• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna ziarah sebagai media komunikasi transendental : (studi etnografi komunikasi mengenai ziarah di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Makna ziarah sebagai media komunikasi transendental : (studi etnografi komunikasi mengenai ziarah di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang)"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

DATA PRIBADI

Nama : Hadi Permana

NamaPanggilah : Hady, Dhy

Tempat / tglLahir : Purwakarta, 18 Maret 1990 JenisKelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status : Belum Menikah Nama Ayah : Asep Mulyana

NamaIbu : Lika K

AlamatAsal : Kp. Sawah Leuga Rt. 01/01 Ds. Pasanggrahan Kec. Bojong Kab. Purwakarta Prov. Jawa Barat

Telepon : 08562 44144 22

PENDIDIKAN

SD Negeri 2 Pasanggrahan, Tahun 1996 - 2002

SMP Negeri 1 Wanayasa, Tahun 2002 - 2005

SMA Negeri 1 Wanayasa, Tahun 2005 - 2008

(5)

PENDIDIKAN NON FORMAL BERSERTIFIKAT

Table Manner di Hotel Banana Inn Hotel & SPA StiabudhiTahun 2009

Mentoring Agama Islam

Seminar Bedah Buku Komunikasi yang dilaksanakan di UNIKOM

Study Tour Mata Kuliah Media Massa

Seminar Satu Jam Bersama si Cepot (Mata KuliahEkonomi)

EPT Indonesia Universiti Of Computer English Department

Sminar Strategi Mendidik Anak dalam Era Globalisasi (GGM) &Pemuda Pelopor Pembangunan

Seminar “Road to Success of a Movie Maker”

PENGALAMAN ORGANISASI

PASKIBRA KECAMATAN WANAYASA TAHUN 2005 – 2008

SENIOR KEHORMATAN PMR SMA 1 WANAYASA TAHUN 2007

PANITIA PENGIBARAN BENDERA 17 AGUSTUS TAHUN 2008

PANITIA STUDY TOUR MEDIA HUMAS 7 MASSA UNIKOM TAHUN 2010

KETUA ACARA MARKETING HUMAS UNIKOM TAHUN 2010

KARANG TARUNA DESA PASANGGRAHAN

PRESTASI YANG PERNAH DIRAIH JUARA 1 TENIS MEJA JUARA 1 BOLA VOLI

(6)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Kehumasan

Oleh : Hadi Permana NIM. 41808985

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI HUMAS FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Alhamdulillah Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT dengan segala rahmat dan karunia – Nya pada akhirnya Peneliti dapat membuat dan menyelesaikan Skripsi dengan lancar.

Ada pun tujuan dari Penyusunan Skripsi ini adalah sebagai bukti bahwa penulis telah melaksanakan penelitian sebagai syarat menempuh ujian sarjana pada program studi ilmu komunikasi konsentrasi kehumasan.

Dalam Penyusunan Skripsi ini penulis berharap semoga penelitian yang akan dilakukan ini bisa menjadi tambahan pengetahuan bagi banyak penulis khususnya dan terutama bagi para pembaca. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada Ibunda dan Ayahanda Tercinta dan peneliti memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang sudah membantu penulis dalam Penyusunan Skripsi ini. Dengan segala kerendahan hati, saya sebagai penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Yang Terhormat :

(8)

vii

kegiatan perkuliahan maupun saat mengurus berbagai perizinan dan yang telah banyak sekali memberikan arahan, waktu dan tempat untuk membimbing penulis dari mulai bimbingan hingga penyusunan . Terimakasih juga atas segala nasehat dan dorongan yang membuat penulis tidak henti-hentinya berjuang dan terus semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. yang cukup membantu kelancaran penulis dalam menyelesaikan usulan penelitian ini, serta banyak memberikan bimbingan, arahan dan nasehatnya agar penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik.

3. Yth. Melly Maulin P, S.Sos., M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi, yang telah memberikan ilmunya, nasehat, motivasi, arahan, semangat hingga proses penelitian selesai.

(9)

viii

5. Yth. Ibu Ratna W., A.Md., selaku sekretariat Dekan FISIP, Ibu Astri Ikawati., A.Md,.Kom., dan Ibu Rr. Sri Intan Fajarini, S.I.Kom Selaku Sekretariat Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNIKOM, yang telah membantu kelancaran proses administrasi skripsi penulis dari pra hingga pasca skripsi.

6. Bapak Guru Jojo selaku ketua pengurus pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang yang telah memberikan perizinanya bagi peneliti.

7. Pak Sail selaku pengurus pemakaman Nangka Beurit, yang telah meluangkan waktunya bagi peneliti.

8. Keluarga Tercinta yang sudah memberikan dorongan baik itu materil maupun immateril. Thanks for all Ibu dan Bapak, selaku orang tua penulis yang sudah banyak memberikan supportnya, doanya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini Love You.

9. My Brother “Abib Pazua” atas support dan kontribusinya meminjamkan computer dan cannon’nya..Nuhun pisan…“Yuli Bayu Atuti”. Walaupun tiap malem suka,ganggu konsentrasi,,,but, I Love U So Much… Kecerewetanmu adalah motivasi bagi aku..:)

(10)

ix datang.

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan usulan penelitian ini. Penulis berharap semoga usulan penelitian ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca sekalian umumnya.

Bandung, Februari 2013

(11)

x

DAFTAR ISI

Hal

LEMBAR PENGESAHAN ...i

SURAT PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PERSEMBAHAN ... iii

ABSTRAK ...iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ...vi

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABAL ...xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah 1.2.1. Pertanyaan Makro ... 13

1.2.2. Pertanyaan Mikro ... 14

1.3. Kegunaan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian ... 14

1.3.2. Tujuan Penelitian ... 14

(12)

xi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka ... 19 2.1.1. Tinjauan Tentang Penelitian Sebelumnya

2.1.1.1. Tinjauan Penelitian ... 19 2.1.2. Tinjauan Tentang Komunikasi

2.1.2.1. Pengertian Komunikasi ... 21 2.1.2.2. Unsur Komunikasi ... 23 2.1.2.3. Tujuan Komunikasi ... 24 2.1.3.Tinjauan Tentang Etnografi Komunikasi

2.1.3.1. Sejarah Kajian Etnografi Komunikasi ... 24 2.1.3.2. Definisi Etnografi ... 26 2.1.3.3. Metode Etnografi Untuk Penelitian Komunikasi ... 28 2.1.4. Tinjauan Tentang Komunikasi Transendental

2.1.4.1. Pengertian Komunikasi Transendental ... 30 2.1.4.2. Hakikat Komunikasi Transendental ... 30 2.1.5.Tinjauan Tentang Interaksi Simbolik

2.1.5.1. Sejarah Interaksi Simbolik ... 32 2.1.6.Tinjauan Tentang Simbol

(13)

xii

2.1.7.Tinjauan Tentang Kebudayaan

2.1.7.1. Pengertian Kebudayaan ... 49

2.1.7.2. Unsur-unsur Kebudayaan ... 50

2.1.8.Tinjauan Tentang Komunikator 2.1.8.1. Pengertian dan Karakteristik Komunikastor ... 65

2.1.8.2. Syarat-syarat Komunikator ... 67

2.1.8.3. Tugas Komunikator ... 70

2.1.9.Tinjauan Tentang Ziarah 2.1.9.1. Sejarah Ziarah ... 73

2.1.9.2. Pengertian Ziarah ... 74

2.1.9.3. Tata Cara Ziarah ... 75

2.1.9.4. Fungsi Ziarah ... 76

2.1.9.5. Macam-macam Ziarah ... 77

2.1.10.Tinjauan Tentang Pemakaman 2.1.10.1. Pengertian Pemakaman ... 78

2.1.11.Tinjauan Tentang Media 2.1.11.1. Pengertian Media ... 79

2.1.11.2. Jenis-jenis Media ... 80

2.1.11.3. Fungsi Media ... 81

2.2. Kerangka Pemikiran 2.2.1. Kerangka Teoritis ... 81

(14)

xiii

3.1.1.1. Sejarah Makam Nangka Beurit ... 95

3.2. Metode Penelitian 3.2.1. Desain Penelitian ... 101

3.2.2. Teknik Pengumpulan Data 3.2.2.1. Studi Pustaka ... 110

3.2.2.2. Studi Lapangan ... 112

3.2.3. Teknik Penentuan Informan 3.2.3.1. Informan Penelitian ... 115

3.2.3.2. Informan Kunci (Key Informan) ... 117

3.2.4. Teknik Analisis Data ... 117

3.2.5. Teknik Pengujian Keabsahan Data ... 119

3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.3.1. Lokasi Penelitian ... 121

3.3.2. Waktu Penelitian ... 122

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Identitas Informan dan Informan Kunci 4.1.1. Informan Penelitian ... 129

(15)

xiv

4.2.1.Situasi Simbolik Makna Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit

Kabupeten Subang ... 138 4.2.1.1.Objek Fisik Benda ... 139 4.2.1.2.Objek Sosial (Perilaku Manusia) ... 143 4.2.2. Produk Interaksi Sosial Makna Ziarah Sebagai Media

Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit

Kabupeten Subang ... 146 4.2.3. Interpretasi Makna Ziarah Sebagai Media Komunikasi

Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupeten

Subang ... 147 4.2.3.1.Tindakan Tertutup ... 148 4.2.3.2.Tindakan Terbuka ... 150 4.3.Pembahasan Hasil Penelitian

4.3.1. Situasi Simbolik Makna Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupeten Subang ... 152 4.3.1.1.Objek Fisik Benda ... 152 4.3.1.2.Objek Sosial Perilaku Manusia ... 156 4.3.2. Produk Interaksi Sosial Makna Ziarah Sebagai Media

Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit

(16)

xv BAB V PENUTUP

5.1.Kesimpulan ... 168

5.2.Saran ... 171

5.2.1. Saran Bagi Pengurus Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang ... 171

5.2.2.Saran Bagi Peneliti Selanjutnya ... 171

DAFTAR PUSTAKA ... 172

(17)

xvi

DAFTAR TABEL

Hal Tabel 3.1 Krangka penelitian pendekatan etnografi 105

Tabel 3.2 Data Informan Penelitian 116

Tabel 3.3 Informan Kunci 117

Tabel 4.1 Jadwal Wawancara Informan 129

(18)

xvii

Gambar 1.1. Makam Arya Wangsa Goparan 5

Gambar 4.1. Informan Penelitian (Dedi) 130

Gambar 4.2. Informan Penelitian (Rachman A) 131

Gambar 4.3. Informan Penelitian (Asepudin) 132

Gambar 4.4. Informan Penelitian (Nurdin) 133

Gambar 4.5. Informan Penelitian (Suherman) 134

(19)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Hal Lampiran 1 Surat Penugasan Menjadi Pembimbing Skripsi 175

Lampiran 2 Berita Acara Bimbingan Skripsi 176

Lampiran 3 Lembar Revisi Seminar Usulan Penelitian 177

Lampiran 4 Surat izin penelitian 178

Lampiran 5 Pedoman Wawancara Informan 179

Lampiran 6 Pedoman Wawancara Informan Kunci 180

Lampiran 7 Pedoman Observasi 182

Lampiran 8 Transkip Observasi 183

Lampiran 9 Identitas Informan dan Informan Kunci 186

Lampiran 10 Hasil Wawancara Informan 192

Lampiran 11 Hasil Wawancara Informan Kunci 208

(20)

172

Ardianto, Elvinaro. 2011. Metodologi Penelitian Untuk Public Relations. Bandung : Remaja Rosdakarya Bandung.

Creswell, J. W. 1998. Qualitatif Inquiry and Research Design. Sage Publications, Inc: California.

Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Effendy, Onong. Uchjana.1993 Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Effendy, Onong. Uchjana. 2006. Ilmu Komunikasi Teori Dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Gunadi, Y.S. 1998. Himpunan Istilah Komunikasi. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia

Herlina, Nina. 2002. Sejarah dan Budaya Politik. Bandung : CV. Satya Historika. James, Dananjaya. 1988. Manfaat Media Tradisional Untuk Pembangunan Dalam

Kebudayaan Dan Pembangunan Sebuah Terapan Terhadap Antropologi

Terapan Di Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Koentjaraningrat, 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT. Asdi Mahasatya.

(21)

173

Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Mulyana, Deddy. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi.

Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif (cetakan keempat belas).

Bandung: PT Remaja Rosda karya.

Rakhmat, Jalaluddin. 2002. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : PT. Rosdakarya.

Sugiyono. 2007. Memahani Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono, 2010. Metodeologi Penelitian Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sobur, Alex. 2006. Semiontika Komunikasi. Bandung : Pt. Remaja Rosdakarya Offset.

Sember Lain

Ma’mun, Asep 2007. Persepsi Masyarakat terhadap Ziarah Kubur: Studi

Kasus atas Masyarakat Aeng Panas. Institut Dirasat Islamiyah Al-Amien (IDIA) Prenduan Sumenep Madura.

Internet Searching

http://de-kill.blogspot.com/2009/04/kebudayaan-ziarah-kubur.html (Kamis, 8-Nov-2012 Pukul 20.00).

(22)

http://arsipmoslem.wordpress.com/2007/06/07/cara-berziarah-kubur-sesuai-dengan-tuntunan-nabi/ (Kamis, 8-Nov-2012 Pukul 23.00)

http://gudangvirtual.blogspot.com/2011/07/ziarah-kubur.html

http://an-nashihah.com/?p=20 (Sabtu, 10-Nov-2012 Pukul 19.00)

http://ghinarahmatina96.blogspot.com/ (Minggu, 11-Nov-2012 Pukul 22.00)

(23)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan (ide,gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi diantara keduaanya. Pada umumnya, komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Melalui komunikasi, sikap dan perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat dipahami oleh pihak lain.

Komunikasi merupakan kebutuhan dasar atau primer manusia. Komunikasi merupakan sarana interaksi antar manusia yang efektif. Dinyatakan berinteraksi jika mereka yang terlibat masing-masing melakukan aksi dan reaksi. Aksi dan reaksi yang dilakukan oleh manusia disebut tindakan komunikasi. Tindakan komunikasi menyangkut perasaan, pikiran dan perbuatan manusia.

Adapun definisi komunikasi menurut Everett M. Rogers, seorang pakar sosiologi Pedesaan Amerika membuat definisi :

“Komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi terhadap satu sama lain yang pada gilirannya akan tiba saling pengertian” (Rogers dan Kincaid dalam Cangara, 2004 : 19).

(24)

kita perlu berhubugan, bergaul dengan sesama manusia lain. Itu merupakan sisi dinamis dari manusia. Hubungan yang dilakukan atau dijalin setiap saat merupakan kegiatan berkomunikasi. Dalam ilmu komunikasi dikenal dengan istilah komunikasi yang dilakukan antara manusia dengan Tuhannya, dalam ilmu komunikasl disebut komunikasi transendental dan komunikasi ini dalam istilah Islam dikenal dengan sebutan hablu minnallah dan habluminannas.

Komunikasi transendental memang tidak pernah dibahas secara luas, cukup dikatakan bahwa komunikasi transendental adalah komunikasi antara manusia dengan Tuhan, dan karenanya masuk dalam bidang agama. Dedy Mulyana, pakar ilmu komunikasi, mengatakan bahwa, bentuk komunikasi ini paling sedikit dibicarakan dalam disiplin ilmu komunikasi, tetapi justru bentuk komunikasi inilah yang terpenting bagi manusia. Karena keberhasilan manusia melakukannya tidak saja menentukan nasibnya di dunia tetapi juga di akhirat.

(25)

3

mata dan menjelaskan pula tentang alam barzah, alam akhirat, surga dan neraka sebagai alam ghaib.

Makna komunikasi transendental biasa diartikan proses membagi ide, informasi dan pesan dengan orang lain pada tempat dan waktu tertentu serta berhubungan erat dengan hal-hal yang bersifat transenden (metafisik dan pengalaman supranatural). Hingga komponen komunikasi seperti siapa (what) bisa bersifat metafisik, isi (say what) juga berhubungan dengan metafisik, demikin juga dengan kepada siapa (to whom) dan media perantara (chanel) serta efeknya.

Pemakaman Nagka Beurit atau Makam Aria Wangsa Goparana yang terletak di Blok Karang Nangka Beurit, Desa Sagalaherang Kaler, Kecamatan Sagalaherang. Karena berada di Blok Karang Nangka Beurit, maka situs ini lebih dikenal dengan sebutan Keramat Nangka Beurit. Komplek makam berada di ujung kampung dekat areal persawahan tepatnya pada koordinat 06°39‟59” Lintang Selatan dan 107°39‟05” Bujur

Timur.

(26)
(27)

5

Arya Wangsa Goparana adalah tokoh penyebar Islam di Sagalaherang. Tokoh ini merupakan putera Sunan Wanaperi, raja kerajaan Talaga. Di Talaga, Arya Wangsa Goparana merupakan orang pertama yang memeluk Islam. Ketika itu ia mendapat pelajaran dari Sunan Gunungjati. Pada tahun 1530 ia mengadakan perjalanan ke arah barat dalam rangka menyebarkan agama Islam. Wilayah yang diislamkannya meliputi Subang, Pagaden, Purwakarta, Cianjur, Sukabumi, dan Limbangan. Ketika itu kawasan ini merupakan wilayah kerajaan Sumedang Larang. Arya Wangsa Goparana menurunkan lima orang putera yaitu Entol Wangsa Goparana, Wiratanudatar, Yudanegara, Cakradiparana, dan Yudamanggala. Putera Arya Wangsa Goparana ini kemudian menyebar ke daerah Limbangan, Cijegang (Cikalongkulon), Cikundul dan tempat-tempat lain. Di tempat yang baru, keturunan Arya Wangsa Goparana banyak yang menjadi orang penting seperti bupati dan ulama besar.

Gambar 1.1.

Makam Arya Wangsa Goparana

(28)

Makam Keramat Nangka Beurit merupakan salah salah satu fenomena warisan budaya yang keadaannya masih terjaga sampai saat ini, dan keadaannya dijadikan sebagai tempat media ziarah bagi pengunjung yang datang ke pemakaman keramat ini.

Seperti yang telah dijelaskan oleh Boove dan Thill, bahwa definisi budaya adalah :

system sharing atas symbol-simbol kepercayaan, sikap, nilai-nilai, harapan dan norma-norma untuk berperilaku. Dalam hal ini, semua anggota dalam budaya memiliki asumsi yang serupa tentang bagaimana seseorang berpikir, berperilaku dan berkomunikasi serta cenderung untuk melakukan berdasarkan asumsi-asumsi tersebut”.

Seorang Esposito dalam karya fontumentalnya (Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern). Menyatakan hasil risetnya tentang ziarah kubur sebagai hal yang pernah dilakukan umat islam zaman dahulu dan memiliki kecenderungan dilakukan sampai saat ini oleh golongan Islam yang masih menyakini tentang wasiah atau perantara orang-orang suci (Esposito, 2001:196)”. Umumnya umat Islam yang mempercayai hal itu dalam hidupnya dalam waktu tertentu berkunjung ke pemakaman tertentu yang dianggap sebagai orang suci semasa hidupnya. Seperti halnya makam Nangka Beurit Kabupaten Subang, yang sering dikunjungi oleh masyarakat untuk melakukan tradisi berziarah.

(29)

7

penduduknya dengan berbagai motivasi dan tujuan yang tidak lepas dari pandangan hidup masyarakat pada umumnya. Dalam pandangan masyarakat yang sering melakukan ziarah kubur, diantaranya bahwa roh orang suci itu memiliki daya melindungi alam. Berikut merupakan padangan masyarakat mengenai ziarah yang telah diperjelas oleh Koentijaraningarat :

“Orang suci yang meninggal, arwahnya tetap memiliki daya sakti, yaitu dapat memberikan pertolongan kepada orang yang masih hidup sehingga anak cucu yang masih hidup senantiasa berusaha untuk tetap berhubungan dan memujanya. (Koentijaraninggrat, 1984:185)”.

Hal ini desebabkan dalam pandangan masyarakat umumnya roh yang meninggal itu bersifat abadi. Pada pernyataan tersebut peneliti memfokuskan objek pemakaman Nangka Beurit sebagai tempat berziarah, yang dijadikan sebagai media transendental. Fenomena ini dijadikan sebagai kebudayaan bagi masyarakat yang melakukan ritual ziarah dengan tujuan mendo‟akan, adanya tujuan atau harapan, merupakan peribadatan kepada Tuhan dan sebagai budaya yang turun-temurun.

(30)

berikutnya. Pesan-pesan tersebut ditransmisikan melalui simbol-simbol bahasa, warna, gerak, dan sebagainya yang memiliki makna.

Makna yang terekspresikan secara langsung dapat diamati lewat bahasa, sedangkan yang tersembunyi bisa diamati melalui kata-kata secara tidak langsung dan juga melalui perilaku serta dari sumber yang diamati seperti simbol-simbol. Menurut James P. Spradley (1997 : 121) dan dikutip oleh Alex Sobur dalam buku “Semiotika Komunikasi”, bahwa: “Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol.” (Sobur, 2006 : 177)

Menurut Clifford Geertz (1922 : 51) dan dijelaskan kembali oleh Alex Sobur dalam buku “Semiotika Komunikasi”, bahwa: “Makna hanya dapat „disimpan‟ di dalam simbol.” (Sobur, 2006 : 177)

Sekalipun demikian, didalam setiap masyarakat, orang tetap menggunakan sistem makna yang kompleks ini untuk mengatur tingkah laku mereka, untuk memahami diri mereka sendiri dan orang lain, serta untuk memahami dunia tempat mereka hidup.

Sistem simbol dan makna tersebut dapat diaplikasikan melalui interaksi simbolik. Esensi interaksi simbolik menurut Mulyana dan dikutip dalam bukunya Alex Sobur yang berjudul “Semiotika

(31)

9

yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.” (Sobur,

2006 : 197)

Sedangkan menurut Engkus Kuswarno dalam bukunya

“Etnografi Komunikasi” mengatakan bahwa:

“Karakteristik dasar ide ini adalah suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu. Interaksi yang terjadi antara individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Realitas sosial merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi pada beberapa individu dalam masyarakat. Interaksi yang dilakukan antar individu itu berlangsung secara sadar dan berkaitan dengan gerak tubuh, vokal, suara, dan ekspresi tubuh, yang kesemuanya itu mempunyai maksud dan disebut dengan simbol.” (Engkus Kuswarno, 2011 : 22)

Adapun menurut teoritisi interaksi simbolik yang dipaparkan dalam buku “Metodologi Penelitian Kualitatif” karya Deddy Mulyana bahwa:

“Kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial.” (Deddy Mulyana, 2010 : 71)

(32)

Dalam masyarakat, kebudayaan sering diartikan sebagai the general body of the arts, yang meliputi seni sastra, seni musik, seni pahat,

seni rupa, ilmu pengetahuan dan filsafat, atau bagian-bagian yang indah dari kehidupan manusia, sedangkan menurut para ahli kebudayaan diartikan sebagai berikut :

Pengertian paling tua atas kebudayaan diajukan oleh Edward Burnett Tylor dalam karyanya berjudul “Primitive Culture” dan dikutip oleh Alo Liliweri, dalam bukunya yang berjudul “Dasar-Dasar

Komunikasi Antar Budaya” yang menyatakan bahwa: “Kebudayaan

adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat.” (Liliweri, 2004 : 107).

Menurut Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi dalam buku yang berjudul “Sosiologi Suatu Pengantar” karya Soerjono Soekanto, kebudayaan didefinisikan sebagai berikut :

“Kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan manusia untuk menguasai alam sekitar, agar kekuatan serta hasil dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat.” (Soerjono Soekanto, 2007 : 151)

(33)

11

“Kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah. Kebudayaan adalah sistem dari konsep-konsep yang diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui mana manusia berkomunikasi, mengekalkan dan memperkembangkan pengetahuan tentang kehidupan ini dan bersikap terhadap kehidupan ini.” (Alex Sobur, 2006 : 178)

Kearifan terlahir dari nilai-nilai dan perilaku dalam tatanan kehidupan masyarakat dalam proses yang tidak singkat dan keberlangsungannya dimediakan secara turun temurun. Kearifan lokal (local wisdom) merupakan kebijaksanaan yang dipraktekkan dalam berkehidupan masyarakat di suatu kawasan dengan menerapkan pengetahuan-pengetahuan lokal sesuai dengan watak dan perilaku masyarakatnya. Kearifan lokal ini disebut juga sebagai kearifan tradisional. Menurut Nina H. Lubis, dalam bukunya “Sejarah dan Budaya

Politik”, Kearifan tradisional didefinisikan sebagai berikut :

"Kearifan tradisional atau kearifan lokal adalah sesuatu yang berakar pada masa lalu dalam kehidupan tradisional lokal yang dijadikan rujukan tatanan kehidupan dan kebudayaan lokal masing-masing. Setiap kelompok memiliki kearifan lokal tersendiri untuk memelihara kesatuan integritas dan juga jati diri kelompok atau kaumnya. Kearifan tradisional artinya wawasan atau cara pandang menyeluruh yang bersumber dari tradisi kehidupan.” (Nina H. Lubis, 2002 : 221)

Ajip Rosidi dalam bukunya yang berjudul “Kearifan Lokal”, mengatakan bahwa istilah “Kearifan Lokal” merupakan terjemahan dari

“Local Genius”. “Local Genius” sendiri diperkenalkan pertama kali oleh

(34)

kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kebudayaan itu berhubungan.” (Rosidi, 2011 : 29)

Bertolak dari penjelasan secara keseluruhan yang telah dikemukakan di atas. peneliti menyadari bahwa pentingnya keberadaan kebudayaan dalam suatu daerah, karena kebudayaan merupakan fakta kompleks yang selain memiliki kekhasan pada batas tertentu juga memiliki ciri yang bersifat universal dan menyangkut semua aspek kehidupan manusia yang disampaikan melalui suatu media ataupun interaksi, tetapi dewasa ini terdapat kecenderungan memudarnya nilai-nilai budaya pada setiap segi kehidupan masyarakat, khususnya budaya ziarah yang dijadikan sebagai media komunikasi transcendental.

Pada zaman dahulu orang menganggap ziarah sebagai kunjungan yang merujuk pada aktivitas mengunjungi pemakaman dengan maksud mendo‟akan bagi yang sudah meninggal dan mengingat akan kematiannya.

(35)

13

Spradley menjelaskan focus perhatian etnografi adalah pada apa yang individu dalam suatu masyarakat lakukan (prilaku), kemudian apa yang mereka bicarakan (bahasa), dan trakhir apakah ada hubungan antara prilaku dengan apa yang seharusnya dilakukan dalam masyrakat tersebut, sebaik apa yang mereka buat atau mereka pakai sehari-hari (artifak).

Disini peneliti tertarik untuk dapat meneliti mengenai Makna Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental (Studi Etnografi Komunikasi Mengenai Ziarah di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang), dimana disini peneliti ingin memberikan penjelasan mengenai adanya suatu tradisi ziarah yang sering dilakukan oleh masyarakat sebagai budaya yang dijadikan tradisi komunikasi transendental bagi yang berkunjung ke pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang.

1.2. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti dapat merumuskan masalah berdasarkan kerangka pemikiran sebelumnya, yakni :

1.2.1. Pertanyaan Makro

Berdasarkan masalah diatas maka didapat pertanyaan makro dalam penelitian ini. Yaitu sebagai berikut :

“Bagaimana Makna Ziarah Sebagai Media Komunikasi

(36)

1.2.2. Pertanyaan Mikro

Pada penelitian ini, peneliti merinci secara jelas dan tegas dari fokus pada rumusan masalah yang masih bersifat umum dengan subfokus-subfokus terpilih dan dijadikannya sebagai Pertanyaan Mikro. Dimana Pertanyaan Mikro akan dijabarkan seperti dibawah ini :

1. Bagaimana Situasi Simbolik Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang? 2. Bagaimana Produk Interaksi Sosial Ziarah Sebagai Media

Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang?

3. Bagaimana Interpretasi Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang?

1.3. Kegunaan Penelitian

1.3.1. Maksud Penelitian

Adapun disini peneliti memiliki maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menguraikan, mengenai Makna Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang.

1.3.2. Tujuan Penelitian

(37)

15

1. Untuk Mengetahui Situasi Simbolik Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang.

2. Untuk Mengetahui Produk Interaksi Sosial Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang.

3. Untuk Mengetahui Interpretasi Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang.

1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penulis berharap agar penelitian ini dapat menjadi bahan pengembangan ilmiah terutama bagi ilmu komunikasi khususnya mengenai makna ziarah sebagai media komunikasi transendental serta pengembangan ilmiah bagi ilmu sosial akan keberadaan budaya yang ada dalam sosialitas kita, yang salah satu contoh nyatanya mengenai ziarah sebagai media komunikasi.

1.4.2. Kegunaan Praktis

(38)

a) Kegunaan untuk Peneliti

Dengan adanya penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dan kegunaannya bagi peneliti. Dijadikan, sebagai pengalaman dan pembelajaran dalam mengaplikasikan pemahaman mengenai Ilmu Komunikasi secara umum dan Komunikasi Transendental.

b) Kegunaan untuk Akademik

Adapun manfaat dan kegunaannya bagi Akademisi. Dijadikan, sebagai literature bagi mahasiswa secara umum, dan bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi secara khusus, terutama bagi para peneliti selanjutnya dengan kajian penelitian yang sama. c) Kegunaan untuk Masyarakat

Dapat memberikan bahan masukan yang positif bagi masyarakat baik dari segi informasi ataupun dari segi evaluasi. Khususnya untuk yang melakukan Ziarah di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang.

1.5. Sistematika Penulisan

(39)

17

BAB I PENDAHULUAN

Pada Bab I peneliti menguraikan Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Pertanyaan makro, Pertanyaan mikro, Maksud dan Tujuan penelitian, Kegunaan penelitian, Lokasi dan waktu penelitian, Sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

(40)

BAB III OBJEK PENELITIAN

Pada bab ini peneliti memberikan gambaran tentang sejarah Makam Nangka Beurit Kabupaten Subang, Struktur organisasi yang ada di pemakaman. Tinjauan Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang, Tinjauan Ziarah secara Umum dan Khusus, Metode penelitian, Teknik pengumpulan data, Teknik penentuan informan, Teknik analisa data, serta Lokasi dan Waktu penelitian.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini peneliti mendeskripsikan mengenai informan, deskripsi hasil penelitian, dan deskripsi hasil penelitian mengenai “Makna Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang”. Di bab ini peneliti menjelaskan hasil penelitian yang terdiri dari gambaran data yang didalamnya mengelompokkan data-data yang telah didapat oleh peneliti, dan menganalisa data dilakukan peneliti dengan memperoleh hasil wawancara peneliti dengan informan dan key informan penelitian.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(41)

19 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Tinjauan Penelitian Sebelumnya 2.1.1.1. Tinjauan Penelitian

Dalam penelitian skripsi Asep Ma’mun, 2007. Dengan

judul (Persepsi Masyarakat terhadap Ziarah Kubur: Studi Kasus atas Masyarakat Aeng Panas) Institut Dirasat Islamiyah Al-Amien (IDIA) Prenduan Sumenep Madura. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahwa ziarah kubur merupakan anjuran Rasulullah SAW. Penelitian ini memfokuskan pada tiga hal yaitu : (1) Bagaimana persepsi masyarakat terhadap ziarah kubur? (2) Apakah motivasi yang mendorong masyarakat melakukan ziarah kubur? (3) Bagaimanakah tata cara pelaksanaan ziarah kubur?.

(42)

cara pelaksanaan ziarah kubur ialah : (1) Bertindak sopan di area perkuburan, (2) Mendoakan si Mayit, (3) Mengucapkan salam dan (4) Menghadap kiblat.

Untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut, penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif lapangan dengan jenis penelitian studi kasus. Sumber data dalam penelitian ini adalah masyarakat Aeng Panas yang diambl lewat sampel. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi dan studi dokumentasi.Sedangkan analisis data adalah analisis tematik.

(43)

21

2.1.2. Tinjauan Tentang Komunikasi

2.1.2.1.Pengertian Komunikasi

Ilmu komunikasi, apabila diaplikasikan secara benar akan mampu mencegah dan menghilangkan konflik antarpribadi, antarkelompok, antarsuku, antarbangsa, dan antarras, membina kesatuan dan persatuan umat manusia penghuni bumi.

Pentingnya studi komunikasi karena permasalahan-permasalahan yang timbul akibat komunikasi.Manusia tidak bisa hidup sendirian.Ia secara tidak kodrati harus hidup bersama manusia lain, baik demi kelangsungan hidupnya, keamanan hidupnya, maupun demi keturunannya. Jelasnya, manusia harus hidup bermasyarakat. Masyarakat bisa berbentuk kecil, sekecil rumah tangga yang hanya terdiri dari dua orang suami istri, bisa berbentuk besar, sebesar kampung, desa, kecamatan, kabupaten atau kota, provinsi, dan Negara.

Dalam pergaulan hidup manusia dimana masing-masing individu satu sama lain beraneka ragam itu terjadi antara proses interaksi, saling mempengaruhi demi kepentingan dan keuntungan pribadi masing-masing. Terjadilah saling mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam bentuk percakapan.

Dalam “bahasa” komunikasi pernyataan dinamakan pesan

(44)

(communicator), sedangkan orang yang menerima pernyataan atau

pesan disebut komunikan (communicate). Untuk lebih jelasnya, maka komunikasi itu sendiri adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan. Jika dianalisis pesan komunikasi terdiri dari dua aspek.Pertama isi pesan (the content of the message), kedua lambang (symbol).Konkretnya isi pesan itu adalah pikiran atau perasaan, lambang adalah bahasa. (Effendy, 2003:27)

Adapun pengertian komunikasi secara etimologis berasal dari bahasa Latin “Communicatio”. Istilah ini bersumber dari kata

“Communis” yang berarti sama, sama disini maksudnya sama

makna atau sama arti. Jadi, komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan.

Jika tidak ada kesamaan makna antara kedua aktor komunikasi (Communicatin Actors) yakni komunikator dan komunikan. Dengan kata lain apabila seorang komunikan tidak mampu mengerti dan memahami pesan yang disampaikan oleh komunikator, maka komunikasi tidak akan terjadi.

(45)

23

akan berlangsung lancar dan sebaliknya, jika pengalaman komunikator tidak sama dengan pengalaman komunikan, maka akan timbul kesukaran untuk mengerti satu sama lain, dengan kata lain situasi yang terjadi tidak komunikatif atau misscommunication. (Effendy, 2003:24)

2.1.2.2. Unsur Komunikasi

Proses komunikasi adalah dimana proses terjadinya interaksi antara komunikator dan komunikan. Laswell dalam buku Onong Uchjana Effendy “Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi”, memberikan definisi atau pengertian komunikasi sebagai proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Dari definisi tersebut menunjukan bahwa komunikasi meliputi 5 unsur yakni :

1. Who (siapa) : siapa yang mengkomunikasikan atau siapa komunikator yang menyampaikan pesan/infromasi kepada komunikan.

2. Says What (berkata apa) : apa yang dikatakan oleh

komunkator kepada komunikan.

(46)

4. With What Effect (dengan efek apa) : efek apa yang ditimbulkan oleh isi pesan atau informasi yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. (Effendy, 2003:253)

Jadi, komunikasi adalah sebagai proses atau tindakan menyampaikan pesan (message) dari pengirim (sender) ke penerima (the receiver), melalui suatu medium (channel) yang biasanya mengalami gangguan (noise). Dalam definisi ini, komunikasi haruslah bersifat disengaja (intentional) serta membawa perubahan.

2.1.2.3.Tujuan Komunikasi

Adapun tujuan dari komunikasi itu sendiri menurut buku Onong Uchjana Effendy yang berjudul “Ilmu, Teori dan Filsafat

Komunikasi”,yaitu :

a. Mengubah sikap (to change the attitude)

b. Mengubah opini/pendapat/pandangan (to change the opinion)

c. Mengubah perilaku (to change the behavior) d. Mengubah masyarakat (to change the society)

(Effendy, 2003:55)

2.1.3 Tinjauan Tentang Etnografi Komunikasi 2.1.3.1. Sejarah Kajian Etnografi Komunikasi

(47)

25

Etnografi komunikasi (ethnography of communication) merupakan pengembangan dari Etnografi berbicara (Ethnography of speaking), yang dikemukakan oleh Dell Hymes pada tahun 1962

(Ibrahim, 1994:5). Pengkajian Etnografi komunikasi ditujukan pada kajian peranan bahasa dalam perilaku komunikatif suatu masyarakat, yaitu mengenai cara-cara bagaimana bahasa dipergunakan dalam masyarakat yang berbeda-beda kebudayaannya.

Thomas R. Lindlof dan Briyan C. Taylor, dalam bukunya

Qualitative Communicatin Research Methold, menyatakan “

Ethnografi of Communication (EOC) cocnceptualizes

communication as a countinous flow of information, rather than as

segmented exchanges message” (Lindlof & Taylor, 2002:44).

Dalam pernyataan tersebut, Lindof dan Taylor menegaskan bahwa konsep komunikasi merupakan arus informasi yang berkesinambungan, bukan sekedar pertukaran pesan antar komponennya semata.

(48)

2.1.3.2. Definisi Etnografi

Istilah Etnografi berasal dari kata ethno (bangsa) dan grafhy (menguraikan), jadi etnografi yang dimaksud adalah usaha untuk menguraikan kebudayaan atau aspek-aspek kebudayaan (Meleong, 1990:13). Etnografi merupakan suatu bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai macam deskrifsi kebudayaan (Spardley, 1997:12).

Etnografi lazimnya bertujuan menguraikan suatu budaya secara menyeluruh, yakni semua aspek budaya, baik yang material seperti artefak budaya (alat-alat, pakaian, bangunan, dan sebagainya) dan yang bersifat abstrak, seperti pengalaman, kepercayaan, norma dan sistem nilai kelompok yang diteliti. Uraian tebal (thick description) merupakan ciri utama etnografi (Mulyana, 2003:161).

(49)

27

menjadi lebih luas karena tidak hanya melingkupi modus komunikasi lisan (speaking), tetapi juga melibatkan komunikasi tulis (writing) serta komunikasi isyarat (gesture), gerakan tubuh (kinesics), atau tanda (signing).

(50)

pakar itu memisahkan diri dari pola penggunaan tutur” (Hymes,

1974:126).

2.1.3.3. Metode Etnografi Untuk Penelitian Komunikasi

Metode Etnografi merupakan pendekatan empiris dan teoretis yang bertujuan mendapatkan deskripsi dan analisis mendalam tentang kebudayaan berdasarkan penelitian lapangan (fieldwork) yang intensif. Menurut Geertz (1973) etnograf bertugas membuat thick descriptions (pelukisan mendalam) yang menggambarkan „kejamakan struktur-struktur konseptual yang kompleks’, termasuk asumsi-asumsi yang tak terucap dan taken-for-granted (yang dianggap sebagai kewajaran) mengenai

kehidupan. Seorang etnografer memfokuskan perhatiannya pada detil-detil kehidupan lokal dan menghubungkannya dengan proses-proses sosial yang lebih luas.

(51)

29

(52)

2.1.4 Tinjauan Tentang Komunikasi Transendental 2.1.4.1. Pengertian Komunikasi Transendental

Transendental secara bahasa dalam istilah filsafat berarti suatu yang tidak dapat diketahui, suatu pengalaman yang terbebas dari penomena namun berada dalam gugusan pengetahuan seseorang. Dalam istilah agama diartikan suatu pengalaman mistik atau spiritual karenanya berada diluar jangkauan dunia.

Maka komunikasi transendental bisa diartikan peroses membagi ide, informasi, dan pesan dengan orang lain pada tempat dan waktu tertentu serta berhubungan erat dengan hal-hal yang bersifat transenden (metafisik dan pengalaman supranatural). Hingga komponen komunikasi seperti siapa (what) bisa bersifat metafisik, isi (say what) juga berhubungan dengan metafisik, demikian juga dengan kepada siapa (to whom) dan media perantara (channel) serta efeknya.

2.1.4.2. Hakikat Komunkasi Transendental

(53)

31

Pernahkah Anda merasakan ada sesuatu hal yang akan terjadi pada diri orang-orang yang Anda kasihi?

Apabila Anda pernah merasakan hal-hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya Anda sedang menjalani sebuah komunikasi yang sifatnya transendental.Komunikasi Transendental secara teoritis dapat diartikan sebagai salah satu wujud berpikir mengenai bagaimana menemukan hukum-hukum alam dan keberadaan komunikasi manusia dengan Allah SWT atau antara manusia dengan kekuatan yang diluar kemampuan pikir manusia tahu keberadaannyadilandasi oleh rasa cinta (mahabbah) tanpa pamrih. Itulah sebabnya mengapa kita sering merasakan adanya firasat tertentu mengenai apa yang akan atau sedang terjadi pada orang-orang yang kita kasihi. Cinta tulus tanpa pamrihmenjadi syarat dari munculnya komunikasi transendental.

(54)

oleh rasa cinta tanpa pamrih sebagaimana cinta sang ibu kepada anaknya. Demikina pula rasa cinta kepada sang Pencipta dan kepada sesama manusia.

2.1.5.Tinjauan Tentang Interaksi Simbolik 2.1.5.1. Sejarah Interaksi Simbolik

Sejarah Teori Interaksi Simbolik tidak bisa dilepaskan dari pemikiran George Harbert Mead (1863-1931). Mead dilahirkan di Hadley, satu kota kecil di Massachusetts. Karir Mead berawal saat beliau menjadi seorang professor di kampus Oberlin, Ohio, kemudian Mead berpindah pindah mengajar dari satu kampus ke kampus lain, sampai akhirnya saat beliau di undang untuk pindah dari Universitas Michigan ke Universitas Chicago oleh John Dewey. Di Chicago inilah Mead sebagai seseorang yang memiliki pemikiran yang original dan membuat catatan kontribusi kepada ilmu sosial dengan meluncurkan “the theoretical perspective” yang

pada perkembangannya nanti menjadi cikal bakal “Teori Interaksi

Simbolik”, dan sepanjang tahunnya, Mead dikenal sebagai ahli sosial psikologi untuk ilmu sosiologis. Mead menetap di Chicago selama 37 tahun, sampai beliau meninggal dunia pada tahun 1931 (Rogers. 1994: 166).

(55)

33

memfokuskan dalam memahami suatu interaksi perilaku sosial, maka aspek internal juga perlu untuk dikaji (West-Turner. 2008: 97). Mead tertarik pada interaksi, dimana isyarat non verbal dan makna dari suatu pesan verbal, akan mempengaruhi pikiran orang yang sedang berinteraksi. Dalam terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non verbal (seperti body language, gerak fisik, baju, status, dll) dan pesan verbal (seperti kata-kata, suara, dll) yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat penting (a significant symbol).

Menurut Fitraza (2008), Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, dimana dua atau lebih individu berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh orang lain, demikian pula perilaku orang tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka kita dapat mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang lain.

(56)

Robert E. Park, William James, Charles Horton Cooley, Ernest Burgess, James Mark Baldwin (Rogers. 1994: 168). Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan interaksi simbolik, dimana pada saat itu dasar pemikiran Mead terpecah menjadi dua Mahzab (School), dimana kedua mahzab tersebut berbeda dalam hal metodologi, yaitu (1) Mahzab Chicago (Chicago School) yang dipelopori oleh Herbert Blumer, dan (2) Mahzab Iowa (Iowa School) yang dipelopori oleh Manfred Kuhn dan Kimball Young (Rogers. 1994: 171).

(57)

35

interview tidak langsung, dan wawancara tidak terstruktur (Wibowo. 2007).

Mahzab Iowa dipelopori oleh Manford kuhn dan mahasiswanya (1950-1960an), dengan melakukan pendekatan kuantitatif, dimana kalangan ini banyak menganut tradisi epistemologi dan metodologi post-positivis (Ardianto. 2007: 135). Kuhn yakin bahwa konsep interaksi simbolik dapat dioprasionalisasi, dikuantifikasi, dan diuji. Mahzab ini mengembangkan beberapa cara pandang yang baru mengenai

”konsep diri” (West-Turner. 2008: 97-98). Kuhn berusaha

mempertahankan prinsip-prinsip dasar kaum interaksionis, dimana Kuhn mengambil dua langkah cara pandang baru yang tidak terdapat pada teori sebelumnya, yaitu: (1) memperjelas konsep diri menjadi bentuk yang lebih kongkrit; (2) untuk mewujudkan hal yang pertama maka beliau menggunakan riset kuantitatif, yang pada akhirnya mengarah pada analisis mikroskopis (LittleJohn. 2005: 279). Kuhn merupakan orang yang bertanggung jawab atas teknik yang dikenal sebagai ”Tes sikap pribadi dengan dua puluh

(58)

teman-temannya menjadi sangat berbeda jauh dari aliran interaksionisme simbolik. Kelemahan metode Kuhn ini dianggap tidak memadai untuk menyelidiki tingkah laku berdasarkan proses, yang merupakan elemen penting dalam interaksi. Akibatnya, sekelompok pengikut Kuhn beralih dan membuat Mahzab Iowa ”baru”.

Mahzab Iowa baru dipelopori oleh Carl Couch, dimana pendekatan yang dilakukan mengenai suatu studi tentang interaksi struktur tingkah laku yang terkoordinir, dengan menggunakan sederetan peristiwa yang direkam dengan rekaman video (video tape). Inti dari Mahzab ini dalam melaksanakan penelitian, melihat

bagaimana interaksi dimulai (openings) dan berakhir (closings), yang kemudian melihat bagaimana perbedaan diselesaikan, dan bagaimana konsekuensi-konsekuensi yang tidak terantisipasi yang telah menghambat pencapaian tujuan-tujuan interaksi dapat dijelaskan. Satu catatan kecil bahwa prinsip-prinsip yang terisolasi ini, dapat menjadi dasar bagi sebuah teori interaksi simbolik yang terkekang di masa depan (LittleJohn. 2005: 283).

(59)

37

interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak saja, melainkan terutama melalui simbol-simbol yang perlu dipahami dan dimengerti maknanya.

Dalam interaksi simbolik, orang mengartikan dan menafsirkan gerak-gerak orang lain dan bertindak sesuai dengan arti itu. Blumer mengatakan dan dikutip dalam buku “Semiotika

Komunikasi” karya Alex Sobur, sebagai berikut:

“Orang menimbang perbuatan masing-masing orang secara

timbal-balik, dan hal ini tidak hanya merangkaikan perbuatan orang yang satu dengan perbuatan orang yang lain, melainkan menganyam perbuatan-perbuatan yang mereka menjadi apa yang barangkali boleh disebut sebagai transaksi, dalam arti bahwa perbuatan-perbuatan yang diasalkan dari masing-masing pihak diserasikan, sehingga membentuk suatu aksi bersama yang menjembatani mereka.” (Alex Sobur, 2006 : 195)

Istilah pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dalam lingkup sosiologi, sebenarnya ide ini telah dikemukakan oleh George Herbert Mead (gurunya Blumer) yang kemudian dimodifikasi Blumer untuk tujuan tertentu.Herbert Blumer, mahaguru Universitas California di Berkeley seperti dikutip Veeger (1993), telah berusaha memadukan konsep-konsep Mead ke dalam suatu teori sosiologi yang sekarang dikenal dengan nama interaksionisme simbolik, sebuah ekspresi bahkan tidak pernah

(60)

an offhand way… The term somehow caught on” (sebuah kata baru kasar yang aku peroleh tanpa pemikiran… Istilah yang terjadi

begitu saja)

Mead mengembangkan teori interaksi simbolik tahun 1920-an dan 1930-an ketika menjadi profesor filsafat di Universitas Chicago. Kemudian Herbert Blumer pada 1937 mempopoulerkannya di kalangan komunitas akademik.

Interaksionisme simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang komunikasi dan masyarakat.Jerome Manis dan Bernard Meltzer memisahkan tujuh hal mendasar yang bersifat teoritis dan metodologis dari interaksionisme simbolik dan dikutip

dalam buku “Semiontika Komunikasi” karya Alex Sobur

Masing-masing hal tersebut mengidentifikasi sebuah konsep sentral mengenai tradisi yang dimaksud, yakni:

1. Orang-orang dapat mengerti berbagai hal dengan belajar dari pengalaman. Presepsi seseorang selalu diterjemahkan dalam simbol-simbol.

2. Berbagai makna dipelajari melalui interaksi di antara orang-orang. Makna muncul dari adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok sosial.

3. Seluruh struktur dan institusi sosial diciptakan dari adanya interaksi di antara orang-orang.

4. Tingkah laku seseorang tidak mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian pada masa lampau saja, namun juga dilakukan secara sengaja.

5. Pikiran terdiri atas sebuah percakapan internal, yang merefleksikan interaksi yang telah terjadi antara seseorang dengan orang lain.

(61)

39

7. Kita tidak bisa memahami pengalaman seseorang individu dengan mengamati tingkah lakunya saja. Pemahaman dan pengertian seseorang akan berbagai hal harus diketahui. (Alex Sobur, 2006 : 196-197)

Esensi interaksi simbolik menurut Mulyana dan dikutip dalam bukunya Alex Sobur, yang berjudul “Semiotika Komunikasi”, adalah: “Suatu aktivitas yang merupakan ciri khas

manuisa, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.” (Sobur, 2006 : 197)

Menurut Engkus Kuswarno, dalam bukunya “Etnografi

Komunikasi” mengatakan bahwa:

“Karakteristik dasar ide ini adalah suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu.Interaksi yang terjadi antara individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan.Realitas sosial merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi pada beberapa individu dalam masyarakat.Interaksi yang dilakukan antar individu itu berlangsung secara sadar dan berkaitan dengan gerak tubuh, vokal, suara, dan ekspresi tubuh, yang kesemuanya itu mempunyai maksud dan disebut dengan simbol.” ( Engkus Kuswarno, 2011 : 22)

Adapun menurut teoritisi interaksi simbolik yang dipaparkan dalam buku “Metodologi Penelitian Kulaitatif” karya Deddy Mulyana bahwa:

(62)

ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial.” (Deddy Mulyana, 2010 : 71)

Pemikiran Blumer memiliki pengaruh cukup luas dalam berbagai riset sosiologi.Bahkan Blumer memiliki pengaruh cukup luas dalam berbagai riset sosial.Selain itu Blumer pun berhasil mengembangkan interaksinisme simbolik sampai pada tingkat metode yang cukup rinci.Teori interaksionosme simbolis yang dimaksud Blumer bertumpu pada tiga premis utama dan dikutip dalam buku yang berjudul “Semiontika Komunikasi” karya Alex Sobur, sebagai berikut:

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.

2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain.

3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung.

(Alex Sobur, 2006 : 199)

Dalam buku “Metodologi Penelitian Kulaitatif” karya Deddy Mulyana, secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan premis-premis berikut:

Pertama, individu merespons suatu situasi

simbolik.Mereka merespons lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka.

(63)

41

Ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.”

(Deddy Mulyana, 2010 : 71-72)

Interaksi simbolik dalam pembahasanya telah berhasil membuktikan adanya hubungan antara bahasa dan komunikasi.Sehingga, pendekatan ini menjadi dasar pemikiran ahli-ahli ilmu sosiolingusitik dan ilmu komunikasi.

2.1.6. Tinjauan Tentang Simbol

Hidup agaknya memang digerakan oleh simbol-simbol, dibentuk oleh simbol-simbol, dan dirayakan dengan simbol-simbol.Simbol itu muncul dalam konteks yang sangat beragam dan dipergunakan untuk berbagai tujuan. Menurut P. Spradley yang dikutip oleh Alex Sobur, dalam buku yang berjudul “Semiotika Komunikasi, bahwa: “Simbol

adalah objek atau peristiwa apapun yang merujuk pada sesuatu.” (Sobur,

2006 : 154). Simbol ada di mana-mana, dalam dongeng, dalam film, dalam novel yang semuanya cermin dunia simbolis, atau dalam berbagai ritual peribadatan

2.1.6.1. Pengertian Simbol

Secara etimologis simbol (symbol) berasal dari kata Yunani

(64)

perbuatan) dikaitkan dengan suatu .Ada pula yang menyebutnya

“symbolos”, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan

sesuatu hal kepada seseorang. Biasanya simbol terjadi berdasarkan metonimi (metonimy), yakni nama untuk benda lain yang berasosiasi atau yang menjadi atributnya (misalnya Si kaca mata untuk seseorang yang berkaca mata) dan metafora (metaphor), yaitu pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan (mislanya kaki gunung, kaki meja, berdasarkan kias pada kaki manusia).

Semua simbol melibatkan tiga unsur simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan rujukan. Keitga hal ini merupakan dasar bagi semua makna simbolik. Suatu karangan WJS Poerwadarminta yang dikutip dalam buku yang berjudul “Semiotika Komunikasi” karya Alex

Sobur disebutkan:

“Simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal, atau mengandung maksud tertentu.Misalnya, warna putih merupakan lambang kesucian, lambang padi lambang kemakmuran, dan kopiah merupakan salah satu tanda pengenal bagi warga Negara Republik Indonesia.” (Alex Sobur, 2006 : 156)

(65)

43

simbolik itu sendiri.Dalam kaitan ini Peirce mengemukakan dan dikutip oleh Alex Sobur, masih dalam buku yang sama yang berjudul “Semiotika Komunikasi”, bahwa:

A symbol is a sign which refers to the object that is denotes by virtue of a law, usually an association of

general ideas, which operates to cause the symbol to be

interpreted as referring to that object.” (Sobur, 2006 : 156)

Simbol tidak dapat disikapi secara isolatif, terpisah dari hubungan asosiatifnya dengan simbol lainnya.Walaupun demikian berbeda dengan bunyi, simbol telah memiliki kesatuan bentuk dan makna. Berbeda pula dengan tanda (sign), simbol merupakan kata atau sesuatu yang bisa dianalogikan sebagai kata yang telah terkait dengan (1) penafsiran pemakai, (2) kaidah pemakai sesuai dengan jenis wacananya, dan (3) kreasi pemberian makna sesuai dengan intense pemakainya. Simbol yang ada dalam dan berkaitan dengan ketiga butir tersebut disebut bentuk simbolik. (Sobur, 2006 : 156)

(66)

Menurut Alex Sobur, yang dipaparkan melalui buku yang berjudul “Semiotika Komunikasi” dalam “bahasa” komunikasi,

“Simbol seringkali diistilahkan sebagai lambang. Simbol atau

lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok orang.” (Sobur,

2006 : 157)

Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku (nonverbal), dan objek yang maknanya disepakati bersama.Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal memungkinkan perkembangan bahasa dan menangani hubungan antara manusia dan objek (baik nyata maupun abstrak) tanpa kehadiran manusia dan objek tersebut.

Jika simbol merupakan salah satu unsur komunikasi, maka seperti halnya komunikasi, simbol tidak muncul dalam suatu ruang hampa-sosial, melainkan dalam suatu konteks atau situasi tertentu.

Pada dasarnya, simbol adalah sesuatu yang berdiri atau ada untuk sesuatu yang lain, kebanyakan di antaranya tersembunyi atau tidaknya tidak jelas. Seperti apa yang dikatakan oleh Asa Berger dan dikutip dalam buku “Semiotika Komunikasi” yang ditulis oleh Alex Sobur, yaitu:

(67)

45

ketidaksadaran dan kepercayaan kita melalui penelitian yang mendalam.Simbol-simbol merupakan pesan dari ketidaksadaran kita.” (Alex Sobur, 2006 : 163)

2.1.6.2. Jenis-jenis Simbol

Dalam buku yang berjudul “Semiotika Komunikasi” yang ditulis oleh Alex Sobur pada dasarnya simbol dapat dibedakan menjadi tiga jenis (Hartoko & Rahmanto, 1998 : 133), yaitu:

1. Simbol-simbol universal, berkaitan dengan arketipos, mislanya tidur sebagai lambang kematian.

2. Simbol cultural yang dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan tertentu (misalnya keris dalam kebudayaan Jawa)

3. Simbol individual yang biasanya dapat ditafsirkan dalam konteks keseluruhan karya seseorang pengarang.

(Sobur, 2006 : 157)

2.1.6.3. Simbol-simbol Budaya Religi

Menurut James P. Spradley (1997 : 121) dan dikutip oleh Alex Sobur dalam buku “Semiotika Komunikasi”, bahwa: “Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol.” (Sobur, 2006 : 177)

Adapun pengertian simbol menurut Clifford Geertz (1922 : 51) dan dijelaskan kembali oleh Alex Sobur, dalam buku

Semiotika Komunikasi”, bahwa: “Makna hanya dapat

„disimpan’ di dalam simbol.” (Sobur, 2006 : 177)

(68)

simbol, baik kata-kata yang terucapkan, sebuah objek seperti bendera, suatu gerak tubuh seperti melambaikan tangan, sebuah tempat seperti masjid atau gereja, atau suatu peristiwa seperti perkawinan, merupakan bagian-bagian suatu sistem simbol. Simbol adalah objek atau peristiwa apa pun yang menunjukan sesuatu. Simbol itu meliputi apa pun yang dapat dirasakan dan kita alami.

Kekuatan sebuah agama dalam menyangga nilai-nilai sosial, menurut Geertz (1992 : 57), terletak pada kemampuan simbol-simbolnya untuk merumuskan sebuah dunia tempat nilai-nilai itu, dan juga kekuatan-kekuatan yang melawan perwujudan nilai-nilai itu, menjadi bahan-bahan dasarnya. Agama melukiskan kekuatan imajinasi manusia untuk membangun sebuah gambaran kenyataan.

(69)

47

Setiap orang, dalam arti tertentu membutuhkan sarana atau media untuk berkomunikasi. Media ini terutama ada dalam bentuk-bentuk simbolis sebagai pembawa maupun pelaksana makna atau pesan yang akan dikomunikasikan. Makan atau pesan sesuai dengan maksud pihak komunikator dan (diharapkan) ditangkap dengan baik oleh pihak lain. Hanya, perlu diingat bahwa simbol-simbol komunikasi tersebut adalah kontekstual dalam suatu masyarakat dan kebudayaannya.Ada memang sekian banyak definisi kebudayaan. Dari kemungkinan lebih dari seratus macam definisi tentang kebudayaan, definisi yang diajukan ilmuan Amerika “spesialis” Jawa, Clifford Greetz, barangkali

lebih relevan dalam kaitan dengan simbol-simbol komunikasi. Dikatakan (Geertz, dalam Susanto, 1992:57) dan dikutip kembali oleh Alex Sobur dalam buku “Semiotika Komunikasi”:

“Kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah.Kebudayaan adalah sistem dari konsep-konsep yang diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui mana manusia berkomunikasi, mengekalkan dan memperkembangkan pengetahuan tentang kehidupan ini dan bersikap terhadap kehidupan ini.” (Alex Sobur, 2006 : 178)

(70)

simbol merupakan acuan wawasan, memberi “petunjuk”

bagaimana warga budaya tertentu menjalani hidup, media sekaligus pesan komunikasi, dan representasi realitas sosial

Oleh karena itu dalam suatu kebudayaan terdapat bermacam-macam sikap dan kesadaran dan juga bentuk-bentuk pengetahuan yang berbeda-beda, maka disana juga terdapat “sistem-sistem kebudayaan” yang berbeda-beda untuk mewakili semua itu.Seni bisa berfungsi sebagai sistem kebudayaan, sebagaimana seni juga menjadi anggapan umum (common sense), ideologi, politik, dan hal-hal lain yang senada dengan itu.

Simbol merupakan representasi dari realitas empiris, maka jika realitas empiris berubah, simbol-simbol budaya itu pun akan mengalami perubahan. Di sini kebudayaan adalah suatu proses, yang sebagai proses bukanlah suatu akhir tetapi selalu tumbuh dan berkembang. Dalam bahasa Umar Kayam (Mursito, 1997) dan dikutip kembali dalam buku “Semiotika Komunikasi” oleh Alex

Sobur sebagai:

“Proses upaya masyarakat yang dialektis dalam menjawab setiap permasalahan dan tantangan yang dihadapkan kepadanya.Dan kebudayaan, dengan demikian, adalah sesuatu yang gelisah, yang terus menerus bergerak secara dinamis dan pendek.” (Alex Sobur, 2006 : 180)

Sifat dialektis ini mengisyaratkan adanya suatu “kontinum”,

(71)

49

yang dipandang oleh suatu masyarakat sangat bervariasi. (Sobur, 2006 : 177-193)

2.1.7. Tinjauan Tentang Kebudayaan 2.1.7.1. Pengertian Kebudayaan

Pengertian paling tua atas kebudayaan diajukan oleh Edward Burnett Tylor dalam karyanya berjudul “Primitive

Culture” dan dikutip oleh Alo. Liliweri dalam bukunya yang

berjudul “Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya” yang menyatakan bahwa:

“Kebudayaan adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat.” ( Alo Liliweri, 2004 : 107)

Kebudayaan menurut Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi dalam buku yang berjudul “Sosiologi Suatu Pengantar” karya SoerjonoSoekanto, kebudayaan didefinisikan sebagai berikut :

(72)

Dikatakan (Geertz, dalam Susanto, 1992:57) dan dikutip kembali oleh Alex Sobur dalam buku “Semiotika Komunikasi”:

“Kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah.Kebudayaan adalah sistem dari konsep-konsep yang diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui mana manusia berkomunikasi, mengekalkan dan memperkembangkan pengetahuan tentang kehidupan ini dan bersikap terhadap kehidupan ini.” (Alex Sobur, 2006 : 178)

2.1.7.2. Unsur–Unsur Kebudayaan

Kluckhohn dalam karyanya Universal Categories of Culture mengatakan bahwa kebudayaan terdiri dari tujuh unsur,

yaitu meliputi:

1. Peralatan dan Perlengkapan hidup manusia

Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan.Selain itu teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian.

(73)

51

a) Alat-Alat Produksi

Alat-alat produksi yang dimaksud di sini adalah alat-alat untuk melaksanakan suatu pekerjaan mulai dari alat-alat untuk melaksanakan suatu pekerjaan mulai dari alat sederhana seperti batu tumbuk untuk menumbuk terigu, sampai agak kompleks seperti alat untuk menenun kain.Kalau alat-alat semacam itu dikelaskan menurut macam bahan-bahan mentahnya, maka ada alat-alat batu, tulang, kayu, bambu, dan logam.

Teknik tradisisonal pembuatan alat batu telah banyak diuraikan oleh para ahli prehistori, misalnya oleh K.T. Oakley dalam bukunya Man the Tool maker (1950) dan dikutip oleh Koentjaraningrat dalam bukunya

“Pengantar Ilmu Antropologi”, ia mengatakan bahwa:

“Pembuatan alat-alat batu dapat dikerjakan menurut empat teknik, yaitu: teknik pemukulan (percussion flaking), teknik penekanan (pressure flaking), teknik pemecahan (chiping), dan teknik penggilingan (grinding).” (Koentjaraningrat, 2009 : 265)

(74)

pembuatan logam harus dibedakan menurut macam logamnya, tetapi semua teknologi tradisional untuk membuat alat-alat logam dapat dikelaskan ke dalam dua golongan, yaitu teknologi menandai dan teknologi menuang.

Dipandang dari sudut pemakaiannya alat-alat produksi dalam kebudayaan tradisisonal, dapat kita bedakan antara pemakaian menurut fungsinya, dan pemakaian menurut lapangan pekerjaannya. Dari sudut fungsinya, alat-alat produksi itu dapat dibagi ke dalam alat potong, alat tusuk dan pembuat lubang, alat pukul, alat penggiling, alat peraga, alat untuk membuat api, alat meniup api, tangga dan sebagainya, sedangkan dari sudut pandang lapangan pekerjaannya ada alat-alat rumah tangga, alat pengikal dan tenun, alat-alat pertanian, alat-alat penangkap ikan, jerat perangkap dan sebagainya.

b)Senjata

Gambar

Gambar 1.1.
Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 3.4

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian mengenai iklim komunikasi kerja suatu perusahaan, peneliti menggunakan indikator-indikator yang mempengaruhi yaitu kepercayaan, pembuatan keputusan

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa makna komunikasi nonverbal yang ada pada pagelara seni tari kecak di kebudayaan Bali antara lain terdapat makna nonverbal pada

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode kualitatif, dengan studi etnografi komunikasi, teori subtantif yang digunakan yaitu dengan

Skripsi yang berjudul “AUDIT KOMUNIKASI PADA STRATEGI BRANDING KOTA MARTAPURA (Studi Mengenai Branding Pariwisata Pada Disbudparpora Kabupaten Banjar)” ini berarti

Untuk meneliti sikap publik mengenai suatu kampanye, peneliti menggunakan model komunikasi S-M-C-R yang merupakan singkatan dari S untuk Source (Komunikator), M untuk

Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai proses dan hambatan komunikasi interpersonal penyuluh dan ibu rumah tangga dalam kegiatan

( Studi Deskriptif Mengenai Iklim Komunikasi Organisasi Bagian Redaksional Di Media Cetak Harian PT. Jawa Pos Surabaya

Hasil penelitian dari rumah adat sebagai mikrokosmos (Studi mengenai makna rumah adat menurut masyarakat Praijing di Sumba Barat) adalah pemaknaan dari rumah