• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek Pemberian Insulin-Like Growth Factor 1 Dan Estradiol Terhadap Profil Elektrokardiogram Kelinci New Zealand White Dengan Fraktur Delayed Union

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efek Pemberian Insulin-Like Growth Factor 1 Dan Estradiol Terhadap Profil Elektrokardiogram Kelinci New Zealand White Dengan Fraktur Delayed Union"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

EFEK PEMBERIAN

INSULIN-LIKE GROWTH FACTOR

1 DAN

ESTRADIOL TERHADAP PROFIL ELEKTROKARDIOGRAM

KELINCI

NEW ZEALAND WHITE

DENGAN FRAKTUR

DELAYED UNION

PANGDA SOPHA SUSHADI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efek Pemberian Insulin-like Growth Factor 1 dan Estradiol terhadap Profil Elektrokardiogram Kelinci New Zealand White dengan Fraktur Delayed Union adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

PANGDA SOPHA SUSHADI. Efek Pemberian Insulin-like Growth Factor 1 dan Estradiol Terhadap Profil Elektrokardiogram Kelinci New Zealand White dengan Fraktur Delayed Union. Dibimbing oleh RIKI SISWANDI dan GUNANTI.

Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi profil elektrokardiogram kelinci New Zealand White (NZW) pada persembuhan fraktur dengan pemberian senyawa Insulin-like Growth Factor 1 (IGF-1) dan estradiol. Penelitian dilakukan pada 6 ekor kelinci NZW jantan berumur 6 bulan dengan berat badan 3–4 kg yang dibagi menjadi dua kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan pertama (A) diberikan senyawa IGF-1 1% 3 mg/kg BB dengan rute intramuskular, sedangkan kelompok perlakuan kedua (B) diberikan senyawa estradiol 3% 3 mg/kg BB dengan rute subkutan setiap tiga hari sekali. Fraktur dibuat pada tulang tibia tungkai kanan secara aseptis. Fiksasi dilakukan dengan intramedular Kirschner wire pada lokasi kerusakan. Pemeriksaan EKG dilakukan dalam keadaan hewan teranestesi dengan posisi left lateral recumbency pada saat praoperasi (minggu ke–0) dan pascaoperasi (minggu ke-2, 4, dan 6). Berdasarkan evaluasi, diperoleh perbedaan nyata (P<0.01) pada amplitudo R kelompok B minggu ke-6 antar waktu dan kelompok perlakuan, serta durasi T minggu ke-2 antar kelompok perlakuan dan antar waktu pengambilan data pada kedua kelompok. Frekuensi jantung secara keseluruhan cenderung mengalami peningkatan. Secara keseluruhan, aktivitas jantung tidak terpengaruh oleh pemberian kedua senyawa.

(6)

ABSTRACT

PANGDA SOPHA SUSHADI. The Effect of Insulin-like Growth Factor 1 and Estradiol Treatment on Electrocardiogram Profile of New Zealand White Rabbit with Delayed Union Fracture. Supervised by RIKI SISWANDI and GUNANTI.

This study was aimed to evaluate the electrocardiogram profile of New Zealand White (NZW) rabbits following Insulin-like Growth Factor 1 (IGF-1) and estradiol treatment. Six male NZW rabbits aged 6 months and 3–4 kgs of body weight were divided into two groups. The first group (A) received 3 mg/kgs intramuscular IGF-1 1% treatment, while the other group (B) received 3 mg/kgs subcutaneous estradiol 3% treatment every 3 days. Bone fracture was made aseptically on the right leg-tibial bone. The bone then fixated by intramedullary Kirschner wire at damaged location. The ECG examination was done in anesthetized rabbits with left lateral recumbency position pre (week 0) and post-surgery (week 2, 4, and 6). Following the examination result, there were some significant difference (P<0.01) parameters, such as amplitude value of R wave between the groups on week 6 and the T wave duration in both groups also between the groups on week 2. Heart rate values tend to be increased. Overall, heart activity was not affected by each treatment.

(7)

EFEK PEMBERIAN

INSULIN-LIKE GROWTH FACTOR

1 DAN

ESTRADIOL TERHADAP PROFIL ELEKTROKARDIOGRAM

KELINCI

NEW ZEALAND WHITE

DENGAN FRAKTUR

DELAYED UNION

PANGDA SOPHA SUSHADI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 sampai Juni 2014 ini adalah evaluasi elektrokardiogram, dengan judul Efek Pemberian Insulin-like Growth Factor 1 dan Estradiol Terhadap Profil Elektrokardiogram Kelinci New Zealand White dengan Fraktur Delayed Union. Penelitian ini merupakan penelitian payung dari disertasi dr. Aryadi Kurniawan, SpOT dengan ko-promotor Dr. Drh. Gunanti, MS yang ditujukan untuk persembuhan fraktur pada manusia.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Drh Riki Siswandi, MSi selaku pembimbing I, Dr Drh Gunanti, MS selaku pembimbing II, dan Drh Mawar Subangkit, MSi, APVet selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan dukungan dan arahan kepada penulis. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Delin, Benli, Nia, Fatihatun, dan Cindi atas kerjasamanya selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta, adik, dan para sahabat, terutama Denny Suwarso atas segala doa dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Semoga penulis dapat menghasilkan tulisan yang bermanfaat khususnya bagi penulis, umumnya bagi pembaca.

Bogor, September 2015

(11)
(12)

DAFTAR TABEL

1 Amplitudo gelombang P (mV) 9

2 Amplitudo gelombang R (mV) 9

3 Amplitudo gelombang T (mV) 10

4 Interval PR (detik) 11

5 Interval QT (detik) 12

6 Durasi gelombang P (detik) 12

7 Durasi kompleks QRS (detik) 13

8 Durasi gelombang T (detik) 14

9 Durasi segmen ST (detik) 14

10 Frekuensi jantung (kali/menit) 15

DAFTAR GAMBAR

1 Teknik monitoring EKG 3

2 Gelombang elektrokardiogram 3

3 Mekanisme kerja estradiol 4

4 Mekanisme kerja IGF-1 5

5 Mesin EKG 6

6 Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) 7

7 Operasi pematahan tulang tibia 7

8 Alur waktu penelitian 8

9 Lokasi pemasangan elektroda pada kelinci 8

10 Grafik EKG kelinci dengan amplitudo gelombang R tinggi 10

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Patah tulang (fraktur) merupakan penyakit yang sering terjadi dan diderita oleh semua usia, baik muda maupun tua. Tingginya tingkat kejadian patah tulang dan fungsi tulang yang sangat penting bagi sistem lokomosi maupun fisiologis tubuh mendorong berkembangnya spesialisasi ilmu dan studi tentang kasus di bidang tulang. Telah diketahui pula bahwa persembuhan patah tulang dapat terjadi secara normal maupun abnormal. Beberapa jenis persembuhan abnormal pada patah tulang adalah malunion, delayed union, dan nonunion. Delayed union adalah suatu keadaan ketika patah tulang tidak sembuh dalam waktu 3–5 bulan, atau membutuhkan waktu lebih lambat dibandingkan dengan proses persembuhan normal. Proses persembuhan ini sering dilakukan pada kasus patah tulang manusia, namun metodenya belum sempurna (Dendyningrat 2012).

Kelinci sering digunakan sebagai hewan model untuk penelitian dan uji coba produk obat karena ukurannya yang ideal dan mudah dalam penanganannya. Selain karena kedekatan fungsi fisiologisnya dengan manusia, terutama pada tulang yang densitasnya sama, kelinci seringkali dipilih sebagai hewan model karena sesuai terhadap berbagai model penelitian (Carpenter dan Quesenberry 2003). Jenis kelinci yang paling mampu beradaptasi terhadap beragam model penelitian adalah New Zealand White (NZW), sehingga jenis ini adalah yang paling banyak digunakan (Meredith dan Crossley 2002).

Problem delayed union pada kasus patah tulang belum memiliki metode pelaksanaan yang sempurna, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menyempurnakannya. Senyawa umum yang telah tersedia di pasaran dan digunakan untuk mempercepat proses persembuhan patah tulang adalah golongan growth factor, seperti Bone Morphogenetic Protein-2 (BMP-2) dan Bone Morphogenetic Protein-7 (BMP-7) (Arianni et al. 2013). Telah diketahui pula bahwa terjadi sinergi antara senyawa Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1) dan estradiol pada metabolisme tulang dalam proses pencegahan menopause (Cipta 2004). Efektivitas dan pengaruh pemberian senyawa ini terhadap proses persembuhan tulang perlu diteliti lebih lanjut.

Perumusan Masalah dan Hipotesis

(14)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi efek pemberian IGF-1 dan estradiol terhadap profil elektrokardiogram kelinci NZW yang mengalami fraktur delayed union.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk menyempurnakan tatalaksana terdahulu pada terapi persembuhan fraktur delayed union dengan pemberian senyawa IGF-1 dan estradiol melalui gambaran aktivitas listrik jantung.

TINJAUAN PUSTAKA

Elektrokardiogram

Elektrokardiogram (EKG) merupakan representasi dari suatu sinyal yang dihasilkan oleh aktivitas listrik otot jantung. Otot jantung normal berkontraksi ketika terjadi depolarisasi pada sel-selnya. Aktivitas listrik inilah yang kemudian direkam sebagai sinyal EKG melalui alat elektrokardiograf. Elektrokardiogram adalah tes non-invasif yang digunakan untuk mencerminkan kondisi jantung. Alat ini memiliki perangkat kabel dan elektroda untuk dihubungkan pada kulit dada, lengan, dan kaki pasien (Abedin dan Conner 2008). Prinsip dasar rekaman EKG adalah gelombang depolarisasi yang berjalan menjauhi elektroda akan tergambarkan dengan deplesi negatif, sedangkan gelombang depolarisasi yang berjalan mendekati elektroda akan tergambarkan dengan deplesi positif. Arah gelombang depolarisasi umumnya dari sebelah kiri thoraks karena letak jantung yang berada di sebelah kiri thoraks dan massa otot ventrikel kiri yang lebih besar dari ventrikel kanan. Keseluruhan arah perjalanan dari depolarisasi listrik melalui jantung dikenal sebagai sumbu listrik (electrical axis) (Cunningham 2002).

Suatu rekaman EKG dapat diperoleh dengan memasangkan sadapan elektroda pada lengan kanan, lengan kiri, dan kaki kiri hewan. Bentuk sadapan ini dikenal dengan metode Einthoven, sering juga disebut bipolar limb leads, yang digambarkan dengan segitiga imajiner bernama segitiga Einthoven. Lead I mengukur perbedaan voltase yang terekam antara lengan kiri (elektroda positif) dengan lengan kanan (elektroda negatif), lead II mengukur perbedaan voltase antara kaki kiri (elektroda positif) dengan lengan kanan (elektroda negatif), sedangkan lead III mengukur perbedaan voltase antara kaki kiri (elektroda positif) dengan lengan kiri (elektroda negatif). Selain itu, terdapat juga tiga view tambahan yang disebut augmented unipolar limb leads (aVR, aVL, dan aVF), yang mengukur

(15)

3

Gambar 1 Teknik monitoring EKG (Shirley 2007)

Terdapat dua elemen utama dalam sebuah elektrokardiogram. Elemen pertama adalah kompleks yang diawali dari gelombang P, kompleks QRS, gelombang T, dan gelombang U. Tiap kompleks mengandung elemen kedua, yaitu interval/durasi, yang terdiri atas titik interval dan segmen. Terdapat interval PR di antara gelombang P dan kompleks QRS, serta interval QT dari awal kompleks QRS hingga akhir gelombang T. Gelombang P merupakan gambaran aktivitas kontraksi dan depolarisasi otot atrium. Gelombang P terdiri atas interval/durasi dan amplitudo P. Durasi P diukur dari awal hingga akhir gelombang P, sedangkan amplitudo P diukur dari garis baseline ke puncak gelombang P. Bagian pertama gelombang P menggambarkan aktivitas atrium kanan, sedangkan bagian kedua menggambarkan aktivitas atrium kiri (O’Keefe et al. 2008).

Kompleks QRS menggambarkan aktivitas kontraksi otot ventrikel, terdiri atas gelombang Q, R, S, serta interval/durasi QRS. Gelombang Q dan S berupa deplesi ke bawah, sedangkan gelombang R bergerak ke atas dan cenderung memiliki amplitudo yang tinggi. Terdapat interval RR antar kompleks QRS yang menggambarkan frekuensi jantung. Gelombang T menggambarkan fase repolarisasi otot ventrikel, terdiri atas interval/durasi T dan amplitudo T. Gelombang U menggambarkan fase repolarisasi otot papillaris atau serabut Purkinje (O’Keefe et al. 2008).

(16)

4

Elektrokardiogram penting dalam penatalaksanaan pasien, terutama pada kasus kelainan irama jantung, dan dapat memberikan data yang mendukung diagnosis. Elektrokardiogram dapat membantu diagnosis penyebab nyeri dada, sesak napas, dan ketepatan penggunaan trombolisis pada infark miokard. Aktivitas listrik yang memicu aktivitas mekanis menyebabkan kelainan listrik pada jantung umumnya disertai oleh kelainan aktivitas kontraktil jantung (Birchard dan Sherding 2000). Kegunaan EKG antara lain adalah untuk mengetahui kondisi aritmia, fungsi alat pacu jantung, gangguan konduksi interventrikuler, pembesaran kamar jantung, iskemik miokard, penyakit perikardium, gangguan elektrolit, pengaruh obat-obatan, dan berbagai penyakit jantung bawaan (Shirley 2007).

Estradiol

Estradiol merupakan bentuk estrogen paling aktif yang diproduksi oleh ovarium dan diperlukan untuk proses pematangan kelamin pada wanita. Estradiol memainkan peranan penting dalam perkembangan lapisan dalam endometrium (Cipta 2004). Pria maupun wanita, bahkan yang telah menopause, mampu memproduksi prekursor estradiol aktif melalui sel-sel lemak. Senyawa ini juga diproduksi di dinding otak dan arteri dalam jumlah kecil. Kadar estradiol normal pada pria adalah 10–40 pg/ml, sedangkan pada wanita bervariasi tergantung pada siklus menstruasi (Bader 2008). Pemberian estradiol dapat meningkatkan aliran darah perifer, sehingga mempengaruhi sistem kardiovaskular. Dalam jangka pendek, pemberian estradiol menunjukkan efek vasodilatasi aorta dan peningkatan aliran darah pada vascular bed (Nurdiana 2008).

Gambar 3 Mekanisme kerja estradiol (Bader 2008)

(17)

5

Insulin-like Growth Factor-1

Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1), biasa disebut juga somatomedin C, adalah protein pada manusia yang dikodekan oleh gen IGF. IGF-1 adalah hormon yang memiliki struktur molekul yang sama dengan insulin. Hormon ini berfungsi sebagai perantara terhadap hormon pertumbuhan, memicu pengambilan asam amino, sintesis protein, dan utilisasi penggunaan glukosa, terutama dalam proses pertumbuhan dan regulasi fungsi anabolik pada orang dewasa (Laviola et al. 2007).

IGF-1 terdiri dari 70 asam amino dalam rantai tunggal dengan tiga jembatan disulfida intramolekul. Produksi hormon ini sebagian besar di hati sebagai hormon endokrin (sistemik), namun juga diproduksi lokal secara parakrin atau autokrin. Kadar normal hormon ini pada manusia adalah 150–250 µg/l. Faktor yang merangsang sekresi IGF-1 adalah Growth Hormone (GH). IGF-1 kemudian diketahui dapat menstimulasi pertumbuhan hampir semua sel dalam tubuh, seperti otot, tulang rawan, tulang, hati, dan ginjal (Laviola et al. 2007).

Gambar 4 Mekanisme kerja IGF-1 (Rincon et al. 2004)

(18)

6

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dan pengambilan data dilaksanakan bulan Februari–Juni 2014, bertempat di Laboratorium Divisi Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pemeliharaan hewan dilakukan di kandang kelinci Unit Pengelolaan Hewan Laboratorium (UPHL) FKH IPB.

Alat dan Bahan

Alat yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah kandang kelinci, peralatan anestesi per injeksi, satu set peralatan bedah mayor, mesin EKG (Fukuda M-E Cardiosunny D300®), Kirschner wire intramedular ukuran 1.8, dan kamera untuk kegiatan dokumentasi. Bahan yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah 6 ekor kelinci NZW jantan, IGF-1 1%, estradiol 3%, anestetikum xylazine 2% dan ketamine HCl 10% (Ilium Xylazil® dan Ketamil®, Troy Laboratories), antibiotik enrofloksasin 10% (Roxine®, Sanbe Farma), analgesik ketoprofen 10% (Ketoprofen®, Hexpharm Jaya), alkohol 70% dan Iodine Povidone 10% (OneMed), anthelmintik ivermectin 1% (Ivomec®, Merck), kertas EKG, gel EKG, dan pakan kelinci. Penggunaan kelinci pada penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik Hewan IPB.

Gambar 5 Mesin EKG

Tahap Persiapan

(19)

7

Gambar 6 Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus)

Tahap Pelaksanaan

Kelinci dioperasi pada hari-H, setelah masa aklimatisasi. Inisiasi fraktur dilakukan pada tulang tibia dengan operasi aseptis dalam keadaan hewan teranestesi. Anestesi yang digunakan adalah kombinasi Ilium Xylazil® 2% dan Ketamil® 10% dengan rute intramuskular. Operasi inisiasi fraktur dilakukan oleh operator yang sama dengan operasi utama. Setelah inisiasi, kaki kanan belakang dicukur lalu didesinfeksi dengan Iodine Povidone 10%. Insisi dilakukan pada posterolateral tungkai atas, kemudian dilakukan seksi hingga tulang tibia. Stripping periosteum dilakukan sejauh 0.5 cm dari garis tibia, kemudian tulang tibia dipatahkan pada pertengahannya. Fraktur kemudian direposisi, lalu difiksasi dengan Kirschner wire ukuran 1.8 secara intramedular. Luka kemudian dijahit, lalu kelinci dikembalikan ke kandang. Kelinci kemudian dibagi kedalam dua kelompok, yaitu kelompok A (perlakuan IGF-1) sebanyak 3 ekor dan kelompok B (perlakuan estradiol) sebanyak 3 ekor.

Ketoprofen® 10% (SC) digunakan sebagai analgesik dan Roxine® 10% (SC) sebagai antibiotik post operasi, masing-masing selama tiga hari. Pemberian Ivomec® 1% dilakukan ketika tampak manifestasi ektoparasit pada kelinci. Pemantauan tanda-tanda vital dan inflamasi pada daerah intervensi dilakukan secara teratur. Kelompok kelinci A disuntikkan IGF-1 1% dengan dosis 3 mg/kg BB (IM) dan kelompok kelinci B disuntikkan estradiol 3% dengan dosis 3 mg/kg BB (SC) setiap tiga hari sekali. Masing-masing kelompok perlakuan dipanen pada minggu ke-6.

(20)

8

Tahap Pengambilan Data

Perekaman EKG dilakukan preoperasi pada 3 kelinci yang dipilih acak, lalu dilakukan kembali pada minggu kedua, keempat, dan keenam pascaoperasi pada tiap kelompok. Perekaman EKG dilakukan dalam keadaan terbius menggunakan sadapan basis-apeks (base-apex) dengan kalibrasi 1 mV = 10 mm dan kecepatan rekam 50 mm/detik. Data yang diperoleh lalu diolah dan dianalisis.

Gambar 8 Alur waktu penelitian

Gambar 9 Lokasi pemasangan elektroda pada kelinci

Parameter yang Diamati

Parameter yang diamati berupa amplitudo, interval/durasi, segmen, dan frekuensi jantung. Amplitudo meliputi amplitudo P, amplitudo R, dan amplitudo T. Interval/durasi meliputi interval PR, interval QT, durasi P, durasi QRS, dan durasi T. Segmen berupa segmen ST.

Analisis Data

(21)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Amplitudo P

Amplitudo P merupakan gambaran aktivitas atrium kanan. Amplitudo P yang membesar dapat menjadi indikasi terjadinya pembesaran atrium kanan. Pembesaran kamar jantung dapat disebabkan oleh peningkatan volume pengisian secara kronis pada gangguan katup dan dapat juga disebabkan karena beban tekanan sistolik pada hipertensi arterial (Ware 2007).

Tabel 1 Amplitudo gelombang P (mV) kelinci pada perlakuan IGF-1 (kelompok A) dan estradiol (kelompok B)

Keterangan : Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (P<0.01) antar kelompok perlakuan. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (P<0.01) antar waktu pengambilan data dalam satu kelompok perlakuan

Amplitudo P kelinci sebelum perlakuan berada pada kisaran normal, yaitu 0.04–0.12 mV (Lord et al. 2010) dengan rata-rata 0.05±0.002 mV (Kour et al. 2013). Tidak terdapat perbedaan nyata antar kelompok perlakuan maupun antar waktu pengambilan data pada kedua kelompok (Tabel 1).

Amplitudo R

Gelombang R merupakan bagian dari kompleks QRS yang menggambarkan aktivitas depolarisasi ventrikel. Keadaan yang dapat mempengaruhi ukuran amplitudo R adalah hipertrofi ventrikel kiri (Martin 2007). Tabel 2 Amplitudo gelombang R (mV) kelinci pada perlakuan IGF-1 (kelompok

(22)

10

Keterangan : Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (P<0.01) antar kelompok perlakuan. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (P<0.01) antar waktu pengambilan data dalam satu kelompok perlakuan

Amplitudo R kelinci sebelum perlakuan berada pada kisaran normal, yaitu 0.03–0.39 mV (Lord et al. 2010) dengan rata-rata 0.19±0.008 mV (Kour et al. 2013). Perbedaan nyata terlihat pada minggu keenam kelompok A antar waktu pengambilan data dan antar kelompok perlakuan yang mengalami peningkatan diatas kisaran normal (Tabel 2). Salah satu kelinci dari kelompok tersebut menunjukkan peningkatan amplitudo R di atas nilai normal. Hipertensi sistemik seringkali menjadi penyebab dari hipertrofi ventrikel, yang dapat menyebabkan pembesaran nilai amplitudo R (Martin 2007).

Gambar 10 Grafik EKG kelinci dengan amplitudo gelombang R tinggi

Amplitudo T

Gelombang T merupakan gelombang repolarisasi otot ventrikel. Pembesaran gelombang T menunjukkan terjadinya abnormalitas konduksi intraventrikular, pembesaran ventrikel, dan hipoksia miokardium (Ware 2007). Tabel 3 Amplitudo gelombang T (mV) kelinci pada perlakuan IGF-1 (kelompok

A) dan estradiol (kelompok B)

Minggu Kelompok

A B

0 0.15±0.02 ax 0.15±0.02 ax

2 0.10±0.01 ax 0.16±0.06 ax

4 0.09±0.02 ax 0.15±0.04 ax

6 0.12±0.02 ax 0.14±0.04 ax

(23)

11

Amplitudo T kelinci sebelum perlakuan berada pada kisaran normal, yaitu 0.05–0.17 mV (Lord et al. 2010) dengan rata-rata 0.14±0.007 mV (Kour et al. 2013). Tidak terdapat perbedaan nyata antar kelompok perlakuan maupun antar waktu pengambilan data pada kedua kelompok (Tabel 3).

Interval PR

Interval PR merupakan penjumlahan waktu depolarisasi atrium dan waktu perlambatan simpul AV. Interval PR yang memanjang menunjukkan peningkatan aktivitas parasimpatik (first degree AV block), sedangkan interval PR yang memendek menunjukkan peningkatan aktivitas simpatik (Shukla et al. 2012). Peningkatan aktivitas parasimpatik dapat disebabkan oleh efek pemberian xylazine yang dapat menghambat konduksi AV node (Kerr et al. 2004).

Tabel 4 Interval PR (detik) kelinci pada perlakuan IGF-1 (kelompok A) dan

Keterangan : Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (P<0.01) antar kelompok perlakuan. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (P<0.01) antar waktu pengambilan data dalam satu kelompok perlakuan

Interval PR kelinci sebelum perlakuan berada pada kisaran normal, yaitu 0.04–0.08 detik (Lord et al. 2010) dengan rata-rata 0.06±0.002 detik (Kour et al. 2013). Tidak terdapat perbedaan nyata antar kelompok perlakuan maupun antar waktu pengambilan data pada kedua kelompok (Tabel 4).

Interval QT

(24)

12

Keterangan : Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (P<0.01) antar kelompok perlakuan. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (P<0.01) antar waktu pengambilan data dalam satu kelompok perlakuan

Interval QT kelinci sebelum perlakuan berada di atas nilai normal (Tabel 5), yaitu 0.08–0.16 detik (Lord et al. 2010) dengan rata-rata 0.13±0.004 detik (Kour et al. 2013). Tidak terdapat perbedaan nyata antar kelompok perlakuan maupun antar waktu pengambilan data pada kedua kelompok. Setelah perlakuan, kedua kelompok perlakuan justru mengalami pemendekan interval QT hingga masuk kedalam kisaran normal kelinci. Efek IGF-1 dan estradiol yang dapat meningkatkan metabolisme tulang dan ginjal mungkin berperan dalam perbaikan status nutrisi kelinci, sehingga kembali ke keadaan normal.

Durasi P

Durasi P merupakan gambaran aktivitas depolarisasi atrium kiri. Durasi P yang membesar menjadi indikasi terjadinya pembesaran atrium kiri. Pembesaran kamar jantung dapat disebabkan oleh peningkatan volume pengisian secara kronis pada gangguan katup dan dapat juga disebabkan karena beban tekanan sistolik

(25)

13

Durasi P kelinci sebelum perlakuan berada pada kisaran normal, yaitu 0.01–0.05 detik (Lord et al. 2010) dengan rata-rata 0.03±0.002 detik (Kour et al. 2013). Tidak terdapat perbedaan nyata antar kelompok perlakuan maupun antar waktu pengambilan data pada kedua kelompok (Tabel 6).

Durasi QRS

Kompleks QRS menunjukan aktivitas depolarisasi ventrikel jantung. Pembesaran durasi kompleks QRS mengindikasikan terjadinya pembesaran ventrikel kanan. Pembesaran ventrikel dapat disebabkan oleh keadaan hipertensi sistemik (Martin 2007).

Tabel 7 Durasi QRS (detik) kelinci pada perlakuan IGF-1 (kelompok A) dan estradiol (kelompok B)

Minggu Kelompok

A B

0 0.05±0.01 ax 0.05±0.01 ax

2 0.04±0.01 ax 0.03±0.02 ax

4 0.03±0.01 ax 0.04±0.01 ax

6 0.04±0.02 ax 0.03±0.01 ax

Keterangan : Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (P<0.01) antar kelompok perlakuan. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (P<0.01) antar waktu pengambilan data dalam satu kelompok perlakuan

Durasi QRS kelinci sebelum perlakuan berada pada kisaran normal, yaitu 0.02–0.06 detik (Lord et al. 2010) dengan rata-rata 0.05±0.003 detik (Kour et al. 2013). Tidak terdapat perbedaan nyata antar kelompok perlakuan maupun antar waktu pengambilan data pada kedua kelompok (Tabel 7).

Durasi T

(26)

14

Keterangan : Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (P<0.01) antar kelompok perlakuan. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (P<0.01) antar waktu pengambilan data dalam satu kelompok perlakuan

Durasi T kelinci sebelum perlakuan berada pada kisaran normal, yaitu 0.04–0.12 detik dengan rata-rata 0.03±0.003 detik (Kour et al. 2013). Perbedaan nyata antar waktu maupun kelompok perlakuan ditemukan pada kedua kelompok (Tabel 8), namun masih berada pada kisaran normal. Variasi yang muncul pada kelompok perlakuan ini mungkin terjadi akibat kedalaman fase anestesi yang lebih dalam dibandingkan dengan kelompok perlakuan lain saat pengambilan data.

Segmen ST

Segmen ST merupakan bagian dari fase repolarisasi ventrikel. Penurunan nilai segmen ST merupakan indikasi terjadinya iskemia koroner, sedangkan peningkatannya menunjukkan kondisi infark otot ventrikel. Infark pada otot ventrikel menyebabkan penurunan potensial membran dan pengulangan pelepasan muatan listrik (Ganong 2002). Potensial membran erat kaitannya dengan membran kanal kalsium yang berperan dalam proses sistol dan diastol jantung. Tabel 9 Durasi segmen ST (detik) kelinci pada perlakuan IGF-1 (kelompok A)

dan estradiol (kelompok B)

(27)

15

Durasi segmen ST kelinci sebelum perlakuan berada pada kisaran normal, yaitu 0.02–0.04 detik (Kour et al. 2013). Tidak ditemukan adanya perbedaan nyata antar waktu pengambilan data maupun kelompok perlakuan pada hasil yang diperoleh (Tabel 9).

Frekuensi Jantung

Interval RR merupakan parameter yang dapat digunakan untuk mengukur frekuensi jantung. Interval RR merupakan jarak antara gelombang R dengan gelombang R berikutnya yang terukur dalam satuan waktu (detik) dan digunakan untuk mengukur ventricular rate (Abedien dan Conner 2008).

Tabel 10 Frekuensi jantung kelinci (kali/menit) pada perlakuan IGF-1 (kelompok A) dan estradiol (kelompok B)

Keterangan : Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (P<0.01) antar kelompok perlakuan. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (P<0.01) antar waktu pengambilan data dalam satu kelompok perlakuan

Frekuensi jantung kelinci sebelum perlakuan berada pada nilai normal, yaitu 167–330 kali per menit (Lord et al. 2010; Kour et al. 2013). Perbedaan nyata terlihat antar kelompok perlakuan minggu kedua dan antar waktu dalam kelompok A maupun B, namun masih dalam kisaran normal (Tabel 10). Secara keseluruhan, kedua kelompok perlakuan cenderung mengalami peningkatan frekuensi jantung. Peningkatan frekuensi jantung umumnya disebabkan oleh kondisi stres ketika perlakuan maupun pengambilan data. Corticotropin releasing hormone (CRH) akan dilepaskan oleh hipotalamus pada keadaan stres dan akan memicu hipofisis anterior mengeluarkan adenocorticotropic hormone (ACTH) yang akan merangsang dilepaskannya hormon tiroksin dan kortisol. Kedua hormon inilah yang akan mempengaruhi proses fisiologis dan sistem homeostasis kelinci, termasuk frekuensi jantung. Faktor lain yang dapat mempengaruhi frekuensi jantung adalah usia, bobot badan, aktivitas, dan kadar CO2 dalam sistem sirkulasi (Leone dan Finer 2006).

Pembahasan Umum

(28)

16

normal yang timbul merupakan hal wajar dan dapat disebabkan oleh peningkatan kerja jantung untuk memenuhi kebutuhan darah di luar kebutuhan dasar (Martin 2007). Kedua senyawa yang diteliti tidak terlihat memberikan pengaruh terhadap aktivitas listrik jantung kelinci. Tampak adanya pengaruh kedua perlakuan terhadap metabolisme kalsium melalui gambaran interval QT, tetapi tidak terdapat pengaruh terhadap pompa ion Ca2+ pada mekanisme repolarisasi otot jantung. Kombinasi anestesi yang digunakan justru diduga menimbulkan gangguan konduktivitas pada jantung kelinci. Kelinci tampak mengalami stres, sehingga frekuensi jantung pada kedua perlakuan cenderung meningkat. Stres yang dialami kelinci dapat disebabkan oleh kondisi penanganan maupun nyeri yang timbul akibat fraktur yang diderita, sehingga tekanan darah dan frekuensi jantung meningkat (Sjamsuhidajat dan De Jong 2005). Penelitian Sari (2015) juga menunjukkan kelinci dengan perlakuan kombinasi IGF-1 dengan estradiol mengalami kenaikan jumlah total leukosit yang dapat diakibatkan keadaan stress akut.

Pemanjangan interval QT yang terjadi pada minggu ke-0 merupakan indikasi dari ketidakseimbangan elektrolit berupa hipokalsemia atau hipokalemia. Hipokalsemia dapat disebabkan buruknya absorpsi kalsium, sedangkan hipokalemia dapat disebabkan gangguan fungsi ginjal. Kehilangan cairan akibat diare juga dapat menjadi penyebab hipokalemia (Ganong 2002). Dugaan ini masih perlu dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium karena pada minggu selanjutnya nilai interval QT kelinci justru berada pada kisaran normal. Jika pemanjangan interval QT tersebut diakibatkan oleh ketidakseimbangan elektrolit, maka terbukti IGF-1 dan estradiol mampu memperbaiki keseimbangan elektrolit melalui peningkatan metabolisme tulang dan ginjal. Pemberian obat seperti quinidin, fenotiazin, eritromycin, dan yang memiliki efek serupa dengan epinefrin juga dapat menjadi penyebab pemanjangan interval QT (Ware 2007).

Hipertrofi ventrikel kiri (HVK) diduga terjadi pada kelinci yang mengalami peningkatan nilai amplitudo R. Penyebab utama HVK adalah keadaan hipertensi, yang secara kronis menambah beban hemodinamik jantung sehingga mengalami kompensasi. Hipertrofi ventrikel kiri pada kondisi hipertensi sebenarnya merupakan fenomena kompleks yang tidak hanya melibatkan faktor hemodinamik, tetapi juga faktor non-hemodinamik seperti usia, jenis kelamin, ras, kondisi obesitas, aktivitas, serta kadar elektrolit dan hormon dalam tubuh. Hipertrofi yang telah melewati massa kritis ditandai dengan peningkatan massa otot dinding ventrikel. Peningkatan massa otot ini akan mengurangi kapasitas aliran koroner karena kurangnya densitas pembuluh koroner (Efendi 2003).

(29)

17

berlanjut menjadi hipertrofi eksentrik sebagai respon terhadap beban volume. Ciri hipertrofi eksentrik berupa penambahan massa dan volume jantung, namun ketebalan dindingnya tetap. Proses perubahan tersebut terjadi secara simultan dalam perjalanan penyakit hipertensi (Efendi 2003).

Hipertrofi ventrikel kiri mengakibatkan peningkatan suplai darah ke jantung, namun otot jantung yang menebal justru menyebabkan kekuatan kontraksi menurun. Hal ini menyebabkan suplai darah di jantung tidak mampu menyetarakan massa otot jantung, sehingga akan berujung pada komplikasi jantung lainnya, seperti infark miokardium yang dapat berakhir dengan gagal jantung. Gagal jantung kongestif, aritmia ventrikel, iskemia miokard, dan kematian mendadak merupakan penyakit komplikasi dari HVK yang disebabkan oleh hipertensi (Massie 2002). Elektrokardiogram dapat mendeteksi HVK akibat penambahan ketebalan otot, dilatasi ruang ventrikel, maupun keduanya. Elektrokardiogram lebih sensitif mendiagnosis HVK dibandingkan dengan radiografi. Peningkatan voltase EKG pada kasus HVK disebabkan oleh penambahan jumlah atau ukuran serabut otot jantung (Efendi 2003).

Efek IGF-1 yang diketahui mampu menstimulasi hampir semua sel dalam tubuh dapat dikaitkan dengan dugaan terjadinya HVK pada penelitian ini. IGF-1 diketahui mampu memicu pertumbuhan epitel kelenjar mammae, tulang rawan, otot skelet, bahkan persembuhan luka (Beriat et al. 2012). Kombinasi IGF-1 dengan estradiol juga diketahui mampu mempercepat pertumbuhan kalus pada fraktur tulang delayed union tanpa mempengaruhi densitas otot (Kurniawan 2015). Beberapa penelitian telah membuktikan adanya pengaruh senyawa ini terhadap otot jantung. Penelitian Davis et al. (2006) membuktikan pemberian IGF-1 dengan teknologi nanofiber pada penderita infark miokardium dapat meningkatkan fungsi sistol dan mengurangi kerusakan sel otot jantung. Buerke et al. (1995) juga menjelaskan bahwa IGF-1 memiliki efek kardioprotektif dan mampu menekan kematian sel otot jantung pada infark miokardium. IGF-1 juga terbukti mampu meningkatkan regenerasi sel otot jantung yang mengalami infark (Haider et al. 2008). Walaupun demikian, belum ada penelitian yang membuktikan pengaruh langsung IGF-1 terhadap pertumbuhan otot jantung hingga mengalami hipertrofi, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini.

(30)

18

Kelainan gelombang ditemukan pada salah satu kelinci kelompok A di minggu keenam. Baseline gelombang tampak mengalami penurunan yang menyebabkan parameter tidak dapat dibaca dengan baik, sehingga kelinci tersebut dikeluarkan dari penelitian. Perubahan baseline dapat disebabkan oleh faktor-faktor teknis, seperti adanya gangguan dari suara pernapasan hewan, adanya rambut pada bagian yang disadap, perubahan impendansi elektroda, pergerakan hewan yang berlebihan, serta kesalahan posisi berbaring hewan (Luo et al. 2013). Perubahan baseline yang terjadi pada penelitian ini kemungkinan akibat pencukuran rambut yang kurang tepat, sehingga menjadi hal yang perlu diantisipasi untuk penelitian selanjutnya. Kondisi dekstrokardia dan fibrilasi atrial juga dapat menjadi penyebab patologis perubahan baseline (Khairy dan Nattel 2002). Gangguan-gangguan teknis yang menyebabkan perubahan baseline dapat diminimalisasi dengan teknologi filter (Luo et al. 2013).

Gambar 11 Penurunan baseline gelombang EKG kelinci

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Tidak terdapat pengaruh nyata dari pemberian senyawa IGF-1 maupun estradiol terhadap aktivitas listrik jantung pada kelinci NZW yang mengalami persembuhan fraktur delayed union tulang tibia. Perbedaan nyata abnormal yang muncul antar kelompok maupun antar waktu merupakan respon individu dan tidak menggambarkan kondisi kelompok keseluruhan. Peningkatan frekuensi jantung disebabkan kondisi stres sebelum dan selama perlakuan. Dengan demikian, hipotesis yang digunakan tidak dapat diterima.

Saran

(31)

19

DAFTAR PUSTAKA

Abedin Z, Conner R. 2008. ECG Interpretation The Self-Assessment Approach. Iowa (US): Blackwell Pub.

Arianni M, Kamal AF, Prasetyo M, Kodrat E. 2013. The effect of bone morphogenetic protein-2 and hydroxyapatite granules on the incorporation of autoclaved femoral autografts in sprague-dawley rats. J Indones Ortho. 41(1):1–2.

Bader M. 2008. Cardiovascular Hormone Systems: From Molecular Mechanisms to Novel Therapeutics. Oxford (UK): Blackwell Pub Ltd.

Baumgartner C, Bollerhey M, Ebner J, Laacke-Singer L, Schuster T, Erhardt W. 2010. Effects of ketamine-xylazine intravenous bolus injection on cardiovascular function in rabbits. Can J Vet Res. 74:200–208.

Beriat GK, Akmansu SH, Dogan C, Ezezrarslan H, Han U, Saglam M, Senel OO, Kocaturk S. 2012. The effect of subcutaneous insulin-like growth factor-1 (IGF-1) injection on rabbit auricular cartilage autograft viability. Bosn J Basic Med Sci. 12(4):213–218.

Birchard SJ, Sherding RG. 2000. Saunders Manual of Small Animal Practice. Ed ke-2. Iowa (US): WB Saunders Co.

Buerke M, Murohara T, Skurk C, Nuss C, Tomaselli K, Lefer AM. 1995. Cardioprotective effect of insulin-like growth factor I in myocardial ischemia followed by reperfusion. Proc Natl Acad Sci. 92:8031–8035. Carpenter JW, Quesenberry KE. 2003. Ferrets, Rabbits, and Rodents: Clinical

Medicine and Surgery: Includes Sugar Gliders and Hedgehogs. Philadelphia (US): Saunders.

Cipta P. 2004. Kadar estradiol serum pada wanita usia reproduksi dengan perdarahan uterus disfungsi [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.

Cunningham JG. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. Philadelphia (US): Saunders.

Davis ME, Hsieh PCH, Takahashi T, Song Q, Zhang S, Kamm RD, Gradzinsky AJ, Anversa P, Lee RT. 2006. Local myocardial insulin-like growth factor 1 (IGF-1) delivery with biotinylated peptide nanofibers improves cell therapy for myocardial infarction. Proc Natl Acad Sci. 103(21):8155– 8160.

Dendyningrat. 2012. Proses Penyembuhan Patah Tulang. Denpasar (ID): Bali Pr. Despopoulos A, Sirbernagl S. 2003. Color Atlas of Physiology. 5th ed. New York

(US): Thieme.

Efendi D. 2003. Korelasi dispersi QT dengan hipertrofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi [makalah]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Ganong WF. 2002. Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Jakarta (ID): EGC.

(32)

20

Kerr CL, McDonell WN, Young SS. 2004. Cardiopulmonary effects of romifidine/ketamine or xylazine/ketamine when used for short duration anaesthesia in the horse. Can J Vet Res. 68:274–282.

Khairy P, Nattel S. 2002. New insights into the mechanisms and management of atrial fibrillation. CMAJ. 167(9):1012–1020.

Kour J, Ahmed JA, Aarif O. 2013. Impact of heat stress on electrocardiographic changes in New Zealand White rabbits. JSPB. 9(2):242–252.

Kurniawan B. 2015. Evaluasi radiografi persembuhan fraktur delayed union dengan terapi kombinasi estradiol dan insulin-like growth factor 1 [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Laviola L, Natalicchio A, Giorgino F. 2007. The IGF-1 signaling pathway. Curr Pharm Des. 13(7):663–669.

Leone TA, Finer NN. 2006. Foetal adaption at birth. Current Paedia. 16:373–378. Lord B, Boswood A, Petrie A. 2010. Electrocardiography of the normal domestic

pet rabbit. Vet Rec. 167(25):961–965.

Luo Y, Hargraves RH, Belle A, Bai O, Qi X, Ward KR, Pfaffenberger MP, Najarian K. 2013. A hierarchical method for removal of baseline drift from biomedical signals: application in ECG analysis. J Sci World. 2013(2013):1–10.

Martin M. 2007. Small Animal ECGs. 2nd ed. Oxford (UK): Blackwell Pub Ltd. Massie BM. 2002. Diagnosis dan Terapi Kedokteran (Penyakit Dalam). Ed ke-1.

Jakarta (ID): Salemba Medika.

Meredith A, Crossley DA. 2002. BSAVA Manual of Exotic Pets. Gloucester (GB): BSAVA Pr.

Nurdiana. 2008. Efek 17b-Estradiol terhadap densitas reseptor adrenergik-a1D dan kontraktilitas otot polos pembuluh darah tikus. J Ked Brawijaya. 24(2):90– 6.

O’Keefe JH, Hammill SC, Freed MS, Pogwizd SM. 2008. The Complete Guide to ECG’s: A Comprehensive Study Guide to Improve ECG Interpretation Skills. Ed ke-3. Michigan (US): Physicians Pr.

Rincon M, Muzumdar R, Atzmon G, Barzilai N. 2004. The paradox of the insulin/IGF-1 signaling pathway in longetivity. Mech Ageing Dev. 125(6):397–403.

Sari N. 2015. Dinamika leukosit pada persembuhan fraktur dengan perlakuan kombinasi estradiol dan insulin-like growth factor 1 [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Shirley AJ. 2007. ECG Success: Exercises In ECG Interpretation. Philadelphia (US): FA David Co.

Shukla DJ, Vyas HA, Vyas MK, Ashok BK, Ravishankar B. 2012. A comparative study on chronic administration of Go Ghrita (Cow ghee) and Avika Ghrita (Ewe ghee) in albino rats. Ayu. 33(3):435–440.

Sjamsuhidajat R, De Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed ke-2. Jakarta (ID): EGC.

(33)

21

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada 27 Juli 1993 sebagai anak pertama dari dua bersaudara, pasangan Hadi Suprayitno dan Tri Susilowarti. Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri Jatiwaringin XII Bekasi pada tahun 1999, kemudian pindah ke SD Angkasa IV Jakarta pada tahun 2004. Tahun 2005, penulis lulus dari SD Angkasa IV Jakarta, kemudian pada tahun 2008 lulus dari SMP Negeri 109 Jakarta. Penulis lulus dari SMA Negeri 81 Jakarta tahun 2011 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur ujian tulis Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Gambar

Gambar 1  Teknik monitoring EKG (Shirley 2007)
Gambar 3  Mekanisme kerja estradiol (Bader 2008)
Gambar 4  Mekanisme kerja IGF-1 (Rincon et al. 2004)
Gambar 5  Mesin EKG
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: menganalisis dan mengevaluasi apakah prosedur yang diterapkan dan hasil yang diperoleh benar, apakah ada

Berlandaskan beberapa permasalahan yang dihadapi, pengembangan model pembe- lajaran yang akan dilaksanakan dibatasi pada model pembelajaran mata kuliah Teknik

Berkaitan dengan itu, telah dibentuk suatu tim koordinasi antar departemen di pusat (Tim Keppres No- 157 tahun 2000) untuk mendukung pelaksanaan UU

Erni Widiyastuti,M.Si selaku Ketua Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purwokerto dan selaku Dosen Pembimbing I yang disela - sela

Rencana ini harus menjabarkan skenario pengembangan kota dan pengembangan sektor bidang Cipta karya, usulan kebutuhan investasi yang disusun dengan berbasis demand

Dapat dilihat pada Gambar 4.46 sudut rotor semua generator mengalami osilasi tetapi dengan ayunan yang kecil sehingga dapat segera kembali pada kondisi steady state,

Berdasarkan hasil setting koordinasi rele pengaman dengan optimalisasi menggunakan firefly algorithm pada pemodelan sistem listrik yang telah dilakukan, dapat

Semen Padang yang tepat dalam mendeteksi dan mengisolir gangguan sehingga tidak mengganggu sistem yang sedang berjalan dan mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan