EFEK TEPUNG DELIMA (
Punica granatum L.
) SEBAGAI
SUMBER ANTIOKSIDAN PADA METABOLISME
TIKUS PUTIH (
Rattus norvegicus
) YANG
DIKONTAMINASI ASAP ROKOK
SKRIPSI
ADITYA DANU WARDHANA
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
ADITYA DANU WARDHANA. D24060313. 2010. Efek Tepung Delima (Punica granatum L.) sebagai Sumber Antioksidan pada Metabolisme Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Dikontaminasi Asap Rokok Skripsi. Program Studi Ilmu Nutrisi Ternak dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Ir. Anita S Tjakradidjaja, MRur.Sc.
Pembimbing Anggota : dr. Francisca. A. Tjakradidjaja, MS, Sp.GK.
Radikal bebas berperan dalam terjadinya berbagai penyakit. Hal ini dikarenakan radikal bebas adalah molekul kimia yang memiliki pasangan elektron bebas di kulit terluar sehingga sangat reaktif dan mampu bereaksi dengan protein, lipid, karbohidrat, atau DNA. Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal, protein, dan lemak. Antioksidan banyak terdapat pada berbagai jenis buah-buahan, salah satunya adalah buah delima (Punica granatum L). Buah delima kaya akan antioksidan, bahkan paling tinggi jika dibandingkan dengan buah-buahan lain yang telah diuji (Khomsan, 2009). Oleh karena itu, penggunaan tepung buah dan biji delima sebagai antioksidan akan dikaji dalam penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian tepung buah dan biji delima sebagai sumber antioksidan terhadap konsumsi, kecernaan, dan metabolisme lemak dan serat kasar pada tikus putih (Rattus norvegicus) yang telah terkontaminasi asap rokok.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan September 2009 di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan 30 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan lepas sapih yang berumur 21 hari. Perlakuan yang diberikan adalah: R0 = Ransum kontrol (tanpa diberi tepung buah dan biji delima); R1 = 95% R0 + 5% tepung buah dan biji delima; dan R2 = 90% R0 + 10% tepung buah dan biji delima. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan masing-masing 10 ulangan. Peubah yang diamati adalah konsumsi, dan kecernaan lemak kasar (LK), serat kasar (SK), dan BETA-N, kadar lemak darah, glukosa darah, trigliserida, LDL, dan HDL, serta lingkar perut. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisa sidik ragam (Analyses of Variance, ANOVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati dan untuk mengetahui perbedaan di antara perlakuan dilakukan Uji Ortogonal Kontras (Steel dan Torrie, 1993). Hasil penelitian menunjukkan, penambahan tepung buah dan biji delima ke dalam ransum kontrol dengan taraf 5% dan 10% dapat meningkatkan konsumsi LK, SK, dan BETA-N jika dinyatakan dalam bobot badan metabolis, tetapi tidak mempengaruhi kecernaan zat makanan tersebut dan pertambahan lingkar perut. Taraf 5% merupakan taraf yang terbaik karena menghasilkan hasil yang optimal dalam mengatasi efek radikal bebas.
ABSTRACT
Effect of Pomegranate Powder as Antioxidant Source on Metabolism of White
Rat (Rattus norvegicus) Contaminated with Cigarette Smoke
Wardhana, A. D., A. S. Tjakradidjaja, and F. A. Tjakradidjaja
The effect of pomegranate fruit and seed powder as a source of antioxidant on consumption, digestion of lipid and crude fiber are evaluated in this study. Thirty of 28 day old rats were used in this experiment. This experiment used completely randomized design with three treatments and ten replications. The experimental rats were given diets containing pomegranate at levels of 0% (R0= control diet), 5% (R1= R0 containing 5% pomegranate fruit and seed powder) and 10% (R2= R0 containing 10% pomegranate fruit and seed powder). Variables measured were ether extract, crude fiber, NFE intakes and digestibilities and abdominal circumference. Data were analyzed with Analysis of Variance (ANOVA) and differences among treatments were tested by contrast orthogonal tests. Results show treatments affected nutrient intakes (P<0.01), but did not produced significant effect on nutrient digestibilies. There were no significant effect of treatments on the change in abdominal circumference. In conclusion, the use of pomegranate fruit and seed powder increased fat and carbohydrate intake in mice contaminated with cigarette smoke; however there were no effect on fat and carbohydrate digestibilities, and the change in abdominal circumference. The best result was produced by R1 which contained 5% pomegranate fruit and seed powder.
EFEK TEPUNG DELIMA (Punica granatum L.) SEBAGAI SUMBER ANTIOKSIDAN PADA METABOLISME
TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIKONTAMINASI ASAP ROKOK
ADITYA DANU WARDHANA D24060313
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
Judul : Efek Tepung Delima (Punica granatum L.) sebagai Sumber Antioksidan pada Metabolisme Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Dikontaminasi Asap Rokok
Nama : Aditya Danu Wardhana
NIM : D24060313
Menyetujui,
Tanggal Ujian : 13 dan 14 Januari 2011 Tanggal Lulus : Pembimbing Utama,
(Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur.Sc.)
NIP. 19610930 198603 2 003
Pembimbing Anggota,
(dr. F. A. Tjakradidjaja, MS., Sp.GK)
NIP. 010 605 0122
Mengetahui,
Ketua Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr.)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 3 Desember 1988 di Tanjung Priok, Jakarta
Utara. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak
Giata dan Ibu Ginem.
Pendidikan dasar Penulis diselesaikan di SDN Cibuluh 2 Bogor pada tahun
2000. Pendidikan lanjutan tingkat menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003
di SLTPN 5 Bogor dan pendidikan lanjutan tingkat atas diselesaikan pada tahun
2006 di SMAN 6 Bogor.
Pada tahun yang sama, Penulis diterima untuk menuntut ilmu di Institut
Pertanian Bogor dan pada tahun 2007 diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu
Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Selama menjadi
mahasiswa, Penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak
sebagai Kepala DIVISI IT HIMASITER periode 2007-2009, pernah berkesempatan
mewakili Fakultas Peternakan dalam Pameran INDOLIVESTOCK pada tahun 2008.
Penulis juga berkesempatan menjadi Asisten Praktikum mata kuliah Fisiologi Nutrisi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT
karena atas segala rahmat, hidayah serta karunia-Nya sehingga Penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Efek Tepung Delima (Punica granatum L.) sebagai Sumber Antioksidan pada Metabolisme Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Dikontaminasi Asap Rokok ” yang ditulis berdasarkan hasil penelitian dari bulan Juli sampai dengan September 2009 di Laboratorium Lapang Bagian
Pemuliaan dan Genetika Ternak, Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan
menentukan manfaat pemberian tepung buah dan biji delima (Punica granatum L.)
sebagai sumber antioksidan terhadap konsumsi dan kecernaan serta metabolisme
ransum tikus putih (Rattus norvegicus) yang telah terkontaminasi radikal bebas. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis
juga berharap semoga skripsi ini dapat memberikan informasi baru dalam dunia
peternakan dan dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya, dan bagi pembaca pada
umumnya.
Bogor, Januari 2011
DAFTAR ISI
Antioksidan dalam Buah Delima ... 14
Zat Makanan ... 15
Serat Kasar ... 15
Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen ... 16
Lemak ... 16
Pengukuran Bobot Badan dan Lingkar Perut ... 23
Pengumpulan Feses ... 23
Peubah yang diamati ... 24
Rancangan dan Analisis Data ... 25
Rancangan ... 25
Analisis Data ... 25
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26
Kandungan Zat Makanan dalam Ransum ... 26
Konsumsi Lemak Kasar, Serat Kasar, dan BETA-N ... 27
Kecernaan Lemak Kasar, Serat Kasar, dan BETA-N pada Minggu Ke-3 dan Ke-5 ... 30
Fraksi Lemak dan Glukosa Darah ... 34
Lingkar Perut dan Pertambahan Lingkar Perut ... 38
KESIMPULAN dan SARAN ... 41
Kesimpulan ... 41
Saran ... 41
UCAPAN TERIMA KASIH ... 42
DAFTAR PUSTAKA ... 43
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Kebutuhan Zat Makanan Tikus ... 5
2. Komposisi Gizi per 100 gram Buah Delima ... 13
3. Kandungan Zat Makanan ... 26
4. Rataan Konsumsi Lemak Kasar, Serat Kasar, dan BETA-N . 28
5. Rataan Kecernaan Lemak Kasar, Serar Kasar, dan BETA-N
(Minggu Ke-3 dan Ke-5) ... 30
6. Fraksi Lemak dan Glukosa Darah ... 34
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Struktur Atom Radikal Bebas ... 7
2. Buah Delima ... 11
3. Struktur Punicalagin dan Ellagic Acid ... 14
4. Metode Pengasapan ... 22
5. Jumlah Zat Makanan Tercerna selama Masa Penelitian ... 35
DAFTAR LAMPIRAN
10.ANOVA Produksi Lemak Kasar Feses Minggu Ke-3 dan Ke-5 ... 53
11.ANOVA Produksi Serat Kasar Feses Minggu Ke-3 dan Ke-5 ... 53
12.ANOVA Produksi BETA-N Feses Minggu Ke-3 dan Ke-5... 53
13.ANOVA Lemak Kasar Tercerna Minggu Ke-3 dan Ke-5 ... 54
14.ANOVA Serat Kasar Tercerna Minggu Ke-3 dan Ke-5... 54
15.ANOVA BETA-N Tercerna Minggu Ke-3 dan Ke-5 ... 54
16.ANOVA Kecernaan Lemak Kasar Minggu Ke-3 dan Ke-5 ... 54
17.ANOVA Kecernaan Serat Kasar Minggu Ke-3 dan Ke-5 ... 55
18.ANOVA Kecernaan BETA-N Minggu Ke-3 dan Ke-5 ... 55
24.ANOVA Pertambahan Lingkar Pinggang ... 56
25.Uji Ortogonal Kontras Konsumsi Lemak Kasar dibagi BB0,75 ... 57
26.Uji Ortogonal Kontras Konsumsi Serat Kasar dibagi BB0,75 ... 57
27.Uji Ortogonal Kontras Konsumsi BETA-N dibagi BB0,75 ... 57
30.Uji Ortogonal Kontras Produksi Serat Kasar Feses Minggu
Ke-3 dan Ke-5 ... 58
31.Uji Ortogonal Kontras Produksi BETA-N Feses Minggu
Ke-3 dan Ke-5 ... 59
32.Uji Ortogonal Kontras Kecernaan BETA-N
PENDAHULUAN Latar Belakang
Saat ini peternakan telah berkembang tidak hanya di pedesaan, tetapi juga
mulai merambah ke daerah perkotaan. Keberadaan peternakan di tengah perkotaan
membutuhkan penanganan atau menejemen yang berbeda dalam pemeliharaan
ternaknya. Kota-kota besar seperti Jakarta memiliki tingkat polusi yang tinggi. Hal
ini tentunya dapat mengganggu kesehatan ternak. Polusi tersebut dapat berasal dari
asap rokok, asap kendaraan, obat, bahan beracun, makanan dalam kemasan, bahan
aditif, dan sinar ultraviolet dari matahari maupun radiasi yang merupakan sumber
dari radikal bebas.
Radikal bebas merupakan suatu atom, molekul, atau senyawa yang mengandung
satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan sehingga sangat reaktif, yang berasal
dari dalam tubuh ataupun lingkungan (Andayani, 2008). Pada proses metabolisme
normal, tubuh ternak dapat memproduksi partikel kecil dengan tenaga besar disebut
sebagai radikal bebas. Atom atau molekul dengan elektron bebas ini dapat digunakan
untuk menghasilkan tenaga dan beberapa fungsi fisiologis seperti kemampuan untuk
membunuh virus dan bakteri. Namun karena zat ini juga dapat merusak jaringan
normal yang diakibatkan oleh tenaga zat tersebut yang sangat tinggi. Radikal bebas
dapat mengganggu proses konsumsi, kecernaan, dan metabolisme dalam tubuh
ternak khususnya pada lemak. Contohnya, adalah menurunnya konsumsi, gangguan
pada penyerapan zat makanan akibat rusaknya dinding sel, gangguan produksi DNA,
dan kerusakan lapisan lipid pada dinding sel, serta peningkatan jumlah LDL dalam darah
(Arief, 2009 ; Chen et al., 2006 ; Zakaria et al., 1996).
Radikal bebas yang sering dijumpai adalah asap rokok. Asap rokok termasuk
radikal bebas yang memiliki reaktivitas tinggi sehingga dapat memicu reaksi berantai
dalam sel. Asap rokok telah diketahui mengandung kurang lebih 4.800 jenis bahan
kimia, dan 60 diantaranya bersifat karsinogenik pada hewan dan manusia.
Bahan-bahan tersebut diantaranya adalah nikotin, tar, CO, amonia, naftalen, dan aseton.
Bahan yang bersifat karsinogen pada asap rokok lebih banyak mempengaruhi
perokok pasif (Yusuf dan Saad, 1991).
Oleh karena itu, diperlukan suatu substansi yang dapat menetralisir
radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas.
yang bekerja menghambat oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas
reaktif membentuk radikal bebas tak reaktif yang relatif stabil (Sofia, 2005). Tubuh
memiliki senyawa antioksidan, seperti: enzim superoksida dismutase (SOD),
gluthatione, dan katalase (Prakash, 2001).
Banyaknya polusi di lingkungan yang merupakan sumber radikal
bebas, antioksidan dalam tubuh kurang mencukupi untuk menangkal radikal bebas
tersebut. Oleh karena itu, diperlukan sumber antioksidan dari luar tubuh seperti buah
dan sayur. Pemberian antioksidan pada ternak dapat mengurangi efek dari radikal
bebas, seperti : memperbaiki konsumsi pakan, menurunkan kandungan kolesterol
dalam darah dan memperbaiki kualitas daging pada sapi pedaging (Weiss dan
Hogan, 2007; Gobert et al., 2009; Harris et al., 2001).
Salah satu contoh sumber antioksidan yang berasal dari buah-buahan adalah
buah delima. Kelawala dan Ananthanarayan (2004) menyatakan bahwa buah delima
memiliki kandungan antioksidan yang cukup tinggi dibandingkan buah lain sebagai
sumber antioksidan. Menurut penelitian yang dilakukan Hora (2003), buah delima
dapat menghambat pertumbuhan kanker pada tikus. Aviram et al. (2002) menyatakan bahwa buah delima dapat menghambat oksidasi low density lipoprotein (LDL) dan atherosklerosis. Jus delima yang telah difermentasi dan minyak yang diambil dari biji
delima, juga diketahui aktif sebagai antioksidan yang setara dengan teh hijau
(Astawan, 2008). Delima memiliki kandungan flavonoid atau polifenol yang cukup
tinggi terutama saat biji dan buah delima diblender secara bersamaan (Astawan, 2008;
Ghasemian et al., 2006). Kandungan serat kasar (SK) yang tinggi pada buah delima
dapat menyerap lemak yang berlebih sehingga tidak teroksidasi oleh radikal bebas. Serat
menurut James dan Gropper (1990) memiliki sifat adsortif, serat akan mengikat
misel lemak sehingga akan mengurangi adsorbsi lemak, lemak darah dan kadar
trigliserida yang dideposit dalam jaringan adiposa.
Akan tetapi penggunaan buah delima sebagai bahan antioksidan untuk
mengatasi masalah radikal bebas dari kontaminasi asap rokok belum diketahui. Oleh
karena itu, sebagai langkah awal, akan dipelajari manfaat penambahan tepung buah
dan biji delima sebagai sumber antioksidan untuk mengatasi efek dari asap rokok
dilihat dari konsumsi, kecernaan dan metabolisme lemak kasar dan serat kasar.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian tepung buah dan
biji delima (Punica granatum L.) sebagai sumber antioksidan terhadap konsumsi, kecernaan dan metabolisme lemak dan serat kasar pada tikus putih (Rattus
TINJAUAN PUSTAKA Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Rattus norvegicus (tikus putih) sering disebut sebagai tikus laboratorium. Secara fisik, ukuran badan jantan biasanya lebih besar daripada betina.
Taksonominya menurut Wilson dan Reeder (1993) adalah :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Subordo : Myomorpha
Famili : Muroidae
Subfamili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
Untuk pakan tikus, kandungan protein yang dibutuhkan 20-25% (akan tetapi
hanya 12% jika protein lengkap berisi semua 10 asam amino esensial dengan
konsentrasi yang benar), lemak 5%, pati 45-50%, serat kasar kira-kira 5% dan abu
4-5% (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Pakan tikus juga harus mengandung vitamin
A (4000 IU/kg), vitamin D (1000 IU/kg), alfa-tokoferol (30 mg/kg), asam linoleat (3
g/kg), tiamin (4 mg/kg), riboflavin (3 mg/kg), pantotenat (8 mg/kg), vitamin B12 (50
μg/kg), biotin (10μg/kg), piridoksin (40-300 μg/kg) dan kolin (1000 mg/kg). Kualitas pakan tikus merupakan faktor penting yang mempengaruhi kemampuan tikus
mencapai potensi genetik untuk tumbuh, berbiak, hidup lama, atau reaksi setelah
pengobatan. Kecernaan pada tikus yang diberi pakan ad libitum menurut Ahlstrom dan Skrede (1998) adalah sebagai berikut : bahan kering 86,20%, lemak 94,95%,
Kebutuhan zat makanan tikus putih lebih lengkap tercantum pada Tabel 1.
Berat badan pada umur empat minggu rata-rata dapat mencapai 40-50 g dan
setelah dewasa rata-rata bobot tikus adalah sekitar 140-500 gram dengan panjang 400
mm (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Tikus jantan tua dapat mencapai bobot
badan 500 g. Umur sapih dari tikus putih yaitu 21 hari. Malole dan Pramono (1989)
hidupnya yang relatif pendek, 2) dari segi pengadaan tidak sulit karena dapat
berkembangbiak dengan cepat, 3) jenis hewan ini berukuran kecil sehingga
pemeliharaannya relatif mudah, dan 4) merupakan hewan yang sehat dan cocok
untuk berbagai penelitian.
Radikal Bebas
Radikal bebas merupakan atom, molekul atau senyawa yang mengandung
satu atau lebih elektron tidak berpasangan yang bersifat tidak stabil dan sangat
reaktif (Surai, 2003). Radikal bebas memerlukan elektron yang berasal dari
pasangan elektron di sekitarnya, sehingga terjadi perpindahan elektron dari molekul
donor ke molekul radikal bebas untuk menjadikan radikal tersebut stabil. Hal
tersebut menyebabkan molekul donor tidak stabil dan menimbulkan reaksi berantai
(Simanjuntak et al., 2004).
Radikal bebas mempunyai banyak bentuk seperti radikal hidroksil, peroksil,
anion superoksida dan lain-lain. Masing-masing bentuk radikal tersebut mempunyai
waktu yang berbeda-beda dalam menimbulkan stres oksidatif tergantung pada tingkat
kereaktifan, selektivitas dan serangan terhadap molekul-molekul organik yang
terdapat dalam jaringan tubuh. Stres oksidatif yang berlangsung terlalu lama dapat
menimbulkan kerusakan mulai dari tingkat molekul seperti DNA, protein, lipid
sampai dengan kerusakan pada tingkat seluler, jaringan dan organ yang
menyebabkan disfungsi, luka sel, degenerasi, penurunan fungsi dan akhirnya dapat
memicu terjadinya penyakit degeneratif dan memperpendek umur biologis atau
penuaan. Efek oksidatif radikal bebas dapat menyebabkan peradangan dan penuaan
dini (Sunarno, 2009). Lipid yang seharusnya menjaga kulit agar tetap segar berubah
menjadi lipid peroksida karena bereaksi dengan radikal bebas sehingga mempercepat
penuaan. Kanker pun disebabkan oleh oksigen reaktif yang intinya memacu zat
karsinogenik, sebagai faktor utama kanker. Selain itu, oksigen reaktif dapat
meningkatkan kadar LDL yang kemudian menjadi penyebab penimbunan kolesterol
pada dinding pembuluh darah. Akibatnya timbullah atherosklerosis atau lebih
dikenal dengan penyakit jantung koroner (Sofia, 2005).
Arief (2009) menyatakan bahwa struktur atom radikal bebas terdiri dari
menentukan jumlah dari elektron (bermuatan negatif) yang mengelilingi atom
tersebut. Elektron berperan dalam reaksi kimia dan merupakan bahan yang
menggabungkan atom-atom untuk membentuk suatu molekul. Elektron mengelilingi
atau mengorbit pada suatu atom dalam satu atau lebih lapisan. Jika satu lapisan
penuh, elektron akan mengisi lapisan kedua. Lapisan kedua akan penuh jika telah
memiliki delapan elektron, dan seterusnya. Gambaran struktur terpenting sebuah
atom dalam menentukan sifat kimianya adalah jumlah elektron pada lapisan luarnya.
Suatu bahan yang elektron lapisan luarnya penuh tidak akan terjadi reaksi kimia.
Karena atom-atom berusaha untuk mencapai keadaan stabilitas maksimum, sebuah
atom akan selalu mencoba untuk melengkapi lapisan luarnya dengan :
a. Menambah atau mengurangi elektron untuk mengisi maupun
mengosongkan lapisan luarnya.
b. Membagi elektron-elektronnya dengan cara bergabung bersama atom yang
lain dalam rangka melegkapi lapisan luarnya.
Dalam rangka mendapatkan stabilitas kimia, radikal bebas tidak dapat
mempertahankan bentuk asli dalam waktu lama dan segera berikatan dengan bahan
sekitarnya. Struktur radikal bebas dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur Atom Radikal Bebas
Sumber : Arief, 2009.
Muchtadi (2000) menyatakan bahwa sumber radikal bebas dapat berasal dari
dalam tubuh (eksogen) atau terbentuk di dalam tubuh (endogen) dari hasil
metabolisme zat gizi secara normal. Radikal bebas yang ada di tubuh manusia
Sumber endogenterdiri dari :
1. Autooksidasi
Autooksidasi merupakan produk dari proses metabolisme aerobik. Molekul
yang mengalami autooksidasi berasal dari katekolamin, hemoglobin, mioglobin,
sitokrom C yang tereduksi, dan thiol. Autoksidasi dari molekul diatas
menghasilkan reduksi dari oksigen diradikal dan pembentukan kelompok reaktif
oksigen. Superoksida merupakan bentukan awal radikal. Ion ferrous (Fe II) juga
dapat kehilangan elektronnya melalui oksigen untuk membuat superoksida dan
Fe III melalui proses autooksidasi (Proctor, 1984).
2. Oksidasi enzimatik
Beberapa jenis sistem enzim mampu menghasilkan radikal bebas dalam
jumlah yang cukup bermakna, meliputi xanthine oxidase (activated in
ischemia-reperfusion), prostaglandin synthase, lipoxygenase, aldehyde oxidase, dan amino
acid oxidase. Enzim myeloperoxidase hasil aktivasi netrofil, memanfaatkan
hidrogen peroksida untuk oksidasi ion klorida menjadi suatu oksidan yang kuat
asam hipoklor (Inoue, 2001).
3. Respiratory burst
Respiratory burst merupakan terminologi yang digunakan untuk menggambarkan proses dimana sel fagositik menggunakan oksigen dalam jumlah
yang besar selama fagositosis (Abate, 1990).
Sedangkan sumber eksogen terdiri atas :
1. Obat-obatan
Beberapa macam obat dapat meningkatkan produksi radikal bebas dalam bentuk
peningkatan tekanan oksigen. Bahan-bahan tersebut yang bereaksi bersama
hiperoksia dapat mempercepat tingkat kerusakan. Termasuk didalamnya
antibiotika kelompok quinoid atau berikatan logam untuk aktifitasnya
(nitrofurantoin), obat kanker seperti bleomycin, anthracyclines (adriamycin), dan
methotrexate, yang memiliki aktivitas pro-oksidan. Selain itu, radikal juga
berasal dari fenilbutason, beberapa asam fenamat dan komponen aminosalisilat
dari sulfasalasin dapat menginaktifasi protease, dan penggunaan asam askorbat
2. Radiasi
Radioterapi memungkinkan terjadinya kerusakan jaringan yang disebabkan oleh
radikal bebas. Radiasi elektromagnetik (sinar X, sinar gamma) dan radiasi
partikel (partikel elektron, photon, neutron, alfa, dan beta) menghasilkan radikal
primer dengan cara memindahkan energinya pada komponen seluler seperti air.
Radikal primer tersebut dapat mengalami reaksi sekunder bersama oksigen yang
terurai atau bersama cairan seluler (Droge, 2002).
3. Asap rokok
Oksidan dalam rokok mempunyai jumlah yang cukup untuk memainkan peranan
yang besar terjadinya kerusakan saluran napas. Bahan lain seperti nitrit oksida,
radikal peroksil, dan radikal yang mengandung karbon ada dalam fase gas. Juga
mengandung radikal lain yang relatif stabil dalam fase tar. Contoh radikal dalam
fase tar meliputi semiquinone moieties dihasilkan dari bermacam-macam
quinone dan hydroquinone. Perdarahan kecil berulang merupakan penyebab
yang sangat mungkin dari desposisi besi dalam jaringan paru perokok. Besi
dalam bentuk tersebut menyebabkan pembentukan radikal hidroksil yang
mematikan dari hidrogen peroksida. Juga ditemukan bahwa perokok mengalami
peningkatan netrofil dalam saluran napas bawah yang mempunyai kontribusi
pada peningkatan lebih lanjut konsentrasi radikal bebas (Proctor, 1984).
Radikal bebas diproduksi dalam sel yang secara umum melalui reaksi
pemindahan elektron, menggunakan mediator enzimatik atau non-enzimatik.
Produksi radikal bebas dalam sel dapat terjadi secara rutin maupun sebagai reaksi
terhadap rangsangan. Radikal bebas diproduksi terus menerus di dalam sistem
transpor elektron mitokondria, membran plasma, sitosol, retikulum endoplasma dan
peroksisom (Madhavi et al., 1996). Zakaria et al. (1996) menyatakan senyawa radikal yang terbentuk, selanjutnya menjadi pemicu pada proses peroksidasi lipid,
sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Molekul fosfolipid merupakan
komponen utama dari membran sel. Setiap sel didalam tubuh manusia dan hewan
dibungkus oleh membran fosfolipid bipolar yang mempunyai karakter mirip dengan
cairan kental yang bersifat tidak permeabel terhadap molekul besar dan komponen
metabolik yang lain. Adanya rantai asam lemak tak jenuh pada fosfolipid merupakan
menyebabkan oksidasi polyunsaturated fatty acid (PUFA) dari sel membran yang akan menyebabkan gangguan pada fluiditas membran, fungsi barrier membran sel, dan inaktivasi dari enzim maupun reseptor yang tergantung pada membran fosfolipid
seperti Na-K ATP ase.
Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau
lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat diredam.
Antioksidan menurut Lautan (1997) adalah senyawa-senyawa yang mampu
menghilangkan, membersihkan, menahan pembentukan ataupun memadukan efek
reactive oxygen species (ROS). Penggunaan senyawa antioksidan saat ini semakin meluas seiring dengan semakin besarnya pemahaman masyarakat tentang
peranannya dalam menghambat penyakit degeneratif seperti penyakit jantung,
arterosklerosis, kanker, serta gejala penuaan.
Sumber perolehan antioksidan ada 2 macam, yaitu antioksidan alami dan
antioksidan buatan (sintetik) (Dalimartha dan Soedibyo, 1999). Antioksidan dapat
berasal dari kelompok yang terdiri atas satu atau lebih komponen pangan, substansi
yang dibentuk dari reaksi selama pengolahan atau dari bahan tambahan pangan yang
khusus diisolasi dari sumber-sumber alami dan ditambahkan ke dalam bahan
makanan. Adanya antioksidan alami maupun sintetis dapat menghambat oksidasi
lipid, mencegah kerusakan, perubahan dan degradasi komponen organik dalam bahan
makanan sehingga dapat memperpanjang umur simpan (Rohdiana, 2001). Tubuh
memiliki sistem antioksidan internal terhadap radikal bebas, sistem antioksidan ini
terbagi menjadi tiga jenis, yaitu :
1) Antioksidan primer (antioksidan primer/antioksidan enzimatis) Contohnya
SOD, katalase dan glutathion peroksidase. Enzim-enzim ini mampu
menekan atau menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara
memutus reaksi berantai dan mengubahnya menjadi produk lebih stabil.
Reaksi ini disebut sebagai chain-breaking-antioxidant.
2) Antioksidan sekunder (antioksidan eksogen atau antioksidan nonenzimatis).
Contoh antioksidan sekunder ialah vitamin E, vitamin C, β-karoten,
isoflavon, asam urat, bilirubin, dan albumin. Senyawa - senyawa ini dikenal
3) Antioksidan tersier, misalnya enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida
reduktase yang berperan dalam perbaikan biomolekul yang dirusak oleh
radikal bebas (Winarsi, 2005). Antioksidan terbagi menjadi antioksidan
enzim dan vitamin. Antioksidan enzim meliputi SOD, katalase dan glutation
peroksidase (GSH.Prx). Antioksidan vitamin lebih populer sebagai
antioksidan dibandingkan enzim. Antioksidan vitamin mencakup alfa
tokoferol (vitamin E), beta karoten dan asam askorbat (vitamin C) (Sofia,
2005).
Antioksidan sangat dibutuhkan oleh tubuh, terutama oleh tubuh yang banyak
terkontaminasi polusi lingkungan atau yang rentan terkena bahaya radikal bebas,
seperti para lanjut usia, perokok, pasien diabetes melitus, penderita hipertensi,
penderita peradangan kronis. Tubuh manusia tidak mempunyai cadangan antioksidan
dalam jumlah berlebih, sehingga jika terjadi paparan radikal berlebih maka tubuh
membutuhkan antioksidan eksogen. Keseimbangan antara antioksidan dan radikal
bebas menjadi kunci utama pencegahan stress oksidatif dan penyakit-penyakit
kronis yang dihasilkan (Sofia, 2005).
Delima (Punica granatum L.)
Delima (Punica granatum L.) adalah tanaman buah-buahan yang dapat tumbuh hingga 5-8 m.
Gambar 2. Buah Delima
Sumber : Crozier et al. 2009
Tanaman ini diperkirakan berasal dari Iran, namun telah lama
kota kuno di Spanyol, Granada, berdasarkan nama buah ini. Tanaman ini juga
banyak ditanam di daerah Tiongkok Selatan dan Asia Tenggara.
Klasifikasi ilmiah dari buah delima menurut California Rare Fruit Grower (1997)
Familia : Lythraceae (Punicaceae)
Genus : Punica
Spesies : Punica granatum L.
Buah delima tersebar di daerah subtropik sampai tropik, dari dataran rendah
sampai dengan ketinggian hingga 1.000 m dpl (diatas permukaan laut). Tumbuhan
ini menyukai tanah gembur yang tidak terendam air, dengan air tanah yang tidak
dalam. Delima sering ditanam di kebun-kebun sebagai tanaman hias, tanaman obat,
atau karena buahnya yang dapat dimakan. Tanaman ini juga berupa perdu atau pohon
kecil dengan tinggi 2–5 m. Batang pohon delima berkayu, rantingnya bersegi,
percabangannya banyak, lemah, berduri pada ketiak daunnya, berwarna coklat ketika
masih muda, dan hijau kotor setelah tua. Daun tunggal, bertangkai pendek, letaknya
berkelompok.
Bunga tunggal bertangkai pendek, keluar di ujung ranting atau di ketiak daun
yang paling atas. Biasanya, terdapat satu sampai lima bunga, warnanya merah, putih,
atau ungu. Berbunga sepanjang tahun. Buahnya buah buni, bentuknya bulat dengan
diameter 5–12 cm, warna kulitnya beragam, seperti hijau keunguan, putih, coklat
kemerahan, atau ungu kehitaman. Kadang, terdapat bercak-bercak yang agak
menonjol berwarna lebih tua. Bijinya banyak, kecil-kecil, bentuknya bulat panjang
yang bersegi-segi agak pipih, keras, tersusun tidak beraturan, warnanya merah,
merah jambu, atau putih. Perbanyakan dengan stek, tunas akar atau cangkok. Buah
yang matang akan berwarna mencolok dan mengkilat (California Rare Fruit
Komposisi gizi per 100 gram bagian yang dapat dimakan dari buah delima
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Gizi per 100 gram Buah Delima
Komponen Gizi Kadar
Menurut Astawan (2008), kandungan gula inversi mencapai 20%, terdiri dari
5 - 10 % berupa glukosa, asam sitrat (05-3,5%), asam borat dan vitamin C (4
mg/100 g). Kombinasi tersebut menyebabkan buah delima berasa manis-asam
menyegarkan. Mineral yang paling dominan adalah kalium (259 mg/100 g). Selain
untuk menjaga tekanan osmotik (mencegah hipertensi), kalium juga membantu
mengaktivasi reaksi enzim, seperti piruvat kinase yang dapat menghasilkan asam
piruvat dalam proses metabolisme karbohidrat. Kandungan mineral natriumnya
sangat rendah, yaitu 3 mg/100 gram. Hal ini menguntungkan karena natrium
berpotensi merugikan, yaitu dapat menimbulkan hipertensi.
Zat pewarna kuning pada kulit buah delima adalah asam galotanat.
kering juga mengandung banyak tanin (sampai 26%). Alkaloid di dalam kulit
batangnya termasuk ke dalam kelompok piridina.
Khomsan (2009) mengatakan sari buah delima memiliki kandungan ion
kalium (potasium), vitamin C, dan polifenol. Sari buah delima juga memilki
kandungan flavonoid yang sangat penting peranannya untuk menurunkan radikal
bebas, dan memberikan perlindungan terhadap penyakit jantung dan kanker kulit.
Antioksidan dalam Buah Delima
Astawan (2008) menyatakan bahwa buah delima mengandung antioksidan
berupa senyawa fenol yaitu flavonoid dan tanin. Senyawa fenol meliputi berbagai
senyawa yang berasal dari tumbuhan yang memiliki ciri sama yaitu cincin aromatik
yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil (Harbourne, 1987). Flavonoid
termasuk kedalam senyawa fitokimia selain senyawa fenol, tanin, alkaloid, steroid,
dan triterpenoid (Harbourne, 1987). Menurut Bidlack dan Wang (2000), senyawa
fitokimia dapat mencegah penyakit kardiovaskular dan kanker. Flavonoid merupakan
golongan terbesar dari senyawa fenol (Harbourne, 1987). Berdasarkan strukturnya
flavonoid dibagi menjadi flavonoid, isoflavon, dan neoflavonoid. Menurut Rimm et al. (1999), flavonoid sangat efektif digunakan sebagai antioksidan dan dapat mencegah penyakit kardiovaskuler dengan menurunkan oksidasi LDL. Jenis senyawa
flavonoid dalam buah delima disebut ellagic acid atau ellagitanin dan punicalagin
(Jimenez et al., 2006; Crozier et al., 2009), seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur Punicalagin dan Ellagic Acid
Sumber :Crozier et al. 2009
Tanin merupakan salah satu senyawa fenol kompleks (Harbourne, 1987).
Tanin terkondensasi dihasilkan melalui polimerisasi flavonoid dan banyak terdapat
pada lapisan biji tanaman kayu. Tanin memiliki sifat antioksidan karena
penghambatan lipoksigenase (Zeuthen dan Sorensen, 2003). Tanin pada buah delima
disebut punicalagin.
Zat Makanan Serat Kasar
Serat kasar mempunyai pengertian sebagai fraksi dari karbohidrat yang tidak
larut dalam basa dan asam encer setelah pendidihan masing-masing 30 menit.
Menurut Linder (1992), serat adalah bagian dari makanan yang tidak dapat tercerna
secara enzimatis oleh enzim yang diproduksi oleh saluran pencernaan manusia dan
ternak. Termasuk dalam komponen serat kasar ini adalah campuran hemiselulosa,
selulosa dan lignin yang tidak larut.
Untuk memperoleh data yang lebih akurat tentang fraksi lignin dan selulosa
dapat dilakukan analisa lain yang lebih spesifik dengan metode analisa serat Van
Soest (McDonald et al., 2002). Dari analisa Van Soest diperoleh fraksi lignin,
selulosa dan hemiselulosa yang justru perlu diketahui komposisinya khusus untuk
hijauan makanan ternak atau umumnya pakan berserat.
Menurut James dan Gropper (1990), serat pangan, dikenal juga sebagai serat
diet atau dietary fiber, adalah bagian tak tercerna dari bahan pangan (biasanya nabati) yang melalui sistem pencernaan, menyerap air sehingga memudahkan
defekasi (buang air besar). Serat pangan tersusun dari polisakarida non-pati seperti
selulosa dan berbagai komponen tumbuhan seperti dekstrin, inulin, lignin, malam,
kitin, pektin, beta-glukan, dan oligosakarida. Kalangan ahli gizi serat pangan biasa
dibedakan menjadi serat larut (serat lunak) dan serat tidak larut (serat kasar).
Kandungan keduanya tergantung bahan pangan serta umur panen dari bahan pangan
tersebut. James dan Gropper (1990) menyatakan bahwa serat adalah komponen
jaringan tanaman yang tahan terhadap hidrolisis enzim dalam lambung dan usus dan
tidak larut dalam larutan deterjen netral.
Serat menurut James dan Gropper (1990) juga memiliki sifat adsortif, serat
akan mengikat misel lemak sehingga akan mengurangi adsorbsi lemak, lemak darah
dan kadar trigliserida yang dideposit dalam jaringan adiposa.
Serat larut, seperti pektin (yang biasanya terasa lekat pada tangan), akan
memiliki efek yang baik bagi kesehatan. Serat tak larut, misalnya selulosa dan lignin,
membantu penyerapan air pasif, membuat feses lebih menggumpal dan
mempersingkat perjalanannya di usus besar. Serat dapat mencegah terjadinya
penyerapan kembali asam empedu, sehingga lebih banyak asam dan kolesterol yang
dikeluarkan bersama feses (Winarno, 1997).
Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen
Ensminger et al. (1990) membagi pakan menjadi 6 (enam) fraksi, yaitu : kadar air, abu, protein, lemak kasar, serat kasar dan bahan ekstrak tanpa
nitrogen (BETA-N). Pembagian zat makanan ini kemudian dikenal sebagai Skema
Proksimat. Bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETA-N) dijadikan indeks bagian
karbohidrat bahan pakan yang bukan selulosa. Kebalikan dari serat kasar yang kaya
akan lignin dan selulosa sehingga sulit dicerna (Amrullah, 2004). Kandungan
BETA-N suatu bahan pakan tergantung pada komponen lainnya, seperti abu, protein kasar,
lemak kasar, dan serat kasar. Untuk memperoleh BETA-N adalah dengan cara
perhitungan : 100% - (Air +Abu + Protein Kasar + Lemak Kasar + Serat Kasar)%.
Dalam fraksi ini termasuk karbohidrat yang umumnya mudah tercerna antara lain
pati dan gula (McDonald et al., 2002).
Lemak
Lemak merupakan bahan yang tidak dapat larut dalam air. Lemak
adalah segolongan senyawa hidrofobik yang sangat penting untuk penyimpanan
bahan pembakaran, untuk membentuk struktur membran, pembawa vitamin-vitamin
yang larut dalam lemak, sebagai hormon dan sebagai pengemban oligosakarida
(Champe et al., 2005).
Menurut McDonald et al. (2002), lemak diklasifikasikan berdasarkan kelompok gliserol dan nongliserol. Kelompok gliserol terbagi atas gliserol sederhana
dan komplek. Gliserol sederhana yaitu lemak dan gliserol komplek terdiri atas
glikolipid dan phospogliserida. Sedangkan kelompok nongliserol terdiri atas
Kolesterol
Kolesterol adalah senyawa kimia yang tergolong dalam kelompok senyawa
organik yang tidak dapat larut dalam air. Kolesterol (C27H45OH) adalah alkohol
steroid, semacam lemak yang ditemukan dalam lemak hewani, minyak, empedu,
susu, dan kuning telur, yang sebagian besar disintesis oleh hati dan bahan bakunya
diperoleh dari karbohidrat, protein atau lemak. Jumlah yang disintesis bergantung
pada kebutuhan tubuh dan jumlah yang diperoleh dari makanan (Champe et al., 2005)
Kolesterol berfungsi sebagai bahan baku pembentuk hormon steroid yang
menjadi bagian dari mekanisme pertahanan tubuh terhadap penyakit. Kolesterol di
dalam tubuh mempunyai fungsi ganda, yaitu dapat diperlukan atau dapat
membahayakan, tergantung kepada konsentrasi di dalam tubuh dan tergantung
kepada bagian mana kolesterol berada. Jumlah kolesterol yang terlalu banyak
dalam darah dapat membentuk endapan pada dinding pembuluh darah, sehingga
dapat menyebabkan penyempitan yang sering disebut dengan arterosklerosis.
Apabila penyempitan terjadi pada pembuluh darah jantung, maka akan
menyebabkan penyakit jantung koroner (Almatsier, 2004).
Kolesterol diperoleh dari hasil sintesis di dalam hati. Bahan baku pembuatan
kolesterol diperoleh dari karbohidrat, protein atau lemak. Jumlah yang disintesis
tergantung pada kebutuhan tubuh dan jumlah yang diperolah dari makanan. Molekul
kolesterol terdiri atas tiga lingkar enam tersusun seperti dalam fenantren dan terlebur
dalam suatu lingkar lima, hidrokarbon tetrasiklik jenuh, yang mempunyai sistem
lingkar lima, hidrokarbon tetrasiklik jenuh, yang mempunyai sistem lingkar demikian
dan terdiri atas 17 atom karbon, disebut 1,2 siklopentenoperhidrofenantren, kerangka
ini sekalius merupakan ciri khusus yang membedakan steroid dengan senyawa
organik bahan alam lainnya. Kolesterol merupakan steroida penting, bukan saja
karena merupakan komponen membran, tetapi juga karena merupakan pelopor
biosintetik umum untuk steroid lain termasuk hormon steroida dan garam empedu.
Kolesterol berlimpah dalam otak dan jaringan saraf lainnya, dengan mencerminkan
pentingnya fungsi membran di dalam jaringan-jaringan ini. Sebagai lipida membran
kolesterol terdapat di dalam membran sel organisme tingkat tinggi, tetapi tidak
Di dalam tubuh manusia dan hewan, jumlah kolesterol di dalam sel diatur
oleh banyak faktor. Faktor tersebut dapat dibagi menjadi menjadi dua
macam(pustaka):
1. Faktor luar sel, seperti jumlah kolesterol bebas atau yang terikat dalam
lipoprotein di luar sel, persediaan asam lemak bebas, dan adanya hormon
tertentu.
2. Faktor dalam sel, seperti kegiatan enzim yang berperan dalam sintesis
kolesterol dan yang berperan dalam katabolisme kolesterol, jumlah
ketersediaan terpenoida lanosterol dan skualin sebagai prazat untuk sintesis
kolesterol, jumlah hasil metabolisme kolesterol, adanya kegiatan
pengangkutan kolesterol atau derivatnya ke luar dari sel dengan mekanisme
pengangkutan aktif melalui membran sel, dan pengaruh viskositas
membran.
Kolesterol dalam tubuh berasal dari dua sumber, yaitu berasal dari makanan
yang disebut kolesterol eksogen dan dari sintesis tubuh (kolesterol endogen).
Kolesterol eksogen yang telah dicerna oleh usus akan bergabung dengan kolesterol
endogen yang disintesis oleh tubuh (Pilliang dan Djojosoebagio, 2006).
Biosintesis kolesterol terbagi atas lima tahap (Mayes et al., 1996), yaitu : 1. Sintesis mevalonat, yaitu suatu senyawa enam karbo dari Asetil-KoA, terbentuk
akibat reaksi kondensasi dan reduksi yang berlangsung dalam mitokondria,
2. Unit isoprenoid dibentuk dari mevalonat melalui pelepasan CO2 pada reaksi
fosforilasi oleh ATP,
3. Senyawa antar skualen terbentuk melalui kondensasi enam unit isoprenoid,
4. Skualen mengadakan siklisasi untuk menghasilkan senyawa steroid induk yaitu
lanosterol yang berlangsung dalam retikulum endoplasma,
5. Kolesterol dibentuk di dalam membran retikulum endoplasma dari lanosterol
setelah beberapa tahap.
Gangguan terhadap salah satu mekanisme pengaturan tersebut dapat
Fraksi Lemak Darah
Lemak dalam darah terdiri atas kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam
lemak bebas. Trigliserida merupakan lemak makanan yang paling dominan.
Jumlah lemak yang dapat dicerna dan diadsorbsi oleh orang dewasa adalah sekitar
95 % dari total lemak yang dikonsumsi. Sebelum dikonsumsi, kolesterol mengalami
esterifikasi yang dikatalisis oleh asetil koenzim A, dan kolesterol asetil transferase.
Hasil dari pencernaan lemak berupa monogliserida dan asam lemak rantai panjang.
Asam lemak rantai pendek (C4 – C6) dan rantai panjang (C8 – C10) diadsorbsi
langsung ke dalam vena porta kemudian dibawa ke hati untuk dioksidasi. Trigliserida
dan lipida besar lainnya (kolesterol dan fosfolipid) yang terbentuk di dalam
usus halus dikemas untuk diadsorbsi secara aktif dan ditransportasi oleh darah.
Bahan – bahan ini bergabung dengan protein – protein khusus dan membentuk
lipoprotein. Komponen – komponen dari lipoprotein yaitu kilomikron, LDL (Low
Density Lipoprotein), VLDL (Very Low Density Lipoprotein),dan HDL (High
bertambah berat dan berubah menjadi LDL. Semua kolesterol dan trigliserida yang
berasal dari sisa kilomikron dan disintesis oleh hati, apabila melebihi kebutuhan hati
maka akan diangkut dari hati ke dalam darah dalam bentuk VLDL. Nasib VLDL
sama seperti kilomikron, selama dalam sirkulasi darah akan dihidrolisis oleh enzim
lipoproteinlipase yang terdapat di sel-sel endotelium dinding pembuluh darah,
kemudian trigliseridanya diambil oleh sel endothelium sebagai bahan bakar, sisa
yang kaya kolesterol disebut Intermidiate Density Lipoprotein (IDL). Kemudian IDL
ini separuhnya masuk kembali ke dalam hati dan separuhnva lagi diubah mejadi LDL
yang melanjutkan tugasnya mengangkut kolesterol dan membagikan ke seluruh
sel-sel tubuh untuk membentuk dinding sel-sel yang baru (Lehninger, 1990).
Definisi LDL merupakan kolesterol yang bersirkulasi di dalam tubuh
dan kemudian dibawa ke sel – sel otot, sel lemak, dan sel – sel lain. Selanjutnya LDL
dan reseptor LDL ini sangat penting dalam pembentukan kolesterol darah
karena 50 – 75 % reseptor LDL terdapat dalam sel hati. Pada tubuh, kolesterol
LDL akan dirusak oleh sel perusak (scavenger pathway) sehingga tidak dapat
kembali ke dalam aliran darah. Perusakan LDL ini akan menyebabkan
terjadinya plak bila dibiarkan selama bertahun – tahun. Plak akan bercampur
dengan protein dan ditutupi oleh sel – sel otot dan kalsium. Apabila kejadian
ini dibiarkan begitu saja, hal ini akan mengakibatkan atherosklerosis (Almatsier,
2004).
Definisi HDL merupakan lipoprotein yang memiliki densitas tinggi ,
diproduksi oleh hati dan usus halus, dan dapat berikatan dengan kolesterol dan
fosfolipida yang ada pada peredaran darah. Hasil ikatan itu kemudian ditransfer
ke lipoprotein lain untuk diangkut kembali ke hati, kemudian diedarkan
kembali atau dikeluarkan dari tubuh. Nilai HDL dan LDL memiliki implikasi
terhadap kesehatan jantung dan pembuluh darah. Nilai LDL yang tinggi bisa
dikaitkan dengan resiko tinggi terhadap serangan jantung, sedangkan nilai HDL
tinggi dikaitkan dengan resiko rendah terhadap serangan jantung (Marks et al., 2000). Hal ini menunjukkan bahwa kolesterol tidak sepenuhnya merupakan racun
dalam tubuh, karena kolesterol merupakan unsur penting dalam tubuh yang
diperlukan untuk mengatur proses kimiawi di dalam tubuh, tetapi kolesterol dalam
jumlah tinggi dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang akhirnya akan
MATERI DAN METODE
Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2009 di
Laboratorium Pemulian Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, sedangkan analisis darah dilakukan di Laboratorium Klinik Cimanggis,
Depok.
Materi Hewan Percobaan
Penelitian ini menggunakan 30 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley berumur 21 hari berjenis kelamin jantan. Tikus penelitian diperoleh
dari Bagian Pemuliaan dan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Kandang dan Peralatan
Tikus penelitian dipelihara selama delapan minggu dalam kandang,
beralaskan sekam dan penutup kawat yang dilapisi kain, dan cawan untuk tempat
batang rokok, juga dilengkapi dengan tempat minum dan tempat pakan. Peralatan
lain yang digunakan adalah timbangan.
Ransum, Tepung Buah dan Biji Delima, dan Rokok
Ransum kontrol yang digunakan selama penelitian adalah ransum komersial
yaitu ransum tikus dengan PK 18 % berbentuk mash. Tepung buah dan biji delima komersial digunakan sebagai bahan antioksidan, sedangkan rokok (Marlboro Full
Flavor) digunakan sebagai bahan pemicu terjadinya oksidasi.
Prosedur
Pembuatan Ransum Pellet
Ransum kontrol dan ransum percobaan yang digunakan pada penelitian ini
Penerapan Perlakuan
Pemeliharaan tikus dilakukan selama delapan minggu, dimulai dengan
periode preliminary selama satu minggu dan dilanjutkan pemberian perlakuan serta pengamatan peubah. Sebelum digunakan tikus ditimbang terlebih dahulu.
Selanjutnya setiap minggu tikus ditimbang untuk mengetahui perubahan bobot
badannya. Perlakuan yang diberikan pada tikus putih adalah pengasapan pada
kandang tikus dengan menggunakan asap rokok, sehingga udara disekitar tikus putih
terkontaminasi oleh radikal bebas yang berasal dari asap rokok tersebut. Pakan
diberikan setelah tikus dikondisikan dalam lingkungan yang terkontaminasi oleh asap
rokok selama ± 30 menit.
Proses pengasapan rokok yang dilakukan selama penelitian dapat dilihat pada
Gambar 4.
Gambar 4. Metode Pengasapan
Keterangan gambar :
1. Batang rokok ditempatkan pada cawan rokok.
2. Bagian ujung rokok dibakar dengan api hingga mengeluarkan asap.
3. Rokok yang telah terbakar di dalam cawan dimasukkan ke dalam kandang individu.
4. Kandang individu ditutup dengan kawat penutup. Rokok yang ada di dalam kandang
individual dipastikan tetap terbakar dan mengeluarkan asap.
5. Selanjutnya kandang individu ditutup dengan kardus dan ditunggu hingga rokok habis
Pakan diberikan dalam tiga waktu, yaitu pagi, siang dan sore hari.
Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Konsumsi pakan dihitung setiap minggu sekali. Ransum tiap perlakuan dimasukkan ke dalam plastik, masing-masing
sebanyak 25-50 gram untuk sepuluh ulangan per perlakuan sebagai persediaan
selama satu minggu. Sisa ransum dihitung dari ransum yang tersisa dalam plastik,
tempat pakan dan yang tercecer di kandang.
Penelitian ini menggunakan tiga macam ransum masing-masing dengan
sepuluh ulangan yang dicobakan pada 30 ekor tikus putih jantan. Tiga ransum
perlakuan tersebut adalah sebagai berikut :
R0 = Ransum kontrol (tanpa diberi tepung buah dan biji delima)
R1 = 95% R0 + 5% tepung buah dan biji delima
R2 = 90% R0 + 10% tepung buah dan biji delima
Pengukuran Bobot Badan dan Lingkar Perut
Tikus putih yang digunakan dalam penelitian ini bobot badannya ditimbang
terlebih dahulu. Kemudian, selama penelitian bobot badan tikus putih diamati dengan
cara melakukan penimbangan bobot badan setiap satu minggu sekali, sehingga akan
terlihat ada atau tidaknya peningkatan bobot badan tikus putih setiap minggunya
selama periode penelitian.
Setelah ditimbang, lingkar perut tikus diukur dengan pita ukur. Pengukuran
dilakukan dengan menggunakan pita ukur satuan centimeter pada posisi perut bagian
tengah yang diukur melingkar pada tonjolan tulang rusuk terakhir.
Pengumpulan Feses
Pengumpulan feses dilakukan pada minggu kedua dan kelima penelitian.
Feses yang ada dalam kandang terlebih dahulu dipisahkan dari sekam yang
menempel pada feses. Cara pemisahan feses dilakukan dengan cara dijemur dibawah
matahari sampai kering, kemudian baru dipisah satu persatu dari sekam. Selanjutnya
feses yang terkumpul ditimbang dengan menggunakan timbangan manual. Sampel
feses yang terkumpul kemudian dikomposit, dan diambil sebanyak yang diperlukan
Pengambilan Sampel Darah
Pengambilan sampel darah dilakukan pada akhir penelitian yaitu pada
minggu kedelapan. Sebelum darah diambil, tikus dipuasakan terlebih dahulu selama
delapan jam. Sampel darah diambil melalui ekor dengan cara memotong sedikit
bagian ujung ekor tikus sehingga mengeluarkan darah. Darah yang keluar ditampung
di dalam tabung yang berisi anti koagulan. Sampel darah kemudian dikirim ke
Laboratorium Klinik di Cimanggis, Depok untuk dianalisa.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Konsumsi Lemak Kasar (g/ekor/hari)
Jumlah konsumsi zat makanan lemak kasar diperoleh dari perhitungan
selisih antara jumlah lemak kasar yang diberikan dengan sisa lemak kasar.
2. Konsumsi Serat Kasar (g/ekor/hari)
Jumlah konsumsi serat kasar diperoleh dari perhitungan selisih antara
jumlah serat kasar yang diberikan dengan sisa serat kasar.
3. Konsumsi BETA-N (g/ekor/hari)
Jumlah konsumsi BETA-N diperoleh dari perhitungan selisih antara jumlah
BETA-N yang diberikan dengan sisa BETA-N.
4. Kecernaan Lemak Kasar (%)
Kecernaan lemak kasar dihitung dari selisih antara konsumsi lemak kasar
ransum dengan produksi lemak kasar feses dibagi dengan konsumsi lemak
kasar dikali seratus persen.
5. Kecernaan Serat Kasar (%)
Kecernaan serat kasar dihitung dari selisih antara konsumsi serat kasar
ransum dengan produksi serat kasar feses dibagi dengan konsumsi serat
kasar dikali seratus persen.
6. Kecernaan BETA-N (%)
Kecernaan BETA-N dihitung dari selisih antara konsumsi BETA-N ransum
dengan produksi BETA-N feses dibagi dengan konsumsi BETA-N dikali
7. Kadar Glukosa Darah, Kolesterol, Trigliserida, dan HDL (mg/dl)
Kadar glukosa darah, kolesterol, trigliserida, dan HDL diukur dengan
menggunakan metode gas kromatografi.
8. Kadar LDL (mg/dl)
Kadar LDL diukur dengan menggunakan rumus Friedewald:
kolesterol-(trigliserida/5+HDL)
9. Lingkar Perut (cm)
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan pita ukur satuan centimeter
pada posisi perut bagian tengah yang diukur melingkar pada tonjolan tulang
rusuk terakhir.
Rancangan dan Analisis Data Rancangan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan sepuluh ulangan. Tiga perlakuan
tersebut adalah R0 = ransum kontrol (tanpa diberi tepung buah dan biji delima), R1 =
95% R0 + 5% tepung buah dan biji delima, dan R2 = 90% R0 + 10% tepung buah
dan biji delima. Perlakuan ini diberikan secara acak, tiga puluh tikus percobaan pada
sepuluh ulangan adalah jumlah tikus yang digunakan dalam masing-masing
perlakuan. Model matematik dari rancangan adalah sebagai berikut :
Xij = + i + ij
Keterangan :
= Rataan umum pengamatan
i = Pengaruh pemberian ransum (i = 1, 2, 3)
ij = Pengaruh galat ransum ke-i dan ulangan ke-j (j = 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7,
8,9,10)
Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis menggunakan analisa sidik
ragam (Analyses of Variance, ANOVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan
terhadap peubah yang diamati dan untuk mengetahui perbedaan di antara perlakuan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan Zat Makanan dalam Ransum
Berdasarkan hasil analisis proksimat, kandungan zat makanan ransum
perlakuan dan tepung buah dan biji delima (TBBD) disajikan pada Tabel 3. Pada
Tabel 3 terlihat bahwa penambahan TBBD pada ransum kontrol dapat mengubah
komposisi zat makanan ransum perlakuan. Kandungan bahan kering (BK)
mengalami peningkatan, namun kandungan BK di R2 sedikit lebih rendah daripada
R1. Kandungan serat kasar (SK) pada ransum R1 dan R2 lebih tinggi dibandingkan
R0. Hal ini disebabkan oleh tingginya nilai kandungan SK pada tepung delima
(16,82% BK), sehingga jika dicampurkan dengan ransum kontrol (R0) yang
memiliki kandungan SK sebesar 11,68% BK maka kandungan SK akan semakin
bertambah pada R1 dan R2
Tepung buah dan biji delima memiliki kandungan abu sebesar 5,06%, cukup
tinggi jika dibandingkan dengan data Morton (1987) yaitu sebesar 0,36 gram per 100
gram buah delima. Kandungan protein kasar (PK) sebesar 4,86% dan lemak kasar
(LK) sebesar 1,31%, serta kandungan serat kasar (SK) tinggi sebesar 16,82%. Energi
bruto TBBD sebesar 3885 kal/g. Astawan (2008) menyatakan bahwa kandungan
energi bruto pada buah delima sebesar 6800 kal/g. Dengan demikian, kandungan
energi bruto TBBD lebih rendah daripada literatur. Tabel 3. Kandungan Zat Makanan
Energi Bruto(kal/g) 3855 4342,47 4418,58 4450,03
Kandungan abu dan SK ransum lebih tinggi jika dibandingkan dengan
kebutuhan dasar makanan tikus menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu
abu (4-5%), dan SK (5%). Kandungan LK ransum lebih rendah daripada literatur
yaitu 5,55% menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988). Buah delima mengandung
senyawa antioksidan berupa tanin dan flavonoid (Astawan, 2008). Kandungan tanin
pada ransum meningkat dengan penambahan TBBD dari nilai pada R0 sebesar
0,02%, R1 sebesar 0,06%, dan R2 sebesar 0,08% dan flavonoid sebesar 0,25% pada
R0, 0,355% pada R1 dan R2 sebesar dan 0,57% (Sofriani et al., 2010 data belum dipublikasikan). Tanin dan flavonoid merupakan sumber antioksidan yang ada di
dalam buah delima. Antioksidan tersebut berfungsi untuk mengatasi efek radikal
bebas yang akan mempengaruhi kondisi tubuh tikus, seperti kesehatan, nafsu makan,
dan metabolisme tubuh. Asupan tanin dan flavonoid diduga dapat mempengaruhi
konsumsi, kecernaan, dan metabolisme pakan. Tanin dapat berikatan dengan PK
sehingga kecernaan pakan akan menurun (Agni, 2005). Selain itu tanin juga diduga
mempengaruhi metabolisme karbohidrat dan lemak (Cannas, 2009).
Konsumsi Lemak Kasar, Serat Kasar, dan BETA-N
Konsumsi ransum sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan
energi. Faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum diantaranya adalah kandungan
energi pada ransum, kecepatan pertumbuhan, dan bentuk ransum. Berdasarkan hasil
sidik ragam, perlakuan tidak memberikan efek yang nyata terhadap konsumsi LK,
konsumsi SK dan konsumsi BETA-N jika dinyatakan dalam g/ekor/hari. Perlakuan
memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi LK, SK, dan
BETA-N apabila konsumsi dinyatakan dalam g/bobot badan metabolis (BB0,75)/hari
(Tabel 4). Penggunaan BB0,75 dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh bobot badan
terhadap konsumsi. Berdasarkan uji ortogonal kontras, tikus yang mendapatkan
perlakuan R0, konsumsi semua zat makanan yang berdasarkan BB0,75 lebih rendah
Konsumsi LK pada R0 lebih rendah bila dibandingkan dengan konsumsi LK
pada R1 dan R2. Hal ini dapat diduga karena kandungan LK ransum R0 lebih rendah
dibandingkan R1 dan R2. Pratiwi (2010) menyatakan bahwa konsumsi BK (
3,095-3,563 g BK/BB0,75/hari) dan bahan organik (BO) (3,240-2,795 g BK/BB0,75/hari) pada
tikus yang diberi R0 paling rendah daripada perlakuan lain. Hal ini juga berpengaruh
terhadap konsumsi LK, SK, dan BETA-N. Rendahnya konsumsi ini diduga dapat
disebabkan oleh paparan asap rokok. Menurut Mendes (2008) dan Panda (2001),
kandungan tar dan nikotin dalam rokok Marlboro Full Flavor (MFF) masing-masing
15 dan 1,1 mg/batang merupakan kandungan yang sangat tinggi dibandingkan
dengan produk Marlboro lainnya dan dapat berdampak negatif terhadap kesehatan
seperti gangguan paru-paru dan hati. Berdasarkan literatur tersebut, rokok yang
digunakan pada penelitian ini diduga dapat menyebabkan efek berbahaya bagi kesehatan
dan menggangu performans tikus yang salah satunya adalah penurunan konsumsi pada
tikus terutama pada tikus yang memperoleh perlakuan R0.
Pada perlakuan R1 dan R2, penambahan TBBD ternyata dapat meningkatkan
konsumsi zat makanan dibandingkan perlakuan R0. Konsumsi LK meningkat pada
R1 sebesar 0,015 g/BB0,75 dan R2 sebesar 0,016 g/BB0,75. Konsumsi SK tikus yang
dipapar asap rokok, tetapi diberi TBBD sebesar 5 dan 10% meningkat jika Tabel 4. Rataan Konsumsi Lemak Kasar, Serat Kasar, dan BETA-N
Konsumsi Perlakuan
dibandingkan dengan tikus yang hanya diberi paparan asap rokok saja. Konsumsi
BETA-N juga meningkat dari R0 (0,170 g/BB0,75/ekor/hari), R1 (0,195
g/BB0,75/ekor/hari), hingga R2 (0,196 g/BB0,75/ekor/hari).
Peningkatan konsumsi pada R1 dan R2 dapat diduga karena konsumsi BK
dan bahan organik (BO) pada R1 dan R2 lebih besar daripada R0 (Pratiwi, 2010).
Selain itu, kandungan zat makanan pada R1 dan R2 juga meningkat dengan
penambahan TBBD. Kandungan SK pakan yang tinggi menyebabkan laju
pergerakan zat makanan di dalam saluran pencernaan lebih cepat, sehingga lambung
cepat kosong dan mendorong tikus untuk mengkonsumsi pakan lebih banyak
(McDonald et al., 2002).
Kandungan antioksidan dalam TBBD diduga juga dapat menurunkan efek
negatif dari paparan asap rokok (Aviram et al., 2000; Lin et al., 2001). Pemberian antioksidan pada ransum R1 dan R2 berupa flavonoid dan tanin yang diberikan
secara bersamaan dengan paparan asap rokok pada tikus dalam penelitian ini diduga
mencegah terjadinya inflamasi atau peradangan dalam tubuh tikus pada hipotalamus
akibat asap rokok sehingga dapat menekan kenaikan kadar TNF-α dan menekan
penurunan enzim neuropeptida Y axis. Keadaan ini akan mengurangi timbulnya
anoreksia dan memperbaiki sistem fisiologi tubuh tikus akibat radikal bebas yang
berasal dari paparan asap rokok, sehingga nafsu makan tikus bertambah dan
Konsumsi Ransum, Ekskresi Feses, dan Kecernaan Lemak Kasar, Serat Kasar, dan Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen
Rataan konsumsi ransum, ekskresi feses, kecernaan LK, SK dan BETA-N
pada setiap ransum perlakuan terlihat dalam Tabel 5. Hasil sidik ragam menunjukkan
baik ransum kontrol maupun yang ditambah TBBD tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap konsumsi LK dan konsumsi SK, tetapi nyata (P<0,05) mempengaruhi
konsumsi BETA-N. Rendahnya konsumsi pada R0 dapat diduga disebabkan oleh
paparan rokok yang dilakukan pada tikus dapat menyebabkan kelainan psikis berupa
menurunnya nafsu makan atau anoreksia (Chen et al., 2006). Rendahnya konsumsi ransum akan mempengaruhi kecernaan dan metabolisme khususnya pada tikus R0.
Tabel 5. Rataan Kecernaan Lemak Kasar, Serat Kasar, dan BETA-N (Minggu Ke-3 dan Ke-5)
Peubah Perlakuan
R0 R1 R2
Konsumsi (g/BB0,75)
LK 0,072+0,007 0,085+0,011 0,088+0,011
SK 0,204+0,021 0,233+0,029 0,319+0,037
BETA-N 0,944+0,098a 1,085+0,138b 0,949+0,112a
Ekskresi Feses (g/BB0,75)
LK 0,016+0,003a 0,020+0,006b 0,023+0,005b
SK 0,104+0,023A 0,108+0,031A 0,152+0,036B
BETA-N 0,152+0,034a 0,186+0,054b 0,205+0,048b
Zat makanan tercerna (g/BB0,75)
LK 0,055+0,009a 0,065+0,009b 0,066+0,009b
SK 0,100+0,035A 0,125+0,029A 0,167+0,042B
BETA-N 0,792+0,111a 0,899+0,119b 0,745+0,107a
Kecernaan (%)
LK 77,167+5,785 76,439+6,036 74,356+6,002
SK 48,527+13,041 53,851+11,823 52,249+11,177
BETA-N 83,737+4,121b 82,946+4,369b 78,345+5,069a
Hal ini berakibat sedikitnya jumlah pakan yang masuk ke dalam tubuh tikus sehingga
ransum akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh dan
kemungkinan tidak terbentuk simpanan cadangan makanan dalam jaringan adiposa,
yang menyebabkan tikus harus memetabolis cadangan makanan di jaringan adiposa,
khususnya yang terletak pada rongga perut.
Meskipun konsumsi LK dan SK tidak berbeda nyata, data menunjukkan
perbaikan konsumsi terjadi pada tikus yang diberi perlakuan R1 dan R2. Hal ini
dapat diduga berdasarkan konsumsi BO dan BK yang meningkat (Pratiwi, 2010),
kandungan zat makanan yang meningkat pada R1 dan R2, serta kandungan
antioksidan TBBD yang dapat meningkatkan konsumsi (Aviram et al., 2000; Lin et
al., 2001; Chen et al., 2006).
Hasil uji orthogonal kontras menunjukkan penambahan 5% TBBD (R1)
berbeda nyata (P<0,05) dengan kontrol (R0) dan penambahan 10% TBBD pada
konsumsi BETA-N. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kandungan BETA-N dalam
ransum yang menunjukkan peningkatan pada R1 kemudian menurun pada R2.
Penambahan TBBD nyata (P<0,05) mempengaruhi ekskresi kandungan zat
makanan (LK, BETA-N) dan sangat nyata (P<0,01) pada SK dalam feses. Hasil uji
orthogonal kontras menunjukkan ekskresi LK dan BETA-N pada R0 berbeda nyata
(P<0,05) dengan R1 dan R2, ekskresi SK R0 dan R1 sangat berbeda nyata (P<0,01)
dengan R2. Penambahan 5 dan 10% TBBD dapat meningkatkan produksi zat
makanan dalam feses dibandingkan dengan R0. Ekskresi LK dan BETA-N pada R1
dan R2 tidak menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan hasil orthogonal kontras.
Sedangkan pada ekskresi SK, penambahan 10% TBBD menunjukkan hasil yang
sangat berbeda nyata dibandingkan penambahan 5% TBBD dan ransum kontrol. Hal
ini menunjukkan dengan penambahan TBBD akan meningkatkan jumlah SK yang
dikonsumsi sehingga sangat mempengaruhi ekskresi zat makanan pada feses tikus.
Kandungan SK yang tinggi dalam ransum menyebabkan laju aliran zat makanan
menjadi lebih cepat, sehingga banyak zat makanan yang keluar melalui feses.
Walaupun produksi zat makanan feses mengalami peningkatan, tetapi
ketersediaan zat makanan tercerna juga meningkat. Pola peningkatan zat makanan