• Tidak ada hasil yang ditemukan

Landcover Changes Effect Analysis to Cilamaya Watershed Hydrological Function

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Landcover Changes Effect Analysis to Cilamaya Watershed Hydrological Function"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN LAHAN TERHADAP

FUNGSI HIDROLOGIS SUB DAS CILAMAYA

SKRIPSI

FATHIMATUZ ZAHRA ASY SYIFA

F44080069

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

LANDCOVER CHANGES EFFECT ANALYSIS TO CILAMAYA

WATERSHED HYDROLOGICAL FUNCTION

Fathimatuz Zahra Asy syifa1, Yuli Suharnoto2

1,2

Department of Civil and Environmental Engineering, Faculty of Agricultural Technology

Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 16680, Bogor, West Java, Indonesia

Phone +62 85659400311, email: zahraasyifa@gmail.com

ABSTRACT

Watershed is a region bounded by the ridge, which can holds, save the

rainwater and distribute it to the sea. Watershed has a good hydrological function

if its can reduce fluctuations surge in the flow of surface water caused by rain

(Djuwansah, 2006). The objective of this study was to obtain a map of landuse

change and the run-off coefficient (C) in year 2000 and 2007 and get the analysis

of hydrological functions of the Cilamaya watershed. The methods of this

research was collecting data, processing data by using the software Arc Map

Version 10, Microsoft Excel, USGS Thornthwaite Water Balance Model Version

1.1.0. In year 2000, the forest area of 554.02 ha and rice fields 14721.20 ha. In

year 2007, the forest area remaining was 314.73 ha, rice fields was 5155.52 ha

and opened ground 34.63 ha. The results of the run-off coefficient (C) in 2000 was

0.63, while in 2007 was 0.94. Qmax and Qmin ratio in year 2000 was 120, while

in 2007 was 6977. In 2000, Cilamaya watershed was in the medium condition,

whilst in 2007 Cilamaya watershed was in a bad condition.

(3)

Fathimatuz Zahra Asy syifa. F44080069. Analisis Pengaruh Perubahan Lahan Terhadap FungsiHidrologis Sub DAS Cilamaya. Di Bawah Bimbingan Dr. Ir. Yuli Suharnoto, M. Eng. 2012

RINGKASAN

Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Koefisien air larian atau sering disingkat C adalah bilangan yang menunjukan perbandingan antara besarnya air larian terhadap besarnya curah hujan. Angka koefisien air larian ini merupakan salah satu indikator untuk menentukan apakah suatu DAS telah mengalami gangguan (fisik) (Asdak, 2007). Fungsi hidrologi daerah aliran sungai (DAS) adalah peranan daerah tersebut dalam merespons curah hujan yang jatuh yang kemudian mengalir menjadi air permukaan. Suatu DAS dikatakan memiliki fungsi hidrologi yang baik apabila perannya baik dalam meredam lonjakan fluktuasi aliran permukaan yang diakibatkan oleh turunnya hujan (Djuwansah, 2006).

Penelitian ini mempunyai tujuan yaitu mendapatkan peta penggunaan lahan Sub Das Cilamaya tahun 2000 dan tahun 2007, mendapatkan koefisien aliran (C) pada tahun 2000 dan tahun 2007 serta menganalisis koefisien aliran (C) tersebut terhadap perubahan lahan yang terjadi, dan terakhir mendapatkan analisis fungsi hidrologis Sub Das Cilamaya. Metode penelitian yang dilakukan meliputi pengumpulan data sekunder, pengolahan data menggunakan perangkat lunak Arc Map Version 10, Microsoft Excel, USGS Thornthwaite Water Balance Model Version 1.1.0

dan menganalisis data perubahan penggunaan lahan, serta untuk mengetahui analisis fungsi hidrologis dari Sub Das Cilamaya dilakukan analisis rasio data debit maksimum dan minimum tahun 1999 hingga tahun 2008 berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor : 52/Kpts-II/2001 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

(4)

ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN LAHAN TERHADAP

FUNGSI HIDROLOGIS SUB DAS CILAMAYA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNIK

pada Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

FATHIMATUZ ZAHRA ASY SYIFA

F44080069

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)

ii

Judul Penelitian

: Analisis Pengaruh Perubahan Lahan Terhadap Fungsi

Hidrologis Sub DAS Cilamaya

Nama

: Fathimatuz Zahra Asy syifa

NIM

: F44080069

Menyetujui,

Pembimbing Akademik

(Dr. Ir. Yuli Suharnoto, M.Eng)

NIP. 19620709 198703 1 001

Mengetahui :

Ketua Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan,

(Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, M.S.)

NIP. 19561025 1980031 003

(6)

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Analisis Pengaruh Perubahan Lahan Terhadap Fungsi Hidrologis Sub DAS Cilamaya adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2012 Yang membuat pernyataan

(7)

iv

© Hak cipta milik Fathimatuz Zahra Asy syifa, tahun 2012

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,

(8)

v

BIODATA PENULIS

Fathimatuz Zahra Asy syifa. Lahir di Cianjur, 20 April 1991. Penulis merupakan putri pertama dari ayahanda Fathur Rochman Al Fauzi dan ibunda Lia Dewi Permata Sari. Penulis merupakan putri pertama dari lima bersaudara. Penulis menamatkan SMA di SMAN 1 Cianjur pada tahun 2008. Setelah menamatkan SMA, penulis melanjutkan studi ke IPB melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada tahun 2008. Penulis diterima di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi. Penulis menjadi asisten mata kuliah Ilmu Ukur Tanah pada tahun 2011. Penulis menjadi Staff Depatemen Hubungan Eksternal Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan (Himatesil) pada periode 2009/2010, kemudian pada periode 2010/2011 penulis menjadi Sekretaris Departemen Hubungan Eksternal Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan (Himatesil).

Penulis melaksanakan Praktik Lapang pada tahun 2011 dengan judul ”Mempelajari ProgramUntuk Pengelolaan Air pada Wilayah Sungai Citarum di Korea Water Resources Corporation, dengan bertempat di Korea Water Resources Corporation (K-water), Bandung dalam Proyek TA 7189-INO: Institutional Strengthening For Integrated Water Resources Management (IWRM) In The 6 Cis River Basin Territory – Package D. Pada tahun 2012, penulis menyelesaikan tugas akhir dengan judul

(9)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT. atas karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian dengan judul Analisis Pengaruh Perubahan Lahan Terhadap Fungsi Hidrologis Sub DAS Cilamaya dilaksanakan sejak bulan April hingga Juli 2012.

Dengan telah diselesaikannya skripsi ini, penulis ingin memberikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Yuli Suharnoto, M.Eng sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan bimbingan kepada penulis sehingga dapat diselesaikannya tugas akhir ini.

2. Ir. Machmud A. Raimadoya, M.Sc dan Dr.Ir. Roh Budi Waspodo, M.T. sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan untuk tugas akhir ini.

3. Seluruh staff Korea Water Resources Corporation (K-water) di Bandung, merupakan tempat dimana penulis dibimbing dan diajarkan banyak sekali ilmu yang bermanfaat dan pengalaman berharga. Tempat dimana penulis mendapatkan data sekunder untuk penelitian ini.

4. Fatchur Rochman Al Fauzi S.T., M.T. dan Lia Dewi Permata Sari S.T., kedua orang tua

penulis yang selalu memberikan do’a, dukungan dan kasih sayang kepada penulis yang tidak

ada hentinya.

5. Alm. H. E. Gozali dan Hj. Rumsari, kakek dan nenek penulis yang selalu memberikan do’a dan dukungan yang tidak ada hentinya kepada penulis. Salma Karima A., Lathifah S. Uzma, M. Husain Al Ghifari, M. Hasan As Sajjad, keempat adik penulis yang selalu mendukung tetehnya.

6. M. Rizal Basith, yang selalu mendo’akan, mendukung, dan memberi semangat kepada penulis. 7. Teman-teman Teknik Sipil dan Lingkungan IPB angkatan 45, terimakasih atas kebersamaan

kalian selama 4 tahun ini. Canda, tawa, bahkan sedih yang pernah terjadi diantara kita, tidak akan penulis lupakan. Teman-teman satu bimbingan, Melinda Carolina, Tjut E. Marra, dan Julio Rahargo

8. Teman-teman Kost Pondok Harum (Puput, Ade, Heti, Ida, Hany, Lisna, Thia, Winda, Anis, Novi), terima kasih untuk kebersamaan dan canda tawa dalam 3 tahun ini.

9. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam penulisan tugas akhir ini.

Semoga penelitian ini berguna dan memberikan manfaat.

Bogor, Agustus 2012 Penulis

(10)

vii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Siklus Hidrologi ... 3

2.2 Daerah Aliran Sungai ... 3

2.3 Presipitasi ... 7

2.4 Aliran Permukaan ... 8

2.5 Evapotranspirasi ... 11

2.6 Penutupan Lahan ... 12

2.7 Fungsi Hidrologis Daerah Aliran Sungai (DAS) ... 13

III. METODOLOGI ... 15

3.1 Lokasi dan Waktu ... 15

3.2 Alat dan Bahan ... 15

3.3 Metode Penelitian ... 15

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

4.1 Kondisi Umum ... 18

4.2 Peta Penutupan Lahan Sub DAS Cilamaya Tahun 2000 Dan Tahun 2007 ... 22

4.3 Koefisien aliran pada tahun 2000 dan tahun 2007 ... 25

4.4 Fungsi hidrologis Sub DAS Cilamaya dilihat dari rasio debit maksimum (Qmax) dan debit minimum (Qmin) ... 28

V. KESIMPULAN ... 30

5.1 Kesimpulan ... 30

5.2 Saran... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 31

(11)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Karaktersitik Bentuk DAS ... 5

Tabel 2. Klasifikasi Lereng ...10

Tabel 3. Kelas Kerapatan Aliran ...10

Tabel 4. Karakteristik Das yang Dapat Menghasilkan Aliran Permukaan untuk Penentuan Skor (W) Dalam Metode Cook ...11

Tabel 5. Nama Kabupaten dan Luas Kabupaten pada Sub DAS Cilamaya ...19

Tabel 6. Kelas Kelerangan pada Sub DAS Cilamaya Menurut SK Menteri Pertanian ...21

Tabel 7. Penutupan lahan Sub DAS Cilamaya tahun 2000 ...23

Tabel 8. Penutupan lahan Sub DAS Cilamaya tahun 2007 ...24

Tabel 9. Nama Stasiun Curah Hujan dan Luas Daerah Tangkapan Hujan untuk Setiap Stasiun Curah Hujan ...26

Tabel 10. Hasil Perhitungan Curah Hujan pada Sub DAS Cilamaya dengan Menggunakan Metode Polygon Thiessen...27

Tabel 11. Output USGS Thornthwaite Water Balance Model Version 1.1.0 Lintang 60dan Soil Moisture 500 mm ...28

Tabel 12. Hasil perhitungan koefisien C ...28

(12)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Sketsa orde sungai menurut Starhler (1957) ... 6

Gambar 2. Pemberian tanda orde sungai menurut BPDAS Tuntang dan Jragung ... 6

Gambar 3. Bagan alir penelitian ...17

Gambar 4. Sub DAS Cilamaya ...18

Gambar 5. Kabupaten pada Sub DAS Cilamaya ...19

Gambar 6. Sungai Cilamaya dan Stasiun Pengukur Debit pada Sub DAS Cilamaya ...20

Gambar 7. Pertemuan antara Sungai Ciherang dan Sungai Cilamaya ...20

Gambar 8. Kondisi Lereng Sub DAS Cilamaya ...21

Gambar 9. Jenis Tanah pada Sub DAS Cilamaya ...22

Gambar 10. Hasil peta penutupan lahan Sub DAS Cilamaya tahun 2000 ...23

Gambar 11. Hasil peta penutupan lahan Sub DAS Cilamaya tahun 2007 ...24

Gambar 12. Peta Kondisi Curah Hujan Sub DAS Cilamaya ...25

Gambar 13. Stasiun curah hujan dan pembagian daerah tangkapan hujan Sub DAS Cilamaya ...26

(13)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kriteria dan Indikator Kinerja DAS ...34

Lampiran 2. Peta Wilayah Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang ...38

Lampiran 3. Peta Pulau Jawa ...39

Lampiran 4. Peta Daerah Aliran Sungai Citarum ...40

Lampiran 5. Curah Hujan Bulanan Rata-Rata Sub DAS Cilamaya Tahun 2000 ...41

Lampiran 6. Curah Hujan Bulanan Rata-Rata Sub DAS Cilamaya Tahun 2007 ...42

Lampiran 7. Data Suhu Bulanan Rata Rata di Plered...43

Lampiran 8. Debit Maksimum Sub DAS Cilamaya ...44

Lampiran 9. Debit Minimun Sub DAS Cilamaya ...45

(14)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Air merupakan kebutuhan dasar seluruh makhluk hidup di bumi. Kehidupan di bumi tidak akan jauh eksistensinya dari ketersediaan air yang sangatlah bermanfaat bagi makhluk hidup. Air yang menjadi kebutuhan utama bisa menjadi langka dan juga dapat menimbulkan masalah apabila sumber air maupun daerah pengelolaan air rusak dan tidak berfungsi sebagaimana fungsinya.

Suatu wilayah yang dapat menampung, menyimpan air hujan dan menyalurkannya hingga ke laut dinamakan Daerah Aliran Sungai (DAS). Menurut Asdak (2007) Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (DTA atau catchment area) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam.

Kondisi hidrologi Pulau Jawa dan Indonesia umumnya saat ini dicirikan oleh meningkatnya kejadian ekstrim seperti banjir dan kekeringan dengan kandungan cemaran yang tinggi di badan-badan air seperti sungai dan danau. Krisis air juga semakin terasa, terutama menjelang dan selama musim kemarau, khususnya untuk Pulau Jawa yang sudah diantisipasi akan mengalami kelangkaan air yang serius akibat tekanan penduduk yang akut dan kondisi perubahan lahan yang buruk. (Pawitan, 2004)

Saat ini pembangunan daerah terus dilaksanakan, maka perubahan penggunaan lahan pada setiap daerah pun tidak dapat dihindarkan. Begitu pula akan terasa dampaknya pada DAS apabila adanya perubahan penggunaan lahan yang tidak mendukung fungsi DAS tersebut. Suatu DAS sangat berperan penting dalam ketersediaan air untuk wilayahnya. Apabila penggunaan lahan DAS berubah fungsi menjadi tidak seharusnya, contohnya dari hutan menjadi jalan raya dan tanah terbuka, hal ini akan menyebabkan ketersediaan air yang disimpan oleh DAS tersebut akan berkurang dan air limpasan pun akan semakin besar menuju ke laut.

Daerah tangkapan air yang baik pada umumnya berupa hutan. Menurut Van Noordwijk et al. (2003) dalam Pawitan (2004) Hubungan hutan dengan fungsi DAS bahwa yang penting dipertahankan adalah adanya tutupan vegetasi dan lapisan serasah dan tidak semata dalam bentuk hutan. Namun, karena pembangunan terus dilaksanakan banyak hutan diubah menjadi jalan raya, perumahan, bahkan menjadi tanah terbuka. Untuk itu perlu dilakukan analisis pengaruh perubahan lahan yang terjadi di DAS dan analisis fungsi hidrologi DAS agar dapat terlihat masih baik atau tidaknya lahan DAS tersebut.

Sub DAS Cilamaya merupakan sub dari DAS Citarum. Sub DAS Cilamaya ini mencakup beberapa kabupaten besar yaitu Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Bandung. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29 ha. Sub DAS Cilamaya merupakan DAS yang termasuk kedalam kanal tarum timur, sehingga besar kecilnya aliran air yang mengalir di Sub DAS Cilamaya akan mempengaruhi DAS Citarum. Dari Rohmat (2008) dapat diketahui bahwa, Sub DAS Cilamaya mempunyai bentuk memanjang.

Menurut BP DAS Citarum-Ciliwung (2007), DAS Cilamaya terletak di bagian utara Jawa Barat keterkaitannya dengan pengembangan pantai utara (Jalur Pantura), dan meningkatnya berbagai kegiatan pembangunan di DAS Cilamaya mengakibatkan kondisi DAS tersebut semakin memprihatinkan. Kondisi tersebut ditandai dengan adanya lahan kritis yang cukup luas, sehingga sering terjadi banjir, bencana tanah longsor dan kekeringan di musim kemarau.

(15)

2 debit maksimum (Qmax) dan debit minimum (Qmin), akan diketahui apakah Sub DAS Cilamaya dalam keadaan baik atau tidaknya lahan DAS tersebut.

1.2

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah analisis perubahan lahan terhadap fungsi hidrologis Sub DAS Cilamaya, yang meliputi:

1. Mendapatkan peta penggunaan lahan Sub DAS Cilamaya tahun 2000 dan tahun 2007

2. Mendapatkan koefisien aliran Sub DAS Cilamaya pada tahun 2000 dan tahun 2007 serta menganalisis koefisien aliran tersebut terhadap perubahan lahan yang terjadi

3. Menganalisis fungsi hidrologis Sub DAS Cilamaya dilihat dari rasio debit maksimum (Qmax) dan debit minimum (Qmin) berdasarkan Indikator Tata Air dan Kriteria Debit Air Sungai pada SK Menteri Kehutanan Nomor : 52/Kpts-II/2001 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

1.3

Manfaat

Merujuk pada tujuan maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa kegunaan, yaitu:

1. Manfaat teoritis, dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian – penelitian berikutnya. 2. Manfaat praktis, dapat memberikan hasil analisis perubahan lahan terhadap fungsi hidrologis Sub

(16)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Siklus Hidrologi

Siklus hidrologi yaitu perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut yang tidak pernah berhenti, air tersebut akan tertahan (sementara) di sungai, danau/waduk, dan dalam tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia atau makhluk hidup lainnya. (Asdak, 2007)

Menurut Indarto (2010) Siklus air merupakan fokus utama dari ilmu hidrologi. Laut merupakan tempat penampungan air terbesar di bumi. Sinar matahari yang dipancarkan ke bumi memanaskan suhu air di permukaan laut, danau, atau yang terikat pada permukaan tanah. Kenaikan suhu memacu perubahan wujud air dari cair menjadi gas. Molekul air dilepas menjadi gas. Ini dikenal sebagai proses evaporasi (evaporation). Air yang terperangkap di permukaan tanaman juga berubah wujud menjadi gas karena pemanasan oleh sinar matahari. Proses ini dikenal transpirasi (transpiration). Air yang menguap melalui proses evaporasi dan transpirasi selanjutnya naik ke atmosfer membentuk uap air.

Uap air di atmosfer selanjutnya menjadi dingin dan terkondensasi membentuk awan (clouds). Kondensasi terjadi ketika suhu udara berubah. Air akan berubah bentuk jika suhu berfluktuasi. Sehingga, jika udara cukup dingin, uap air terkondensasi menjadi partikel-partikel di udara membentuk awan. Awan yang terbentuk selanjutnya dibawa oleh angin mengelilingi bumi, sehingga awan terdistribusi ke seluruh penjuru dunia. Ketika awan sudah tidak mampu lagi menampung air, awan melepas uap air yang ada di dalamnya ke dalam bentuk presipitasi (precipitation), yang dapat berupa salju, hujan, dan hujan es. (Indarto, 2010)

Selanjutnya, sebagian air hujan yang jatuh ke permukaan bumi diserap (intercepted) oleh permukaan tanaman, sisanya akan mengalir di permukaan tanah sebagai aliran permukaan (surface run-off). Aliran permukaan selanjutnya mengalir melalui sungai menjadi debit sungai (streamflow) atau tersimpan di permukaan tanah dalam bentuk danau (freshwater storage). Sebagian lagi masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi (infiltration) dan sebagian lagi mengalir di dalam lapisan tanah melalui aliran-air-tanah (sub surface flow). Pada lokasi tertentu air yang mengalir di dalam lapisan tanah, ke luar sebagai mata-air (spring) dan bergabung dengan aliran permukaan (surface run-off). Lebih jauh lagi, air yang terinfiltrasi mungkin dapat mengalami proses perkolasi ke dalam tanah menjadi aliran bawah tanah (groundwater flow). Siklus hidrologi ini berlangsung secara kontinu untuk menyediakan air bagi makhluk hidup di bumi. Tanpa proses ini tidak mungkin akan ada kehidupan di bumi. (Indarto, 2010)

2.2

Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (DTA atau catchment area) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam. (Asdak, 2007)

(17)

4 DAS merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai yang melaluinya. Sungai dan anak-anak sungai tersebut berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan serta sumber lainnya. Akhir-akhir ini, persoalan seperti erosi, sedimentasi, longsor, dan banjir pada DAS intensitasnya semakin meningkat. Persoalan-persoalan tersebut merupakan bentuk respon negatif dari komponen-komponen DAS terhadap kondisi curah hujan. Kuat atau lemahnya respon sangat dipengaruhi oleh karakteristik DAS baik secara fisik, maupun sosial ekonomi serta budaya masyarakatnya. Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. (2009)

Karakteristik fisik DAS merupakan variabel dasar yang menentukan proses hidrologi pada DAS. Pola pengaliran dan penyimpanan air dalam DAS sangat dipengaruhi oleh karakteristik tanah, bahan induk (geologi), morfometri DAS dan penggunaan lahan. Karakteristik ini menentukan banyaknya air hujan yang dialirkan atau tertahan, kecepatan aliran, dan waktu tempuh air dari tempat terjauh sampai dengan outlet (waktu konsentrasi) yang berpengaruh pada kejadian banjir, baik banjir yang berbentuk genangan maupun banjir bandang pada DAS tersebut. Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. (2009)

Menurut Rahayu S, Widodo R H, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. (2009) Morfometri DAS merupakan ukuran kuantitatif karakteristik DAS yang terkait dengan aspek geomorfologi suatu daerah. Karakteristik ini terkait dengan proses pengatusan (drainase) air hujan yang jatuh di dalam DAS. Parameter tersebut adalah luas DAS, bentuk DAS, jaringan sungai, kerapatan aliran, pola aliran, dan gradien kecuraman sungai.

a. Luas DAS

DAS merupakan tempat pengumpulan presipitasi ke suatu sistem sungai. Luas daerah aliran dapat diperkirakan dengan mengukur daerah tersebut pada peta topografi. (Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. 2009)

b. Bentuk DAS

Bentuk DAS mempengaruhi waktu konsentrasi air hujan yang mengalir menuju outlet. Semakin bulat bentuk DAS berarti semakin singkat waktu konsentrasi yang diperlukan, sehingga semakin tinggi fluktuasi banjir yang terjadi. Sebaliknya semakin lonjong bentuk DAS, waktu konsentrasi yang diperlukan semakin lama sehingga fluktuasi banjir semakin rendah. Bentuk DAS secara kuantitatif dapat diperkirakan dengan menggunakan nilai nisbah memanjang ('elongation ratio'/Re) dan kebulatan ('circularity ratio'/Rc). (Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. 2009). Karakteristik bentuk DAS ditampilkan pada Tabel 1.

c. Jaringan sungai

Jaringan sungai dapat mempengaruhi besarnya debit aliran sungai yang dialirkan oleh anak-anak sungainya. Parameter ini dapat diukur secara kuantitatif dari nisbah percabangan yaitu perbandingan antara jumlah alur sungai orde tertentu dengan orde sungai satu tingkat di atasnya. Nilai ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nisbah percabangan berarti sungai tersebut memiliki banyak anak-anak sungai dan fluktuasi debit yang terjadi juga semakin besar. (Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. 2009)

(18)

5 pertemuan antara orde pertama disebut orde kedua (orde 2), demikian seterusnya sampai pada sungai utama ditandai dengan nomor orde yang paling besar.

Menurut BPDAS Tuntang dan Jragung (2006), Metode kuantitatif untuk mengklasifikasikan sungai dalam DAS adalah pemberian orde sungai maupun cabang-cabang sungai secara sistematis seperti pada Gambar 2. Alur sungai induk disebut dengan orde pertama (orde 1), percabangan pertama dari induk sungai disebut orde kedua (orde 2), percabangan dari orde 2 disebut orde 3, demikian seterusnya hingga sungai yang tidak mempunyai cabang ditandai dengan nomor orde paling besar.

Tabel 1. Karaktersitik Bentuk DAS

Tipe Karaktersitik Gambar

Bulu Burung

Jalur anak sungai di kiri-kanan sungai utama mengalir menuju sungai utama, debit banjir kecil karena waktu tiba banjir dari anak-anak sungai berbeda-beda. Banjir berlangsung agak lama.

Laut

Radial

Bentuk DAS menyerupai kipas atau lingkaran, anak-anak sungai berkonsentrasi ke suatu titik secara radial, banjir besar terjadi di titik pertemuan anak-anak sungai.

Laut

Paralel

Bentuk ini mempunyai corak dimana dua jalur aliran sungai yang sejajar bersatu di bagian hilir, banjir terjadi di titik pertemuan anak sungai.

Laut

Kompleks

Memiliki beberapa buah bentuk dari ketiga bentuk di atas.

(19)

6

Gambar 1.Sketsa orde sungai menurut Starhler (1957) (sumber :http://www.fgmorph.com/fg_4_8.php)

(20)

7 d. Pola Aliran

Pola aliran sungai secara tidak langsung menunjukan karakteristik material bahan induk seperti permeabilitas, struktur geologi dan kemudahannya mengalami erosi. Pola aliran sungai sejajar (parallel) pada umumnya dijumpai pada DAS yang berada pada daerah dengan struktur patahan. (Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. 2009). Pola aliran dalam DAS dapat digolongkan menjadi:

1. Denditrik

Umumnya terdapat pada daerah dengan batuan sejenis dan penyebarannya luas, misalnya daerah yang ditutupi oleh endapan sedimen yang luas dan terletak pada suatu bidang horizontal di daerah dataran rendah. Batuan kapur ('limestone') dan batu lempung ('shale') teranyam bertopografi solusional dapat memiliki pola aliran denditrik. Pada topografi dengan lereng seragam, pola aliran yang terbentuk adalah denditrik medium, sedangkan pada topografi berteras kecil, pola aliran yang terbentuk adalah denditrik halus.

Bentuk pola denditrik yang lain adalah kombinasi denditrik rectangular yang terdapat pada batuan metamorf dengan puncak membulat. Pola ini memiliki saluran yang hampir sejajar, dalam dan bertekstur halus hingga sedang. Bentuk ini terjadi pada daerah basah. Pada batuan metamorfosa dengan bentuk topografi berpuncak sejajar, dapat membentuk pola denditrik rektangular halus dan terjadi pada daerah kering. Pada formasi batuan beku di daerah topografi yang menyerupai bukit membulat di daerah basah pola aliran yang terbentuk adalah pola dendritik medium.

2. Radial

Biasanya dijumpai di daerah lereng gunung api atau daerah dengan topografi berbentuk kubah 3. Rektangular

Terdapat di daerah batuan kapur 4. Trellis

Biasanya dijumpai pada daerah dengan lapisan sedimen di daerah pegunungan lipatan 5. Kombinasi denditrik dan trellis

Dapat dijumpai pada rangkaian pegunungan yang sejajar dan terdapat pada batuan structural terlipat dengan tekstur halus sampai sedang.

2.3

Presipitasi

Presipitasi adalah faktor utama yang mengendalikan berlangsungnya daur hidrologi dalam suatu wilayah DAS (merupakan elemen utama yang perlu diketahui mendasari pemahaman tentang kelembaban tanah, proses resapan air tanah, dan debit aliran). Proses terjadinya presipitasi diawali ketika sejumlah uap air di atmosfer bergerak ke tempat yang lebih tinggi oleh adanya beda tekanan uap air. Uap air yang bergerak dari tempat dengan tekanan uap air lebih besar ke tempat dengan tekanan uap air lebih kecil. Uap air yang bergerak ke tempat yang lebih tinggi (dengan suhu udara menjadi lebih rendah) tersebut pada ketinggian tertentu akan mengalami penjenuhan dan apabila hal ini diikuti dengan terjadinya kondensasi, maka uap air tersebut akan berubah bentuk menjadi butiran-butiran air hujan. (Asdak, 2007)

Menurut Asdak (2007) akan terjadi hujan apabila berlangsung tiga kejadian, yaitu:

1. Kenaikan masa uap air ke tempat yang lebih tinggi sampai saatnya atmosfer menjadi jenuh. 2. Terjadinya kondensasi atas partikel-partikel uap air di atmosfer.

3. Partikel-partikel uap air tersebut bertambah besar sejalan dengan waktu untuk kemudian jatuh ke bumi dan permukaan laut (sebagai hujan) karena gaya gravitasi.

(21)

8 Teknik poligon dilakukan dengan cara menghubungkan satu alat penakar hujan dengan lainnya menggunakan garis. Pada peta daerah tangkapan air untuk masing-masing alat penakar hujan, daerah tersebut dibagi menjadi beberapa poligon (jarak garis pembagi dua penakar hujan yang berdekatan lebih kurang sama) (Asdak, 2007). Adapun cara menghitung curah hujan rata-rata wilayah dengan menggunakan Teknik poligon, ditampilkan dalam Rumus (1).

P =

� �� + � �� +..….+ �����

�� ...(1)

Keterangan :

P = Curah hujan rata-rata wilayah A1, A2, A3 = Luas masing-masing poligon P1, P2, P3 = Curah hujan masing-masing stasiun

2.4

Aliran Permukaan

Air larian (surface runoff) adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju ke sungai, danau dan lautan. Air larian berlangsung ketika jumlah curah hujan melampaui laju infiltrasi air ke dalam tanah. Setelah laju infiltrasi terpenuhi, air mulai mengisi cekungan-cekungan pada permukaan tanah. Setelah pengisian air pada cekungan tersebut selesai, air kemudian dapat mengalir di atas permukaan tanah dengan bebas. (Asdak, 2007).

Menurut Indarto (2010) Aliran permukaan (surface run-off) merujuk pada air di atas permukaan tanah melalui parit, kanal, atau sungai. Ada dua jenis aliran permukaan (surface run-off) yang terjadi selama hujan atau pelelehan es, yaitu aliran permukaan yang berasal dari kelebihan infiltrasi dan aliran permukaan yang berasal dari kejenuhan tanah.

Aliran permukaan yang berasal dari kelebihan infiltrasi terjadi pada kondisi tanah tidak jenuh. Pada kasus ini tanah dapat dalam keadaan agak kering, tetapi karakteristik tanah atau penutupan lahan tidak memungkinkan proses infiltrasi lebih lanjut sejalan dengan laju hujan. Aliran permukaan yang berasal dari kejenuhan tanah terjadi jika tanah sudah menjadi jenuh dan tidak ada lagi ruang pori kosong di dalam tanah yang memungkinkan air untuk berinfiltrasi. Hal ini dapat terjadi meskipun pada tanah yang umumnya memungkinkan sejumlah besar infiltrasi pada kondisi menjelang jenuh. (Indarto,2010)

Limpasan permukaan ini merupakan bagian yang penting dari puncak banjir. Bagian terbesar dari curah hujan lebih, mengalir selama perioda hujan dan sebagian sesudah perioda hujan. Jadi harus dipikirkan bahwa kadang-kadang limpasan permukaan itu dibagi dalam dua sumber yaitu air yang mengalir di atas permukaan tanah dan air yang menginfiltrasi dan mencapai lapisan yang impermeabel, kemudian sebagiannnya mengalir ke sungai. (Mori, K. 2006)

DAS menunjukan suatu luasan yang berkontribusi pada aliran permukaan. Suatu batas wilayah imaginer, dibatasi oleh punggung-punggung pegunungan dan lembah, di mana air yang jatuh pada setiap lokasi di dalam batas tersebut, mengalir dari bagian hulu DAS melalui anak-anak sungai ke sungai utama, sampai akhirnya ke luar lewat satu outlet. (Indarto, 2010)

(22)

9 Laju dan volume air larian suatu DAS dipengaruhi oleh penyebaran dan intensitas curah hujan di DAS yang bersangkutan. Umumnya, laju air larian dan volume terbesar terjadi ketika seluruh DAS tersebut ikut berperan. Pengaruh DAS terhadap air larian adalah melalui bentuk dan ukuran (morfometri) DAS, topografi, geologi, dan tataguna lahan (jenis dan kerapatan vegetasi). Pengaruh vegetasi dan cara bercocok tanam terhadap air larian dapat diterangkan bahwa vegetasi dapat memperlambat jalannya air larian dan memperbesar jumlah air yang tertahan di atas permukaan tanah (surface detention), dan dengan demikian, menurunkan laju air larian. (Asdak, 2007)

Menurut Asdak (2007) Koefisien air larian atau sering disingkat C adalah bilangan yang menunjukan perbandingan antara besarnya air larian terhadap besarnya curah hujan. Secara matematis, koefisien air larian dijabarkan dengan Rumus (2).

Koefisien air larian (C) = � � �� � ( )

���� ℎℎ� � ( )...(2)

Angka koefisien air larian ini merupakan salah satu indikator untuk menentukan apakah suatu DAS telah mengalami gangguan (fisik). Nilai C yang besar menunjukan bahwa lebih banyak air hujan yang menjadi air larian. Hal ini kurang menguntungkan dari segi pencagaran sumberdaya air karena besarnya air yang akan menjadi air tanah berkurang. Kerugian lainnya adalah dengan semakin besarnya jumlah air hujan yang menjadi air larian, maka ancaman terjadinya erosi dan banjir menjadi lebih besar.

Menurut Indriatmoko (1998) Koefisien aliran dapat didefinisikan sebagai nisbah antara aliran dan curah hujan pada selang waktu tertentu dan pada kondisi fisik DAS tertentu. Untuk mengukur besarnya koefisien aliran dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :

 Dihitung dari karakteristik fisik DAS (Metode Cook)

 Dihitung dari debit aliran tahunan, debit aliran sesaat dan laju aliran (Suyono, 1984).

Menghitung besarnya koefisien aliran suatu daerah aliran sungai dan memanfaatkan sistem informasi geografis yang dimiliki, dapat digunakan suatu model pendekatan yaitu metode Cook. Untuk menghitung besarnya koefisien aliran maka dilakukan perhitungan dengan memakai tabulasi yaitu dengan menjumlahkan koefisien aliran untuk masing-masing bentuk lahan. Rumus yang digunakan disajikan pada Rumus (3).

LBL

C total =



x Luas DAS ………(3)

JS Keterangan:

LB = Luas bentuk lahan JS = Jumlah skor

Menurut Cook (dalam Gunawan, T., 1992) faktor karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menghasilkan besarnya aliran permukaan adalah:

1. Relief (kemiringan lereng) 2. Infiltrasi

3. Vegetasi Penutup

4. Timbunan permukaan (Kerapatan Aliran)

(23)

10 Kemiringan lereng merupakan ukuran kemiringan lahan relatif terhadap bidang datar yang secara umum dinyatakan dalam persen atau derajat. Kemiringan lahan sangat erat hubungannya dengan besarnya erosi. Semakin besar kemiringan lereng, peresapan air hujan ke dalam tanah menjadi lebih kecil sehingga limpasan permukaan dan erosi menjadi lebih besar (Rahayu S, Widodo R H, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B., 2009). Pada kemiringan lereng sebelum menggunakan klasifikasi pada Tabel 4, dilakukan klasifikasi lereng terlebih dahulu pada daerah aliran sungai. Klasifikasi lereng disajikan dalam Tabel (2).

Tabel 2. Klasifikasi Lereng

Kelas Lereng Kelerengan (%) Keterangan

1 0-8 Datar

2 8-15 Landai

3 15-25 Agak curam

4 25-45 Curam

5 >45 Sangat curam

Sumber : SK Menteri Pertanian Nomor 837

Pada kerapatan aliran, sebelum menggunakan klasifikasi pada Tabel 2, dilakukan perhitungan terlebih dahulu. Klasifikasi kerapatan aliran dilakukan dengan mempertimbangkan besarnya rasio antara panjang sungai dengan luas DAS. Untuk menghitung besarnya Kerapatan Aliran rumus yang digunakan disajikan dalam Rumus (4) dan kelas kerapatan aliran menurut Linsley disajikan dalam Tabel 3.

Dd = L/A……….………...…..……….(4)

Keterangan:

Dd = Kerapatan Aliran (Km/Km2). L = Panjang Sungai (Km). A = Luas DAS (Km2).

Kondisi kemiringan lereng, jenis dan kerapatan penutup lahan, alur-alur sungai, danau/telaga mempengaruhi air hujan yang akan membentuk aliran permukaan. Aliran permukaan yang berlebihan menunjukan bahwa komponen-komponen fisik permukaan tersebut sudah tidak mampu lagi menghambat atau mengurangi air hujan yang membentuk aliran permukaan yang terjadi. (Gunawan T, 1991)

Tabel 3. Kelas Kerapatan Aliran

No Nilai Dd Keterangan

1 <1.6 Km/Km2 Kelas Tinggi

2 1.6-3.2 Km/Km2 Kelas Sedang

3 3.2-8 Km/Km2 Kelas Rendah

(24)

11

Tabel 4. Karakteristik Das yang Dapat Menghasilkan Aliran Permukaan untuk Penentuan Skor (W) Dalam Metode Cook

Karakteristik DAS yang di pertimbangkan

Karakteristik yang dapat menghasilkan aliran

100 (Ekstrim) 75 (Tinggi) 50 (Normal) 25 (Rendah)

Kemiringan Lereng/Relief (W) Medan terjal dengan rata-rata umumnya >30% (40) Perbukitan dengan lereng rata-rata 10-30% (30) Bergelombang dengan lereng rata-rata 5-10 %

(20)

Lereng relatif datar 0-5% (10)

Infiltrasi (W) Tidak ada penutup tanah efektif, lapisan tanah tipis, kapasitas infiltrasi diabaikan (20) Lambat menyerap air, material liat/tanah dengan kapasitas infiltrasi rendah (15) Lempung dalam dengan infiltrasi setipe dengan tanah prairi (10)

Pasir dalamatau tanah lain mampu

menyerap air cepat (5) Vegetasi Penutup (W) Tidak ada penutup efektif atau sejenisnya (20) Tanaman penutup sedikit sampai sedang, tidak ada tanaman pertanian dan penutup alam sedikit (15)

Kira-kira 50 % DAS tertutup baik

oleh pepohonan dan rerumputan

(10)

Kira-kira 90 % DAS tertutup baik oleh kayuan

atau sejenisnya (5) Kerapatan Aliran (W) Diabaikan : beberapa depresi permukaan dangkal, alur drainase terjal dan kecil (20)

Rendah: Sistem alur drainase kecil dan mudah

dikenali (15)

Normal: Simpanan depresi dalam bentuk danau, rawa telaga tidak lebih dari 2 % (10)

Tinggi: Simpanan depresi permukaan tinggi, sistem drainase sukar dikenali, banyak dijumpai danau, rawa atau telaga

(5) Sumber: Chow 1964 dan Meijerink dalam Gunawan, T (1991)

2.5

Evapotranspirasi

Evapotranspirasi merupakan gabungan dari peristiwa evaporasi dan transpirasi. Evaporasi (penguapan) adalah peristiwa berubahnya air menjadi uap dan bergerak dari permukaan tanah serta permukaan air ke udara. Sedangkan peristiwa penguapan dari tanaman disebut transpirasi. Dengan demikian, penguapan air dari permukaan tanah, permukaan air dan tanaman secara bersama-sama disebut evapotranspirasi. (Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. 2009)

Faktor-faktor utama yang berpengaruh terhadap evapotranspirasi adalah: a. Faktor-faktor meteorologi

 Radiasi matahari

(25)

12  Kelembaban

 Angin

 Tekanan udara b. Faktor-faktor geografi

 Kualitas air (warna, salinitas dan lain-lain)  Jeluk tubuh air

 Ukuran dan bentuk permukaan air c. Faktor-faktor lainnya

 Kandungan lengas tanah  Karakteristik kapiler tanah  Jeluk muka air tanah  Warna tanah

 Tipe, kerapatan dan tingginya vegetasi  Ketersediaan air (hujan, irigasi dan lain-lain)

Besarnya evapotranspirasi dapat diperkirakan dari hasil pengukuran panic evaporasi dan alat ukur lysimeter. Namun pengukuran langsung evaporasi maupun evapotranspirasi dari air maupun permukaan lahan yang luas akan mengalami banyak kendala. Untuk itu maka dikembangkan beberapa metode pendekatan dengan menggunakan input data yang diperkirakan berpengaruh terhadap besarnya evapotranspirasi. Besarnya evapotranspirasi juga dapat diperkirakan dengan mempergunakan metode Thornwaite, Blaney and Criddle, metode Penman-Monteith dan analisis neraca kelembaban tanah. (Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B., 2009) Istilah evapotranspirasi digunakan pada evaporasi air dari permukaan yang basah disertai dengan proses 'transpirasi' yaitu evaporasi air dari jaringan tanaman. Sifat-sifat air lainnya mudah dipahami, yakni air mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah, dan mengikuti hukum kesetimbangan massa: jumlah aliran air yang masuk dalam suatu sistem sama dengan jumlah aliran air yang keluar. Dengan catatan, perhitungan dilakukan selama periode dimana komponen 'penyimpanan air dalam tanah mempunyai nilai nol. (Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B., 2009)

2.6

Penutupan Lahan

Berdasarkan uraian proses perjalanan air hujan dapat diketahui bahwa jenis dan kerapatan penutup lahan berfungsi sebagai penghambat air hujan yang akan membentuk aliran permukaan. Sifat dan jenis tanah, batuan dan luas penyebarannya akan mempengaruhi air hujan yang akan mengalami infiltrasi. (Gunawan, T., 1991)

Menurut Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. (2009) Vegetasi penutup lahan memegang peranan penting dalam proses intersepsi hujan yang jatuh dan transpirasi air yang terabsorpsi oleh akar. Lahan dengan penutupan yang baik memiliki kemampuan meredam energi kinetis hujan, sehingga memperkecil terjadinya erosi percik ('splasherosion'), memperkecil koefisien aliran sehingga mempertinggi kemungkinan penyerapan air hujan, khususnya pada lahan dengan solum tebal ('sponge effect'). Beberapa kelas penggunaan lahan yang perlu diidentifikasi dalam melakukan analisis masalah hidrologi adalah:

1. Persentase tanaman pertanian

2. Persentase rumput dan padang penggembalaan 3. Persentase hutan

(26)

13 5. Persentase padang rumput dan pohon yang tersebar

6. Persentase lahan kosong 7. Persentase rawa dan waduk

Vegetasi menghalangi curah hujan yang jatuh, sehingga air hujan tidak jatuh langsung di permukaan tanah, akibatnya daya penghancur air hujan berkurang. Vegetasi juga dapat berfungsi untuk menghambat aliran permukaan dan memperbanyak air terinfiltrasi. Penggunaan lahan yang paling efektif untuk mengurangi erosi adalah hutan namun rumput-rumputan yang tumbuh rapat dapat berfungsi sama efektifnya.

Menurut Chow (1964) dalam Gunawan, T (1991) Peranan penutup hutan terhadap proses perjalanan air di permukaan lahan dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Penutup hutan menahan tanah di tempat, yang berarti penutup hutan melindungi tanah. Penebangan hutan, dan penggunaan lahan lain mempercepat proses erosi, menimbulkan banjir dan sedimentasi.

2. Penutup hutan menambah simpanan air dalam tanah

Evapotranspirasi lahan berhutan lebih besar dari pada tipe penutup lahan yang lain, oleh karena itu tanah berpenutup hutan sering mengalami kekeringan pada musim kering. Volume aliran permukaan pada lahan hutan berkurang dan puncak banjir juga berkurang. Penebangan hutan meningkatkan volume aliran (streamflow) 30% untuk banjir sedang dan hanya 15% untuk banjir besar. Pada musim hujan , evapotranspirasi hutan hanya berperan kecil dalam mengurangi volume aliran langsung.

3. Penutup hutan berfungsi baik dalam infiltrasi

Penyalah gunaan lahan, seperti penebangan hutan, dan pengolahan lahan pertanian yang kurang tepat, mengurangi laju infiltrasi dan meningkatkan volume serta puncak banjir local. Oleh karena itu ada tidaknya penutup hutan mempengaruhi laju infiltrasi dan berhubungan langsung dengan terjadinya banjir.

Menurut Kent (1971) dalam Gunawan, T (1991) Pengaruh penggunaan lahan dan praktek konservasi terhadap proses hidrologi ada dua, yaitu merubah volume aliran langsung dan merubah beda waktu datang laju puncak aliran langsung. Pengaruh perubahan penggunaan lahan tergantung pada perubahan di dalam penutupan. Terasering dengan rumput atau tanaman permanen meningkatkan infiltrasi dan simpanan, berarti mengurangi aliran permukaan dan kecepatan aliran, sehingga menambah jarak atau lama aliran mencapai mulut sungai.

2.7

Fungsi Hidrologis Daerah Aliran Sungai (DAS)

Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah cabang ilmu hidrologi yang mempelajari pengaruh pengelolaan vegetasi dan lahan di daerah tangkapan air bagian hulu (upper catchment) terhadap daur air, termasuk pengaruhnya terhadap erosi, kualitas air, banjir, dan iklim di daerah hulu dan hilir. (Asdak, 2007)

Menurut Chow (1988) dalam Indarto (2010) Aplikasi ilmu hidrologi dapat dijumpai dalam hampir sebagian besar permasalahan air di dalam Daerah Aliran Sungai (DAS), seperti penyediaan air, pengelolaan air limbah dan air buangan, irigasi dan drainasi, pembangkit tenaga air, pengendalian banjir, masalah erosi dan sedimentasi. Fungsi praktis dari hidrologi adalah untuk membantu analisis terhadap permasalahan yang ada dan memberikan kontribusi terhadap perencanaan dan manajemen sumber daya air.

(27)

14 permukaan yang diakibatkan oleh turunnya hujan. Lebih lanjut berarti pula dapat menstabilkan besarnya luah serta memperpanjang ketersediaan aliran permukaan pada musim kering. (Djuwansah, 2006)

Pada dasarnya konsep hidrologi ini dapat diterapkan di setiap daerah. Akan tetapi karena pengukuran secara efektif untuk luah serta kualitas air permukaan yang dihasilkan hanya dapat diukur pada aliran sungai maka satuan wilayah pengukurannya harus mengikuti batasan daerah aliran sungai (catchment area). Menurut Djuwansah M.R. (2006) Fungsi hidrologi suatu daerah berbeda dengan daerah lainnya, ditentukan oleh faktor geologi, bentuk wilayah, tanah dan tutupan lahan. Penurunan fungsi hidrologi suatu daerah dapat pula terjadi apabila tutupan lahan telah banyak berubah yang mengakibatkan berkurangnya jumlah air yang meresap ke dalam tanah. Dengan mengetahui kondisi fungsi hidrologi suatu DAS maka akan diketahui tingkat kesehatan DAS pada suatu saat sehingga dapat disusun suatu rencana konservasi atau rehabilitasinya.

Menurut Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. (2009) Masalah fungsi DAS sangat penting bagi pemerintah dan para pengambil kebijakan, terutama yang berkaitan dengan dampak kerusakan fungsi hidrologis terhadap manusia dan infrastruktur secara ekonomi. Jenis dan besarnya dampak fungsi DAS bagi manusia sangat dipengaruhi oleh perubahan penutupan lahan, pembuatan infrastruktur (seperti dam, saluran irigasi) yang bisa mengubah sistem drainase dan penyimpanan air sementara pada skala lanskap, serta lokasi tempat tinggal/desa/kota.

Kelemahan dalam pengelolaan DAS yang umum diterapkan saat ini adalah memandang kepentingan fungsi DAS hanya dari sudut pandang hulu - hilir dan cenderung mengabaikan pentingnya 'zona transmisi' antar hulu - hilir. Sebagai contoh, perubahan badan sungai dapat berdampak besar bagi perilaku hidrologi sungai dan perubahan penggunaan lahan pada zona transmisi berdampak sama besarnya dengan perubahan penggunaan lahan pada bagian hulu DAS.

(28)

15

III.

METODOLOGI

3.1

Lokasi dan Waktu

Lokasi pada penelitian ini adalah Sub DAS Cilamaya. Sub DAS Cilamaya ini mencakup beberapa kabupaten yaitu Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Bandung. Keempat kabupaten tersebut merupakan kabupaten di Jawa Barat. Peta lokasi dapat dilihat pada Lampiran 2. Pelaksanaan penelitian mulai dari April hingga Juni 2012.

3.2

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah 1. Komputer

2. Perangkat lunak komputer meliputi Arc Map Version 10 (Lisensi IPB dengan No Lisensi EFL588104064), Microsoft Excel, USGS Thornthwaite Water Balance Model Version 1.1.0.

Bahan yang digunakan adalah serangkaian data sekunder tentang kondisi Sub DAS Cilamaya, yang meliputi :

1. Peta Rupabumi Jawa Barat

2. Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum dalam bentuk shapefile (.shp)

3. Peta Penggunaan Lahan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum tahun 2000 dan tahun 2007dalam bentuk shapefile (.shp)

4. Data Curah Hujan Sub DAS Cilamaya 5. Data Debit Sungai Cilamaya

6. Data Suhu di Plered, Kabupaten Purwakarta

3.3

Metode Penelitian

Tahapan penelitian terdiri dari: 1. Studi Pustaka

Pada tahap studi pustaka, digunakan untuk mencari literatur dan referensi yang berkaitan dengan topik penelitian. Studi pustaka dilakukan untuk memperoleh dasar-dasar teoritis untuk pembuktian dalam menganalisis berbagai macam permasalahan yang dihadapi selama penelitian berlangsung.

2. Pengumpulan Data dan Informasi

Pada tahap ini merupakan tahap pengumpulan data dan informasi, seluruh data yang digunakan merupakan data sekunder. Seluruh data sekunder tersebut kecuali Peta Rupabumi Jawa Barat, merupakan data yang penulis dapatkan dari Proyek TA 7189-INO: Institutional Strengthening For Integrated Water Resources Management (IWRM) In The 6 Cis River Basin Territory –

Package D. Data tersebut yaitu Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum dalam bentuk shapefile (.shp), Peta Penggunaan Lahan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum tahun 2000 dan tahun 2007 dalam bentuk shapefile (.shp), Data Curah Hujan Sub DAS Cilamaya, Data Debit Sungai Cilamaya, Data Suhu di Plered Kabupaten Purwakarta.

3. Pengolahan Data

a. Mendapatkan peta perubahan lahan Sub DAS Cilamaya tahun 2000 dan tahun 2007

(29)

16 Citarum dan beberapa informasi lainnya mengenai DAS Citarum. Kemudian dengan menu select by attributes yang tersedia, didapat .shp baru yaitu shapefile Sub DAS Cilamaya. Dengan mengetahui Sub DAS Cilamaya tersebut, dapat diketahui pula stasiun hujan yang termasuk ke dalam Sub DAS Cilamaya.

2. Mendapatkan peta penutupan lahan Sub DAS Cilamaya serta perbedaan penutupan lahan Sub DAS Cilamaya pada tahun 2000 dan tahun 2007. Data peta penutupan lahan diolah pula dengan menggunakan perangkat lunak Arc Map Version 10. Data penutupan lahan yang ada yaitu data penutupan lahan DAS Citarum tahun 2000 dan tahun 2007, namun data tersebut belum dikelompokan menurut penutupan lahannya. Maka, dengan menu select by attributes dilakukan pengelompokan penutupan lahan DAS Citarum yaitu hutan, bangunan, sawah, permukiman, perkebunan, tubuh air, tutupan tanah dan vegetasi lainnya. Dengan menu intersect yang tersedia, dilakukan intersect pada peta Sub DAS Cilamaya dengan peta penutupan lahan DAS Citarum tahun 2000 dan tahun 2007 yang telah dikelompokan menurut penutupan lahannya. Maka, didapatkan penutupan lahan Sub DAS Cilamaya tahun 2000 dan tahun 2007, yang akan memberikan data perbandingan penutupan lahan pada kedua tahun tersebut.

b. Mendapatkan koefisien aliran pada tahun 2000 dan tahun 2007 serta menganalisis koefisien aliran tersebut terhadap perubahan lahan yang terjadi

1. Mendapatkan curah hujan rata-rata wilayah. Perhitungan curah hujan rata-rata dilakukan dengan menggunakan metode polygon thiessen. Rumus untuk polygon thiessen ditampilkan dalam rumus (1). Penentuan wilayah berdasarkan cara tersebut dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Arc Map Version 10, dengan menu intersect pada shapefile Sub DAS Cilamaya dan shapefile data polygon thiessen. Dan untuk perhitungan curah hujan dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel dengan menggunakan rumus (1). Data curah hujan yang diolah merupakan data curah hujan pada Sub DAS Cilamaya pada tahun 2000 hingga 2007.

2. Mendapatkan data evapotranspirasi (Etp) dan run-off (Ro). Tahap pengolahan data ini dilakukan dengan perangkat lunak USGS Thornthwaite Water Balance Model Version 1.1.0. Model ini menggunakan data masukan (input) berupa data tanggal, bulan, suhu harian, dan curah hujan harian dalam bentuk notepad (.txt). Setelah running pada perangkat lunak tersebut, didapat data hasil (output) berupa data evapotranspirasi (Etp) dan run-off (Ro) dalam bentuk notepad (.txt) yang selanjutnya diubah formatnya menjadi Microsoft excel (.xls).

3. Mendapatkan data koefisien aliran. Untuk mendapatkan koefisien aliran, dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus (2). Kemudian dilakukan tahap analisis koefisien aliran dengan hubungannya terhadap perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Sub DAS Cilamaya. c. Menganalisis fungsi hidrologis Sub DAS Cilamaya dilihat dari rasio debit maksimum (Qmax) dan

debit minimum (Qmin)

Pada tahap ini dilakukan penilaian terhadap fungsi hidrologis. Penilaian tersebut dilakukan dengan mencari rasio antara debit maksimum (Qmax) dan debit minimum (Qmin) Sub DAS Cilamaya pada tahun 1999 hingga tahun 2008. Kemudian dianalisis berdasarkan kriteria dan indikator DAS yang tertera pada SK Menteri Kehutanan Nomor : 52/Kpts-II/2001 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

d. Penyusunan Laporan Penelitian

(30)
[image:30.595.99.565.96.789.2]

17

Gambar 3. Bagan alir penelitian Data Curah Hujan Bulanan Cilamaya

Persiapan

Penelitian

Data:

1. Peta Rupabumi 2. Peta DAS

Citarum 3. Peta

Administrasi DAS Citarum

4.

Peta Sub DAS Cilamaya

Peta Penggunaan Lahan DAS Citarum tahun 2000 dan 2007

Data Suhu di

Plered

Peta Penggunaan Lahan Sub DAS

Cilamaya Curah Hujan Wilayah Rata-Rata Aliran Permukaan

(Runoff)

Data Debit Cilamaya , Rasio Qmax dan Qmin Perubahan Penggunaan Lahan Sub DAS Cilamaya tahun 2000 dan tahun 2007

(31)

18

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Kondisi Umum

Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 1070 31’ – 1070 41’ BT dan 060 12’ - 060 44’ LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29 ha yang memiliki outlet ke Laut Jawa. Sub DAS Cilamaya masuk ke dalam Wilayah Sungai Citarum dikarenakan Sub DAS Cilamaya ini merupakan sub DAS yang dilewati oleh kanal tarum timur, sehingga tangkapan air hujan yang jatuh pada sub DAS ini dan aliran air yang mengalir pada sub DAS ini, akan mempengaruhi aliran air pada Sungai Utama Citarum. Sub DAS Cilamaya mempunyai satu sungai utama yaitu Sungai Cilamaya dan mempunyai stasiun pengukuran debit yang terletak di Cipendeuy. Peta Sub DAS Cilamaya disajikan pada Gambar 4.

[image:31.595.109.531.322.726.2]

Menurut Madijah (2004) Sub DAS Cilamaya memiliki iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin muson dan mempunyai dua musim yaitu musim hujan dan kemarau. Musim hujan berlangsung mulai November hingga Mei dan musim kemarau bulan Juli hingga Oktober. Sub DAS Cilamaya memiliki topografi dengan bentuk wilayah yang bervariasi datar, bergelombang dan berbukit, dengan ketinggian berkisar antara 25-500 m dpl.

Gambar 4. Sub DAS Cilamaya

(32)
[image:32.595.113.530.84.488.2]

19

Gambar 5. Kabupaten pada Sub DAS Cilamaya

Tabel 5. Nama Kabupaten dan Luas Kabupaten pada Sub DAS Cilamaya

No Nama Kabupaten Luas (Ha) Persentase (%)

1 Subang 23680.55 70.50

2 Karawang 2989.33 8.90

3 Purwakarta 6912.64 20.58

4 Bandung 8.77 0.03

Total 33591.29 100

Pada Gambar 5 dan Tabel 5 terlihat bahwa Sub DAS Cilamaya terdiri dari empat daerah kabupaten, yaitu Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Bandung. Kabupaten terbesar pada Sub DAS Cilamaya yaitu Kabupaten Subang, dan terkecil yaitu Kabupaten Bandung. Kabupaten Bandung terletak di sebelah selatan dan menjadi hulu untuk Sub DAS Cilamaya. Untuk hilir, Sub DAS Cilamaya memiliki Kabupaten Karawang yang terletak di sebelah utara yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa.

(33)
[image:33.595.112.530.75.433.2]

20

Gambar 6. Sungai Cilamaya dan Stasiun Pengukur Debit pada Sub DAS Cilamaya

[image:33.595.106.523.529.746.2]

Namun, pada penelitian ini stasiun pengukur debit yang digunakan adalah Cipendeuy. Hal ini dikarenakan Bendung Barugbug merupakan bendung yang menjadi tempat bertemunya dua sungai, yaitu Sungai Cilamaya dan Sungai Ciherang. Aliran kedua sungai ini akan masuk ke Bendung Barugbug dan nantinya akan masuk kedalam saluran irigasi Sungai Cilamaya dan Kanal Tarum Timur. Gambar yang menunjukan pertemuan dua sungai tersebut, disajikan pada Gambar 7.

(34)
[image:34.595.112.532.187.530.2]

21 Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian Nomor 837 tentang klasifikasi kelerengan, Sub DAS Cilamaya memiliki empat kelas lereng, yaitu Kelas Lereng 1, Kelas Lereng 3, Kelas Lereng 4, dan Kelas Lereng 5. Kelas lereng 1 merupakan jenis lereng datar, kelas lereng 3 merupakan jenis lereng agak curam, kelas lereng 4 merupakan jenis lereng curam, kelas lereng 5 merupakan jenis lereng sangat curam. Peta kondisi lereng Sub DAS Cilamaya ditampilkan pada Gambar 8, untuk luas dan persentase jenis lereng pada Sub DAS Cilamaya ditampilkan pada Tabel 6.

Gambar 8. Kondisi Lereng Sub DAS Cilamaya

Tabel 6. Kelas Kelerangan pada Sub DAS Cilamaya Menurut SK Menteri Pertanian Kelas Lereng Kelerengan (%) Keterangan Luas (ha) Persentase (%)

1 0-8 Datar 26031.14 77.50

3 15-25 Agak curam 3368.30 10.03

4 25-45 Curam 3411.31 10.16

5 >45 Sangat curam 779.91 2.32

Total 100

(35)
[image:35.595.111.539.137.508.2]

22 dan laterit air tanah, asosiasi podsolik kuning dan hidromorf kelabu, kompleks latosol merah kekuningan, latosol coklat kemerahan dan litosol, kompleks podsolik merah kekuningan, podsolik kuning dan regosol, kompleks regosol kelabu dan litosol, latosol coklat, dan regosol coklat.

Gambar 9. Jenis Tanah pada Sub DAS Cilamaya

4.2

Peta Penutupan Lahan Sub DAS Cilamaya Tahun 2000 dan Tahun 2007

Penutupan lahan yang dianalisis pada Sub DAS Cilamaya yaitu tahun 2000 dan tahun 2007. Analisis pada dua tahun tersebut terkait pada Naskah urutan prioritas DAS yang dibuat oleh BP DAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) Citarum-Ciliwung pada tahun 2007 tentang kondisi Sub DAS Cilamaya.
(36)
[image:36.595.111.533.85.534.2]

23

Gambar 10. Hasil peta penutupan lahan Sub DAS Cilamaya tahun 2000

Tabel 7. Penutupan lahan Sub DAS Cilamaya tahun 2000

Landcover Luas (ha) Persentase (%)

Bangunan 272.42 0.82

Perkebunan 6420.32 19.23

Permukiman 2385.09 7.14

Sawah 14721.20 44.09

Tubuh Air 2204.60 6.60

Tutupan Tanah 42.64 0.13

Hutan 554.02 1.66

Vegetasi Lainnya 6785.63 20.33

Total 100

(37)
[image:37.595.111.533.85.520.2]

24

Gambar 11. Hasil peta penutupan lahan Sub DAS Cilamaya tahun 2007

Tabel 8. Penutupan lahan Sub DAS Cilamaya tahun 2007

Landcover Luas (ha) Persentase (%)

Perkebunan 25089.92 74.693

Permukiman 392.90 1.170

Sawah 5155.52 15.348

Tubuh Air 2176.84 6.480

Tanah Terbuka 34.63 0.103

Hutan 314.73 0.937

Vegetasi Lainnya 424.37 1.263

No Data 2.04 0.006

Total 100

Dari Tabel 7 dan 8 dapat dilihat bahwa terjadi perubahan penggunaan lahan secara besar yang menurun yaitu pada hutan dan sawah. Hutan mempunyai luas sebesar 554.02 ha pada tahun 2000 dan menurun menjadi 314.73 ha pada tahun 2007. Sedangkan sawah mempunyai luas sebesar 14721.20 ha pada tahun 2000 dan menurun menjadi 5155.52 ha pada tahun 2007. Perubahan penggunaan lahan yang meningkat secara besar yaitu pada perkebunan dengan luas dari 6420.32 ha pada tahun 2000 dan meningkat menjadi 25089.92 ha pada tahun 2007.

(38)

25 penting sebagai penutup tanah sehingga air hujan yang jatuh pada area tersebut akan tertahan dan akan terinfiltrasi ke dalam tanah yang nantinya akan menjadi cadangan air tanah. Berkurangnya luas hutan yang terjadi, dapat dikarenakan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan lahan selain hutan seperti pemukiman. Adanya perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab pun dapat menjadi penyebab berkurangnya lahan hutan, seperti membuka lahan hutan dengan cara menebang secara besar namun tidak dimanfaatkan dengan baik. Hal ini akan mempengaruhi aliran permukaan menjadi besar, dikarenakan air hujan yang jatuh pada area tersebut tidak akan ditahan oleh pepohonan maupun serasah yang seharusnya terdapat di hutan.

Pada tahun 2007 didapat hasil bahwa adanya tutupan lahan berupa tanah terbuka sebesar 34.63 ha di Sub DAS Cilamaya. Tanah terbuka tersebut merupakan tanah terbuka yang tidak bervegetasi. Tutupan lahan berupa tanah terbuka ini akan mempengaruhi air permukaan yang terjadi di Sub DAS Cilamaya semakin besar. Hal ini dikarenakan air hujan yang jatuh pada tanah terbuka tersebut akan langsung dialirkan menuju daerah yang elevasinya lebih rendah dan langsung menuju ke sungai atau laut. Tanah terbuka ini merugikan dikarenakan air hujan yang jatuh tidak akan terinfiltrasi dan tidak akan sempat menjadi cadangan air tanah, sehingga apabila air hujan yang jatuh deras maka akan langsung menjadi air permukaan yang besar dan merugikan masyarakat.

4.3

Koefisien aliran pada tahun 2000 dan tahun 2007

[image:38.595.105.532.402.739.2]

Sub DAS Cilamaya memiliki kondisi curah hujan yang bervariasi yaitu kondisi curah hujan dengan curah hujan yang besarnya berkisar antara 1000 hingga 5000. Peta kondisi curah hujan Sub DAS Cilamaya disajikan pada Gambar 12.

(39)

26

[image:39.595.111.530.73.428.2]

Gambar 13. Stasiun curah hujan dan pembagian daerah tangkapan hujan Sub DAS Cilamaya

Tabel 9. Nama Stasiun Curah Hujan dan Luas Daerah Tangkapan Hujan untuk Setiap Stasiun Curah Hujan

Nama Stasiun Luas (ha)

Rawa Gempol 859.78

Ciherang Kalijati 984.58

Wanayasa 1570.00

Ciracas 3974.16

Sukawana 4.33

Pondok Salam 563.22

Ciherang 5553.64

Purwakarta 271.02

Pamanukan 3221.27

Talenpare 13957.30

Peundeuy 590.03

Cilamaya 2041.90

Total 33591.23

(40)

27 sungai yang besar, yang didalamnya memiliki banyak stasiun pengukur hujan. Dari data yang didapat, terdapat stasiun pengukur hujan sebanyak 12 tempat. Letak setiap stasiun dan pembagian daerah tangkapan hujan Sub DAS Cilamaya untuk perhitungan Polygon Thiessen, ditampilkan pada Gambar 13. Sedangkan nama stasiun curah hujan dan luas daerah tangkapan hujan untuk setiap stasiun curah hujan ditampilkan dalam Tabel 9. Adapun nama 12 stasiun pada Sub DAS Cilamaya adalah Rawa Gempol, Ciherang Kalijati, Wanayasa, Ciracas, Sukawana, Pondok Salam, Ciherang, Purwakarta, Pamanukan, Talenpare, Peundeuy, Cilamaya. Hasil dari perhitungan curah hujan rata-rata wilayah untuk Sub DAS Cilamaya dengan menggunakan Polygon Thiessen dapat dilihat dalam Tabel 10. Pada Tabel 10, hasil terbesar untuk curah hujan yaitu pada tahun 2003 sebesar 3715 mm.

Tabel 10. Hasil Perhitungan Curah Hujan pada Sub DAS Cilamaya dengan Menggunakan Metode Polygon Thiessen

Tahun Curah hujan (mm)

2000 2229

2001 3276.9

2002 2498.4

2003 3715

2004 2643.1

2005 3297.3

2006 2520.4

2007 3090.8

2008 2574.9

2009 3001.1

Hasil curah hujan yang didapat dengan menggunakan metode polygon thiessen dan data suhu daerah Plered Kabupaten Purwakarta digunakan untuk input USGS Thornthwaite Water Balance Model Version 1.1.0. Perangkat lunak ini digunakan untuk menghasilkan data run-off. Data run-off dicari menggunakan perangkat lunak ini dikarenakan keterbatasan data yang ada. Pada perangkat lunak ini, diatur lintang dan kelembaban tanah (soil moisture) yang sesuai dengan kondisi Sub DAS Cilamaya, yaitu dengan lintang 60 dan kelembaban tanah 500 mm. Kemudian output yang didapat adalah data evapotranspirasi dan data run-off. Hasil yang didapat dari model tersebut dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil terbesar untuk evapotranspirasi dan run-off yaitu pada tahun 2003 sebesar 1212.8 mm dan 2272 mm.

Pada Tabel 10 dapat dilihat hasil dari tahun 2000 dan tahun 2007. Curah hujan yang terjadi semakin besar untuk tahun 2007 dari tahun 2000. Namun, pada Tabel 11 evapotranspirasi yang terjadi berada pada angka yang sama. Ini mengakibatkan run-off lebih besar untuk tahun 2007 dari tahun 2000.

(41)

28

Tabel 11. Output USGS Thornthwaite Water Balance Model Version 1.1.0 Lintang 60dan Soil Moisture 500 mm

Tahun Evapotranspirasi (mm) Run-off (mm)

2000 1205.6 648.1

2001 1197.9 2035.4

2002 1206.9 1408.8

2003 1212.8 2272

2004 1208.3 1659.9

2005 1202.7 2004.8

2006 1205.6 1534.2

2007 1205.6 1764.7

2008 1205.6 1531.8

2009 1205.6 1816

Koefisien aliran permukaan atau yang biasa disingkat menjadi koefisien C, dicari dengan menggunakan rumus (2) yang merupakan rumus menurut Asdak (2007). Data yang digunakan untuk rumus tersebut adalah hasil data curah hujan dengan menggunakan metode polygon thiessen dan hasil dari perangkat lunak USGS Thornthwaite Water Balance Model Version 1.1.0. berupa data evapotranspirasi dan data run-off. Adapun hasil yang didapat dengan menggunakan rumus (2) tersebut ditampilkan pada Tabel 12.

Tabel 12. Hasil perhitungan koefisien C

Tahun Hasil Koefisien C

2000 0.63

2007 0.94

Seperti halnya run-off yang bertambah besar, koefisien c yang didapat juga semakin besar. Koefisien C yang didapat pada tahun 2000 yaitu sebesar 0.63, sedangkan tahun 2007 yaitu sebesar 0.94. Hasil tersebut menunjukan bahwa pada tahun 2000, sebesar 63% air hujan yang jatuh pada Sub DAS Cilamaya berubah menjadi air larian permukaan. Sedangkan pada tahun 2007 yaitu sebesar 94% air hujan yang jatuh pada Sub DAS Cilamaya berubah menjadi air larian permukaan.

Dari Tabel 7 dan 8, dapat dilihat perubahan yang terjadi secara signifikan terjadi pada penurunan lahan hutan. Hutan merupakan catchment area yang baik, karena banyak terdapat vegetasi yang tumbuh termasuk pohon yang dapat menangkap air ketika hujan, kemudian menyimpan dan menahan air pada saat hujan, sehingga air yang turun tidak dapat langsung bebas mengalir menuju hilir dan tidak menyebabkan run-off menjadi besar. Maka dari itu, kemungkinan yang terjadi untuk run-off dan koefisien C yang besar pada tahun 2007, yaitu karena hutan semakin sedikit dan adanya tanah terbuka pada tahun tersebut.

4.4

Fungsi hidrologis Sub DAS Cilamaya dilihat dari rasio debit maksimum

(Qmax) dan debit minimum (Qmin)

(42)

29 Qmax dan Qmin pada tahun 2000 dan tahun 2007 menunjukan hasil yang berbeda. Pada tahun 2000 mempunyai Qmax yaitu 230.5 m3/detik dan Qmin yaitu 1.92 m3/detik. Sedangkan pada tahun 2007 mempunyai Qmax yaitu 209.31 m3/detik dan Qmin yaitu 0.03 m3/detik. Hasil yang didapat untuk Qmax dan Qmin pada Sub DAS Cilamaya dari tahun 1999 hingga tahun 2008 ditampilkan pada Tabel 13 dan Gambar 14.

Qmax dan Qmin yang terjadi pada tahun 2000 dan tahun 2007 menunjukan hasil fungsi hidrologis Sub DAS Cilamaya yang berbeda, hal ini ditampilkan pada Tabel 13. Pada tahun 2000 rasio yang didapat pada Sub DAS Cilamaya yaitu 120, sedangkan pada tahun 2007 rasio yang didapat pada Sub DAS Cilamaya yaitu 6977. Hasil tersebut kemudian dianalisis berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor : 52/Kpts-II/2001 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai pada kriteria Tata Air dan Indikator Debit air Sungai, yang terdapat pada Lampiran 1. Pada tahun 2000 dengan rasio sebesar 120, Sub DAS Cilamaya berada pada keadaan DAS dengan tingkat kerusakan sedang. Sedangkan pada tahun 2007 dengan rasio sebesar 6977 Sub DAS Cilamaya berada pada keadaan DAS dengan tingkat kerusakan buruk.

Tabel 13. Rasio Qmax dan Qmin pada Sub DAS Cilamaya

Tahun Qmax Qmin KRS

1999 253.4 1.71 148

2000 230.5 1.92 120

2001 119.3 1.71 70

2002 102.8 1.48 69

2003 94.3 0.63 150

2004 273.6 1.44 190

2005 63.8 2.34 27

2006 137.1 3.09 44

2007 209.3 0.03 6977

2008 197.73 1.3 152

Gambar 14.Rasio Qmax dan Qmin pada tahun 1999 hingga tahun 2008 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000

1999 2001 2003 2005 2007

(43)

30

V.

KESIMPULAN

5.1

Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan :

1. Didapatkan peta penggunaan lahan Sub DAS Cilamaya tahun 2000 dan tahun 2007. Peta penggunaan lahan ditampilkan pada Gambar 10 dan Gambar 11. Perubahan penutupan lahan yang terjadi dari tahun 2000 dan tahun 2007, yaitu menunjukan bahwa perubahan yang terjadi secara besar pada hutan, sawah dan perkebunan. Sedangkan tutupan lahan berupa tanah terbuka semakin banyak, pada tahun 2007 mencapai 34.63 ha.

2. Koefisien aliran dengan menggunakan rumus (2), Koefisien aliran yang didapat pada tahun 2000 sebesar 0.63 dan pada tahun 2007 sebesar 0.94. Hal ini menunjukan bahwa air larian yang terjadi di Sub DAS Cilamaya makin besar dari tahun 2000 hingga tahun 2007. Adanya perubahan tutupan lahan berupa tanah terbuka pada tahun 2007 diindikasikan menjadi sebab untuk kondisi koefisien aliran pada Sub DAS Cilamaya dari tahun 2000 hingga tahun 2007 meningkat.

3. Rasio Qmax dan Qmin yang didapat pada Sub DAS Cilamaya tahun 2000 yaitu 120, sedangkan pada tahun 2007 rasio yang didapat yaitu 6977. Berdasarkan

Gambar

Gambar 3. Bagan alir penelitian
Gambar 4. Sub DAS Cilamaya
Gambar 5. Kabupaten pada Sub DAS Cilamaya
Gambar 6. Sungai Cilamaya dan Stasiun Pengukur Debit pada Sub DAS Cilamaya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian dilakukan di Wilayah Kerja Perum Jasa Tirta II (PJT-II) seluas 1.364.072 ha, dengan fokus pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu, yang merupakan

Penelitian dilakukan di Wilayah Kerja Perum Jasa Tirta II (PJT-II) seluas 1.364.072 ha, dengan fokus pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu, yang merupakan

oleh karena itu, upaya-upaya pelestarian sumberdaya air sangat diperlukan melalui penataan penggunaan lahan di dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Jenis penggunaan

Karakteristik hidrologi sungai dalam daerah aliran sungai (DAS) selain dipengaruhi penggunaan lahan yang ada, juga dipengaruhi sifat dasar alami DAS yang disebut

Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang merupakan salah satu DAS yang terdapat di Sulawesi Selatan yang sudah termasuk DAS prioritas. Kondisi lahan di DAS Jeneberang

Adapun pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah ‖Bagaimana permasalahan perkembangan guna lahan pada wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang berfokus

oleh karena itu, upaya-upaya pelestarian sumberdaya air sangat diperlukan melalui penataan penggunaan lahan di dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Jenis penggunaan

Gambar 6 Curah hujan tahunan di DAS Citarum bagian hilir tahun 2000-2014 PJT 2 Jatiluhur Gambar 7 Volume air Sungai Citarum hilir tahun 2009-2014 PJT 2 Jatiluhur 2016 dan BBWS Citarum