ANALISIS XILOOLIGOSAKARIDA HASIL HIDROLISIS
BAGAS DENGAN XILANASE DARI BAKTERI LAUT
Bacillus safensis
P20
TANTRY FEBRINASARI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Xilooligosakarida Hasil Hidrolisis Bagas dengan Xilanase dari Bakteri Laut
Bacillus safensis P20 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Tantry Febrinasari
ABSTRAK
TANTRY FEBRINASARI. Analisis Xilooligosakarida Hasil Hidrolisis Bagas dengan Xilanase dari Bakteri Laut Bacillus safensis P20. Dibimbing oleh
BUDIATMAN SATIAWIHARDJA dan YOPI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaataan bagas melalui upaya biokonversi bagas menjadi produk xilooligosakarida (XOS). Produksi XOS dilakukan melalui proses hidrolisis enzimatis dengan xilanase yang dihasilkan oleh bakteri laut Bacillus safensis P20. Waktu optimum produksi
xilanase adalah 24 jam, yaitu dengan aktivitas xilanase sebesar 4.16 U/mL. Xilanase Bacillus safensis P20 memiliki kondisi reaksi optimum pada pH 7 dan
suhu 50oC. Metode pemekatan xilanase yang dipilih adalah menggunakan proses dialisis dengan bantuan PEG (polietilen glikol) 6000 karena menghasilkan aktivitas xilanase tertinggi sebesar 19.62 U/mL dan rendemen tertinggi sebesar 76.15 %. Proses hidrolisis bagas oleh xilanase dilakukan pada konsentrasi substrat 0.5 %, 1.0 %, dan 1.5 % selama 1, 2, dan 4 jam. Hasil TLC menunjukkan bahwa proses hidrolisis mampu menghasilkan senyawa oligosakarida namun diduga bukan senyawa xilooligosakarida. Hasil analisis HPLC memperkuat data TLC bahwa hasil hidrolisis yang diperoleh merupakan senyawa xiloglukan terhidrolisis dalam bentuk heptasakarida, oktasakarida, dan nonasakarida.
Kata kunci: Bacillus safensis P20, Bagas, Xilanase, Xiloglukan, Xilooligosakarida
ABSTRACT
TANTRY FEBRINASARI. Analysis of Xylooligosaccharides Production by Hydrolysis of Sugar Cane Bagasse with Xylanase from Marine Bacteria Bacillus safensis P20. Supervised by BUDIATMAN SATIAWIHARDJA and YOPI.
This research aims to optimize the utilization of sugar cane bagasse through bioconversion into xylooligosaccharides (XOS). XOS production was carried out by enzymatic hydrolysis of sugar cane bagasse with xylanase produced by marine bacteria Bacillus safensis P20. The optimum time to produce xylanase
was 24 hours, with xylanase activity of 4.16 U/mL. Xylanase of Bacillus safensis
P20 has optimum reaction at pH 7 and 50 °C. The most effective xylanase concentration method was using dialysis with PEG (polyethylene glycol) 6000 due to the highest xylanase activity of 19.62 U/mL and the highest yield of 76.15 %. Hydrolysis process to produce XOS was performed on bagasse substrate concentrations of 0.5 %, 1.0 %, and 1.5 % for 1, 2, and 4 hours. TLC analysis showed that the hydrolysis process was capable to produce oligosaccharides but those were estimated not the type of XOS. The results of HPLC analysis confirmed that the compound formed in hydrolysis process was hydrolyzed xyloglucans (heptasaccharide, octasaccharide, and nonasaccharide).
Keywords: Bacillus safensis P20, Bagasse, Xylanase, Xyloglucan,
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
ANALISIS XILOOLIGOSAKARIDA HASIL HIDROLISIS
BAGAS DENGAN XILANASE DARI BAKTERI LAUT
Bacillus safensis
P20
TANTRY FEBRINASARI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ilmiah dengan topik “Analisis Xilooligosakarida Hasil Hidrolisis Bagas dengan Xilanase dari Bakteri Laut Bacillus safensis P20” ini ditujukan untuk memenuhi tugas akhir mayor
Teknologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan karya ilmiah ini baik secara langsung maupun tidak langsung hingga penulis dapat menyelesaikan studi program Sarjana dengan baik. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dosen pembimbing Dr Ir. Budiatman Satiawihardja, M Sc dan Dr Yopi yang telah membimbing, memberikan banyak ilmu, kritik, saran, dan motivasinya selama menyelesaikan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr Ir Endang Prangdimurti M Si yang telah menjadi dosen penguji dan memberikan saran. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada seluruh dosen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan banyak ilmu, wawasan, serta pengalaman selama masa studi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Mbak Apridah Cameliawati Djohan atas bimbingan, kritik, dan sarannya selama penelitian dan juga Mbak Alifah Mafatikhul Jannah serta seluruh staf dan peneliti Lab Biokatalis dan Fermentasi (LBF) LIPI atas bantuan dan kerja samanya selama proses penelitian.
Penulis sampaikan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta Bapak Dwi Tantono dan Ibu Soefitriningsih atas kasih sayang, perhatian, doa, dan dukungan baik secara moral maupun spiritual yang sangat berarti bagi penulis. Terima kasih penulis sampaikan kepada adik Tantry Puspitasari dan seluruh keluarga atas segala kasih sayang dan motivasi yang diberikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan di LBF LIPI Fitria, Sari, Puspa, Kak Jalu, Mbak Winda, Mbak Nia, Mbak Pam, Indri atas kebersamaannya. Terima kasih kepada rekan-rekan Ilmu dan Teknologi Pangan angkatan 48, khususnya Dian, Indri, Razanah, Naufal, serta sahabat-sahabat FYCS Ai, Anis, dan Dida atas bantuan, kebersamaan, dan semangat yang diberikan.
Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam karya ilmiah ini sehingga masih membutuhkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca. Besar harapan penulis agar hasil penelitian dan karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 3
METODOLOGI 3
Waktu dan Tempat Penelitian 3
Alat dan Bahan 3
Metode Penelitian 4
HASIL DAN PEMBAHASAN 8
Persiapan Biomassa Bagas 8
Peremajaan Isolat Bakteri Laut Bacillus safensis P20 8
Uji Kualitatif Congo Red Isolat Bacillus safensis P20 9
Pembuatan Kurva Pertumbuhan Sel Isolat Bakteri dan Optimasi Waktu
Produksi Xilanase 11
Optimasi Kondisi pH dan Suhu Reaksi Xilanase 13
Pemekatan Xilanase 15
Produksi dan Analisis Xilooligosakarida 17
SIMPULAN DAN SARAN 23
Simpulan 23
Saran 24
DAFTAR PUSTAKA 24
LAMPIRAN 28
DAFTAR TABEL
1 Nilai indeks xilanolitik isolat Bacillus safensis P20 yang ditumbuhkan
pada media padat agar xilan dan bagas 10
2 Kadar gula total, gula pereduksi, dan rendemen produk hasil hidrolisis bagas oleh xilanase Bacillus safensis P20 pada berbagai perlakuan
waktu hidrolisis dan konsentrasi substrat. 18
DAFTAR GAMBAR
1 Tepung bagas 200 mesh 8
2 Isolat Bacillus safensis P20 yang diremajakan pada media xilan dan
bagas 9
3 Penampakan zona bening yang dibentuk oleh Isolat Bacillus safensis
P20 pada media padat agar xilan beechwood dan bagas 10
4 Kurva pertumbuhan sel isolat Bacillus safensis P20 dan aktivitas
xilanase yang diproduksi pada jam ke-0, 6, 12, 24, 48, 72, dan 96. 12 5 Grafik optimasi pH reaksi aktivitas xilanase. 13 6 Grafik optimasi suhu reaksi aktivitas xilanase 14 7 Perbandingan aktivitas xilanase ekstrak kasar dengan xilanase hasil
pemekatan dengan menggunakan PEG 6000, Amicon®, dan Nanosep®. 16
8 Perbandingan rendemen xilanase setelah dilakukan pemekatan dengan menggunakan PEG 6000, Amicon®, dan Nanosep®. 16
9 Kadar gula pereduksi produk hasil hidrolisis bagas oleh xilanase
Bacillus safensis P20 pada berbagai perlakuan konsentrasi substrat dan
waktu hidrolisis. 17
10 Analisis TLC dari produk hidrolisis bagas dengan enzim xilanase
Bacillus safensis P20. 19
11 Kromatogram HPLC sampel bagas 0.5 % (waktu hidrolisis 4 jam) 20 12 Kromatogram HPLC sampel bagas 1.0 % (waktu hidrolisis 4 jam) 20 13 Kromatogram HPLC sampel bagas 1.5 % (waktu hidrolisis 4 jam) 21 14 Kromatogram HPLC untuk analisis senyawa standar 21 15 Kromatogram HPLC senyawa xiloglukan terhidrolisis heptasakarida,
oktasakarida, dan nonasakarida (Megazyme) 22
16 Struktur xiloglukan terhidrolisis heptasakarida, oktasakarida, dan
nonasakarida 22
DAFTAR LAMPIRAN
1 Diagram Alir Penelitian 28
2 Diagram Alir Persiapan Biomassa Bagas dan Perhitungan Rendemen 29
3 Data kurva standar D-xilosa 30
4 Data pertumbuhan sel isolat Bacillus safensis P20 dan aktivitas xilanase
(U/mL) yang diproduksi pada jam ke-0, 6, 12, 24, 36, 48, 72, dan 96 30
5 Data optimasi pH dan suhu reaksi xilanase 31
6 Data pemekatan xilanase 32
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki potensi besar di sektor pertanian, khususnya pada subsektor tanaman pangan. Salah satu komoditi pertanian tanaman pangan yang produktivitasnya cukup besar di Indonesia adalah tebu. Kebutuhan gula nasional yang semakin meningkat akibat jumlah penduduk yang semakin bertambah disertai dengan target swasembada gula nasional merupakan beberapa faktor yang terus mendorong peningkatan produktivitas komoditas tebu setiap tahunnya. Berdasarkan data statistik Kementan RI (2014), produksi tebu nasional terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yaitu pada tahun 2011, 2012, 2013, dan 2014 secara berturut-turut sebesar 2.27 juta, 2.44 juta, 2.58 juta, dan 2.79 juta ton tebu/tahun.
Seiring dengan peningkatan jumlah produksi tebu, jumlah limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan tebu juga mengalami peningkatan. Bagas merupakan salah satu limbah tebu padat yang diperoleh dari proses pembuatan gula tebu, yaitu sekitar 30 % dari jumlah total tebu utuh yang digiling (Bon 2008). Sebagian besar bagas yang dihasilkan biasanya dimanfaatkan oleh pabrik gula sebagai bahan bakar boiler dan beberapa bagian kecil lainnya dimanfaatkan
sebagai pakan ternak atau campuran pulp pada pembuatan kertas. Sisanya, yaitu
sekitar 40 % dari jumlah total bagas, tidak dimanfaatkan dan kemudian hanya akan dibakar untuk mengurangi jumlah yang disimpan. Oleh karena itu, dalam dekade terakhir ini mulai banyak penelitian yang bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah pertanian, salah satunya bagas, melalui upaya biokonversi yang mampu menghasilkan beberapa produk turunan yang bernilai ekonomi tinggi, salah satunya adalah xilooligosakarida (XOS). Selain memberikan nilai tambah, biokonversi limbah pertanian seperti bagas ini juga dapat membantu mengatasi dampak buruk lingkungan akibat akumulasi limbah (Camassola dan Dillon 2009). Seperti halnya limbah pertanian pada umumnya, sebagian besar bagas tersusun atas serat yang disebut lignoselulosa. Komponen lignoselulosa tersebut yang kemudian akan dikonversi menjadi beberapa produk, seperti biogas, bioetanol, gula, oligosakarida, dan lain-lain. Komposisi lignoselulosa pada bagas terdiri dari 37 % selulosa, 28 % hemiselulosa, dan 21 % lignin yang saling berikatan kompleks (Bon 2008; Eun et al. 2006). Xilan merupakan komponen
terbesar penyusun hemiselulosa yang tersusun atas 100-200 unit monomer xilosa dengan ikatan ß-1,4 (Sunna dan Antranikian 1997). Hasil hidrolisis polimer xilan mampu menghasilkan XOS yang rantai utamanya tersusun atas 2‒10 unit xilosa. Kadar xilan pada bagas dapat berbeda-beda tergantung pada varietas tebu, tingkat kematangan, cara panen, dan efisiensi proses pengambilan nira (Hardjo et al.
1989). Menurut Richana et al. (2004), kadar xilan per berat kering (bk) bagas
adalah 9.6 %, sedangkan menurut Wiselogel et al. (1997), kadar xilan pada bagas
adalah 21.1 % (bk). Kandungan xilan yang cukup tinggi ini yang membuat bagas cukup potensial dijadikan sebagai substrat untuk menghasilkan XOS.
2
(fruktooligosakarida), GOS (galaktooligosakarida), dan inulin, yaitu lebih stabil pada kisaran pH yang luas (2.5-8.0) dan bahkan stabil pada pH asam lambung, stabil pada suhu hingga 100 oC (Bhat 1998), serta mampu menstimulasi level pertumbuhan Bifidobacteria pada tingkat yang lebih tinggi (Tuohy et al. 2005).
XOS dapat dimanfaatkan sebagai prebiotik karena perannya sebagai non-digestible food ingredient mampu menstimulasi pertumbuhan bakteri baik atau
probiotik dalam usus, seperti Bifidobacteria, dan Lactobacillus, sehingga dapat
meningkatkan kesehatan sistem pencernaan manusia (Moure et al. 2006; Vázquez et al. 2000). Konsumsi XOS juga dapat memberikan keuntungan kesehatan
lainnya bagi tubuh, diantaranya mencegah resiko diabetes, meningkatkan penyerapan kalsium, mencegah karies gigi, serta mencegah penyakit kardiovaskular (Grootaert et al. 2007; Wang et al. 2009). Berbagai jenis produk
aplikasi XOS telah secara luas dipasarkan di dunia, terutama di negara-negara Asia, antara lain sebagai suplemen makanan, gula, permen karet, minuman ringan non-alkohol, dan makanan bayi (Makelainen et al. 2009).
Proses hidrolisis bagas untuk memproduksi XOS dilakukan dengan menggunakan metode enzimatis karena metode ini memiliki beberapa keuntungan, antara lain sifatnya yang sangat selektif, sedikit menghasilkan monosakarida, tidak menghasilkan senyawa toksik (seperti furfural), dapat dilakukan pada temperatur ruang dan tekanan atmosfer, serta tidak mencemari lingkungan (Aachary dan Prapulla 2011; Taherzadeh dan Karimi 2007). Enzim yang digunakan untuk menghidrolisis xilan adalah xilanase. Xilanase dapat dihasilkan oleh beberapa jenis bakteri. Salah satu jenis bakteri penghasil xilanase yang luas digunakan di industri karena dapat memproduksi lebih banyak enzim dibandingkan dengan bakteri lainnya adalah Bacillus sp. Beberapa bakteri Bacillus sp. yang hidup di laut mampu memproduksi xilanase pada media yang
mengandung substrat bagas, salah satunya adalah Bacillus safensis P20 (Rahmani et al. 2014). Pemilihan bakteri laut sebagai penghasil xilanase ini bertujuan untuk
memaksimalkan pemanfaatan kekayaan biodiversitas mikroorganisme laut asli Indonesia yang hingga saat ini masih belum banyak dilakukan. Selain itu, bakteri laut diharapkan memiliki karakter yang lebih dapat beradaptasi dan bertahan meski di lingkungan yang ekstrim dibandingkan dengan bakteri yang berasal dari darat karena berasal dari lingkungan laut yang memiliki kondisi tekanan dan salinitas tinggi, suhu rendah, serta kedap cahaya (Prasad dan Sethi 2013). Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan untuk memproduksi dan menganalisis XOS hasil hidrolisis bagas dengan xilanase dari bakteri laut Bacillus safensis P20.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah memproduksi dan mengoptimasi xilanase dari bakteri laut Bacillus safensis P20 untuk memproduksi xilooligosakarida dari
3 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memperoleh alternatif pemanfaatan produk samping pertanian bagas sebagai biomassa yang prospektif untuk memproduksi xilooligosakarida yang dapat diaplikasikan sebagai prebiotik pada produk pangan fungsional.
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan dari bulan Maret sampai Juni 2015 di Laboratorium Biokatalis dan Fermentasi, Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, Bogor.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah ring flaker, hammer mill, vibrator screen, alat-alat gelas laboratorium kimia, cawan petri steril, ose
steril, sumbat kapas, tips steril, micropipet, microtube (tabung eppendorf), neraca
analitik, stopwatch, spektrofotometer UV-Vis U-3900H (Hitachi), laminar air flow Bioclean Bench Sanyo, tabung Amicon® (Merck) dan Nanosep® (Sigma), bejana Thin Layer Chromatography (TLC), sprayer TLC, High Performance Liquid Chromatography (HPLC), inkubator kocok (TAITEC Bioshaker BR-23FP),
inkubator bakteri, autoklaf (Tommy SX-500), penangas air, dry-block, sentrifuse, freezer, dan refrigerator.
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah ampas tebu atau bagas, isolat bakteri laut xilanolitik yaitu Bacillus safensis P20 yang diperoleh
dari perairan laut Pulau Pari Teluk Jakarta, xilan beechwood (Sigma X4252-25G),
akuades, pepton (Bacto 211677), ekstrak khamir (Bacto 212750), ASW/Artificial Sea Water (C50406), agar (Bacto 214010), pereaksi DNS/Dinitrosalisilic Acid
(DNS (Sigma D0550), NaOH (Merck 1.06498.1000), KNa.Tartrat (Merck 1.08087.1000), dan larutan fenol 5 % (Merck 1.00206.1000)), buffer sitrat pH 3, 4 dan 5 (50 mM), buffer fosfat pH 6 dan 7 (50 mM), buffer glisin dan NaOH pH 8, 9, dan 10 (50 mM), standar xilosa (Sigma X3877-25G), standar glukosa (Merck 1.08337.1000), congo red (C.1.22120) (Merck 1.01340.0025), NaCl 2 % (Merck
1.06404.1000), PEG/Polietilen Glikol 6000 (Merck 25322-68-2), standar oligosakarida (xilosa (Megazyme K-XYLOSE), xilobiosa (Megazyme O-XBI), xilotriosa (Megazyme O-XTR), xilotetrosa (Megazyme O-XTE), xilopentosa (Megazyme O-XPE), dan xiloheksosa (Megazyme O-XHE)), pelat TLC (silica gel 60 F254, Merck), pereaksi DAP (α-difenilamin (Merck 1.03086.0100), anilin (J.T.
Baker 9110.01), aseton (Merck 1.00014.2500), dan asam fosfat), n-butanol (Merck 1.01990.1000), asam asetat (Merck 1.00063.2500), H2SO4 98 % (Merck
4
Metode Penelitian
Persiapan Biomassa Bagas
Bagas yang masih dalam keadaan basah dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari dengan menggunakan solar dryer (bagas tidak
mengalami pencucian terlebih dahulu). Bagas yang telah kering dipotong-potong dengan panjang ±10 cm, lalu digiling dengan ring flaker menghasilkan serpihan
kasar bagas, dan kemudian digiling kembali dengan hammer mill menghasilkan
tepung bagas. Tepung bagas hasil giling diayak dengan menggunakan vibrator screen dengan ukuran screen 200 mesh. Tepung bagas 200 mesh tersebut yang
digunakan sebagai substrat untuk memproduksi xilooligosakarida. Peremajaan Isolat Bacillus safensis P20
Isolat Bacillus safensis P20 ditumbuhkan pada media padat agar dengan
komposisi media mineral yang digunakan ASW 3.8 %, ekstrak khamir 0.05 %, pepton 0.075 %, agar 2 %, dan substrat (xilan beechwood atau bagas) 0.5 % dalam
akuades (modifikasi Mandels dan Sternberg 1976). Komposisi media diaduk menggunakan pengaduk magnet sampai homogen, selanjutnya disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121 °C selama 15 menit. Media yang telah siap dituangkan ke dalam cawan petri di dalam ruang beraliran udara (laminar) lalu didiamkan hingga memadat. Peremajaan isolat bakteri dilakukan dengan menggoreskan isolat bakteri menggunakan jarum ose steril pada media padat agar yang telah disiapkan. Sebelum melakukan penanaman, laminar tempat kerja dan media padat agar disinari ultraviolet terlebih dahulu selama 15 menit untuk membunuh mikroorganisme yang tidak diinginkan sehingga dapat menurunkan risiko kontaminasi sebelum penanaman. Media yang telah ditanami isolat diinkubasi pada suhu 30 °C dalam inkubator selama kurang lebih dua hari.
Uji Kualitatif Isolat Bacillus safensis P20 (Metode Congo Red)
Sebanyak 1 ose koloni tunggal bakteri yang telah ditumbuhkan di media padat agar dipindahkan ke dalam microtube yang berisi 50 μl akuades dan
dikocok hingga homogen. Kemudian, isolat bakteri yang telah diencerkan tersebut diteteskan sebanyak 1 μL pada permukaan dua buah media padat agar yang masing-masing mengandung substrat xilan beechwood 0.5 % dan bagas 0.5 %,
lalu diinkubasi pada suhu 30 oC selama 3 hari. Setelah bakteri tumbuh, pewarna
congo red 2 % dituang pada permukaan media padat agar yang ditumbuhi oleh
5
Pembuatan Kurva Pertumbuhan Sel Isolat Bacillus safensis P20 dan
Optimasi Waktu Produksi Xilanase.
Proses penumbuhan isolat dilakukan melalui dua tahap, yaitu prekultur dan kultur. Komposisi media suspensi prekultur dan kultur yang digunakan, yaitu ASW 3.8 %, ekstrak kamir 0.05 %, pepton 0.075 %, dan substrat bagas 0.5 % dalam akuades (modifikasi Mandels dan Sternberg 1976). Sebanyak 1 ose koloni tunggal bakteri dari media padat agar diinokulasikan ke dalam erlenmeyer yang berisi media prekultur. Prekultur diinkubasi dalam inkubator kocok berkecepatan 150 rpm pada suhu 30 °C selama 24 jam. Selanjutnya, proses kultur dilakukan dengan cara memindahkan 10 mL media prekultur (10 % dari volume media kultur) ke dalam erlenmeyer yang berisi 90 mL media kultur. Media kultur kemudian diinkubasi dalam inkubator kocok berkecepatan 150 rpm pada 30 °C selama 3 hari yang pada jam ke- 0, 6, 12, 24, 48, 72, dan 96 dilakukan proses
sampling. Kurva pertumbuhan sel dibuat dengan cara melakukan pengukuran optical density (OD) sel setiap sampel dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 660 nm.
Xilanase ekstrak kasar diperoleh dengan cara sentrifugasi pada kecepatan 6000 rpm selama 15 menit pada suhu 4 °C. Kemudian, supernatan yang merupakan xilanase ekstrak kasar dipindahkan pada tabung mikro eppendorf dan
disimpan pada freezer pada suhu -20 °C untuk menjaga aktivitas enzim. Waktu
optimum produksi xilanase diperoleh dengan mengukur aktivitas xilanase dengan metode DNS. Waktu optimum produksi xilanase adalah waktu saat enzim memiliki aktivitas enzim tertinggi. Waktu optimum yang diperoleh selanjutnya dapat digunakan untuk memproduksi xilanase dalam skala yang lebih besar (1 L). Uji Aktivitas Xilanase
Aktivitas xilanase ditentukan dengan menggunakan metode
Dinitrosalisilic Acid atau DNS (Miller 1959), yaitu mereaksikan 0.25 mL xilanase
6
xilosa dari hasil pengenceran kemudian direaksikan dengan 0.5 mL pereaksi DNS, dipanaskan 15 menit dalam penangas air 90-100 °C, didinginkan dalam es selama 10 menit, kemudian diukur nilai absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Nilai aktivitas enzim (U/mL) ditentukan menggunakan rumus yang tertera pada Lampiran 3(b).
Optimasi pH dan Suhu Reaksi Xilanase
Kondisi pH dan suhu reaksi xilanase optimum ditentukan melalui uji aktivitas xilanase yang direaksikan pada variasi pH dan suhu. Optimasi pH dilakukan dengan dengan mereaksikan larutan sampel, kontrol, dan blanko dengan metode DNS pada berbagai variasi pH menggunakan buffer sitrat pH 3, 4 dan 5 (50 mM), buffer fosfat pH 6 dan 7 (50 mM), buffer glisin dan NaOH pH 8, 9, dan 10 (50 mM) sebagai pelarut substrat, pengencer enzim, dan blanko. Kemudian, masing-masing larutan sampel, kontrol, dan blanko dengan pH yang berbeda-beda tersebut direaksikan dengan metode DNS. Kondisi pH optimum adalah pH reaksi yang menghasilkan aktivitas enzim maksimum. Optimasi suhu dilakukan dengan mereaksikan larutan sampel, kontrol, dan blanko dengan metode DNS pada suhu 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, 100 oC di dry-block. Kondisi suhu optimum adalah suhu
reaksi yang menghasilkan aktivitas enzim maksimum. Hasil optimasi pH dan suhu digunakan sebagai kondisi pengujian aktivitas xilanase dan reaksi hidrolisis dalam produksi xilooligosakarida.
Pemekatan Xilanase
Pemekatan xilanase menggunakan dua jenis prinsip pemekatan enzim, yaitu dialisis dan ultrafiltrasi. Pemekatan melalui dialisis dilakukan dengan menggunakan membran dialisis dan serbuk PEG (polietilen glikol) 6000, yaitu dengan memasukkan xilanase ekstrak kasar pada kantung membran dialisis yang kemudian diikat kuat pada setiap ujungnya agar tidak terjadi kebocoran, lalu diletakkan pada gelas piala yang berisi serbuk PEG 6000 di dalamnya hingga seluruh permukaan kantung dialisis tertutupi oleh serbuk PEG. Serbuk PEG berfungsi untuk membantu proses pemekatan dengan cara mengikat dan menjerap pelarut air yang terkandung di dalam larutan enzim. Proses dialisis dilakukan pada suhu 4 oC selama 5 jam. Xilanase pekat yang diperoleh adalah bagian cairan yang tertahan di dalam kantung membran dialisis setelah proses dialisis berakhir. Sebelum digunakan untuk proses hidrolisis, enzim pekat yang diperoleh didialisis kembali menggunakan buffer fosfat 20 mM pH 7 selama 12 jam untuk menghilangkan PEG yang mungkin tercampur pada enzim selama proses pemekatan.
Pemekatan dengan ultrafiltrasi menggunakan dua jenis tabung sentrifugasi bermembran, yaitu tabung Amicon® dan Nanosep® dengan ukuran membran
sebesar 10 kDa MWCO (1 Da = 1,6602.10 –24 gr) . Xilanase ekstrak kasar dimasukkan ke dalam tabung Amicon® sebanyak 10 mL lalu dilakukan
sentrifugasi dengan kecepatan 4000 g selama 60 menit, sedangkan ke dalam tabung Nanosep® dimasukkan Xilanase ekstrak kasar sebanyak 0.5 mL dan
7 Produksi Xilooligosakarida
Xilanase ekstrak kasar yang telah dipekatkan direaksikan dengan substrat bagas 0.5 %, 1,0 %, dan 1.5 % (dalam buffer fosfat pH 7 50 mM) dengan perbandingan substrat:enzim sebesar 1:1 pada suhu 50 oC. Waktu sampling yang dilakukan bervariasi yaitu pada jam ke-1, 2, dan 4. Produk yang dihasilkan selanjutnya dilakukan analisis gula pereduksi dan gula total, TLC (Thin Layer Chromatography), serta HPLC (High Performance Liquid Chromatography).
Analisis Gula Pereduksi dan Gula Total
Analisis gula pereduksi dilakukan dengan menggunakan metode DNS (Miller 1959), sedangkan analisis gula total dilakukan dengan menggunakan metode fenol sulfat (Dubois et al. 1956). Metode fenol sulfat dilakukan dengan
mereaksikan 0.25 mL larutan sampel dengan 0.25 mL larutan fenol dan 1.25 mL H2SO4 pekat. Setelah itu diinkubasi selama 15 menit pada suhu ruang, kemudian
dipanaskan di dalam penangas air pada suhu 40 oC selama 30 menit hingga terjadi perubahan warna. Hasil reaksi dibaca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 490 nm. Kadar gula total diperoleh dengan perhitungan menggunakan persamaan kurva standar glukosa.
Analisis TLC (Thin Layer Chromatography)
Kandungan oligosakarida secara kualitatif dianalisis menggunakan kromatografi lapis tipis (TLC). Sampel yang diuji adalah larutan hasil reaksi hidrolisis bagas dengan xilanase. Sebanyak 4 μL tiap sampel ditotolkan pada pelat TLC 20 x 10 cm dengan micropipet. Jarak antar sampel adalah 0.4 cm. Standar
yang digunakan adalah xilosa, xilobiosa, xilotriosa, xilotetraosa, xilopentosa, xiloheksosa dengan konsentrasi 100 ppm. Setelah selesai penotolan, sampel dikeringkan dan kemudian pelat TLC dimasukan ke dalam chamber glass yang
diisi dengan eluen (n-butanol: asam asetat: akuades dengan perbandingan 2:1:1 v/v/v). Pergerakan eluen diamati dari batas bawah ke batas akhir (1 cm dari tepi bawah silika gel sampai 1 cm dari tepi atas). Setelah itu, pelat dikeluarkan dari
chamber glass dan dibiarkan kering di lemari asam. Pewarnaan dilakukan dengan
menyemprotkan pereaksi DAP (0.2 g α-difenilamin, 0.2 mL anilin, 10 mL aseton, dan 1.5 mL asam fosfat) dan kemudian pelat TLC didiamkan kembali sampai kering. Pelat TLC yang sudah kering dipanaskan pada suhu 120 oC selama 15 menit sampai noda pada pelat TLC muncul.
Analisis Sampel dengan Instrumen HPLC
Senyawa standar (xilosa, xilobiosa, xilotriosa, xilotetraosa, xiloheksosa) dan sampel sakarida yang yang dihasilkan dipreparasi terlebih dahulu, yaitu sebanyak 0.3 µL sampel difilter dengan menggunakan membran yang terdapat pada vial dengan ukuran membran 0.45 μm. Sampel yang telah dipreparasi
kemudian dipisahkan dengan menggunakan HPLC dengan sistem kolom pengemas Agilent Hiplex Ca (Duo) (6.5 ID x 300 mm), eluen akuades atau milliQ 100 %, suhu 85 °C, laju alir 10.6 mL/min, dan detektor refractive index detector
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persiapan Biomassa Bagas
Tahap persiapan biomassa bagas merupakan tahap awal untuk memperoleh sampel tepung bagas yang akan digunakan sebagai substrat pada proses produksi xilooligosakarida. Persiapan sampel diawali dengan menjemur bagas di bawah sinar matahari yang bertujuan untuk mengeringkan bagas agar lebih mudah digiling serta mencegah terjadinya kebusukan pada bagas oleh mikroba pembusuk, terutama kapang, yang dapat menurunkan kualitas bagas. Bagas yang telah kering kemudian digiling dan diayak hingga menghasilkan bagas dalam bentuk tepung berukuran 200 mesh. Penampakan tepung bagas dengan ukuran 200 mesh dapat dilihat pada Gambar 1. Rendemen akhir yang dihasilkan setelah melalui proses penggilingan dan pengayakan hingga diperoleh tepung bagas 200 mesh adalah 38.24 %. Diagram alir persiapan biomassa bagas dan perhitungan rendemen dapat dilihat pada Lampiran 1.
Gambar 1 Tepung bagas 200 mesh
Proses penggilingan bagas menjadi tepung dapat memutus ikatan dinding sel sehingga diharapkan dapat mempermudah penetrasi enzim ke dalam matriks bagas untuk memecah komponen substrat spesifiknya, yaitu xilan, dan menghasilkan produk akhir berupa xilooligosakarida. Partikel substrat yang semakin kecil juga akan memperluas permukaan partikel substrat yang kontak dengan bakteri saat memproduksi xilanase, sehingga semakin mempermudah bakteri untuk memanfaatkan substrat yang akan menginduksi produksi xilanase.
Peremajaan Isolat Bakteri Laut Bacillus safensis P20
Menurut Hernandez et al. (2009), peremajaan isolat bertujuan untuk
9 karbonnya (sumber karbon yang digunakan adalah xilan beechwood dan bagas).
Hasil isolat yang telah diremajakan memiliki penampakan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.
(a) (b)
Gambar 2 Isolat Bacillus safensis P20 yang diremajakan pada media padat agar
yang mengandung (a) xilan dan (b) bagas.
Uji Kualitatif Isolat Bacillus safensis P20 (Metode Congo Red)
Uji congo red bertujuan untuk mengetahui secara kualitatif aktivitas
xilanase yang dihasilkan oleh isolat sehingga dapat diketahui seberapa besar potensi isolat dapat menghasilkan xilanase untuk mendegradasi substrat. Isolat ditumbuhkan pada dua jenis media padat agar dengan sumber karbon yang berbeda, yaitu media padat agar xilan beechwood (kontrol) dan media padat agar
bagas. Isolat yang mampu menghasilkan xilanase ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni setelah dilakukan pewarnaan. Semakin besar diameter zona bening yang terbentuk menunjukkan semakin banyaknya substrat yang terdegradasi sehingga dapat diindikasikan bahwa aktivitas xilanase yang dihasilkan oleh isolat semakin tinggi.
Metode ini menggunakan 2 jenis larutan, yaitu larutan pewarna congo red
0.2 % dan larutan NaCl 2 %. Pewarna congo red akan berikatan dengan substrat.
Semakin banyak komponen substrat yang berbentuk polisakarida maka akan semakin kuat ikatan yang terjadi. Hal ini disebabkan polisakarida memiliki struktur yang panjang dan tersusun rapat sehingga pewarna congo red akan
terperangkap dan terikat lebih kuat dibandingkan pada substrat yang memiliki ukuran lebih pendek, seperti monosakarida dan oligosakarida. Larutan NaCl 2 % berfungsi sebagai larutan pencuci karena bersifat higroskopis sehingga dapat menyerap pewarna congo red yang tidak terikat atau terikat lemah pada substrat.
Semakin lemah ikatan yang terbentuk antara congo red dengan substrat
maka pewarna congo red akan semakin mudah dicuci oleh larutan NaCl. Oleh
karena itu, setelah proses pencucian dengan larutan NaCl, media yang mengandung substrat monosakarida dan oligosakarida akan berwarna lebih pudar dan membentuk zona bening. Hal ini menunjukkan bahwa terbentuknya zona bening di sekitar koloni disebabkan oleh proses degradasi substrat yang berbentuk polisakarida menjadi monosakarida dan oligosakarida oleh xilanase yang dihasilkan oleh isolat (Yopi et al. 2006). Penampakan zona bening yang dibentuk
oleh Isolat Bacillus safensis P20 pada media padat agar xilan dan media padat
10
(a) (b)
Gambar 3 Penampakan zona bening yang dibentuk oleh Isolat Bacillus safensis
P20 pada (a) media padat agar xilan beechwood dan (b) media padat
agar bagas.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat diketahui bahwa isolat Bacillus safensis P20 cukup potensial untuk menghasilkan xilanase, baik pada pada media
padat agar xilan beechwood maupun media padat agar bagas, yang ditandai
dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni. Secara visual, zona bening yang terbentuk pada media padat agar bagas terlihat agak samar jika dibandingkan dengan zona bening yang terbentuk pada media padat agar xilan beechwood. Hal
ini disebabkan substrat bagas masih mengandung komponen senyawa lain, seperti lignin, yang tidak mampu didegradasi oleh enzim yang dihasilkan oleh isolat sehingga tidak terbentuk zona bening secara keseluruhan pada media, sedangkan substrat xilan beechwood merupakan xilan murni sehingga pemecahannya oleh
xilanase lebih spesifik dan zona bening yang terbentuk lebih jelas.
Tabel 1 Nilai indeks xilanolitik isolat Bacillus safensis P20 yang ditumbuhkan
pada media padat agar xilan dan media padat agar bagas
Substrat Diameter isolat (cm) Diameter zona bening (cm) Indeks Xilanolitik
Xilan 0.43 3.70 7.60
Bagas 0.57 5.02 7.81
Keterangan:
Nilai aktivitas xilanase yang dihasilkan pada masing-masing media secara semikuantitatif dapat dibandingkan berdasarkan nilai indeks xilanolitik. Nilai indeks xilanolitik yang diperoleh menunjukkan bahwa isolat yang ditumbuhkan pada substrat bagas memiliki indeks xilanolitik lebih besar (7.81) dibandingkan dengan isolat yang ditumbuhkan pada substrat xilan beechwood (7.60) (Tabel 1).
11 menyatakan bahwa bakteri Bacillus safensis juga mampu memproduksi enzim
selulase (Khianngam et al. 2014) dan enzim mananase (Djohan 2012). Akan tetapi,
perbedaan indeks xilanolitik ini belum dapat menunjukan aktivitas xilanase secara kuantitatif sehingga perlu dilakukan uji aktivitas enzim lainnya agar data yang diperoleh lebih akurat.
Pembuatan Kurva Pertumbuhan Sel Isolat Bakteri dan Optimasi Waktu Produksi Xilanase
Pembuatan kurva pertumbuhan sel dan aktivitas xilanase dilakukan dengan menumbuhkan isolat yang telah diremajakan ke dalam media suspensi yang mengandung substrat bagas (modifikasi pada Mandels dan Stemberg 1976), kemudian dilakukan proses sampling pada jam ke- 0, 6, 12, 24, 48, 72, dan 96
untuk diukur jumlah sel dan aktivitas xilanasenya. Isolat terlebih dahulu diinokulasikan ke dalam media prekultur dan diinkubasi selama 1 hari sebelum ditumbuhkan pada media kultur. Tahap prekultur bertujuan agar isolat dapat beradaptasi pada media suspensi bagas sebelum dikulturkan serta sebagai stimulasi atau rangsangan isolat untuk menghasilkan enzim (Wahyuningsih 2011).
Pengukuran jumlah sel isolat dilakukan dengan mengukur absorbansi sel menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 660 nm, sedangkan aktivitas enzim diukur dengan menggunakan metode Dinitrosalisilic Acid atau
DNS (Miller 1959). Xilanase merupakan enzim ekstraseluler (eksoenzim) sehingga enzim yang dihasilkan akan disekresikan ke luar sel dan berdifusi ke dalam media (Waluyo 2007). Isolasi xilanase ekstra kasar dilakukan dengan proses sentrifugasi untuk memisahkan enzim dari komponen lainnya, seperti sel bakteri dan substrat. Proses sentrifugasi dilakukan pada suhu 4 oC untuk menghindari denaturasi enzim. Supernatan yang diperoleh merupakan sampel enzim ekstrak kasar yang digunakan untuk analisis aktivitas enzim.
Reaksi dengan DNS merupakan jenis reaksi redoks yang terjadi antara pereaksi DNS dan gula pereduksi membentuk senyawa asam 3-amino-5-nitrosalisilat yang akan memberikan warna jingga kemerahan yang dapat dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm (Miller 1959). Semakin pekat perubahan warna yang dihasilkan, semakin banyak gula pereduksi yang dihasilkan dari pemecahan substrat oleh enzim sehingga dapat dikatakan bahwa aktivitas enzim semakin tinggi. Satuan aktivitas xilanase adalah U/mL, yang diartikan sebagai jumlah μmol xilosa yang dihasilkan per menit untuk setiap mL enzim pada kondisi pengujian.
Kurva pertumbuhan sel isolat akan menunjukkan setiap fase dari pertumbuhan isolat tersebut, sedangkan kurva aktivitas xilanase akan menunjukkan waktu optimum produksi xilanase. Waktu optimum produksi xilanase adalah waktu inkubasi saat xilanase yang dihasilkan memiliki aktivitas tertinggi. Kurva pertumbuhan sel dan aktivitas enzim dapat dilihat pada Gambar 4. Grafik tersebut menunjukkan hubungan linear antara pertumbuhan sel isolat
12
Gambar 4 Kurva pertumbuhan sel isolat Bacillus safensis P20 dan aktivitas
xilanase yang diproduksi pada jam ke-0, 6, 12, 24, 48, 72, dan 96. Fase pertama yang dialami oleh bakteri adalah fase lag. Fase lag merupakan fase saat bakteri beradaptasi pada lingkungan medium yang baru. Fase ini terjadi saat isolat ditumbuhkan pada media prekultur. Pertumbuhan sel isolat mulai terlihat mengalami peningkatan yang cukup drastis dari jam ke-0 hingga jam ke-12. Fase ini merupakan fase log, yaitu fase saat isolat membelah dengan cepat mengikuti kurva logaritmik dan mengalami pertumbuhan yang optimal karena semua nutrisinya untuk tumbuh tercukupi. Akan tetapi, peningkatan aktivitas xilanase yang dihasilkan pada fase ini tidak terlalu signifikan. Hal ini diduga karena dalam masa pertumbuhan, isolat cenderung memanfaatkan komponen selulosa pada substrat bagas sebagai sumber karbonnya sehingga isolat lebih banyak memproduksi selulase untuk mendegradasi selulosa daripada memproduksi xilanase. Oleh karena itu, aktivitas xilanase pada fase ini masih rendah karena xilanase yang diproduksi oleh isolat masih sedikit.
Setelah jam 12, pertumbuhan sel isolat mulai melambat hingga jam ke-48 dan kemudian sedikit menurun hingga jam ke-96. Akan tetapi, peningkatan dan penurunan jumlah sel ini tidak terlalu signifikan sehingga terlihat pada grafik bahwa pertumbuhan sel isolat cenderung konstan. Hal ini menunjukkan bahwa isolat mulai memasuki fase stasioner, yaitu fase saat jumlah sel cenderung tetap karena jumlah sel yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati. Aktivitas xilanase meningkat drastis saat memasuki fase ini dan pada jam ke-24 aktivitas xilanase mencapai titik tertingginya, yaitu sebesar 4.16 U/mL. Waktu optimum produksi xilanase ini (24 jam) yang selanjutnya menjadi acuan untuk produksi xilanase dalam skala yang lebih besar. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Rahmani et al. (2014), aktivitas xilanase tertinggi yang dihasilkan oleh Bacillus safensis P20 pada media suspensi bagas didapatkan pada jam ke-96 dengan nilai aktivitas sebesar 4.06 U/mL. Hal ini dapat berbeda karena kondisi yang digunakan untuk produksi xilanase juga berbeda, yaitu menggunakan konsentrasi substrat 1.5 %, suhu inkubasi 20 °C, dan sumber nitrogen berupa urea.
Menurut Pelczar dan Chan (2007), saat fase stasioner isolat cenderung mengeluarkan metabolit sekunder lebih banyak yang sebagian besar digunakan
13 untuk mempertahankan hidupnya akibat nutrisi yang tersedia mulai habis. Oleh karena itu, saat komponen selulosa yang dijadikan sebagai sumber karbon utama sudah mulai habis, isolat mulai banyak memproduksi xilanase untuk mendegradasi komponen xilan yang akan digunakan sebagai pengganti sumber karbon untuk mempertahankan hidupnya sehingga aktivitas xilanase yang dihasilkan pada fase ini meningkat cukup tajam. Hal ini menunjukkan bahwa xilanase berfungsi sebagai metabolit sekunder karena produksinya cenderung merupakan kombinasi antara growth associated dan non growth associated serta
dihasilkan secara optimum pada fase stasioner untuk pertahanan hidup. Pengukuran pertumbuhan sel isolat pada penelitian ini tidak menemukan fase kematian karena pada jam ke-96 kurva tetap menunjukkan grafik yang stagnan pada fase stasioner.
Optimasi Kondisi pH dan Suhu Reaksi Xilanase
Optimasi pH dan suhu reaksi xilanase dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi pH dan suhu optimum saat xilanase berada pada aktivitas tertingginya untuk menghidrolisis substrat. Kondisi pH dan suhu optimum ini yang kemudian akan digunakan pada proses hidrolisis substrat bagas oleh xilanase untuk memproduksi xilooligosakarida. Setiap mikroorganisme memiliki sensitivitas respon yang bervariasi terhadap perubahan pH. Menurut Richana dan Lestiana (2006), aktivitas optimum enzim berkisar pada pH pertumbuhan mikroorganisme penghasil enzim tersebut. Berdasarkan hasil yang diperoleh (Gambar 5), xilanase yang dihasilkan oleh isolat Bacillus safensis P20 memiliki
aktivitas tertinggi pada pH 7, dengan aktivitas sebesar 1.56 U/mL
Gambar 5 Grafik optimasi pH reaksi aktivitas xilanase.
. Enzim merupakan suatu polimer poliionik sehingga pH sangat mempengaruhi sifatnya. Perubahan pH dapat mengubah penyebaran muatan pada sisi aktif semua bagian permukaan dari molekul protein (Illanes et al. 2008). Jika
terdapat pada pH optimum, struktur dan sisi aktif enzim berada pada keadaan yang paling sesuai untuk berikatan dengan substrat sehingga enzim memiliki
14
aktivitas yang maksimum. Xilanase merupakan enzim yang dapat aktif pada berbagai kondisi pH tergantung pada organisme penghasilnya. Hasil optimasi pH yang diperoleh sesuai dengan penelitian Kuhad et al. (2006) yang menyatakan
bahwa Bacillus sp. memproduksi enzim xilanase dengan aktivitas maksimum
pada pH 7. Selain itu, kondisi pH lingkungan pada habitat asal isolat, yaitu pada
perairan laut, cenderung memiliki pH pada kisaran 7‒9 sehingga enzim yang diproduksi oleh mikroba laut umumnya memiliki pH optimum pada pH yang netral-basa. Kondisi pH yang cenderung asam dapat menyebabkan penurunan aktivitas enzim yang signifikan. Jika dilihat dari grafik, penurunan aktivitas enzim pada pH asam lebih tinggi dibandingkan pada pH basa. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan ionisasi pada pH asam berpengaruh lebih besar terhadap daya katalitik enzim dibandingkan pada pH basa.
Gambar 6 Grafik optimasi suhu reaksi aktivitas xilanase.
Selain pH, suhu juga berpengaruh terhadap laju reaksi katalitik enzim. Berdasarkan hasil yang diperoleh (Gambar 6), xilanase memiliki aktivitas tertinggi ketika direaksikan pada suhu 50 oC, dengan aktivitas sebesar 3.02 U/mL (direaksikan pada pH optimum 7). Hasil ini sesuai dengan Nam (2004) yang menyatakan bahwa xilanase memiliki aktivitas optimum pada kisaran suhu 45–80 °C. Suhu akan mempengaruhi energi kinetik molekul. Seiring dengan meningkatnya suhu, energi kinetik yang terjadi akan semakin tinggi yang ditandai dengan meningkatkanya frekuensi tumbukan antar molekul sehingga dapat meningkatkan laju reaksi. Kecepatan reaksi pada sebagian besar enzim meningkat dua kali lebih cepat setiap kenaikan suhu sebesar 10 oC (Murray et al. 2009). Oleh
karena itu, kenaikan suhu akan diikuti dengan kenaikan aktivitas enzim sebelum mencapai suhu optimum. Suhu yang lebih tinggi dari suhu optimum akan menurunkan aktivitas enzim dengan cepat karena enzim terdenaturasi pada suhu yang tinggi (Septiningrum dan Moeis 2009). Inaktivasi enzim oleh suhu tinggi terjadi akibat melemahnya kekuatan intermolekuler sehingga mempengaruhi kestabilan struktur tiga dimensi dari enzim dan kemampuan katalitiknya berangsur-angsur menurun (Bommarius dan Broering 2005).
15 Pemekatan Xilanase
Pemekatan enzim bertujuan untuk mengurangi pelarut air yang terkandung dalam larutan enzim sehingga diperoleh enzim yang lebih pekat (konsentrat enzim). Konsentrat enzim memiliki aktivitas yang tinggi sehingga diharapkan proses hidrolisis substrat yang dilakukan untuk memproduksi xilooligosakarida dapat berjalan lebih optimal. Pemekatan enzim juga bermanfaat untuk penyimpanan enzim karena enzim dalam bentuk konsentrat cenderung memiliki aktivitas yang lebih stabil jika disimpan dalam jangka waktu yang lama (Sari 2012). Proses pemekatan xilanase pada penelitian ini menggunakan dua jenis prinsip pemekatan enzim, yaitu dialisis dan ultrafiltrasi.
Pemekatan melalui dialisis dilakukan dengan menggunakan membran dialisis dan serbuk PEG (polietilen glikol) 6000. Prinsip dialisis adalah memisahkan molekul-molekul besar dari molekul-molekul kecil, seperti air dan garam-garam anorganik, dengan menggunakan membran semipermeabel (Koolman dan Roehm 2005). PEG merupakan polimer sintetik yang bersifat polar dan higroskopis yang tersusun dari etilen oksida dan air. Pemberian nomor pada PEG menunjukkan berat molekul rata-rata dari masing-masing polimernya. Branca et al. (2002) menunjukkan bahwa setiap monomer dari PEG dapat
mengikat kurang lebih dua molekul air sehingga semakin panjang rantai PEG (berat molekul semakin besar) maka kemampuan untuk mengikat air semakin tinggi. Oleh karena itu, proses pemekatan melalui dialisis ini memanfaatkan PEG 6000 untuk membantu proses pemekatan dengan cara mengikat dan menjerap pelarut air yang terkandung di dalam larutan enzim. Saat proses dialisis, molekul air dan ion-ion mineral dalam enzim yang berukuran kecil mampu menembus keluar melalui membran dialisis dan kemudian diikat oleh PEG, sedangkan enzim yang merupakan protein memiliki ukuran molekul yang besar sehingga tidak mampu menembus membran dialisis dan terperangkap dalam kantung membran.
Pemekatan dengan ultrafiltrasi menggunakan dua jenis tabung sentrifugasi bermembran, yaitu tabung Amicon® dan Nanosep®. Ultrafiltrasi merupakan
proses pemekatan dengan prinsip pemisahan berdasarkan ukuran molekul sehingga sangat dipengaruhi oleh ukuran dan distribusi pori membran (Malleviale 1996). Larutan enzim yang akan dipekatkan dilewatkan pada membran dengan ukuran pori tertentu di bawah pengaruh tekanan tinggi atau gaya sentrifugal sehingga terjadi pemisahan antara molekul protein enzim dengan molekul-molekul yang berukuran kecil, seperti air dan garam-garam anorganik. Bagian yang tidak lolos saring adalah enzim pekat yang dihasilkan dari proses filtrasi.
Perbedaan antara tabung Amicon® dan Nanosep® terdapat pada ukuran
volume sampel dan jenis membran ultrafiltrasi yang digunakan. Tabung Amicon®
memiliki volume sampel maksimum 15 mL dan menggunakan membran ultracel regenerated cellulose dengan ukuran pori membran sebesar 10 kDa MWCO,
sedangkan tabung Nanosep® memiliki volume sampel maksimum 500 μL dan
menggunakan membran Omega (modifikasi polietersulfona) dengan ukuran pori
membran sebesar 10 kDa MWCO. MWCO (molecular weight cut-of) merupakan
16
Gambar 7 Perbandingan aktivitas xilanase ekstrak kasar dengan xilanase hasil pemekatan dengan dialisis, Amicon®, dan Nanosep®.
Berdasarkan hasil yang diperoleh (Gambar 7), xilanase yang dipekatkan dengan proses dialisis memiliki aktivitas tertinggi dibandingkan dengan xilanase yang dipekatkan dengan ultrafiltrasi (Amicon® dan Nanosep®). Xilanase yang
dipekatkan dengan proses dialisis memiliki aktivitas kira-kira 6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas xilanase sebelum dipekatkan, yaitu dari 3.09 U/mL menjadi 19.62 U/mL. Rendemen yang merupakan perbandingan antara total unit xilanase pekat dengan total unit xilanase sebelum dipekatkan juga paling tinggi dihasilkan dengan proses dialisis, yaitu sebesar 76,15 % (Gambar 8). Hal ini menunjukkan bahwa membran dialisis yang digunakan memiliki ukuran pori yang lebih kecil dibandingkan dengan membran pada tabung Amicon® dan Nanosep®
sehingga mampu menahan xilanase lebih efektif. Selain itu, pemekatan dengan dialisis dibantu oleh adanya PEG 6000 sehingga pelarut air yang dihilangkan lebih banyak. Oleh karena itu, metode pemekatan xilanase dipilih dengan menggunakan proses dialisis.
17 Produksi dan Analisis Xilooligosakarida
Tahap berikutnya adalah produksi xilooligosakarida melalui proses hidrolisis substrat bagas dengan xilanase dari Bacillus safensis P20 yang telah
dipekatkan pada tahap sebelumnya. Kemampuan enzim dan konsentrasi substrat merupakan faktor penting untuk proses hidrolisis polimer (Jian et al. 2013). Oleh
karena itu, optimasi proses produksi xilooligosakarida perlu dilakukan sebelum produksi dalam skala besar. Konsentrasi substrat yang dipilih adalah 0.5 %, 1.0 %, dan 1.5 %, sedangkan waktu hidrolisis yang dipilih adalah selama 1, 2, dan 4 jam. Proses hidrolisis dilakukan pada pH 7 dan suhu 50 oC.
Hasil hidrolisis dianalisis secara kuantitatif dengan mengukur kadar gula total dan gula pereduksi. Kadar gula total ditentukan dengan menggunakan metode fenol sulfat. Prinsip metode fenol adalah reaksi monosakarida, oligosakarida, polisakarida, dan turunannya dengan fenol dalam asam sulfat pekat membentuk senyawa furfural yang akan menghasilkan warna oranye yang stabil (Dubois et al. 1956). Analisis kadar gula pereduksi bertujuan untuk mengukur
jumlah gula pereduksi (monosakarida dan sebagian besar oligosakarida) yang terbentuk dari proses pemecahan substrat bagas oleh xilanase. Metode yang paling luas digunakan untuk pengukuran kadar gula pereduksi adalah metode DNS. Metode ini pertama kali diaplikasikan untuk menentukan konsentrasi senyawa monosakarida (Miller 1959) dan kemudian dikembangkan untuk mengukur konsentrasi oligosakarida (Bailey et al. 1992; Jeffries et al. 1998).
Gambar 9 Kadar gula pereduksi hasil hidrolisis bagas oleh xilanase Bacillus safensis P20 pada berbagai perlakuan konsentrasi substrat dan waktu
hidrolisis.
Berdasarkan hasil yang diperoleh (Gambar 9), peningkatan konsentrasi substrat berkorelasi positif terhadap peningkatan gula pereduksi yang dihasilkan. Semakin tinggi konsentrasi substrat yang digunakan maka akan semakin banyak jumlah polimer substrat yang dapat dihidrolisis oleh enzim menjadi monosakarida dan oligosakarida sehingga kadar gula pereduksi yang diukur semakin meningkat. Sementara perlakuan waktu hidrolisis menunjukkan seiring dengan peningkatan waktu hidrolisis, kadar gula reduksi yang dihasilkan relatif konstan pada sampel bagas 0.5 %, sedangkan pada sampel bagas 1.0 % dan 1.5 % kadar gula pereduksi
18
yang dihasilkan cenderung menurun. Hal tersebut disebabkan proses hidrolisis menggunakan substrat bagas yang tidak steril dan enzim ekstrak kasar yang dimungkinkan mengandung spora bakteri yang mampu bergerminasi saat proses hidrolisis berlangsung dan kemudian menggunakan hasil hidrolisis berupa gula sebagai sumber makanannya sehingga gula pereduksi yang terukur mengalami penurunan seiring dengan peningkatan waktu hidrolisis.
Tabel 2 Kadar gula total, gula pereduksi, dan rendemen hasil hidrolisis bagas oleh xilanase Bacillus safensis P20 pada berbagai perlakuan waktu hidrolisis
dan konsentrasi substrat.
Besarnya jumlah produk hidrolisis yang dihasilkan dari hasil pemecahan substrat bagas oleh xilanase ditunjukkan dengan nilai rendemen yang merupakan hasil perbandingan antara kadar gula pereduksi terhadap kadar gula total. Berdasarkan hasil yang diperoleh (Tabel 2), nilai rendemen produk hidrolisis semakin meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi substrat. Hal ini menunjukkan bahwa enzim bekerja lebih optimal pada konsentrasi substrat yang lebih tinggi, sedangkan pada konsentrasi substrat yang rendah enzim masih kekurangan substrat untuk dihidrolisis sehingga rendemen yang dihasilkan rendah.
Produk hidrolisis kemudian dianalisis dengan menggunakan metode TLC (Thin Layer Chromatography). Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi
19
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Gambar 10 Analisis TLC dari produk hidrolisis bagas dengan enzim xilanase
Bacillus safensis P20.
Keterangan :
1 : bagas0.5 % jam ke-1 2 : bagas0.5 % jam ke-2 3 : bagas0.5 % jam ke-4 4 : bagas1.0 % jam ke-1 5: bagas1.0 % jam ke-2 6: bagas1.0 % jam ke-4 7: bagas1.5 % jam ke-1 8: bagas1.5 % jam ke-2 9 : bagas1.5 % jam ke-4
10: standar xilosa 11: standar xilobiosa 12: standar xilotriosa 13: standar xilotetraosa 14: standar xilopentaosa 15: standar xiloheksosa
Berdasarkan perbandingan nilai Rf, senyawa pada seluruh sampel hasil hidrolisis diidentifikasi sebagai senyawa oligosakarida karena memiliki nilai Rf di bawah nilai Rf standar monomer xilosa. Senyawa yang memiliki nilai Rf 0.55 dan 0.49 diduga merupakan senyawa xiloligosakarida yang masih memiliki rantai samping atau merupakan jenis senyawa oligosakarida lain karena spot yang dihasilkan tidak tepat sejajar dengan spot standar. Sementara dua spot lainnya memiliki nilai Rf yang sama dengan standar xilotriosa dan xilotetraosa (nilai Rf 0.44 dan 0.37) sehingga dimungkinkan proses hidrolisis mampu membentuk senyawa xilotriosa dan xilotetraosa walaupun konsentrasinya sangat kecil karena spot yang terbentuk tipis.
Perlakuan konsentrasi substrat menunjukkan adanya perbedaan spot yang dihasilkan. Spot yang paling tipis ditunjukkan oleh sampel bagas 0.5 % dan spot yang paling tebal ditunjukkan oleh sampel bagas 1.5 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi substrat maka semakin banyak produk hidrolisis yang dihasilkan sehingga spot yang terbentuk semakin tebal. Sementara perlakuan waktu hidrolisis tidak menunjukkan adanya perbedaan spot yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan konsentrasi substrat. Spot yang terbentuk pada jam ke-1, 2, dan 4 relatif seragam sehingga secara kualitatif dapat dikatakan perlakuan waktu hidrolisis tidak berpengaruh terhadap produk hidrolisis yang dihasilkan.
Analisis selanjutnya adalah analisis dengan menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang bertujuan untuk memperkuat
20
Sampel yang dianalisis dengan HPLC adalah sampel bagas 0.5 %, 1.0 %, dan 1,5 % dengan waktu hidrolisis 4 jam. Berdasarkan hasil kromatogram yang diperoleh (Gambar 11, 12, dan 13), ketiga sampel hanya memunculkan satu puncak kromatogram dengan waktu retensi yang relatif seragam, yaitu 5.330 menit (sampel bagas 0.5 %), 5.327 menit (sampel bagas 1.0 %), dan 5.318 menit (sampel bagas 1.5 %). Waktu retensi tersebut kemudian dibandingkan dengan waktu retensi senyawa standar untuk mengidentifikasi jenis senyawa yang terdapat pada sampel. Hasil kromatogram standar (Gambar 14) menunjukkan xilosa menghasilkan puncak dengan waktu retensi 9.045 menit, xilobiosa 7.520 menit, xilotriosa 6.691 menit, xilotetraosa 6.182 menit, dan xiloheksosa 5.731 menit.
Gambar 11 Kromatogram HPLC sampel bagas 0.5 % (waktu hidrolisis 4 jam)
21
Gambar 13 Kromatogram HPLC sampel bagas 1.5 % (waktu hidrolisis 4 jam)
Gambar 11 Kromatogram HPLC untuk analisis senyawa standar
22
Gambar 15 Kromatogram HPLC senyawa xiloglukan terhidrolisis heptasakarida, oktasakarida, dan nonasakarida (Megazyme)
Identifikasi senyawa dilakukan dengan menggunakan data literatur. Berdasarkan data kromatogram HPLC yang diperoleh dari Megazyme (Gambar
15), senyawa yang teridentifikasi pada seluruh sampel adalah senyawa xiloglukan. Hal itu disebabkan senyawa tersebut memiliki waktu retensi yang mendekati waktu retensi senyawa sampel, yaitu 5.383 menit. Xiloglukan merupakan senyawa hemiselulosa yang memiliki rantai utama berupa selulosa (β-1,4 glukan) dan gugus samping berupa rantai α-1,6 xilosa yang terikat pada 75‒80 % residu glukosa dari rantai utama selulosa. Senyawa galaktosa, arabinosa, fukosa, dan O-asetil juga sering ditemui tersubstitusi pada rantai xilosa dengan ikatan α-1,2 (Hoffman et al. 2005). Senyawa xiloglukan yang terdeteksi pada sampel adalah
senyawa xiloglukan terhidrolisis dalam bentuk heptasakarida, oktasakarida, dan nonasakarida yang memiliki rantai utama berupa tetraosa dan berdasarkan tata nama dari Frey et al. (1993) memiliki struktur XXXG (heptasakarida), XXLG
(oktasakarida) dan XLLG (nanosakarida). Struktur X adalah α-D-Xylp-(1-6)-β
-D-Glcp, L adalah β-D-Galp-(1-2)-α-D-Xylp-(1-6)-β-D-Glcp, dan G adalah D-Glcp.
Gambar 16 Struktur xiloglukan terhidrolisis heptasakarida, oktasakarida, dan nonasakarida
Xiloglukan heptasakarida
23 Senyawa xiloglukan memiliki sifat fungsional biologis sebagai soluble dietary fiber (SDF) yang dapat meningkatkan viskositas cairan dalam usus
sehingga mampu mengurangi kecepatan dan tingkat penyerapan nutrisi dalam usus kecil. Hal ini dibuktikan oleh Sone et al. (1992) bahwa senyawa xiloglukan
terhidrolisis dalam bentuk oktasakarida dan nonasakarida mampu menghambat penyerapan D-glukosa dalam usus sehingga dapat mengurangi kadar gula dalam darah. Xiloglukan dalam bentuk terhidrolisis (oligosakarida) juga dapat dengan mudah difermentasi oleh mikroflora dalam usus menghasilkan SCFA (Short Chain Fatty Acid) yang mampu menghambat sistem sintesis lipid oleh hepatosit
(Hartemink et al. 1996; Wright et al. 1990). Menurut Yamatoya et al. (1996),
hasil percobaan in vivo pada tikus yang diberi perlakuan diet xiloglukan
terhidrolisis mampu menurunkan kadar plasma lipid, kolesterol, trigliserida, dan β-lipoprotein lebih rendah 14‒17 % dibandingkan dengan tikus yang diberi perlakuan diet selulosa. Selain itu, Hensel dan Meier (1999) juga melaporkan bahwa senyawa xiloglukan memiliki aktivitas antimutagenik. Selain fungsi biologis, senyawa xiloglukan juga memiliki sifat fungsional lain, yaitu sebagai senyawa hidrokoloid yang dapat diaplikasikan pada produk pangan sebagai penstabil, pengental, pengganti lemak, atau pembentuk gel (Nishinari dan Takemasa 2009; Izydorczyk et al. 2005).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Waktu optimum produksi xilanase dari Bacillus safensis P20 yaitu 24 jam
dengan aktivitas xilanase sebesar 4.16 U/mL. Xilanase Bacillus safensis P20
memiliki kondisi reaksi optimum pada pH 7 dan suhu 50 oC. Metode pemekatan xilanase dipilih dengan menggunakan dialisis karena menghasilkan aktivitas xilanase tertinggi sebesar 19.62 U/mL dan rendemen tertinggi sebesar 76.15 %. Hasil rendemen kadar gula pereduksi terhadap kadar gula total pada hasil hidrolisis menunjukkan bahwa proses hidrolisis substrat bagas pada konsentrasi 1.5 % menghasilkan rendemen yang tertinggi (78‒86 %) pada semua perlakuan waktu hidrolisis. Hasil TLC menunjukkan bahwa proses hidrolisis mampu menghasilkan senyawa oligosakarida karena spot yang terbentuk memiliki nilai Rf (retention factor) di bawah nilai Rf standar monomer xilosa. Namun, dua spot
24
Saran
Ekstraksi xilan pada bagas dan pemurnian xilanase perlu dilakukan pada penelitian selanjutnya agar dapat menghasilkan senyawa spesifik xilooligosakarida. Pra-perlakuan untuk substrat (seperti pencucian sebelum proses pengeringan dan penggilingan) dan enzim diperlukan untuk menghindari terjadinya kontaminasi bakteri yang dapat memanfaatkan hasil hidrolisis sehingga dapat menyebabkan adanya kesalahan negatif pada hasil penelitian. Suhu dan waktu pengeringan bagas perlu dikontrol agar dapat meminimalkan kadar air pada bagas dan memaksimalkan hasil produksi xilanase dan xilooligosakarida. Pemurnian produk hidrolisis juga diperlukan untuk memperoleh produk xilooligosakarida murni yang dapat diujikan untuk mengetahui pengaruh xilooligosakarida terhadap pertumbuhan mikroflora pada saluran pencernaan.
DAFTAR PUSTAKA
Aachary AA, Prapulla SG. 2011. Xylooligosaccharides (XOS) as an Emerging Prebiotic: Microbial Synthesis, Utilization, Structural Characterization, Bioactive Properties, and Applications. Compr Rev Food Sci Food Saf. 10:
1‒15.
Bailey MJ, Biely P, Poutanen K. 1992. Interlaboratory testing of methods for assay of xylanase activity. J Biotechnol. 23(3): 257–270.
Bon EPS. 2008. Ethanol Production via Enzymatic Hydrolysis of Sugarcane Bagasse and Straw. Brazil: Science and Technology.
Bommarius AS, Broering JM. 2005. Evaluation of Hofmeister effects on the kinetic stability of proteins. J Phys Chem B. 109: 20612-20619.
Braithwaite A, Smith FJ. 1999. Chromatographic Methods 5th Edition. London
(UK): Kluwer Academic.
Branca C, Magazù S, Maisano G, Migliardo F, Migliardo P, Romeo G. 2002. Hydration study of PEG/water mixtures by quasi elastic light scattering, acoustic and rheological measurements. J Phys Chem B. 106:
10272-10276.
Camassola M, Dillon AJP. 2009. Biological pretreatment of sugar cane bagasse for the production of cellulases and xylanases by Penicillium echinulatum. Ind Crop Prod. 29: 642-647.
Cheremisin NP. 2002. Handbook of Water dan Wastewater Treatment Technologies. Boston (US): Butterworth Heinemann.
Cserhati T, Forgacs E. 1999. Chromatography in Food Science and Technology.
Pennsylvania (US): Technomic.
Djohan AC. 2012. Isolasi dan identifikasi bakteri manolitik laut dari Pulau Pari [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB.
25 Eun JS, Beauchemin KA, Hong SH, Bauer MW. 2006. Exogenous enzymes added to untreated or ammoniated rice straw: effect on in vitro fermentation characteristic and degradability. J Anim Sci Technol. 131: 86-101.
Grootaert C, Delcour JA, Courtin CM, Broekaert WF, Verstraete W, Wiele TV. 2007. Microbial metabolism and prebiotic potency of arabinoxylan oligosaccharides in the human intestine. Trends Food Sci Technol. 18: 64–
71.
Hardjo S, Indrasti NS, Bantatjut T. 1989. Biokonversi: Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Bogor (ID): PAU-IPB.
Hartemink R, Van Laere KMJ, Mertens AKC, Rombouts FM. 1996. Fermentation of xyloglucan by intestinal bacteria. Anaerobe. 2: 223–230.
Hensel A, Meier K. 1999. Pectins and xyloglucans exhibit antimutagenic activities against nitroaromatic compound. Planta Med.65(5): 395‒399.
Hernandez CC, Carrillo EP, Saldivar SO. 2009. Production of bioethanol from steam-flaked sorghum and maize. J Cereal Sci. 50: 131–137.
Hoffman M, Jia Z, Peña MJ, Cash M, Harper A, Blackburn AR, II, Darvill A, York WS. 2005. Structural analysis of xyloglucans in the primary cell walls of plants in the subclass Asteridae. Carbohydr Res. 340: 1826–1840.
Illanes A, Altamirano C, Wilson L. 2008. Homogeneous Enzyme Kinetics. Di dalam: Illanes A, editor. Enzyme Biocatalysis. de Valpara´ıso (CL):
Springer Science, Business Media B.V.
Izydorczyk M, Cui SW, Wang Q. 2005. Polysaccharide Gums: Structures, Functional Properties, and Applications. Di dalam: Cui SW, editor. Food Carbohydrates: Chemistry, Physical Properties and Applications. Boca
Raton (US): CRC Pr.
Jian HL, Zhu LW, Zhang WM, Sun DF, Jiang JX. 2013. Enzymatic Production and Characterization of Manno-oligosaccharides from Gleditsia sinensis
galactomannan Gum. Int J Biol Macromol. 55: 282-288.
Jeffries TW, Yang VW, Davis MW. 1998. Comparative study of xylanase kinetics using dinitrosalicylic, arsenomolybdate, and ion chromatographic assays.
Appl Biochem Biotechnol. 70(2): 257–265.
Kementan RI. 2014. Statistik Pertanian. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian
Republik Indonesia.
Khianngam S, Pootaeng-on Y, Techakriengkrai T, Tanasupawat S. 2014. Screening and identification of cellulase producing bacteria isolated from oil palm meal. J Appl Pharm Sci. 4(4): 90-96.
Koolman J, Roehm KH. 2005. Color Atlas of Biochemistry. New York (US):
Thieme New York.
Kuhad RC, Chopra P, Battan B, Kapoor M, Kuhad S. 2006. Production, partial purification and characterization of athermo-alkali stable xylanase from
Bacillus sp. RPP-1. Ind J Microbiol. 46: 13-23.
Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 2006. Brock Biology of Microorganisms 10th Edition. New Jersey (US): Prentice-Hall.
26 reducing sugar. Anal Chem. 31(3): 426-428.
Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. 2009. Biokimia Harper. Jakarta (ID):
EGC.
Moure A, Gullón P, Domínguez H, Parajó JC. 2006. Advances in the manufacture, purification and applications of xylo-oligosaccharides as food additives and nutraceuticals. Proc Biochem. 41: 1913–1923.
Nam ES. 2004. Â-galactosidase gene of Thermus thermophulus KNOUC11
isolated from hot springs of a volcanie area in New Zealand identification of the bacteria cloning and expression of the gene in Eschericia coli. Asian-Aus J Anim Sci. 17:1591–1598.
Nishinari K, Takemasa M. 2009. Xyloglucans. Di dalam: Phillips GO, Williams PA, editor. Handbook of Hydrocolloids. Boca Raton (US): CRC Pr.
Patel S, Arum G. 2011. Functional Oligosaccharides: production, properties, and applications. World J Microbiol Biotechnol. 27(5): 1119-1128.
Pelczar MJ, Chan ECS. 2007. Dasar-Dasar Mikrobiologi 1. Jakarta (ID):
Universitas Indonesia Pr.
Prasad MP, Sethi R. 2013. Screening for xylanase producing microorganisms from marine sources. Int J Curr Microbiol App Sci. 2(12): 489-492.
Rahmani N, Robbani NUJ, Suparto IH, Yopi. 2014. Optimization of Production Xylanase from Marine Bacterium Bacillus safensis P20 on Sugarcane
Baggase by Submerged Fermentation. Int J Adv Sci Engineer Inf Technol.
4(6): 31-34
Richana N, Lestina P, Irawadi TT. 2004. Karakterisasi lignoselulosa dari limbah tanaman pangan dan pemanfaatannya untuk pertumbuhan bakteri RXA III-5 penghasil xilanase. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 23:
171-176.
Richana N, Lestiana P. 2006. Produksi xilanase untuk biokonversi limbah biji kedelai. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. 388-396.
Sari F. 2012. Purifikasi parsial dan karakterisasi endoglukonase dari Trichoderma viride T051 pada fermentasi menggunakan substrat dedak padi [Skripsi].
Depok (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.
Septiningrum K, Moeis MR. 2009. Isolasi dan karakterisasi xilanase dari Bacillus circulans. BS. 44(1):31-40.