• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Dan Hubungannya Dengan Kepuasan Kerja Karyawan: Perspektif Gender.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komunikasi Dan Hubungannya Dengan Kepuasan Kerja Karyawan: Perspektif Gender."

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNIKASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEPUASAN

KERJA KARYAWAN: PERSPEKTIF GENDER

PUTRI ASIH SULISTIYO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi dan Hubungannya dengan Kepuasan Kerja Karyawan: Perspektif Gender yang dilakukan di PT Madubaru Yogyakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2016

Putri Asih Sulistiyo

(4)

RINGKASAN

PUTRI ASIH SULISTIYO. Komunikasi dan Hubungannya dengan Kepuasan Kerja Karyawan: Perspektif Gender. Dibimbing oleh AIDA VITAYALA S. HUBEIS dan KRISHNARINI MATINDAS.

Peningkatan kontribusi dan partisipasi perempuan dalam dunia kerja menjadi agenda pembangunan yang belum berkesudahan, termasuk di Indonesia. Ketimpangan jumlah perempuan yang mampu memasuki pasar kerja dan sedikitnya sektor kerja yang dapat dimasuki oleh perempuan menjadi salah satu permasalahan keadilan gender dalam bidang ekonomi produktif. Lingkungan kerja produktif dianggap memiliki citra maskulin yang tidak cocok bagi perempuan. Maskulinitas dalam dunia kerja diciptakan oleh sosialisasi secara turun temurun yang membentuk pengetahuan dan sikap gender.

Secara umum, penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi sejauhmana komunikasi gender yang dimanifestasikan melalui bentuk-bentuk komunikasi seperti stereotipi, diskriminasi, marginalisasi, subordinasi, dan kekerasan seksual terjadi di dalam dunia kerja setelah adanya perubahan struktural di kesultanan Daerah Istimewa Yogyakarta dan di lingkugan pabrikdiuji. Komunikasi gender diuji hubungannya dengan kepuasan kerja karyawan. Secara khusus tujuan penelitian adalah 1) mendeskripsikan bentuk komunikasi gender, karakteristik individu, dan kepuasan kerja, 2) menguji hubungan komunikasi gender dengan karakteristik individu karyawan, 3) menguji hubungan antara komunikasi gender dengan kepuasan kerja karyawan, dan 4) menguji hubungan antara karakteristik individu dengan kepuasan kerja karyawan.

Desain penelitian adalah survei explanatory. PT Madubaru Yogyakarta sebagai salah satu perusahaan agroindustri terbesar dan tertua di Indonesia yang dipilih secara purposive sebagai lokasi penelitian. Penelitian dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2015 dengan jumlah sampel yang diuji sebanyak 70 orang, dipilih melalui metode purposive sampling. Data inferensia diuji menggunakan analisis

chi-square dan korelasi rank Spearman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa PT Madubaru merupakan seuah perusahaan yang didominasi laki-laki dalam hal jumlah. Secara usia, karyawan laki-laki lebih tua dari karyawan perempuan, memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dari perempuan dan masa kerja lebih lama dari karyawan perempuan. Secara pendapatan sebagian besar karyawan laki-laki dan perempuan memperoleh pendapatan sama sedikit lebih tinggi di atas UMR DI Yogyakarta, yaitu Rp 1.000.000 – Rp 2.000.000 perbulan, yang membedakan adalah terdapat responden laki-laki yang memiliki pendapatan di atas RP 3.000.000, sedangkan pada perempuan tidak ada.

(5)

merupakan karyawan yang mendapat perilaku ketidakadilan gender paling tinggi di dalam perusahaan.

Domain kepuasan kerja pada perempuan adalah kepuasan terhadap kondisi kerja, hubungan interpersonal, dan pekerjaan itu sendiri. Pada laki-laki domain kepuasan kerjanya adalah status dan kepuasan terhadap pengakuan, penghargaan atau perhatian. Bagi karyawan perempuan, kenyamanan ruangan, kondisi kekeluargaan dan pertemanan, jam kerja, dan dekatnya lokasi perusahaan dengan rumah merupakan hal penting dalam bekerja. Kondisi tersebut dirasakan ideal bagi karyawan perempuan untuk mereduksi adanya konflik dwiperan sebagai pekerja dan ibu rumahtangga, serta memperkecil potensi adanya konflik dalam keluarga. Sedangkan bagi laki-laki pengakuan terhadap kinerja dan keberadaannya dalam perusahaan merupakan hal yang paling penting.

Secara statistik terdapat hubungan antara komunikasi gender dan kepuasan kerja yang berkebalikan dengan hipotesis. Dari enam indikator yang berhubungan, empat diantaranya berhubungan positif, yaitu stereotipi pada perempuan (obyek seksual, keibuan, dan kekanakan) dengan kondisi kerja, stereotipi pada laki-laki (pejuang, sempurna, dan pencari nafkah utama) dengan status, kekerasan seksual dengan kondisi kerja, dan marginalisasi dengan status. Hubungan positif tersebut memiliki arti bahwa semakin tinggi perilaku ketidakadilan gender yang diterima oleh seorang karyawan, semakin tinggi pula kepuasan kerjanya. Dua indikator yang memiliki hubungan berkebalikan ini adalah stereotipi dan kekerasan gender pada perempuan dengan kondisi kerja, dan stereotipi serta marginalisasi laki-laki terhadap status. Hal ini dapat terjadi karena seringnya motivasi yang diberikan oleh atasan untuk bekerja dengan ikhlas, bekerja sebagai ibadah, serta terpenuhinya harapan karyawan terhadap pekerjaannya. Kepuasan terhadap relationship bagi perempuan dan pride bagi laki-laki adalah hal penting dalam menjaga dan meningkatkan kepuasan kerja di perusahaan.

(6)

SUMMARY

PUTRI ASIH SULISTIYO. Communication and Its Relation to Job Satisfaction: Gender Perspective. Supervised by AIDA VITAYALA S. HUBEIS and KRISHNARINI MATINDAS

Productive roles is considered to masculine image which is not suitable for women. In the context of communication, masculinity is a result of socialization, family and others model, or a person location shapes his or her views of masculinity and feminity. The goverment through development strategy designing various gender equity programs, to ending the men domination and increasing the women participation in the workforce. This effort was reflected in the Gender Mainstreaming Program, in the Millennium Development Goals (MDGs) 2015 and also in Sustainable Development Goals (SDGs) 2030. Based on that point, its necessary to analyze whether development programs are able to change the perception of gender and gender equality for women.

The research purposes are 1) to describe a form of gender communication (based on stereotype, discrimination, marginalization, subordination, and sexual violence), individual characteristics, and job satisfaction, 2) to analyze the gender communication related individual characteristics of employees, 3) examine the relationship between communication gender with employee job satisfaction, and 4) examine the relationship between individual characteristics with employee satisfaction.

The study was designed as a explanatory survey. PT Madubaru Yogyakarta as one of the largest and oldest agroindustrial company in Indonesia was selected purposively as a research location. The study was conducted in June-August 2015, 70 employee were selected through purpposive sampling method, consisting of 50 male and 20 female employee. Data inference is tested using chi-square analysis and Spearman rank correlation. The quantitative data was obtained from the questionnaires given to the employee and supported by the qualitative data collected by in-depth interviews. Spearman rank and chi-square test were used in this study.

The results showed that PT Madubaru is a male-dominated company in terms of numbers. By age, male employees are older than female employees, has a lower level of education than female and a longer service life than female employees. In most of the employees income men and female earn the same income is slightly higher above the UMR DI Yogyakarta, namely Rp 1,000,000 - Rp 2,000,000 per month, the difference is there male respondents who have incomes above RP 3,000,000, whereas in female does not exist.

Gender stereotype is a silent barrier for gender equity in the research sites. Stereotype is very subtle gender issues within the enterprise, these issues impacted on the glass ceiling, the subordination of the work, a specialty female's work and the high level of sexual violence in female than in men. Female with higher education, younger, and had a job position as an administrative employee is an employee who got the highest gender inequality behavior within the company.

(7)

kinship and friendship, working hours, and the proximity of the company to home is important in the work. The perceived ideal conditions for female employees to reduce their double roles conflicts as workers and housewives, as well as minimize the potential for conflicts in the family. Whereas for men the recognition of performance and presence in the enterprise is the most important thing.

Statistically there were some contrary relationship between gender communication and job satisfaction to the hypothesis. Of the six indicators related, four of them were positively related, that was the stereotype toward women with working conditions, stereotyped toward men with status, sexual assault with working conditions, and the marginalization of the status. The positive relationship means that higher gender inequalities acceptable behavior by an employee. This can occur due to frequent motivation given by the employer to work with sincerity, work as worship, as well as the fulfillment of the expectations of employees to work. Satisfaction with the relationship for women and pride for men is important in maintaining and improving job satisfaction in the company.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

KOMUNIKASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEPUASAN

KERJA KARYAWAN: PERSPEKTIF GENDER

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)

Judul Tesis : Komunikasi dan Hubungannya dengan Kepuasan Kerja Karyawan: Perspektif Gender

Nama : Putri Asih Sulistiyo NIM : I352130081

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Aida Vitayala S Hubeis Ketua

Dr Krishnarini Matindas, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Dr Ir Djuara P. Lubis, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Komunikasi dan Hubungannya dengan Kepuasan Kerja: Perspektif Gender berhasil diselesaikan. Terimakasih penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Aida Vitayala S. Hubeis dan Dr Krishnarini Matindas, MS selaku dosen pembimbing atas arahan, saran, serta dedikasinya dalam membimbing penulis.

Ungkapan terimakasih penulis ucapkan pula kepada Dr Titik Sumarti, MS atas kesediannya sebagai penguji tesis. Kepada Bapak Mariman, responden, informan, serta segenap karyawan PT Madubaru yang telah membantu selama proses pengumpulan data juga penulis sampaikan rasa terimakasih.

Terakhir, rasa terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Kasih dan Bapak Azam Sulistiyo, Ibu Haryani dan Bapak Sudirman, Febryan Harmansyah, Luthfi Dwi Cahyo, Fitria Rahmani Dewi, Martania Nazariska, segenap keluarga yang telah memberikan doa dan kasih sayang selama proses pendidikan, kepada BPPDN dikti yang telah mensponsori kuliah, serta kepada rekan-rekan KMP 2013 serta teman sejawat lainnya yang telah memberikan dukungannya untuk menyelesaikan karya tulis ini.

Semoga karya ilmu ini dapat bermanfaat.

Bogor, November 2016

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL v

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR LAMPIRAN v

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 4 Komunikasi Gender ... 4

Isu-Isu Gender ... 6

Stereotipi 6 Diskriminasi 9 Marginalisasi 11 Subordinasi 12 Kekerasan Seksual 13 Karakteristik Individu dalam Tinjauan Gender... 15

Kepuasan Kerja ... 16

Teori Dua FaktorHerzberg 16 Kepuasan Kerja dalam Tinjauan Gender ... 19

Hasil Penelitian Kepuasan Kerja dalam Tinjauan Gender 20 Kerangka Pemikiran ... 22

Hipotesis ... 23

Definisi Operasional... 23

3 METODE 31 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

Pendekatan Penelitian ... 31

Jenis dan Sumber Data ... 31

Teknik Pengumpulan Data dan Informasi... 32

Teknik Pengambilan Sampel... 32

Validitas Instrumen ... 33

Reliabilitas Instrumen ... 33

Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 34

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 34 Deskripsi Lokasi Penelitian... 34

Sejarah PT Madubaru 36 Deskripsi Organisasi PT Madubaru 37 Konstruksi Gender Masyarakat Yogyakarta dalam Sejarah 38 Konstruksi Gender dalam Lingkup PT Madubaru 38 Identifikasi Komunikasi Gender, Karakteristik Individu, dan Kepuasan Kerja Karyawan PT Madubaru Berdasarkan Jenis Kelamin... 40

Identifikasi Komunikasi Gender 40

(15)

Identifikasi Kepuasan Kerja 49 Hubungan Antara Komunikasi Gender dengan Karakteristik Individu ... 52 Hubungan Antara Komunikasi Gender dengan Kepuasan Kerja ... 55 Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Kepuasan Kerja ... 59

5 SIMPULAN DAN SARAN 61

Simpulan ... 61 Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA 63

RIWAYAT HIDUP 89

DAFTAR TABEL

1 Definisi operasional untuk peubah komunikasi gender 24

2 Definisi operasional untuk peubah karakteristik individu 27

3 Definisi operasional untuk peubah kepuasan kerja 28

4 Sebaran frekuensi dan persentase responden berdasarkan komunikasi

gender menurut jenis kelamin 40

5 Hubungan komunikasi gender dengan jenis kelamin 41

6 persentase penerimaan komunikasi kekerasan sekual pada karyawan

laki-laki dan perempuan PT Madubaru 45

7 Karakteristik Individu Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 47

8 Hubungan antara kepuasan kerja dengan jenis kelamin 51

9 Hubungan antara komunikasi gender dengan karakteristik individu 53

10 Hubungan antara komunikasi gender dengan kepuasan kerja internal 56

11 Hubungan antara komunikasi gender dengan kepuasan kerja eksternal 58

12 Hubungan antara karakteristik individu dengan kepuasan kerja

internal 60

13 Hubungan antara karakteristik individu dengan kepuasan kerja

eksternal 61

14 Persentase kepuasan kerja responden menurut jenis kelamin 68

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pikir komunikasi dan hubungannya dengan kepuasan kerja

karyawan: perspektif gender 23

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tabel persentase kepuasan kerja menurut jenis kelamin 68

2 Peta lokasi pabrik gula tahun 1941 69

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Partisipasi dan eksistensi perempuan dalam dunia kerja menjadi agenda pembangunan ekonomi di Indonesia. Semakin tingginya perhatian pemerintah terhadap masalah gender di tempat kerja tercermin dari Impres No. 9 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) yang menuntut komitmen bersama pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender disegala bidang termasuk dalam bidang ekonomi. Hal ini juga terlihat dari upaya pembangunan gender dalam Millenium Development Goals (MDGs) dan juga dalam Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia.

Kontribusi perempuan diharapkan berperan dalam upaya mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (Venny 2010). Sayangnya, upaya peningkatan peran dan kontribusi perempuan dalam dunia kerja mendapatkan tantangan secara institusional dan kultural. Lingkungan kerja merupakan tempat yang memiliki atmosfer paling potensial bagi terjadinya ketidakadilan gender pada perempuan (Bilkis et al. 2010). Lingkungan kerja memiliki karakter maskulin sesuai dengan melekatnya peran produktif pada laki-laki (Wood 2001). Kerja produktif khususnya pada pabrik dan perusahaan memiliki level kompetisi yang tinggi, tekanan kerja yang berat dan pengawasan yang ketat dirasakan berat bagi perempuan karena selama ini perempuan tidak mendapatkan sosialisasi budaya kerja, khususnya dari keluarga (Pujisari 2010).

Kajian Bilkis et al. (2010) di India menunjukkan bahwa sekitar 70 persen karyawan perempuan melaporkan tidak menerima upah yang sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama dan setidaknya 75 persen perempuan mengeluhkan diskriminasi yang dialaminya di dunia kerja, serta hampir seluruh perempuan (90 persen) berpendapat bahwa pemerintah menerima bias gender yang dialami oleh perempuan. Kajian di Indonesia menunjukan angka yang relatif sama. Laporan International Labor Organization (ILO) (2015) untuk Indonesia memperlihatkan bahwa pekerja perempuan dan buruh harian umumnya kurang sejahtera bila dibandingkan dengan pekerja lain. Kondisi kerja perempuan masih di belakang kondisi kerja laki-laki, meskipun semakin memperlihatkan penurunan. Berdasarkan statistik ILO pada Tahun 2010 diketahui bahwa terdapat 22,1 persen kesenjangan antara upah laki-laki dan perempuan yang melakukan pekerjaan tetap, turun 3,3 persen sejak 2001. Selain itu, terdapat 50,6 persen kesenjangan antara upah laki-laki dan perempuan yang melakukan pekerjaan harian (turun 1,5 persen sejak 2001), dan dalam politik terdapat 20,1 persen anggota dewan pejabat senior dan manajer perusahaan dari kalangan perempuan (naik 4,3 persen sejak 2007).

(18)

perempuan dalam pembangunan, yang meliputi aspek: kesehatan, pemberdayaan, angkatan kerja, serta aspek perlindungan perempuan terhadap tindakan kekerasan

Yogyakarta sebagai sebuah daerah memiliki sejarah patrialkal dan ketidakberdayaan perempuan. Pada masa feodalisme sebelum kemerdekaan buruh perempuan Indonesia sangat identik dengan pekerjaan domestik dan hubungan patron-klien (Blackburn 2004). Industri yang berkembang dimasa itu adalah industri batik di Jawa. Berdasarkan tinjauan Blackburn (2000) buruh batik perempuan mengalami eksploitasi kerja, berada dalam lapisan bawah dalam statifikasi industri, pekerja perempuan dibayar dengan sangat murah khususnya pekerja lepas yang melakukan pekerjaan pelilinan batik di rumahnya, pekerja perempuan juga bekerja terlalu lama, kelaparan, kelelahan, serta mengalami kekerasan seksual.

Eskalasi keadilan gender dan redefinisi perempuan di Yogyakarta terjadi saat berdirinya salah satu organisasi keislaman di daerah ini (Dewi 2012). Kontruksi gender lama di dalam masyarakat Yogyakarta juga mulai tergoyahkan dengan diangkatnya seorang perempuan dalam struktur kepemimpinan kesultanan Yogyakarta. Hal ini menjadi salah satu awal dari pembelokan adat Jawa lama yang secara tegas mensubordinasi perempuan.

Perubahan struktural yang dilakukan oleh kesultanan Yogyakarta menjadi sebuah isu gender yang dikomunikasikan dalam percakapan masyarakat Yogyakarta. Berdasarkan standpoint theory, maskulinitas dan feminitas merupakan refleksi dari komunikasi baik verbal maupun non verbal, dan gender merupakan sebuah konsep yang maknanya dapat berubah sesuai dengan kesepakatan secara kolektif berdasarkan nilai dan perspektif masyarakat atau budaya daerah tersebut (Wood 2001). Sehingga, isu-isu gender seperti komunikasi stereotipi, marginalisasi, subordinasi, diskriminasi dan kekerasan seksual dapat luruh maupun berubah seiring perubahan makna gender.

(19)

Perumusan Masalah

Gender merupakan sebuah konsep yang merujuk pada hubungan laki-laki dan perempuan. Gender dikonstruksi oleh budaya melalui sosialisasi baik oleh keluarga, kelompok, masyarakat, adat maupun media. Pada deklarasi Beijing Tahun 1995 disebutkan bahwa deklarasi dilakukan untuk menekankan pembagian kewajiban yang adil dan hubungan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan akan berdampak pada kesejahteraan bersama. Landasan aksinya pun menekankan pada prinsip berbagi kekuasaan dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan baik di rumah, tempat kerja, maupun dalam komunitas nasional dan internasional (Marinova 2003). Perempuan dan kemiskinan, perempuan dan ekonomi, serta mekanisme kemajuan perempuan menjadi tiga dari dua belas bidang kritis prioritas untuk segera ditindaklanjuti (Hubeis AV 2010).

Lingkungan kerja menjadi salah satu ruang interaksi yang terindikasi memiliki ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan. Meskipun laki-laki dalam dunia kerja mengalami permasalahan beban kerja, stereotipi, dan tekanan kerja, namun perempuan yang disosialisasikan dalam budaya reproduktif mendapatkan lebih banyak perlakuan ketidakadilan gender dibandingkan dengan laki-laki. Dalam upaya menjalani peran produktif di tempat kerja perempuan lebih banyak mengalami ketidakadilan seperti stereotipi, inferioritas perempuan, kekerasan dan pelecehan, dan pemberian upah yang lebih rendah (Marinova 2003). Mengacu pada kajian, masih terdapat bentuk ketidakadilan gender berupa stereotipi (Wood 2001), diskriminasi (Gil-Gonzales et al. 2013, Turturean et al.

2013, Popa dan Bucur 2014), marginalisasi (Simantaw et al. 2001), subordinasi (Maume 2011), dan kekerasan seksual (Guay et al. 2014) di lingkungan kerja dan sektor publik.

Interaksi gender di tempat kerja sangat dipengaruhi oleh pembedaan jenis kelamin sebagai hasil komunikasi serta bentukan budaya dan sosial ekonomi lingkungan. Pembedaan ini dikomunikasikan dalam bentuk stereotipi, subordinasi, diskriminasi, marginalisasi, dan pelecehan verbal maupun non verbal (Wood 2001).

Peningkatan peran perempuan dalam pembangunan telah dilakukan untuk meningkatkan keberdayaan perempuan. Sektor ekonomi produktif kini semakin terbuka bagi perempuan. Kontribusi perempuan dalam kerja produktif semakin meningkat. Dalam beberapa tahun belakangan masyarakat melihat terjadi perubahan pada peran dan kedudukan perempuan. Kesetaraan gender menjadi agenda bersama dan masyarakat mulai merasakan tidak ada lagi pembedaan jenjang karir, kesamaan kesempatan, akses, antara laki-laki dan perempuan.

Berkaitan dengan hal ini perlu dilakukan kajian kekinian mengenai sejauhmana tingkat kesetaraan gender, dilihat melalui sudut pandang komunikasi terkait isu-isu gender dan kaitannya dengan kepuasan kerja sebagai salah satu indikator kesejahteran subjektif seorang karyawan baik pada perempuan maupun pada laki-laki.

Upaya melakukan kajian ini dirumuskan sebagai berikut:

(20)

2. Bagaimanakah hubungan antara komunikasi gender dengan karakteristik individu karyawan?

3. Bagaimanakah hubungan antara komunikasi gender dengan kepuasan kerja karyawan?

4. Bagaimanakah hubungan antara karakteristik individu dengan kepuasan kerja karyawan?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, penelitian ini secara umum bertujuan memperoleh gambaran komunikasi gender dan kaitannya dengan karakteristik indiviudu serta kepuasan kerja dalam sebuah perusahaan. Berikut penjabaran tujuan dari penelitian ini :

1. Mendeskripsikan bentuk komunikasi gender, karakteristik individu, dan kepuasan kerja.

2. Menguji hubungan komunikasi gender dengan karakteristik individu karyawan. 3. Menguji hubungan antara komunikasi gender dengan kepuasan kerja

karyawan.

4. Menguji hubungan antara karakteristik individu dengan kepuasan kerja karyawan.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan gambaran kondisi kekinian tentang isu-isu gender di tempat kerja dalam sudut pandang komunikasi.

2. Menjadi masukan kepada pengelola usaha dan pemerintah dalam membuat kebijakan yang mampu menurunkan kesenjangan gender dalam bidang industri.

3. Memperkaya hasil kajian tentang kepuasan kerja dalam kaitannya dengan gender yang simpulan kajian sebelumnya sangat beragam.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Komunikasi Gender

(21)

Berdasarkan standpoint theory, dikatakan bahwa cara seseorang dibesarkan dalam suatu budaya akan memengaruhi aktivitas orang tersebut dalam memahami dan membentuk dunia sosialnya. Memahami pengalaman seseorang bukan dimulai dengan kondisi sosial, ekspektasi peran, atau definisi gender, tapi cara khusus dimana individu membentuk kondisi tersebut dan pengalaman mereka di dalamnya (Littlejohn dan Foss 2009). Dalam dunia ini terdapat banyak hirarki, baik gender, etnis, maupun kelas yang memengaruhi kehidupan manusia. Kelompok yang berada pada posisi atas hierarki sosial menentukan sistem komunikasi budayanya. Kelompok dengan kekuasaan yang kecil, seperti perempuan, orang miskin dan orang dengan kulit berwarna harus mengikuti sistem komunikasi yang kelompok dominan terapkan. Cara pandang ini memengaruhi komunikasi serta perilaku perempuan dalam berinteraksi dan menjalani kehidupan (Wood 2001). Tujuan standpoint feminism adalah membangun ilmu pengetahuan berdasarkan sudut pandang dan pengalaman perempuan, yang mampu memberikan pandangan yang utuh dan baru terhadap pengertian makna gender dan relasi gender dalam berbagai interaksi sosial.

Standpoint feminism mencoba mengoreksi dan mengurangi dominasi laki-laki yang ada di dunia ini baik secara kognitif seperti penilaian sosial, pelekatan, penggabungan informasi maupun pengarahan kognitif, maupun secara sosial dan kultural seperti aturan, norma, pemahaman, serta definisi mengenai diri sendiri.

Bahasa secara verbal membentuk konsep perempuan, laki-laki, dan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Bahasa verbal membentuk persepsi manusia dalam memaknai suatu hal. Simbol-simbol nonverbal tidak memaknai dirinya sendiri, namun dimaknai secara verbal oleh individu atau kelompok. Makna verbal tersebut yang akan menjadi representasi sebuah simbol. Wood (2001) menerangkan bahwa bahasa memaknai laki-laki dan perempuan secara berbeda. Perempuan dimaknai melalui penampilannya dan hubungannya dengan orang lain. Saat perempuan memiliki capaian dalam dunia profesional, maka yang diangkat media bukan hanya profil usahanya dan kerja kerasnya, melainkan penampilanya. Sedangkan laki-laki dimaknai melalui aktivitasnya, capaian yang dilakukannya atau posisinya. Perbedaan cara pemaknaan laki-laki dan perempuan merelfeksikan pandangan umum masyarakat.

(22)

Isu-Isu Gender

Nilai-nilai gender yang melekat pada individu akan memengaruhi perilaku organisasi karena pada dasarnya menurut Thoha (2001) perilaku organisasi mendasar pada ilmu perilaku sendiri yang dikembangkan oleh tingkah laku manusia dalam suatu organisasi. Sedangkan komunikasi, merupakan hal yang amat penting dalam perilaku organisasi, komunikasi yang efektif merupakan syarat terbinanya kerjasama yang baik untuk mencapai tujuan organisasi sekaligus menjadi persoalan dalam organisasi (Thoha 2001).

Kesepakatan makna gender secara komunal dan turun temurun berdasarkan budaya di lokasi penelitian membuat komunikasi gender dalam seluruh pola interaksi masyarakat, termasuk dalam institusi kerja tidak lepas kaitannya dengan bentuk-bentuk ketidakadilan gender. Simantaw et al. (2001) menyatakan bahwa pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, termasuk peran di dunia kerja mengakibatkan ketidakadilan gender. Terdapat lima bentuk ketidakadilan gender sebagai hasil dari bentukan sosialisasi keluarga, kelompok maupun media yang sering terjadi dalam interaksi dan dikomunikasikan khususnya pada perempuan. Pertama, pelabelan negatif (stereotype) yaitu pembentukan citra buruk perempuan yang menempatkan perempuan pada posisi tidak berdaya dalam masyarakat; kedua, diskriminasi, pembedaan terhadap salah satu jenis kelamin, ketiga, marginalisasi sebagai akibat langsung dari subordinasi perempuan serta melekatnya label-label buruk pada diri perempuan, perempuan tidak memiliki akses dan kontrol yang sama terhadap laki-laki dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi. Lebih jauhnya, hal ini akan berimplikasi pada termarginalisasinya kebutuhan dan kepentingan perempuan,

keempat, subordinasi yang merupakan pembedaan perlakuan terhadap salah satu identitas sosial, dalam hal ini adalah perempuan. Pandangan bahwa perempuan itu emosional mengakibatkan mereka kurang diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan. Kelima, kekerasan yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang dalam hal ini dilakukan terhadap perempuan. Bentuk ketidakadilan gender saling berkaitan dan tidak berdiri sendiri. Stereotipi dapat menciptakan suasana diskriminatif yang berdampak pada marginalisasi dan subordinasi pada salah satu jenis kelamin. Stereotipi tentang perempuan juga membentuk pola hubungan agresor dan korban dalam kekerasan seksual (Wood 2001)

Stereotipi

(23)

stereotipi, perempuan diklasifikasi sebagai seorang yang emosional sedangkan laki-laki adalah orang yang rasional, laki-laki didefinisikan sebagai seseorang yang kuat sedangkan stereotipi perempuan adalah orang yang memiliki fisik lemah. Pernyataan perempuan seringkali dianggap emosional, padahal didasarkan pada fakta dan alasan yang jelas.

Komunikasi gender dalam institusi kerja tidak lepas kaitannya dengan stereotipi perempuan dan laki-laki pada umumnya. Bentuk-bentuk stereotipi disampaikan melalui komunikasi profesional yang disampaikan melalui pelatihan dasar, seperti penerimaan, penempatan, promosi jabatan, dan pola interaksi lainnya. Menurut Wood (2001) terdapat empat stereotipi perempuan pekerja yang membuat perempuan dinilai tidak kompeten yaitu stereotipi objek seksual, stereotipi anak (kekanakan) atau perempuan hanya bisa mendukung karyawan lainnya (khususnya laki-laki) yang berposisi sebagai pemimpin baik berupa dukungan moral maupun menyiapkan kebutuhan pimpinan, stereotipi keibuan dan stereotipi perkasa (iron maiden) bagi perempuan yang terlalu agresif.

Pertama stereotipi objek seks, stereotipi ini mendefinisikan perempuan sesuai bentuk seksualitasnya yang memunculkan harapan bahwa penampilan dan tindakan perempuan harus sesuai dengan budaya feminin. Perempuan sebagai objek seksual diidealkan oleh media sebagai seseorang yang muda, langsing, cantik, pasif, bergantung, dan terkadang tidak kompeten serta dungu (Wood 2001). Gambaran ideal perempuan bentukan media ini tidak sejalan dengan realitas dan kebanyakan perempuan. Perempuan dinilai berdasarkan penampilannya bukan kompetensi yang dimilikinya. Dalam dunia kerja perempuan harus tampil cantik dengan make up sedangkan laki-laki tidak boleh menampakan dirinya menggunakan make up di lingkungan kerja karena hal ini akan memengaruhi banyak hal. Perempuan harus pandai menata rambutnya, mendandani wajahnya, untuk melakukan layanan dalam pekerjaanya, kemampuan pelayanan yang dilakukan oleh perempuan tidak lebih utama dibandingkan dengan penilaian penampilanya. Dampak dari pencitraan ini adalah, banyak perempuan merasa penampilannya sangat jelek karena berbeda dengan standar yang ada di majalah atau media lainnya.

Kedua, stereotipi bahwa perempuan adalah ibu (keibuan). Stereotipi ini memunculkan harapan bahwa karyawan perempuan akan mendengar, mendukung, dan menolong lainnya (Wood 2001). Ketika dukungan dan simpati diperlukan oleh karyawan yang berada di level bawah maka atasan yang dicari adalah atasan perempuan karena perempuan dianggap memiliki karakteristik sebagai ibu. Stereotipi ibu juga memunculkan harapan bahwa perempuan akan melayani, administratif, dan mampu menyusun aktivitas sosial. Komunikasi bagi kebanyakan perempuan dijadikan jalan utama untuk membangun dan memelihara komunikasi dengan orang lain. Perempuan seringkali mengekspresikan perhatian, memahami kondisi, dan simpati pada perasaan atau situasi yang sedang dihadapi orang lain (Wood 2001).

(24)

mendapatkan pekerjaan yang lebih rendah upahnya dan lebih rendah gengsinya dibanding laki-laki. Stereotipi sebagai ibu juga membuat perempuan diragukan profesionalismenya, khususnya perempuan yang telah memilki anak (Wood 2001).

Ketiga sebagai anak (kekanakan), stereotipi ini mencerminkan penilaian sosial terhadap perempuan sebagai pribadi yang kurang dewasa, kurang kompeten dan kurang mampu membuat keputusan dibandingkan laki-laki. Stereotipi ini juga membuat perempuan mendapatkan kedudukan sebagai seorang yang harus dilindungi serta harus mendapatkan izin dari orang tua atau suami dalam mengambil keputusan (Wood 2001).

Perkasa (iron maiden), stereotipi ini membuat perempuan yang memiliki fisik yang kuat, ambisius, agresif, dan kompetitif tidak dianggap sebagai perempuan biasa, namun perempuan yang tidak feminin, seperti laki-laki (Wood 2001). Perempuan dengan sifat-sifat tersebut dianggap luar biasa karena berbeda dari perempuan lainnya, walapun pada dasarnya perempuan memang hebat. Melalui stereotipi ini perempuan perkasa terlihat tidak lazim untuk menjadi perempuan.

Laki-laki dalam dunia kerja juga seringkali diperlakukan sesuai dengan stereotipi yang melekat pada dirinya. Media memotret laki-laki secara umum sebagai sosok yang aktif, petualang, sangat kuat, agresif secara seksual dan tidak terlibat dalam hubungan antar manusia yang lebih luas (Wood 2001). Stereotipi laki-laki sesuai dengan karakter maskulin yang dibentuk oleh budaya, stereotipi laki-laki dalam dunia kerja menurut Wood (2000) adalah laki-laki lengkap dan memiliki segalanya (sturdy oak), pejuang (fighter) dan sebagai pencari nafkah utama (breadwinners) (Wood 2001).

Laki-laki itu sempurna (sturdi oak) adalah stereotipi yang berarti bahwa laki-laki dianggap memiliki segalanya, mandiri dan kuat, sehingga tidak wajar baginya menunjukkan kelemahan atau bergantung pada orang lain (Wood 2000). Menangis di depan publik merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh laki-laki. Stereotipi ini berdampak pada kinerja profesional laki-laki. Laki-laki akan terlihat aneh juga memiliki keraguan atau ketakutan dan pada saat yang sama laki-laki akan mendapatkan label tidak bijaksana karena keraguan tersebut. Laki-laki juga terlarang meminta bantuan, meminta nasihat pada lainnya.

Pejuang (fighter) menggambarkan laki-laki merupakan seorang pejuang yang gagah di medan perang, dalam dunia bisnis berarti laki-laki mampu berkompetisi (Wood 2001). Laki-laki dalam pekerjaan dilabeli sebagai pejuang yang mengeluarkan segala kekuatannya untuk mendapatkan kemenangan. Laki-laki yang merawat keluarganya dan menghabiskan waktu bersama keluarga dibandingkan untuk pekerjaannya dianggap ganjil. Stereotipi ini juga berimplikasi pada penilaian bahwa laki-laki dekat dengan maskulinitas, dominan, kekuatan dan kekerasan.

(25)

bekerja akan menerima pelecehan secara sosial karena dianggap tidak mampu menjaga keluarganya.

Selain stereotipi masing-masing jenis kelamin, Wood (2001) memaparkan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang dicitrakan oleh media. Pertama, perempuan bergantung sedangkan laki-laki mandiri. Film menggambarkan perempuan bergantung pada laki-laki, dominasi tradisional laki-laki terhadap perempuan dan pola hubungan subordinasi antara laki-laki dan perempuan. Kedua, perempuan tidak cakap (ketidakmampuan perempuan) dan laki-laki berkuasa, media menggambarkan laki-laki memiliki kuasa untuk menyelamatkan dan membantu ketidakmampuan perempuan. Laki-laki lebih kompeten dibandingkan dengan perempuan. Ketiga, perempuan perhatian/ memelihara/ teliti (primary caregivers), sedangkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama. Keempat, perempuan adalah objek seksual, sedangkan laki-laki adalah seorang yang agresif.

Beberapa penelitian memperlihatkan pengaruh stereotipi terhadap interaksi antara laki-laki dan perempuan. Gaia (2013) dalam penelitiannya tentang interaksi hubungan karib antara jenis kelamin menunjukkan simpulan bahwa laki-laki mendapatkan evaluasi yang negatif saat memiliki hubungan yang sangat karib. Laki-laki dipersepsikan gay dan mendapat penolakan dari kelompok saat menunjukkan ekspresi keakraban. Pruysers dan Blais (2014) menyimpulkan bahwa stereotipi memengaruhi pengetahuan politik dan kepercayaan diri perempuan untuk memahami politik lebih dari laki-laki, dan meningkatkan kepercayaan diri laki-laki dalam berpolitik yang merasa lebih pintar dalam politik dibandingkan perempuan. Manea (2013) menyatakan bahwa anak usia dini sangat dipengaruhi oleh evalusi gender, negara dan kota dari mana dia berasal. Indikator stereotipi yang digunakan dalam penelitian ini adalah objek seks, keibuan, kekanakan, perkasa, pejuang, sempurna atau lengkap, dan pencari nafkah utama. Diskriminasi

Prinsip non diskriminasi merupakan hak dasar yang harus dimiliki oleh setiap pekerja di Indonesia baik laki-laki maupun perempuan. Pasal 28I ayat 2 UUD 1945 berbunyi “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Prinsip non diskriminasi ini juga diatur dalam Konvensi ILO No. 100 tentang Pengupahan yang Sama bagi Laki-laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya dan Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan. Konvensi ini menyatakan bahwa pekerja/buruh berhak untuk mendapatkan perlakukan yang sama tanpa ada perbedaan, pengecualian dan pilihan lain yang didasarkan pada ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik dan kebangsaan yang mengakibatkan berkurangnya kesetaraan kesempatan dalam pekerjaan, jabatan ataupun upah (Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan ILO 2011).

(26)

tentang ketenagakerjaan walaupun konteks diskriminasi perempuan tidak disebutkan secara eksplisit. Pada pasal 5 UU No. 13 Tahun 2013 disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pekerjaan tanpa diskriminasi dan pasal 6 menyatakan bahwa setiap pekerja/buruh berhak atas perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari majikan mereka.

Pasal 11 CEDAW juga membahas hak pekerja perempuan. Meskipun sejumlah hak-hak perempuan itu telah dilindungi melalui UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagian besar perusahaan hampir tidak memperhatikan masalah-masalah spesifik yang dialami pekerja perempuan. Pekerja perempuan dalam sektor formal menghadapi sejumlah diskriminasi yang ditimbulkan karena keperempuanannya seperti masalah cuti haid, masalah cuti melahirkan, masalah kehamilan, masalah menyusui, tempat penitipan anak, mengalami pelecehan seksual, serta penetapan standar upah dan tunjangan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan (CWGI 2007).

Diskriminasi gender menurunkan kepuasan kerja, motivasi kerja dan komitmen kerja karyawan, serta meningkatkan tingkat tekanan psikologis pada karyawan (Channar et al. 2011). Diskriminasi didefinisikan sebagai proses dimana satu atau lebih kelompok sosial memberikan perlakuan yang berbeda pada seseorang atau kelompok lainnya dan seringkali merugikan (Gil-Gonzalez et al.

2013). Secara spesifik diskriminasi dalam pasar kerja berarti perlakuan yang berbeda dalam pasar kerja yang sama terhadap seseorang terkait jenis kelamin yang melekat padanya (Turturean et al. 2013). Hal yang paling memengaruhi terjadinya diskriminasi secara sosial adalah ketidakseimbangan kuasa terkait gender, kelas sosial atau kelompok etnis tertentu dengan kelompok lainnya (Gil-Gonzalez et al. 2013). Diskriminasi berkaitan dengan dengan stereotipi yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan.

Strereotipe gender menghasilkan diskriminasi jenis kelamin (Heilman dan Eagly 2008). Perempuan lebih sering menerima perlakuan diskriminasi di bandingkan laki-laki baik di rumah maupun di tempat kerja (Gil-Gonzalez et al.

2013; Popa dan Bucur 2014). Diskriminasi yang sering terjadi dalam konteks kerja adalah diskriminasi penerimaan pegawai, spesialisasi posisi jabatan (diskriminasi profesional) dan diskriminasi upah untuk kondisi kerja yang sama antara laki-laki dan perempuan (Turturean 2013).

(27)

dengan kebijakan pimpinan saat memberi promosi jabatan pimpinan proyek yang mendahulukan laki-laki.

Gardiner et al. (1996) mengungkapkan bahwa bagi pekerja perempuan mendapatkan upah yang lebih rendah dari laki-laki adalah suatu hal yang biasa bahkan diperusahaan yang pemiliknya adalah perempuan. Kebijakan kesetaraan upah tidak memengaruhi perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan (Lanning 2014). Prasangka terhadap kinerja perempuan yang lebih rendah (Lanning 2014), mudahnya memperoleh tenaga kerja untuk menggantikan pekerjaan yang ditinggalkan oleh perempuan menjadi alasan perbedaan upah ini (Wood 2001).

Diskriminasi gender yang dirasakan perempuan mendatangkan depresi dan tekanan psikologi serta kesulitan keuangan (Ro dan Choi 2010). Berdasarkan laporan global kesenjangan gender yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF 2015) partisipasi dan fasilitasi ekonomi perempuan di Indonesia masih rendah. Diskriminasi gender ini disebabkan oleh norma adat istiadat, keluarga dan media yang mensosialisasikan peran laki-laki dan perempuan (Ro dan Choi 2010). Penelitian ini menganalisis diskriminasi gender melalui indikator perbedaan upah, pekerjaan yang monoton, pembedaan informasi dan penghargaan kinerja yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Marginalisasi

Salah satu bentuk ketidakadilan atau ketimpangan gender yang terjadi dalam tempat kerja adalah marginalisasi. Marginalisasi sering disebut sebagai pemiskinan ekonomi atau peminggiran ekonomi. Simantaw et al. (2001) menyatakan bahwa marginalisasi adalah kondisi atau proses peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin dari pekerjaan utama yang berakibat kemiskinan. Perempuan seringkali ditinggalkan dalam upaya pengembangan ekonomi karena melekatnya peran domestik, tanggung jawab perempuan adalah rumahnya (Simantaw et al. 2001).

Marginalisasi juga diartikan sebagai proses penyingkiran. Eksistensi perempuan selalu terpinggirkan dalam sistem kemasyarakatan yang masih belum beranjak dari male dominated culture (Abdullah 2001). Mengutip pendapat Grijns

et al. (1992), Indraswari et al. (1994) menuliskan bahwa marginalisasi dalam arti luas dapat diartikan sebagai proses perubahan hubungan-hubungan kekuasaan antarmanusia melalui suatu cara, sehingga salah satu kelompok manusia semakin terputus aksesnya ke sumber-sumber vital (tanah, air, modal, pekerjaan, pendidikan, hal politik, dll) yang kian lama semakin dimonopoli oleh elit kecil. Simantaw et al. (2001) juga menyatakan bahwa salah satu bentuk marginalisasi yang paling nyata adalah lemahnya kesempatan perempuan terhadap sumber-sumber ekonomi seperti tanah, kredit dan pasar. Bentuk marginalisasi lainnya menurut Indraswari et al. (1994) adalah feminisasi dan spesialisasi pekerjaan khusus bagi perempuan, pelepasan hak reproduktif perempuan seperti pelaksanaan KB, pembatasan kelahiran, pemberhentian buruh yang hamil, bahkan perempuan kehilangan hak untuk menentukan sikapnya.

(28)

dalam kaitannya degan gender terdapat empat dimensi marjinalisasi perempuan, sebagai berikut:

1. Marginality as exclusion from productive employment. Penyingkiran perempuan dari pekerjaan produktif (penyingkiran segala bentuk partisipasi perempuan dalam angkaatan kerja yang menghasilkan upah tambahan). Perempuan dikucilkan dari kerja produktif atau pekerjaan upahan tertentu. 2. Marginalisation as concentration on the margins of the labour market (proses

pergeseran perempuan ke pinggiran (margins) dari pasar tenaga kerja).

Beberapa pandangan mendefinisikan sektor pinggiran sebagai sektor informal. Sementara pandangan lain mendefinisikan sektor pinggiran sama dengan sektor sekunder, yaitu sektor yang ditandai dengan ketidakstabilan upah, upah rendah, dan kondisi kerja kurang baik. Perempuan dalam hal ini cenderung bekerja pada jenis-jenis pekerjaan yang mempunyai kelangsungan hidup yang tidak stabil, upah rendah atau yang dinilai tidak terampil.

3. Marginalisation as feminisation or segregation (sebagai proses feminisasi atau segregasi). Dalam konteks ini feminisasi adalah penggunaan tenaga kerja perempuan untuk sektor-sektor produktif tertentu. Pemusatan tenaga kerja perempuan membuat pekerjaan tertentu terfeminisasi, seolah-olah hanya dilakukan oleh perempuan. Sedangkan segregasi adalah pemisahan kegiatan-kegiatan tertentu atas dasar jenis kelamin. Derajat feminisasi dan segregasi dapat dilihat melalui peningkatan atau penurunan rasio perempuan disetiap jabatan.

4. Marginalisation as economic inequality (sebagai proses ketimpangan ekonomi yang semakin meningkat). Marginalisasi sebagai pelebaran ketimpangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan yang diindikasikan oleh perbedaan upah serta ketidaksamaan akses keuntungan dan fasilitas kerja, termasuk akses terhadap program-program pelatihan untuk pengembangan karir. Sejalan dengan hal ini, dalam konteks pemberdayaan Simantaw et al. (2001) menyatakan bahwa sangat jarang program pemberdayaan yang menyentuh perempuan. Perempuan jarang ikut serta dalam program yang mampu menambah pengetahuan dan meningkatkan kemampuan. Perempuan seringkali ditinggalkan dalam program-program pengembangan ekonomi karena label domestisasi.

Marginalisasi dalam penelitian ini dilihat melalui dua indikator, yaitu spesialisasi dan segregasi pekerjaan serta kesempatan kerja yang dapat diperoleh karyawan perempuan dan karyawan laki-laki.

Subordinasi

Subordinasi pada perempuan bertalian dengan makna penomorduaan yang berarti tidak adanya wewenang perempuan dalam mengambil keputusan yang menyangkut dirinya, dengan kata lain perempuan harus tunduk kepada keputusan laki-laki (Simantaw et al. 2001). Posisi perempuan dalam masyarakat patriarki umumnya tersubordinasi, baik dalam keluarga maupun masyarakat, kemudian dimanfaatkan untuk membangun kepatuhan mereka dalam mentaati norma-norma kerja yang menguntungkan dunia usaha serta mendapatkan buruh yang mudah dikendalikan (Indraswari et al. 1994).

(29)

berbeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki mendapatkan dukungan lebih besar dan lebih optimis terhadap perkembangan karirnya dibandingkan perempuan (Maume 2011). Perlakuan subordinasi pada perempuan menciptakan tekanan psikologis sampai pada keputusan mengundurkan diri dari perusahaan. Perlakuan subordinasi terhadap karyawan perempuan tidak hanya datang dari atasan laki-laki tetapi juga dari atasan perempuan yang lebih superior darinya (Maume 2011).

Subordinasi perempuan terjadi dalam keluarga maupun di tempat kerja. Prempuan menempati posisi sekunder dalam pasar kerja karena banyak halangan yang membatasi mobilitas perempuan dibandingkan laki-laki (Sen 2005). Elson dan Pearson (2005) menuliskan bahwa proses subordinasi perempuan merupakan proses exclusion yang juga dipahami sebagai marginalisasi. Exclusion meniadakan atau mengurangi kontribusi perempuan dalam beragam aktivitas baik aktivitas publik, sosial maupun aktivitas lainnya yang memberikan penghargaan bagi individu perempuan. Exclusion menujukan pendahuluan terhadap laki-laki dan penomorduaan perempuan. Menurut Elson dan Pearson (2005) aktivitas dan upah yang setara bagi laki-laki dan perempuan dalam konteks kerja yang sama akan menghilangkan prasangka karyawan, menghapuskan posisi sekunder dan menciptakan kesetaraan.

Ukuran subordinasi dalam penelitian ini adalah otonomi pengambilan keputusan laki-laki dan perempuan baik dalam diskusi maupun penentuan kebijakan, kepemilikan otonomi dalam menentukan untuk diri sendiri, upah yang setara antar jenis kelamin. Indikator selanjutnya adalah perbedaan dukungan kerja dan kerentanan pemutusan hubungan kerja. Perempuan selama ini dianggap sebagai “reverse army” yang diukur melalui sejauhmana perusahaan

mempertahankan dirinya sebagai karyawan. Menurut Elson dan Pearson (2005) perempuan lebih rentan menerima pemutusan hubungan kerja dibandingkan laki-laki yang lebih dipertahankan dalam perusahaan. Pekerja perempuan lebih mudah di PHK ketika perusahaan tidak membutuhkannya kemudian akan dengan mudah di terima kembali oleh perusahaan saat perusahaan membutuhkan.

Kekerasan Seksual

Kekerasan yang dilakukan dan disebabkan jenis kelamin seseorang (perempuan) merupakan bentuk kekerasan gender (Simantaw et al. 2001). Perempuan dalam berbagai media digambarkan sebagai objek pemuasan hasrat seksual laki-laki dan objek pornografi. Perempuan direpresentasikan melalui tubuhnya, media membuat perempuan harus cantik, seksi, pasif, dan lemah. Hal tersebut berkontribusi pada perlakuan tidak menyenangkan kepada perempuan. Hal ini diperparah dengan keinginan laki-laki untuk menunjukkan keagresifan, dominasi, seksualitas, maupun kekuatannya terhadap perempuan, baik karena keinginannya sendiri maupun pengaruh lingkungan kultural yang membentuk identitas agresif pada laki-laki (Wood 2001). Pelecehan seksual atau kekerasan gender merujuk pada kekejaman secara fisik, verbal, emosional, seksual, dan visual yang menimbulkan ketidakseimbangan antara perempuan dan laki-laki (Wood 2001).

(30)

d) tindakan kearah seksual yang tidak diinginkan, seperti penerima telah menyatakan bahwa perilaku itu tidak diinginkan, penerima merasa dihina, tersinggung dan/atau tertekan oleh perbuatan itu, pelaku seharusnya sudah dapat merasakan bahwa yang menjadi sasarannya (korban) akan tersinggung, merasa terhina dan/atau tertekan oleh perbuatan itu (Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan ILO 2011).

Kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan, tetapi juga pada laki-laki. Romito dan Grassi (2007) menyatakan bahwa kekerasan terjadi pada kedua jenis kelamin yang mengakibatkan depresi, kepanikan, ketergantungan alkohol, pengurangan nafsu makan, dan keinginan bunuh diri, hanya saja perempuan menjadi objek yang paling menderita karena kekerasan seksual ini.

Wood (2001) memaparkan terdapat enam bentuk pelecehan seksual, yaitu intimidasi gender, pemaksaan seksual, kekerasan dalam hubungan karib, mutilasi genital dan pembunuhan. Dalam penelitian ini sesuai dengan konteks dunia kerja dan hasil penelitian sebelumnya jenis pelecehan seksual yang dikaji adalah intimidasi gender dan sexual harassment baik secara verbal maupun nonverbal.

Pertama intimidasi gender, terjadi ketika seseorang karena jenis kelaminnya mendapat perlakuan yang menimbulkan perasaan terhina, tidak aman dan inferior. Bentuk intimidasi gender diantaranya perkataan vulgar yang disampaikan, perempuan takut untuk berpergian sendirian atau membuat perempuan harus berjalan lebih jauh untuk menghindari komentar atau pernyataan seksual yang akan disampaikan padanya.

Kedua, usikan/ godaan/ pelecehan seksual (sexual harassment), menggunakan bahasa merendahkan salah satu jenis kelamin dan membicarakan aktivitas seksual. Sexual harassment terdiri dari quid pro quo (menimbulkan kerjasama seksual menggunakan ancaman terhadap konsekuensi kerja), dan quid pro quo sexual (imbalan yang dibutuhkan dalam pekerjaan ditukar dengan memberikan perlakuan seksual). Pelecehan seksual semacam ini menurut Simantaw et al. (2001) dapat berbentuk lelucon jorok secara vulgar, membuat malu dengan omongan kotor, menginterogasi kehidupan seksual, meminta imbalan seksual, menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa ada keinginan dari yang bersangkutan.

(31)

bentuk paraverbal seperti meneriaki, kekerasan verbal juga diartikan dalam bentuk mempermalukan atau dalam bentuk merendahkan atau meremehkan seseorang.

Karakteristik Individu dalam Tinjauan Gender

Kepuasan kerja dalam pendekatan teoritis dikaji melalui dua peubah, yaitu peubah faktor lingkungan dan peubah karakterisktik individu (Saif et al. 2012). Karakteristik individu yang berkaitan dengan kepuasan kerja diantaranya etnis, jenis kelamin, usia, dan kualifikasi pendidikan (Ciarneine 2010). Ro dan Choi (2010) menambahkan peubah pendapatan (keuangan) yang juga memiliki kaitan kuat dengan diskriminasi gender. Status perkawinan juga diuji kaitannya, namun berdasarkan kajian Popa dan Bucur (2014) peubah status perkawinan bukan merupakan kunci seseorang lebih peka terhadap diskriminasi gender. Peubah pendidikan merupakan peubah yang paling signifikan berkaitan dengan pengetahuan tentang diskriminasi gender.

Perbedaan karakteristik individu memiliki dampak terhadap perbedaan perilaku dalam organisasi perusahaan, perbedaan kebutuhan dan perbedaan cara pandang (Ivancevich 2005). Robbins (2003) menyatakan bahwa karakteristik individu merupakan salah satu peubah tingkat individual yang dapat memberikan dampak pada kinerja dan kepuasan karyawan. Peubah karakteristik individu tersebut menurut Robbins (2003) antara lain meliputi usia, jenis kelamin, status perkawinan dan masa kerja dalam perusahaan.

1. Usia, menunjukkan perkembangan individu khususnya secara fisik dan pengalaman. Mohammed dan Eleswed (2013) memperlihatkan bahwa usia yang lebih tua lebih berkomitmen pada organisasi. Hal ini dikarenakan usia tua tidak lagi antusias seperti usia muda untuk mencari pekerjaan yang lain. Usia tua juga memiliki kewajiban finansial dan komitmen pada hidupnya dibanding usia muda. Kaitannya dengan gender, penelitian Passolunghi et al. (2014) menunjukkan bahwa pada usia remaja stereotipi tidak berpengaruh pada persepsi kemampuan diri, dalam hal ini stereotipi tentang kemampuan berpikir logika dan matematika.

2. Pendapatan, merupakan nominal finansial yang diterima sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukannya. Kebijakan yang menabahkan pendapatan perempuan namun menyuruh perempuan untuk memilih antara rumah dan kerja dapat menurunkan kepuasan kerja, sedangkan menurunkan pendapatan laki-laki dan tidak memaksa laki-laki untuk memilih rumah atau pekerjaan menurunkan kepuasan kerja laki-laki Bender et al. (2005). Kebijakan pola kerja yang lebih fleksibel lebih disukai oleh perempuan karena memberikan banyak waktu untuk keluarga sedangkan laki-laki tidak menyukai kebijakan ini karena bisa menurunkan pendapatan mereka Bender et al. (2005).

(32)

pekerjaan karena tidak harmonisnya peran dalam bekerja dan peran dalam keluarganya (Ghayyur dan Jamal 2012). Strategi untuk mereduksi konfik yg dilakukan oleh karyawan adalah dengan berhenti kerja. Penarikan diri dari pekerjaan ini merupakan reaksi mengatasi ketidakcocokan antara pekerjaan dan permintaan keluarga dan mencari pekerjaan yang lebih fleksibel ramah keluarg (Nohe dan Sontag 2014). Ketika tanggung jawab dalam keluarga megganggu pekerjaan maka mereka akan berhenti untuk mereduksi konflik dalam keluarga dan lebih baik memenuhi tugas keluarga. Status pernikahan dan konflik keluarga berhubungan sangat signifikan dengan kepuasan kerja (Nohe dan Sontag 2014).

5. Lama bekerja, atau masa kerja menurut Robins (2003) berkaitan dengan senioritas dalam perusahaan. Masa kerja menunjukkan pengalaman kerja dan berhubungan dengan tingkat produktivitas seorang pekerja, berhubungan terbalik dengan ketidakhadiran, dan juga kepuasan kerja. Masa kerja merupakan prediktor yang dapat dipercaya untuk melihat kepuasan kerja karyawan (Robbins 2003).

Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja merupakan sikap umum seorang karyawan terhadap pekerjaannya (Robbins 2003). Pekerjaan dalam hal ini bukan hanya berkaitan dengan berkas, komputerisasi, melayani pelanggan maupun mengemudi, tetapi juga berkaitan dengan interaksi dengan supervisor dan atasan, kebijakan perusahaan, menemukan ukuran kerja dan kondisi kinerja yang biasanya tidak mencapai titik ideal (Robbins 2003). Kepuasan kerja merupakan kombinasi dari pemenuhan keutuhan secara psikologis serta dampak dari perasaan dan nilai positif yang dimiliki seorang karyawan. Kepuasan kerja dapat di deskripsikan sebagai perasaan menyenangkan atau emosi positif sebagai hasil evaluasi dari pengalaman kerja seorang karyawan (Celik 2011). Kepuasan kerja merupakan bentuk sikap seorang karyawan terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja terjadi ketika adanya pemuasan terhadap kebutuhan dan tindakan yang diarahkan untuk memperoleh tujuan (Stoner dan Freeman 1992). Kepuasan kerja mengacu pada tingkat kenyamanan yang didapatkan oleh karyawan dari usahanya di tempat kerja yang sangat berasosiasi dengan organisasi yang baik dan kinerja individual, komitmen, peningkatan produktivitas, ketidakhadiran yang rendah, dan rendahnya keinginan berpindah kerja (Ciarniene 2010). Selain berkaitan dengan dampak negatif, organisasi atau perusahaan memiliki kewajiban untuk meningkatkan kepuasan kerja dengan menyediakan pekerjaan yang menantang dan penuh penghargaan bagi karyawan (Robbins 2003).

Teori Dua FaktorHerzberg

(33)

eksterinsik-interinsik. Kondisi eksterinsik atau dissatifier atau faktor hygine adalah serangkaian kondisi yang menimbulkan ketidakpuasan jika kondisi tersebut tidak ada. Ivancevich et al. (2007) menjelaskan kondisi eksterinsik Herzberg meliputi faktor-faktor sebagai berikut:

1. Gaji

Aspek ini merupakan derajat kewajaran dari gaji yang diterima sebagai imbalan perilaku kerja karyawan. Aspek ini meliputi keadaan yang menyangkut upah, kenaikan upah dan harapan karyawan tentang upah.

2. Keamanan kerja

Aspek ini merupakan derajat rasa aman yang dimiliki oleh karyawan terhadap pekerjaan yang dimiliki. Aspek ini meliputi kestabilan perusahaan, kedudukan yang pasti dan jelas, dan masa jabatan yang pasti.

3. Kondisi kerja

Aspek ini merupakan derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses pelaksanaan tugas pekerjaannya. Aspek ini meliputi kondisi fisik tempat karyawan bekerja, termasuk fasilitas dan ciri-ciri ruangan.

4. Status

5. Kebijakan, prosedur dan administrasi perusahaan

Aspek ini merupakan derajat kesesuaian yang dirasakan tenaga kerja dari semua kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam perusahaan. Aspek ini meliputi kekuatan organisasi dan manajemen perusahaan, peraturan dan administrasi perusahaan.

6. Penyeliaan atau kualitas pengawasan teknis

Aspek ini merupakan derajat kewajaran penyeliaan yang dirasakan dan diterima oleh karyawan dari atasannya. Aspek ini meliputi keadilan atasan dalam memperlakukan karyawan ketika atasan memberikan pengarahan dan bimbingan kepada karyawan.

7. Kualitas hubungan interpersonal antar rekan kerja dengan atasan dan dengan bawahan

Aspek ini merupakan derajat kesesuaian yang dirasakan dalam berinteraksi dengan rekan kerja dan atasan. Aspek ini meliputi interaksi antara karyawan dengan penyelia, bawahan dan rekan kerjanya. Hubungan ini dapat bersifat sosial maupun sosioteknikal (yang berhubungan dengan pekerjaan).

Sementara itu, terdapat faktor-faktor yang termasuk ke dalam faktor interinsik Herzberg dalam Ivancevich (2007) meliputi:

1. Prestasi atau pencapaian

Aspek ini merupakan besar kecilnya daya dorong seseorang untuk mencapai prestasi kerja yang optimal. Aspek ini meliputi keberhasilan ataupun kegagalan yang dinilai secara spesifik, misalnya pelaksanaan kerja, penyelesaian masalah dan usaha untuk mempertahankan keberhasilan.

2. Penghargaan atau perhatian atau pengakuan

Aspek ini merupakan besar kecilnya pengakuan atau penghargaan yang diberikan kepada karyawan atas kinerjanya. Aspek ini meliputi segala tindakan peringatan, pujian atau teguran yang dapat bersumber dari penyelia, manajemen sebagai suatu kekuatan interpersonal, rekan kerja dan masyarakat umum.

(34)

Aspek ini merupakan besar kecilnya tanggung jawab yang dirasakan diberikan kepada seorang tenaga kerja untuk menjalankan fungsi jabatan yang ditugaskan kepadanya sesuai dengan kemampuan dan pengarahan yang diterimanya. Aspek ini meliputi hal-hal yang berhubungan dengan tanggung jawab dan otoritas.

4. Kemajuan

Aspek ini merupakan kesempatan karyawan untuk dapat maju dalam pekerjaannya. Faktor ini meliputi elemen-elemen situasi yang memungkinkan untuk mempelajari keahlian baru atau kesempatan untuk maju, meningkat atau semakin baik.

5. Pekerjaan itu sendiri

Aspek ini merupakan tantangan yang dirasakan karyawan dari pekerjaannya. Aspek ini meliputi pelaksanaan kerja yang actual yang dapat dilihat dari rutinitas, jumlah pekerjaan dan sifat pekerjaan.

6. Kemungkinan untuk tumbuh

Pendekatan lainnya adalah pendekatan proses, Ivancevich et al. (2007) dan Suyasa (2007) menjelaskan bebeapa teori yang termasuk dalam pendekatan ini pertama, discrepancy theory yang menerangkan bahwa kepuasan kerja terbentuk pada saat tidak ada kesenjangan antara hal yang dianggap penting dengan hal-hal yang didapatkan oleh individu. Expectancy theory dasar dari teori ini sama dengan discrepancy theory, individu yang puas dalam pekerjaan adalah individu yang berhasil mendapatkan hal-hal yang diharapkan. Social influence theory

menerangkan bahwa kepuasan kerja merupakan ukuran sejauhmana keinginan karyawan dapat dipenuhi oleh pekerjaannya dan bahwa keinginan-keinginan yang muncul merupakan persepsi yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Social influence theory merupakan salah satu aspek dari equity theory

yang menyatakan bahwa kepuasan kerja dihasilkan dari perbandingan individu dengan orang lain. Individu akan lebih puas jika yang didapatkan lebih besar dari orang lain. Terakhir, pendekatan exchange theory kepuasan kerja terbentuk dari proses timbal balik antara hal-hal yang diberikan karyawan kepada perusahaan (outcome) dan hal-hal yang perusahaan berikan pada karyawan (income).

Kepuasan akan datang jika income setara dibandingkan dengan outcome yang diupayakan. Hasil kajian Ciarniene et al. (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara harapan individu dengan kepuasan kerja mereka

Beberapa peneliti telah mengembangkan ragam indikator dalam mengukur kepuasan kerja. Suyasa (2007) menuliskan setidaknya terdapat enam peneliti sejak Tahun 1954 sampai dengan 2009 yang mengembangkan indikator pengukuran kepuasan kerja. Pertama Roy (1954), aspek kepuasan kerja yang di teliti adalah kepuasan terhadap kondisi pekerjaan dan sikap terhadap faktor-faktor sosial (faktor sosial yang merupakan interaksi dari lingkungan informal (rekan kerja), lingkungan formal (atasan), dan lingkungan sosial di sekitar tempat bekerja termasuk lingkungan rumah). Kedua, Porter (1961), landasan teorinya adalah kepuasan kerja terbentuk dari pemenuhan kebutuhan individu (discrepancy theory

(35)

Weiss (1967) sesuai yang diterangkan Suyasa (2007), membuat alat ukur yang disebut sebagai Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ), terdiri dari indokator ability, utilization, achievement, activity, advancement, authority,

company policies and practices, security, social services, social status,

supervision – human relation, supervicion – technical, variety, dan working conditions. Smith et al. (1969) juga membuat kuesioner yang dikenal sebagai Job Description Index (JDI), terdiri dari aspek, gaji (9 indikator), promosi (9 indikator), rekan kerja (17 indikator), pekerjaan (18 indikator), dan supervisi (18 indikator). Kemudian, Suyasa (20007) dengan lima indikator, yaitu participation in decision making, autonomy, promotioal opportunity, supervisor support, dan

work overload.

Indikator yang digunakan dalam mengukur kepuasan kerja karyawan adalah indikator dari Teori Dua Faktor Herzberg baik faktor eksterinsik maupun faktor interinsik yang beberapa indikatornya juga di gunakan sebagai alat ukur oleh peneliti lainnya. Faktor interinsik terdiri dari :

a. gaji (Porter 1961,Smith et al. 1969, Robbins 2003) b. keamanan kerja (Porter 1961, Weiss et al. 1967)

c. kondisi kerja (Roy 1954, Weiss et al. 1967, Ciarniene dan Vienazindiene 2009), Robbins 2003)

d. status (Weiss et al. 1967)

e. kebijakan perusahaan (Weiss et al. 1967)

f. kualitas pengawasan teknis (Weiss et al. 1967, Smith et al. 1969, Suyasa 2007, Ciarniene dan Vienazindiene 2009)

g. hubungan interpersonal (Roy 1954, Porter 1961, Weiss et al. 1967 Smith et al.

1969, Ciarniene dan Vienazindiene 2009, Robbins 2003) Faktor eksterinsik, terdiri dari

a. pencapaian (Weiss et al. 1967, Robbins 2003) b. pengakuan (Porter 1961)

c. tanggung jawab (Weiss et al. 1967)

d. kemajuan (Weiss et al. 1967, Robbins 2003) e. pekerjaan itu sendiri (Robbins 2003)

f. kemungkinan untuk tumbuh (Weiss et al. 1967, Suyasa 2007, Ciarniene dan Vienazindiene 2009, Robbins 2003)

Kepuasan Kerja dalam Tinjauan Gender

(36)

Seseorang memiliki kecenderungan untuk memiliki sikap hanya kepada benda-benda yang penting dan menarik bagi orang tersebut.

Komunikasi sangat memengaruhi sikap seseorang dalam dunia kerja, Ivancevich (2005) menyatakan bahwa sikap seorang karyawan dipengaruhi komunikasi atasan dan bawahan. Karyawan akan lebih menyukai pekerjaan dan meningkatkan kinerja jika mereka memiliki manager yang mendukung, menyukai menejer dan mempercayai menejer.

Berikut ini penjelasan pembentukan sikap oleh Aronson (2005). Pertama, cognitively based attitudes, sikap umumnya terbentuk berdasarkan keyakinan seseorang terhadap fakta-fakta relevan yang terdapat dalam objek sikap. Kegunaan sikap ini adalah untuk mengklasifikasikan kelebihan dan kekurangan dari sebuah objek sehingga kita dapat memutuskan sikap kita terhadap objek tersebut. Kognitif merupakan pikiran-pikiran dan serta pengetahuan terhadap objek sikap. Pengetahuan di dapat dari proses pembelajaran termasuk sosialisasi. Wood (2001) menuliskan bahwa definisi, pengetahuan dan keyakinan gender seseorang dipelajari, dimaknai, disosialisasikan dan melalui interaksi dengan dunia sosial dan merupakan bentukan simbolik. Kognisi seseorang mengenai gender terbentuk berdasarkan konstruksi sosial dan psikologis dalam budaya mereka tinggal.

Kedua, afffectively based attitudes adalah sikap yang lebih didasari perasaan dan nilai-nilai seseorang daripada keyakinannya mengenai sifat-sifat objek sikap. Terkadang kita menyukai sebuah objek tanpa alasan tententu, tidak mempedulikan kerugian ataupun kekurangan lainnya dari objek tersebut.Sikap ini terbentuk berdasarkan perasaan, suka dan tidak suka berdasarkan suatu hal, pada tipe ini berhubungan dengan nilai moral, reaksi penginderaan, operant conditioning maupun clasical conditioning (pembelajaran berdasarkan asosialsi). Terkait gender, contoh clasical conditioning adalah seorang anak melihat ibunya secara nonverbal menunjukkan muka masam saat melihat perempuan bekerja kantoran, maka anak memiliki sikap negatif yang sama dengan ibunya terhadap perempuan pekerja kantoran. Sikap ibunya merupakan stimuli bagi sang anak untuk bersikap sama dengan ibunya, dia mempelajari sikap negatif bukan lagi berdasarkan fakta, tapi lebih pada perasaan. Ketiga, behaviorally based attitudes,

pembelajaran melalui observasi, individu mempelajari tingkah laku atau pemikiran baru dengan mengobservasi perilaku orang lain.

Sikap dibangun melalui komunikasi, komunikasi tidak hanya mengubah sikap dari A ke B tetapi juga membentuk sikap yang belum ada (Aronson 2005). Komunikasi membentuk sikap melalui disonasi kognitif yang diciptakan oleh komunikator dan komunikasi persuasif. Sikap seseorang terhadap pekerjaannya, senang atau tidak senang, puas atau tidak puas, tidak hanya dipengaruhi fakta seseorang tentang pekerjaan tersebut, tetapi juga dipengaruhi oleh afeksi dan observasi yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan sebelumnya. Sosialisasi gender memengaruhi bentuk kognisi, afeksi, dan behavioral laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat menjadi penjelasan bahwa gender, komunikasi dan kepuasan kerja diduga memiliki hubungan satu dengan lainnya.

Hasil Penelitian Kepuasan Kerja dalam Tinjauan Gender

Gambar

Tabel persentase kepuasan kerja menurut jenis kelamin
Tabel 1 Definisi operasional untuk peubah komunikasi gender
Tabel 1 Definisi operasional untuk peubah komunikasi gender (lanjutan)
Tabel 1 Definisi operasional untuk peubah komunikasi gender (lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil lain menunjukkan bahwa secara parsial kompensasi dan kondisi kerja mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, sedangkan komunikasi secara parsial tidak

Penulis melihat bahwa komunikasi ternyata merupakan salah satu faktor penting dalam perusahaan dan dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja karyawan, Maka penulis

Hasil lain menunjukkan bahwa secara parsial kompensasi dan kondisi kerja mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, sedangkan komunikasi secara parsial tidak

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari komunikasi antar rekan kerja dan kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan departemen Front Office di Hotel

Sesuai dengan standpoint theory, g ender merupakan bentukan kultural yang disosialisasikan dan dipahami oleh individu melalui simbol-simbol verbal maupun non

Hipotesis pertama menyatakan terdapat pengaruh antara komunikasi terhadap kepuasan kerja karyawan, hipotesis tersebut terbukti, dapat diterima dan berpengaruh signifikan

Berdasarkan keputusan di atas menunjukkan bahawa kepuasan terhadap komunikasi subordinat dengan komitmen kerja pekerja tidak mempunyai hubungan dan adalah tidak selaras dengan

FINAL GRADE /0 IMPLEMENTASI MOTIVASI KERJA DAN KOMUNIKASI KERJA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP KEPUASAN KERJA DAN KINERJA KARYAWAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM GRADEMARK REPORT GENERAL