• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap Masyarakat pada Kemitraan PIR dan Potensi Konflik Perkebunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sikap Masyarakat pada Kemitraan PIR dan Potensi Konflik Perkebunan"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

SIKAP MASYARAKAT PADA KEMITRAAN PIR DAN

POTENSI KONFLIK PERKEBUNAN

FARHATUL HANIFAH AMALIA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sikap Masyarakat pada Kemitraan PIR dan Potensi Konflik Perkebunan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Farhatul Hanifah Amalia

(4)
(5)

Potensi Konflik Perkebunan. Dibimbing oleh NURMALA K. PANDJAITAN.

Sektor perkebunan di Indonesia menyumbang devisa negara yang cukup besar dari komoditas kelapa sawit. Namun, sektor perkebunan ini rawan dengan potensi konflik. Selain konflik perebutan lahan juga terdapat potensi konflik pada program kemitraan. Salah satu potensi konflik perkebunan terjadi dalam pola kemitraan Perkebunan Inti Rakyat, yang melibatkan tiga stakeholder yaitu masyarakat (petani), swasta (perusahaan perkebunan sawit) dan pemerintah. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui sikap masyarakat pada kemitraan Perkebunan Inti Rakyat, mengetahui potensi konflik petani plasma dalam kemitraan Perkebunan Inti Rakyat dan mengetahui hubungan antara sikap dan potensi konflik pada kemitraan Perkebunan Inti Rakyat. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Desa Sukadamai memiliki pengetahuan yang kurang tepat, merasakan kemitraan kurang sinergis tetapi masih memiliki keinginan bekerjasama yang tinggi. Selain itu, masyarakat pernah melakukan aksi protes, demonstrasi hingga penyegelan yang mungkin dapat meningkatkan potensi konflik.

Kata kunci: Kemitraan, konflik, perkebunan, petani plasma

ABSTRACT

FARHATUL HANIFAH AMALIA. Community Attitude in PIR Partnership and Plantation Potential Conflict. Supervised byNURMALA K. PANDJAITAN.

The plantation sector in Indonesia, provides substantial foreign exchange from palm oil commodities. However, the plantation sector is prone of potential conflicts. In addition of land struggle there is also potential conflicts in the partnership program. One of plantations potential conflict occurred in Perkebunan Inti Rakyat partnership, which involves three stakeholders: people (farmers), private (palm oil companies) and the government. This study aimed 1) to find out the public attitude to the Perkebunan Inti Rakyat partnership, 2) to find out the potential conflict in the Perkebunan Inti Rakyat partnership and 3) to determine relationship between the attitude and the potential conflict in Perkebunan Inti Rakyat partnership. This study uses quantitative method which is supported with qualitative datas. The results showed that farmers have less knowledge about the partnership and feel that the partnership lack of synergy, but still want to cooperate in it. Besides that, people took action like protests, demonstrations until sealing that can increase the potential conflict.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG KEMITRAAN PIR

DAN POTENSI KONFLIK PERKEBUNAN

FARHATUL HANIFAH AMALIA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

NIM : I34100062

Disetujui oleh

Dr Nurmala K Pandjaitan,MS,DEA Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, M.Sc Ketua Departemen

(10)
(11)

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah persepsi, dengan judul Sikap Masyarakat pada Kemitraan PIR dan Potensi Konflik Perkebunan.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Nurmala K. Pandjaitan selaku dosen pembimbing yang telah memberikan masukan dan saran selama proses penulisan hingga penyelesaian karya tulis ilmiah ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada keluarga penulis yang telah mendukung, menyemangati, berdoa, dan senantiasa memberikan kasih sayangnya untuk penulis. Tidak lupa pula penulis sampaikan terima kasih kepada teman-teman SKPM angkatan 47, teman-teman TPB kelas B-14, serta teman-teman asrama dan kostan yang telah memberikan semangat serta masukan kepada penulis dalam proses penulisan karya tulis ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juli 2014

(12)
(13)

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Kegunaan Penelitian 3

PENDEKATAN TEORITIS 5

Tinjauan Pustaka 5

Konsep Sikap 5

Perkebunan dan Kemitraan PIR 6

Konsep Konflik 9

Kerangka Pemikiran 12

Hipotesis Penelitian 14

Definisi Operasional 14

METODOLOGI PENELITIAN 19

Metode Penelitian 19

Lokasi dan Waktu Penelitian 19

Teknik Sampling 19

Teknik Pengumpulan Data 20

Teknik Penolahan dan Analisis Data 20

PROFIL DESA SUKADAMAI, KECAMATAN TANJUNG LAGO, KABAUPATEN BANYUASIN

21

Gambaran Umum Desa 21

Sejarah Kemitraan PIR dan Koperasi Mitra di Desa Sukadamai 24

KARAKTERISTIK RESPONDEN 29

Karakteristik Individu 29

Karakteristik Usaha Petani Plasma Sawit 31

SIKAP MASYARAKAT PADA KEMITRAAN PIR 43

Komponen Kognitif 43

Komponen Afektif 46

Komponen Konatif 51

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI DENGAN SIKAP PETANI PADA KEMITRAAN PIR

55

Hubungan Luas Lahan dengan Sikap 55

(14)
(15)

Hubungan Keterlibatan Dalam Kelompok dengan Sikap 63

Hubungan Intensitas Komunikasi dengan Sikap 65

POTENSI KONFLIK 69

Permasalahan dan Ketidakpuasan pada Kemitraan PIR 69

Perilaku Konflik 69

HUBUNGAN SIKAP DENGAN POTENSI KONFLIK DALAM KEMITRAAN PIR

73 Hubungan Komponen Kognitif dan Potensi Konflik 73 Hubungan Komponen Afektif dan Potensi Konflik 74 Hubungan Komponen Konatif dan Potensi Konflik 75

Hubungan Sikap dan Potensi Konflik 76

SIMPULAN DAN SARAN 79

Simpulan 79

Saran 79

DAFTAR PUSTAKA 81

LAMPIRAN 85

(16)
(17)

DAFTAR TABEL

1 Batas wilayah Desa Sukadamai, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin tahun 2013 4 Jumlah fasilitas yang dimiliki Desa Sukadamai 23 5 Jumlah dan persentase penduduk Desa Sukadamai berdasarkan

jenis kelamin

23 6 Jumlah dan persentase penduduk Desa Sukadamai berdasarkan

mata pencaharian

24 7 Jumlah dan presentase responden berdasarkan umur 29 8 Jumlah dan presentase responden berdasarkan jenis kelamin 30 9 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan 30 10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis pekerjaan

utama

31 11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas dan jenis

kepemilikan lahan

31 12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas lahan kebun

kelapa sawit plasma

32 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan status kepemilikan

lahan kebun kelapa sawit

32 14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan status pengelolaan

lahan kebun plasma

33 15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan keikutsertaan dalam

koperasi mitra

34 16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan keaktifan

responden dan manfaat yang responden rasakan dalam kelompok atau organisasi

35

17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan keterlibatan petani dalam kelompok

36 18 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pertemuan

petani dengan perusahaan dan pemerintah desa

37 19 Jumlah dan persentase jawaban responden berdasarkan tingkat

komunikasi petani dengan perusahaan

38 20 Jumlah dan persentase jawaban responden berdasarkan tingkat

komunikasi petani dengan petani lain

39 21 Jumlah dan persentase jawaban responden berdasarkan tingkat

komunikasi petani dengan pemerintah desa

39 22 Jumlah dan persentase responden berdasarkan intensitas

komunikasi

40 23 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengetahuan

tentang pengertian kemitraan PIR

43 24 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengetahuan

tentang tujuan kemitraan PIR

(18)
(19)

25 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengetahuan tentang siapa penerima manfaat kemitraan PIR

45 26 Jumlah dan persentase jawaban responden berdasarkan

pengetahuan tentang siapa peserta penerima kemitraan PIR

45 27 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengetahuan

tentang kemitraan PIR

46 28 Jumlah persentase responden berdasarkan kesesuaian kemitraan

PIR

47 29 Jumlah persentase responden berdasarkan manfaat sosial

ekonomi dari kemitraan PIR

49 30 Jumlah persentase responden berdasarkan keterbukaan kemitraan

PIR

50 31 Jumlah dan persentase responden berdasarkan perasaan

responden tentang kemitraan PIR

51 32 Jumlah persentase responden berdasarkan keinginan bekerjasama

dalam kemitraan PIR

52 33 Jumlah dan persentase responden berdasarkan keinginan

responden dalam menjalankan kemitraan PIR

53 34 Jumlah dan persentase responden berdasarkan sikap responden 54 35 Jumlah dan persentase responden pada kategori luas lahan

berdasarkan pengetahuan tentang Kemitraan PIR

55 36 Jumlah dan persentase responden pada kategori luas lahan

berdasarkan perasaan responden tentang kemitraan PIR

56 37 Jumlah dan persentase responden pada kategori luas lahan

berdasarkan keinginan responden dalam kemitraan PIR

56 38 Jumlah dan persentase responden pada kategori luas lahan

berdasarkan sikap

57 39 Jumlah dan persentase responden pada kategori status

kepemilikan lahan non-transmigrasi berdasarkan pengetahuan tentang Kemitraan PIR

57

40 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan transmigrasi berdasarkan pengetahuan tentang Kemitraan PIR

58

41 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan non-transmigrasi berdasarkan perasaan responden tentang kemitraan PIR

58

42 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan transmigrasi berdasarkan perasaan responden tentang kemitraan PIR

59

43 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan non-transmigrasi berdasarkan keinginan responden dalam kemitraan PIR

59

44 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan transmigrasi berdasarkan keinginan responden dalam Kemitraan PIR

60

45 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan non-transmigrasi berdasarkan sikap

(20)
(21)

46 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan transmigrasi berdasarkan sikap

61 47 Jumlah dan persentase responden pada kategori status

pengelolaan lahan berdasarkan pengetahuan tentang kemitraan PIR

61

48 Jumlah dan persentase responden pada kategori status pengelolaan lahan berdasarkan perasaan responden tentang kemitraan PIR

62

49 Jumlah dan persentase responden pada kategori status pengelolaan lahan berdasarkan keinginan responden dalam kemitraan PIR

62

50 Jumlah dan persentase responden pada kategori status pengelolaan lahan berdasarkan sikap

63 51 Jumlah dan persentase responden pada keterlibatan dalam

kelompok berdasarkan pengetahuan tentang Kemitraan PIR

63 52 Jumlah dan persentase responden pada keterlibatan dalam

kelompok berdasarkan perasaan respoden tentang kemitraan PIR

64 53 Jumlah dan persentase responden pada keterlibatan dalam

kelompok berdasarkan keinginan responden dalam kemitraan PIR

64

54 Jumlah dan persentase responden pada kategori keterlibatan dalam kelompok berdasarkan sikap

65 55 Jumlah dan persentase responden pada interaksi komunikasi

berdasarkan pengetahuan tentang Kemitraan PIR

65 56 Jumlah dan persentase responden pada interaksi komunikasi

berdasarkan perasaan responden tentang kemitraan PIR

66 57 Jumlah dan persentase responden pada interaksi komunikasi

berdasarkan keinginan responden dalam kemitraan PIR

66 58 Jumlah dan persentase responden pada kategori interaksi

komunikasi berdasarkan sikap

67 59 Jumlah dan persentese responden berdasarkan perilaku konflik 70 60 Jumlah dan persentase responden berdasarkan potensi konflik 71 61 Nilai uji Chi-Square dan signifikansi hubungan antara variabel

sikap dan potensi konflik

73 62 Jumlah dan persentase responden pada pengetahuan tentang

kemitraan PIR berdasarkan potensi konflik

73 63 Jumlah dan persentase responden pada perasaan responden

tentang kemitraan PIR berdasarkan potensi konflik

74 64 Jumlah dan persentase responden pada keinginan responden

dalam kemitraan PIR berdasarkan potensi konflik

75 65 Jumlah dan persentase responden pada sikap responden pada

kemitraan PIR berdasarkan potensi konflik

(22)
(23)

DAFTAR GAMBAR

1 Tiga ruang di mana konflik sosial dapat berlangsung 10

2 Kerangka pemikiran 13

3 Gambar KUD Mekartani Jaya (kiri) dan KSU Al- Barokah (kanan)

27

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Desa Sukadamai Kec. Tanjung Lago, Kab. Banyuasin, Sumatera Selatan

85

2 Dokumentasi Penelitian 86

3 Kerangka sampling 87

4 Hasil olah data SPSS 92

(24)
(25)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sedang mengembangkan sektor perkebunan, karena sektor ini menyumbang devisa negara terbesar. Tahun 2013 perolehan ekspor perkebunan mencapai 21.4 miliar dolar Amerika. Perolehan ekspor subsektor perkebunan paling besar didapat dari komoditas kelapa sawit (11.5 miliar dolar AS), diikuti karet, kakao, dan kopi sebagaimana pernyataan Gamal Nasir, Dirjen Perkebunan Kementrian Pertanian kepada Antaranews (Subagyo 2014). Hal ini menjadikan komoditas kelapa sawit dinilai dapat mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Berkembangnya sektor perkebunan juga dapat ditandai dengan laju pertambahan luas lahan perkebunan yang kembali meningkat, setelah sempat mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan data Direktorat Jendral Perkebunan (2012), laju pertambahan luas lahan perkebunan antara tahun 2011 dan 2012 untuk perkebunan teh sebesar 0.29%, kopi 0.02%, tebu 2.06%, kelapa sawit 0.91% dan tembakau 9.18%.

Perkembangan yang terjadi di sektor perkebunan tidak hanya memberi dampak positif. Pertambahan luas lahan perkebunan yang terjadi juga memberikan dampak negatif. Seperti ungkapan Eric Wolf yang dikutip oleh Afandi (2013).

“...di manapun perkebunan itu timbul atau diimpor dari luar, maka ia selalu merusak norma-norma budaya yang telah ada sebelumnya dan menetapkan ketentuan-ketentuannya sendiri, kadang-kadang dengan cara membujuk, kadang-kadang dengan paksaan, tetapi selalu berada dalam konflik-konflik dengan ketentuan-ketentuan budaya yang dilanda olehnya...” (Eric Wolf dalam Afandi 2013:63).

Sektor perkebunan di Indonesia sering mengalami konflik-konflik yang melibatkan paksaan dalam pengambilan lahan dari masyarakat lokal. Lahan-lahan yang sebelumnya dikelola oleh masyarakat kemudian berpindah hak ke pihak perkebunan tanpa prosedur yang jelas. Selain permasalahan lahan, perkebunan di Indonesia juga memiliki masalah kemitraan. Salah satunya dalam kemitraan PIR (Perusahaan Inti Rakyat) yang bermula pada sekitar tahun 1977. Kemitraan PIR yang awalnya dicanangkan sebagai pengentas kemiskinan dan peningkat pendapatan negara masih memiliki ketimpangan. Khususnya ketimpangan antara perkebunan inti (perusahaan) dengan kebun plasma (masyarakat) (Fadjar 2006). Pola PIR yang saat ini banyak terdapat di perkebunan kelapa sawit adalah Pola PIR- KKPA. Pola PIR ini merupakan pola PIR-BUN yang sumber pendanaannya berlabel Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA). Selain ketimpangan pada pola PIR, terjadi pula pelanggaran perjanjian baik yang dilakukan perusahaan atau yang dilakukan oleh petani mitra. Adanya ketimpangan dan permasalahan yang terjadi di pola kemitraan ini dapat menimbulkan potensi konflik.

(26)

perhutanan, perburuan dan perikanan (BPS 2013). Jumlah konflik pada sektor ini paling tinggi dibandingkan dengan jenis lapangan pekerjaan lainnya. Menurut data Direktorat Jendral Perkebunan (2013) terdapat sekitar 21 juta tenaga kerja di sektor perkebunan, sehingga tidak dapat dipungkiri sektor ini memiliki potensi konflik yang cukup tinggi. KPA (2012) mencatat terjadinya 198 konflik agraria di seluruh Indonesia dengan luas areal konflik mencapai lebih dari 963 411.2 ha. Sektor perkebunan memiliki catatan konflik terbanyak dengan 90 kasus atau 45% (KPA 2012).

Salah satu wilayah yang beberapa tahun belakangan mengalami konflik sosial di sektor perkebunan adalah Sumatera Selatan. Wilayah ini memiliki kawasan perkebunan kelapa sawit yang cukup luas. Beberapa kawasan perkebunan Sumetera Selatan juga menjadi kawasan program transmigrasi, sehingga keberagaman penduduk yang ada, dapat menambah peluang terjadinya konflik sosial. Hal ini didukung oleh data kepolisian setempat yang menyebutkan bahwa terdapat 43 potensi pemicu konflik di daerah tersebut (Idrus 2012).

Potensi konflik yang ada di sektor perkebunan dapat diidentifikasi dengan mengetahui kepercayaan, persepsi dan keinginan masyarakat. Ketiga hal tersebut menentukan sikap masyarakat terhadap perkebunan kelapa sawit, khususnya dalam kemitraan PIR. Sikap tersebut dapat berupa sikap positif ataupun sikap negatif. Sikap negatif yang mungkin timbul dapat mempengaruhi terjadinya potensi konflik. Potensi-potensi konflik yang ada di sektor perkebunan harus dapat diketahui, sehingga dapat dimungkinkan adanya perbaikan dari pihak perkebunan dan dimungkinkan adanya pengelolaan konflik. Setelah potensi konflik yang ada diketahui, maka eskalasi konflik dapat dicegah dan perluasan permasalahan dapat dihindari.

Rumusan Masalah

Pendapat, kepercayaan, serta perasaan seseorang terhadap suatu objek dapat berbeda-beda. Hal ini tergantung bagaimana masyarakat tersebut membentuk kesan dan kesimpulan terhadap objek tersebut. Seperti ungkapan Aronson et al

(2005) bahwa persepsi sosial adalah bagaimana cara kita membentuk kesan mengenai orang lain dan bagaimana kita membuat kesimpulan tentang mereka. Pengalaman dan pengetahuan masyarakat tentang kemitraan PIR akan membentuk kesan masyarakat terhadap kemitraan tersebut. Berdasarkan pendapat, persepsi serta kepercayaan tersebut seseorang dapat memberikan evaluasi agar dapat menentukan sikap terhadap suatu objek. Begitu pula masyarakat dalam hal ini petani plasma memberikan evaluasi terhadap kemitraan PIR. Sikap petani dapat berupa sikap positif atau pun negatif terhadap kemitraan PIR. Apabila hasil evaluasi petani terhadap kemitraan negatif maka dimungkinkan petani akan memberikan sikap negatif pula dan membentuk perilaku yang berpotensi konflik pada kemitraan PIR. Untuk mengetahui hal tersebut perlu diketahui bagaimana sikap masyarakat pada kemitraan PIR (Perusahaan Inti Rakyat).

(27)

cenderung eksploitatif terhadap buruh dan mengakumulasi modal di satu tangan secara mencolok (Fadjar 2006). Menurut Herman dan Fadjar (2000) dalam Fadjar (2006), sengketa lahan juga terjadi karena kehadiran perusahaan perkebunan tidak memberikan manfaat kepada masyarakat. Potensi konflik cukup terlihat jelas dari hasil penelitian dan fakta yang telah dipapakarkan di atas. Kecendrungan reaksi atau tindakan masyarakat terhadap kemitraan PIR ini tidak dapat dikatakan cukup baik. Oleh karena itu, penting bagi peneliti untuk mengetahui lebih dalam

bagaimana perilaku potensi konflik pada kemitraan PIR.

Seringkali sikap direfleksikan dalam tingkah laku kita walaupun terkadang tidak selalu demikian (Baron dan Bryne 2004). Kemudian, menurut Petkova et al

(1995) dalam Baron dan Bryne (2004) semakin kuat sikap tersebut, semakin kuat pula dampaknya pada tingkah laku. Berdasarkan kedua teori tersebut, maka bisa saja terdapat hubungan antara sikap dan perilaku. Sikap masyarakat pada kemitraan PIR dapat pula merefleksikan perilaku apa yang akan dilakukan oleh masyarakat dalam menjalani kemitraan PIR. Apabila mereka memiliki sikap positif maka kemungkinan besar perilaku mereka dalam kemitraan juga positif, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana hubungan antara sikap pada kemitraan PIR dan perilaku potensi konflik pada kemitraan PIR.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibentuk, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui “Sikap masyarakat dan potensi konflik yang ada di perkebunan kelapa sawit karena adanya kemitraan PIR”. Kemudian tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui sikap masyarakat pada kemitraan PIR 2. Mengetahui perilaku potensi konflik pada kemitraan PIR

3. Mengetahui hubungan antara sikap pada kemitraan PIR dan perilaku potensi konflik pada kemitraan PIR

Kegunaan Penelitian

Diharapkan dengan adanya penelitian ini terdapat banyak manfaat bagi berbagai pihak seperti akademisi, pemerintah, dan masyarakat yang berkaitan dengan konflik sosial dan kemitraan perkebunan. Secara rinci kegunaan tersebut dijabarkan sebagai berikut:

1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah penelitian serta dapat dijadikan referensi atau literatur mengenai konflik sosial khususnya di kawasan perkebunan. Serta dapat membuka pengetahuan mengenai kemitraan dalam perkebunan.

2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan dalam pembuatan kebijakan yang baik untuk berbagai pihak dan membantu dalam mengantisipasi terjadinya konflik sosial di kawasan perkebunan. 3. Bagi perusahaan, penelitian ini diharapakan dapat membuka wawasan

(28)

mengurangi timbulkan konflik sosial di kawasan perkebunan. Serta menjadikannya referensi untuk membuat kemitraan yang lebih baik dengan masyarakat.

(29)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka Konsep Sikap

Menurut Faizo et al (1994) serta Tesser dan Martin (1996) dalam Baron dan Bryne (2004) sikap adalah evaluasi kita terhadap berbagai aspek di dunia sosial, serta bagaimana evaluasi tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka terhadap suatu isu, ide orang, kelompok sosial dan objek. Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanan motif tertentu. Sikap belum menjadi suatu tindakan tetapi baru sebatas kecendrungan tindakan atau perilaku. Newcomb et al

(1978) mengungkapkan bahwa sikap dilihat sebagai penentu dalam keseluruhan organisasi individu, beberapa konsekuensi sikap terhadap tingkah laku adalah tidak langsung karena diperantarai oleh proses-proses psikologis lainnya. Kemudian juga, Newcomb et al (1978) mengatakan bahwa efek terhadap suatu objek dapat digolongkan sebagai positif atau negatif. Sikap positif menimbulkan seseorang memiliki kecendrungan untuk mendekati objek, sedangkan sikap negatif akan membuat orang memiliki kecendrungan menjauhi objek.

Sikap tidak terbentuk secara langsung atau tiba-tiba. Terdapat beberapa sumber pembentuk sikap, salah satunya adalah dari mengadopsi sikap orang lain melalui proses pembelajaran sosial. Kita dapat terpengaruh sikap orang lain karena pandangan yang kita ungkapakan dibentuk saat kita berinteraksi dengan orang lain atau hanya dengan mengobservasi tingkah mereka (Baron dan Bryne 2004). Berdasarkan beberapa penelitian juga disebutkan bahwa sikap dipengaruhi oleh faktor genetis.

Untuk dapat memprediksi tingkah laku seseorang maka terlebih dahulu kita harus memahami sikap seseorang karena seringkali sikap direfleksikan dalam tingkah laku kita. Walaupun demikian, tidak selamanya sikap akan menentukan tingkah laku seseorang (Baron dan Bryne 2004). Baron dan Bryne menyatakan bahwa beberapa hasil penelitian pada tahun 1960 menunjukkan kesimpulan bahwa hubungan antara sikap dan tingkah laku sebenarnya cukup lemah. Hal ini dimungkinkan karena adanya ambivalensi sikap (attitude ambivalence) sebagaimana yang dikutip Baron dan Bryne (2004) dari Priester dan Petty (2001). Ambivalensi sikap merupakan tercampurnya evaluasi kita terhadap suatu objek menjadi dua reaksi positif dan negatif. Evaluasi tersebut tidak selamanya hanya positif atau hanya negatif tetapi dapat pula keduanya sekaligus. Baron dan Bryne (2004) juga menegaskan bahwa sikap sangat mempengaruhi pemikiran sosial kita meskipun sikap tersebut tidak selalu direfleksikan dalam tingkah laku yang tampak (overt).

(30)

tersebut dapat berupa kekuatan reaksi emosional, kepentingan pribadi (vested interest), pengetahuan dan kemudahan diakses. Berdasarkan hasil penelitian Crano (1995), Baron dan Bryne (2004) menuliskan bahwa semakin besar vested interest, maka semakin kuat dampak sikap tersebut pada tingkah laku.

Sikap memiliki tiga komponen yaitu kognitif, afektif, dan kecenderungan tindakan atau konatif (Krech dalam Hariharto 2001). Komponen kognitif adalah aspek sikap yang berkenaan dengan penilaian individu terhadap suatu objek ataupun subjek. Komponen ini juga berisi persepsi, kepercayaan dan stereotip individu tentang sesuatu. Persepsi secara umum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu dan merupakan proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indera. Sikap sendiri dapat mempengaruhi persepsi dan pemikiran kita terhadap isu, orang, objek atau kelompok dengan cukup kuat. Hasil pemikiran ini yang nantinya dipercayai dan diyakini oleh kita sebagai dasar pembentukan sikap kembali. Nilai-nilai baru yang diyakini benar akan mempengaruhi emosi atau komponen afektif dari sikap individu.

Komponen afektif, merupakan aspek yang berkenaan dengan emosional dan sosio psikologis. Komponen ini dapat disamakan dengan perasaan yang dimiliki objek tertentu. Semakin kuat reaksi emosional yang berhasil dibangkitkan oleh objek sikap, maka semakin kuat pula dampaknya pada tingkah laku (Baron dan Bryne 2004). Kemudian, komponen kecendrungan bertindak atau konatif, aspek ini merupakan keinginan individu untuk melakukan perbuatan sesuai dengan keyakinan dan keinginannya.

Perkebunan dan Kemitraan PIR

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian RI No. 98 tahun 2013, perkebunan diartikan sebagai segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengola dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Kemudian dalam permentan ini juga disebutkan usaha perkebunan adalah usaha yang menghasilkan barang dan/atau jasa perkebunan.

(31)

rumah tangga petani tidak termasuk konsep ini dan biasanya disebut usaha perkebunan rakyat.

Setiap perusahaan perkebunan memiliki beberapa kewajiban di antaranya untuk melakukan kemitraan dengan pekebun, karyawan dan masyarakat sekitar wilayah perkebunan. Disebutkan dalam Perda Prov. Bengkulu tahun 2013 bahwa perusahaan juga diwajibkan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat bersamaan dengan pembangunan kebun perusahaan. Kewajiban ini harus dipenuhi perusahaan jika lahan IUP (Izin Usaha Perkebunan) yang diajukan memiliki luas 250 hektar atau lebih. Luasan perkebunan masyarakat yang perlu difasilitasi adalah 20% luasan IUP yang diajukan dan pembangunan kebun masyarakat diselesaikan paling lama dalam waktu tiga tahun. Kebun yang dibangun oleh perusahaan untuk rakyat ini kemudian dapat pula disebut sebagai kebun plasma, sedangkan kebun milik perusahaan merupakan kebun inti. Kebun plasma dalam pengertian BPS (2012) adalah kebun yang dibangun dan dikembangkan oleh perusahaan serta ditanami dengan tanaman perkebunan. Kebun ini ditanami dan dikelola oleh perusahaan, kemudian setelah mulai berproduksi dikonversi kepada petani rakyat. Konversi yang dimaksud adalah pengalihan kredit biaya pembangunan plasma dari atas nama pemerintah menjadi beban petani peserta. Kebun inti dibangun oleh perusahaan dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan dan merupakan hak milik perusahaan perkebunan tersebut, perkebunan ini kemudian dipersiapkan menjadi pelaksana Perkebunan Inti Rakyat (PIR).

Perkebunan Inti Rakyat atau atau juga Perusahaan Inti Rakyat yang disingkat PIR sebelumnya disebut Nucleus Estate Smallholder (NES). Konsep PIR seperti ini sebenarnya bukan asli Indonesia, tetapi merupakan pola agribisnis modern yang dikembangkan di Amerika pada akhir abad ke-19 (Gunawan et al.

1995 dalam Fadjar 2006). PIR dan NES memiliki makna yang sama, yaitu untuk mengintegrasikan secara formal struktur usaha perkebunan besar dengan perkebunan rakyat. Model PIR ini, mencoba menggabungkan kepentingan pekebun dengan perusahaan perkebunan. Dinyatakan pula bahwa kebun milik petani/pekebun dibangun oleh perusahaan inti dengan dana kredit perbankan yang menjadi hutang petani. Tujuan diadakannnya kemitraan PIR ini adalah untuk mengangkat harkat hidup petani dan keluarganya dengan cara meningkatkan produksi dan mendapatkan usaha inti.

(32)

Kemitraan sendiri dapat diartikan sebagai kerjasama atau usaha, dalam hal ini kerjasama tersebut dilakukan oleh pihak perusahaan perkebunan dengan pekebun (petani). Berdasarkan keputusan Direktur Jendral Perkebunan No. 141 tahun 2010 tentang Sistem Penilaian Fisik kebun Kelapa Sawit Rakyat yang Dikaitkan dengan Program Revitalisasi Perkebunan kemitraan diartikan sebagai berikut:

“...kerjasama usaha antara usaha kecil/pekebun dengan usaha menengah dan/atau usaha besar sebagai mitra usaha disertai dengan pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan usaha besar dengan

memperhatikan prinsip saling memperkuat dan saling menguntungkan.”

Pola kemitraan PIR juga dijelaskan dalam UU No. 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil pada pasal 27. Berdasarkan UU tersebut pola inti plasma disebutkan sebagai hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar sebagai inti yang membina dan mengembangkan usaha kecil yang menjadi plasmanya melalui penyediaan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. Berdasarkan uraian tersebut, seharusnya pola kemitraan ini bersifat profit sharing (bagi hasil). Sistem bagi hasil ini ditandai dengan adanya pembagian hasil antara masyarakat (petani atau pekebun) dengan perusahaan perkebunan sebagai inti. Seiring berjalannya kemitraan ini, masih ditemukan pula beberapa ketimpangan. Salah satunya adalah timpangnya sharing system yang terjadi karena penerima kemitraan bukanlah petani miskin.

Peserta penerima kemitraan PIR merupakan petani atau penduduk setempat yang sudah menikah dan terdaftar dalam daftar nomintif yang ditetapkan oleh SK Bupati, berdasarkan usulan dari desa dan kecamatan. Sebelum membuka kebun plasma persusahaan inti bersama dengan Dinas Perkebunan melakukan pendataan dan sosialisasi kebun plasma, serta melakukan pendaftaran calon petani peserta kebun plasma. Berdasarkan Perda Tingkat I Prov. Jawa Barat Nomor 6 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan petani peserta memiliki hak-hak dalam kemitraan, yaitu:

1. Memperoleh kebun plasma seluas 1,5 Ha/KK Tani;

2. Memperoleh lahan tanaman pangan seluar 0,3 Ha/KK Tani; 3. Memperoleh lahan pekarangan seluas 0,2 Ha/KK Tani; 4. Memperoleh 1 unit rumah;

5. Memperoleh bimbingan teknis budidaya kebun dari perusahaan inti dan Instansi terkait secara berkesinambungan.

6. Memperoleh kebun plasma yang telah dibangun oleh perusahaan inti yang luasnya didasarkan kepada pemilikan/garapan lahan masing-masing petani yang bersangkutan yaitu maksimal 2 Ha/KK Tani

Perda tersebut juga menuliskan beberapa kewajiban berkaitan dengan kemitraan PIR. Kewajiban petani peserta yang telah menerima konversi ataupun yang masih dalam pola akuan (sebelum menerima konversi secara resmi) adalah sebagai berikut :

1. Memelihara dan mengembangkan perkebunan plasma yang dianjurkan oleh perusahaan inti dan Instansi terkait;

(33)

3. Mengembalikan beban kredit kepada Bank Pelaksana sampai lunas, dengan dicicil pada setiap penjualan hasil produksi kepada perusahaan inti sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Konsep Konflik

Mengacu dari pengertian konflik yang dikutip dari Webster, Pruitt dan Rubin (2011) menuliskan kembali bahwa konflik diartikan sebagai perkelahian, peperangan, atau perjuangan. Selain itu, pendapat Pruitt dan Rubin (2011) menyatakan secara singkat bahwa konflik adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest). Dilihat dari wujud konflik yang terjadi, konflik dapat dibagi menjadi konflik laten, konflik mencuat dan konflik

manifest (Musdalifah 2007). Konflik laten berarti konflik masih dapat diredam atau dikendalikan sehingga tidak terjadi bentrokan di dalamnya, sehingga potensi-potensi konflik tidak mencuat. Kemudian konflik mencuat biasanya terjadi setelah adanya penyadaran dari pihak-pihak ketiga seperti LSM. Setelah adanya penyadaran tersebut masyarakat berani bertindak dan menyatukan kelompoknya melawan perusahaan. Kemudian dengan adanya perlawan dan klaim atas lahan dari masyarakat, perusahaan akan melakukan perlawan yang bersifat agresif dan menciptakan konflik manifest.

Konflik yang terjadi di perkebunan di Indonesia umumnya merupakan konflik sosial perebutan sumberdaya alam berupa lahan. Konflik perebutan lahan seperti ini disebabkan adanya perbedaan persepsi mengenai status lahan yang menjadi sengketa, baik menurut masyarakat sendiri atau pemerintah. Pada dasarnya konflik sumberdaya alam diartikan sebagai konflik sosial yang berpusat pada isu “claim” dan “reclaiming” pengusaan sumberdaya alam seperti tanah atau

air sebagai pokok sengketa (Dharmawan 2006).

Menurut Michael C. Hudson (1972) yang dikutip oleh Nasikun (2000), konflik sosial dapat ditandai dengan terjadinya demonstrasi, kerusuhan, gencatan senjata dan korban jiwa akibat kekerasan politik. Demonstrasi biasanya dilakukan oleh sekelompok orang untuk protes kepada pemerintah atau pengusaha tanpa melakukan kekerasan. Kerusuhan hampir sama seperti demonstrasi hanya saja telah disertai dengan kekerasan fisik dan pengrusakan barang-barang. Serangan bersenjata, dapat dilakukan oleh kelompok sosial manapun, baik oleh pihak pemerintah ataupun aparat keamanan maupun oleh pihak nonpemerintah, dengan tujuan untuk melemahkan atau menghancurkan kelompok lain dan biasanya untuk kepentingan politik. Korban jiwa akibat kekerasan politik, korban dan kerugian tidak hanya diderita oleh pihak yang berkonflik, tetapi juga masyarakat sekitarnya. Semakin banyak korban jiwa baik akibat demostrasi, kerusuhan, maupun serangan senjata, berarti semakin besar konflik yang terjadi.

(34)

“Ruang objek yang diperebutkan atau disengketakan. Menurut Fuad dan Maskahan (2000) serta Hae et al. (2001) dalam Musdalifah (2007) terdapat pula konflik yang bersifat horizontal dan yang bersifat vertikal tergantung kepada level permasalahan dalam konflik perkebunan tersebut.

Berdasarkan subjek yang menjadi lawan, maka konflik dapat dikategorikan sebagai konflik vertikal, bila subjek yang dilawan oleh masyarakat merupakan pihak yang memiliki kelas yang lebih tinggi yaitu pemerintah atau perusahaan perkebunan sebagai pemilik modal. Perbedaan kepentingan antar pihak yang terlibat konflik juga menjadikan konflik sosial semakin rumit dalam kenyataannya. Kembali pada pengertian konflik menurut Puitt dan Rubin (2011) yaitu konflik adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan. Kepentingan berupa perasaan yang mendasar dan sentral dalam pikiran seseorang. Beberapa kepentingan juga mendasari kepentingan lainnya sehingga akan membentuk sikap, tujuan dan niat (Pruitt dan Rubin 2011).

Selain konflik vertikal, terjadi pula konflik yang berupa asimetri peluang ekonomi. Terdapat ketimpangan yang dirasakan oleh buruh perkebunan atas hasil atau fasilitas yang didapatkan. Seperti yang terjadi dalam kawasan perkebunan PIR-BUN dalam tulisan Fadjar (2006). Sumber konflik berupa ketimpangan karena peserta PIR-BUN yang berasal dari masyarakat lokal harus menyerahkan lahan mereka untuk dipakai sebagai areal perkebunan, sedangkan masyarakat pendatang tidak perlu menyerahkan lahan. Kemudian adanya konflik internal dalam organisasi petani mungkin saja terjadi. Konflik ini merupakan konflik horizontal karena lawan konflik mereka adalah kaum dari kelas yang sama.

Mengutip hasil modifikasi Dharmawan (2006) dari Bebbington (1997) terdapat tiga ruang di mana konflik sosial dapat terjadi yaitu “ruang kekuasaan negara”, “masyarakat sipil atau kolektivitas-sosial”, dan “sektor swasta” (lihat gambar 1). Ketiga ruang kekuasaan inilah yang menjadi aktor dalam setiap konflik yang ada di sektor perkebunan tersebut. Ketiga stakeholder ini saling terlibat, baik untuk saling mendukung atau saling saling melawan. Konflik dapat terjadi dalam setiap ruang kekuasaan atau bahkan melibatkan struktur antar ruangan.

(35)

Selain permasalahan lahan, konflik perkebunan juga terjadi karena hak-hak buruh yang dipekerjakan belum terpenuhi. Konflik disebabkan masyarakat yang menjadi buruh belum menerima hasil kerja mereka, kemudian pemilik kebun malah mendatangkan buruh dari luar daerah (Aprianto 2009). Adapula konflik yang disebabkan pihak perkebunan yang kurang tepat waktu dalam membayar buruh dan tidak transparannya perkebunan dalam pembayaran. Hal seperti ini terjadi dalam kasus perkebunan yang memakai sistem inti plasma (PIR-BUN) yang umumnya perkebunan kelapa sawit. Ketimpangan demi ketimpangan terjadi dalam metode kemitraan perkebunan PIR-BUN. Dalam kerjasama yang dijalin, masyarakat atau petani yang menjadi buruh kurang diperhatikan kesejahteraannya. Terdapat tiga ketimpangan dalam kemitraan perkebunan metode PIR-BUN yang dikutip Fadjar (2006) yaitu; ketimpangan dalam struktur pemilikan asset, ketimpangan dalam hal persepsi dan konsepsi dan ketimpangan antara apa yang dikatakan dengan yang dilakukan. Ketimpangan tersebutlah yang menjadi sumber konflik yang muncul pada pola kemitraan usaha perkebunan.

Terbentuknya kelompok pejuang atau strunggle group, terkadang malah semakin membuat konflik yang ada mengalami eskalasi. Sebagaimana mengutip penjelasan Pruitt dan Rubin (2011:34) sebagai berikut:

“...Ketika beberapa orang dengan kepentingan laten (tidak disadari) yang

sama saling bercakap-cakap, maka kepentingan laten mereka sering kali muncul ke kesadaran. Setelah merasa yakin dengan pendirian masing-masing, mereka mungkin akan mulai mengembangkan aspirasi baru, yang dapat mengarah ke konflik dengan orang lain yang kepentingannya bertentangan dengan aspirasi tersebut...”

Hal ini disebabkan adanya kesamaan tujuan yang terjalin dalam kelompok-kelompok tersebut mengenai musuh yang sama.

Konflik menjadi manifest setelah salah satu pihak melakukan tindakan agresif serta melakukan tindakan anarkis hingga bentrok fisik terjadi di antara kedua belah pihak (Musdalifah 2007). Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya persepsi mengenai kekuasaan. Apabila seseorang berhadapan dengan orang lain atau sekelompok orang yang memiliki sumberdaya yang dianggap langka atau berharga namun terlihat lebih lemah dari dirinya. Aspirasi orang tersebut akan meningkat dan konflik yang bersifat eksploitatif akan sangat mungkin terjadi (Pruitt dan Rubin 2011).

Konflik-konflik yang terjadi di perkebunan di Indonesia banyak pula yang merupakan hasil dari perbedaan kepentingan antar pihak yang berkonflik. Seperti yang dituliskan oleh Widiyanto (2013), terdapat beberapa penyebab konflik perkebunan terkait kepentingan para pihak yaitu:

a. Pemerintah dinilai lebih memprioritaskan pemilik modal besar;

b. Keinginan untuk mengembangkan komoditi tertentu seperti sawit, kapas transgenik, ekaliptus, dll;

c. Konflik ruang yang tidak hanya terjadi antara masyarakat dengan pemilik modal, tapi juga antara pemilik modal dengan pemilik modal lainnya;

d. Pola kerjasama yang tidak seimbang antara perusahaan dengan petani; e. Penentuan pola ruang yang tidak partisipatif;

(36)

lebih memilih melindungi pemilik modal untuk meningkatkan pendapatan daerah atau devisa negara. Kemitraan yang dijalin dengan perusahaan perkebunan oleh masyarakat hanya menguntungkan pihak-pihak pada lapisan atas saja.

Terdapat beberapa teori utama mengenai sebab konflik menurut Fisher et al.

(2000). Salah satunya adalah teori transformasi konflik yang mengangkat masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi. Ketika masyarakat tergusur dari lahannya, sebagian dari mereka ada yang dipekerjakan sebagai buruh di perkebunan. Masyarakat menjadi buruh di lahannya sendiri sementara pihak perkebunan mengambil keuntungan dari hasil kerja mereka. Hal tersebut menjadi kesenjangan tersendiri dalam masyarakat. Rasa ketidakadilan juga bertambah ketika adanya buruh perkebunan dari luar daerah yang pada dasarnya tidak mengorbankan lahan mereka untuk mendapat pekerjaan. Konflik di perkebunan dapat berkembang ke konflik antar komunitas buruh. Seperti salah satu sumber konflik di banyak kawasan PIR-BUN di Indonesia.

Kerangka Pemikiran

Konflik pada sektor perkebunan di Indonesia semakin marak terjadi. Selain masalah sengketa lahan, terdapat pula permasalahn yang menyangkut ketimpangan pada salah satu pola kemitraan di sektor perkebunan. Seperti hasil penelitian Fadjar (2006) yang menyebutkan bahwa terdapat ketimpangan pada pola kemitraan PIR (Perkebunan Inti Rakyat). Kemitraan tersebut berupa pola kerjasama yang melibatkan perusahaan besar sebagai perkebunan inti dan masyarakat sebagai petani plasma.

Kemitraan PIR telah dimulai pada tahun 1977 dengan nama Nucleus Estate Smallholder (NES), sampai akhirnya berkembang dengan nama PIR-TRANS dan PIR KKPA tahun 1999 (Fadjar 2006). Seperti yang dituliskan pada UU No. 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil pada pasal 27, perusahaan sebagai mitra petani pada pola PIR akan memberikan lahan dan membantu petani membuat sertifikat untuk lahan PIR tersebut. Kemudian pada Perda Tingkat I Prov. Jawa Barat Nomor 6 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan petani memiliki hak untuk menerima beberapa jenis lahan untuk menunjang kemitraan PIR. Lahan tersebut berupa lahan perkebunan dengan luas berkisar antara 1.5 ha – 2 ha. Berdasarkan hal itu maka luas lahan dan status kepemilikannya dapat membentuk sebuah karakter tersendiri pada petani plasma. Selain itu, berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perizinan Usaha Pekebunan terdapat beberapa pola kemitraan PIR yang dikembangkan. Terdapat 3 jenis pola kemitraan perkebunan yang memiliki status pengelolaan yang berbeda-beda sesuai perjanjian yang disepakati pihak-pihak yang bermitra. Oleh karena itu, status pengelolan lahan pada pola kemitraan perkebunan ini digolongkan ke dalam karakteristik petani. Untuk dapat mengikuti kemitraan PIR umumnya petani akan diwakili pada suatu lembaga baik berupa koperasi ataupun kelompok tani, maka keterlibatan petani serta intensitas komunikasi di dalamnya dapat kembali digolongkan ke dalam karakteritik petani.

(37)

mendukung kemitraan PIR). Sikap memiliki 3 komponen yaitu komponen kognitif, afektif dan konatif. Komponen kognitif akan dinilai berdasarkan pengetahuan petani tentang kemitraan PIR. Komponen afektif akan dinilai berdasarkan apa yang petani rasakan selama menjalani kemitraan PIR. Kemudian, komponen konatif dinilai berdasarkan kesediaan dan keinginan petani dalam menjalani kemitraan PIR. Ketiga komponen tersebut yang dibutuhkan untuk mengevaluasi kemitraan PIR dan menentukan sikap seperti apa yang dimiliki petani pada kemitraan PIR. Apabila petani memiliki sikap positif maka dimungkinkan petani akan memiliki potensi konflik yang rendah. Tetapi jika sebaliknya, petani memiliki sikap negatif pada kemitraan PIR maka potensi konflik akan meningkat.

Menurut Petkova et al (1995) dalam Baron dan Bryne (2004) semakin kuat sikap tersebut, semakin kuat pula dampaknya pada tingkah laku. Apabila memang demikian, maka sikap petani pada kemitraan PIR memiliki hubungan dengan pembentukan tingkah laku petani. Tingkah laku tersebut dapat pula dilihat dari perilaku konflik yang pernah dilakukan petani dalam kemitraan. Perilaku konflik tersebut kemudian akan menunjukkan tingkat potensi konflik yang ada pada kemitraan PIR. Dengan demikian akan diketahui apa saja potensi konflik yang terdapat pada sektor perkebunan khususnya perkebunan kelapa sawit dengan pola kemitraan PIR.

(38)

Hipotesis Penelitian

1. Diduga masyarakat memiliki sikap kurang mendukung kemitraan PIR.

2. Diduga terdapat hubungan antara sikap masyarakat pada kemitraan PIR dengan potensi konflik dalam kemitraan PIR

Definisi Operasional

Untuk menghindari adanya kesalah pahaman terhadap variabel yang akan dikaji dalam penelitian ini, masing-masing variabel diberi batasan terlebih dahulu agar dapat ditentukan indikator pengukurannya. Variabel-variabel penelitian didefinisikan sebagai berikut:

1. Karakteristik petani:

a. Luas Lahan yaitu luas lahan yang dikuasai oleh responden dan telah dijadikan kebun plasma sawit, luas lahan dikelompokkan menjadi 3 kelompok terdiri dari:

a. 1 Ha : kode 1

b. 2 Ha : kode 2

c. >2 Ha : kode 3

b. Status kepemilikan lahan adalah cara petani mendapatkan lahan yang dijadikan perkebunan plasma sawit. Terdapat 4 cara yang yang dikodekan sebagai berikut:

a. Turun temurun : kode 1

b. Membeli : kode 2

c. Lahan transmigran : kode 3 d. Membeli dan lahan transmigran : kode 4

c. Status pengelolaan lahan adalah perlakuan petani plasma dalam merawat kebun plasma kelapa sawit mereka. Perlakuan tersebut mereka lakukan sendiri atau melalui perusahaan. Perlakuan tersebut bisa berupa pemupukan, penyemprotan hama dan pembersihan gulma. Status pengelolaan lahan dibagi menjadi 2 kategori sebagai berikut:

a. Dikelola sendiri : kode 1

b. Dikelola perusahaan : kode 2

d. Keterlibatan dalam Kelompok yaitu keterlibatan responden dalam suatu kelompok atau organisasi tertentu sebagai pengurus atau anggota, baik yang bersifat formal atau informal. Karakteristik ini dibagi menjadi 7 pertanyaan yang masing-masing jawabannya terdiri dari:

a. Ya : skor 2 b. Tidak : skor 1

Jawaban-jawaban tersebut kemudian dijumlahkan dan dibagi kedalam kategori berikut:

1. Tidak terlibat aktif (jumlah skor 7-10) 2. Terlibat aktif (jumlah skor 11-14) e. Intensitas Komunikasi

(39)

waktu satu bulan terakhir. Pertemuan ini dapat terjadi di dalam atau di luar forum organisasi yang mengikat keduanya. Tingkat pertemuan dibagi menjadi:

a. Tidak pernah ( 0 pertemuan) : skor 0 b. Jarang (< 4 kali pertemuan) : skor 1 c. Sering (> 4 kali pertemuan) : skor 2

Skor dari 4 pertanyaan kemudian dijumlah dan dibagi menjadi:

1. Tingkat pertemuan rendah (jumlah skor 0-2.66) : skor 1 2. Tingkat pertemuan sedang (jumlah skor 2.67–5.33) : skor 2 3. Tingkat pertemuan tinggi (jumlah skor 4.34–8) : skor 3 b. Tingkat interasksi yaitu frekuensi dan substansi yang dibicarakan dalam percakapan antara individu dengan pihak perusahaan perkebunan dalam kegiatan individu dan kelompok. Intensitas kemudian dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

a. Tidak pernah ( 0 pertemuan) : skor 0 b. Jarang (< 4 kali pertemuan) : skor 1 c. Sering (> 4 kali pertemuan) : skor 2

Skor dari 5 pertanyaan kemudian akan dijumlah dan dibagi menjadi: 1. Tingkat interaksi rendah (jumlah skor 0-3.33) : skor 1 2. Tingkat interaksi sedang (jumlah skor 3.34–6.67) : skor 2 3. Tingkat interasi tinggi (jumlah skor 6.68-10) : skor 3

Kemudian keseluruhan skor dari tingkat pertemuan dan tingkat interaksi akan dijumlah dan dibagi menjadi:

1. Intensitas komunikasi rendah (jumlah skor 2-3.33) 2. Intensitas komunikasi sedang (jumlah skor 3.34-4.67) 3. Intensitas komunikasi tinggi (jumlah skor 4.68-6)

2. Sikap adalah sebuah evaluasi responden tentang kemitraan PIR yang dilihat dari kesiapan, keinginan atau kecenderungan untuk bertindak. Indikator yang diukur adalah:

a. Komponen kognitif berupa pengetahuan masyarakat tentang kemitraan PIR. Pengetahuan ini adalah apa yang masyarakat percayai tentang pengertian, tujuan dan siapa saja penerima manfaat kemitraan PIR. Jawaban setiap pertanyaan dijumlah dan dibagi ke dalam 2 kategori yaitu:

1. Pengetahuan kurang tepat (jumlah skor 4-14) : kode 1 2. Pengetahuan tepat (jumlah skor 15-24) : kode 2

b. Komponen afektif berupa perasaan responden pada kemitraan PIR. Perasaan responden tentang kemitraan PIR ini dinilai dari kesesuaian, manfaat dan keterbukaan pada kemitraan PIR.

1. Tingkat kesesuaian kemitraan PIR. Kesesuaian yang dimaksud adalah kesesuaian kemitraan PIR dengan keinginan, harapan dan kebutuhan masyarakat dan juga kesesuaian isi perjanjian dan ketentuan bagi hasil dengan yang pendapat masyarakat. Kesesuaian terdiri dari 5 pertanyaan yang masing-masing jawaban pertanyaan tersebut terbagi menjadi:

a. STS (sangat tidak sesuai) : skor 1 b. TS (tidak sesuai) : skor 2

c. N (netral) : skor 3

(40)

e. SS(sangat sesuai) : skor 5

Jawaban setiap pertanyaan dijumlah dan dibagi lagi kedalam 3 kategori yaitu:

a. Tidak sesuai (jumlah skor 5-11.6) : skor 1 b. Cukup sesuai (jumlah skor 11.7-18.3) : skor 2 c. Sangat sesuai (jumlah skor 18.4-25) : skor 3

2. Manfaat sosial ekonomi kemitraan PIR. Manfaat berupa peningkatan pendapatan dan peningkatan fasilitas umum yang terdiri dari 3 pertanyaan dan masing-masing jawaban pertanyaan tersebut terbagi menjadi:

a. Tidak bermanfaat (jumlah skor 3-7) : skor 1 b. Cukup bermanfaat (jumlah skor 8-11) : skor 2 c. Sangat bermanfaat (jumlah skor 12-15) : skor 3

3. Tingkat keterbukaan dalam kemitraan PIR. Keterbukaan yang dimaksud adalah keterbukaan dalam alokasi dana dan pembagian hasil serta kebijakan dalam penjualan hasil kebun. Keterbukaan ini terdiri dari 4 pertanyaan yang masing-masing jawaban pertanyaan tersebut terbagi menjadi: b. Kurang terbuka (jumlah skor 11-15) : skor 2 c. Sangat terbuka (jumlah skor 16-20) : skor 3

Untuk mendapatkan penggolongan komponen afektif (perasaan responden tentang kemitraan PIR), jumlah skor kesesuaian, manfaat dan keterbukaan tersebut dijumlahkan kembali dan dibagi menjadi 2 kategori perasaan yaitu:

a. Kemitraan kurang sinergis (total skor 12-36) : kode 1 b. Kemitraan sinergis (total skor 37-48) : kode 2

c. Komponen konatif berupa keinginan petani dalam menjalani kemitraan PIR. Keinginan ini merupakan keinginan dari petani untuk melakukan perbuatan sesuai dengan keyakinan dan keinginannya. Keinginan bekerjasama terdiri dari 6 pertanyaan dengan 2 jenis jawaban:

a. Ya : skor 2

(41)

Keinginan tidak bekerjasama terdiri dari 1 pertanyaan dengan 2 jenis jawaban:

a. Ya : skor 1

b. Tidak : skor 2

Untuk mendapatkan penggolongan komponen konatif (keinginan), pertanyaan dijumlahkan dan digolongkan menjadi dua jenis keinginan:

1. Ketidak iniginan bekerjasama (total skor 7-10.5) : kode 1 2. Keinginan bekerjasma (totak skor 10.6-14) : kode 2 Kemudian untuk dapat menentukan penggolongan sikap maka keseluruhan komponen kognitif, afektif dan konatif dijumlahkan. Total skor yang dihasilkan akan menggolongkan sikap responden pada kemitraan PIR menjadi 2 jenis sikap sebagai berikut:

1. Sikap kurang mendukung kemitraan (total skor 3-4.5) 2. Sikap mendukung kemitraan (total skor 4.6-6)

3. Perilaku konflik adalah perilaku atau tanggapan negatif yang diberikan masyarakat atas adanya kemitraan PIR

a. Potensi Konflik adalah respon negatif atas adanya perbedaan kepentingan, atau ketidaksesuaian dalam kemitraan yang dapat menimbulkan perselisihan, perkelahian dan perjuangan. Potensi konflik terdiri dari 2 pertanyaan yang masing-masing jawabannya terbagi menjadi:

a. Ya : skor 2 b. Tidak : skor 1

Untuk menentukan perilaku konflik petani plasma terhadap kemitraan PIR, maka dibagi menjadi 2 kategori:

(42)
(43)

METODOLOGI PENELITIAN

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian survei. Menurut Singarimbun et al. (1989), penelitian survei merupakan penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif yang didukung dengan metode kualitatif. Data untuk metode kuantitatif didapat melalui kuesioner yang disebarkan kepada responden (Lampiran 1). Kemudian, data pendukung metode kualitatitf didapat melalui wawancara mendalam terhadap informan yang dipilih serta observasi lapang. Kedua jenis metode ini digunakan untuk memperkaya data dan memungkinkan adanya informasi tak terduga dari responden atau informan. Selain itu, dengan didukung metode kualitatif diharapkan mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan rinci dalam menganalisis data kuantitatif.

Lokasi Dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Desa Sukadamai, Kec. Tanjung Lago, Kab. Banyuasin, Sumatera Selatan (Lampiran 2). Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan lokasi tersebut memenuhi ciri-ciri tempat yang sesuai dengan topik penelitian. Desa ini memiliki kawasan perkebunan kelapa sawit swasta yang telah melaksanakan program kemitraan PIR. Pada lokasi ini juga terdapat masyarakat yang telah bekerja sebagai buruh perkebunan dan mengolah lahan kebun plasma. Proses penulisan skripsi berlangsung dari bulan Februari-Juli 2014, dengan pengambilan data selama 3 minggu pada bulan April.

Teknik Sampling

Unit analisis penelitian adalah individu petani atau pekebun. Populasi sampel dalam penelitian ini adalah petani yang telah terdaftar sebagai petani plasma pada kemitraan PIR sejumlah 442 orang (lampiran 4). Responden merupakan kepala keluarga yang bekerja sebagai petani atau pekebun di sektor perkebunan kelapa sawit.

(44)

Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder didapatkan dari studi literatur terkait dan pihak-pihak yang berkaitan dengan lokasi penelitian, yaitu profil Desa Sukadamai, data demografi desa, dan data dari Badan Pusat Statistika. Data primer diperoleh dari hasil pengambilan data langsung di lapangan melalui kuesioner dan wawancara mendalam kepada responden dan informan. Wawancara mendalam diberikan kepada responden dan informan berdasarkan panduan pertanyaan yang telah disiapkan dan diikuti dengan pemikiran responden yang berhubungan dengan pertanyaan. Wawancara tersebut digunakan untuk mendalami lebih lanjut mengenai pengetahuan petani dan informan tentang kemitraan PIR.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

(45)

PROFIL DESA SUKADAMAI, KECAMATAN TANJUNG

LAGO, KABAUPATEN BANYUASIN

Gambaran Umum Desa

Secara astronomis Desa Sukadamai terletak pada 104o 43’ 52.7’’ BT dan 02o43’ 16.1” LS dengan luas total 1600 ha. Secara administratif, Desa Sukadamai merupakan salah satu desa yang berada pada Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan. Desa ini memiliki batas wilayah sebagai berikut:

Tabel 1 Batas wilayah Desa Sukadamai, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin tahun 2013

Batas wilayah desa Desa

Sebelah utara Desa Banyu Urip

Sebelah selatan Desa Sukatani

Sebelah barat Desa Tanjung Lago

Sebelah timur Desa Sukatani

Sumber: Data Monografi Kantor Desa Sukadamai, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, 2013.

Desa Sukadamai berjarak sekitar 35 km dari pusat Kota Palembang dan dapat ditempuh dalam waktu 2 jam dengan menggunakan kendaran bermotor. Jarak tempuh dari desa ke ibu kota provinsi dengan berjalan kaki atau menggunakan kendaraan non-bermotor sekitar 12 jam. Jarak desa ini ke ibu kota kecamatan sekitar 3 km dan dapat ditempuh dengan waktu 15 menit dengan sepeda motor. Lama jarak tempuh ke ibu kota kecamatan dengan berjalan kaki atau kendaraan non-bermotor sekitar 1 jam. Jarak desa ke ibu kota kabupaten lebih jauh daripada jarak ke ibu kota provinsi yaitu, sekitar 97 km dan dapat ditempuh dalam waktu 3 jam dengan kendaraan bermotor. Apabila dengan berjalan kaki dapat ditempuh dalam waktu 24 jam. Kualitas jalan menuju Desa Sukadamai dapat dikatakan kurang baik, karena terdapat banyak lubang yang cukup besar. Lubang-lubang yang berada hampir di sepanjang jalan Kecamatan Tanjung Lago ini cukup mengganggu dan menghambat pengguna jalan. Hal ini juga mengakibatkan waktu tempuh menuju desa semakin lama.

(46)

Tabel 2 Luas dan persentase jenis penggunaan lahan di Desa Sukadamai secara umum

Jenis penggunaan lahan Luas (Ha) Persentase (%)

Pemukiman 266.00 16.63

Pertanian 1105.50 69.09

Perkantoran pemerintah 1.25 0.08

Sekolah 6.00 0.38

Pasar 0.25 0.02

Pertokoan 2.00 0.13

Pemakaman umum 4.00 0.25

Kebun karet. jalan dll 215.00 13.44

Total 1600.00 100.00

Sumber: Data diolah dari monografi Desa Sukadamai tahun 2013 dan buku profil desa tahun 2007

Mata pencaharian yang dominan di desa adalah pada bidang pertanian dan perkebunan. Hal ini dapat dilihat dari luas penggunaan lahan di sektor pertanian yang mencapai hampir 70%. Sektor pertanian di desa ini cukup beragam. seperti padi. sayur dan palawija. Berikut rincian penggunaan lahan berdasarkan komoditas pertanian di Desa Sukadamai.

Tabel 3 Luas dan persentase penggunaan lahan di Desa Sukadamai berdasarkan jenis penggunaan lahan pertanian

Jenis penggunaan lahan pertanian Luas (Ha) Persentase (%)

Sawah padi 232.0 20.99

Kelapa sawit 812.0 73.45

Jagung 25.0 2.26

Kacang panjang 2.0 0.18

Padi ladang 25.0 2.26

Ubi kayu 2.0 0.18

Cabai 0.5 0.05

Tanaman tumpang sari 2.5 0.23

Sayuran 2.0 0.18

Semangka 2.5 0.23

Total 1105.5 100.00

Sumber: Data diolah dari monografi Desa Sukadamai tahun 2013 dan buku profil desa tahun 2007

Data pada Tabel 3 di atas menunjukkan dengan jelas bahwa dominan lahan pertanian adalah kebun kelapa sawit. Kebun kelapa sawit tersebutlah yang diolah dalam kemitraan PIR. Selain itu desa ini juga masih memiliki sawah padi seluas 232 ha.

(47)

hujan. Hanya sekitar 2 km jalan yang telah diaspal dan 4 km yang diberi pengerasan berupa koral. Desa ini dilewati oleh beberapa aliran sungai kecil dan parit-parit sehingga terdapat 22 jembatan yang difungsikan sebagai penghubung parit-parit di desa ini. Jalan poros desa ini terletak di sebelah selatan desa dan merupakan jalan yang telah diberi aspal dan pengerasan sepanjang 4 km. Selain jalan poros. terdapat dua jalur jalan yang dapat dikatakan sebagai jalan utama desa. Jalan ini menghubungkan jalan poros ke setiap dusun. namun jalan ini tidak sebagus jalan poros karena hanya sebagian saja yang diberi pengerasan. Desa ini juga memiliki banyak fasilitas umum yang cukup baik. seperti fasilitas keagamaan. pendidikan dan kesehatan.

Tabel 4 Jumlah fasilitas yang dimiliki Desa Sukadamai

Fasilitas Jumlah (unit)

Keagamaan 15

Pendidikan 6

Kesehatan 3

Olahraga dan Seni 12

Sumber: Data diolah dari monografi Desa Sukadamai tahun 2013

Desa Sukadamai memiliki cukup banyak fasilitas keagamaan seperti masjid. mushola dan gereja. Fasilitas kesehatan yang dimiliki desa ini berupa 1 unit puskesmas dan 2 bangunan klinik bersalin. Sekarang desa ini juga telah memiliki bangunan sekolah dari PAUD hingga SMA. Desa Sukadamai memiliki sarana olah raga berupa lapangan voli atau tenis dan lapangan sepak bola sejumlah 10 buah. Selain itu terdapat pula sarana kesenian dan budaya 2 buah. Desa ini juga memiliki dua buah bangunan koperasi yang keduanya digunakan sebagai mitra perkebunan kelapa sawit dan sebuah bangunan kantor desa yang sederhana.

Demografi dan Kependudukan

Menurut data monografi Desa Sukadamai tahun 2013. Desa Sukadamai terdiri dari 4 Dusun dan 19 RT. Desa ini memiliki 846 KK yang hampir keseluruhannya merupakan transmigran dari pulau jawa sehingga bahasa yang umum digunakan di desa ini adalah Bahasa Jawa. Menurut data kependudukan yang dijabarkan di Tabel 5 dapat dilihat bahwa penduduk perempuan di desa ini lebih banyak dibanding dengan penduduk laki-lakinya.

Tabel 5 Jumlah dan persentase penduduk Desa Sukadamai berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin

Jumlah (orang) Persentase (%)

Laki-laki 1987 49.51

Perempuan 2026 50.49

Total 4013 100.00

(48)

Sebagian besar wilayah Desa Sukadamai digunakan sebagai daerah pertanian dan perkebunan. Oleh karena itu sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Berikut rincian mata pencaharian penduduk di Desa Sukadamai.

Tabel 6 Jumlah dan persentase penduduk Desa Sukadamai berdasarkan mata pencaharian

Mata pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%)

PNS 38 0.95

Pengrajin industri 10 0.25

Pedagang 140 3.49

Bidan dan perawat 3 0.07

Pembantu rumah tangga 32 0.80

Tni/polri 2 0.05

Karyawan 114 2.84

Tani dan buruh tani 361 9.00

Bidang jasa 21 0.52

Ibu rumah tangga, pekerja serabutan dan

pengangguran 3292 82.03

Total 4013 100.00

Sumber: Diolah dari data monografi Desa Sukadamai tahun 2013 dan buku profil desa tahun 2007

Sejarah Kemitraan PIR dan Koperasi Mitra di Desa Sukadamai Sejarah Kemitraan PIR

Kemitraan PIR lebih dikenal sebagai kemitraan plasma sawit oleh masyarakat setempat. Kemitraan PIR di desa ini dapat digolongkan menjadi kemitraan PIR-KKPA yaitu pola PIR yang mendapat fasilitas kredit kepada koperasi primer untuk anggota. Kemitraan PIR di desa ini adalah sebuah program “ayah angkat” yang ditujukan untuk mengelola lahan tidur yang dulu banyak di desa ini. Dikatakan sebagai program “ayah angkat”, karena pemerintah desa mencari perusahaan perkebunan yang mau untuk memberi bantuan dalam pengelolaan atau perawatan lahan tidur. Pemerintah desa telah beberapa kali mencari perusahaan untuk dijadikan ayah angkat. Hal ini karena, mulanya beberapa perangkat desa memiliki keinginan untuk kembali memanfaatkan lahan tidur yang dulu digunakan sebagai sawah pada awal transmigrasi. Lahan tidur tersebut tidak lagi dapat ditanami padi setelah terjadi kebakaran besar pada tahun 1992 dan saat ini cocok untuk kelapa sawit. Kemudian, terjadilah kerjasama dengan salah satu perusahaan perkebunan sawit pada tahun 2004.

(49)

sudah 35 tahun berada di lokasi tersebut. Ketika dipindahkan, masyarakat telah diberikan lahan seluas 2 ha untuk lahan pertanian dan 0.25 ha untuk perumahan dan pekarangan, sehingga masing-masing KK (kepala keluraga) memiliki lahan seluas 2.25 ha.

Program transmigrasi yang ada di desa ini secara tidak langsung membuat kemitraan PIR di sini sedikit berbeda dengan kemitraan PIR di lokasi lain. Kemitraan PIR di lokasi lain biasanya memberikan, membukakan lahan serta membantu dalam pembuatan sertifikat tanah untuk petani plasmanya. Akan tetapi, Kemitraan PIR di desa ini mengharuskan setiap anggotanya sudah memiliki sertifikat tanah untuk dapat diagunkan ke bank. Umumnya perusahaan perkebunan di lokasi lain memberikan lahan mulai dari 0.5 ha hingga 2 ha untuk diolah, sedangkan di desa ini petani diharuskan memiliki lahan sebesar minimal 1 ha untuk dijadikan kebun plasma.

Kemitraan PIR di Desa Sukadamai telah berlangsung hampir 10 tahun dan seharusnya kontrak kemitraan ini akan segera berakhir. Akan tetapi, karena perusahaan perkebunan yang menjadi “ayah angkat” telah berganti kepemilikan sebanyak 3 kali, kontrak perjanjian kerjasama kemitraan PIR diperbaharui dan ditambah jangka waktunya. Pergantian kepemilikan ini terjadi tanpa diketahui oleh pihak koperasi ataupun pemerintah desa. Perjanjian ulang dengan perusahaan dilakukan pada tahun 2008 dan akan berakhir dalam jangka waktu 10 tahun yang artinya kemitraan akan berakhir tahun 2018 mendatang.

Koperasi Unit Desa Mekar Tani Jaya (KUD MTJ)

Koperasi Unit Desa Mekar Tani Jaya (KUD MTJ) merupakan salah satu koperasi yang ada di Desa Sukadamai. Koperasi ini merupakan sebuah badan hukum yang bernomor 002821a/BH/VI/Tgl.25 Agustus 1997. Awalnya koperasi ini dioperasikan sebagai koperasi induk untuk Kecamatan Tanjung Lago. Setelah adanya kerjasama dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit pada tahun 2004, koperasi ini kemudian dijadikan sebagai koperasi mitra. Keputusan digantinya fungsi utama koperasi ini terjadi atas keinginan pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit dan masyarakat.

KUD MTJ pada awal kerjasama mewakili semua petani plasma dari tiga desa yang ada di Kecamatan Tanjung Lago. Ketiga desa ini memiliki jarak yang cukup dekat dengan ciri-ciri kependudukan yang hampir sama, desa tersebut adalah desa Sukadamai, Sukatani dan Kota Terpadu Mandiri. Setelah berlangsungnya kerjasama, tiap-tiap desa di Kecamatan Tanjung Lago mulai memisahkan diri dan membuat koperasi sendiri.

Gambar

Gambar 1 Tiga ruang di mana konflik sosial dapat berlangsung
Gambar 2   Kerangka Pemikiran
Tabel 6  Jumlah dan persentase penduduk Desa Sukadamai berdasarkan mata pencaharian
Tabel 10  Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis pekerjaan utama
+7

Referensi

Dokumen terkait

Siswa dapat mempraktikkan kombinasi pola gerak dasar lokomotor yang dilandasi konsep gerak dalam berbagai bentuk permainan sederhana dengan memperhatikan tanggung jawab

DailyWord, a 21st-century outgrowth of the Daily Word magazine, has grown from an initial user base of 150 to more than 30,000 since its launch in March

memanfaatkan teknologi komunikasi dan seni penggerakan masyarakat serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi serta melakukan kerja sama secara lintas program

Pada abad ke-16, di Sulawesi Selatan telah berdiri kerajaan Hindu Gowa dan Tallo. Penduduknya banyak yang memeluk agama Islam karena hubungannya dengan kesultanan Ternate. Pada

Skripsi ini adalah salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana pada Fakultas Ilmu Komputer, Jurusan Sistem Informasi, Universitas Bina Nusantara Jakarta.. Dalam penyusunan

Penelitian ini berjudul Analisis Pengaruh Citra Merek, Kepuasan dan Kepercayaan Pelanggan Terhadap Loyalitas Pelanggan Smartphone merek Samsung studi pada mahasiswa

Penelitian yang dilakukan peneliti sekarang adalah “Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Treffinger Berbantuan LKS dan Motivasi Belajar Terhadap Hasil Belajar

Kontribusi Physical Fitness dan Self Control terhadap Performa Atlet Squash Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.eduB.