• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemasungan terhadap Penderita Skizofrenia di Kota Binjai tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemasungan terhadap Penderita Skizofrenia di Kota Binjai tahun 2014"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PEMASUNGAN TERHADAP PENDERITA SKIZOFRENIA DI KOTA BINJAI

SUMATERA UTARA TAHUN 2014

TESIS

Oleh SARI EMMA 127032232 / IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PEMASUNGAN TERHADAP PENDERITA SKIZOFRENIA DI KOTA BINJAI

SUMATERA UTARA TAHUN 2014

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh SARI EMMA 127032232 / IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PEMASUNGAN TERHADAP PENDERITA SKIZOFRENIA DI KOTA BINJAI SUMATERA UTARA TAHUN 2014

Nama Mahasiswa : Sari Emma Nomor Induk Mahasiswa : 127032232

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H Ketua

)

(Drs. Tukiman, M.K.M Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

(4)

Telah Diuji

Pada Tanggal : 02 Juni 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H Anggota : 1. Drs. Tukiman, M.K.M

(5)

PERNYATAAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PEMASUNGAN TERHADAP PENDERITA SKIZOFRENIA DI KOTA BINJAI

SUMATERA UTARA TAHUN 2014

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Juni 2014

(6)

ABSTRAK

Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang kronik pada seseorang sehingga tidak dapat menilai realitas dengan baik . Salah satu tindakan yang dilakukan oleh masyarakat kepada penderita skizofrenia adalah pemasungan. Pemasungan dilakukan dengan cara pengikatan (dikurung, dirantai kakinya dimasukkan ke dalam balok kayu dan lain-lain), pengisolasian atau penelantaran. Hal ini merampas kebebasan dan kesempatan mereka untuk mendapat pengobatan yang memadai dan sekaligus juga mengabaikan martabat mereka sebagai manusia.

Penelitian ini menggunakan desain penelitian survey dengan pendekatan case control yang bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pemasungan terhadap penderita skizofrenia di Kota Binjai Provinsi Sumatera Utara. Populasi dalam penelitian ini adalah semua keluarga penderita skizofrenia di Kota Binjai dengan sampel pada kelompok kasus adalah keluarga penderita skizofrenia yang dipasung sebanyak 10 orang dan sampel pada kelompok kontrol adalah keluarga penderita skizofrenia yang tidak dipasung yang berobat di Poliklinik Jiwa RS dr.RM Djoelham Binjai sebanyak 30 orang. Penelitian ini dilakukan pada bulan Pebruari sampai Mei 2014. Data diperoleh melalui observasi dan wawancara dengan responden dan dianalisis dengan uji regresi logistik berganda pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan pemasungan terhadap penderita skizofrenia di kota Binjai Provinsi Sumatera Utara adalah pendidikan, pengetahuan, sikap, fasilitas, akses ke layanan kesehatan dan sumber informasi. Variabel yang tidak berhubungan adalah pembiayaan, jarak ke layanan kesehatan dan dukungan keluarga dan petugas kesehatan. Variabel yang memberikan pengaruh paling besar adalah sikap dengan Odd Ratio 69,209.

Disarankan bagi keluarga agar aktif mencari informasi yang berhubungan dengan pemasungan dan pengobatan pada penderita skizofrenia. Bagi petugas kesehatan agar memberikan informasi kepada masyarakat.

(7)

ABSTRACT

Schizophrenia is a chronic psychiatric disorder in someone that makes him/her unable to judge reality well. One of the actions taken by the community to people for schizophrenia sufferers is restraint. Restraint is done by binding (caged, are chained his/her legs or put into a block of wood, etc), isolation or neglect. This practice has robbed his/her freedom and opportunity to get adequate treatment and at the same time neglecting his/her dignity as human being.

The purpose of this survey study with case control design conducted from February to May 2014 was to analyze the factors influencing the incident of restraint to schizophrenia sufferers in the City of Binjai, Sumatra Utara Province. The population of this study was all of the families of schizophrenia sufferers in the City of Binjai. The samples of this study were the families of 10 families of deprived schizophrenia sufferers for the case group and 30 families of non-deprived schizophrenia sufferers for the control group having medical treatment at dr. RM Djoelham Binjai General Hospital. The data obtained through observation and interview with the respondents were analyzed using multiple logistic regression test, with level of significance 95%.

The result of this study showed that the variables related to the restraint done for schizophrenia sufferers in the City of Binjai, Sumatera Province were education, knowledge, attitude, facility and access to service health and source of information. The variables which were not related were funding, the distance between home and health service, family’s support from family members and health workers. Attitude was the most dominant variable with Odd Ratio 69.209.

The families are suggested to be active in searching for the information related to restraint and treatment for the schizophrenia sufferers. Health workers should provide information to the public.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemasungan terhadap Penderita Skizofrenia di Kota Binjai tahun 2014”.

Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Proses penulisan tesis dapat terwujud berkat dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan moral maupun material dari banyak pihak. Untuk itu izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

(9)

waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

5. Drs. Tukiman, M.K.M selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai. 6. Prof. Dr. dr. H.M Joesoef Simbolon, SpKJ (K) dan Drs. Eddy Syahrial, M.S

sebagai komisi penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

7. Direktur RSJ Provinsi Sumatera Utara beserta staf yang telah memberi izin dan membantu penulis dalam melaksanakan uji kuesioner.

8. Direktur RS dr. RM Djoelham Binjai , dr silvy Hasibuan, SpKJ Kepala poliklinik Jiwa RS dr. RM Djoelham beserta staf yang telah memberikan izin dan membimbing penulis selama melaksanakan penelitian.

9. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(10)

11. Teristimewa buat suami tercinta AKBP. H. JHS Tanjung, M.H dan anak tersayang Aurelia Ariska tanjung yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan doa serta cinta yang dalam setia menunggu, memotivasi dan memberikan dukungan moril dan material agar bisa menyelesaikan pendidikan ini.

12. Adik- adikku terkasih Amos F karo-karo, M.A.P, dr. Emserodes karo-karo, Rukun Ramadani br karo, SKM atas dukungan dan semangat yang diberi.

13. Rekan-rekan mahasiswa S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku tahun 2012 yang telah memberikan semangat dalam menyelesaikan pendidikan di Program Magister IKM FKM-USU.

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Juni 2014 Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

Sari Emma lahir pada tanggal 9 Mei 1975 di Bahorok kabupaten Langkat, anak ke 1 dari 4 bersaudara dari pasangan ayahanda dr. H. Ahmadi T karo-karo dan ibunda Hj. Rehmalem Tarigan.

Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di sekolah Dasar Negeri 050657 Stabat selesai tahun 1986, Sekolah Menengah Pertama 1 Stabat selesai tahun 1989, Sekolah Menengah Atas 1 Stabat selesai tahun 1992, Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara selesai tahun 2001.

Penulis mulai bekerja sebagai Kepala Pustu Jelutung di Kota Jambi, Kepala Puskesmas Kebun Handil Kota Jambi dan Kepala Puskesmas Kenali Besar Kota Jambi dan sejak tahun 2012 penulis bertugas di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara sampai sekarang.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Hipotesis ... 8

1.5. Manfaat Penelitian ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Perilaku ... 10

2.1.1. Teori perilaku ... 10

2.2. Konsep Keluarga ... 12

2.2.1. Definisi Keluarga ... 12

2.2.2. Tipe Keluarga ... 12

2.2.3. Struktur Keluarga ... 14

2.2.4. Fungsi Keluarga ... 15

2.2.5. Tugas Keluarga di Bidang Kesehatan ... 16

2.3. Gangguan Jiwa ... 17

2.3.1. Definisi Gangguan Jiwa ... 17

2.3.2. Klasifikasi Gangguan Jiwa ... 18

2.4. Skizofrenia ... 19

2.4.1. Definisi Skizofrenia ... 19

2.4.2. Gambaran Klinis Skizofrenia ... 21

2.4.3. Jenis- jenis Skizofrenia ... 22

2.4.4. Pengobatan Skizofrenia ... 24

2.5. Pemasungan ... 24

2.5.1. Pengertian Pemasungan ... 24

2.5.2. Alasan dan Dampak Pemasungan ... 26

2.5.3. Menghapus Pemasungan ... 30

2.6. Landasan Teori ... 31

(13)

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 33

3.1. Jenis Penelitian ... 33

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 33

3.2.2. Waktu Penelitian ... 33

3.3. Populasi dan Sampel ... 34

3.3.1. Populasi ... 34

3.3.2. Sampel ... 34

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 35

3.4.1. Data Primer ... 35

3.4.2. Data Sekunder ... 36

3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 36

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 40

3.5.1. Variabel ... 40

3.5.2. Definisi Operasional ... 40

3.6. Metode Pengukuran ... 41

3.6.1. Variabel Penelitan ... 41

3.6.2. Variabel Independen ... 42

3.7. Metode Analisis Data ... 46

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 48

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 48

4.2. Analisis Univariat ... 52

4.2.1. Karakteristik Responden ... 52

4.2.2. Pengetahuan Responden ... 53

4.2.3. Sikap Responden ... 57

4.2.4. Karakteristik Pendidikan Responden ... 61

4.2.5. Fasilitas Kesehatan Jiwa ... 62

4.2.6. Pembiayaan ... 63

4.2.7. Akses ke Pelayanan Kesehatan Jiwa ... 64

4.2.8. Sumber Informasi yang Diterima Responden ... 66

4.2.9. Jarak ke Layanan Kesehatan Jiwa ... 67

4.2.10. Dukungan yang Diterima Responden ... 68

4.2.11. Responden yang Melakukan Pemasungan ... 69

4.3. Analisis Bivariat ... 70

4.3.1. Hubungan Pendidikan Responden terhadap Pemasungan Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 70

4.3.2. Hubungan Pengetahuan dengan Pemasungan terhadap Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 71

4.3.3. Hubungan Sikap Responden dengan Pemasungan terhadap Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 72

(14)

4.3.5. Hubungan Pembiayaan dengan Pemasungan terhadap

Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 74

4.3.6. Hubungan Akses Pelayanan Kesehatan Jiwa dengan Pemasungan Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 75

4.3.7. Hubungan Sumber Informasi dengan Pemasungan Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 76

4.3.8. Hubungan Jarak ke Pelayanan Kesehatan dengan Pemasungan Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 77

4.3.9. Hubungan Dukungan Petugas dan Keluarga terhadap Pemasungan Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 78

4.4. Analisis Multivariat ... 79

BAB 5. PEMBAHASAN ... 81

5.1. Pengaruh Pengetahuan terhadap Pemasungan Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 81

5.2. Pengaruh Sikap terhadap Pemasungan Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 83

5.3. Pengaruh Pendidikan Responden terhadap Pemasungan Penderita Skizofrenia di Kota ... 84

5.4. Pengaruh Akses Pelayanan Kesehatan Jiwa terhadap Pemasungan Penderita Skizofrenia di Kota ... 86

5.5. Pengaruh Fasilitas Pelayanan Kesehatan Jiwa terhadap Pemasungan Penderita Skizofrenia di Kota ... 87

5.6. Pengaruh Sumber Informasi terhadap Pemasungan Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 88

5.7. Pengaruh Jarak ke Pelayanan Kesehatan terhadap Pemasungan Penderita Skizofrenia di Kota Binjai... 90

5.8. Pengaruh Dukungan Petugas dan Keluarga terhadap Pemasungan Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 90

5.9. Pengaruh Pembiayaan terhadap Pemasungan Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 92

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 94

6.1. Kesimpulan ... 94

6.2. Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 96

(15)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Instrumen Pengetahuan ... 37

3.2 Hasil Uji Validitas dan Reliablitas pada Instrumen Sikap ... 38

3.3 Hasil Uji Validitas dan Reliablitas pada Fasilitas Kesehatan Jiwa ... 38

3.4 Hasil Uji Validitas dan Reliablitas pada instrumen Akses ke Pelayanan . 39 3.5 Hasil Uji Validitas dan Reliablitas pada Instrumen Sumber Informasi ... 39

3.6 Hasil Uji Validitas dan Reliablitas pada Instrumen Dukungan ... 40

3.7. Metode Pengukuran ... 45

4.1. Sarana Pelayanan Kesehatan di Kota Binjai ... 49

4.2. Jumlah Nakes Dikota Binjai Tahun 2013 ... 50

4.3. Jumlah Kunjungan Pasien Di Poliklinik Jiwa RS dr RM. Djoelham Berdasarkan Pembiayaan Tahun 2013 ... 51

4.4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur dan Pekerjaan ... 52

4.5. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden terhadap Pemasungan penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 53

4.6. Distribusi Tingkat Pengetahuan Responden terhadap Pemasungan Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 57

4.7. Distribusi Frekuensi Sikap Responden terhadap Pemasungan Penderita Skizofrenia di kota Binjai ... 58

4.8. Distribusi Kategori Sikap Responden terhadap Pemasungan Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 60

(16)

4.10. Distribusi Kategori Pendidikan Responden terhadap Pemasungan Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 62 4.11. Distribusi Kategori Fasilitas Kesehatan Jiwa pada Pemasungan

Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 62 4.12. Distribusi Kategori Fasilitas Kesehatan Jiwa di Kota Binjai ... 63 4.13. Distribusi Kategori Hubungan Pembiayaan terhadap Pemasungan

Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 63 4.14. Distribusi Kategori Pembiayaan terhadap Pemasungan Penderita

Skizofrenia di Kota Binjai ... 64 4.15. Distribusi Frekuensi Responden tentang Akses ke Pelayanan Kesehatan

Jiwa terhadap Pemasungan Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 64 4.16. Distribusi Kategori Akses ke Pelayanan Kesehatan Jiwa terhadap

Pemasungan Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 65 4.17. Distribusi Frekuensi Responden terhadap Sumber Informasi ... 66 4.18. Distribusi Kategori Sumber Informasi yang Diterima Responden

Dihubungkan dengan Pemasungan Penderita Skizofrenia di Kota Binjai 67 4.19. Pengaruh Jarak ke Layanan Kesehatan terhadap Pemasungan Penderita

Skizofrenia di Kota Binjai ... 67 4.20. Hubungan Jarak ke Layanan Kesehatan Jiwa dengan Pemasungan

Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 68 4.21. Distribusi Frekuensi Dukungan terhadap Pemasungan Penderita

Gangguan Jiwa di Kota Binjai ... 68 4.22. Distribusi Kategori Dukungan terhadap Pemasungan di Kota Binjai ... 69 4.23. Distribusi Lama Pemasungan yang Dialami Penderita Skizofrenia di

Kota Binjai ... 69 4.24. Tabulasi Silang Pendidikan Responden terhadap Pemasungan Penderita

(17)

4.25. Tabulasi Silang Pengetahuan Responden dengan Pemasungan terhadap Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 71 4.26. Tabulasi Silang Sikap Responden dengan Pemasungan Penderita

Skizofrenia ... 72 4.27. Tabulasi Silang Fasilitas Kesehatan Jiwa dengan Terjadinya

Pemasungan Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 73 4.28. Tabulasi Silang Pembiayaan Penderita Skizofrenia terhadap

Pemasungan Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 74 4.29. Tabulasi Silang Akses Pelayanan Kesehatan Jiwa dengan Pemasungan

Penderita Skizofrenia ... 75 4.30. Tabulasi Silang Sumber Informasi dengan Pemasungan Penderita

Skizofrenia di Kota Binjai ... 76 4.31. Tabulasi Silang Jarak ke Layanan Kesehatan dengan Pemasungan

Penderita Skizofrenia di Kota Binjai ... 77 4.32. Tabulasi Silang Dukungan Petugas dan Keluarga terhadap Pemasungan

(18)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 32 4.1. Peta Kota Binjai ... 48 4.2. Kunjungan Pasien Poliklinik Jiwa RS dr. RM. Djoelham Kota

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden ... 99

2. Kuesioner Penelitian ... 100

3. Master Data ... 108

4. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 112

5. Bivariat dan Multivariat ... 115

(20)

ABSTRAK

Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang kronik pada seseorang sehingga tidak dapat menilai realitas dengan baik . Salah satu tindakan yang dilakukan oleh masyarakat kepada penderita skizofrenia adalah pemasungan. Pemasungan dilakukan dengan cara pengikatan (dikurung, dirantai kakinya dimasukkan ke dalam balok kayu dan lain-lain), pengisolasian atau penelantaran. Hal ini merampas kebebasan dan kesempatan mereka untuk mendapat pengobatan yang memadai dan sekaligus juga mengabaikan martabat mereka sebagai manusia.

Penelitian ini menggunakan desain penelitian survey dengan pendekatan case control yang bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pemasungan terhadap penderita skizofrenia di Kota Binjai Provinsi Sumatera Utara. Populasi dalam penelitian ini adalah semua keluarga penderita skizofrenia di Kota Binjai dengan sampel pada kelompok kasus adalah keluarga penderita skizofrenia yang dipasung sebanyak 10 orang dan sampel pada kelompok kontrol adalah keluarga penderita skizofrenia yang tidak dipasung yang berobat di Poliklinik Jiwa RS dr.RM Djoelham Binjai sebanyak 30 orang. Penelitian ini dilakukan pada bulan Pebruari sampai Mei 2014. Data diperoleh melalui observasi dan wawancara dengan responden dan dianalisis dengan uji regresi logistik berganda pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan pemasungan terhadap penderita skizofrenia di kota Binjai Provinsi Sumatera Utara adalah pendidikan, pengetahuan, sikap, fasilitas, akses ke layanan kesehatan dan sumber informasi. Variabel yang tidak berhubungan adalah pembiayaan, jarak ke layanan kesehatan dan dukungan keluarga dan petugas kesehatan. Variabel yang memberikan pengaruh paling besar adalah sikap dengan Odd Ratio 69,209.

Disarankan bagi keluarga agar aktif mencari informasi yang berhubungan dengan pemasungan dan pengobatan pada penderita skizofrenia. Bagi petugas kesehatan agar memberikan informasi kepada masyarakat.

(21)

ABSTRACT

Schizophrenia is a chronic psychiatric disorder in someone that makes him/her unable to judge reality well. One of the actions taken by the community to people for schizophrenia sufferers is restraint. Restraint is done by binding (caged, are chained his/her legs or put into a block of wood, etc), isolation or neglect. This practice has robbed his/her freedom and opportunity to get adequate treatment and at the same time neglecting his/her dignity as human being.

The purpose of this survey study with case control design conducted from February to May 2014 was to analyze the factors influencing the incident of restraint to schizophrenia sufferers in the City of Binjai, Sumatra Utara Province. The population of this study was all of the families of schizophrenia sufferers in the City of Binjai. The samples of this study were the families of 10 families of deprived schizophrenia sufferers for the case group and 30 families of non-deprived schizophrenia sufferers for the control group having medical treatment at dr. RM Djoelham Binjai General Hospital. The data obtained through observation and interview with the respondents were analyzed using multiple logistic regression test, with level of significance 95%.

The result of this study showed that the variables related to the restraint done for schizophrenia sufferers in the City of Binjai, Sumatera Province were education, knowledge, attitude, facility and access to service health and source of information. The variables which were not related were funding, the distance between home and health service, family’s support from family members and health workers. Attitude was the most dominant variable with Odd Ratio 69.209.

The families are suggested to be active in searching for the information related to restraint and treatment for the schizophrenia sufferers. Health workers should provide information to the public.

(22)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Tujuan Nasional Bangsa Indonesia yang tercantum dalam Undang-Undang 1945 salah satunya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencapai tujuan tersebut di atas maka diselenggarakan program pembangunan yang menyeluruh, terarah dan terpadu secara optimal untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia termasuk di bidang kesehatan.

Di Indonesia Kesehatan Jiwa masih belum menjadi agenda prioritas. Hal ini terlihat dari masih rendahnya investasi pemerintah dibidang kesehatan dan kesadaran masyarakat akan kesehatan jiwa dan pemberdayaan masyarakat belum adekuat. Padahal adanya Otonomi daerah memungkinkan pemerintah daerah untuk meningkatkan status kesehatan jiwa diwilayahnya (Utami, 2013).

(23)

Temuan WHO menunjukkan, diperkirakan 873.000 orang bunuh diri setiap tahun. Lebih dari 90% kasus bunuh diri berhubungan dengan gangguan jiwa seperti skizofrenia, depresi dan ketergantungan terhadap alkohol (Febriani, 2008).

Dinegara-negara berpenghasilan rendah dan menengah termasuk Indonesia, kesenjangan pengobatan gangguan jiwa dapat mencapai > 85 %- 90% artinya baru sekitar 10% orang dengan gangguan jiwa yang diterapi di fasilitas kesehatan (Utami, 2013).

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1% penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Gejala skizofrenia ditandai dengan terjadinya perubahan sikap, perilaku dan emosi dari orang yang terkena. Pada beberapa kebudayaan skizofrenia seringkali dianggap sebagai suatu kerasukan dan pengobatannya adalah dengan membawa yang sakit ke orang pintar dan bila sudah sangat mengganggu seringkali orang ini dipasung, dikurung untuk menghindarkan dari perilaku berbahaya (Kembaren, 2014).

(24)

dari 85% kasus pemasungan dilakukan oleh keluarga (Dirjen BUK Kemenkes RI, 2013).

Kementrian Kesehatan telah menyusun sebuah peta jalan (roadmap) menuju Indonesia bebas pasung 2014 yang kemudian diikuti dengan pencanangan program Indonesia bebas pasung 2014 oleh mentri kesehatan RI pada peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia pada 10 oktober 2011. Tetapi hal ini tampaknya sulit diwujudkan sehingga kementrian kesehatan berharap Indonesia bebas pasung dapat dicapai pada tahun 2019 atau 2020 (Utami, 2013).

Diperkirakan saat ini tidak kurang 18.800 orang mengalami pemasungan di berbagai daerah di Indonesia. Anggapan bahwa pasung dan penelantaran hanya dipedesaan juga bisa dipatahkan. Pemasungan tidak hanya terjadi karena akses yang sulit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (Yusuf, 2012).

Adapun alasan terjadinya pemasungan adalah karena perjalanan penyakit yang cenderung kronik dan kambuhan. Tingkat ketergantungan penderita skizofrenia yang tinggi kepada keluarga sehingga menjadi beban keluarga, kurangnya pemahaman dan pengetahuan keluarga, sulitnya akses kelayanan kesehatan dan masalah ekonomi sehingga keluarga tidak sanggup untuk membawa penderita skizofrenia ke RS (Utami, 2013).

(25)

Sebagian masyarakat New Guinea misalnya, menganggap bahwa gangguan jiwa dianggap karena kerasukan setan, karena itu perlu diobati dengan cara kaki dan tangannya diikat dan kemudian diasapi sampai muntah. Di Nigeria, sebagian penderita gangguan jiwa tinggal di rumah shaman atau dukun selama 3-4 bulan dan penderita dirawat oleh saudaranya yang tinggal bersama si pasien di rumah dukun. Biasanya si pasien dibelenggu dan diberi ramu-ramuan dan dukun memberikan korban binatang pada roh gaib. Apabila si pasien sembuh, lalu diadakan upacara ditepi sungai dengan diikuti korban darah binatang sebagai simbol membersihkan si pasien dari sakitnya atau kelahiran kembali (Sudarti, 1986).

Sebagian warga masyarakat di Aceh melakukan pemasungan, mengurung penderita skizofrenia dan memperlakukan pasien dengan tidak manusiawi bahkan ada keluarga dengan sengaja membuang anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa karena dianggap aib. Akibatnya, banyak penanganan pasien skizofrenia yang dilakukan secara mandiri oleh keluarga dengan cara yang tidak tepat sesuai dengan prosedur kesehatan sehingga penyakit semakin kronis. Prevalensi gangguan jiwa di Aceh 14,1% dari populasi 4,2 juta lebih tinggi dari rata-rata untuk Indonesia (11,6%) penyebabnya adalah kemiskinan, bencana alam seperti tsunami, dan konflik militer yang berkepanjangan (Puteh, 2011).

(26)

kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia meminta kepada masyarakat untuk tidak melakukan pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menyerahkan perawatan penderita gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa. Surat tersebut juga berisi instruksi untuk para Camat dan Kepala Desa agar secara aktif mengambil prakarsa dan langkah-langkah dalam penanggulangan pasien gangguan jiwa yang ada didaerah mereka.

Pemerintah juga telah membuat regulasi sebagai pedoman dalam penanganan dan perlakuan terhadap penderita gangguan jiwa sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bab IX pasal 144 - 151 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia pasal 34, 42 dan pasal 54 namun masih banyak ditemukan kasus penanganan yang salah yaitu dengan cara penelantaran, pemasungan hingga tindak kekerasan terhadap orang dengan gangguan jiwa (Dirjen BUK Kemenkes RI, 2013).

(27)

Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara hanya menerima 25-30 penderita perhari, dan pada awal 2008 mengalami peningkatan , 50 penderita perhari untuk menjalani rawat inap dan sekitar 70-80 penderita untuk rawat jalan (Garcia, 2009).

Banyak sekali orang yang percaya bahwa skizofrenia tidak mungkin bisa disembuhkan dan orang yang menderitanya tidak mungkin bisa berfungsi secara normal di masyarakat. Di Indonesia pengetahuan seseorang tentang gangguan skizofrenia dipengaruhi erat oleh kultur budaya (Kembaren, 2014). Dampak yang kemudian terjadi adalah dukun dan penyembuh tradisional menjadi pilihan populer. Bagi orang Indonesia pengobatan dengan terapi spiritual hasilnya lebih baik, murah dan pasien yang dirawat dengan cara ini biasanya terhindar dari stigma masyarakat tentang gangguan jiwa (Keithaon, 2013).

Tantangan terbesar untuk penanganan masalah skizofrenia terletak pada keluarga dan masyarakat. Masyarakat tidak hanya bertugas membawa anggotanya ke Rumah Sakit Jiwa jika ada yang menderita skizofrenia, tetapi juga aktif untuk menerima penderita setelah pulang dari Rumah Sakit Jiwa, melibatkannya dalam kegiatan masyarakat, dan yang paling penting memantau perilaku pasien selama di Rumah Sakit Jiwa (Moersalin, 2009).

(28)

pasien di Rumah Sakit Jiwa yang telah menjadi warga disana lebih dari sepuluh tahun tanpa pernah diketahui dimana alamat dan siapa keluarganya (Moersalin, 2009).

Banyak pasien yang jarang dikunjungi oleh keluarga bahkan ada keluarga yang datang ke Rumah Sakit hanya untuk urusan administrasi akibatnya keluarga tidak mempunyai pengetahuan tentang masalah pasien dan cara penanganannya (Keliat, 1996).

Selama ini ada kesalahan dalam menerapkan pelayanan kesehatan jiwa, dimana pelayanan kesehatan jiwa hanya berbasis di Rumah Sakit, sehingga orang yang datang hanya yang mengalami gangguan jiwa berat, setelah sembuh mereka pulang dan akan datang lagi jika terserang lagi. WHO menyarankan agar penanganan kesehatan jiwa lebih ditekankan atau berbasis pada masyarakat (community based), sehingga masyarakat diharapkan mampu menangani kasus gangguan jiwa yang

ringan, dan hanya yang berat yang dilayani oleh Rumah Sakit Jiwa (Moersalin, 2009). Menurut Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, 2013, jumlah kasus

pasung yang ditemukan dari hasil penjaringan pasung di 9 kabupaten/kota berjumlah 37 orang dengan perincian sebagai berikut : Kota Binjai 10 kasus, Kabupaten Humbahas 8 kasus, Tapanuli Tengah 6 kasus, Serdang Bedagai 3 kasus, Langkat 3 kasus, Kota tanjung Balai 3 kasus, Tobasa 2 kasus, Karo 1 kasus, Simalungun 1 kasus, dari data ini Kota Binjai tertinggi kasus pemasungan.

(29)

wilayah Propinsi Sumatera Utara tentunya memerlukan penanganan yang serius dari pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu perlu kiranya diteliti faktor-faktor apa yang memengaruhi terjadinya pemasungan terhadap penderita skizofrenia di Kota Binjai. Sehingga penanganan penderita skizofrenia dapat dilaksanakan secara benar sesuai dengan standar pelayanan kesehatan jiwa.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian ini adalah bagaimana faktor-faktor yang memengaruhi pemasungan terhadap penderita skizofrenia di kota Binjai Provinsi Sumatera Utara tahun 2014.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pemasungan terhadap penderita skizofrenia di kota Binjai Provinsi Sumatera Utara.

1.4. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah ada faktor-faktor yang memengaruhi pemasungan terhadap penderita skizofrenia dikota Binjai provinsi Sumatera Utara tahun 2014.

1.5. Manfaat Penelitian

(30)

Manfaat praktis yaitu:

1.5.1. Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit dr RM Djoelham Kota Binjai Sumatera Utara Sebagai sumber data untuk pengambilan kebijakan dalam menetapkan program kesehatan jiwa dan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya mengubah perilaku masyarakat agar tidak memasung keluarganya yang menderita skizofrenia.

1.5.2. Penelitian selanjutnya

(31)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perilaku

2.1.1. Teori Perilaku

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (mahluk hidup) yang bersangkutan, apabila dilihat dari segi biologis. Secara lebih jelas perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Notoatmodjo (2007) yang mengutip pendapat Skinner, seorang ahli psikologi mengatakan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena itu perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, kemudian organisme tersebut merespon, sehingga teori Skiner ini disebut teori “S-O-R”, atau stimulus Organisme Respons.

Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner tersebut, maka perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok.

(32)

Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu, perilaku pemeliharaan kesehatan terdiri dari 3 aspek yaitu :

a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.

b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Maksudnya adalah bahwa kesehatan ini sangat dinamis dan relative, sehingga orang yang sehat juga perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.

c. Perilaku gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman dapat memeliharan serta meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman.

2. Perilaku Pencarian dan Penggunaan Sistem/Fasilitas Pelayanan atau Perilaku Pencarian Pengobatan (Health Seeking Behavior)

Perilaku ini adalah mengenai upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.

3. Perilaku Kesehatan Lingkungan

(33)

kesehatannya. Dengan kata lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak menganggu kesehatannya sendiri, keluarga atau masyarakatnya. Misalnya bagaimana pengelolaan pembuangan limbah, pengelolaan sampah dan sebagainya.

Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan resultan dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Secara garis besar perilaku manusia dapat dilihat dari 3 aspek, yakni aspek fisik, psikis dan sosial. akan tetapi dari ketiga aspek tersebut sulit untuk ditarik garis yang tegas dalam mempengaruhi perilaku manusia. Secara lebih terperinci, perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007).

2.2. Konsep Keluarga 2.2.1. Definisi Keluarga

Friedman (1998) mendefenisikan bahwa keluarga adalah kumpulan 2 orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga.

2.2.2. Tipe Keluarga

(34)

1. Keluarga inti (nuclear family).

Adalah keluarga yang hanya terdiri ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau keduanya.

2. Keluarga besar (extended family).

Adalah keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakek-nenek, paman-bibi). Namun, dengan berkembangnya peran individu dan meningkatnya rasa individualisme, pengelompokkan tipe keluarga selain kedua di atas berkembang menjadi :

a. Keluarga bentukan kembali (dyadic family)

Adalah keluarga yang terbentuk dari pasangan yang telah cerai atau kehilangan pasangannya.

b. Orang tua tunggal (single parent family)

Adalah keluarga yang terdiri dari salah satu orang tua dengan anak-anak akibat perceraian atau ditinggal pasangannya.

c. Ibu dengan anak tanpa perkawinan (the unmarried teenage mother)

d. Orang dewasa (laki-laki atau perempuan) yang tinggal sendiri tanpa pernah menikah (the single adult living alone).

e. Keluarga dengan anak tanpa pernikahan sebelumnya (the non-marital heterosexual cohabiting family).

(35)

f. Keluarga yang dibentuk oleh pasangan yang berjenis kelamin sama (gay and lesbian family).

2.2.3. Struktur Keluarga

Struktur keluarga dapat menggambarkan bagaimana keluarga melaksanakan fungsi keluarga di masyarakat sekitarnya. Friedman (1998) mengutip pendapat Parad dan Caplan (1965) mengatakan ada 4 elemen struktur keluarga yaitu :

1. Menggambarkan peran masing-masing anggota keluarga dalam keluarga sendirian perannya dilingkungan masyarakat atau peran formal dan informal. 2. Nilai atau norma keluarga.

Menggambarkan nilai dan norma yang dipelajari dan diyakini oleh keluarga, khususnya yang berhubungan dengan kesehatan.

3. Pola komunikasi keluarga.

Menggambarkan bagaimana cara dan pola komunikasi ayah-ibu (orangtua), orangtua dengan anak, anak dengan anak, dan anggota keluarga lain (keluarga besar) dengan keluarga inti.

4. Struktur kekuatan keluarga.

(36)

2.2.4. Fungsi Keluarga

Secara umum fungsi keluarga (Friedman, 1998) adalah sebagai berikut : 1. Fungsi afektif (the affective function)

Adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain, Fungsi ini dibutuhkan untuk perkembangan individu dan psikososial anggota keluarga. 2. Fungsi sosialisasi dan tempat bersosialisasi (socialization and social placement

function)

Adalah fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah.

3. Fungsi reproduksi (the reproductive function)

Adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.

4. Fungsi ekonomi (the economic function)

Yaitu keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

(37)

2.2.5. Tugas Keluarga di Bidang Kesehatan

Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan (Suprajitno, 2004), meliputi : 1. Mengenal masalah kesehatan keluarga

Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti dan karena kesehatan kadang kala seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis.

2. Memutuskan tindakan yang tepat bagi keluarga

Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga. Tindakan kesehatan yang dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi. Jika keluarga mempunyai keterbatasan dapat meminta bantuan kepada orang di lingkungan tinggal keluarga agar memperoleh bantuan.

3. Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan

(38)

rumah apabila keluarga telah memiliki kemampuan memiliki tindakan untuk pertolongan pertama.

4. Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga. 5. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan disekitamya bagi keluarga.

2.3. Gangguan Jiwa

2.3.1. Definisi Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa merupakan kondisi adanya gejala klinis berupa sindrom pola perilaku dan pola psikologik yang sangat berkaitan dengan adanya rasa tidak nyaman rasa nyeri, dan tidak tentram (Haryadi, 2014).

Klassifikasi gangguan jiwa menurut PPDGJ (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa) di Indonesia edisi ke tiga diterbitkan pada tahun 1993. Nomor kode dan diagnosis gangguan jiwa merujuk pada ICD – 10 (The International Classification of disease and related health problems, tenth edition,1992) yang diterbitkan WHO.

Istilah yang digunakan dalam PPDGJ adalah gangguan jiwa atau gangguan mental (mental disorder), tidak mengenal istilah penyakit jiwa (mental disease atau mental illness).

Dari konsep di atas dirumuskan konsep gangguan jiwa didapatkan butir-butir (Pramesti, 2013):

(39)

b. Gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan (distress) antara lain berupa rasa nyeri, tidak nyaman,tidak tentram, terganggu, disfungsi tubuh dan lain-lain.

c. Gejala klinis tersebut menimbulkan disabilitas (disability) dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup.

2.3.2. Klasifikasi Gangguan Jiwa

Klasifikasi gangguan jiwa menurut PPDGJ-III ( Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia, edisi ke III) tahun 1993 adalah sebagai berikut :

a. Gangguan mental organik dan simtomatik.

Ciri khas: etiologi organik / fisik jelas, primer / sekunder. b. Skizofrenia, gangguan Skizotipal, dan gangguan Waham.

Ciri khas : gejala psikotik, etiologi organik tidak jelas. c. Gangguan suasana perasaan (Mood/Afektif).

Ciri khas : gejala gangguan afek (psikotik dan non-psikotik). d. Gangguan Neurotik, gangguan Somatoform, dan gangguan stres.

Ciri khas : gejala non-psikotik, etiologi non organik.

e. Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik. Ciri khas: gejala disfungsi fisiologis, etiologi non-organik.

(40)

g. Retardasi mental.

Ciri khas : gejala perkembangan IQ, onset masa kanak. h. Gangguan perkembangan psikologis.

Ciri khas: gejala perkembangan khusus, onset masa kanak.

i. Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak dan remaja.

Ciri khas: gejala perilaku/emosional, onset masa kanak. X. Kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis. Ciri khas : tidak tergolong gangguan jiwa.

2.4. Skizofrenia

2.4.1. Definisi Skizofrenia

Skizofrenia, yang menyerang kurang lebih 1 persen populasi, biasanya bermula di bawah usia 25 tahun, berlangsung seumur hidup, dan mengenai orang dari semua kelas sosial. Baik pasien maupun keluarga sering mendapatkan pelayanan yang buruk dan pengasingan sosial karena ketidaktahuan yang meluas akan gangguan ini (Kaplan dan Sadock, 2010).

(41)

Dalam International Classification of Disease (ICD) dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) V Skizofrenia:

Kriteria diagnosa.

A. Dua (atau lebih) dari kondisi berikut ini, yang setiap satunya muncul dalam waktu tertentu selama 1 bulan (atau kurang jika berhasil diobati). Setidaknya salah satu dari (1), (2), atau (3):

1. Delusi 2. Halusinasi

3. Kemampuan berbicara yang tidak teratur (misalnya, kecepatan dan keteraturan)

4. Sangat kacau atau perilaku katatonik

5. Gejala negatif (yaitu, berkurang ekspresi emosional atau kemauan)

B. Penyebab utama timbulnya gangguan ini, dari kegiatan sehari-hari, seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri, dimana terlihat dengan jelas berkurangnya level fungsi yang dilakukan bila dibandingkan dengan level fungsi yang diperoleh sebelum timbulnya penyakit ini (kejadiannya ketika masa kanak-kanak atau remaja, adanya kegagalan untuk mencapai tingkat fungsi interpersonal, pendidikan, atau dunia pekerjaan yang diharapkan).

(42)

yang tertera dalam kriteria A yang muncul dalam bentuk yang lemah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim).

D. Gangguan Schizoafektif dan depresi atau gangguan bipolar dengan fitur psikotik telah dikesampingkan karena 1) tidak ada depresi atau kejadian yang berlebihan telah terjadi bersamaan dengan gejala fase aktif, atau 2) jika masa suasana hati telah terjadi selama gejala fase aktif berlangsung, terlihat berkurang dari waktu masa aktif dan residual dari penyakit tersebut.

E. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari suatu zat (misalnya, penyalahgunaan obat, pengobatan ) atau kondisi medis lainnya.

F. Jika ada gejala gangguan spektrum autisme atau gangguan komunikasi masa kanak-kanak, diagnosis skizofrenia tambahan hanya dilakukan jika adanya perasaan halusinasi atau delusi yang berlebihan, sebagai gejala lain yang berkenaan dengan skizofrenia, juga timbul sekurang-kurangnya selama 1 bulan (atau kurang jika diobati dengan benar).

2.4.2. Gambaran Klinis Skizofrenia

(43)

beberapa pasie skizofrenia yang ditandai dengan penarikan diri dan terlalu kaku secara sosial, sangat pemalu, dan sering mengalami kesulitan di sekolah meski I.Q-nya normal. Suatu pola yang sering ditemui yaitu keterlibatan dalam aktivitas antisosial ringan dalam satu atau dua tahun sebelum episode psikotik. Beberapa pasien sebelum didiagnosa skizofrenia, mempunyai gangguan kepribadian skizoid, ambang, anti sosial, atau skizotipal (Amir, 2010).

2.4.3 Jenis-jenis Skizofrenia

Terdapat beberapa jenis Skizofrenia (PPDGJ III, 1993) yaitu : 1. Skizofrenia Paranoid

Skizofrenia Paranoid adalah skizofrenia yang paling sering dijumpai di negara mana pun. Gambaran klinis didominasi oleh waham-waham yang secara relatif stabil, seringkali bersifat paranoid, biasanya disertai oleh halusinasi-halusinasi, terutama halusinasi pendengaran, dan gangguan-gangguan persepsi.

2. Skizofrenia Hebefrenik

Suatu bentuk skizofrenia dengan perubahan afektif yang tampak jelas, dan secara umum juga dijumpai waham dan halusinasi yang bersifat mengambang serta terputus-putus, perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan. 3. Skizofrenia Katatonik

(44)

kegelisahan yang disertai kekerasan mungkin merupakan gambaran yang mencolok.

4. Skizofrenia Tak terinci (Undifferentiated)

Yaitu kondisi-kondisi yang memenuhi kriteria diagnostik umum untuk skizofrenia tetapi tidak sesuai dengan satu pun sub tipe tersebut di atas

5. Depresi pasca skizofrenia

Suatu episode depresif yang mungkin berlangsung lama dan timbul sesudah suatu serangan penyakit skizofrenia. Gangguan depresif ini disertai oleh suatu peningkatan risiko bunuh diri.

6. Skizofrenia Residual

Suatu stadium kronis dalam perkembangan suatu gangguan skizofrenia di mana telah terjadi progresi yang jelas dari stadium awal ke stadium lebih lanjut yang ditandai secara khas oleh gejala-gejala “negatif” jangka panjang, walaupun belum tentu ireversibel.

7. Skizofrenia Simpleks

Suatu kelainan yang tidak lazim dimana ada perkembangan yang bersifat perlahan tetapi progresif mengenai keanehan tingkah laku, ketidakmampuan untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan penurunan kinerja secara menyeluruh. Tidak terdapat waham dan halusinasi, serta gangguan ini bersifat kurang nyata psikotik jika dibandingkan dengan skizofrenia subtype hebefrenik, paranoid dan katatonik. 8. Skizofrenia Lainnya

(45)

2.4.4. Pengobatan Skizofrenia

Menurut Kaplan & Sadock (2010) prinsip Terapeutik pada penggunaan obat antipsikotik pada skizofrenia seyogianya mengikuti lima prinsip utama:

1. Klinisi sebaiknya secara cermat menentukan gejala target yang akan diobati. 2. Obat antipsikotik yang telah bekerja dengan baik dimasa lalu bagi seorang pasien

sebaiknya digunakan kembali.

3. Lama minimum percobaan antipsikotik adalah 4 sampai 6 minggu pada dosis adekuat. Bila percobaan tidak berhasil, obat antipsikotik yang berbeda, biasanya dari kelas yang berbeda, dapat dicoba.

4. Secara umum, penggunaan lebih dari satu obat antipsikotik pada satu waktu adalah jarang namun pada pasien yang resisten pengobatan dapat di kombinasi dengan obat lainnya.

5. Pasien sebaiknya dipertahankan pada dosis obat efektif yang serendah mungkin. Dosis rumatan seringkali lebih rendah daripada yang digunakan untuk mencapai pengendalian gejala selama episode psikotik.

2.5. Pemasungan

2.5.1. Pengertian Pemasungan

(46)

Pasung adalah istilah yang digunakan di Indonesia yang memiliki padanan arti dalam bahasa Inggris “Restraints atau Restrained”. Istilah ini tidak hanya digunakan untuk merujuk tindakan membelenggu pasien, tetapi juga merujuk kepada mengunci pasien di kamar atau mengurungnya di dalam kandang ternak (Keithaon, 2013).

Pemasungan adalah tindakan masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa (biasanya yang berat seperti skizofrenia) dengan cara dikurung, dirantai kakinya dimasukkan kedalam balok kayu dan lain-lain sehingga kebebasannya menjadi hilang. Pasung merupakan salah satu perlakuan yang merampas kebebasan dan kesempatan mereka untuk mendapat perawatan yang memadai dan sekaligus juga mengabaikan martabat mereka sebagai manusia.

(47)

mengakibatkan gangguan nyata dan potensial terhadap perkembangan, kesehatan dan kelangsungan hidup atau martabatnya. Bentuk penelantaran dan dampak penelantaran pada orang dengan gangguan jiwa misalnya; tidak diberikan pengobatan yang layak, tidak dipenuhi kebutuhan dasar (need basic) hidupnya seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan (Utami, 2013).

Pemasungan terhadap orang yang memiliki gangguan jiwa lebih banyak pada daerah-daerah yang tingkat ekonomi dan pengetahuannya rendah. Hal ini disebabkan keterbatasan ekonomi dalam keluarga dan juga kurangnya pengetahuan tentang penanganan gangguan jiwa. Kemudian kebiasaan pemasungan dilakukan pada tempat-tempat yang tidak layak; seperti gubuk, kandang ternak, ruangan yang tidak memenuhi standar kesehatan dan jauh dari pemukiman warga lainnya.

2.5.2. Alasan dan Dampak Pemasungan

Kasus pemasungan di masyarakat ibarat teori gunung es dipermukaan laut; artinya bahwa data pemasungan yang diperoleh melalui hasil penjaringan diberbagai daerah belum menunjukkan data yang sebenarnya, karena kasus pemasungan ternyata masih banyak yang tidak termonitor oleh pemerintah. Fenomena ini disebabkan keluarga yang masih malu dan menganggap aib bagi keluarganya yang harus disembunyikan dan ditutupi dari publik serta keterbatasan pembiayaan dan rendahnya ilmu pengetahuan tentang penanganan gangguan jiwa.

(48)

pada pasien gangguan jiwa atau secara umum untuk menjaga agar anggota keluarga dan masyarakat dari perilaku agresif anggota keluarga yang sedang mengalami gangguan jiwa.

Menurut Kemenkes RI alasan pemasungan yang dilakukan oleh keluarga terhadap orang yang memiliki gangguan jiwa antara lain :

a. Perjalanan penyakit dan respons terhadap terapi

Gangguan jiwa memiliki karakteristik kronik dan kambuhan. Sama dengan penyakit kronis lainnya seperti hipertensi, diabetes dan lain-lain, kondisi tersebut menjadikan gangguan jiwa sepertinya sulit untuk dikontrol, disembuhkan dan sangat tergantung dengan pengobatan jangka panjang. Ketidakmampuan untuk mengendalikan ini seringkali menjadi alasan bagi tindakan pemasungan untuk “mengamankan” orang dengan gangguan jiwa dari kemungkinan bahaya bagi dirinya maupun orang lain. Sebagai contoh; keluarga mengambil tindakan untuk pemasungan dikarenakan kuatir anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa akan pergi dan tidak tahu jalan pulang atau melindungan keamanan masyarakat sekitar karena berpotensi untuk merusak atau melukai orang lain. b. Tingkat ketergantungan dan beban keluarga

(49)

diperumit bila anggota keluarga yang merawat terpaksa meninggalkan pekerjaan dan penghasilannya untuk merawat anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa tersebut.

c. Kurangnya pemahaman dan pengetahuan akan gangguan jiwa

Kurangnya informasi dan akses terhadap informasi juga mempengaruhi persepsi dan pemahaman keluarga maupun lingkungannya terhadap gangguan jiwa itu sendiri. Selain itu stigmatisasi juga mengakibatkan seseorang berpikir salah tentang apa yang terjadi. Kurangnya pemahaman atau kesalahan persepsi mengakibatkan banyaknya kasus gangguan jiwa yang tidak dikenali. Pada tingkat masyarakat awam, gangguan jiwa seringkali dikaitkan dengan aspek religi dan spiritual. Gangguan jiwa seringkali dikaitkan dengan guna-guna, ilmu hitam, kutukan, tumbal, tanggungan dosa keluarga dan lain-lain. Hal ini mengakibatkan orang dengan gangguan jiwa seringkali “berobat” ke pengobatan tradisional, sehingga memperlama durasi tanpa pengobatan yang benar dan hal ini mengakibatkan semakin beratnya gejala (termasuk gejala akut) dan kronisitas penyakit, makanya pasung pun seringkali dianggap sebagai “pengobatan”.

d. Akses ke layanan kesehatan

(50)

misalnya; keluarga kurang bisa dilibatkan dalam proses pengobatan akibat tidak mudah bagi keluarga untuk datang dan belajar bagaimana cara merawat anggota keluarganya. Halangan-halangan tersebut berkaitan dengan letak geografik, akses transportasi, kesulitan untuk pergi dikarenakan pekerjaan dan adanya biaya transportasi dan biaya-biaya lainnya.

e. Pembiayaan

Sebahagian besar kasus pemasungan yang ditemukan saat ini lebih banyak terjadi didaerah terpencil dan berada dalam kondisi kemiskinan. Namun kasus pemasungan sebenarnya tidak hanya dialami oleh orang-orang dari kalangan ekonomi sosial yang rendah. Bagi mereka yang terbatas dalam ekonomi, masalah pembiayaan menjadi isu yang penting dan tidak mudah untuk diselesaikan. Memang ada sistem bantuan pembiayaan kesehatan dalam bentuk jaminan kesehatan membantu orang dengan gangguan jiwa dan keluarganya utnuk mendapatkan pengobatan. Namun dalam prosesnya untuk mendapatkan jaminan kesehatan tersebut tidaklah mudah. Didaerah terpencil, biaya yang terkait dengan transportasi lebih banyak menjadi masalah dalam pengobatan (Utami, 2013).

(51)

2.5.3. Menghapus Pemasungan

Berbagai bentuk kesalahan sikap masyarakat dalam merespon kehadiran penderita gangguan jiwa terjadi akibat konstruksi pola berpikir yang salah akibat ketidaktahuan publik. Terdapat logika yang salah di masyarakat, kondisi berfikir yang salah tersebut selanjutnya berujung pada tindakan yang tidak membantu percepatan penyembuhan si penderita. Masyarakat cenderung menganggap orang dengan gangguan jiwa sebagai sampah sosial (Tarjum, 2007). Akibatnya masyarakat mengambil jalan pintas dengan melalukan pemasungan terhadap orang dengan gangguan jiwa.

Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kemenkes RI pada tahun 2010 telah mencanangkan Indonesia Bebas Pasung Tahun 2014 melalui :

a. Terselenggaranya perlindungan HAM bagi orang dengan gangguan jiwa.

b. Tercapainya peningkatan pengetahuan dari seluruh pemangku kepentingan dibidang kesehatan jiwa.

c. Terselenggaranya pelayanan kesehatan jiwa yang berkualitas disetiap tingkat layanan masyarakat (Program Direktorat Bina Keswa Kemenkes RI, 2014).

(52)

2.6. Landasan Teori

Penanganan pasien penderita skizofrenia dengan cara pemasungan merupakan tindakan yang dianggap salah. Tetapi pemasungan terhadap penderita skizofrenia dilakukan oleh keluarga disebabkan faktor-faktor yang kompleks baik dari aspek pengetahuan tentang skizofrenia maupun yang lainnya. Hal ini senada dengan teori Lawrance Green (1980) yang menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua faktor pokok; yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu : faktor predisposisi (predisposition factor), faktor pemungkinan (enabling factor) dan faktor penguat (reinforcing factor).

Faktor predisposisi mencakup faktor yang mempengaruhi pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa; baik faktor kurangnya pemahaman dan pengetahuan akan skizofrenia, tingkat ketergantungan maupun beban keluarga. Selain aspek rendahnya pemahaman dan pengetahuan, hal lain yang mengakibatkan pemasungan adalah adanya keyakinan dari sebahagian masyarakat bahwa fenomena gangguan jiwa dikarenakan guna-guna, ilmu hitam dan lain-lain yang nuansanya adalah mistis dan religi.

(53)

Kemudian faktor penguat yang menentukan dukungan dari berbagai pihak, baik keluarga, masyarakat maupun pemerintah dalam penanganan kasus pemasungan orang dengan gangguan skizofrenia.

2.7. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori tersebut di atas, maka peneliti merumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

[image:53.612.114.502.290.573.2]

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Dari teori Lawrence Green dalam Soekidjo, 2007 menyatakan bahwa proses perubahan Perilaku ada 3 faktor yang mempengaruhi yaitu faktor Predisposing, Faktor Enabling dan Faktor Reinforcing.

Faktor predisposing: 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Pendidikan

Faktor Enabling: 1. Fasilitas Kesehatan

jiwa

2. Pembiayaan 3. Akses ke layanan 4. Jarak

Faktor Reinforcing: 1. Sumber informasi 2. Dukungan Petugas dan keluarga

(54)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian survey dengan pendekatan case control yaitu suatu penelitian analitik yang menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan pendekatan retrospective yaitu; membandingkan pengalaman keluarga dari penderita skizofrenia yang dipasung dengan pengalaman keluarga penderita skizofrenia yang tidak dipasung dan berobat di Rumah Sakit dr. RM. Djoelham Binjai.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Binjai dengan pertimbangan bahwa Kota Binjai berdasarkan data Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara Tahun 2013 memiliki kasus pasung yang tertinggi.

3.2.2. Waktu Penelitian

(55)

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua keluarga penderita skizofrenia di Kota Binjai.

3.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini sebanyak 40 orang yang terdiri dari : 30 orang keluarga penderita skizofrenia yang tidak dipasung dan 10 orang keluarga penderita skizofrenia yang dipasung.

Cara pengambilan sampel : 1. Kriteria Inklusi

Kriteria Kasus : Merupakan kriteria yang harus dipenuhi oleh subjek agar dapat diikutsertakan ke dalam penelitian sebagai kelompok kasus, yang terdiri dari a. Keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang dipasung

b. Bertempat tinggal dikota Binjai c. Bersedia menjadi responden

Kriteria Kontrol : Merupakan keadaan yang menyebabkan subjek di ikutsertakan dalam penelitian sebagai kontrol. Kriteria Kontrol dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Keluarga yang membawa anggota keluarganya yang menderita skizofrenia berobat di Poliklinik Jiwa RS dr.RM Djoelham Binjai

2) Mempunyai keluarga menderita skizofrenia tapi tidak dipasung 3) Bertempat tinggal dikota Binjai

(56)

2. Kriteria Eksklusi

Merupakan keadaan yang menyebabkan subjek tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian. Kriteria Eksklusi dalam penelitian ini terdiri dari :

a. Pasien RS dr RM. Djoelham yang tidak berobat ke Poliklinik Jiwa b. Tidak bertempat tinggal menetap di Binjai

c. Tidak bersedia dijadikan responden dalam penelitian

Pengambilan sampel pada keluarga penderita skizofrenia yang tidak dipasung dilakukan dengan cara Accidental sampling, dimana keluarga yang membawa penderita skizofrenia berobat ke poliklinik jiwa Rumah Sakit dr. RM. Djoelham Binjai dan memenuhi kriteria langsung dijadikan sebagai sampel. Sedangkan pengambilan sampel terhadap keluarga penderita skizofrenia yang dipasung diambil secara total sampling berdasarkan data Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara Tahun 2013.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Jenis yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah : 3.4.1. Data Primer

(57)

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utar, data demografi dan geografi wilayah penelitian dan studi kepustakaan (literatur), dan jurnal kesehatan yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur. Uji validitas dilakukan untuk mengukur sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam mengukur suatu data. Untuk mengetahui validitas instrumen penelitian digunakan analisis item, yaitu mengkorelasikan skor setiap pertanyaan dengan skor total yang merupakan jumlah skor setiap pertanyaan. Validitas masing-masing butir pertanyaan dapat dilihat pada masing-masing butir pertanyaan dengan ketentuan jika nilai corrected item total correlation > r tabel, maka dinyatakan valid atau sebaliknya. Nilai r tabel dalam penelitian ini untuk sampel pengujian 10 orang keluarga Penderita Skizofrenia adalah

0,361 pada α = 5%. (Hastono, 2007)

(58)

dari satu kali pengukuran, dengan ketentuan jika Cronbach Alpha > 0,60 maka dinyatakan reliabel, dan jika nilai uji Cronbach Alpha yang diperoleh < 0,60 maka dinyatakan tidak reliabel (Hastono, 2007).

[image:58.612.116.526.390.670.2]

Sebelum uji coba kuesioner dilakukan, untuk melihat isi kuesioner maka dilakukan uji content validity di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sumatera Utara. Uji coba kuesioner yang bertujuan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas pertanyaan dilakukan kepada 10 orang keluarga penderita Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara. Hasil uji validitas dan reliabilitas dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Instrumen Pengetahuan Variabel Nilai Corrected Item – Total Keterangan

Pengetahuan 1 0,946 Valid

Pengetahuan 2 0,759 Valid

Pengetahuan 3 0,946 Valid

Pengetahuan 4 0,811 Valid

Pengetahuan 5 0,541 Valid

Pengetahuan 6 0,836 Valid

Pengetahuan 7 0,946 Valid

Pengetahuan 8 0,625 Valid

Pengetahuan 9 0,828 Valid

Pengetahuan 10 0,701 Valid

Pengetahuan 11 0,704 Valid

Pengetahuan 12 0,863 Valid

Pengetahuan 13 0,946 Valid

Pengetahuan 14 0,836 Valid

Pengetahuan 15 0,862 Valid

Pengetahuan 16 0,720 Valid

Pengetahuan 17 0,516 Valid

Pengetahuan 18 0,577 Valid

(59)
[image:59.612.115.527.281.503.2]

Pada Tabel 3.1 di atas diketahui bahwa dari seluruh variabel pengetahuan sebanyak 20 pertanyaan mempunyai nilai corrected item – total lebih besar dari nilai tabel (r tabel = 0,361) dengan nilai cronbach alpha 0,966 lebih besar dari 0,60 yang berarti bahwa seluruh pertanyaan variabel pengetahuan semuanya adalah valid dan reliabel.

Tabel 3.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Instrumen Sikap Variabel Nilai Corrected Item – Total Keterangan

Sikap 1 0,841 Valid

Sikap 2 0,821 Valid

Sikap 3 0,819 Valid

Sikap 4 0,626 Valid

Sikap 5 0,813 Valid

Sikap 6 0,830 Valid

Sikap 7 0,464 Valid

Sikap 8 0,805 Valid

Sikap 9 0,860 Valid

Sikap 10 0,743 Valid

Sikap 11 0,814 Valid

Sikap 12 0,778 Valid

Sikap 13 0,686 Valid

Sikap 14 0,752 Valid

Sikap 15 0,486 Valid

[image:59.612.113.525.655.699.2]

Pada Tabel 3.2 di atas diketahui bahwa dari seluruh variabel pengetahuan sebanyak 15 pertanyaan mempunyai nilai corrected item – total lebih besar dari nilai tabel (r tabel = 0,361) dengan nilai cronbach alpha 0,948 lebih besar dari 0,60 yang berarti bahwa seluruh pertanyaan variabel sikap semuanya adalah valid dan reliabel.

Tabel 3.3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Fasilitas Kesehatan Jiwa Variabel Nilai Corrected Item – Total Keterangan

Fasilitas Kesehatan Jiwa 1 0,906 Valid

(60)
[image:60.612.109.527.294.369.2]

Pada tabel 3.3 di atas diketahui bahwa dari seluruh variabel Fasilitas Kesehatan Jiwa sebanyak 2 pertanyaan mempunyai nilai corrected item – total lebih besar dari nilai tabel (r tabel = 0,361) dengan nilai cronbach alpha 0,950 lebih besar dari 0,60 yang berarti bahwa seluruh pertanyaan variabel Fasilitas Kesehatan Jiwa adalah valid dan reliabel.

Tabel 3.4. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada instrumen Akses ke Pelayanan

Variabel Nilai Corrected Item – Total Keterangan

Akses ke pelayanan 1 0,939 Valid

Akses ke pelayanan 2 0,981 Valid

Akses ke pelayanan 3 0,981 Valid

[image:60.612.115.527.551.606.2]

Pada Tabel 3.4 di atas diketahui bahwa dari seluruh variabel Akses ke Pelayanan sebanyak 3 pertanyaan mempunyai nilai corrected item – total lebih besar dari nilai tabel (r tabel = 0,361) dengan nilai cronbach alpha 0,978 lebih besar dari 0,60 yang berarti bahwa seluruh pertanyaan variabel akses ke pelayanan semuanya adalah valid dan reliabel.

Tabel 3.5. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Instrumen Sumber Informasi Variabel Nilai Corrected Item – Total Keterangan

Sumber Informasi 1 0,906 Valid

Sumber Informasi 2 0,906 Valid

(61)
[image:61.612.111.527.196.248.2]

berarti bahwa seluruh pertanyaan variabel sumber informasi semuanya adalah valid dan reliabel.

Tabel 3.6. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Instrumen Dukungan Variabel Nilai Corrected Item – Total Keterangan

Dukungan 1 0,784 Valid

Dukungan 2 0,784 Valid

Pada Tabel 3.6 di atas diketahui bahwa dari seluruh variabel sumber dukungan sebanyak 2 pertanyaan mempunyai nilai corrected item – total lebih besar dari nilai tabel (r tabel = 0,361) dengan nilai cronbach alpha 0,873 lebih besar dari 0,60 yang berarti bahwa seluruh pertanyaan variabel dukungan semuanya adalah valid dan reliabel.

3.5. Variabel dan Defenisi Operasional 3.5.1. Variabel

Variabel dependen (terikat) penelitian ini adalah pemasungan penderita skizofrenia dan variabel independen (bebas) adalah variabel faktor predisposing (pengetahuan, sikap, pendidikan), faktor enabling (fasilitas kesehatan jiwa, pembiayaan, akses ke layanan, jarak) dan faktor reinforcing (sumber informasi, dukungan petugas dan keluarga).

3.5.2. Definisi Operasional

(62)

b. Sikap adalah tanggapan atau pandangan responden sehubungan adanya kasus pasung.

c. Pendidikan adalah tingkat pendidikan terakhir responden sampai pada saat penelitian berlangsung.

d. Fasilitas Kesehatan Jiwa adalah Tempat pelayanan kesehatan dimana pasien memperoleh pelayanan kesehatan jiwa

e. Pembiayaan adalah biaya yang dikeluarkan oleh keluarga selama pengobatan pasien

f. Akses ke pelayanan adalah keterlibatan responden dalam membawa penderita skizofrenia ke pelayanan kesehatan.

g. Jarak adalah waktu tempuh yang dibutuhkan keluarga penderita skizofrenia untuk sampai ke pelayanan kesehatan

h. Sumber informasi adalah asal dari informasi yang didapat oleh keluarga penderita skizofrenia untuk menambah pengetahuan tentang penyakit skizofrenia dan tentang cara merawat penderita skizofrenia.

i. Dukungan petugas dan keluarga adalah dukungan yang diberikan baik oleh petugas kesehatan maupun keluarga selama penderita melakukan pengobatan.

3.6. Metode Pengukuran 3.6.1. Variabel Dependen

(63)

item pertanyaan yang terdiri dari 5 pertanyaan. Skala pengukuran adalah Ordinal. Dengan hasil ukur dipasung dan tidak dipasung.

3.6.2. Variabel Independen

1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah tingkat kemampuan responden menjawab dengan benar tentang segala sesuatu yang menyangkut masalah pasung. Diukur dari item pertanyaan pengetahuan yang terdiri dari 20 pertanyaan, dengan skala pengukuran ordinal, total skor 20 dengan kriteria sebagai berikut:

a. Jika dijawab benar diberi nilai (1). b. Jika salah diberi nilai (0).

Berdasarkan nilai diklasifikasikan dalam dua kategori yaitu: a. Baik jika nilai skor > 50 %

b. Kurang jika nilai skor ≤ 50% 2. Sikap

Sikap adalah tanggapan atau pandangan responden yang berhubungan dengan pemasungan penderita gangguan jiwa. Diukur dari item pertanyaan yang terdiri 15 pertanyaan, menggunakan skala Likert. Total skor tertinggi 30 dengan kriteria sebagai berikut:

a. Jika jawaban setuju (nilai 2) b

Gambar

Gambar 2.1.   Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Instrumen Pengetahuan
Tabel 3.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Instrumen Sikap
Tabel 3.4. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada instrumen Akses
+7

Referensi

Dokumen terkait

• Sebagian besar kegiatan manusia berhubungan dengan memori (ingatan) manusia, seperti saat manusia selalu mengingat semua yang terjadi, memori manusia berisi semua pengetahuan dari

Dengan adanya produk olahan dari wortel dan bayam berupa batagor pelangi ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternative bagi masyarakat sebagai produk

Kepulauan  Kuril   dan  Sakhalin Selatan  diserahkan  kepada  Uni  Soviet  (Rusia),

Penelitian ini juga membuktikan bahwa kualitas auditor eksternal sebagai variabel moderasi tidak mampu memperlemah hubungan external pressure, financial target,

The used media in the implementation of learning trajectory of ordering decimal numbers in this study was picture of number line, LCD projector, body scales, cards of

2. Kongres Pemuda Kedua adalah kongres pergerakan pemuda Indonesia yang melahirkan keputusan yang memuat ikrar untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yang

Pada tahun 2012 ketika Sail Morotai berlangsung, anggota kelompok dalam hal ini Muhlis Aramin, Ishak Talib, Abdul Hair Sarambae, Abdul Haris Ismail, Ishak Kotu,

Model pembelajaran pengajuan dan pemecahan masalah atau disingkat sebagai model JUCAMA adalah suatu model pembelajaran matematika yang berorientasi pada pengajuan