku Melayu. 3. Dusun 3 mayoritas suku Jawa. 4. Dusun 4 mayoritas suku Jawa. 5. Dusun 5 mayoritas suku Jawa.39

Desa Kwala Gunung terdiri dari kondisi alam yang masih alami, secara topografis merupakan daerah yang berhawa panas apalagi menjelang sore hari sangat terasa suasananya. Mayoritas etnik yang mendiami pemukiman penduduk adalah etnik Jawa, selebihnya adalah etnis Melayu, Batak dan Lainnya. Dengan kondisi seperti ini, suasana keragaman budaya dalam aktivitas yang dilakukan warga semakin jelas tampak. Artinya kondisi penduduk yang homogen, tercermin di sana yang melahirkan kemajemukan kondisi sosiokultural penduduk.

Masyarakat Desa Kwala Gunung membangun hubungan kerjasama masyarakat dalam bergotong royong dan saling toleransi, sikap seperti itu memberikan kelayakan yang cukup dalam menciptakan suasana harmonis dalam bermasyarakat. Timbulnya suatu masalah atau konflik kepentingan, dapat diselesaikan secara damai dan terbuka melalui suatu musyawarah pencapaian perdamaian dalam masyarakat. Dilihat dari konflik yang sering terjadi pada masyarakat adalah selalu tentang batas tanah penduduk, dengan demikian suasana penduduk yang harmonis dan rukun, masih tercipta dengan kondisi masyarakat

      

(47)

yang heterogen. Tetapi bukan berarti tidak ada konflik yang terjadi pada warga, tetap ada sekalipun konflik tersebut hanyalah masalah intern desa.

Desa Kwala Gunung terdiri dari 5 dusun dengan bermayoritas suku Jawa. Bahasa yang sering digunakan setiap hari adalah Bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan banyaknya masyarakat Jawa yang menikah dengan suku lain terutama etnis Jawa dan Melayu. Itu sebabnya mereka memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari karena akulturasi budaya yang telah bercampur.

Masyarakat Desa Kwala Gunung, juga memiliki sawah dan ladang yang luas. Sawah dan ladang mereka miliki, dikerjakan sendiri dan tidak ada istilah juragan. Setelah panen yang mereka tanam mereka langsung menjualnya. Bahkan mereka tidak lupa membuat syukuran dengan masing-masing suku.

II.3. Eksistensi Antar Suku

Aktivitas para politisi yang meningkat dalam hal pembentukan opini publik membuat isu kesukuan menjadi public relation dalam aktivitas politik di Desa Kwala Gunung dimana ini menjadi alat dalam pembentukan opini publik. Keterikatan antara isu kesukuan dan proses kampanye calon kepala desa di Desa Kwala Gunung berangkat dari pemahaman tentang sekelompok orang yang menaruh perhatian pada sesuatu hal yang sama, mempunyai minat dan kepentingan yang sama.40

      

40Maunati Yekti. Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan.2004. Yogyakarta:LKIS.

(48)

Opini Kesukuan merupakan pendapat kelompok masyarakat atau sintesa dari pedapat dan diperoleh dari suatu diskusi sosial dari pihak-pihak yang memiliki kaitan kepentingan. Dalam menentukan opini publik, yang dihitung bukanlah jumlah mayoritasnya (numerical majority) namun mayoritas yang efektif (effective majority). Memahami opini seseorang, apalagi opini publik, bukanlah sesuatu yang sederhana. Haruslah dipahami opini yang sedang beredar di segmen publiknya. Opini sendiri memiliki kaitan yang erat dengan pendirian (attitude). lebih lanjut, opini mempunyai unsur sebagai molekul opini, yaitu belief

(kepercayaan tentang sesuatu), attitude (apa yang sebenarnya dirasakan seseorang), dan perception (persepsi).41

Wilayah suku bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam dalam bentuk adat istiadat, seni tradisional dan bahasa daerah. Masyarakatnya terdiri atas banyak suku, dari Sabang sampai Merauke. Setiap kehidupan kelompok masyarakat tidak terlepas dari kebudayaannya masing-masing yang bersumber dari pemikiran-pemikiran atau dari suatu kebiasaan yang terkait dengan lingkungan dimana kelompok masyarakat itu berada.

Kehidupan kelompok masyarakat di Desa Kwala Gunung tidak terlepas dari kebudayaannya, sebab kebudayaan ada karena adanya masyarakat pendukungnya. Salah satu maksud dari kebudayaan adalah adat istiadat yang berhubungan erat dengan aspek kehidupan masyarakat, seperti halnya dengan seni. Kehadiran kesenian bukan hanya sebagai hiburan semata namun juga

      

(49)

merupakan ungkapan suatu kehidupan yang sangat sarat dengan makna dan simbol-simbol dari setiap suku di Desa Kwala Gunung, dengan demikian kesenian sebagai bagian dari kebudayaan harus mengandung keseluruhan pengertian nilai, norma, ilmu pengetahuan serta seluruh struktur-struktur sosial, religius ditambahkan segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas dari suatu masyarakat. Sehingga masyarakat dari suku manapun dapat menghasilkan kebudayaan sebagai saran hasil karyadan cipta yang harus memiliki kesanggupan untuk mengungkapkan atau mengabdikan pola kehidupan masyarakat yang mencerminkan identitas tata nilai budaya pada jamannya untuk dilestarikan dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Hubungan antara kesukuan dan kemenangan kepala desa di Desa Kwala Gunung dalam hal ini dipengaruhi pengikat identitas sosial. Identitas sosial berdasarkan pada pemahaman tindakan manusia dalam konteks sosialnya. Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui posisi siapa kita dan siapa mereka, siapa diri (self) dan siapa yang lain. Dalam perkembanganya, identitas sosial banyak

memberikan pemahaman tentang pembentukan diri sosial yangpositif. Pembentukan diri sosial ini memiliki peranan yang sangat penting. Konsep diri individu memperoleh eksistensinya jika dia sudah melebur dalam identitas kelompok. Bahkan secara dominan konsep diri dibentuk berdasarkan pada identitas kelompok. identitas ditentukan oleh pengetahuan individu tentang kategori sosial dan kelompok sosial.42

      

(50)

Masyarakat Jawa sangat kental dengan masalah tradisi dan budaya. Tradisi dan budaya Jawa hingga akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi dan budaya nasional di Indonesia. Nama-nama Jawa juga sangat akrab di telinga warga Desa Kwala Gunung, begitu pula jargon atau istilah-istilah Jawa. Hal ini membuktikan bahwa tradisi dan budaya Jawa cukup memberi warna dalam berbagai permasalahan di Desa Kwala Gunung, termasuk juga di berbagai desa di Indonesia. Di sisi lain, ternyata tradisi dan budaya Jawa tidak hanya memberikan warna dalam politik lokal, tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktek- praktek keagamaan. Masyarakat Jawa yang memiliki tradisi dan budaya yang banyak dipengaruhi ajaran dan kepercayaan Hindhu dan Buddha terus bertahan hingga sekarang, meskipun mereka sudah memiliki keyakinan atau agama yang berbeda, seperti Islam, Kristen, atau yang lainnya.

(51)

inilah yang merupakan lahan subur untuk tumbuhnya toleransi yang amat besar baik di bidang kehidupan beragama maupun di bidang-bidang yang lain.

Tradisi dan budaya itulah yang barangkali bisa dikatakan sebagai sarana pengikat orang Jawa di Desa Kwala Gunung yang memiliki status sosial yang berbeda dan begitu juga memiliki agama dan keyakinan yang berbeda. Kebersamaan di antara mereka tampak ketika pada momen-momen tertentu mereka mengadakan upacara-upacara (perayaan) baik yang bersifat ritual maupun seremonial yang sarat dengan nuansa keagamaan termasuk pemilihan Kepala Desa di Desa Kwala Gunung tahun 2015 yang lalu.

Agama, tradisi dan adat istiadat merupakan hal penting dalam kehidupan orang Melayu. Sangat pentingnya adat, sehingga memunculkan istilah “biar mati anak, asal jangan mati adat”, yang berarti anak atau manusia manapun pastinya

akan mati, tetapi kematian itu jangan menjadikan adat tidak berlaku. Hal tersebut dikarenakan bagi orang Melayu kematian adat dapat merusak tatanan kehidupan. Oleh sebab itu, adat diharapkan tidak bergantung pada hidup mati seseorang, tetapi tetap dipelihara oleh masyarakat yang memerlukannya.

(52)

Masyarakat Melayu dalam proses panjang perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang mereka alami. Akan tetapi, diluar itu masih ada aktor-aktor lain yang terlibat dalam konversi masyarakat suku Melayu mengarahkan mereka untuk melakukan perubahan. Aktor-aktor tersebut mewakili berbagai pihak terutama dalam politik dari tingkat desa. Eksistensi suku Melayu dalam perpolitikan di di Desa Kwala Gunung berjalan secara lambat namun pasti. Dominasi etnis Melayu atas etnis Jawa terjadi karena akulturasi budaya dan mendapat pengaruh dari luar.

Perubahan yang dimaksud dalam hal ini bukan hanya perubahan yang terjadi pada masyarakat suku Melayu dalam berbagai aspek kehidupannya seperti agama, adat istiadat, dan aspek kultural lainnya, tetapi juga perubahan pola ekonomi dan pola relasi antar aktor yang terlibat dalam proses panjang konversi yang sudah berjalan sejak lama dan bertahap tersebut. Dengan demikian, apa yang dialami oleh masyarakat Melayu ini merupakan bentuk dari perubahan sosial yang berjalan secara lambat atau perlahan (evolusi)43.

Eksistensi suku Melayu sebenarnya sudah berjalan sejak lama dan secara perlahan melalui proses konversi terhadap masyarakat Jawa di Desa Kwala Gunung di berbagai sisi kehidupan mereka, mulai dari pendaratan, Islamisasi, dan pendidikan tanpa menimbulkan konflik atau perlawanan yang masif.

Konversi itu adalah bagian dari proses perubahan sosial yang sudah pasti terjadi pada masyarakat suku Melayu yang hidup di tengah-tengah lingkungan dan masyarakat yang mengalami perubahan sangat cepat di Desa Kwala Gunung.

      

(53)

Apalagi Islam itu sendiri bukanlah hal baru bagi meraka, bahkan sudah menjadi bagian dari budaya dan tradisi masyarakat Melayu, sehingga ketika pola-pola relasi lainnya sudah berubah maka konversi agama hanya akan mengikuti saja proses perubahan tersebut.

(54)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Demokrasi merupakan sebuah kondisi yang dianggap paling ideal dari sebuah negara yang dicita-citakan oleh banyak kalangan, tetapi upaya menuju demokrasi yang ideal merupakan sebuah proses yang tidak mudah. Proses menuju demokrasi inilah yang disebut sebagai demokratisasi. Demokratisasi biasanya diawali dengan kebebasan (liberalisasi). Dalam tahap ini media massa diberi kelonggaran sehingga tidak menghadapi ancaman pembredelan, masyarakat cukup leluasa melakukan partisipasi sosial melalui organisasi dan wahana lain, serta mulai berkembang penghargaan terhadap keragaman antar kesukuan (pluralisme).1

Selain lembaga-lembaga negara, terdapat pula lembaga politik lain seperti partai politik. Partai politik adalah organsasi yang terdiri atas sekelompok orang yang mewakili tujuan sama dan dibentuk untuk memperjuangkan tujuan melalui kekuasaan politik. Partai politik terlibat dalam persaingan untuk memegang kekuasaan politik. Pada dasarnya, politik berkenaan dengan kehidupan publik, yaitu kehidupan yang berkaitan dengan orang kebanyakan atau rakyat. Masyarakat madani (civil society) merupakan wujud masyarakat yang memiliki keteraturan hidup dalam suasana perikehidupan yang mandiri, berkeadilan sosial,

      

1 Ahmad Nadir. 2005. Pilkada Lansung dan Masa Depan Demokrasi,Averroes Perss, Malang. Hal.

(55)

dan sejahtera. Masyarakat madani mencerminkan sifat kemampuan dan kemajuan dalam pemerintahan.

Demokratisasi politik di ranah lokal dalam waktu sepuluh tahun ini telah membuat persaingan memperebutkan kekuasaan politik menjadi semakin kuat. Mobilisasi jaringan kekerabatan, etnis dan keagamaan kemudian diciptakan untuk memenangkan persaingan politik tersebut. Setiap pemilihan baik itu gubernur, bupati maupun kepala desa mempertimbangkan keterwakilan etnis dan agama, sehingga power sharing antara kumpulan etnis dominan selalu mewarnai dalam setiap proses pemilihan kepemimpinan politik.2

Desentralisasi kemudian dianggap menjadi salah satu solusi dalam menyelesaikan permasalahan yang ada di daerah. Tujuan utama desentralisasi adalah mengurangi beban pemerintah pusat dalam menangani urusan domestik sehingga terfokus untuk merespon berbagai kecenderungan global dan berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang lebih strategis. Desentralisasi juga bertujuan agar pemerintah daerah mengalami proses pemberdayaan yang signifikan dan bertanggung jawab dengan tidak lagi berada dibawah dominasi pemerintah pusat. Pemerintah pusat hanya berperan melakukan supervisi, memantau, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah.3

Sebagai koreksi terhadap kegagalan sistem sentralisasi dan uniformisasi pemerintah pusat dengan keluarnya kebijakan desentralisasi untuk otonomi daerah yang dalam visi otonomi daerah yakni dibidang politik, ekonomi, sosial budaya.

      

2Bagir Manan. 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,FH UII Press, Yogyakarta. Hal.25.

3Donni Edwin dkk. 2005. Pilkada Langsung Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance,

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh kesadaran politik terhadap partisipasi politik masyarakat pada kegiatan pemilihan kepala desa tahun

Studi mengenai Persepsi Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung yang disertai dengan perbincangan mengenai Undang-undang No.32 Tahun 2004

Sesuai dengan judul skripsi mengenai Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Minahasa Selatan Tahun 2010, maka definisi Partisipasi politik

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran lembaga swadaya masyarakat Seven Gab dalam menyelesaikan masalah yang terkait dengan perubahan peraturan daerah mengenai

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran lembaga swadaya masyarakat Seven Gab dalam menyelesaikan masalah yang terkait dengan perubahan peraturan daerah mengenai

Menurut sebagian besar masyarakat Desa Baturijal Hulu bahwa menurutnya pemilihan kepala daerah dinilai kurang penting, hal ini dikarenakan alasan bahwa pemilihan

Sesuai dengan judul skripsi mengenai Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Minahasa Selatan Tahun 2010, maka definisi Partisipasi politik

Pemilihan Kepala Desa Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan, dapat dijelaskan mengenai budaya politik masyarakat Sedulur Sikep dalam pemilihan kepala desa tahun 2019 di Desa