• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebiasaan Makan, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, dan Status Anemia pada Remaja Putri Keluarga Pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebiasaan Makan, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, dan Status Anemia pada Remaja Putri Keluarga Pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIASAAN MAKAN, PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT

DAN STATUS ANEMIA PADA REMAJA PUTRI KELUARGA

PEMULUNG DI KELURAHAN SUMUR BATU

BANTAR GEBANG BEKASI

ARIZKI WITARADIANINGTIAS

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kebiasaan Makan,

Perilaku Hidup bersih dan Sehat dan Status Anemia pada Remaja Putri Keluarga

Pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi adalah benar karya

saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk

apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan meupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor

Bogor, Maret 2013

(3)

ABSTRACT

ARIZKI WITARADIANINGTIAS. Food Habit, Clean and Healthy Behaviour and Anemia Status in Adolescent Girls of Scavenger Families in Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. Supervised by AHMAD SULAEMAN and IKEU EKAYANTI

This study was aimed to analyze the association between food habit, clean and healthy behaviour and anemia status in adolescent girls of scavengers families in Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. Cross sectional design was applied in this study. About 72 adolescent girls of scavengers families were purposing sampled in this study. Food consumption among this girls was collected using semiquantitative food frequency and anemia status was measured by hemoglobin level using cyanmethemoglobin. Most of adolescent girls (19.4%) was anemia and 80.6% were non anemia. The girls had moderate food habit (61.6%) based on the frequency of consumption of food is still a lack of food sources of heme. Clean and healthy behaviour among the girls were in a good category (79.2%). The state of the living environments is in a category quite well (59.7%). History of helminthiasis in adolescent girls (41.7%) were in the low

category. The result shown there’s no relationship between food habits, clean

and healthy behaviour, living environtments and history of helminthiasis with anemia status (p>0.05)

(4)

RINGKASAN

ARIZKI WITARADIANINGTIAS. Kebiasaan Makan, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, dan Status Anemia pada Remaja Putri Keluarga Pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. Dibimbing oleh AHMAD SULAEMAN dan IKEU EKAYANTI

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui kebiasaan makan, perilaku hidup bersih dan sehat dan status anemia pada remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1) Mengidentifikasi karakteristik individu dan keluarga remaja putri keluarga pemulung, 2) Mengkaji status anemia remaja putri keluarga pemulung, 3) Mengidentifikasi perilaku hidup bersih dan sehat serta lingkungan tempat tinggal remaja putri keluarga pemulung, 4) Mengidentifikasi kebiasaan makan dan konsumsi pangan remaja putri keluarga pemulung, 5) Menganalisis hubungan antara kondisi lingkungan tempat tinggal dengan status anemia pada remaja putri keluarga pemulung, 6) Menganalisis hubungan antara kebiasaan makan dengan status anemia pada remaja putri keluarga pemulung, 7) Menganalisis hubungan perilaku hidup bersih dan sehat dengan status anemia remaja putri keluarga pemulung, 8) Menganalisis hubungan riwayat kecacingan dengan status anemia remaja putri keluarga pemulung.

Populasi dalam penelitian ini adalah remaja putri keluarga pemulung berusia 13-15 tahun yang terdapat di SMPN 27 Bekasi. Sampel yang diteliti berjumlah 72 orang. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan banyaknya anak-anak keluarga pemulung yang bersekolah di SMP Negeri 27 dan lokasinya yang berdekatan dengan TPA Bantar Gebang. Metode penarikan sampel dilakukan secara purposive sampling. Kriteria inklusi yang digunakan adalah 1) siswi SMP Negeri 27 Bekasi, 2) pekerjaan orang tua sebagai pemulung, 3) bertempat tinggal di wilayah Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang Bekasi, 4) bersedia menandatangani surat pernyataan ikut serta (informed consent) dalam penelitian, 5) sudah mengalami menstruasi, 6) tidak dalam keadaan sakit dan 7) tidak sedang mengonsumsi obat-obatan. Status anemia melalui pengambilan sampel darah dengan metode cyanmethhemoglobin. Data jenis dan frekuensi konsumsi pangan menggunakan metode kuesioner pangan semikuantitatif (FFQ semikuantitatif).

(5)

Rata-rata contoh (61.1%) memiliki kebiasaan makan dengan kategori cukup. Seluruh contoh (100%) mengonsumsi nasi dengan frekuensi konsumsi selalu pada golongan serealia dan umbi-umbian. Rata-rata contoh (51.4%) mengonsumsi lauk nabati dengan frekuensi jarang (1 atau 2 kali/minggu). Sebagian besar contoh mengkonsumi jenis sayuran dengan frekuensi jarang, yaitu jenis sayur bayam (38.9%), kangkung (51.4%) dan ketimun (38.9%). Buah yang paling sering di konsumsi adalah buah jeruk dan mangga, sedangkan tomat, pepaya, jambu biji, nanas, pisang, semangka, melon, apel, anggur dan pir dalam frekuensi konsumsi tidak pernah. Sebagian besar contoh tidak pernah mengonsumsi jajanan (89.9%), kopi (81.9%), teh (31.9%), susu (37.5%) dan suplemen (100%).

Tingkat kecukupan energi sebagian contoh (45.8%) tergolong dalam defisit tingkat berat. Rata-rata konsumsi energi contoh sebesar 1484±538 Kal/hari. Tingkat kecukupan protein contoh (50.0%) tergolong lebih dengan rata-rata konsumsi protein 65.2±39.3 g/hari. Tingkat kecukupan vitamin A contoh (62.5%) tergolong cukup dengan rata-rata konsumsi vitamin A contoh 634.9±606.1 RE/hari. Tingkat kecukupan vitamin C contoh (50.0%) tergolong kurang dengan rata-rata konsumsi vitamin C 56.7±58.9 mg/hari. Tingkat kecukupan zat besi contoh (50.0%) tergolong kurang dengan rata-rata konsumsi pangan 22.2±17.2 mg/hari.

Perilaku hidup bersih dan sehat sebagian besar contoh (79.2%). tergolong dalam kategori baik, serta memiliki keadaan lingkungan tempat tinggal yang tergolong cukup baik (59.7%). Sebagian contoh (41.7%) memiliki riwayat kecacingan yang tergolong rendah. Semakin rendahnya riwayat kecacingan yang dialami contoh, maka semakin rendah risiko terjadinya anemia.

(6)

KEBIASAAN MAKAN, PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT

DAN STATUS ANEMIA PADA REMAJA PUTRI KELUARGA

PEMULUNG DI KELURAHAN SUMUR BATU

BANTAR GEBANG BEKASI

ARIZKI WITARADIANINGTIAS

Skripsi

sebagai salah syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(7)

Judul : Kebiasaan Makan, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, dan Status Anemia pada Remaja Putri Keluarga Pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi

Nama : Arizki Witaradianingtias NIM : I114104032

Disetujui oleh:

Prof. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, PhD Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M. Kes

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh :

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Ketua Departemen

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bekasi pada tanggal 20 Mei 1990. Penulis adalah putri dari

pasangan Puji Utoro dan Diah Rusaltini. Penulis merupakan anak pertama dari

dua bersaudara. Penulis memulai pendidikan pada tahun 1993 pada sebuah

Taman Kanak-kanak Regina di Bekasi dan lulus pada tahun 1994, dan

melanjutkan ke Sekolah Dasar Margajaya VIII lulus pada tahun 2001. Pada tahun

2001 penulis melanjutkan pendidikannya di sebuah sekolah swasta yaitu SMP

BPS&K 3 Bekasi dan lulus pada tahun 2004. Selanjutnya penulis melanjutkan

pendidikan di SMA PGRI 1 Bekasi jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dan

lulus pada tahun 2007.

Pada tahun 2007 penulis diterima di Program Diploma III Institut Pertanian

Bogor, pada Program Keahlian Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi

melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis menjalankan Praktek

Kerja Lapang (PKL) selama empat bulan dimulai dari tanggal 01 Desember 2009

sampai dengan 23 Maret 2010 di Rumah Sakit PMI Bogor. Penulis juga

menjalankan Praktek Usaha Jasa Boga (PUJB) di Kantin Sehati selama dua

bulan dari tanggal 26 April 2010 sampai dengan 26 Juni 2010.

Penulis lulus dari program Diploma Manajemen Industri Jasa Makanan dan

Gizi Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010 dengan predikat kelulusan sangat

memuaskan dan melanjutkan jenjang pendidikan sarjana pada program alih jenis

Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

melalui jalur ujian mandiri pada tahun 2010. Selama kuliah di program alih jenis,

penulis pernah menjadi Bendahara I (satu) dalam kegiatan Seminar Pangan dan

Gizi Nasional ”FIT FESTIVAL” yang dilaksanakan di Hotel Brajamustika. Selain

itu, penulis pernah melakukan kuliah kerja profesi di Kabupaten Banjarnegara

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Kebiasaaan Makan, Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat, Dan

Status Anemia Pada Remaja Putri Keluarga Pemulung di Kelurahan Sumur Batu

Bantar Gebang Bekasi”. Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan

dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Bapak Prof. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, PhD, Ibu Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes

selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa membimbing dengan

penuh kesabaran, memberi arahan, masukan serta saran yang sangat

membangun kepada penulis selama penyusunan usulan penelitian dan

pelaksanaan penelitian hingga tersusunnya skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS selaku dosen pembimbing akademik yang

senantiasa membimbing, memberi arahan dan masukan serta saran yang

sangat membangun kepada penulis selama menjalankan kuliah di

Departemen Gizi Masyarakat, IPB.

3. Ibu Dr. Tiurma Sinaga, MFSA selaku dosen pemandu seminar dan penguji

sidang yang telah memberikan masukan dan saran yang membangun

kepada penulis.

4. Bunda, ayah, mas riyo dan adik yang senantiasa memberikan doa,

dukungan, dorongan serta semangat kepada penulis.

5. Masyarakat wilayah Bantar Gebang, Kelurahan Sumur Batu serta SMP

Negeri 27 Bekasi, Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Kesiswaan,

Dewan Guru dan staf tata usaha serta siswi kelas VIII.1-VIII.8 terima kasih

atas kerjasamanya.

6. Mba Retno, Mba Apriyanti dan Parahita Diagnostic Center, terima kasih atas

kerjasamanya, semoga bisa bekerja sama kembali di lain kesempatan

7. Teman-teman penelitian Erni dan Siti serta teman-teman Alih Jenis Ilmu Gizi

angkatan 4 terima kasih atas kerja sama dan semangatnya.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Namun dengan segala kekurangan yang dimiliki, semoga skripsi hasil penelitian

ini dapat memberikan manfaat untuk semuanya.

Bogor, Maret 2013

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Tujuan Umum ... 2

Tujuan Khusus ... 2

Hipotesis ... 3

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Remaja Putri ... 4

Kebiasaan Makan ... 5

Bioavailabilitas Zat Besi ... 7

Status Gizi ... 9

Anemia ... 10

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ... 13

Faktor Risiko Anemia ... 14

Riwayat Penyakit ... 14

Riwayat Kecacingan ... 14

Menstruasi ... 15

Keadaan Lingkungan ... 16

KERANGKA PEMIKIRAN ... 18

METODE PENELITIAN... 20

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ... 20

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ... 20

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 21

Cara Pengolahan dan Analisis Data ... 22

Definisi Operasional ... 26

HASIL PEMBAHASAN... 28

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 28

(11)

SMP Negeri 27 Bekasi ... 28

Karakteristik Umum Contoh ... 29

Usia ... 29

Tingkat Pendidikan Orang tua ... 29

Pekerjaan Orang tua ... 30

Pendapatan Orang tua ... 30

Pengetahuan Gizi ... 31

Status Anemia ... 31

Menstruasi ... 32

Usia Menarche ... 32

Lama Siklus Menstruasi ... 33

Frekuensi Menstruasi ... 33

Keteraturan Menstruasi ... 34

Lama Menstruasi ... 34

Kebiasaan Makan ... 35

Frekuensi Konsumsi Pangan ... 36

Frekuensi Konsumsi Serealia dan umbi-umbian ... 36

Frekuensi Konsumsi Pangan Hewani ... 37

Frekuensi Konsumsi Pangan Nabati ... 38

Frekuensi Konsumsi Sayuran ... 39

Frekuensi Konsumsi Buah-buahan ... 41

Frekuensi Konsumsi Jajanan, Minuman dan Suplemen ... 42

Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi ... 43

Energi ... 44

Protein ... 45

Vitamin A ... 45

Vitamin C ... 46

Vitamin D ... 47

Zat Besi (Fe) ... 48

Status Gizi ... 49

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ... 49

Keadaan Lingkungan Tempat Tinggal... 50

Riwayat Kecacingan ... 51

Riwayat Penyakit ... 52

(12)

Hubungan Kebiasaan Makan dengan Status Anemia ... 53

Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dengan Status Anemia ... 54

Hubungan Riwayat Kecacingan dengan Status Anemia ... 55

KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

Kesimpulan ... 56

Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Penggolongan anemia berdasarkan kadar hemoglobin ... 11

2 Jenis dan cara pengumpulan data ... 21

3 Kategori dan variabel ... 23

4 Sebaran contoh berdasarkan usia ... 29

5 Sebaran tingkat pendidikan orang tua ... 30

6 Sebaran pekerjaan orang tua contoh ... 30

7 Sebaran pengetahuan gizi contoh... 31

8 Sebaran contoh berdasar kadar hemoglobin ... 31

9 Sebaran usia menarche contoh ... 32

10 Sebaran siklus menstruasi contoh ... 33

11 Sebaran frekuensi menstruasi contoh ... 33

12 Sebaran keteraturan menstruasi contoh ... 34

13 Sebaran contoh berdasarkan lama menstruasi ... 35

14 Sebaran kebiasaan makan contoh ... 35

15 Sebaran frekuensi konsumsi serealia dan umbi-umbian contoh ... 36

16 Sebaran frekuensi konsumsi pangan hewani contoh ... 37

17 Sebaran frekuensi konsumsi lauk nabati contoh ... 39

18 Sebaran frekuensi konsumsi sayuran contoh ... 40

19 Sebaran frekuensi konsumsi buah contoh ... 41

20 Sebaran frekuensi konsumsi jajanan, minuman dan suplemen contoh .. 42

21 Sebaran tingkat kecukupan energi contoh ... 44

22 Sebaran tingkat kecukupan protein contoh ... 45

23 Sebaran tingkat kecukupan vitamin A contoh ... 46

24 Sebaran tingkat kecukupan vitamin C contoh ... 46

25 Sebaran tingkat kecukupan vitamin D contoh ... 47

26 Sebaran tingkat kecukupan zat besi contoh ... 48

27 Sebaran status gizi contoh ... 49

28 Sebaran perilaku hidup bersih dan sehat contoh ... 49

29 Sebaran keadaan lingkungan contoh ... 50

30 Sebaran riwayat kecacingan contoh ... 51

31 Sebaran contoh berdasarkan kejadian sakit (pernah/tidak) ... 52

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Hubungan kebiasaan makan, perilaku hidup bersih dan sehat dan status

anemia pada remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu

Bantar Gebang Bekasi. ... 19

2 Lingkungan tempat tinggal contoh ... 64

3 Proses pengambilan data ... 64

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Uji Hubungan Antar Variabel ... 63

2 Dokumentasi hasil pengamatan ... 64

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bantar Gebang merupakan tempat yang dirancang sebagai tempat

pembuangan sampah akhir dan pemusnahan sampah bagi warga DKI Jakarta

dan sekitarnya. Lingkungan TPA Bantar Gebang, selain dijadikan sebagai tempat

pembuangan sampah, juga digunakan sebagai pemukiman warga dan tempat

mencari rizki. Dilihat dari segi kesehatan, Bantar Gebang mempunyai berbagai

masalah yang berkaitan dengan kondisi lingkungan serta higiene dan sanitasi

masyarakat setempat yang dapat menimbulkan berbagai gangguan pada

kesehatan. Masalah kesehatan berkaitan dengan perilaku dan kebiasaan

masyarakat.

Kualitas lingkungan yang buruk merupakan salah satu penyebab

timbulnya berbagai gangguan pada kesehatan masyarakat (Sitinjak 2011).

Kondisi lingkungan tempat tinggal yang berada di kawasan TPA jauh dari kondisi

yang tergolong baik. Hampir sebagian besar masyarakat yang bertempat tinggal

di lokasi TPA bekerja sebagai pemulung. Tidak hanya orang dewasa, akan tetapi

anak-anak bahkan remaja juga bekerja sebagai pemulung. Risiko penyakit yang

ditimbulkan sebagai pemulung sangat besar, karena bekerja dan kontak

langsung dengan sampah, kondisi higiene dan sanitasi yang buruk dan

kurangnya perilaku hidup bersih dan sehat. Perilaku hidup bersih dan sehat

merupakan perilaku proaktif untuk memelihara dan mencegah risiko terjadinya

penyakit (Depkes 2004).

Berdasarkan angka kesakitan di wilayah kerja Puskesmas Bantar Gebang

penyakit infeksi, ISPA dan diare dari tahun 2006 – 2008 selalu meningkat dan

pada tahun 2010 penyakit diare murupakan urutan ke-4 dari 10 penyakit di

Puskesmas Bantar Gebang. Penyakit infeksi dan diare merupakan salah satu

faktor penyebab yang dapat menimbulkan anemia. Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan di Papua New Guinea yang menunjukkan terdapat

hubungan antar penyakit infeksi seperti malaria, diare, dan ISPA dengan

kejadian anemia (Oppenheimer 2001).

Anemia merupakan masalah kesehatan yang penting terkait

prevalensinya yang tinggi dan dampaknya terutama pada wanita, serta

merupakan masalah gizi yang memiliki pengaruh jangka panjang. Data survei

yang dilakukan WHO pada tahun 1993-2005 menunjukkan terdapat 1.65 miliyar

(17)

data RISKESDAS (2007) menunjukkan 11.9% remaja yang mengalami anemia.

Penelitian yang dilakukan oleh Veryana (2004), terhadap siswi sekolah di

lingkungan Bantar Gebang dengan usia 9-15 tahun menunjukkan sebesar 32.4%

mengalami anemia.

Remaja putri merupakan kelompok populasi yang rawan terhadap

defisiensi gizi khususnya defisiensi besi yang dapat mengakibatkan anemia.

Menurut WHO (2001) anemia pada remaja dapat menyebabkan penurunan daya

tahan tubuh, performa kognitif atau kecerdasan dan gangguan pertumbuhan.

Anemia pada remaja putri keluarga pemulung dapat dipengaruhi oleh kebiasaan

makan dan kurangnya konsumsi pangan, sehingga kurangnya zat gizi yang

dibutuhkan dalam tubuh, termasuk zat besi.

Penelitian yang dilakukan mengenai perilaku hidup bersih dan sehat,

kebiasaan makan, dan kondisi lingkungan tempat tinggal yang dikaitkan dengan

kejadian anemia pada remaja putri keluarga pemulung masih tergolong kurang.

Hal ini terkait dengan lingkungan tempat tinggal remaja putri yang berdekatan

dengan lokasi tempat pembuangan sampah akhir (TPA), keterlibatan dalam

memulung sampah dan rentannya risiko penyakit yang ditimbulkan dari dampak

sampah tersebut. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dilakukan penelitian untuk

mengetahui kebiasaan makan, perilaku hidup bersih dan sehat dan status

anemia yang terjadi pada remaja putri keluarga pemulung.

Tujuan Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui kebiasaan

makan, perilaku hidup bersih dan sehat dan status anemia pada remaja putri

keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi.

Tujuan Khusus

1. Mengetahui karakteristik individu dan keluarga remaja putri keluarga

pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi.

2. Mengkaji status anemia remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur

Batu Bantar Gebang Bekasi.

3. Mengidentifikasi perilaku hidup bersih dan sehat serta lingkungan tempat

tinggal remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar

Gebang Bekasi.

4. Mengidentifikasi kebiasaan makan dan konsumsi pangan remaja putri

(18)

5. Menganalisis hubungan antara kebiasaan makan dengan status anemia

pada remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar

Gebang Bekasi.

6. Menganalisis hubungan antara kondisi lingkungan tempat tinggal dengan

status anemia pada remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur

Batu Bantar Gebang Bekasi.

7. Menganalisis hubungan perilaku hidup bersih dan sehat dengan status

anemia remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar

Gebang Bekasi

8. Menganalisis hubungan riwayat kecacingan dengan status anemia remaja

putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi

Hipotesis

Terdapat hubungan antara kebiasaan makan, perilaku hidup bersih dan

sehat, keadaan lingkungan dengan status anemia pada remaja putri keluarga

pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi.

Kegunaan Penelitian

1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Bekasi, penelitian ini berguna sebagai bahan

dalam perumusan program atau kegiatan terkait dengan penanganan

kesehatan masyarakat khususnya di wilayah Kelurahan Sumur Batu Bantar

Gebang Bekasi

2. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat berguna dan memberikan

informasi pada remaja putri khususnya yang tinggal di lingkungan Kelurahan

Sumur Batu Bantar Gebang sebagai usaha dalam meningkatkan kesadaran

tentang faktor risiko anemia.

3. Bagi institusi dan pengembangan ilmiah lainnya dapat dijadikan sebagai

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Remaja Putri

Remaja merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang perlu

mendapatkan perhatian penting. Masa remaja merupakan masa pertumbuhan

dan perkembangan yang membutuhkan zat gizi yang optimal. Kelompok remaja

menunjukkan fase pertumbuhan yang pesat yang disebut adolescent growth

sput, sehingga memerlukan zat gizi yang relatif besar jumlahnya. Masa remaja

merupakan periode kehidupan anak dan dewasa, yang berawal pada usia 9-10

tahun dan berakhir di usia 18 tahun, masa ini merupakan masa pertumbuhan

yang panjang dan rentan dalam artian fisik, psikis, sosial, dan gizi (Arisman

2007). WHO mendefinisikan remaja sebagai bagian dari siklus hidup antara usia

10-19 tahun.

Remaja berada diantara dua masa hidup, dengan beberapa masalah gizi

yang sering terjadi pada anak-anak dan dewasa. Pertumbuhan pada remaja

seperti tinggi badan dapat mencapai 15% dan dapat mencapai 50% berat badan

saat dewasa. Pertumbuhan tersebut dipengaruhi oleh pengeluaran energi,

asupan gizi, dan penyakit infeksi. Adanya kekurangan zat gizi mikro dapat

mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual. Kebutuhan

seseorang tidak dapat diestimasikan dengan menggunakan pertimbangan variasi

dalam tingkat dan jumlah pertumbuhan (Supariasa 2001).

Remaja putri merupakan kelompok populasi yang rawan terhadap

defisiensi gizi khususnya defisiensi zat besi. Dalam masa puncak pertumbuhan,

dibutuhkan zat besi yang lebih tinggi yaitu untuk kebutuhan basal tubuh dan

pertumbuhan itu sendiri. Puncak pertumbuhan pada remaja putri terjadi sebelum

mengalami menstruasi pertama atau sekitar usia 10-14 tahun (Arisman 2007).

Menurut Wiseman (2002), kebutuhan zat besi pada remaja putri meningkat ketika

mengalami menstruasi. Kebutuhan zat besi meningkat dibandingkan dengan

kebutuhan saat sebelum remaja sebesar 0.7-0.9 mg/hari atau mungkin lebih saat

mengalami menstruasi. Menurut Beard (2000) menyebutkan bahwa peningkatan

kebutuhan zat besi dalam darah bersamaan dengan peningkatan total volume

darah, yang dimulai pada masa sebelum remaja sampai dengan masa puncak

pertumbuhan remaja.

Peningkatan ini berhubungan dengan waktu dan ukuran pertumbuhan,

seperti kematangan seksual dan terjadinya menstruasi. Hal ini menyebabkan

(20)

2000). Oleh karena itu, dibutuhkannya asupan zat besi yang cukup untuk

menunjang proses tersebut. Kecukupan zat besi yang dibutuhkan oleh remaja

putri dengan usia 13-15 tahun adalah sebesar 26 mg/hari (WNPG 2004).

Pertumbuhan yang pesat dan perubahan tubuh yang dimiliki cenderung disertai

kelelahan, kelesuan dan gejala-gejala buruk lainnya. Anemia sering terjadi pada

masa ini, bukan karena adanya perubahan dalam kimiawi darah tetapi kebiasaan

makan yang tidak menentu yang semakin menambah kelelahan dan kelesuan

(Hurlock 1980).

Kebiasaan Makan

Kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan

dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata krama

makan, frekuensi makan, pola makan, kepercayaan tentang makanan,

penerimaan terhadap makanan dan cara pemilihan bahan makanan yang

dimakan sebagai reaksi fisiologik, psikologik, sosial, dan budaya (Suhardjo

1989). Kebiasaan makan yang baik dimulai di rumah atas bimbingan orang tua.

Menurut penelitian Sukandar (2007), kebiasan makan yang baik merupakan

kebiasaan makan yang dapat menunjang terpenuhinya kecukupan gizi,

sedangkan kebiasan makan yang buruk merupakan kebiasan makan yang dapat

menghambat terpenuhinya kecukupan zat gizi, seperti adanya pantangan atau

tabu yang berlawanan dengan konsep gizi.

Menurut Sanjur (1982), terdapat empat faktor yang mempengaruhi

kebiasaan makan yaitu, 1) konsumsi pangan (pola pangan seperti jenis, jumlah,

frekuensi, proporsi pangan yang dikonsumsi atau susunan/komposisi pangan), 2)

preferensi terhadap pangan (sikap terhadap pangan seperti rasa suka dan tidak

suka, pangan yang belum pernah dikonsumsi), 3) ideologi atau pengetahuan

terhadap pangan seperti kepercayaan dan tabu, 4) sosial budaya pangan yang

meliputi umur, asal pendidikan, kebiasaan membaca, besar keluarga, susunan

keluarga, mata pencaharian, luas kepemilikan lahan dan ketersediaan pangan.

Kebiasan makan tersebut akan berpengaruh terhadap pola makan pada setiap

individu dalam kesehariannya.

Kebiasaan makan yang diperoleh semasa remaja akan berdampak pada

kesehatan dalam fase kehidupan selanjutnya, setelah dewasa dan berusia lanjut.

Tidak sedikit survei yang mencatat ketidak cukupan asupan zat gizi yang berasal

dari konsumsi makan para remaja. Remaja bukan hanya melewatkan waktu

(21)

mengonsumsi junk food. Faktor dasar yang mempengaruhi jumlah dan jenis

pangan yang dikonsumsi adalah rasa lapar dan kenyang, ketersedian pangan,

suku, budaya, status sosial ekonomi dan pendidikan. Menurut Arisman (2007),

remaja cenderung menabukan jenis makanan tertentu. Selain itu, tekanan fisik

dan psikososial mempengaruhi kebiasaan makan remaja. Sikap ini terbentuk

karena sifat remaja sering mencoba hal baru, dan dapat melekatkan ciri khusus

pada diri mereka. Konsumsi makanan yang mengandung cukup zat gizi sangat

penting, salah satu contoh zat gizi yang penting adalah zat besi. Kekurangan zat

besi pada usia remaja dapat menyebabkan dampak di usia lanjut, anemia dan

keadaan kurang besi dapat dicegah dan ditanggulangi dengan meningkatkan

konsumsi pangan yang kaya akan zat besi (Arisman 2007).

Kebiasaan makan mempengaruhi konsumsi pangan remaja putri.

Menurut survei yang dilakukan oleh Hurlock (1997), remaja suka sekali jajan

snack. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang rasanya

manis, pastry dan permen. Namun demikian golongan sayuran dan buah-buahan

yang mengandung banyak vitamin C tidak populer atau jarang dikonsumsi,

sehingga dalam diet mereka rendah akan zat besi, vitamin C dan zat gizi lainnya.

Selain itu, remaja putri menyukai minuman ringan, teh dan kopi yang

frekuensinya sering dibandingkan dengan susu. Kebiasaan makan pada remaja

putri tidak terlepas dari pengetahuan gizinya. Pengetahuan gizi merupakan

pemahaman seseorang terhadap ilmu gizi, zat gizi, serta interaksi antara zat gizi

terhadap status gizi dan kesehatan. Semakin baik pengetahuan gizi seseorang,

maka akan semakin memperhatikan kualitas dan kuantitas pangan yang

dikonsumsinya (Khomsan 2000).

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan merupakan hal penting dalam memenuhi kebutuhan

zat gizi pada remaja. Konsumsi pangan yang bergizi akan membantu remaja

dalam proses pertumbuhan tubuh dan perkembangan mental. Konsumsi pangan

merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan

(dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Konsumsi

pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang

dikonsumsi. Pengukuran yang dapat digunakan untuk mengetahui konsumsi

pangan adalah metode frekuensi pangan yang dalam pelaksanaannya dilakukan

pencatatan frekuensi atau banyaknya penggunaan pangan yang biasanya

(22)

Penggunaan metode frekuensi pangan bertujuan untuk memperoleh data

konsumsi secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi.

Frekuensi konsumsi pangan dikategorikan menjadi empat kategori yang

dimodifikasi dari Gibson (2005) yaitu selalu (1 kali sehari hingga lebih dari 1 kali

sehari), kadang-kadang (3-6 kali seminggu), jarang (1 atau 2 kali seminggu), dan

tidak pernah. Dari data frekuensi pangan dapat diketahui jenis pangan yang

dikonsumsi.

Metode frekuensi pangan, dapat dilakukan dengan menggunakan

kuesioner frekuensi pangan atau food frequency quitionaire (FFQ) maupun

modifikasi terhadap FFQ yaitu metode kuesioner pangan semikuantitatif (FFQ

semikuantitatif), dengan menambahkan patokan ukuran rumah tangga (URT) dan

berat pangan (gram). Menurut Widajanti (2009), metode FFQ semikuantitatif

memudahkan dalam mendapatkan variasi, frekuensi dan kuantitas pangan

sehingga zat gizi dapat dikorelasikan dengan Indeks Massa Tubuh (IMT),

Hemoglobin, kadar lemak tubuh, status penyakit, sosial-ekonomi, kondisi atau

kesehatan lingkungan dan perilaku seseorang atau masyarakat.

Konsumsi pangan yang dilihat melalui FFQ semikuantitatif, dapat

diketahui berat dan porsi yang dikonsumsi seseorang. Berat dan porsi yang

diperoleh dapat dibandingkan dengan anjuran konsumsi rata-rata sehari

berdasarkan PUGS 2005. Pedoman umum gizi seimbang (PUGS) menganjurkan

agar 60-75% kebutuhan energi diperoleh dari karbohidrat terutama karbohidrat

kompleks. Tingkat kecukupan energi yang defisit dalam jangka waktu tertentu

dapat mengakibatkan tubuh kekurangan energi sehingga mengalami

keseimbangan energi yang negatif akibat lebih banyak energi yang dikeluarkan

daripada energi yang masuk. Jika keadaan ini tidak segera diperbaiki dapat

menyebabkan penurunan berat badan dan kerusakan jaringan tubuh (Almatsier

2008).

Bioavailabilitas Zat Besi

Zat besi merupakan salah satu mineral mikro yang paling banyak terdapat

di dalam tubuh manusia, yakni sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia

dewasa (Almatsier 2008). Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam

tubuh, yaitu sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh,

sebagai alat angkut elektron di dalam sel dan sebagai bagian terpadu berbagai

reaksi enzim di dalam jaringan tubuh (Almatsier 2008). Makanan yang

(23)

adalah makanan yang berasal dari hewan, khususnya daging, ayam dan ikan.

Daya serap dan nilai biologi zat besi makanan dipengaruhi oleh empat hal, yaitu

ketersediaan zat besi dalam tubuh, bioavailabilitas zat besi, dan faktor

penghambat dan pemicu, serta cara pengolahan makanan.

Zat besi dalam makanan ada yang berbentuk zat besi heme (heme iron)

seperti yang terdapat dalam daging, ayam, ikan, dan hati, sedangkan zat besi

bukan heme (non heme) seperti yang terdapat dalam susu, telur, beras dan

sereal lainya, sayur dan buah-buahan. Zat besi dalam bentuk heme lebih mudah

diserap dibandingkan dengan zat besi non heme. Zat besi heme dapat diserap

20-30% dalam keadaan normal dan 40-50% pada penderita anemia, sedangkan

besi non heme dapat diserap sebanyak 5% dan tergantung dengan ada tidaknya

zat pemicu atau penghambat (Soekirman 2000). Tidak semua zat besi yang

berada dalam makanan dapat diserap oleh tubuh karena bioavailabilitasnya yang

rendah atau kurangnya asupan pangan hewani.

Perhitungan perkiraan penyerapan besi dapat didasarkan pola konsumsi

makanan yaitu; 1) penyerapan besi tinggi (15%), 2) penyerapan besi sedang

(10%) dan 3) penyerapan besi rendah (5%). Pada makanan yang porsi sumber

hewaninya besar maka penyerapan besi menjadi maksimal. Sebaliknya menu

makanan yang sebagian besar terdiri dari sumber nabati, penyerapan besi

menjadi minimal (WNPG 2004). Hal ini dikarenakan konsumsi besi dalam bentuk

heme mempunyai keuntungan ganda, yakni selain mudah diserap (23%)

dibanding besi dari non heme (2-20%), besi dalam bentuk heme juga membantu

penyerapan besi non heme.

Vitamin C merupakan zat gizi yang dapat membantu penyerapan zat besi

(enhancer). Adapun jenis pangan yang mengandung vitamin C, seperti pepaya,

jambu biji, pisang, mangga, jeruk, apel, nanas dan lain sebagainya. Vitamin C

juga dapat memperbaiki status hematologi dengan mekanisme lain, yaitu

mengurangi pengaruh inhibitor pada komponen pangan nabati (seperti tanin

pada teh). Konsumsi vitamin C juga dapat meningkatkan penyerapan empat kali

besi non-heme (Briawan 2008). Kurangnya vitamin C dalam tubuh dapat

mengakibatkan terganggunya penyerapan besi, karena vitamin C membentuk

besi-askorbat yang tetap larut pada pH di dalam duodenum sehingga dapat pula

menyebabkan terjadinya anemia (Almatsier 2008). Selain itu, defisiensi vitamin C

(24)

secara langsung dalam mencegah anemia, atau secara tidak langsung

meningkatkan penyerapan zat besi dari pangan nabati (non heme).

Selain vitamin C, vitamin A juga dapat mempengaruhi penyimpanan atau

metabolisme serta dapat mempengaruhi diferensiasi sel darah merah, sementara

vitamin C membantu dalam penyerapan sumber non heme, merubah bentuk besi

ferritin dan membantu stabilisasi ferritin (Groff dan Gropper 2000). Menurut

Charles et al. (2012), menyebutkan bahwa vitamin A sangat penting untuk

hematopoesis dan diperlukan untuk mobilisasi besi dalam sintesis hemoglobin.

Faktor-faktor yang dapat menghambat penyerapan besi diantaranya,

adanya asam fitat, asam oksalat, tanin, kalsium dosis tinggi dan konsumsi

obat-obatan yang bersifat basa seperti antasid. Jenis bahan pangan yang yang

mengandung fitat seperti yang terdapat dalam bekatul, beras, jagung, susu

cokelat, protein kedelai, dan kacang-kacangan merupakan bahan pangan yang

dapat menghambat penyerapan besi. Selain itu, seperti polifenol yang terdapat

pada teh, kopi, bayam, dan kacang-kacangan juga dapat menghambat

penyerapan besi (Soekirman 2000). Menurut Almatsier (2008), kandungan fitat

yang terdapat dalam serat serealia dapat mengikat besi sehingga mempersulit

penyerapannya. Selain itu, zat besi yang terkandung dalam kedelai dan hasil

olahannya cukup tinggi, hasil akhir terhadap penyerapan zat besi pun biasanya

akan positif.

Walaupun sumber zat besi terutama besi heme, yang memiliki nilai

bioavailabilitas yang tinggi, namun sangat jarang dikonsumsi oleh remaja.

Apabila makanan yang dikonsumsi oleh remaja tidak beragam (hanya berasal

dari jenis nabati) maka kurang terpenuhinya ketersediaan zat besi dalam

tubuhnya, akan tetapi bila remaja mengonsumsi makanan yang berasal dari

pangan hewani dapat meningkatkan penyerapan zat besi seperti daging, ayam,

ikan dan vitamin C maka ketersediaan zat besi dalam makanan dapat

ditingkatkan sehingga kebutuhan zat besi akan terpenuhi (Husaini 1989).

Status Gizi

Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan antara

konsumsi dan penyerapan zat gizi. Beberapa cara untuk mengukur status gizi

yaitu dengan pengukuran antopometri, klinik dan laboratorium. Selain itu,

pengukuran status gizi dapat dilakukan secara tidak langsung menggunakan

survei konsumsi dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.

(25)

Remaja putri yang berstatus gizi baik akan lebih cepat mengalami pertumbuhan

badan dan menstruasi dibandingkan yang memiliki status gizi kurang (ACC/SCN

1991).

Pengukuran status gizi secara antropometri merupakan suatu metode

untuk mengukur dimensi dan komposisi tubuh. Pengukuran antropometri juga

berbeda sesuai dengan umur (jenis kelamin dan ras) dan tingkatan gizi individu

(Gibson 2005). Status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur berat badan

(BB) dan tinggi badan (TB) sesuai umur, akan tetapi dapat juga diketahui dengan

menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) sesuai umur. Antropometri sangat

penting pada masa remaja karena dapat memonitor dan mengevaluasi

perubahan pertumbuhan dan kematangan yang dipengaruhi oleh faktor

hormonal. Menurut Riyadi (2003), pengukuran status gizi pada remaja yang

paling realible adalah dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT

didapatkan dengan cara membagi berat badan dalam kilogram dengan tinggi

badan dalam satuan meter yang dikuadratkan. Indeks IMT/U digunakan untuk

indikator status gizi dengan rentang usia 9-24 tahun berdasarkan nilai skor.

Z-skor merupakan deviasi atau simpangan dari nilai median populasi refrensi, yang

dibagi dengan standar populasi refrensi.

Z-skor =

IMT menurut umur direkomendasikan sebagai indikator terbaik untuk

remaja. Hasil analisis data RISKESDAS (2010) indikator IMT/U memerlukan

informasi tentang umur dan juga telah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh

total pada persentil atas serta indikator IMT/U diketahui dengan cara menghitung

berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (m2) kemudian hasil yang didapatkan dibandingkan dengan refrensi IMT pada umur yang sama dengan

anak yang nilai status gizinya. Kategori IMT/U anak dan remaja berdasarkan

WHO (2007), yaitu sangat kurus (<-3 SD), kurus (-3 SD ≤ z <-2 SD), normal (-2

SD ≤ z ≤+1 SD), overweight (+1 SD < z ≤+2 SD) dan obese (>+2 SD). Berdasarkan hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005), menunjukkan

bahwa remaja yang mempunyai IMT kurang atau tubuh kurus mempunyai risiko

1.5 kali untuk mengalami anemia. Selain itu IMT juga memiliki nilai korelasi positif

dengan konsentrasi hemoglobin.

Anemia

Anemia merupakan masalah gizi yang tergolong besar dan sangat umum.

(26)

kasus pada pria. Anemia terjadi apabila kepekatan hemoglobin dalam darah di

bawah batas normal. Kadar hemoglobin normal pada wanita berkisar antara

12-14 g/dl (Almatsier 2008). Anemia gizi besi dapat terjadi melalui banyak faktor

yaitu; 1) asupan zat besi dan bioavailabilitas, 2) meningkatnya kebutuhan zat

besi dalam tubuh khususnya pada ibu hamil, anak-anak dan remaja, 3)

kehilangan banyak darah karena menstruasi, ulcers ataupun infeksi karena

parasit (cacing tambang), 4) gangguan penyerapan karena adanya infeksi dan

atau bersamaan dengan defisiensi mikronutrien lainnya (Charles et al. 2012). Hal

ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Dreyfuss et al. (2000) menunjukkan

bahwa infeksi cacing berhubungan kuat dengan berkurangnya cadangan zat

besi.

Batas ambang anemia untuk wanita usia 11 tahun keatas adalah apabila

konsentrasi atau kadar hemoglobin dalam darah kurang dari 12 g/dl (WHO

2001). Penggolongan anemia menjadi ringan, sedang dan berat belum terdapat

keseragaman mengenai penggolongan anemia, akan tetapi untuk mempermudah

dalam pengobatan, menurut ACC/SCN (1991) anemia dapat digolongkan

menjadi tiga berdasarkan kadar hemoglobin:

Tabel 1 Penggolongan anemia berdasarkan kadar hemoglobin

Anemia Hb (g/dl)

Sebelum terjadinya anemia biasanya terjadi kekurangan zat besi secara

perlahan. Menurut Almatsier (2008), kekurangan zat besi terjadi dalam tiga

tahap. Tahap pertama terjadi ketika simpanan besi berkurang yang dapat dilihat

dari penurunan ferritin dalam plasma hingga 12 µg/L. Hal ini dikompensasi

dengan peningkatan absorbsi besi yang terlihat dari peningkatan kemampuan

daya ikat besi (Total Iron Binding Capacity/TIBC) dan belum terlihat adanya

perubahan fungsional pada tubuh. Tahap kedua dapat terlihat dari semakin

berkurangnya simpanan besi, menurunnya transferin dan meningkatnya

protoporfirin yaitu bentuk awal (precursor) heme, serta kadar hemoglobin di

dalam darah masih 95% dari kadar normal. Hal ini dapat mengganggu

metabolisme energi, sehingga dapat menyebabkan menurunkan kemampuan

bekerja. Tahap ketiga terjadi anemia gizi besi, dimana kadar hemoglobin turun di

bawah kadar normal yang ditandai oleh hemoglobin menurun (hypocromic) dan

(27)

Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa prevalensi anemia

sebesar 32-55%, bahkan di negara maju, sekitar 20 sampai 30% dari wanita usia

subur memiliki simpanan besi dalam jumlah sedikit (Allen dan Gillespie 2001).

Berdasarkan hasil penelitian Dwiriani et al. (2011) 14.3% remaja putri mengalami

anemia ringan dan 0.9% mengalami anemia sedang yang dilihat berdasarkan

kadar Hb. WHO mengklasifikasikan tingkatan kejadian anemia menurut besarnya

prevalensi yaitu <15% tergolong rendah, 15-40% sedang dan >40% tinggi (Allen

dan Gillespie 2001).

Dampak anemia terhadap remaja putri dapat menyebabkan berbagai hal

seperti penurunan kebugaran, pertumbuhan yang terganggu, penurunan

produktifitas, serta pengaruh terhadap kesehatan seperti mengalami 5L (lemah,

letih, lesu, lelah dan lunglai). Pengaruh rasa cepat lelah disebabkan karena

metabolisme energi oleh otot tidak berjalan dengan sempurna karena otot

kekurangan oksigen. Salah satu ciri anemia adalah kekurangan hemoglobin,

yang berarti alat angkut oksigen berkurang sehingga untuk menyesuaikan

dengan berkurangnya oksigen maka otot membatasi produksi energi dan

mengakibatkan cepat lelah (Soekirman 2000).

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara

anemia dan gangguan fungsi otak dan perilaku kognitif. Anemia dapat

menurunkan kinerja fisik, hambatan perkembangan dan menurunkan kognitif

selain itu juga dapat menurunkan daya tahan tubuh (WNPG 2004). Kekurangan

zat besi karena anemia mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan

atau kematangan sel otak serta menghambat produksi dan pemecahan zat

senyawa transmiter yang diperlukan untuk mengantar rangsangan pesan dari

satu sel neuron ke neuron lainnya. Gangguan ini dapat berpengaruh pada kinerja

otak (Soekirman 2000).

Anemia dapat mempengaruhi tingkat kesegaran jasmani seseorang.

Dalam penelitian Permaesih dan Herman (2005), menunjukkan 25% remaja di

Bandung mempunyai kesegaran jasmani kurang dari normal. Aktifitas fisik erat

kaitannya dengan kesehatan tubuh secara keseluruhan. Aktifitas penting untuk

mengetahui apakah aktivitas tersebut dapat mengubah status zat besi.

Kemampuan aktivitas akan menurun berkaitan dengan penurunan konsentrasi

hemoglobin dan jaringan yang mengalami defisiensi besi.

Indikator paling umum yang digunakan untuk mengetahui kekurangan

(28)

serta kadar hemoglobin darah. Selain itu, dapat juga dilihat berdasarkan kadar

ferritin. Kadar hemoglobin kurang peka terhadap tahap awal kekurangan besi,

akan tetapi akan berguna untuk mengetahui beratnya anemia yang dialami

(Almatsier 2008).

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Perilaku hidup bersih dan sehat mencerminkan perilaku seseorang dalam

menjaga kebersihan diri guna mencegah terjadinya penyakit. Menurut Depkes

(2004), perilaku hidup bersih dan sehat adalah perilaku proaktif untuk

memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah risiko terjadinya penyakit,

melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam gerakan

kesehatan masyarakat. Indikator PHBS digunakan sebagai alat ukur dalam

menilai keadaan atau permasalahan kesehatan. Indikator PHBS terbagi dalam

berbagai bidang yaitu bidang kesehatan lingkungan, pemeliharaan kesehatan,

gaya hidup sehat, obat dan farmasi, gizi, serta KIA dan kesehatan balita (Depkes

2006).

Indikator kesehatan lingkungan terdiri dari 1) cuci tangan dengan sabun

dan air setelah buang air besar, 2) menghuni rumah sehat, 3) memiliki akses dan

menggunakan air bersih, 4) memiliki akses dan menggunakan jamban, 5)

memberantas jentik nyamuk dan 6) membuang sampah di tempat sampah.

Sedangkan indikator PHBS bidang gaya hidup sehat yaitu 1) tidak merokok di

dalam maupun di luar rumah, 2) melakukan aktivitas fisik/olahraga setiap hari, 3)

makan sayur dan buah-buahan setiap hari (Depkes 2006).

Perilaku hidup sehat erat kaitannya dengan higiene perorangan. Higiene

perorangan meliputi kebersihan kulit, rambut, kuku, mata, telinga, gigi, mulut,

tangan, kaki dan kebersihan sesudah buang air besar (Depkes 2004).

Terbiasanya mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dengan sabun

diharapkan dapat menghilangkan kuman-kuman dan telur cacing yang terdapat

pada tangan, yang kemudian dapat menyebabkan kecacingan karena masuk ke

dalam mulut melalui tangan. Tangan yang bersentuhan langsung dengan kotoran

manusia dan hewan, ataupun cairan tubuh lain seperti ingus dan air ludah dapat

terkontaminasi oleh kuman-kuman penyakit seperti bakteri, virus dan parasit

yang dapat menempel pada permukaan kulit.

Menurut Depkes (2006) tangan akan bebas dari kuman penyakit apabila

cuci tangan dengan baik dan benar. Cuci tangan menggunakan sabun adalah

(29)

menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk menjadi bersih dan

memutuskan mata rantai kuman. Mencuci tangan dengan sabun dikenal juga

sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit, karena mencuci tangan dengan

air saja tidak cukup.

Faktor Risiko Anemia Riwayat Penyakit

Status kesehatan seseorang berpengaruh terhadap daya tahan tubuh

dalam melawan berbagai jenis penyakit. Menurut Permaesih dan Herman (2005),

anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga tubuh mudah terkena

infeksi. Infeksi merupakan salah satu penyebab terjadinya anemia dan anemia

merupakan konsekuensi dari peradangan dan asupan makanan yang tidak

memenuhi kebutuhan zat besi (Thumham dan Northrop-Clewes 2007). Jika

terjadi infestasi parasit, schistosomiasis dan trauma dapat menyebabkan

kehilangan darah serta terjadinya defisiensi besi yang berakibat terhadap sistem

imun (Arisman 2007). Angka kesakitan akibat penyakit infeksi meningkat pada

populasi defisiensi besi akibat efek yang merugikan terhadap sistem imun (WHO

2001).

Penyakit infeksi seperti malaria dapat menyebabkan rendahnya kadar

hemoglobin, hal ini terjadi akibat hemolisis sel darah merah. Hasil penelitian

Dreyfuss et al. (2000) yang dilakukan terhadap wanita hamil di Nepal terdapat

bukti bahwa malaria berhubungan dengan defisiensi besi. Hasil penelitian

Veryana (2004) menunjukkan 0.9% remaja putri di Kota Bekasi tidak memiliki

riwayat penyakit yang berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberkulosis

dan kecacingan. Berbeda dengan hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005)

yang menunjukkan sakit yang diderita contoh baik satu tahun atau satu bulan

sebelumnya berhubungan secara bermakna dengan status anemia. Penyakit

infeksi terutama malaria, kecacingan dan infeksi lainnya seperti tuberkulosis

merupakan faktor penting yang memberikan kontribusi terhadap tingginya

prevalensi anemia di banyak populasi (WHO 2004). Hasil penelitian Permaesih

dan Herman (2005), menerangkan bahwa kejadian sakit baik satu tahun atau

satu bulan sebelumnya berhubungan secara bermakna denga status anemia.

Riwayat Kecacingan

Infeksi yang disebabkan oleh cacing tambang mengakibatkan terjadinya

pendarahan pada dinding usus, walaupun infeksi yang ditimbulkan tidak besar

(30)

infeksi cacing tambang yang menyebabkan anemia defisiensi zat besi bervariasi

menurut spesies dan status zat besi dalam tubuh. Spesies cacing tambang yang

menyebabkan banyak kehilangan darah adalah Ancylostoma duodenale

(Dreyfuss et al. 2000). Cacing tambang dapat menginfeksi seseorang baik

secara pasif melalui makanan dan aktif melalui kulit.

Faktor yang menyebabkan timbulnya masalah infeksi adalah kuku siswa

yang kotor, adanya kebiasaan mengonsumsi jajanan yang kotor serta kebiasaan

tidak memakai alas kaki (Veryana 2004). Menurut Dreyfuss et al. (2000), adanya

infeksi cacing dapat menyebabkan pendarahan pada usus, meskipun sedikit

tetapi terjadi secara terus menerus sehingga dapat mengakibatkan kehilangan

darah. Selain itu, infeksi yang disebakan oleh cacing tambang dapat

menyebabkan kehilangan darah antara 2-100 cc/hari, tergantung dari beratnya

infestasi (Arisman 2007).

Menstruasi

Pada remaja putri kehilangan darah secara alamiah setiap bulan atau

yang diketahui dengan menstruasi. Anemia pada remaja putri disebabkan karena

pada masa ini remaja putri membutuhkan zat gizi yang lebih banyak. Rata-rata

kebutuhan zat besi pada remaja putri berkisar antara1.2-1.68 mg yang digunakan

untuk mengganti besi yang hilang secara basal (0.68-0.79 mg/hari) dan haid

(0.48-1.9 mg/hari). Jika darah yang keluar selama menstruasi berlangsung

sangat banyak, maka akan terjadi anemia defisiensi zat besi. Saat menstruasi

terjadi pengeluaran darah dari tubuh yang menyebabkan zat besi yang

terkandung dalam hemoglobin juga ikut terbuang (Affandi 1990).

Sebagian besar remaja akan mendapat haid pertama pada umur 10-12

tahun (Affandi 1990). Usia menarche wanita bila kurang dari 10 tahun tergolong

cepat, 10-14 tahun tergolong normal dan lebih dari 14 tahun tergolong lambat

(Pearce 1992). Usia pertama kali menstruasi pada umumnya tertunda pada

seseorang dengan status gizi underweight. Dalam 1-4 tahun pertama setelah

menarche, biasanya ovulasi (pelepasan sel telur) belum terjadi. Hal ini yang

dapat menyebabkan menstruasi lama dan banyak serta tidak teratur

Lama menstruasi pada setiap wanita biasanya antara 3 sampai 5 hari,

ada yang 1 sampai 2 hari dan diikuti darah sedikit-sedikit, dan ada yang 7 sampai

8 hari. Sebagian besar peneliti menemukan bahwa rata-rata lama menstruasi 3

sampai 5 hari dianggap normal dan lebih dari 8 sampai 9 hari tidak normal

(31)

dan berakhir tepat sebelum siklus menstruasi berikutnya. Umumnya siklus

menstruasi berkisar antara 21-40 hari. Hanya 10-15% wanita yang memiliki siklus

28 hari. Beberapa faktor yang menggangu kelancaran siklus menstruasi, yaitu

faktor stress, perubahan berat badan dan olah raga yang berlebihan.

Ketidakteraturan menstruasi merupakan suatu proses fisiologis wanita yang

berkaitan dengan berbagai organ, hormon dan susunan syaraf pusat (Affandi &

Danukusumo 1990).

Beberapa penelitian membuktikan bahwa jumlah darah yang hilang

selama periode haid berkisar antara 20-25 cc. jumlah ini menyiratkan kehilangan

zat besi sebesar 12.5-15 mg/bulan, atau sama dengan 0.4-0.5 mg sehari. jika

jumlah tersebut ditambah dengan kehilangan basal, jumlah total zat besi yang

hilang sebesar 1.25 mg/hari (Arisman 2007). Semakin sering menstruasi

berlangsung, maka semakin banyak pengeluaran dari tubuh. Hal tersebut dapat

mengakibatkan pengeluaran besi meningkat dan keseimbangan zat besi dalam

tubuh tergangu (Depkes 1998).

Keadaan Lingkungan

Sanitasi lingkungan sangat mempengaruhi kesehatan dan kebersihan

lingkungan. Sementara lingkungan yang bersih dan sehat menjadi indikator

kesehatan seseorang. Selain itu, lingkungan yang bersih dan sehat akan

mencegah penularan penyakit (Sukandar 2007). Lingkungan berpengaruh

terhadap terjadinya penyakit dan hal ini sudah sejak lama diperkirakan oleh

orang (Slamet 1996). Lingkungan berpengaruh pada terjadinya penyakit karena

penyakit terjadi akibat adanya interaksi antara manusia dengan lingkungan

hidupnya.

Keadaan lingkungan rumah dapat menunjang kesehatan. Adapun

persyaratan rumah sehat diantaranya 1) lantai rumah harus mudah dibersihkan,

2) atap rumah tidak mudah bocor, 3) dinding rumah yang baik dapat dicat dan

dibersihkan, 4) ventilasi udara yang dilengkapi lubang angin, 5) rumah harus

mendapatkan cahaya yang cukup, 6) rumah harus memiliki sumber air bersih, 7)

jumlah kamar mandi disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga, 8) rumah

harus memiliki sarana pembuangan air limbah dan 9) kandang ternak harus

terpisah cukup jauh dari rumah (Sukandar 2007).

Limbah yang paling banyak berada ditengah masyarakat adalah sampah.

Sampah merupakan limbah keluarga yang banyak ditemui di sekitar lingkungan

(32)

langsung maupun tidak langsung. Efek langsung adalah efek yang disebabkan

karena kontak langsung dengan limbah tersebut, misalnya limbah beracun,

limbah korosif terhadap tubuh dan lain sebagainya. Efek tidak langsung dapat

dirasakan masyarakat akibat proses pembusukan, pembakaran dan

pembuangan limbah. Pengaruhnya terhadap kesehatan dapat terjadi karena

tercemarnya air, tanah dan udara. Efek tidak langsung lainnya berupa penyakit

bawaan vektor yang berkembang biak dalam limbah, seperti diare, kecacingan,

(33)

KERANGKA PEMIKIRAN

Perilaku remaja dalam menentukan pilihan mengonsumsi makanan

dipengaruhi karakteristik keluarga (pendidikan, pendapatan dan pekerjaan orang

tua) dan karakteristik individu (umur, pengetahuan gizi dan lama menstruasi).

Karakteristik keluarga akan mempengaruhi kebiasan makan individu dan pola

konsumsi pangan yang baik. Pengetahuan gizi dan umur merupakan karakteristik

remaja sebagai faktor yang dapat mempengaruhi kebiasaan makan dan pola

konsumsi pangan yang akan berpengaruh terhadap status gizi serta status

anemia.

Kondisi lingkungan akan mempengaruhi kebiasaan dalam berperilaku

hidup bersih dan sehat pada remaja. Kondisi lingkungan meliputi keadaan rumah

dan penggunaan air bersih. Selain itu, dengan terbiasanya berperilaku hidup

bersih dan sehat maka akan terhindar dari penyakit serta risiko anemia. Karena

salah satu faktor yang mempengaruhi anemia adalah perilaku hidup bersih dan

sehat. Status kecacingan pada remaja dapat mempengaruhi terjadinya anemia.

Karena dengan adanya cacing dalam tubuh dapat menyebabkan terganggunya

penyerapan zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Selain itu, riwayat penyakit

pada remaja putri juga berpengaruh terhadap terjadinya anemia.

Status gizi merupakan suatu ekspresi dari keadaan keseimbangan pada

diri seseorang. Penentuan status gizi dipengaruhi oleh asupan makanan yang

menunjangnya yaitu berdasarkan pola konsumsi pangan. Pola konsumsi

makanan dilihat dari jenis dan frekuensi pangan. Berdasarkan jenis pangan

terdapat beberapa jenis pangan yang dapat menjadi faktor pemicu dan

penghambat dalam penyerapan zat besi sehingga dapat menyebabkan anemia.

Faktor pemicu penyerapan zat besi dapat dibantu dari bahan makanan yang

berasal dari pangan hewani dan nabati. Faktor penghambat penyerapan zat besi

berasal dari bahan makanan teh, kopi, cokelat dan beberapa jenis sayuran.

Selain itu, konsumsi pangan sumber zat besi (Fe), vitamin C, vitamin A dan

protein juga membantu dalam proses penyerapan zat besi dalam tubuh yang

dapat berpengaruh terhadap status anemia pada remaja. Status gizi pada remaja

dapat mempengaruhi status anemia. Remaja yang memiliki status gizi yang baik

ditunjang dengan konsumsi makanan yang cukup memenuhi kebutuhan gizi.

Apabila asupan makanan yang kurang akan dapat mengurangi zat gizi yang

diperlukan, salah satunya adalah zat besi yang akan mengakibatkan terjadinya

(34)
(35)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan menggunakan desain

Cross sectional study untuk mencapai tujuan penelitian. Penelitian dilakukan di

SMP Negeri 27 Bekasi dan wilayah Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantar

Gebang, Kota Bekasi. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive,

dengan pertimbangan banyaknya anak-anak keluarga pemulung yang

bersekolah di SMP Negeri 27 dan lokasinya yang berdekatan dengan TPA

Bantar Gebang. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan

Desember 2012.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Populasi sampel dalam penelitian ini adalah remaja putri keluarga

pemulung yang terdapat di SMP Negeri 27 dengan usia 13-15 tahun. Metode

penarikan contoh dilakukan secara purposive sampling. Kriteria inklusi yang

digunakan adalah 1) siswi SMP Negeri 27 Bekasi, 2) pekerjaan orang tua

sebagai pemulung, 3) bertempat tinggal di wilayah Kelurahan Sumur Batu,

Kecamatan Bantar Gebang Bekasi, 4) bersedia menandatangani surat

pernyataan ikut serta (informed consent) dalam penelitian, 5) sudah mengalami

menstruasi, 6) tidak dalam keadaan sakit, dan 7) tidak sedang mengonsumsi

obat-obatan. Jumlah contoh ditentukan dengan menggunakan asumsi power of

study 95%, presisi 10%, dan prevalensi anemia pada remaja putri 32.4%, dengan

menggunakan rumus study cross sectional menurut Lemeshowb dan David

(1997) sehingga didapatkan 50 orang. Berikut ini adalah perhitungan sampel :

n

Keterangan :

n = jumlah sampel minimal yang diperlukan

α = derajat kepercayaan (α = 0.05 = 1.96)

Z = nilai pada distribusi normal standar p = prevalensi anemia remaja putri 32.4% q = 1 – p

d = presisi/batas kevalidan yang diinginkan pada populasi N = jumlah populasi remaja putri keluarga pemulung 122 orang

Pemilihan contoh dilakukan dengan membagikan kuesioner kepada

(36)

pemulung adalah 122 orang dan didapatkan minimal sampel sebanyak 50 orang.

Berdasarkan kriteria inklusi yang digunakan didapatkan 72 orang remaja putri

keluarga pemulung yang bersedia menandatangani informed consent dan ikut

serta dalam kegiatan penelitian sampai dengan selesai.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dengan menggunakan

kuesioner dan pengamatan secara langsung. Jenis data primer meliputi data

karakteristik contoh, pengetahuan gizi, kebiasaan makan, perilaku hidup bersih

dan sehat, riwayat penyakit, riwayat kecacingan, dan keadaan lingkungan tempat

tinggal. Pengamatan secara langsung dilakukan untuk melihat PHBS, kebiasaan

makan dan keadaan lingkungan tempat tinggal contoh. Data sekunder yang

digunakan meliputi gambaran umum Kelurahan Sumur Batu yang didapatkan

dari Kantor Kelurahan Sumur Batu, gambaran umum SMP Negeri 27 Bekasi, dan

himpunan data pribadi siswa. Jenis dan cara pengumpulan data contoh terdapat

pada Tabel 2.

Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data

No Variabel Jenis data Cara pengumpulan data

1 Karakteristik keluarga :

5 Lingkungan tempat tinggal

- Jenis rumah - Jenis lantai

- Jumlah penghuni rumah

- Jumlah kamar (7 m2/orang)

- Ventilasi udara (15% dari luas lantai)

- Ketersediaan jamban - Penggunaan air bersih

Ketersediaan tempat pembuangan sampah

- Jarak rumah dengan sumber pencemaran (minimal 5 km) - Jarak rumah dengan kandang

Primer Wawancara dengan alat

(37)

Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data (lanjutan)

No Variabel Jenis data Cara pengumpulan data

6

(minimal 10 m)

Perilaku hidup bersih dan sehat - Kebiasaan mencuci tangan - Kebiasaan merokok

- Konsumsi makanan beragam - Kebiasaan penggunaan jamban - Kebiasaan olahraga

- Frekuensi sakit (2 bulan terakhir)

Primer Wawancara dengan alat

12 Gambaran umum Kelurahan Sumur

Batu

Sekunder Profil Kelurahan Sumur Batu

- Bekasi

13 Gambaran umum SMP Negeri 27

Bekasi

Sekunder Profil SMP Negeri 27 Bekasi

Data status gizi antropometri diketahui melalui pengukuran tubuh yaitu

berat badan dan tinggi badan. Status anemia diketahui berdasarkan kadar Hb

(hemoglobin) melalui pengambilan sampel darah yang dilakukan oleh petugas

laboratorium Parahita Diagnostic Center. Sampel darah yang didapatkan,

dikumpulkan dan dibawa ke laboratorium Parahita Diagnostic Center untuk

dilakukan analisis yang kemudian dilakukan pengukuran biokimia darah dengan

menggunakan metode Cyanmethemoglobin untuk menentukan konsentrasi

hemoglobin. Data jenis, jumlah dan frekuensi konsumsi pangan sumber heme

dan non heme diperoleh dengan menggunakan metode kuesioner pangan

semikuantitatif (FFQ semikuantitatif) selama satu bulan dengan melalukan

wawancara dengan menggunakan alat bantu kuesioner.

Cara Pengolahan dan Analisis Data

Proses pengolahan data meliputi editing, coding, scoring, entry dan

(38)

menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0 for Windows.

Uji statistik yang digunakan adalah uji korelasi pearson, uji korelasi spearman

dan regresi linear. Uji korelasi pearson digunakan untuk melihat hubungan antar

karakteristik contoh yaitu kadar hemoglobin contoh, usia menstruasi dan IMT

contoh. Uji korelasi spearman untuk melihat hubungan antara kadar hemoglobin

terhadap kebiasaan makan, perilaku hidup bersih dan sehat, karakteristik

menstruasi, keadaan lingkungan, riwayat kecacingan, tingkat kecukupan zat gizi

dan frekuensi konsumsi pangan. Berikut ini adalah jenis dan kategori variabel

yang dijelaskan pada Tabel 3.

Tabel 3 Kategori dan variabel

selalu (1 kali sehari sampai dengan lebih dari 1 kali sehari)

kadang-kadang (3-6 kali seminggu) jarang (1 atau 2 kali seminggu)

Defisit tingkat berat (<70% kebutuhan) Defisit tingkat sedang (70-79%

kebutuhan)

(39)

Kuesioner yang digunakan dalam penelitian disusun dalam bentuk

correct-answer multiple choice dan pertanyaan dalam bentuk tertutup dengan

pilihan jawaban Ya atau Tidak. Pertanyaan dalam bentuk tertutup memiliki nilai 1

untuk jawaban tidak dan nilai 3 untuk jawaban ya. Pertanyaan dalam bentuk

correct-answer multiple choice yang memiliki skor 1 untuk opsi jawaban benar

dan 0 untuk opsi jawaban salah. Pertanyaan yang berkaitan mengenai PHBS,

kebiasaan makan, riwayat kecacingan, menstruasi dan keadaan lingkungan

memiliki skor 1 untuk jawaban tidak pernah, nilai 2 untuk jawaban

kadang-kadang dan 3 untuk jawaban selalu. Penentuan kategori digolongkan

berdasarkan nilai skor dengan menggunakan interval kelas Slamet (1993),

dengan cara membandingkan antara nilai tertinggi yang dikurangi dengan nilai

terendah kemudian dibagi dengan kategori yang diinginkan. Kategori yang

digunakan dilihat berdasarkan nilai skor yang didapatkan. Berikut ini adalah

rumus perhitungan interval:

Interval kelas =

Pendidikan orang tua dikategorikan menjadi empat kategori, yaitu SD,

SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Pekerjaan orang tua meliputi pemulung,

pedagang, IRT, dan lain-lain. Pendapatan orang tua didapatkan dari pendapatan

perkapita keluarga kemudian dibandingkan dengan garis kemiskinan Provinsi

Jawa Barat 2011. Status anemia diketahui dengan melalui analisis secara

biokimia di laboratorium. Kategori anemia pada remaja putri dilihat berdasarkan

kadar hemoglobin dibagi menjadi empat golongan, yaitu berat <7.0 g/dl, sedang

7.0-9.9 g/dl, ringan 10.0-11.9 g/dl dan normal ≥12.0 g/dl (ACC/SCN 1991).

Pengukuran status gizi dengan metode antropometri dilakukan dengan

menimbang berat badan (kg) dan mengukur tinggi badan (m2). Indikator penentuan status gizi berdasarkan IMT/U dihitung menggunakan software WHO

anthroplus 2007.

Data jenis dan frekuensi konsumsi pangan sumber heme dan non heme

diperoleh dengan menggunakan metode kuesioner pangan semikuantitatif (FFQ

semikuantitatif) selama satu bulan. Data kandungan gizi bahan makanan

dikonversikan ke dalam energi dan zat gizi dengan menggunakan DKBM

(daftar komposisi bahan makanan). Data konsumsi pangan yang didapatkan

dihitung kandungan gizi dari setiap bahan pangan dengan menggunakan rumus

Gambar

Gambaran Umum Lokasi Penelitian .......................................................
Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data (lanjutan)
Tabel 3 Kategori dan variabel
Tabel 5 Sebaran tingkat pendidikan orang tua
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada sistem penyortiran ini, program dibuat agar dapat menerima input dari NRF24L01 yang dikirimkan dari modul server dan memberikan output lagi ke NRF24L01 mengirim

Hubungan Kadar Hormon Tiroid Dengan Mortalitas Pada Anak Sakit

Penelitian ini bertujuan untuk mengaplikasikan dua bakteri asam laktat probiotik indigenus yang diisolasi dari daging sapi di beberapa pasar tradisional wilayah

Warna buah cepat sekali berubah oleh pengaruh fisika misalnya sinar matahari dan pemotongan, serta pengaruh biologis (jamur) sehingga mudah menjadi busuk. Pengolahan pepaya untuk

Bangsa Jerman kemudian memandang persatuan (Einheit), pembagian kekuasaan agar tidak tertumpuk pada satu orang (die Macht verteilen), dan kemampuan untuk membangun

 Makanan masuk ke dalam lambung dalam bentuk gumpalan (bolus, bola) terdiri atas bahan makanan setengah padat yang telah dikunyah dan sebagian dibasahi liur.  Di dalam lambung

Analisis terhadap model daya saing daerah membawa implikasi dibutuhkannya strategi dan kebijakan pembangunan daerah berbasis penumbuhan daya saing yang berproses secara dinamis

Beberapa formula yang tersedia diantaranya, yaitu rasio likuiditas yang digunakan untuk menggambarkan tingkat kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek,