• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI DENGAN SIKAP PETANI PADA KEMITRAAN PIR

POTENSI KONFLIK

Permasalahan dan Ketidakpuasan pada Kemitraan PIR

Telah terjadi beberapa kali perselisihan antara petani plasma dengan pihak perusahaan perkebunan. Perselisihan itu berkaitan dengan ketidak puasan petani dalam pembagian hasil dan kurangnya fasilitas yang diterima petani. Masyarakat mengaku hasil bulanan yang diterima dari kemitraan tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain bagi hasil yang dirasa kurang menguntungkan petani, hasil bulanan pun tidak rutin diberikan setiap bulannya. Selain itu, tuntutan masyarakat untuk memperbaiki akses jalan keluar masuknya truk angkutan kelapa sawit sampai sekarang tidak dilaksanakan. Fasilitas pemupukan bagi kelapa sawit juga sampai saat ini masih kurang diperhatikan.

Konflik di Desa Sukadamai ini mulai mencuat pada tahun 2010. Menurut salah satu informan, telah terjadi sekitar 4 kali protes dan 1 kali demonstrasi yang melibatkan masa yang cukup banyak. Demonstrasi dilakukan di depan kantor perusahaan perkebunan dan sempat terjadi penyegelan kantor perusahaan pada tahun 2011. Konflik di desa ini melibatkan 3 stakeholder yaitu pihak perusahaan perkebunan di sektor swasta, pemerintah (desa dan kabupaten) dan petani plasma. Untuk menyelesaikan konflik yang terjadi, pihak pemerintah desa beserta koperasi dan petani juga telah mengadukan hal ini ke bupati dan gubernur, tetapi hingga saat ini belum ada penyelesaian dan tindak lanjut dari perusahaan. Jika dikaitkan dengan penyebab konflik yang diutarakan Widianto (2013), konflik di desa ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, pemerintah (bupati dan gubernur) dinilai lebih memprioritaskan pemilik modal besar. Pemerintah dan perusahaan dinilai telah mengabaikan kepentingan masyarakat terhadap lahan hidupnya. Pemerintah lebih memilih melindungi pemilik modal untuk meningkatkan pendapatan daerah atau devisa negara. Kedua, adanya pola kerjasama yang tidak seimbang antara perusahaan dengan petani. Kemitraan yang dijalin dengan perusahaan perkebunan oleh masyarakat hanya menguntungkan pihak-pihak pada lapisan atas saja.

Terdapat tiga ketimpangan dalam kemitraan perkebunan metode PIR yang sesuai dengan pendapat Fadjar (2006) yaitu adanya ketimpangan dalam struktur pemilikan asset, ketimpangan dalam hal persepsi dan konsepsi dan ketimpangan antara apa yang dikatakan dengan yang dilakukan. Ketimpangan tersebutlah yang menjadi sumber konflik yang muncul pada pola kemitraan PIR. Selain konflik vertikal, ada pula perselisihan internal antar anggota koperasi. Perselisihan ini terjadi karena masalah sistem bagi hasil yang mengakibatkan pecahnya koperasi.

Perilaku Konflik

Perilaku konflik yang dimaksud adalah suatu tindakan negatif masyarakat atau petani plasma sebagai respon adanya kemitraan PIR yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian. Tindakan ini dapat secara langsung dikaitkan dengan pengertian konflik yang berarti perkelahian atau peperangan (Pruitt dan Rubin 2011). Beberapa bentuk konflik yang sering terjadi untuk menyuarakan aspirasi biasanya dilakukan dengan demo atau protes. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa responden dan petani plasma sawit lain di desa ini merasakan adanya ketidak puasan selama menjalani kemitraan PIR. Oleh karena ketidak

puasan yang dirasakan tersebut sempat terjadi beberapa kali protes yang dilakukan oleh petani bersama dengan pemerintah desa. Perilaku konflik tersebut dapat lebih rinci dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 59 Jumlah dan persentese responden berdasarkan perilaku konflik No. Perilaku konflik

Jumlah Skor rata- rata

Ya Tidak

n % n %

1. Pernah ikut dalam protes atau demo karena ketidak puasan terhadap kemitraan

28 46.7 32 53.3 1.47 2. Pernah mengusulkan untuk

melakukan aksi penolakan atau demo

15 25.0 45 75.0 1.25

Terdapat ketidakpuasan dari seluruh responden pada kemitraan PIR. Jika dikaitkan pada bab sebelumnya, ketidakpuasan responden disebabakan oleh hasil bulanan yang kecil, sistem bagi hasil yang kurang transparan dan fasilitas yang sangat sedikit dapat dirasakan oleh responden. Salah satu informan juga menyatakan bahwa pernah kelapa sawit yang baru dipanen tidak dapat diangkut keluar dan akhirnya membusuk karena sarana infrastruktur tidak diperhatikan oleh perusahaan. Jalan keluar masuknya truk pengangkut sawit tidak diberi pengerasan, sehingga ketika hujan truk pengangkut sawit terjebak. Ketidakpuasan ini juga yang menyebabkan petani pernah melakukan protes pada perusahaan perkebunan. Penyegelan kantor perkebunan bahkan pernah dilakukan oleh petani pada tahun 2011. Jawaban responden tersebut juga didukung oleh pernyataan sekertaris Desa Seukadamai sebagai berikut.

“...disini seringkali unjuk rasa, tapi masih gebrakan santun, demo damailah kito sebutnyo. Pernah ada tigo kali demo disini. Nah, pas demo ini juga kami ikut untuk mengantisipasi agar tidak memanas, jadi penengahlah. Sempet ado rapat akbar disini yang dihadiri oleh kepolisian, perkebunan, keperindag, disbun, petani, KUD, perbankan sebagai penyandang dana, perusahaan. Oh... penuh disini, gempuran demi gempuranpun dan tuntut-tutan itu. Ya saat itu, jawaban mereka iyo akan kami laksanakan, tapi yo setelah kito itu yo mereka diem lagi. Jadi dio bergerak kalau ada dorongan. Itu yang bikin kito

kesel.”(Prb, 50 tahun)

Untuk menyelesaikan konflik yang terjadi, pihak desa juga telah mengadukan ini ke bupati dan gubernur, tetapi hingga saat ini belum ada penyelesaian dan tindak lanjut dari perusahaan.

Ketika terjadinya protes dan unjuk rasa, hampir setengah jumlah responden menyatakan pernah mengikuti unjuk rasa tersebut. Kemudian beberapa responden juga pernah secara langsung mengusulkan untuk mengadakan unjuk rasa atau demo. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dilihat kalau sebenarnya potensi konflik di desa ini masih cukup tinggi. Keikutsertaan dan pemberian

usulan untuk unjuk rasa dan demo ini memang tidak terlalu banyak, tetapi cukup berpotensi untuk dapat kembali pecah. Hal ini dapat terjadi jika perusahaan belum benar-benar memiliki etika yang baik dalam bermitra.

Tabel 60 Jumlah dan persentase responden berdasarkan potensi konflik

Potensi konflik Jumlah (orang) Persentase (%)

Potensi konflik tinggi 30 050

Potensi konflik rendah 30 050

Total 60 100

Tabel di atas memperlihatkan bahwa terdapat kesamaan jumlah responden pada kedua kategori potensi konflik. Setengah jumlah responden memiliki potensi konflik yang tinggi dan setengah lainnya memiliki potensi konflik yang rendah. Dikhawatirkan jika permasalahan dan ketidak puasan masyarakat terus berlanjut responden yang memiliki potensi konflik tinggi tersebut dapat meningkatkan potensi konflik dari responden lainnya. Hal ini seperti yang diutarakan Pruitt dan Rubin (2011) bahwa terbentuknya strungle group (kelompok pejuang) dapat membuat konflik mengalami eskalasi.

Ikhtisar

Terdapat ketidakpuasan dari seluruh responden pada kemitraan PIR, ketidakpuasan ini juga yang menyebabkan petani pernah melakukan protes pada perusahaan perkebunan. Konflik di Desa Sukadamai ini mulai mencuat pada tahun 2010. Menurut salah satu informan, telah terjadi sekitar 4 kali protes dan 1 kali demonstrasi yang melibatkan masa yang cukup banyak. Ketika terjadinya protes dan unjuk rasa, hampir setengah jumlah responden menyatakan pernah mengikuti unjuk rasa tersebut. Kemudian beberapa responden juga pernah secara langsung mengusulkan untuk mengadakan unjuk rasa atau demo. Terdapat kesamaan jumlah antara responden yang memiliki tingkat konflik tinggi dan tingkat konflik yang rendah.

HUBUNGAN SIKAP DENGAN POTENSI KONFLIK DALAM

Dokumen terkait