• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Hutan Terganggu di Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Hutan Terganggu di Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN

HUTAN TERGANGGU DI GUNUNG PAPANDAYAN,

GARUT, JAWA BARAT

SINDI NURSIAMDINI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Hutan Terganggu di Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

(4)

ABSTRAK

SINDI NURSIAMDINI. Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Hutan Terganggu di Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat. Dibimbing oleh DADAN MULYANA.

Proses pertumbuhan masyarakat hutan hingga mencapai keseimbangan, seringkali mendapatkan gangguan-gangguan yang dapat menimbulkan kerusakan. Gunung Papandayan telah dikenal sejak zaman pemerintah kolonial Belanda sebagai wilayah yang sangat kaya secara floristik. Penelitian mengenai komposisi jenis dan struktur tegakan pada berbagai jenis kerusakan di lokasi hutan terganggu belum pernah dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji komposisi jenis dan struktur tegakan hutan terganggu, baik oleh alam maupun oleh manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keanekaragaman dan kekayaan jenis pada lokasi hutan terganggu oleh manusia lebih tinggi daripada lokasi hutan yang terganggu oleh alam. Selain itu, pola stratifikasi tajuk pada hutan terganggu tidak ada yang mencapai stratum A (>30 meter), hanya berada pada stratum B (20–30 meter) dan stratum C (4–20 meter). Stratifikasi tajuk pada hutan terganggu tidak ada yang mencapai stratum A karena stratum A merupakan ciri kondisi hutan yang sudah stabil.

Kata kunci: Gunung Papandayan, hutan terganggu, komposisi jenis, struktur tegakan

ABSTRACT

SINDI NURSIAMDINI. Species Composition and Stand Structure of Disturbed Forest in Papandayan Mountain, Garut, West Java. Supervised by DADAN MULYANA.

Growth process of forest community to reach balanced condition often undergoes disturbances which create destruction. Papandayan mountain has been known since Dutch colonial government as an area with very rich floristic composition. Research on species composition and stand structure of disturbed forest has never been conducted in this area. The objective of this study is to learn the species composition and stand structure of disturbed forest in Papandayan mountain, whose forests are disturbed both by human and by natural process. Research results show that biodiversity and species richness in sites disturbed by human are higher than those disturbed by nature. Besides that, forest crown stratification pattern in disturbed forest shows that there is no any forest crown which reaches stratum A (>30 meter). They only reach stratum B (20–30 meter) and stratum C (4–20 meter). Crown stratification in disturbed forest never reached stratum A because stratum A constitutes the character of stable forest condition. Key words: disturbed forest, Papandayan Mountain, species composition, stand

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Silvikultur

KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN

TERGANGGU DI CAGAR ALAM DAN TAMAN WISATA

ALAM GUNUNG PAPANDAYAN, JAWA BARAT

SINDI NURSIAMDINI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Hutan Terganggu di Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat

Nama : Sindi Nursiamdini

NIM : E44090029

Disetujui oleh

Dadan Mulyana, SHut MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua Departemen

(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah komposisi jenis dan struktur tegakan, dengan judul ―Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Hutan Terganggu di Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat‖.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dadan Mulyana, SHut MSi, selaku pembimbing yang telah banyak memberi arahan, saran dan seluruh bantuannya dalam penyelesaian skripsi. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada pihak pengelola Resort Cagar Alam dan Taman Wisata Alam (CA/TWA) Gunung Papandayan dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat yang telah membantu dan memfasilitasi kegiatan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Mang Ipin, A Pian, A Arman, A Ejang, Ibu Dewi dan warga sekitar kawasan Gunung Papandayan lainnya yang telah membantu dalam pengumpulan data di lapangan. Ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya. Teman-teman Rimbawan Pecinta Alam (RIMPALA), teman satu angkatan di

Silvikultur 46, teman-teman Kost Wisma Melati, Ignatius Handoko P, serta sahabat penulis Nurhamidah, Tintin Gigih W, Vera Linda P, Annisa Rohmatin, Deasy Putri P, dan Nidya Nanda H atas bantuan dan semangat yang diberikan dalam penyusunan skripsi. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Tempat 2

Alat dan Bahan 2

Prosedur Penelitian 2

Prosedur Analisis Data 4

KONDISI UMUM GUNUNG PAPANDAYAN 1

Luas dan Letak 1

Biotik dan Abiotik 6

HASIL 6

Komposisi Jenis 6

Dominansi Jenis 8

Keanekaragaman Jenis 8

Struktur Tegakan 9

PEMBAHASAN 10

Komposisi Jenis 10

Dominansi Jenis 12

Keanekaragaman Jenis 12

Struktur Tegakan 13

SIMPULAN DAN SARAN 15

Simpulan 15

Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 16

LAMPIRAN 17

(11)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah jenis yang ditemukan pada setiap tingkat pertumbuhan di

lokasi penelitian 6

2 Jenis-jenis tumbuhan dominan dan kodominan pada setiap tingkat

pertumbuhan di lokasi penelitian 7

3 Nilai indeks dominansi jenis (C) pada setiap tingkat pertumbuhan di

lokasi penelitian 8

4 Nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) pada setiap tingkat

pertumbuhan di lokasi penelitian 8

5 Nilai indeks kekayaan jenis (R) pada setiap tingkat pertumbuhan di

lokasi penelitian 9

6 Nilai indeks kemerataan (E) pada setiap tingkat pertumbuhan di lokasi

penelitian 9

DAFTAR GAMBAR

1 Bentuk petak pengamatan vegetasi 3

2 Desain unit contoh stratifikasi tajuk 4

3 Kerapatan pohon berdasarkan kelas diameter pohon di lokasi

penelitian 10

4 Sebaran jumlah individu pohon berdiameter > 10 cm berdasarkan

kelas tinggi kanopi di lokasi penelitian 10

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Gunung

Papandayan. 17

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan (Soerianegara dan Indrawan 1988). Secara ekologis terbentuknya masyarakat suatu hutan adalah berangsur-angsur melalui pergantian vegetasi dan habitatnya. Masyarakat hutan adalah suatu sistem yang dinamik dan berubah hingga mencapai keadaan stabil. Proses pertumbuhan masyarakat hutan hingga hingga mencapai keseimbangan seringkali mendapatkan gangguan. Bahkan masayarakat hutan yang stabil pun sering terusik oleh beberapa macam gangguan. Gangguan-gangguan yang terjadi ini dapat menimbulkan kerusakan pada hutan (Rahayu 2006).

Ada dua faktor yang menyebabkan keseimbangan hutan dapat terganggu dan kerusakan hutan dapat terjadi, yaitu faktor alami dan buatan atau akibat aktivitas manusia. Tumbuhnya suatu jenis pohon di dalam suatu masyarakat hutan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor klimatis, edafis, fisiologis dan faktor biotis. Terjadinya perubahan pada faktor-faktor tersebut akan membawa pengaruh terhadap keadaan struktur maupun komposisi tumbuhan (Ekawati 2000). Gunung Papandayan telah dikenal sejak zaman pemerintah kolonial Belanda sebagai wilayah yang sangat kaya secara floristik (van Steenis 1972 dalam Sulistyawati et al. 2005). Penelitian terkait keragaman flora maupun ekologi di Gunung Papandayan pernah dilakukan oleh beberapa peneliti, akan tetapi penelitian mengenai komposisi jenis dan struktur tegakan di lokasi hutan terganggu belum pernah dilakukan.

Menurut BBKSDA (2011), kegiatan perambahan hutan yang terjadi di Cagar Alam Gunung Papandayan mencapai luasan 755 ha. Mengingat besarnya tekanan terhadap keutuhan Gunung Papandayan, penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi struktur tegakan dan komposisi jenis di lokasi yang terganggu.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis membuat rumusan penelitian sebagai berikut:

1. Jenis apa saja yang terdapat pada kawasan hutan terganggu (baik oleh alam maupun oleh manusia) di Gunung Papandayan?

2. Apakah terdapat perbedaan komposisi jenis dan struktur tegakan antara hutan terganggu oleh alam dengan hutan terganggu oleh manusia?

Tujuan Penelitian

(13)

2

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai kondisi vegetasi pada hutan yang terganggu. Selain itu juga dapat digunakan sebagai data dasar dalam pengelolaan atau pelestarian kawasan Gunung Papandayan, baik pada kawasan Cagar Alam maupun Taman Wisata Alam.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian meliputi penjelasan mengenai komposisi jenis dan struktur tegakan pada hutan terganggu, baik oleh alam maupun oleh manusia. Analisa komposisi jenis dan struktur tegakan dilakukan dengan menggunakan perhitungan analisis vegetasi untuk mengetahui indeks nilai penting (INP), indeks dominansi (C), indeks keanekaragaman jenis (H’), indeks kekayaan jenis (R), dan indeks kemerataan jenis (E). Diagram profil tajuk digunakan untuk mengetahui kondisi stratifikasi tajuk di lokasi penelitian.

METODE

Waktu dan Tempat

Pengambilan data penelitian dilakukan selama bulan April – Mei 2013 di Gunung Papandayan, yang terdiri dari beberapa lokasi:

1. Hutan rusak karena letusan tahun 2002.

2. Hutan rusak karena perambahan untuk lahan pertanian. 3. Hutan rusak karena penebangan liar.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu peta kerja (peta kawasan), GPS, tambang plastik, tali rafia, kompas, meteran, phiband, haga-hypsometer, termometer, patok, tally sheet, peralatan herbarium (alkohol 70%, gunting, kertas, tali label, plastik besar, kertas koran, sasak, oven), alat tulis, kamera, buku identifikasi jenis dan software SexI-FS untuk penggambaran diagram profil tajuk. Objek penelitian ini yaitu tegakan hutan terganggu di Gunung Papandayan.

Prosedur Penelitian

Penentuan Lokasi Pengamatan

(14)

3 Pembuatan Petak Pengamatan

Petak pengamatan dibuat dengan menggunakan metode gabungan antara metode jalur dengan metode garis berpetak dengan panjang jalur 100 m dan lebar jalur 20 m pada masing-masing titik pengamatan. Pengambilan petak contoh dari jalur tersebut dibagi-bagi ke dalam petak-petak pengamatan yang lebih kecil (nested sampling) dengan ukuran sebagai berikut :

a. 2 m x 2 m (4 m2 atau 0.0004 ha) untuk pengamatan tingkat semai.

Gambar 1 Bentuk petak pengamatan vegetasi

Untuk menentukan tingkat permudaan pertumbuhan, digunakan kriteria sebagai berikut :

a. Semai (seedling), yaitu permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1.50 m. b. Pancang (sapling), yaitu permudaan yang tingginya ≥ 1.50 m sampai pohon

muda yang berdiameter ≤ 10 cm.

c. Tiang (pole), yaitu pohon muda yang berdiameter 10 – 20 cm.

d. Pohon dewasa (tree), yaitu pohon yang berdiameter lebih dari 20 cm. Pembuatan Petak Stratifikasi Tajuk

Pembuatan petak stratifikasi tajuk dilakukan dengan menggunakan metode diagram profil tajuk dengan petak ukur 20 m x 60 m yang diambil dari setengah bagian dari sisi rintisan, pada petak pengamatan yang sekiranya dapat mewakili (Gambar 2). Lebar jalur dianggap sebagai sumbu x dan panjang jalur sebagai sumbu y.

Data-data yang diperlukan untuk stratifikasi tajuk ialah:

1. Posisi pohon dalam jalur (koordinat x dan y), yang diukur dari arah yang sama secara berurutan dan jarak awal pengukuran ke pohon.

2. Tinggi total dan tinggi bebas cabang.

3. Proyeksi dari tajuk ke tanah (lebar tajuk tiap pohon).

4. Diameter setinggi dada (130 cm) atau diameter 20 cm di atas banir bila pohon berbanir.

5. Penggambaran diagram profil tajuk menggunakan software SexI-FS.

(15)

4

Keterangan: O = posisi pohon dalam jalur; 1,2, 3, ..., n = nomor pohon Gambar 2 Desain unit contoh stratifikasi tajuk

Prosedur Analisis Data

Analisis data yang digunakan untuk mengetahui gambaran tentang komposisi jenis dan struktur tegakan hutan adalah perhitungan analisis vegetasi. Adapun Pengolahan data hasil analisis vegetasi meliputi:

Indeks Nilai Penting (INP)

Nilai indeks nilai penting (INP) digunakan untuk mengetahui komposisi jenis suatu tegakan. Perhitungan nilai indeks nilai penting didapat dari:

Kerapatan K Luas petak contohJumlah individu

Kerapatan elatif K Kerapatan seluruh jenis 100 Kerapatan suatu jenis

rekuensi Jumlah petak ditemukan suatu jenisJumlah seluruh petak

rekuensi elatif ( ) rekuensi seluruh jenis 100 rekuensi suatu jenis

ominansi ( ) Jumlah luas bidang dasar suatu jenisLuas petak contoh

ominansi elatif ( ) ominansi seluruh jenis 100 ominansi suatu jenis INP = KR + FR + DR (untuk tingkat pohon dan tiang) INP = KR + FR (untuk tingkat pancang dan semai) Indeks Dominansi (C)

Nilai indeks dominansi menggambarkan pola dominansi jenis dalam suatu tegakan. Nilai indeks yang tertinggi adalah 1, yang menunjukan bahwa tegakan tersebut dikuasai oleh satu jenis atau terpusat pada satu jenis. Jika beberapa jenis mendominasi secara bersama-sama maka indeks dominansi akan mendekati nol atau rendah.

Perhitungan indeks dominansi jenis menggunakan rumus sebagai berikut (Misra 1980):

20 m

20 m 1

2 n

3

(16)

∑(ni )

n

i

dimana: C = indeks dominansi ni = INP jenis i N = total INP Indeks Keanekaragaman Jenis (H’)

Menurut Shannon-Wiener, bila nilai keanekaragaman jenis semakin mendekati nilai 3.5, maka tingkat keanekaragaman jenisnya semakin besar. Sudarisman (2002) menyebutkan bahwa makin tinggi nilai indeks keanekaragaman makin banyak pula jenis yang ditemukan.

Terdapat tiga kriteria untuk nilai indeks keanekaragaman jenis, yaitu buruk jika nilai H’ < 1, sedang jika nilai H’ 1–2 dan baik jika nilai H’ > 2.

Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus Shanon Index of General Diversity (Misra 1980):

H –∑ (ni ) ln(ni )

Perhitungan indeks kekayaan jenis menggunakan rumus Margallef (Ludwig dan Reynold 1988), yaitu :

( 1) ln( )

dimana; R = Indeks kekayaan

S = Jumlah jenis yang ditemukan N = Jumlah total individu

Terdapat tiga kriteria untuk nilai indeks kekayaan jenis, yaitu rendah jika nilai R < 3.5, sedang jika nilai R = 3.5 – 5.0 dan tinggi jika nilai R1 > 5.0

(Magurran 1988).

Indeks Kemerataan Jenis (E)

Rumus indeks kemerataan jenis yang secara umum paling banyak digunakan oleh para ekologis (Ludwig dan Reynold 1988), yaitu:

H ln( )

dimana; E = Indeks kemerataan jenis H’ = Indeks keanekaragaman jenis S = Jumlah jenis

Terdapat tiga kriteria untuk nilai indeks kemerataan jenis, yaitu rendah jika nilai E < 0.3, sedang jika nilai R = 0.3–0.6 dan tinggi jika nilai R1 > 0.6

(Magurran 1988).

KONDISI UMUM GUNUNG PAPANDAYAN

Luas dan Letak

(17)

6

107º31’ – 180º Bujur Timur. Secara administrasi pemerintahan, kawasan ini terletak pada Kecamatan Cikahuripan Kabupaten Garut (BBKSDA 2004). Peta lokasi kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Papandayan disajikan pada Lampiran 1.

Biotik dan Abiotik

Hutan Gunung Papandayan termasuk hutan hujan pegunungan dengan tipe asosiasi Laura-Fagaceae yang didominasi oleh suku Lauraceae. Adapun flora yang umum ditemukan yaitu suagi (Vaccinium varingifolium), edelweis (Anaphalis javanica), puspa (Schima wallichii), saninten (Castanopsis argentea), ki hujan (Engelhardia spicata), jamuju (Podocarpus imbricatus), pasang (Quercus sp) dan manglid (Manglieta glauca) (BBKSDA 2004).

Kondisi topografi kawasan Gunung Papandayan berbukit dan bergelombang dengan kemiringan 10–20% dan ketinggian antara 1250–2608 m dpl (BBKSDA 2004). Secara geologi, Gunung Papandayan mempunyai jenis batuan yang terdiri dari batuan vulkanik, pigosol, andosol, dan batuan intermediet gelombang bergunung dengan ketebalan solum 30–60 cm dengan tingkat kesuburan tanahnya baik (subur) (Rahayu 2006).

Kawasan Gunung Papandayan mempunyai tipe iklim B, data curah hujan tahunan menunjukkan 2077 mm/tahun, curah hujan bulanan berkisar antara 54– 276 mm/bulan, evaporasi 76–85 mm/bulan dan kelembaban relatif 77.2%. Suhu daerah Gunung Papandayan berkisar antara 14–22 oC. Pola suhu di keempat wilayah kajian adalah sama meskipun kisaran suhunya cukup lebar yaitu 80 oC. Suhu tertinggi di keempat wilayah tersebut terjadi pada bulan Mei dan November, sedangkan suhu rendah terjadi pada bulan Juli/Agustus (BBKSDA 2004).

HASIL

Komposisi Jenis

Jumlah Jenis

Hasil analisis vegetasi menunjukkan jumlah jenis yang berbeda-beda pada setiap lokasi kerusakan dan masing-masing tingkat pertumbuhan (Tabel 1).

Tabel 1 Jumlah jenis yang ditemukan pada setiap tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian

Jenis kerusakan Jumlah individu

Semai Pancang Tiang Pohon

Letusan 11 15 12 9

Perambahan 25 40 27 30

Penebangan 21 35 34 32

(18)

7 lokasi hutan rusak karena penebangan. Adapun beberapa jenis pohon yang ditemukan pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.

Jenis Dominan

Hasil analisis vegetasi menunjukkan jenis dominan dan kodominan pada setiap lokasi kerusakan dan tingkat pertumbuhan berbeda-beda (Tabel 2).

Tabel 2 Jenis-jenis tumbuhan dominan dan kodominan pada setiap tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian

Jenis dominan dan kodominan Famili K

(ind/ha) F

Distylium stellare Hamamelidaceae 446 0.42 24.16

Tiang

Vaccinium varingifolium Ericaceae 81 0.27 0.43 73.86

Distylium stellare Hamamelidaceae 10 0.19 0.58 47.89

Pohon

Distylium stellare Hamamelidaceae 10 0.19 0.59 93.70

Wormia excelsa Dilleniaceae 7 0.19 0.24 60.79

Perambahan Semai

Schima wallichii Theaceae 1437 0.23 27.32

Eugenia operculata Myrtaceae 937 0.20 20.86

Pancang

Schima wallichii Theaceae 1030 0.68 39.37

Eugenia operculata Myrtaceae 590 0.48 24.67

Tiang

Schima wallichii Theaceae 63 0.29 1.04 67.80

Castanopsis javanica Fagaceae 29 0.14 0.58 34.28

Pohon

Castanopsis javanica Fagaceae 34 0.39 2.92 63.34

Schima wallichii Theaceae 15 0.46 1.19 37.56

Penebangan Semai

Eugenia operculata Myrtaceae 1454 0.25 52.35

Distylium stellare Hamamelidaceae 1136 0.20 41.01

Pancang

Eugenia operculata Myrtaceae 749 0.49 42.38

Distylium stellare Hamamelidaceae 283 0.25 18.24

Tiang

Distylium stellare Hamamelidaceae 67 0.40 1.18 58.31

Eugenia operculata Myrtaceae 44 0.29 0.76 39.13

Pohon

Distylium stellare Hamamelidaceae 68 0.65 6.97 74.32

(19)

8

Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa jenis dominan di tiga jenis lokasi kerusakan sangat bervariasi. Jenis dominan pada lokasi hutan rusak karena letusan yaitu kendung (H. serrata) pada tingkat semai dan pancang, suwagi (V. varingifolium) pada tingkat tiang, dan angrit (D. stellare) pada tingkat pohon. Jenis kodominan pada lokasi tersebut yaitu segel (W. excelsa) pada tingkat semai dan pohon, dan angrit (D. stellare) pada tingkat pancang dan tiang.

Jenis dominan pada lokasi hutan rusak karena perambahan yaitu puspa (S. wallichii) pada tingkat semai, pancang, dan tiang, dan hiur (C. javanica) pada tingkat pohon. Jenis kodominan pada lokasi tersebut yaitu ki salam (E. operculata) pada tingkat semai dan pancang, hiur pada tingkat tiang, dan puspa (S. wallichii) pada tingkat pohon.

Jenis dominan pada lokasi hutan rusak karena penebangan yaitu ki salam (E. operculata) pada tingkat semai dan pancang, dan angrit (D. stellare) pada tingkat tiang dan pohon. Jenis kodominan pada lokasi tersebut yaitu angrit (D. stellare) pada tingkat semai dan pancang, dan ki salam (E. operculata) pada tingkat tiang dan pohon.

Dominansi Jenis

Dominansi jenis di lokasi penelitian dapat dilihat dari hasil perhitungan nilai indeks dominansi vegetasi pada setiap tingkat pertumbuhan (Tabel 3).

Tabel 3 Nilai indeks dominansi jenis (C) di lokasi penelitian

Jenis kerusakan Nilai indeks dominansi

Semai Pancang Tiang Pohon

Letusan (2002) 0.16 0.12 0.15 0.19

Perambahan 0.07 0.08 0.09 0.10

Penebangan 0.13 0.08 0.08 0.12

Tabel 3 menunjukkan bahwa tidak ada nilai indeks dominansi yang sama dengan atau mendekati satu, dengan demikian dapat dikatakan bahwa indeks dominansi vegetasi di lokasi penelitian tergolong rendah, dengan proporsi yang hampir sama. Hal ini mengindikasikan bahwa dominansi jenis di lokasi penelitian tersebar pada banyak jenis.

Keanekaragaman Jenis

Indeks Keanekaragaman Jenis (H’)

Besarnya nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener pada setiap tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) pada setiap tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian

Jenis kerusakan ilai indeks keanekaragaman (H’)

Semai Pancang Tiang Pohon

Letusan (2002) 2.02 2.34 2.08 1.88

Perambahan 2.89 3.03 2.80 2.68

(20)

9 Tabel 4 menunjukkan bahwa hampir semua tingkat pertumbuhan pada setiap lokasi kerusakan, nilai indeks keanekaragaman jenisnya tergolong tinggi. Kecuali untuk tingkat pohon pada lokasi hutan rusak karena letusan, nilai indeks keanekaragamannya tergolong sedang.

Indeks Kekayaan Jenis (R)

Besarnya nilai indeks kekayaan jenis (R) pada setiap tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Nilai indeks kekayaan jenis (R) di lokasi penelitian

Jenis kerusakan Nilai indeks kekayaan jenis (R)

Semai Pancang Tiang Pohon

Letusan (2002) 1.98 2.52 2.03 2.33

Perambahan 4.73 6.39 5.64 5.39

Penebangan 4.19 5.71 6.34 5.03

Tabel 5 menunjukkan bahwa semua tingkat pertumbuhan pada lokasi hutan rusak karena letusan, nilai indeks kekayaan jenisnya tergolong rendah. Pada lokasi hutan rusak karena perambahan untuk jenis semai nilai indeks kekayaan jenisnya tergolong sedang, sementara untuk tingkat pancang, tiang dan pohon kekayaan jenisnya tergolong tinggi. Pada lokasi hutan rusak karena penebangan, untuk jenis semai nilai indeks kekayaan jenisnya tergolong sedang, sementara untuk tingkat pancang, tiang dan pohon kekayaan jenisnya tergolong tinggi.

Indeks Kemerataan Jenis (E)

Besarnya nilai indeks kemerataan individu per jenis pada setiap tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Nilai indeks kemerataan jenis (E) di lokasi penelitian

Jenis kerusakan Nilai indeks kemerataan jenis (E)

Semai Pancang Tiang Pohon

Letusan (2002) 0.85 0.87 0.84 0.86

Perambahan 0.89 0.82 0.85 0.79

Penebangan 0.82 0.82 0.88 0.75

Tabel 6 menunjukkan bahwa semua tingkat pertumbuhan pada setiap jenis lokasi kerusakan, indeks kemerataannya tergolong tinggi, yang bermakna jumlah individu per jenis tumbuhan pada semua tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian cukup tinggi.

Struktur Tegakan

Struktur Horizontal

(21)

10

Gambar 3 Kerapatan pohon berdasarkan kelas diameter pohon di lokasi penelitian. — — Letusan, — — Perambahan, — — Penebangan.

Struktur Vertikal

Menurut Kershaw (1964) dalam Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974), struktur tegakan secara vertikal ditunjukkan melalui stratifikasi tajuk tegakan. Stratifikasi tajuk tegakan dapat dilihat dari sebaran jumlah individu pohon berdasarkan kelas tinggi kanopi (Gambar 4).

Gambar 4 Sebaran jumlah individu pohon berdiameter > 10 cm berdasarkan kelas tinggi kanopi di lokasi penelitian. — — Letusan, — — Perambahan, — — Penebangan.

Gambar 4 menunjukkan bahwa sebagian besar populasi pohon pada lokasi hutan rusak karena letusan dan perambahan terkonsentrasi pada kanopi dengan kelas tinggi 4–10 m, sedangkan untuk lokasi hutan rusak karena penebangan terkonsentrasi pada kanopi dengan kelas tinggi 11–20 m. Adapun ilustrasi kenampakan morfologis profil tegakan pada secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 3.

PEMBAHASAN

Komposisi Jenis

(22)

11 Jumpah jenis pada lokasi hutan rusak karena letusan tahun 2002 mempunyai nilai yang paling sedikit pada semua tingkat pertumbuhan bila dibandingkan dengan lokasi hutan rusak karena perambahan dan penebangan. Hal ini dikarenakan lokasi hutan rusak karena letusan berada pada ketinggian di atas 2000 m dpl dan merupakan lokasi yang relatif dekat dengan kawah. Daniel, et al. (1995) menyatakan, semakin tinggi suatu hutan hujan pegunungan, maka fisiognomi jenis-jenis dominan dan struktur vegetasinya akan berubah dan jumlah jenis yang ditemukan akan semakin berkurang. Adapun lokasi hutan rusak karena penebangan jumlah jenisnya relatif lebih banyak pada tingkatan tiang dan pohon namun lebih sedikit pada tingkatan semai dan pancang bila dibandingkan dengan lokasi hutan rusak karena penebangan. Hal ini dikarenakan lokasi hutan rusak karena perambahan merupakan lokasi bekas lahan pertanian yang ditinggalkan, dimana lokasi tersebut dikonversi menjadi ladang oleh masyarakat sekitar dengan cara menebang tegakan hutan di kawasan tersebut, sehingga jumlah jenis pada tingkatan tiang dan pohon lebih sedikit sedangkan jumlah jenis pada tingkatan semai dan pancang lebih banyak karena masuknya beberapa jenis eksotik di lokasi tersebut akibat penanaman masyarakat.

Peranan suatu jenis dalam komunitas dapat dilihat dari besarnya indeks niilai penting (INP), dimana jenis dengan nilai INP tertinggi merupakan jenis yang dominan. Soerianegara dan Indrawan (1988) menyatakan, jenis dominan merupakan jenis yang lebih berkuasa daripada jenis lainnya dalam persaingan masyarakat hutan karena lebih adaptif terhadap kondisi lingkungannya. Secara umum, tumbuhan dengan nilai INP tinggi mempunyai daya adaptasi, daya kompetisi dan kemampuan reproduksi yang lebih baik dibandingkan dengan tumbuhan lain dalam suatu areal tertentu. Jenis-jenis yang dominan tersebut memiliki nilai kerapatan, frekuensi dan dominansi yang tinggi. Kerapatan jenis yang tinggi menunjukkan bahwa jenis ini memiliki jumlah jenis yang paling banyak ditemukan di lapangan dibandingkan jenis lainnya. Tingginya frekuensi suatu jenis menunjukkan bahwa jenis ini tersebar merata hampir diseluruh petak pengamatan. Sedangkan dominansi yang tinggi menunjukkan bahwa jenis ini paling berkuasa di dalam komunitas terutama dalam penguasaan ruang tempat tumbuh.

Jenis dominan di tiga jenis lokasi kerusakan sangat bervariasi. Pada lokasi yang rusak karena letusan jenis dominannya adalah kendung (Helicia serrata) pada tingkat semai dan pancang, suwagi (Vaccinium varingifolium) pada tingkat tiang, dan angrit (Distylium stellare) pada tingkat pohon. Kemudian jenis kodominannya adalah segel (Wormia excelsa) pada tingkat semai dan pohon, dan angrit (Distylium stellare) pada tingkat pancang dan tiang. Jenis suwagi (Vaccinium varingifolium), angrit (Distylium stellare) dan segel (Wormia excelsa) dominan pada tingkat tiang dan pohon karena jenis-jenis ini merupakan jenis yang mampu bertunas kembali setelah letusan pada tahun 2002. Sedangkan jenis kendung (Helicia serrata), walaupun tidak mampu bertunas kembali, namun jenis ini merupakan salah satu jenis pionir yang mampu bertahan hidup melalui permudaan baru.

(23)

12

puspa (Schima walichii) pada tingkat pohon. Jenis puspa (Schima walichii) dan hiur (Castanopsis javanica) dominan karena lokasi ini merupakan bekas lokasi pertanian yang ditinggalkan dan jenis-jenis tersebut merupakan jenis yang ditanam oleh masyarakat pada lokasi ini.

Pada lokasi yang rusak karena penebangan jenis dominannya adalah ki salam (Eugenia operculata) pada tingkat semai dan pancang, dan angrit (Distylium stellare) pada tingkat tiang dan pohon. Kemudian jenis kodominannya adalah angrit (Distylium stellare) pada tingkat semai dan pancang, dan ki salam (Eugenia operculata) pada tingkat tiang dan pohon. Jenis angrit (Distylium stellare), walaupun merupakan salah satu jenis yang menjadi sasara penebangan liar merupakan jenis yang dominan pada tingkatan tiang dan pohon. Dimungkinkan sebelum penebangan jenis angrit (Distylium stellare) merupakan jenis dominan dengan INP yang lebih tinggi. Selain itu jenis ini merupakan sasaran penebangan liar setelah jenis jamuju (Podocarpus neriifolius) dan jenis manglid (Manglieta galuca) habis. Sedangkan jenis ki salam (Eugenia operculata) merupakan jenis kodominan pada tingkatan tiang dan pohon dikarenakan jenis ini bukan merupakan jenis yang menjadi sasaran penebangan liar.

Dominansi Jenis

Pola dominansi jenis dalam suatu tegakan dapat dilihat dari nilai indeks dominansi jenis. Indeks dominansi jenis di lokasi penelitian tergolong rendah karena tidak ada nilai indeks dominansi yang sama dengan atau mendekati satu. Hal ini mengindikasikan bahwa dominansi jenis pada lokasi penelitian tersebar pada banyak jenis, ini merupakan cerminan hutan tropika walaupun lokasi penelitian dilakukan pada lokasi hutan yang terganggu.

Keanekaragaman Jenis

Kebutuhan tumbuhan akan keadaan lingkungan yang khusus dan lingkungan yang bervariasi dari satu tempat ke tempat lain mengakibatkan keragaman jenis tumbuhan berkembang menurut perbedaan waktu dan tempat (Sitompul dan Guritno 1995). Pada penelitian ini ditekankan untuk melihat perbedaan jenis tumbuhan yang berkembang menurut jenis kerusakan lokasi penelitian.

(24)

13 keanekaragaman yang paling rendah. Hal ini dikarenakan jenis vegetasi yang tumbuh pada lokasi tersebut masih alami dan masih dalam proses suksesi akibat letusan Gunung Papandayan pada tahun 2002. Menurut Indrawan (1985), nilai keanekaragaman jenis meningkat pada lokasi bekas pemanenan kayu dan menurun pada hutan primer, hal ini berarti bahwa lokasi hutan yang terganggu karena manusia memiliki nilai keanekaragaman jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan primer.

Odum (1971) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis cenderung lebih tinggi di dalam komunitas yang lebih tua dan rendah di dalam komunitas yang baru terbentuk, akan tetapi faktor penyebab gangguan dapat mempengaruhi nilai keanekaragaman jenis. Tingginya nilai keanekaragaman jenis pada lokasi hutan yang terganggu dimungkinkan karena masuknya spesies eksotik pada areal yang terbuka. Menurut Meijaard et al. (2006), masuknya flora eksotis dari luar daerah ke dalam hutan dapat menghambat bahkan terjadinya penurunan yang sangat tajam pada regenerasi jenis-jenis pohon hutan alam disertai terjadinya peningkatan jumlah belukar eksotis, rumput-rumputan, dan tanaman merambat yang biasa hidup di habitat terbuka di lokasi hutan rusak.

Indeks keanekaragaman jenis ditentukan oleh dua hal, yaitu kekayaan jenis dan kemerataan jenis, sehingga nilainya pun berbanding lurus dengan nilai indeks keanekaeragaman jenis. Indeks kekayaan jenis menunjukan kekayaan jenis suatu komunitas, dimana besarnya indeks kekayaan ini dipengaruhi oleh banyaknya spesies vegetasi. Indeks kemerataan jenis menunjukkan pola penyebaran vegetasi pada suatu areal, semakin besar nilai indeks kemerataan maka komposisi penyebaran jenisnya semakin merata (Mueller-Dumbois dan Ellenberg 1974).

Nilai indeks kekayaan jenis pada semua tingkat pertumbuhan di lokasi hutan rusak karena letusan, tergolong rendah, sedangkan pada lokasi hutan rusak karena perambahan untuk jenis semai nilai indeks kekayaan jenisnya tergolong sedang, sementara untuk tingkat pancang, tiang dan pohon kekayaan jenisnya tergolong tinggi. Demikian halnya pada lokasi hutan rusak karena penebangan, untuk jenis semai nilai indeks kekayaan jenisnya tergolong sedang, sementara untuk tingkat pancang, tiang dan pohon kekayaan jenisnya tergolong tinggi. Nilai indeks kemerataannya semua tingkat pertumbuhan pada setiap jenis lokasi kerusakan tergolong tinggi, yang bermakna jumlah individu per jenis tumbuhan pada semua tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian cukup tinggi.

Struktur Tegakan

Struktur tegakan dapat dibedakan menjadi struktur horizontal dan struktur vertikal. Struktur tegakan hutan secara horizontal dapat dilihat dari hubungan antara kerapatan dengan kelas diameter. Struktur tegakan hutan secara vertikal ditunjukkan melalui stratifikasi tajuk tegakan (Mueller-Dumbois dan Ellenberg 1974).

(25)

14

penebangan, kondisi vegetasi merupakan hutan alam yang kemudian mengalami gangguan manusia berupa penebangan liar, sehingga kondisi vegetasinya relatif lebih banyak daripada lokasi yang lainnya sehingga lokasi ini memiliki nilai kerapatan jenis tertinggi. Selain itu, lokasi hutan rusak karena letusan pada awal terjadinya kerusakan, kondisi vegetasi musnah dan menjadi areal terbuka sehingga kelas diameter pohon pada lokasi tersebut berada pada kisaran kelas diameter kecil. Pada lokasi hutan rusak karena perambahan, karena merupakan bekas lokasi pertanian yang ditinggalkan, walaupun kerapatannya lebih rendah daripada lokasi hutan rusak karena penebangan, namun nilai kerapatannya lebih tinggi daripada lokasi hutan rusak akibat letusan. Hal ini dikarenakan pada lokasi hutan rusak akibat perambahan sudah tercampur dengan jenis-jenis yang ditanam oleh masyarakat.

Struktur tegakan vertikal, berkaitan erat dengan penguasaan tempat tumbuh yang dipandu oleh besarnya energi dari cahaya matahari, ketersediaan air tanah dan hara mineral bagi pertumbuhan individu komponen masyarakat tersebut. Suatu masyarakat tumbuhan akan terjadi persaingan antara individu-individu dari satu jenis atau berbagai jenis. Jika mereka mempunyai kebutuhan yang sama dalam hal hara, mineral, tanah, air, cahaya dan ruangan. Sebagai akibat adanya persaingan ini, mengakibatkan jenis-jenis tertentu akan lebih mengusai atau dominan dari yang lain, maka akan terjadi stratifikasi tajuk tumbuhan di dalam hutan (Soerianegara dan Indrawan 1988).

Pada lokasi penelitian tidak ada pohon yang mencapai stratum A. Keadaan ini disebabkan karena dibutuhkan waktu yang cukup lama dan persaingan yang cukup tinggi, baik dari segi nutrisi, air, tanah, maupun dalam memperoleh cahaya untuk mencapai stratum A, sehingga hanya pohon yang berumur tua dari jenis pohon klimaks saja. yang mampu mencapai stratum A. Penelitian dilakukan di lokasi hutan terganggu sedangkan stratum A merupakan ciri kondisi hutan yang sudah stabil, sehingga di lokasi hutan hutan rusak karena letusan, perambahan dan penebangan tidak ditemukan pohon yang menempati stratum A.

(26)

15 Menurut Indrawan (2000), terbukanya tajuk pohon akan mengakibatkan terjadinya perubahan faktor lingkungan seperti suhu udara, penguapan, kelembaban dan intensitas cahaya matahari pada ekosistem hutan tersebut. Sehingga stratifikasi tajuk sangat mempengaruhi pertumbuhan vegetasi di setiap lokasi.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pada lokasi hutan rusak karena letusan, jenis dominan pada tingkat pertumbuhan pancang, tiang dan pohon merupakan jenis-jenis yang mampu bertunas kembali, sedangkan pada tingkat pertumbuhan semai merupakan jenis-jenis yang bertahan hidup melalui permudaan baru. Pada lokasi hutan rusak karena perambahan komposisi jenis bercampur dengan jenis yang ditanam oleh manusia, sehingga jenis dominan pun berubah. Pada lokasi hutan rusak karena penebangan, jenis dominan merupakan jenis yang bukan menjadi sasaran utama penebangan liar.

Gangguan hutan merupakan faktor khusus pada setiap lokasi, dimana keanekaragaman pada lokasi yang terganggu oleh manusia lebih tinggi daripada lokasi yang tergganggu oleh alam. Struktur horizontal tegakan dapat dilihat dari hubungan antara kerapatan dengan kelas diameter tegakan. Kerapatan tertinggi untuk tingkat semai berada pada lokasi hutan rusak karena letusan, untuk tingkat pancang berada pada lokasi hutan rusak karena perambahan, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon kerapatan tertinggi berada pada lokasi hutan rusak karena penebangan. Pola pelapisan tajuk di CA/TWA Papandayan di semua jenis lokasi kerusakan tidak ada pohon yang mencapai stratum A (>30 meter), dan hanya menempati dua strata, yaitu stratum B (tinggi pohon antara 20–30 meter) dan stratum C (tinggi pohon antara 4–20 meter).

Saran

(27)

16

DAFTAR PUSTAKA

[BBKSDA] Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat. 2004. Buku III Rencana Pengelolaan Cagar Alam Gunung Papandayan 2005-2030. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Bandung (ID): BBKSDA

[BBKSDA] Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat. 2011. Laporan Tahunan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat tahun 2011. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Bandung (ID): BBKSDA

Ekawati BIMD. 2000. Pola Umum Gangguan Hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Indrawan A. 1985. Suksesi Sekunder Hutan Hujan Dataran Rendah di Pulau Laut, Kalimantan Selatan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Indrawan A. 2000. Perkembangan Suksesi Tegakan Hutan Alam Setelah Penebangan dalam Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Koneri R, Solihin DD, Buchori D, Tarumingkeng R. 2007. Struktur dan Komposisi Pohon Pada Berbagai Tingkat Gangguan Hutan di Gunung Salak, Jawa Barat. Eugenia, Media Publikasi Ilmu Pertanian. Manado (ID): Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi. hlm 434-446.

Ludwig JA, Reynold JF. 1988. Statistikal Ecologi A Primer on Methods and Computing. (USA) : John Wiley & Sons Inc.

Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. London (GB): Croom Helm Ltd.

Meijaard E, Sheil E, Nasi R, Augeri D, Rosenbaum B, Iskandar D, Setyawati T, Lammertink M, Rachmatika I, Wong A, et al. 2006. Hutan Pasca Pemanenan, Melindungi Satwa Liar dalam Kegiatan Hutan Produksi di Kalimantan. Jakarta (ID): Subur Printing. hlm 53-54.

Misra KC. 1980. Manual of Plant Ecology. New Delhi (IN): Oxford and IBH Publishing Co.

Mueller-Dumbois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation of Ecology. New York (US): Willey and Sons Inc.

Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. Philadelpia (US): WB Saunders. Rahayu W. 2006. Suksesi Vegetasi di Gunung Papandayan Pasca Letusan Tahun

2002. [skripsi]. Fakultas Kehutanan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Soerianegara I, Indrawan A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): IPB Pr. Sudarisman. 2002. Permudaan Alam dan Tegakan Tinggal Di Hutan Rawa

Gambut Bekas Tebangan (Studi Kasus di BKPH Duri, Kabupaten Bengkalis Riau) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

(28)

17

LAMPIRAN

Lampiran 1 Peta kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Gunung Papandayan.

(29)

18

Lampiran 2 Jenis tumbuhan yang ditemukan di lokasi penelitian

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili

1 Alpukat Persea americana Lauraceae

2 Angrit Distylium stellare Hamamelidaceae

3 Bantinu Melochia umbellata Sterculiaceae

4 Baros Magnolia blumei Magnoliaceae

5 Beunjing Ficus fistulosa Moraceae

6 Cerem Macropanax dispermum Araliaceae

7 Eukaliptus Eucalyptus sp. Myrtaceae

8 Hamerang Ficus fulva Moraceae

9 Hamirung Vernonia arborea Asteraceae

10 Haruman Albizia lovata Fabaceae

11 Hiur Castanopsis javanica Fagaceae

12 Huru batu Litsea glutinosa Lauraceae

13 Huru bodas Ficus padana Moraceae

14 Huru buah Beilschmiedia gemmiflora Lauraceae

15 Huru cabe Buchanania arborescens Vitaceae

16 Huru hejo Lindera polyantha Lauraceae

17 Huru hu'ut Litsea monopetala Lauraceae

18 Huru jambe Litsea sp. Lauraceae

19 Huru jeruk Litsea amara Lauraceae

20 Huru koneng Litsea angulata Lauraceae

21 Huru le'eur Persea exselca Lauraceae

22 Huru mangkrang Litsea sp. Lauraceae

23 Huru minyak Neolitsea javanica Lauraceae

24 Huru pi’it Euginia occlusa Myrtaceae

25 Huru sintok Cinnamomum sintoc Lauraceae

26 Huru sintok leutik Cinnamomum sp. Lauraceae

27 Jajaway Ficus retusa Moraceae

28 Jamuju Podocarpus koordersii Podocarpaceae

29 Kali morot Castanopsis tungurrut Fagaceae

30 Kareumbi Homalanthus populneus Euphorbiaceae

31 Kendung Helicia serrata Proteaceae

32 Kendung buah Helicia javanica Proteaceae

33 Ki ajag Ardisia crispa Myrsinaceae

34 Ki amis Cinnamomum burmanni Lauraceae

35 Ki amis gede Cinnamomum zeylanicum Lauraceae

36 Ki asahan Rhodoleia championi Hamamelidaceae

37 Ki badak Acer laurinum Sapindaceae

38 Ki banen Crypteronia peniculata Crypteroniaceae

39 Ki harendong Astronia spectabilis Melastomaceae

40 Ki honje Pittosphorum ramiflorum Pittosphoraceae

41 Ki hujan Engelhardia spicata Fagaceae

42 Ki jeruk Acronychia pendunculata Rutaceae

43 Ki lemo Litsea cubeba Lauraceae

44 Ki pare Glochidion obscurum Euphorbiaceae

45 Ki putri Podocarpus neriifolius Podocarpaceae

46 Ki salam Euginia operculata Myrtaceae

47 Ki sapu Eurya acuminata Theaceae

48 Ki se'eur Antidesma tentandrum Euphorbiaceae

49 Ki sereh Cinnamomum porrectum Lauraceae

(30)

19 Lampiran 2 Jenis tumbuhan yang ditemukan di lokasi penelitian

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili

51 Ki tambaga Syzygium microcymum Myrtaceae

52 Ki teke Myrica javanica Myricaceae

53 Kokopian Morinda tomentosa Rubiaceae

54 Kuray Trema orientalis Ulmaceae

55 Mala Altingia excelsa Hamamelidaceae

56 Manglid Manglieta glauca Magnoliaceae

57 Mareme Glochidion cyrtos Euphorbiaceae

58 Pasang beunyeur Quercus sp. Fagaceae

59 Pasang beureum Quercus lineata Fagaceae

60 Pasang gebod Lithocarpusinditus Fagaceae

61 Peutat Barringtonia insignis Lecythidaceae

62 Puspa Schima wallichii Theaceae

63 Puspa beureum Schima sp. Theaceae

64 Ramo gencel Schefflera aromatica Araliaceae

65 Ramo giling Schefflera lucescens Araliaceae

66 Segel Wormia excelsa Dilleniaceae

67 Sulibra Cinchona succirubra Rubiaceae

68 Surian Azadirachta excelsa Meliaceae

69 Suwagi Vaccinium varingifolium Ericaceae

(31)

20

Lampiran 3 Diagram profil stratifikasi tajuk hutan di lokasi penelitian 1. Pola stratifikasi tajuk pada lokasi hutan rusak karena letusan

(32)

21 Lampiran 3 Diagram profil stratifikasi tajuk hutan di lokasi penelitian

2. Pola stratifikasi tajuk pada lokasi hutan rusak karena perambahan a. Lokasi bekas lahan pertanian yang ditinggalkan (blok Waternimen)

(33)

22

Lampiran 3 Diagram profil stratifikasi tajuk hutan di lokasi penelitian 2. Pola stratifikasi tajuk pada lokasi hutan rusak karena perambahan

b. Lokasi perambahan usia 1 minggu (blok Nangklak)

Keterangan:

1. Schima wallichii

2. Castanopsis javanica

3. Schefflera aromatica

4. Schefflera aromatica

5. Castanopsis javanica

6. Castanopsis javanica

7. Castanopsis javanica

8. Macropanax dispermum

1 2

3 4

5 6

8 7 20 m

(34)

23 Lampiran 3 Diagram profil stratifikasi tajuk hutan di lokasi penelitian

3. Pola stratifikasi tajuk pada lokasi hutan rusak karena penebangan

(35)

24

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi, pada tanggal 9 April 1991 dari pasangan Didi Suhandi dan Siti Mariam. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Jember pada tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institur Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi mahasiswa, diantaranya sebagai staff Departemen Bidang Khusus Rimbawan Pecinta Alam Fahutan IPB periode 2010, staff Human Resources Development Tree Grower Community periode 2011, Ketua Tree Climbing Division Rimbawan Pecinta Alam Fakultas Kehutanan IPB periode 2011, Koordinator Komisi Disiplin Rimbawan Pecinta Alam Fakultas Kehutanan IPB periode 2012 serta beberapa kepanitiaan lainnya.

Gambar

Gambar 1 Bentuk petak pengamatan vegetasi
Gambar 2  Desain unit contoh stratifikasi tajuk
Tabel 2 Jenis-jenis tumbuhan dominan dan kodominan pada setiap tingkat
Gambar 3 Kerapatan pohon berdasarkan kelas diameter pohon di lokasi penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Komposisi Jenis Pohon dan Struktur Tegakan Hutan Mangrove di Desa Pasar Banggi Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah

1. Hutan tidak terganggu: akses mas- yarakat terhadap hutan relatif jarang, jika ada hanya pengambilan makan- an temak, tidak ditemukan tunggul pohon hasil penebangan

Berdasarkan penyebaran jumlah pohon menurut suku seperti disajikan pada Tabel 3 terlihat bahwa jenis-jenis dari suku Myrtaceae paling banyak ditemukan di areal hutan alam

Berdasarkan hasil yang didapatkan (Tabel 2), nilai indeks dominansi pada setiap formasi hutan tergolong rendah karena nilai yang didapatkan cenderung mendekati nol

Penelitian mengenai komposisi jenis dan struktur tegakan yang dilakukan di kawasan hutan mangrove Desa Pasarbanggi akan menganalisis jenis vegetasi mangrove yang ada

Dari histogram di atas (Gambar 2) dapat dilihat bahwa Dicranaceae merupakan suku yang dapat ditemukan pada semua lokasi penelitian meskipun kondisi lingkungannya sangat

Hasil perhitungan indeks kemerataan dapat dilihat (tabel 4) bahwa dalam periode pengamatan yang dilakukan dari 6 bulan sampai 10 bulan setelah kebakaran hutan yang

Agathis (Agathis loranthifolia) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi Jawa Barat. Dibimbing oleh BUDI PRIHANTO. Struktur tegakan hutan merupakan sebaran jumlah pohon pada berbagai