• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pola Penyediaan Pakan dan Strategi Pengembangan Kecamatan Pati sebagai Sentra Produksi Ternak Sapi Potong Rakyat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pola Penyediaan Pakan dan Strategi Pengembangan Kecamatan Pati sebagai Sentra Produksi Ternak Sapi Potong Rakyat."

Copied!
198
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

Pattern Analysis of The Feed Provision and Development Strategy in Pati District as The Center of The Traditional Beef Cattle Production

Ainol Yakin , Sudarsono Jayadi, M. Agus Setiana

This research aimed to analyze the supply pattern of beef cattle feed and a portrait of the potential subdistrict of Pati as beef cattle production center in Pati by analyzing the internal factors (strengths and weaknesses) and external factors (opportunities and threats) that exist in the area and then created a strategy for the development of smallholder. This research will be carried out in 4 (four) villages in the Pati district, Pati regency, Central Java, for one month, from 1 November to 30 November 2010. The method used in this research is descriptive method that describes a situation based on factual data with survey techniques and direct observation in the four villages were purposively selected, the village which has the highest cattle in District of Pati. The observed variables in the data collection process is a pattern of feed supply, as well as internal and external factors in the beef cattle business people, which includes the capital, breed, maintenance, feed, animal health, housing, labor resources, marketing, climate, government support, politics, and demand (consumers).

Forage availability throughout the year and the high beef demand in the Pati District is a major factor in the development of cattle production. It’s supported with experienced and productive human resources, is a strength in development to meet the demand for meat, especially in the District of Pati and national. However, smallholder in the District of Pati is inseparable from a variety of problems in it’s development. The low level of farmer education, limited capital, and traditional maintenance and still a side business for raising cattle, were major cause of low productivity of smallholder. High rate of imported cattle in Indonesia is a serious threat to the development of smallholder, so that the products of the smallholder can not compete on price and quality.

Optimization forage land and the formation of livestock in each village is an alternative strategy in overcoming problems in the development of beef cattle in the Pati District. Policies and programs of local governments in providing a knowledge and information technology training, and supervision in the marketing and animal health checks regularly, also some strategy that supports the traditional farm development in this area.

(2)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pertanian masih memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk atau tenaga kerja yang hidup atau bekerja pada sektor pertanian atau produk nasional yang berasal dari pertanian. Prioritas pembangunan di Indonesia diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi khususnya pada sektor pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan untuk meningkatkan produksi pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan industri dalam negeri, meningkatkan ekspor, meningkatkan pendapatan petani, mendorong kesempatan kerja, dan mendorong pemerataan kesempatan berusaha (Soekartawi, 1991).

Meningkatkan produksi daging merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan sekaligus memajukan tingkat kecerdasan sumber daya manusia Indonesia. Daging sapi adalah sumber protein hewani yang kontribusinya dalam memenuhi kebutuhan konsumen nasional sangat penting. Program kecukupan daging 2014 memerlukan upaya terobosan yang efektif serta dukungan yang memadai dari pemerintah dan masyarakat, khususnya yang bergerak dibidang usaha sapi potong. Produktivitas yang rendah merupakan kendala peningkatan produksi daging terutama pada usaha sapi potong rakyat. Keterbatasan modal, kurang berwawasan agribisnis serta tatalaksana pemeliharaan yang masih tradisional merupakan penyebab rendahnya produktivitas, dengan tingkat pertumbuhan dibawah 0,5 kg/hari (Utomo et al., 1999).

(3)

satu sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi yang seimbang, pertambahan penduduk dan meningkatnya daya beli masyarakat. Namun dalam pemenuhan kebutuhan daging nasional, pemerintah belum mencapai swasembada daging sapi hal ini justru berbanding terbalik dengan daging ayam yang sudah mencapai swasembada daging.

Di Indonesia jenis ternak yang banyak dipelihara untuk memenuhi kebutuhan daging adalah ternak sapi potong. Meskipun ternak sapi potong diusahakan peningkatan, namun peningkatannya belum memperlihatkan kemajuan cukup menggembirakan sehingga impor dari tahun ke tahun akan terus meningkat, akibatnya peternakan rakyat yang diharapkan mengalami pertumbuhan dengan cepat dan baik belum mampu dimanfaatkan secara optimal.

Jawa Tengah merupakan sentra penghasil ternak sapi potong terbesar kedua di Indonesi setelah Jawa Timur. Berdasarkan data Ditjennak (2009), jumlah populasi ternak sapi potong di Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 1.529.991 ekor. Salah satu kabupaten di JawaTengah yang menjadi sentra produksi ternak sapi potong adalah Kabupaten Pati dengan jumlah populasi sebesar 71.906 ekor (BPS Kab. Pati, 2010), sehingga dapat dikatakan bahwa daerah Pati merupakan daerah yang cukup potensial dan mempunyai potensi yang baik untuk pengembangan ternak sapi potong.

(4)

perlu dilakukan guna menunjang peningkatan usaha ternak sapi potong di Kabupaten Pati.

Tujuan

(5)

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Rakyat

Peternakan rakyat masih memegang peranan sebagai aset terbesar dalam pembangunan peternakan nasional, tetapi sampai saat ini tipologinya masih bersifat sambilan (tradisional) yang dibatasi oleh usaha kecil, teknologi sederhana, dan produknya berkualitas rendah (Soehadji, 1995). Menurut Aziz (1993), peternakan rakyat mempunyai ciri-ciri, yaitu skala usahanya relatif kecil, merupakan usaha rumah tangga, dilakukan sebagai usaha sampingan, menggunakan teknologi sederhana sehingga produktivitas rendah dan mutu produk tidak seragam, serta bersifat padat karya dan basis organisasi kekeluargaan.

Menurut Sudardjat dan Pambudy (2000), dalam peternakan rakyat sapi, kerbau dan ternak lainnya dipelihara dengan cara-cara sederhana tradisional. Sepanjang hari digembalakan di ladang sendiri atau di tanah gembalaan umum, di tepi jalan, dan di pinggir sungai dimana banyak tumbuhan rumput. Kadang-kadang dimandikan di sungai dan sore hari dibawa pulang dan dikandangkan di kandang yang sederhana. Pekerjaan di dalam usaha ternak ini dilakukan oleh anggota keluarga. Kebanyakan ternak yang sudah mencapai umur tertentu dijual. Disamping untuk diperjual-belikan, ternak besar (sapi, kerbau) juga diambil manfaatnya sebagai tenaga kerja atau disewakan kepada orang lain untuk mengerjakan sawah atau ladang, Sedangkan kotorannya dimanfaatkan sebagi pupuk tanaman.

Strategi Pengembangan Usaha Ternak Sapi

Strategi merupakan rencana yang disatukan, luas dan terintegrasi yang menghubungkan keunggulan strategis dengan tantangan lingkungan dan dirancang untuk memastikan bahwa tujuan utama dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat (Glueck dan Jauch, 1994). Esensi strategi merupakan keterpaduan dinamis faktor eksternal dan faktor internal yang berisikan strategi. Strategi merupakan respon yang secara terus-menerus atau adaptif terhadap peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal (Rangkuti, 1997).

(6)

Perumusan strategi adalah mengenali peluang dan ancaman eksternal, menetapkan kekuatan dan kelemahan internal dan memilih strategi tertentu untuk dilaksanakan. Implementasi strategi sering disebut tahap tindakan manajemen strategi dengan mengubah strategi yang telah dirumuskan menjadi suatu tindakan. Evaluasi strategi adalah tahap akhir dari manajemen strategi dengan melakukan tiga macam aktivitas mendasar untuk mengevaluasi strategi yaitu meninjau faktor-faktor eksternal dan internal yang menjadi dasar strategi, mengukur prestasi dan mengambil tindakan korektif (David, 2001).

Menurut Wahyudi (1996) tahap perumusan atau pembuatan strategi merupakan tahap yang paling menantang dan menarik dalam proses manajemen strategi. Inti pokok dari tahapan ini adalah menghubungkan suatu organisasi dengan lingkungannya dan menciptakan strategi-strategi yang cocok untuk dilaksanakan. Proses pembuatan strategi terdiri dari empat elemen sebagai berikut :

1. Identifikasi masalah-masalah strategis yang dihadapi meliputi lingkungan eksternal dan internal.

2. Pengembangan alternatif-alternatif strategi yang ada dengan mempertimbangkan strategi yang lain.

3. Evaluasi tiap alternatif strategi.

4. Penentuan atau pemilihan strategi terbaik dari berbagai alternatif yang tersedia. Perumusan strategi digunakan alat formulasi yaitu analisis SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats). Analisis SWOT adalah analisis identifikasi

berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi yang didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman (Hax dan Majluf, 1991).

(7)

Pengembangan ternak bertujuan untuk memenuhi permintaan daging daerah atau menambah produksi daging untuk mencukupi kebutuhan daerah, untuk menghidupkan kembali wilayah ekspor daging sapi sekaligus meningkatkan perekonomian daerah (Rahardi et al., 1993). Dengan demikian dapat meningkatkan pendapatan petani agar kehidupan dan kesejahteraannya lebih baik. Dalam upaya pengembangan usaha ternak sapi diperlukan data-data yang mendukung usaha ternak sapi tersebut. Dari data tersebut dapat dilakukan suatu analisis yang tepat untuk menyusun strategi pengembangan yang baik.

Analisis SWOT

Dalam upaya pengembangan ternak sapi perlu melakukan identifikasi terhadap usaha ternak sapi sehingga dapat dibuat suatu strategi pengembangan yang baik. Upaya penyusunan strategi ini dilakukan melalui suatu analisis yang disebut analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Oportunities, Threats).

Menurut Rangkuti (1997), analisis SWOT tak lain adalah melakukan auditing agribisnis wilayah dengan menggunakan 2 faktor penilaian yakni internal dan eksternal agribisnis. Faktor internal agribisnis terdiri atas kekuatan atau Strengths (S), kelemahan atau Weaknesses (W) sedangkan faktor eksternal terdiri atas peluang atau Opportunities (O) dan ancaman atau Threats (T). Faktor S terdiri atas variabel-variabel internal yang merupakan kemampuan yang dikuasai dan dimiliki misalnya tingkat pendidikan, ketersediaan lahan dan air dan sebagainya. Arah vektor adalah positif. Sedangkan faktor W adalah sama dengan variabel S hanya arahnya negatif. Faktor O merupakan variabel-variabel yang bersifat ekternal namun diperkirakan dapat dikuasai dan dimiliki dengan arah vektor adalah positif. Sedangkan faktor T mempunyai variabel-variabel yang sama dengan O hanya arah vektor negatif.

(8)

Strengths (kekuatan) adalah keahlian dan sumber daya utama yang dimiliki

oleh suatu usaha, sedangkan weaknesses (kelemahan) menunjukkan kekurangan suatu usaha dalam keahlian atau kompetensi tertentu. Oportunities (peluang) merupakan situasi yang menguntungkan yang penting dalam lingkungan usaha, sedangkan threats (ancaman) merupakan situasi yang tidak menguntungkan di lingkungan usaha.

Analisis SWOT penting untuk mengembangkan suatu rencana yang dibuat atau diambil dengan mempertimbangkan berbagai perbedaan faktor internal dan eksternal, dan memaksimumkan potensi atau kemampuan dari kekuatan dan peluang serta meminimalkan pengaruh dari kelemahan dan ancaman.

Penggunaan analisis SWOT dalam merumuskan strategi, yaitu berupaya (memaksa) memadukan hasil analisis situasi di luar dan dan di dalam suatu usaha (Anonimous, 1995). Teknik memaksa ini dimaksudkan untuk melihat keterkaitan antara situasi/faktor tersebut, jadi penggunaan analisis SWOT tidak dimaksudkan terutama untuk mengganti analisa-analisa yang lain. Sasaran utama analisis SWOT adalah untuk mempertemukan faktor-faktor luar (oportunities dan threats) dengan faktor-faktor dalam (strengths dan weaknesses).

Faktor-Faktor Internal Usaha Ternak Sapi Potong Modal

Modal diartikan sebagai barang-barang bernilai ekonomi yang digunakan untuk menghasilkan tambahan kekayaan atau untuk meningkatkan produksi (Soehardjo dan patong, 1973). Modal digunakan untuk menghasilkan barang-barang konsumsi atau jasa, atau untuk menghasilkan modal baru yang dapat digunakan dalam proses produksi berikutnya. Menurut Mubyarto (1989), modal dalam pengertian ekonomi adalah barang atau uang yang bersama–sama faktor produksi tanah dan tenaga kerja menghasilkan barang-barang baru, yaitu dalam hal ini hasil pertanian.

(9)

peternakan adalah kandang dan peralatan-peralatan yang digunakan untuk eperluan usahanya, seperti parang dan sabit untuk mengambil rumput. Sedangkan modal tidak tetap untuk usaha ini adalah obat-obatan.

Teknologi (Panca Usaha Ternak)

Teknologi usahatani berarti bagaimana cara melakukan pekerjaan usahatani. Didalamnya termasuk cara-cara bagimana petani menyebarkan benih, memelihara tanaman dan memungut hasil serta memelihara ternak. Termasuk didalamnya benih, pupuk pestisida, obat-obatan serta makanan ternak yang dipergunakan, perkakas, alat dan sumber tenaga, berbagai kombinasi cabang usaha, agar tenaga petani dan tanahnya dapat digunakan sebaik mungkin (Mosher, 1991).

Menurut Karafir (2002), teknologi biasanya tersirat dalam alat, bahan dan cara atau metode. Selain itu teknologi berkaitan dengan kerja, upaya atau usaha manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Teknologi tidak terkait dengan tujuan yang ingin dicapai manusia tetapi dengan cara, upaya untuk mencapai tujuan. Teknologi tertentu tersedia bagi kita dalam berbagai alternatif alat, bahan dan cara atau metode.

Untuk usaha peternakan, teknologi dilihat dari “Panca Usaha Ternak” yang

terdiri dari bibit, pemeliharaan, pakan ternak, kesehatan hewan, dan perkandangan. Bibit

Bibit ternak, dari segi usaha peternakan sapi potong mempunyai arti penting dalam mendukung keberhasilan usaha (Murtidjo,1990). Sedangkan dari segi pemeliharaan sendiri, tujuan ternak sapi potong dikenal dua alternatif, yaitu:

 Usaha pemeliharaan sapi potong bibit bertujuan pengembangbiakan sapi potong. Keuntungan yang diharapkan adalah hasil keturunannya.

 Usaha pemeliharaan sapi potong bakalan bertujuan memelihara sapi potong dewasa, untuk selanjutnya digemukkan. Keuntungan yang diharapkan adalah hasil penggemukkan.

Pada umumnya usaha peternak masih terbatas pada usaha mencari calon bibit walaupun baru seadanya saja sehingga sapi yang mereka ternakkan pun berasal dari bibit yang kurang baik yang diusahakan secara ekstensif atau semi ekstensif (Sugeng, 1999).

(10)

mengetahui kriteria pemilihan sapi dan pengukuran sapi. Pemilihan sapi sebagai calon bibit pengganti ataupun calon penggemukkan sering dirasa sulit. Sebab pada saat peternak melakukan pemilihan diperlukan pengetahuan kecakapan yang cukup, serta kriteria dasar. Kriteria dasar tersebut meliputi bangsa dan sifat genetis, bentuk luar, serta kesehatan. Pemilihan bibit berdasarkan penilaian bentuk luar akan semakin sempurna atau meyakinkan bila dilanjutkan dengan pengukuran bagian-bagian tertentu seperti panjang tubuh, lebar dan dalam dada, lingkar dada, dan sebagainya. Sedangkan pengukuran bagian-bagian tubuh itu akan berhasil baik bila ada persiapan, urutan, dan cara kerja yang benar. Bangsa sapi tropis yang sudah cukup populer yang banyak terdapat di Indonesia dan merupakan jenis unggul sampai saat ini ialah sapi bali, sapi madura, sapi ongole, dan sapi america brahman (Sugeng, 1999).

Pemeliharaan

Pemeliharaan dan perawatan sapi, merupakan salah satu penunjang utama sukses usaha ternak dalam mencapai keuntungan. Oleh karena itu diperlukan penanganan menajemen yang baik (Murtidjo, 1990).

Usaha menjaga kelangsungan hidup ternak sapi yang sehat dan pertumbuhan yang baik, kita harus memelihara dan merawat ternak sapi itu dengan baik. Dalam hal ini, setiap peternak pasti sudah memiliki sasaran dan tujuan tertentu yang hendak dicapai, misalnya menginginkan hasil akhir berupa daging atau karkas yang persentase dan mutunya bagus (Sugeng, 1999).

Tahap-tahap perawatan semenjak baru lahir atau masih pedet hingga menjadi sapi dewasa harus diperhitungkan. Untuk memperoleh sukses, peternak harus bisa melewati setiap tahap pemeliharaan dengan selamat. Semua sapi yang diusahakan harus bisa dicapai kondisi yang sehat. Sebab hanya sapi yang sehatlah yang bisa mempertahankan kelangsungan pertumbuhan. Kesehatan sapi bisa dicapai dengan tindakan higine, sanitasi lingkungan, vaksinasi, pemberian pakan, dan teknis yang tepat.

(11)

Pemeliharaan ternak sapi menyangkut pemberian pakan, pembersihan kandang dan memberikan tilam, memandikan sapi, menimbang berat badan, mengendalikan penyakit, memisahkan antara sapi betina dan jantan, dan mengawinkan sapi. Untuk sapi-sapi di Indonesia bisa dikawinkan pada umur 2-2,5 tahun (AAK, 1991). Sebab pada saat itu kedewasaan tubuh sudah tercapai, sehingga pada waktu terjadi kebuntingan tidak akan mengganggu induk yang bersangkutan. Dalam hal pemeliharaan ini masih banyak peternak yang belum melakukan pemeliharaan secara intesif.

Pakan Ternak

Makanan merupakan salah satu faktor penting di dalam usaha peternakan, lebih-lebih terhadap tinggi rendahnya produksi (AAK, 1979). Makanan ternak sapi potong dari sudut nutrisi merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan, dan reproduksi ternak. Makanan sangat esensial bagi ternak sapi. Makanan yang baik akan menjadikan ternak sanggup menjalankan fungsi proses dalam tubuh secara normal. Kebutuhan makanan akan meningkat selama ternak masih dalam pertumbuhan berat tubuh pada saat kebuntingan (Murtidjo, 1990).

Bahan pakan ternak sapi pada pokoknya bisa digolongkan menjadi 3 (tiga), yaitu pakan hijauan, pakan penguat (konsentrat), dan pakan tambahan. Menurut Sugeng (1999), pakan hijauan adalah bahan pakan yang berasal dari tanaman ataupun tumbuhan berupa daun-daunan, terkadang termasuk batang, ranting, dan bunga.

(12)

Lahan pengembalaan merupakan sumber penyediaan hijauan yang lebih ekonomis dan murah. Lahan pengembalaan merupakan tanaman hijauan yang secara langsung bisa dimakan oleh ternak. Lahan pengembalaan tersebut bisa terdiri dari rumput seluruhnya atau luguminosa saja, ataupun campuran, tetapi suatu lahan rumput yang baik dan ekonomis ialah yang terdiri atas campuran dari rumput dan leguminosa (AAK, 1983).

Pakan penguat adalah pakan yang berkonsentrasi tinggi dengan kadar serat kasar yang relatif rendah dan mudah dicerna. Bahan pakan penguat ini meliputi bahan makanan yang berasal dari biji-bijian seperti jagung giling, menir, bulgur, hasil ikutan pertanian atau pabrik seperti dedak, katul, bungkil kelapa, tetes, dan berbagai umbi (Sugeng, 1999).

Pakan tambahan bagi ternak sapi biasanya berupa vitamin, mineral, dan urea. Pakan tambahan ini dibutuhkan oleh sapi yang dipelihara secara intensif, yang hidupnya di dalam kandang terus-menerus. Pakan yang diberikan pada ternak sapi pada dasarnya hanyalah berupa pakan hijauan, sedangkan untuk pakan tambahan jarang atau bahkan tidak pernah diberikan.

Kesehatan Hewan

Keberhasilan peternakan sapi potong tidak hanya terletak pada usaha pengembangan jumlah ternak yang dipelihara, namun juga pada perawatan dan pengawasan sehingga kesehatan ternak sapi tetap terjaga. Perawatan dan pengobatan pada ternak sapi memerlukan pertimbangan dari berbagai segi, baik dari segi penyakit (ringan, tidak menular, atau menular) maupun dari segi ekonomis (Murtidjo, 1990).

Penyakit yang sulit ditanggulangi atau disembuhkan, serta berbahaya bagi ternak yang lain karena bisa menular, harus dijauhi. Dari segi ekonmis, bila biaya pengobatan lebih tinggi daripada nilai ternaknya, maka lebih baik ternak sapi tersebut dijual sebagai ternak potong, dengan catatan sapi tersebut tidak membahayakan konsumen.

(13)

Dalam hal ini, peternak tidak dituntut harus tahu masalah-masalah kedokteran hewan, akan tetapi mereka perlu ditumbuhkan minatnya dalam usaha pencegahan dan pembasmian penyakit-penyakit yang biasa berjangkit di daerahnya sesuai petunjuk dinas terkait. Sebab semuanya menyangkut kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi semata. Sehubungan dengan hal ini, peternak harus mengetahui penyebab, gejala, dan akibat serangan berbagai macam penyakit, serta cara-cara pencegahan dan pembasmiannya.

Perkandangan

Kandang sebagai tempat tinggal sapi pada sepanjang waktu harus diperhatikan oleh peternak (Sugeng, 1999). Di dalam hal ini, peternak harus sadar bahwa kehidupan ternak sapi sepenuhnya berada di bawah pengawasan manusia. Segala kebutuhan ternak itu pun di bawah pengaturan dan tanggung jawab peternak itu sendiri, sehingga perlindungan terhadap lingkungan yang mereka hadapi seperti terik matahari, hujan, angin kencang, dan sebagainya yang menimpa ternak menjadi pemikiran peternak. Oleh karena itu bangunan kandang sebagai salah satu faktor lingkungan hidup ternak harus bisa memberikan jaminan hidup yang sehat dan nyaman, sesuai dengan tuntutan hidup ternak tersebut. Jadi bangunan kandang diupayakan pertama-tama untuk melindungi sapi terhadap gangguan luar yang merugikan, baik terhadap sengatan terik matahari, kedinginan, kehujanan, dan tiupan angin yang kencang.

Kandang harus dibuat dengan memperhatikan beberapa syarat teknis, antara lain dibuat dari bahan yang berkualitas, luas kandang harus sesuai dengan jumlah sapi, konstruksi lantai kandang harus dibuat dengan memperhatikan kemudahan dalam melakukan pembersihan, memandikan, dan tidak licin, sinar matahari harus bisa masuk secara langsung ke dalam kandang, sistem ventilasi udara harus memungkinkan sirkulasi udara tidak terhambat, memperhatikan arah angin yang dominan, dekat dengan sumber air, dan atap kandang sedapat mungkin dibuat dari bahan-bahan yang ringan (Abidin, 2002).

(14)

Sumberdaya Tenaga Kerja

Faktor manusia sebagai tenaga pemelihara ternak adalah mempunyai peranan yang sangat penting untuk keberhasilan usaha pengembangan ternak. Tenaga kerja atan man power menurut Simanjuntak (1998) adalah kelompok penduduk dalam usia kerja (working-age population). Secara praktis pengertian tenaga kerja dan bukan tenaga kerja yang dibedakan hanya oleh batasan umur. Berdasarkan undang-undang no. 25 tahun 1997 tentang ketenagakerjaan telah menetapkan batas usia kerja menjadi 15 tahun, sehingga tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 15 tahun atau lebih.

Mubyarto (1989) menyatakan bahwa faktor produksi pertanian terdiri lahan, tenaga kerja, dan modal. Tenaga kerja dalam usaha tani merupakan faktor penting khususnya tenaga kerja tani dan anggota keluarga, dimana tenaga kerja menjadi unsur penentu terutama usaha tani komersil (Tohir, 1991). Tenaga kerja dalam usaha tani sebagian besar berasal dari keluarga petani sendiri. Tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga dapat berupa tenaga kerja borongan atau harian tergantung pada keperluan (Mubyarto, 1989).

Sama halnya dengan usaha peternakan, faktor tenaga kerja harus diperhitungkan karena biaya tenaga kerja merupakan biaya produksi terbesar kedua setelah biaya pakan yaitu 20-30% dari biaya produksi (Sudono et al., 2003). Menurut Soewardi dan Suryahadi (1988), di daerah-daerah padat penduduk yang menjadi kendala efektif peningkatan populasi ternak ruminansia adalah sumber daya lahan sedangkan untuk daerah yang jarang penduduk yang berperan sebagai kendala efektif adalah jumlah Kepala Keluarga (KK) pemelihara.

Pemasaran

(15)

Limbong dan Sitorus (1987), mengatakan dalam pemasaran barang atau jasa telibat beberapa badan mulai dari produsen, lembaga-lembaga perantara dan konsumen. Karena jarak antara produsen yang menghasilkan barang atau jasa sering berjauhan dengan konsomen, maka fungsi badan perantara sangat diharapkan kehadirannya kehadirannya untuk menggerakkan barang-barang dan jasa-jasa tersebut dari titik produksi ke titik konsumsi.

Produksi daging dari usaha sapi potong akan cepat maju apabila pemasaran berjalan cukup pesat, baik dalam negeri maupun luar negeri sebagai bahan ekspor (Sugeng, 1999). Adanya perkembangan kota-kota besar, kemajuan ilmu pengetahuan, peningkatan taraf hidup rakyat, dan peningkatan pendidikan di negara kita ini secara tidak langsung pula akan membawa pengaruh baik terhadap perubahan menu makan yang banyak mengandung protein. Hal ini berarti kebutuhan atau permintaan daging, khususnya daging sapi akan meningkat.

Dalam hal pemasaran perlu diperhatikan syarat-syarat sapi yang akan dipotong dan perlakuannya seperti sapi harus dalam keadaan tenang, sapi telah beristirahat cukup, sapi tidak boleh diberlakukan dengan kasar, dan sapi harus dalam keadaan sehat dan gemuk (AAK, 1991). Hal ini dilakukan karena bagi para peternak dan tukang potong (jagal) menghendaki sapi yang persentase hasil potongannya bagus, yakni sapi yang memiliki ukuran atau porsi isi perut, kepala, cakar sedikit, dagingnya halus, tidak banyak lemak, warnanya merah muda. Dalam hal pemasaran, pemerintah berupaya untuk mengendalikan pemotongan sapi betina produktif untuk mengurangi penurunan populasi.

Faktor-Faktor Eksternal Usaha Ternak Sapi Potong Iklim

(16)

Dukungan Pemerintah

Peranan pemerintah dalam pengembangan usaha ternak sapi diperlukan agar dapat meningkatkan produksi daging yang masih rendah untuk memenuhi permintaan pasar. Beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah yang mengatur kegiatan usaha peternakan harus dipatuhi jika suatu usaha pemerintah ingin langgeng (Abidin, 2002).

Dukungan pemerintah dalam bidang petrnakan dapat berupa infrastruktur (jalan raya, sarana transportasi, komunikasi, listrik untuk penerangan), penyuluhan, kebijakan-kebijakan menyangkut peraturan-peraturan atau keputusan-keputusan yang dibuat untuk meningkatkan kualitas bidang peternakan, dan dapat juga berupa bantuan pemberian bibit sapi agar peternak mampu mengembangkan usahanya dan meningkatkan pendapatan.

Permintaan (Konsumen)

Permintaan adalah jumlah barang/jasa yang ingin dibeli konsumen (Limbong dan Sitorus, 1987). Jumlah yang ingin dibeli tidak selalu sama dengan jumlah yang benar-benar dibeli konsumen. Jumlah yang ingin dibeli sering disebut permintaan potensial, sedangkan jumlah yang benar-benar dibeli disebut permintaan riil atau permintaan yang efektif. Jadi yang dimaksud dengan permintaan potensial adalah permintaan yang belum diikuti daya beli, sedangkan yang dimaksud dengan permintaan yang efektif adalah permintaan yang diikuti daya beli. Permintaan potensial umumnya lebih besar dari permintaan yang efektif, tetapi dapat pula sama besar.

(17)

MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di 4 (empat) desa, yaitu Sidokerto, Panjunan, Kutoharjo, dan Ngepungrojo, di Kecamatan Pati, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, selama satu bulan yaitu dari tanggal 1 November sampai 30 November 2010.

Metode Pengumpulan Data dan Responden

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang menggambarkan situasi atau keadaan berdasarkan data-data faktual dengan teknik survei dan pengamatan langsung di empat desa yang dipilih secara sengaja (purposive sampling), yakni desa yang memiliki ternak sapi potong tertinggi di Kecamatan Pati. Responden pada penelitian ini adalah peternak sapi potong dari empat desa terpilih di Kecamatan Pati tersebut. Setiap desa dipilih responden sejumlah 15 kepala keluarga (KK) peternak sapi potong yang dilakukan secara acak sederhana.

(18)

Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis SWOT. Analisis SWOT untuk pengembangan ternak sapi potong di Kecamatan Pati mengacu pada tahapan analisis SWOT menurut Rangkuti (1997). Adapun tahapan analisisnya disajikan pada Gambar 1.

Tahap pengumpulan data

Tahap identifikasi faktor internal dan eksternal

Analisis faktor internal Analisis faktor eksternal

Matriks IFAS Matriks EFAS

Tahap pemaduan data Matriks Grand Strategy Tahap pengambilan keputusan (strategi usaha)

Gambar 1. Tahapan analisis SWOT (Sumber: Rangkuti, 1997)

Tahap Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal

Tahap identifikasi faktor internal dan faktor eksternal dengan cara membuat matriks IFAS (Internal Factor Analysis Strategy) dan matriks EFAS (External Factor Analysis Strategy), dapat terlihat pada Tabel 1 dan 2. Matriks IFAS bertujuan

untuk mengetahui apakah kekuatan yang dimiliki lebih besar dari kelemahan, sedangkan matriks EFAS bertujuan untuk mengetahui apakah usaha ternak sapi potong rakyat tersebut mampu memanfaatkan peluang untuk menghadapi ancaman yang ada.

(19)

1. Matriks Faktor Strategi Internal

Setelah faktor-faktor strategis internal suatu usaha diidentifikasi menggunakan tabel IFAS (Internal Strategic Factors Analysis Summary), kemudian disusun untuk merumuskan strategis internal tersebut dalam kerangka Strength dan Weaknesses suatu usaha. Tahapannya adalah:

a. Penentuan faktor-faktor yang menjadi kekuatan serta kelemahan perusahan dalam kolom 1.

b. Pada kolom 2. pemberian bobot pada masing-masing dengan faktor tersebut dengan skala mulai dari 1.0 (paling penting) sampai 0.0 (tidak penting) berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap posisi strategis suatu usaha. (semua bobot tersebut jumlahnya tidak boleh melebihi skor total 1.0). c. Hitung rating (dalam kolom 3) untuk masing-masing faktor dengan

memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor), berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi suatu usaha yang bersangkutan. Variabel yang bersifat positif (semua variabel yang masuk kategori kekuatan) diberi nilai + 1 sampai dengan + 4 (sangat baik) dengan membandingkannya dengan rata-rata industri atau dengan pesaing utama. Variabel yang bersifat negatif, kebalikan. Contoh jika kelemahan perusahaan besar sekali dibandingkan dengan rata-rata industri, nilai adalah 1, sedangkan jika kelemahan perusahaan di bawah rata-rata nilai adalah 4.

(20)

Tabel 1. Matriks IFAS

Keterangan Bobot Skor Nilai

Kekuatan 0.0 -1.0 +1 sampai +4 Bobot x skor

a1 a2 - - an Total

Kelemahan 0.0 -1.0 -1 sampai -4 Bobot x skor

b1 b2 - - bn Total

2. Matriks Faktor Strategi Eksternal

Sebelum membuat matriks faktor strategi eksternal, ditentukan terlebih dahulu faktor strategi eksternal (EFAS) sebagai berikut:

a. Penyusunan dalam kolom 1 ( 5 sampai dengan 10 peluang dan ancaman). b. Pemberiaan bobot masing-masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1.0 (sangat

penting) sampai dengan 0.0 (tidak penting). Faktor-faktor tersebut kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap faktor-faktor strategis. c. Perhitungan rating (dalam kolom 3) untuk masing-masing faktor dengan

(21)

d. Pengalian bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4.0 (Outstanding) sampai dengan 1.0 (poor).

Tabel 2. Matriks EFAS

Keterangan Bobot Skor Nilai

Peluang 0.0 -1.0 +1 sampai +4 Bobot x skor

c1 c2 - - cn Total

Ancaman 0.0 -1.0 -1 sampai -4 Bobot x skor

d1 d2 - - dn Total

Tahap Pemaduan Data

Tahap pemaduan data menggunakan matrik Grand Strategy. Matrik Grand Srategy diperoleh dari total skor dari matriks IFAS dan EFAS yang bertujuan untuk

(22)

Gambar 2. Matriks Grand Strategy (Sumber: Rangkuti, 1997)

Keterangan:

Kuadran I : Ini merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Perusahaan tersebut memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan agresif (Growth Oriented Strategy).

Kuadran II : Meskipun menhadapi berbagai macam ancaman, perusahaan ini masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara diversifikasi.

Kuadran III : Perusahaan menghadapi peluang pasar yang sangat besar, tetapi dilain pihak, dia menghadapi kendala/kelemahan internal. Fokus strategi perusahaan ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal perusahaan sehingga dapat merebut peluang pasar yang lebih baik.

Berbagai Peluang

III I Turn Around Agresif

Kelemahan Kekuatan Internal Internal

IV II Defensif Diversifikasi

(23)

Kuadran IV : Ini merupakan yang sangat tidak menguntungkan, perusahaan tersebut menghadapi berbagai macam ancaman dan kelemahan internal.

Tahap Perumusan Strategi

(24)

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kabupaten Pati Letak Geografis dan Luas Wilayah

Kabupaten Pati merupakan salah satu dari 35 daerah kabupaten/kota di Jawa Tengah bagian timur, terletak diantara 1100, 50’ – 1110, 15’ bujur timur dan 60, 25’ – 70, 00’ lintang selatan, dengan batasan-batasan wilayahnya sebagai berikut:

 Sebelah utara : dibatasi wilayah Kab. Jepara dan Laut Jawa

 Sebelah barat : dibatasi wilayah Kab. Kudus dan Kab. Jepara

 Sebelah selatan : dibatasi wilayah Kab. Grobogan dan Kab. Blora

 Sebelah timur : dibatasi wilayah Kab. Rembang dan Laut Jawa

Kabupaten Pati terletak di daerah pantai utara pulau jawa dan di bagian timur dari Propinsi Jawa Tengah. Secara administratif Kabupaten Pati mempunyai luas wilayah 150.368 ha yang terdiri dari 58.448 ha lahan sawah dan 91.920 ha lahan bukan sawah. Kabupaten Pati terdiri dari 21 kecamatan, 401 desa, 5 kelurahan, 1.106 dukuh serta 1.474 RW dari 7.524 RT. Jumlah desa dan luas wilayah pada kabupaten Pati dapat dilihat pada Tabel 4.

(25)

11 Gabus 24 4.075 1.476 5.551 3,69

Karakteristik Tanah dan Sistem Penggunaan Lahan

Kabupaten Pati terdiri atas berbagai macam jenis tanah, bagian utara terdiri dari tanah Red Yellow, Latosol, Aluvial, Hidromer, dan Regosol. Sedangkan bagian selatan terdiri dari tanah Aluvial, Hidromer, dan Gromosol. Rincian menurut kecamatan sebagai berikut:

 Batangan, Sukolilo, Gabus, dan Jakenan merupakan tanah Aluvial.

 Cluwak, Gunungwungkal, dan Gembong merupakan tanah Latosol.

 Juwana dan Margoyoso merupakan tanah Aluvial dan Red Yellow mediteran.

 Pati dan Margorejo merupakan tanah Red Yellow mediteran, Latosol, Aluvial, dan Hidromer.

 Kayen dan Tambakromo merupakan tanah Aluvial dan Hidromer.

 Pucakwangi dan Winong merupakan tanah Gromosol dan Hidromer.

 Wedarijaksa merupakan tanah Red Yellow mediteran, Latosol, dan Regosol.

 Tayu merupakan tanah Auvial, Red Yellow, dan Regosol.

 Tlogowungu merupakan tanah Latosol dan Red Yellow mediteran.

Berdasarkan topografi, Kabupaten Pati terletak pada ketinggian 1-380 meter di atas permukaan laut.

(26)

tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan. Hal ini juga ditunjang dengan iklim di daerah ini, dimana rata-rata curah hujan di kabupaten Pati sebanyak 1.002 mm dengan 51 hari hujan, untuk keadaan hujan cukup, sedangkan untuk temperatur berkisar dari 230-390C. Luas dan persentase Penggunaan lahan di Kabupaten Pati dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Luas dan Persentase Penggunaan Lahan di Kabupaten Pati Tahun 2009 Penggunaan Tanah Luas (ha) Persentase (%)

1. Lahan Sawah 59.114 39,38

1.1. Pengairan Teknis 17.799 11,86

1.2. Pengairan 1/2 Teknis 9.374 6,24

1.3. Pengairan Sederhana 7.215 4,81

1.4. Pengairan Desa / Non P.U. 1.980 1,32

1.5. Tadah Hujan 22.725 15,14

1.6. Pasang Surut 0 0,00

1.7. Lainnya 21 0,01

2. Lahan Bukan Sawah 91.014 60,62

2.1. Rumah dan Pekarangan 27.077 18,04

2.2. Tegal 26.952 17,95

2.3. Padang Rumput 2 0,00

2.4. Hutan Rakyat 1.592 1,06

2.5. Hutan Negara 17.766 11,83

2.6. Perkebunan 2.464 1,64

2.7. Rawa-rawa 19 0,01

2.8. Tambak 10.544 7,02

2.9. Kolam 314 0,21

2.10. Tanah Lainnya 4.284 2,85

Jumlah 150.128 100,00

Sumber: BPS Kabupaten Pati 2010

(27)

serta tanaman sayuran. Jenis tanaman perkebunan didominasi dengan tanaman kelapa, kopi, kapuk randu, dan cengkeh.

Potensi ternak sapi potong di Kabupaten Pati lebih besar dibanding sapi perah, kerbau, kambing, domba, dan babi. Mengenai produksi telur baik dari jenis ayam ras maupun buras, produksi ayam buras menempati urutan terbesar dibanding ayam ras yaitu 12.836.294 butir di tahun 2009. Pohon jati merupakan komoditas utama dari hasil kehutanan di Kabupaten Pati, yaitu salah satu produksi dari pohon jati menghasilkan kayu bulat.

Gambaran Umum Kecamatan Pati Letak Geografis dan Luas Wilayah

Kecamatan Pati merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Pati, dan merupakan kota kabupaten bagi Kabupaten Pati. Kecamatan Pati yang terletak di pusat Kabupaten Pati, dan menjadikan Kecamatan Pati sebagai pusat kegiatan dari Kabupaten Pati, sebab pusat pemerintahan Kabupaten Pati berada di Kecamatan Pati. Secara administratif, Kecamatan Pati berbatasan dengan:

 Sebelah utara : dibatasi Kec. Wedarijaksa

 Sebelah barat : dibatasi Kec. Margorejo dan Kec. Wedarijaksa

 Sebelah selatan : dibatasi Kec. Gabus

 Sebelah timur : dibatasi Kec. Juwana dan Kec. Jakenan

Secara administratif, kecamatan Pati mempunyai luas wilayah 4.249 ha yang terdiri dari 2.558 ha lahan sawah dan 1.691 ha lahan bukan sawah. Kecamatan Pati terdiri dari 5 kelurahan dan 24 desa yg berada pada ketinggian antara 5-23 meter di atas permukaan laut.

Karakteristik Tanah dan Sistem Penggunaan Lahan

(28)

berkisar dari 240-390C. Berdasarkan curah hujan di wilayah Kabupaten Pati, Kecamatan Pati memiliki tipe iklim (oldeman) D2. Luas dan persentase Penggunaan

lahan di Kabupaten Pati dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Luas dan Persentase Penggunaan Lahan di Kecamatan Pati Tahun 2009 Penggunaan Tanah Luas (ha) Persentase (%)

1. Lahan Sawah 2.558 60,20

1.1. Pengairan Teknis 1.123 26,43

1.2. Pengairan 1/2 Teknis 773 18,19

1.3. Pengairan Sederhana 522 12,29

1.4. Pengairan Desa / Non P.U. 0 0,00

1.5. Tadah Hujan 140 3,29

1.6. Pasang Surut 0 0,00

1.7. Lainnya 0 0,00

2. Lahan Bukan Sawah 1.691 39,80

2.1. Rumah dan Pekarangan 1.421 33,44

2.2. Tegal 87 2,05

2.3. Padang Rumput 0 0,00

2.4. Hutan Rakyat 0 0,00

2.5. Hutan Negara 0 0,00

2.6. Perkebunan 0 0,00

2.7. Rawa-rawa 0 0,00

2.8. Tambak 0 0,00

2.9. Kolam 20 0,47

2.10. Tanah Lainnya 163 3,84

Jumlah 4.249 100,00

Sumber: BPS Kabupaten Pati 2010

(29)

sebaliknya apabila penggunaan lahan tidak berimbang maka akan menjadi tata ruang yang tidak teratur.

Penggunaan lahan di Kecamatan Pati dibagi menjadi dua, yaitu lahan sawah dan lahan bukan sawah. Luas wilayah Kecamatan Pati secara keseluruhan adalah seluas 4.249 ha. Lahan sawah di Kecamatan Pati seluas 2.558 ha atau 60,20 % dari total luas wilayah, sedangkan sisanya adalah lahan bukan sawah seluas 1.691 ha atau 39,80 % dari total luas wilayah Kecamatan Pati. Lahan sawah di Kecamatan Pati lebih luas daripada lahan bukan sawah, hal ini dikarenakan pertanian merupakan penggunaan lahan yang utama di Kecamatan Pati. Luas pemukiman di Kecamatan Pati sangat mendominasi dalam penggunaan lahan yaitu seluas 1.421 ha atau 33,44 % dari total luas Kecamatan Pati, diikuti oleh penggunaan lahan untuk sawah pengairan teknis, sawah pengairan 1/2 teknis, dan sawah pengairan sederhana, dengan luas masing-masing yaitu 1.123 ha (26,43 %), 773 ha (18,19 %), dan 522 ha (12,29 %).

Lahan sawah di Kecamatan Pati sangat luas, yaitu digunakan sebagai lahan pertanian. Komoditas dari pertanian tanaman pangan di Kecamatan Pati berupa padi, jagung, ketela pohon, kacang tanah, kedelai, kacang hijau, tebu, buah-buahan serta tanaman sayuran. Produksi komoditas pertanian tanaman pangan di Kecamatan Pati dapat dilihat pada Tabel 7.

(30)

Adapun populasi masing-masing ternak tersebut yang diusahakan di Kecamatan Pati dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Populasi Ternak di Kecamatan Pati Tahun 2009

Jenis Ternak Jumlah (ekor)

Sapi Potong 1.724

Sapi Perah 33

Kerbau 3

Kambing 2.587

Domba 136

Babi 46

Ayam Ras 4.670

Ayam Buras 18.524

Sumber: BPS Kabupaten Pati 2010

Karakteristik SDM

Penduduk di Kecamatan Pati pada akhir tahun 2009 berjumlah 107.998 jiwa, terdiri atas laki-laki sebanyak 52.873 jiwa dan perempuan sebanyak 55.125 jiwa, dengan tingkat kepadadatan penduduknya 2.542 jiwa / km2 (BPS Kabupaten Pati, 2010). Berdasarkan produktifitasnya, populasi penduduk di Kecamatan Pati dibagi menjadi dua, yaitu penduduk usia produktif dan tidak produktif. Batasan penduduk usia tidak produktif adalah 0-14 tahun dan 65 tahun keatas, sedangkan penduduk usia produktif berkisar antara 15-64 tahun, meskipun pada kenyataannya orang yang telah berusia 65 tahun atau lebih masih banyak yang mampu bekerja termasuk juga anak-anak yang berumur kurang dari 15 tahun, banyak yang sudah mencari nafkah.

(31)

Gambar 3. Persentase Penduduk Usia Produktif dan Tidak Produktif di Kecamatan Pati Tahun 2009

Identitas Responden

Identitas responden peternak sapi potong meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan formal, pengalaman usaha sapi potong, dan jumlah ternak yang dimiliki.

Umur Responden

Komposisi peternak berdasarkan umur diperlukan untuk mengetahui besarnya peternak yang produktif dan tidak produktif

.

Gambar 4. Umur Peternak Sapi Potong di Kecamatan Pati Tahun 2010

Berdasarkan gambar 4 dapat dijelaskan bahwa peternak sapi potong di kecamatan Pati yang masih usia produktif (15-64 tahun) sekitar 93,33% dan peternak yang usia tidak produktif (>64 tahun) sekitar 6,67%. Hal ini menunjukkan kemampuan peternak untuk mengembangkan usaha ternak sapi potong sangat besar, dalam arti tenaga yang tersedia masih cukup kuat untuk bekerja.

Jenis Kelamin Responden

(32)

Gambar 5. Jenis Kelamin Peternak Sapi Potong di Kecamatan Pati Tahun 2010 Berdasarkan gambar 5 dapat dijelaskan bahwa jumlah peternak laki-laki lebih banyak daripada peternak perempuan, yaitu 93,33% (56 laki-laki) dan 6,67% (4 perempuan). Besarnya angka sex ratio untuk peternak sapi potong di Kecamatan Pati adalah 14, hal ini berarti bahwa setiap 14 peternak laki-laki di Kecamatan Pati terdapat 1 peternak perempuan. Fakta ini menunjukkan bahwa usaha sapi potong didominasi oleh peternak laki-laki, hal ini disebabkan karena beternak sapi potong termasuk dalam pekerjaan berat, seperti mencari rumput. Namun demikian kaum ibu juga turut memberikan andil dalam usaha pemeliharaan sapi, misalnya membersihkan kandang sapi.

Tingkat Pendidikan Formal Responden

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam pembangunan suatu wilayah. Apabila penduduk di suatu wilayah memiliki tingkat pendidikan yang tinggi maka akan memiliki kemampuan dalam pengembangan pembangunan di wilayahnya. Pendidikan di suatu wilayah dipengaruhi antara lain oleh kesadaran akan pentingnya pendidikan, keadaan sosial ekonomi, dan sarana pendidikan yang ada.

(33)

Gambar 6 menjelaskan bahwa tingkat pendidikan formal para peternak sebagian besar adalah lulusan sekolah dasar (SD) 48,3%, kemudian lulusan SMA, SMP, dan tidak sekolah dengan masing-masing sebesar 20%, 16,7%, dan 15% sedangkan untuk lulusan perguruan tinggi tidak ada. Dilihat dari data diatas, tingkat pendidikan peternak di Kecamatan Pati tergolong masih rendah. Hal ini merupakan salah satu kelemahan dalam pengembangan usaha ternak sapi potong di Kecamatan Pati. Oleh sebab itu kedepan harus ditingkatkan pendidikan maupun keterampilan peternak karena tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap laju penyerapan inovasi, perubahan pola pikir, dan kepekaan terhadap perubahan sosial lainnya. Jenis Pekerjaan Utama Responden

Jenis pekerjaan penduduk suatu daerah dipengaruhi sumberdaya yang tersedia dan kondisi sosial ekonomi, seperti keterampilan yang dimilki, tingkat pendidikan, lapangan pekerjaan, dan modal yang tersedia.

Gambar 7. Jenis Pekerjaan Utama Peternak Sapi Potong di Kecamatan Pati Tahun 2010

Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa pekerjaan utama peternak di kecamatan Pati mayoritas bekerja sebagai petani sebesar 46,67%, kemudian 46,67% lagi peternak bekerja sebagai tukang becak, kuli bangunan, kuli angkut, sopir, loper koran, dan buruh tani. Selain itu, pekerjaan utama peternak adalah PNS, pensiunan, dan pedagang yang masing-masing sebesar 3,33%, 1,67%, dan 1, 67%.

(34)

rendah dan mutu produknya tidak seragam. Peternak menjadikan beternak sapi potong sebagai tabungan keluarga, dimana ternak tersebut akan dijual ketika dibutuhkan dana untuk keperluan tertentu yang sifatnya mendesak dalam keluarga. Kebanyakan ternak akan dijual ketika mencapai umur tertentu. Hal ini menjadi salah satu kelemahan dalam pengembangan peternakan rakyat khususnya ternak sapi potong di Kecamatan Pati.

Pengalaman Usaha Ternak Sapi Potong

Pengalaman beternak mempengaruhi pengolahan dalam usaha ternak sapi potong dimana peternak yang berpengalaman memiliki banyak pengalaman dan kapasitas pengolahan usaha yang lebih matang, sehingga dapat menunjang dalam pengembangan usaha ternak sapi potong.

Gambar 8. Rataan Pengalaman Peternak di Kecamatan Pati dalam Usaha Ternak Sapi Potong Tahun 2010

Pada gambar diatas dapat dijelaskan bahwa 58,33% dari peternak sapi potong di Kecamatan Pati mempunyai pengalaman dalam usaha ternak lebih dari 10 tahun. Hal ini menjadi modal penting dalam pengembangan usaha ternak sapi potong di Kecamatan Pati. Pengalaman beternak yang lama itu menandakan bahwa peternak sudah memiliki kemampuan dan pengalaman yang cukup baik untuk mengelola ternak sapi potong dengan baik, seperti pemanfaatan pakan yang baik untuk ternak, penanaman hijauan, dan kesehatan ternak.

Kepemilikan Ternak

(35)

dapat dijelaskan bahwa 85% peternak sapi potong di Kecamatan Pati memiliki ternak sekitar 1-3 ekor, 10% peternak memiliki ternak 4-6 ekor, dan 5% peternak memiliki ternak diatas 6 ekor, dengan rata-rata tiap peternak sapi potong di Kecamatan Pati memiliki ternak sekitar 3 ekor. Dari data itu menandakan bahwa usaha sapi potong yang dijalankan oleh peternak masih termasuk dalam usaha skala kecil. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya keterbatasan modal usaha, jenis usahanya masih merupakan usaha sampingan, tenaga kerja masih melibatkan anggota keluarga diluar pekerjaan utamanya, dan cara pemeliharaannya masih bersifat tradisional.

Gambar 9. Rataan Jumlah Ternak yang Dimiliki oleh Peternak di Kecamatan Pati Tahun 2010

Pola Penyediaan Pakan Ternak Sapi Potong

Bahan pakan adalah sesuatu yang dapat dimakan oleh ternak, dicerna, dan diserap baik sebagian maupun seluruhnya tanpa menimbulkan keracunan pada ternak yang bersangkutan. Bahan pakan dapat berasal dari tumbuh-tumbuhan maupun dari hewan. Ternak ruminansia lebih memerlukan bahan pakan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, sedangkan ternak non-ruminansia memerlukan bahan pakan baik dari tumbuh-tumbuhan maupun hewan (Sukria dan Rantan, 2009).

(36)

Hijauan

Hijauan sebagai bahan makanan ternak bisa diberikan dalam dua macam bentuk, yakni hijauan segar dan hijauan kering. Hijauan segar ialah makanan yang berasal dari hijauan yang diberikan dalam bentuk segar. Termasuk hijauan segar adalah rumput segar, leguminosa segar dan silase. Hijauan kering ialah makanan yang berasal dari hijauan yang sengaja dikeringkan (hay) ataupun jerami kering. Sebagai makanan ternak, hijauan memegang peranan sangat penting, sebab hijauan mengandung hampir semua zat yang diperlukan ternak. Di Indonesia bahan makanan hijauan memegang peranan istimewa, karena bahan tersebut diberikan dalam jumlah yang besar. Lahan pengembalaan merupakan sumber penyediaan hijauan yang lebih ekonomis dan murah. Lahan pengembalaan merupakan tanaman hijauan yang secara langsung bisa dimakan oleh ternak. Lahan pengembalaan tersebut bisa terdiri dari rumput seluruhnya atau luguminosa saja, ataupun campuran, tetapi suatu lahan rumput yang baik dan ekonomis ialah yang terdiri atas campuran dari rumput dan leguminosa (AAK, 1983).

Hijauan yang biasa digunakan sebagai pakan pada usaha peternakan rakyat di pedesaan adalah rumput lapang dan limbah pertanian, seperti jerami padi, jerami jagung, jerami kedelai, jerami sorghum, daun ubi jalar, daun ubi kayu, dan pucuk tebu. Demikiaan juga dengan pakan penguat yang biasa digunakan antara lain jagung, dedak halus, bungkil kacang tanah, bungkil kelapa, dan lain-lain (Wahju, 1997).

(37)

Gambar 10. Frekuensi Penggunaan Jenis Hijauan di Kecamatan Pati oleh Peternak (Responden) Tahun 2010

Rumput lapang dan rumput gajah adalah jenis hijauan yang paling sering digunakan oleh peternak, yang mencapai 68,33% dari total responden. Kedua jenis hijauan ini tersedia sepanjang tahun, sehingga peternak sering menggunakan sebagai pakan ternak sapi potong. Rumput lapang dan rumput gajah di Kecamatan Pati sangat mudah didapat, baik dari lahan sawah, tegalan, lapangan, maupun budidaya sendiri. Rumput lapang biasanya terdapat pada lapangan terbuka yang ada di masing-masing desa, sedangkan rumput gajah peternak banyak yang membudidayakan sendiri di lahan miliknya sendiri maupun lahan sewa, selain itu rumput gajah juga bisa didapat dari lahan-lahan tegalan di sawah, maupun lahan lainnya yang ditumbuhi rumput biasanya peternak menggunakan lahan yang sudah tidak produktif untuk tanaman pangan, baik itu lahan miliknya sendiri maupun sewa dari orang lain.

(38)

digunakan ketika hijauan segar sulit didapat oleh peternak. Daun tebu (16,67%), kulit ketela pohon (8,33%), rumput setaria (1,67%), jerami kacang hijau (1,67%), bonggol jagung (1,67%), dan bonggol pisang (1,67%), biasanya juga digunakan sebagai hijauan pakan oleh peternak ketika sulit mendapatkan hijauan segar. Peternak mengarit rumput biasanya setelah urusan di sawah selesai semua sekitar siang atau sore hari. Jumlah rumput yang diarit biasanya disesuaikan dengan kecukupan untuk pakan waktu sore hari dan pagi hari pada keesokan harinya sebelum berangkat ke sawah.

Gambar 11. Persentase Kombinasi Pemberian Jenis Hijauan Pada Ternak Sapi Potong di Kecamatan Pati Tahun 2010

(39)

Berdasarkan Gambar 11, peternak di Kecamatan Pati sebagian besar menggunakan kombinasi dua jenis hijauan untuk pakan ternak sapi potong, yaitu sebesar 51,67%, kemudian disusul dengan kombinasi tiga jenis hijauan (23,33%), kombinasi satu jenis hijauan (16,67%), dan kombinasi empat jenis hijauan (8,33%). Peternak di daerah ini yang menggunakan satu jenis hijauan saja adalah peternak yang baru memulai usaha ternak sapi potong dan jumlah ternak sapi yang dipelihara sedikit, sehingga masih bergantung pada satu jenis hijauan yang umun digunakan oleh peternak lain, seperti rumput gajah atau rumput lapang. Alasan lain peternak menggunakan satu jenis hijauan adalah adanya kebun rumput gajah yang dibudidaya sendiri atau tersedianya lahan yang luas untuk rumput lapang di daerahnya, sehingga peternak enggan memberikan jenis hijauan lain dikarenakan kebutuhan pakan sapi potong sudah terpenuhi dari satu jenis hijauan tersebut.

Peternak yang menggunakan kombinasi dua jenis hijauan maupun lebih, biasanya mempunyai ternak sapi potong lebih dari dua ekor, sehingga untuk memenuhi kebutuhan pakannya peternak menggunakan sumber hijauan lain selain rumput. Kombinasi ini biasanya sangat bervariasi ketika ketersediaan hijauan segar rendah, yaitu pada musim kemarau. Penggunaan limbah pertanian sangat dibutuhkan oleh peternak pada musim kemarau, walaupun mutunya lebih rendah dari rumput. Hijauan yang digunakan peternak di Kecamatan Pati ketika ketersedian rumput rendah adalah jerami padi, daun tebu, kulit ketela pohon, jerami kacang hijau, bonggol jagung, dan bonggol pisang.

(40)

Pakan Penguat (Konsentrat)

Pakan penguat atau konsentrat adalah suatu bahan pakan dengan nilai gizi tinggi yang dipergunakan bersama bahan pakan lain untuk meningkatkan keserasian gizi dari keseluruhan pakan. Konsentrat sapi potong tidak selalu berbentuk konsentrat buatan pabrik atau yang dijual di pasaran (konsentrat komersial), namun dapat berupa bahan pakan tunggal atau campuran beberapa bahan pakan.

Konsentrat dapat berasal dari bahan pangan atau dari tanaman seperti serelia (misalnya jagung, padi atau gandum), kacang-kacangan (misalnya kacang hijau, kacang tanah dan kacang kedelai), umbi-umbian (misalnya ubi kayu dan ubi jalar), buah-buahan (misalnya kelapa kopra dan kelapa sawit). Konsentrat dapat juga berasal dari hewan seperti tepung daging, tepung tulang dan tepung ikan. Disamping itu, konsentrat dapat juga berasal dari industri kimia seperti protein sel tunggal, limbah atau dari hasil ikutan dari pangan seperti dedak padi dan pollard, hasil proses ekstraksi seperti bungkil kelapa dan bungkil kedelai, limbah pemotongan hewan seperti tepung darah dan tepung bulu, serta limbah dari proses fermentasi seperti ampas bir (Sofyan, 2000).

Konsentrat yang digunakan sebagai pakan ternak sapi potong oleh peternak berdasarkan responden di Kecamatan Pati adalah dedak , ampas ketela pohon (onggok basah), dan ampas tahu.

Gambar 13. Frekuensi Penggunaan Jenis Konsentrat di Kecamatan Pati oleh Peternak (Responden) Tahun 2010

(41)

penggilingan padi, dimana tiap desa di Kecamatan Pati tersedia tempat penggilingan padi sehingga peternak tidak kesulitan untuk memperoleh dedak padi sebagai pakan ternaknya. Ketersedian dedak padi di Kecamatan Pati tergantung pada musim panen tanaman padi, ketika musim panen padi tiba ketersedian dedak padi melimpah. Walaupun ketersediannya tergantung pada musim panen, dedak padi selalu tersedia sepanjang tahun dikarenakan para petani tidak menggiling semua hasil gabahnya ketika musim panen tetapi bertahap tergantung kebutuhan akan beras.

Ampas ketela pohon (onggok basah) digunakan sebagai pakan ternak sapi potong oleh 26,67% peternak (responden). Onggok merupakan hasil sampingan industri tapioka yang dihasilkan melalui proses pemerasan dan penyaringan ketela pohon, yaitu berupa bahan padat yang terdiri dari serat-serat, pati dan air serta mengandung bahan pencemar yang cukup berbahaya bila dibuang ke perairan (Ciptadi, 1980). Pabrik tapioka di Kecamatan Pati sangat jarang ditemukan di tiap desa, hal ini berbeda dengan penggilingan padi dimana hampir semua desa di Kecamatan Pati tersedia. Kondisi ini yang menyebabkan rendahnya minat peternak untuk menggunakan onggok basah sebagai pakan ternak sapi potong, walaupun harganya lebih murah dibanding dedak padi dan ampas tahu.

(42)

Pakan Tambahan

Pakan tambahan adalah bahan-bahan pakan tertentu yang ditambahkan dalam ransum atau bisa diberikan dalam bentuk tunggal tanpa dicampur dalam ransum, biasanya diberikan pada ternak dalam jumlah sedikit. Pakan tambahan yang umum diberikan pada ternak berupa mineral, vitamin, obat-obatan, probiotik, dan antibiotik. Menurut Murtidjo (1990), pakan tambahan dibutuhkan oleh sapi yang dipelihara secara intensif yang hidupnya berada dalam kandang secara terus-menerus, pakan tambahan tersebut antara lain vitamin A dan D, mineral terutama Ca dan P, dan urea. Jenis pakan tambahan yang biasa dipakai oleh peternak sapi potong di Kecamatan Pati dapat dilihat pada gambar 13 berikut ini.

Gambar 14. Frekuensi Penggunaan Jenis Pakan Tambahan di Kecamatan Pati oleh Peternak (Responden) Tahun 2010

Gambar diatas menjelaskan bahwa pakan tambahan yang banyak digunakan oleh peternak sapi potong di kecamatan Pati adalah garam, yaitu 36,67% dari peternak menggunakannya. Kemudian disusul dengan air kedelai sebesar 3,33%, serta vitamin B kompleks dan antibiotik yang masing-masing sebesar 1,67% dari peternak sapi potong di Kecamatan Pati. Pemberian pakan tambahan pada ternak sapi potong bertujuan untuk memenuhi asupan sumber mineral dan vitamin dalam tubuh ternak yang tidak tersedia atau kurang dalam ransum. Disamping itu pemberian pakan tambahan bertujuan untuk menambah palatabilitas dan menjaga kesehatan ternak.

(43)

pada jerami padi dalam proses pembuatan hay. Garam selalu tersedia di setiap daerah dan ketersediaannya selalu ada setiap saat, disamping sebagai pakan tambahan sumber mineral pada ternak, garam juga sebagai salah satu bumbu masak sehingga peternak tidak mengalami kesulitan untuk memperolehnya.

Penggunaaan air kedelai sebagai pakan tambahan pada ternak sapi potong oleh sebagian peternak di Kecamatan Pati adalah sebagai penambah nafsu makan ternak sapi potong. Air kedelai bisa diperoleh dari air rebusan kacang kedelai sebelum dilakukan proses penggilingan untuk pembuatan tahu. Ketersediaanya sangat jarang karena pabrik pengolahan tahu di Kecamatan Pati sangat jarang sehingga peternak sangat sulit untuk mendapatkannya. Air kedelai biasanya diberikan sebagai air minum setelah ternak makan tetapi pemberiannya tidak setiap hari, disamping ketersediannya sangat sulit untuk didapat, air kedelai juga mudah menimbulkan bau ketika disimpan lebih dari sehari.

(44)

Faktor-Faktor Internal Usaha Ternak Sapi Potong Modal

Skala usaha peternak sapi potong di Kecamatan Pati masih merupakan skala kecil, dimana jumlah ternak yang dimiliki oleh peternak berkisar antara 1-3 ekor. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan modal peternak untuk pengembangan usahanya. Adapun sumber modal bagi peternak sapi potong di Kecamatan Pati tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 9 berikut ini.

Tabel 9. Sumber Modal Peternak Sapi Potong di Kecamatan Pati Tahun 2010

Desa Sumber Modal

Sendiri Orang Lain Koperasi Sumber Lain

Ngepungrojo 15 0 0 0

Sidokerto 15 0 0 0

Panjunan 13 0 0 2

Kutoharjo 12 3 0 0

Jumlah 55 3 0 2

Persentase 91,67 5,00 0,00 3,33

Berdasarkan data diatas dapat dijelaskan bahwa sekitar 91,67% peternak di Kecamatan Pati dalam usaha ternak sapi potong menggunakan modal sendiri. Kemudian 5% dari peternak menggunakan modal dari orang lain atau yang bisa disebut dengan sistem gaduh, dimana mengandung unsur kerjasama bagi hasil. Selain itu, peternak juga mendapat modal dari sumber lain yaitu pinjaman bank dan bantuan pemerintah melalui Program Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) sekitar 3,33%, serta modal dari koperasi adalah 0%, hal ini menandakan bahwa peran koperasi dalam pengembangan sapi potong di kecamatan Pati sangatlah kurang, sehingga kasus ini menjadi salah satu kelemahan dalam usaha pengembangan ternak sapi potong di Kecamatan Pati.

(45)

meminati sistem gaduh yang modalnya dari orang lain. Sistem gaduh disamping mengandung unsur kerjasama bagi hasil, lebih dari itu adalah merupakan salah satu upaya dalam mengatasi kekurangan modal bagi penggaduh (peternak).

Usaha gaduhan merupakan salah satu usaha kerjasama yang sering dilakukan di masyarakat. Usaha kerja sama ini untuk memenuhi atau menyambung keinginan sebagian masyarakat untuk beternak sapi. Hal ini biasanya terjadi bila seseorang yang memiliki modal cukup dan ingin beternak sapi, tetapi tidak ada tempat dan kurangnya pengetahuan mengenai ternak sapi. Selain itu, pemilik modal juga tidak mau repot belajar ternak sapi, oleh karena itu, pemilik modal menyerahkan sapinya untuk dipelihara pada orang yang dipercaya mampu memelihara ternak (penggaduh) hingga ada hasilnya. Pembagian keuntungan antara pemilik modal dan penggaduh tergantung kesepakatan, bisa 50% : 50% atau 60% : 40%. Bila gaduhan sampai sapi beranak, maka anak sapi yang pertama untuk penggaduh dan anak sapi kedua untuk pemilik modal (Yulianto dan Cahyo, 2010)

Teknologi Bibit

(46)

Tabel 10. Jumlah Peternak yang Mengetahui Bibit Sapi yang Baik di Kecamatan Pati Tahun 2010

Desa

Bibit Sapi (Bangsa, Sifat Genetis, Bentuk Luar, dan Kesehatan)

Tahu Tidak Tahu

Ngepungrojo 13 2

Sidokerto 13 2

Panjunan 15 0

Kutoharjo 15 0

Jumlah 56 4

Persentase 93,33 6,67

Data diatas menunjukkan bahwa 93,33% dari peternak sapi potong di Kecamatan Pati mengetahui bibit-bibit sapi yang baik. Pengetahuan ini didapat dari pengalaman peternak selama memelihara sapi, dimana sebagian besar dari peternak di daerah ini sudah memelihara sapi lebih dari sepuluh tahun. Pengalaman ini menjadi modal yang sangat penting bagi peternak ketika memilih bibit sapi yang akan dibeli. Peternak yang tidak tahu tentang bibit sapi yang baik, biasanya meminta tolong kepada peternak yang sudah berpengalaman untuk mencari atau membeli bibit sapi. Rata-rata peternak di daerah ini yang tidak tahu tentang bibit yang baik adalah peternak-peternak perempuan atau peternak yang baru mulai usaha atau memelihara sapi.

(47)

(a) Sapi PO (Peranakan Ongole) (b) Sapi Pegon

(c) Sapi Simmental (d) Sapi Limousin

Gambar 15. Jenis Sapi yang Dipelihara oleh Peternak di Kecamatan Pati Tahun 2010 Pemeliharaan

(48)

Tabel 11. Frekuensi Pemberian Pakan Ternak Sapi Potong di Kecamatan Pati Tahun 2010

Desa Frekuensi Pemberian Pakan

satu kali dua kali ad libitum

Ngepungrojo 0 8 7

Sidokerto 0 11 4

Panjunan 0 12 3

Kutoharjo 0 6 9

Jumlah 0 37 23

Persentase 0,00 61,67 38,33

Sistem pemeliharaan yang digunakan peternak sapi potong di Kecamatan pati adalah sistem pemeliharaan secara intensif (keraman), hal ini disebabkan karena tidak adanya lahan pengembalaan. Tabel diatas menjelaskan bahwa 61,67% dari peternak sapi di daerah ini memberikan pakan ternaknya sebanyak dua kali sehari, tiap pagi dan sore hari. Hijauan seperti rumput-rumputan paling banyak digunakan peternak sebagai pakan sapi potong daripada konsentrat. Hijauan merupakan pakan pokok yang harus tersedia tiap hari. Pemberian konsentrat oleh peternak biasanya masih bergantung pada ketersediaan dan harga konsentrat tersebut. Disamping itu, sekitar 38,33% dari peternak di daerah ini ada yang memberikan pakan ternak sapi potongnya dengan ad libitum (selalu tersedia). Peternak beranggapan bahwa semakin banyak pakan yang dikonsumsi oleh ternak, maka pertumbuhannya semakin cepat, hal itu yang menjadi alasan peternak di daerah ini memberikan pakan pada ternaknya dengan ad libitum.

(49)

dengan air sebelum diberikan pada sapi, agar mudah dalam pencernaan dan supaya tidak ada konsentrat yang terbuang (terkonsumsi semua).

Tabel 12. Ketepatan Waktu Pembersihan Kandang Ternak Sapi Potong di Kecamatan Pati Tahun 2010

Desa Waktu Pembersihan Kandang

tiap hari kadang-kadang tidak pernah

Ngepungrojo 13 2 0

Sidokerto 11 4 0

Panjunan 12 3 0

Kutoharjo 6 9 0

Jumlah 42 18 0

Persentase 70,00 30,00 0,00

Menurut Sugeng (1999), kandang harus dibersihkan setiap hari dari kotoran. Kotoran umumnya terdiri dari sisa bahan pakan yang bercampur dengan kotoran sapi itu sendiri. Kotoran hendaknya dibawa dan ditempatkan di tempat khusus bak penampungan kotoran, yang nantinya bisa dimanfaatkan sebagai pupuk.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70% dari peternak di Kecamatan Pati melakukan pembersihan kandang setiap hari, hal ini menunjukkan kesadaran peternak akan kebersihan kandang. Peternak di daerah ini membersihkan kandang minimal tiap dua kali sehari, yaitu pada pagi dan sore hari sebelum pemberian pakan. Pembersihan kandang biasanya dilakukan oleh istri dari peternak tersebut. Namun, ada sekitar 30% dari peternak di daerah ini yang tidak membersihkan kandang tiap hari atau kadang-kadang. Waktu pembersihan kandang tidak menentu, biasanya peternak menunggu hingga kotorannya penuh di kandang.

(50)

sapi potong di daerah ini, karena belum adanya teknologi dalam pengolahan kotoran sapi sehingga sering menimbulkan polusi udara akibat dari limbah kotoran ternak ini. Tabel 13. Ketepatan Waktu Memandikan Sapi Oleh Peternak di Kecamatan Pati

Tahun 2010

Desa Waktu Memandikan Sapi

tiap hari kadang-kadang tidak pernah

Ngepungrojo 4 11 0

Sidokerto 2 13 0

Panjunan 4 11 0

Kutoharjo 3 12 0

Jumlah 13 47 0

Persentase 21,67 78,33 0,00

Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa sebagian besar peternak sapi potong di daerah ini tidak memandikan ternaknya setiap hari (kadang-kadang), yaitu sekitar 78,33% dari jumlah peternak. Hasil ini berbanding terbalik dengan pembersihan kandang, peternak justru lebih cenderung membersihkan kandang setiap hari dibandingkan memandikan sapi, hal ini dikarenakan kandang yang digunakan masih bersifat tradisional, dimana masih menyatu dengan rumah peternak dan alasnya masih berupa tanah sehingga akan menyebabkan becek dan kotor pada kandang ketika sapi dimandikan. Peternak memandikan ternaknya ketika kondisinya benar-benar kotor atau ketika hendak dijual, biasanya ternak dimandikan diluar kandang. Alasan lain peternak tidak memandikan ternaknya setiap hari adalah tidak adanya waktu untuk melakukannya, karena peternak telah lelah bekerja seharian sehingga malas untuk memandikan ternak tersebut.

(51)

Menurut Sugeng (1999), sapi betina yang baik biasanya dipelihara terus untuk diambil keturunannya. Keturunan itu bisa dipakai sebagai calon pengganti penggemukan berupa sapi bakalan (feeder catle). Dengan demikian sapi tersebut harus dikawinkan untuk memperoleh keturunan. Sapi tersebut dapat dikawinkan setelah mengalami dewasa kelamin dan dewasa tubuh. Berikut merupakan tabel pengetahuan peternak tentang ketepatan dalam mengawinkan sapi di Kecamatan Pati.

Tabel 14. Ketepatan dalam Mengawinkan Sapi oleh Peternak di Kecamatan Pati Tahun 2010

Desa Ketepatan dalam Mengawinkan Sapi

Tahu Tidak Tahu

Ngepungrojo 15 0

Sidokerto 15 0

Panjunan 15 0

Kutoharjo 15 0

Jumlah 60 0

Persentase 100,00 0,00

Gambar

Tabel 8. Populasi Ternak di Kecamatan Pati Tahun 2009
Gambar 4. Umur Peternak Sapi Potong di Kecamatan Pati Tahun 2010
Gambar 5. Jenis Kelamin Peternak Sapi Potong di Kecamatan Pati Tahun 2010
Gambar 10. Frekuensi Penggunaan Jenis Hijauan di Kecamatan Pati oleh Peternak
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sistem ini dibangun dengan menerapkan metode Simple Additive Weighting (SAW) sebagai metode penjumlahan terbobot yang digunakan dalam memecahkan masalah multi

• Fasilitas yankes yang menyelenggarakan Jampersal: – Pemerintah: Puskesmas dan rumah sakit pemerintah – Swasta: klinik, rumah bersalin, bidan praktek swasta,. Poskesdes/Polindes,

Dalam kaitan dengan upaya yang sedang dilakukan, para informan mengungkapkan bahwa hal yang paling penting adalah memahami komunikasi interpersonal, menempatkan baik orang tua

Ia merupakan satu mekanisma yang digunakan untuk mengukur dan menimbang kata bahasa Arab ( Ibn Jinniy ,1954 : 2). Wazan kata yang dipilih untuk data kajian ini ialah wazan

Seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat, maka tarif retribusi pelayanan kesehatan pada RSUD yang diatur dalam Perauran Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 7 Tahun

Hasil penelitian ini menemukan bahwa dari 9 (sembilan) variabel yang diuji hanya 4 (empat) variabel independen yang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat

Puji syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis berhasil menyelesaikan Laporan Perancangan Proyek Akhir periode 06

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan media animasi partikel materi berbasis representasi kimia untuk siswa pada tingkat Sekolah Menengah Pertama;