EVALUASI PENYEMBELIHAN HALAL DAN
GOOD SLAUGHTERING PRACTICES
DI RPH KATEGORI II
ZIKRI MAULINA GAZNUR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Penyembelihan Halal dan Good Slaughtering Practices di RPH Kategori II adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2016
Zikri Maulina Gaznur
RINGKASAN
ZIKRI MAULINA GAZNUR. Evaluasi Penyembelihan Halal dan Good Slaughtering Practices di RPH Kategori II. Dibimbing oleh HENNY NURAINI dan RUDY PRIYANTO.
Daging adalah produk industri peternakan yang dihasilkan dari pemotongan hewan. Masyarakat Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama Islam, tidak hanya mengedepankan faktor nutrisi daging tetapi juga aspek kehalalannya sehingga keberadaan rumah potong hewan (RPH) sangat diperlukan untuk menjamin kualitas daging secara aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). Penelitian ini telah dilaksanakan di RPH kategori II (PT. Elders Indonesia) pada bulan Oktober 2015 sampai Februari 2016. Data yang didapatkan dianalis secara deskriptif dan dibandingkan dengan standar yang berlaku di Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi penyembelihan halal dan good slaughtering practices (GSP) di RPH Kategori II sudah sesuai memenuhi persyaratan syariat Islam berdasarkan Halal Assurance System (HAS) 23103 Majelis Ulama Indonesia (2012). Kompetensi juru sembelih halal sudah memenuhi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Nomor 196/2014 dan kesesuaian fasilitas sudah memenuhi Peraturan Menteri Pertanian No 13/2010. Standar sanitasi dan higien pada proses pemotongan sudah diterapkan di RPH PTEI. Hal ini ditunjukkan dengan persyaratan air bersih dan limbah cair yang sudah memenuhi baku mutu Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 492/IV/2010 Lampiran II tentang Persyaratan Kualitas Air Bersih dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 5/2014 tentang Baku Mutu Air Limbah untuk Usaha/Kegiatan RPH. Demikian juga dengan jumlah total mikroba (TPC), mikroba patogen (Salmonella sp.) dan pencemar air (Coliform dan Escherichia coli) yang berada di bawah batas persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) 3932:2008.
ZIKRI MAULINA GAZNUR. Evaluation of Halal Slaughtering and Good Slaughtering Practices at Abattoir Category II. Supervised by HENNY NURAINI and RUDY PRIYANTO.
Meat is a livestock products produced from abattoir. The Indonesian people with a muslim majority, not only concider nutrient factor of the meat but also halal aspect therefore, the existence of abattoir is necessary to ensure whole someness of meat that was safe, healthy and halal. This study was carried out at the abattoir category II (PT. Elders Indonesia) in October 2015 to February 2016. The data of slaughtering process obtained were analyzed descriptively and then compared to those of standard procedures implemented in Indonesia.
The results showed that the implementation of halal slaughtering and good slaughtering practices (GSP) in the Abattoir Category II was in accordance to shari'a Islam requirement based on Halal Assurance System (HAS) 23103 Indonesian Ulema Council 2012. The competence of slaughterman had met the National Working Competency Standard of Indonesia No 196/2014 and the facilities used had met the requirements accoording to Agriculture Ministry Regulation No 13/2010. Sanitation and hygiene standards on slaughtering proces had been impelemented in the abattoir PTEI. This was indicated by the results of water quality and liquid waste analysis that were around the threshold set by Indonesian Republic’s Regulation of Health Ministry No 492/IV/2010 Appendix II on Quality Requirements of Water and Environment Regulation Ministry No 5/2014 regarding Standard Liquid Waste for Abattoir Trade/Activity. Based on the laboratory test on total plate count (TPC), pathogen bacteria (Salmonella sp.) and bacteria water pollution (Coliform and Escherichia coli) did not exceed the limit standard of National Standard of Indonesia 3932:2008.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
EVALUASI PENYEMBELIHAN HALAL DAN
GOOD SLAUGHTERING PRACTICES
DI RPH KATEGORI II
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2016
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Oktober 2015 sampai Februari 2016 di Dramaga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat dengan judul Evaluasi Penyembelihan Halal dan Good Slaughtering Practices di RPH Kategori II.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Henny Nuraini, MSi dan Dr Ir Rudy Priyanto selaku komisi pembimbing, yang telah meluangkan waktu dan mengikhlaskan ilmunya selama membimbing. Terima kasih kepada Dr Ir Komariah, MSi selaku penguji yang telah memberi masukan untuk perbaikan karya ilmiah ini. Terima kasih kepada Dr Ir Salundik, MSi dan Dr Ir Niken Ulupi, MS selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Terima kasih kepada seluruh dosen pengajar dan staf administrasi Prodi ITP Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih juga disampaikan kepada Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan Indonesia yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk melanjutkan studi ke jenjang magister. Terima kasih kepada pimpinan dan staf PT. Elders Indonesia Kecamatan Dramaga yang telah banyak membantu selama penelitian.
Terima kasih kepada rekan-rekan Pascasarjana ITP, Asrama Mahasiswi Aceh Malahayati (ASWI) Bogor dan Ikatan Keluarga Mahasiswa Pascasarjana Aceh (IKAMAPA) Bogor, atas kebersamaan, dukungan, bantuan dan rasa kekeluargaannya yang diberikan.
Terima kasih khususnya disampaikan kepada Ayahanda Drs. Ghazali Mansur MSi, Ibunda Nurjannah HMA, Abang M. Ridha Gaznur SE, Fakhrizal Gaznur SHI, Kakak Husnul Khatimah SST, Fitri Muliana Amd. Keb, Rina Sukma SE, Adik M. Iqbal Gaznur SE. Untuk iparku Kakak Rostina Amd. Keb, Rahmiati SPdI, Abang Mahlil SE, T. Fadly SE, Ak. Untuk keponakanku Aufa Fadhilla, M. Zar Alghifary, Zakyal Abrar, M. Fathan Assyathiry, Cut Fahira Rifadhilla dan M. Fatih Alfayad. Terimaksih untuk doa, kesabaran dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2016
DAFTAR TABEL ix
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 3
2 METODE 3
Waktu dan Tempat 3
Alat dan Bahan 3
Prosedur Pengambilan Data 3
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 5
Profil RPH PT. Elders Indonesia 5
Penerapan Penyembelihan Halal dan GSP 6
Evaluasi Juru Sembelih Halal dan Sumberdaya Manusia 21
Kesesuaian Fasilitas RPH 26
Kualitas Air Bersih 50
Penanganan Limbah Cair 51
Kualitas Mikroba Daging 52
4 SIMPULAN DAN SARAN 54
Simpulan 54
Saran 54
DAFTAR PUSTAKA 55
DAFTAR TABEL
1 Matriks evaluasi prosedur pemotongan ternak RPH PTEI 13
2 Peta kompetensi juru sembelih halal 22
3 Matriks evaluasi persyaratan sumberdaya manusia RPH PTEI 23 4 Matriks evaluasi kesesuaian persyaratan fisik RPH PTEI 28 5 Hasil pengujian penggunaan air bersih pada RPH PTEI 50
6 Hasil pengujian limbah cair pada RPH PTEI 51
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daging adalah salah satu produk industri peternakan yang dihasilkan dari usaha pemotongan hewan. Semakin tinggi permintaan masyarakat terhadap daging sapi menyebabkan intensitas pemotongan juga semakin meningkat. Hal ini menyebabkan semakin terpusatnya perhatian pada keberadaan rumah pemotongan hewan (RPH) sebagai unit produksi daging. Menurut Tawaf et al. (2013) RPH adalah lembaga yang menjadi sumber tataniaga sapi potong pada skala produksi dan pada skala konsumsi, RPH adalah lembaga yang menjamin ketersediaan daging sapi bagi konsumen, baik kuantitas maupun kualitas. Menurut Soeparno et al. (2007) fasilitas RPH dapat mempengaruhi pola permintaan daging sehingga RPH sangat diperlukan untuk menjamin kualitas daging secara aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). Kuntoro et al. (2012) mengatakan bahwa kualitas dan keamanan daging yang dihasilkan salah satunya ditentukan oleh pelaksanaan penyediaan daging di RPH. Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah dan swasta banyak mendirikan RPH di berbagai daerah seluruh Indonesia. Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang mengamanatkan bahwa setiap kabupaten/kota harus mempunyai RPH yang memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan oleh menteri pertanian.
Penyembelihan hewan di RPH harus dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 13/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan RPH-Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant) yaitu penyembelihan hewan dilakukan secara benar dan tepat (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariat Islam). Tahapan penyembelihan merupakan titik kritis kehalalan daging sebagai bahan pangan.
Kehalalan juga tergantung pada pemahaman tentang teknik pemotongan dan penanganan daging yang harus dimiliki oleh seorang juru sembelih agar keseragaman pemotongan dapat dilakukan, sehingga pengetahuan dan keterampilan juru sembelih sangat menentukan dalam praktiknya. RPH wajib memiliki seorang juru sembelih halal yang memiliki kompetensi agar segala persyaratan tentang pemotongan dapat terpenuhi.
Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sehingga dalam pemenuhan kebutuhan pangan tidak hanya aspek kecukupan nutrisi yang harus diperhatikan tetapi juga aspek kehalalan pangan yang dikonsumsi. Diperlukan suatu persyaratan standar untuk pemotongan halal dan
Keberadaan RPH sebagai gerbang produk daging ASUH di sisi lain juga menghasilkan limbah yang dapat menjadi sumber pencemaran. Menurut Lestari (1994), perancangan bangunan RPH dan peralatan sebaiknya sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Produk daging ASUH dapat dijamin oleh RPH yang memiliki sarana untuk pemeriksaan kesehatan hewan potong, mematuhi kode etik dan tata cara pemotongan hewan secara tepat. Selain itu, lokasi sebaiknya di luar kota, jauh dari pemukiman dan memiliki saluran pengolahan limbah. Umumnya RPH memiliki tiga sumber limbah utama, yaitu tempat penampungan hewan (stock yard), tempat penyembelihan hewan (slaughter room) dan tempat pengolahan karkas atau daging (packing room).
Perumusan Masalah
Tingginya minat konsumen terhadap daging sapi dapat meningkatkan intensitas pemotongan sapi. Masyarakat Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama Islam, dalam memenuhi asupan pangan tidak hanya mengedepankan faktor nutrisi tetapi aspek kehalalan juga menjadi perhatian utama sehingga keberadaan RPH sangat diperlukan untuk menjamin kualitas daging ASUH. Tahapan penyembelihan hewan yang merupakan titik kritis kehalalan daging harus dilakukan secara benar dan tepat (sesuai dengan persyaratan kesehatan veteriner, kesejahteraan hewan dan syariat Islam) yang tercantum dalam Permentan No 13/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan RPH-R dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant). Selain itu, juru sembelih halal juga harus memiliki kompetensi dalam teknik penyembelihan dan penanganan daging. Keberadaan RPH sisi lain juga menghasilkan limbah yang dapat menjadi sumber pencemaran bila tidak ditangani dengan baik. Undang-undang RI No 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan mengamanatkan bahwa setiap kabupaten/kota harus mempunyai RPH yang memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan oleh menteri pertanian. Diperlukan suatu persyaratan standar untuk pemotongan halal dan GSP yang akan diterapkan oleh RPH untuk menjamin keamanan, kualitas dan kehalalan daging yang dihasilkan.
Tujuan Penelitian
Mengevaluasi implementasi pemotongan halal berdasarkan prinsip GSP, mengevaluasi kesesuaian kompetensi juru sembelih halal dan fasilitas RPH serta menguji kualitas air bersih, limbah cair dan mikrobiologi daging.
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan dalam dua bagian, bagian pertama yaitu mengevaluasi implementasi pemotongan halal dan GSP, kesesuaian kompetensi juru sembelih halal dan kelayakan fasilitas. Bagian kedua yaitu pengujian kualitas air bersih, limbah cair dan mikrobiologi daging.
2
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Oktober 2015 sampai Februari 2016 di RPH PT. Elders Indonesia (PTEI) terletak di Jalan Agatis Lingkar Dalam Kampus Institut Pertanian Bogor Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Analisis kualitas air bersih dan limbah cair dilakukan di Laboratorium Pengujian Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan (Proling) Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Analisis mikrobiologi daging dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan IPB.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pompa vakum,
desikator, timbangan digital, Biochemichal Oxygen Demand (BOD) inkubator, aerator, gelas piala, botol BOD, pipet, daging sapi bagian chuck (leher), air PDAM, air limbah, plate count agar (PCA), Buffered Pepton Water (BPW),
sulfamic acid, aquades, nutrien, buret, ferroin dan borang wawancara.
Prosedur Pengambilan Data
Pemilihan PTEI dan pengujian kualitas air, limbah cair dan cemaran mikrobiologi daging dilakukan secara purposive sampling dengan kriteria yang telah ditetapkan. PTEI merupakan unit usaha yang beroperasi secara berkesinambungan dan termasuk lima besar RPH terbaik seluruh Indonesia. Implementasi Penyembelihan Halal, Kompetensi Juru Sembelih dan Fasilitas
Implementasi penyembelihan halal, kompetensi juru sembelih dan kesesuaian fasilitas dilakukan melalui observasi dengan borang GSP yang mengacu pada Permentan No 413/310/7/1992 tentang Pemotongan Hewan dan Penanganan Daging serta Ikutannya, Peraturan Pemerintah RI No 95/2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner, Permentan No 13/OT.140/2010 tentang Persyaratan RPH-R dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant). Borang penyembelihan halal mengacu pada Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) Halal Assurance System
Borang evaluasi implementasi penyembelihan halal dan GSP, kompetensi juru sembelih halal dan kesesuaian fasilitas yang digunakan sesuai dengan Seputra (2015) dan sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Pembobotan berdasarkan titik kritis dengan total bobot (B) = 100. Pemberian nilai skor (S) hasil evaluasi yaitu skor 3 jika sesuai dengan persyaratan, skor 2 jika kurang sesuai dengan persyaratan, skor 1 jika tidak sesuai dengan persyaratan, dan skor 0 jika tidak ada atau tidak dilaksanakan. Kategori nilai kesesuaian (NK) fasilitas ditentukan berdasarkan nilai kesesuaian, yaitu : sesuai (S) = > 200, kurang sesuai (KS) =
Pengujian Kualitas Air, Limbah Cair dan Mikrobiologi Daging
Pengujian kualitas air bersih menggunakan metode American Public Health Association (APHA) berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No 492/IV/2010 Lampiran II tentang Persyaratan Kualitas Air Bersih dan Air Minum, sedangkan pengujian limbah cair di RPH menggunakan metode APHA berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 5/2014 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan/atau Kegiatan RPH. Pengujian total mikroba atau
total plate count (TPC), Coliform, Escherichia coli dan Salmonella sp.
berdasarkan metode Bacteriological Analytical Manual (BAM) (BSN 2008). Pengambilan sampel air bersih dan limbah cair dilakukan pagi hari pukul 08.00-10.00 WIB. Sebanyak 250 mL air diambil menggunakan gayung lalu dimasukkan ke dalam botol steril, diuji pH dan suhu di lokasi, kemudian sampel dibawa ke laboratorium untuk diuji lebih lanjut. Kualitas air yang diuji terdiri atas zat padat terlarut atau total disolved solid (TDS), jumlah bakteri coliform, pH, kesadahan total, nitrat dan nitrit. Pengujian limbah cair, yaitu zat tersuspensi atau
total suspended solid (TSS), minyak dan lemak, biochemichal oxygen demand
(BOD5) dan pH. Seluruh data yang diperoleh dibandingkan dengan peraturan atau standar yang berlaku.
Pengambilan sampel daging dilakukan pukul 08.00-10.00 WIB. Sampel ditempatkan dalam plastik steril dan dimasukkan ke dalam cool box yang telah diberi es batu selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dianalisis.
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil RPH PT. Elders Indonesia
Rumah potong hewan PTEI termasuk RPH Jenis II berdasarkan Permentan No 13/2010. Pada pola pengelolaannya, usaha pemotongan hewan dibedakan menjadi tiga jenis :
a) Jenis I : RPH milik pemerintah daerah yang dikelola oleh pemerintah daerah dan sebagai jasa pelayanan umum
b) Jenis II : RPH milik swasta yang dikelola sendiri atau dikerjasamakan dengan swasta lain.
c) Jenis III : RPH milik pemerintah daerah yang dikelola bersama antara pemerintah daerah dan swasta.
Perusahaan PTEI merupakan perusahaan yang terdaftar di Indonesia dan dimiliki sepenuhnya oleh Elders Limited. PTEI didirikan pada 5 September 2000 dengan izin usaha impor, penggemukan, penjualan sapi dan daging yang didinginkan/dibekukan. PTEI juga mempunyai lisensi untuk mengimpor produk kesehatan hewan dan semen. PTEI bekerjasama dengan Fapet IPB dalam pengelolaan RPH. PTEI sudah mendapat sertifikat dari berbagai lembaga seperti sertifikat halal MUI Pusat dan Jawa Barat, Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP), International Standard Organization (ISO) 9001:2008 dan NKV. Usaha pemotongan hewan dibedakan menjadi dua kategori, berdasarkan kelengkapan fasilitas proses pelayuan (aging) karkas :
a) Kategori I : usaha pemotongan hewan di RPH tanpa fasilitas pelayuan karkas, untuk menghasilkan karkas hangat; b) Kategori II : usaha pemotongan hewan di RPH dengan fasilitas
pelayuan karkas, untuk menghasilkan karkas dingin (chilled) dan/atau beku (frozen).
Perusahaan PTEI merupakan tempat pemotongan sapi yang memiliki fasilitas pelayuan karkas untuk menghasilkan karkas dingin dan beku. Sapi yang dipotong adalah Brahman Cross (BX) dengan pemotongan 60–70 ekor per hari. Selain sapi BX, menjelang tahun baru, bulan Ramadhan dan hari raya juga diadakan pemotongan untuk sapi lokal. Sapi yang dipotong berasal dari feedlot
dibawah naungan PTEI di Propinsi Lampung. Jumlah juru sembelih halal yang memiliki izin untuk melakukan penyembelihan sebanyak tiga orang dengan total karyawan berjumlah 45 orang. Distribusi daging dikhususkan bagi perusahaan skala besar yang terdapat di seputaran Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Berdasarkan kelengkapan fasilitas proses pelayuan (aging) karkas, RPH PTEI termasuk RPH Kategori I I.
Jam kerja karyawan adalah hari Senin-Sabtu mulai pukul 07.30-15.00 WIB. Untuk jaminan kesehatan para karyawan terdaftar pada Jamsostek. PTEI dikepalai oleh seorang manajer dan memiliki lima divisi yaitu finance and administration
Penerapan Penyembelihan Halal dan GSP
Cara penyembelihan halal menurut Alwasim (2010) berdasarkan perspektif Islam mengikuti rukun penyembelihan dengan syarat : (a) proses penyembelihan (ada unsur kesengajaan dan terpotong tiga saluran), (b) penyembelih adalah muslim atau ahli kitab, (c) hewan sembelihan adalah hewan halal menurut syariat, (d) alat yang digunakan untuk menyembelih harus benda tajam bukan tulang, gigi atau kuku. Regenstein et al. (2008) menambahkan bahwa beberapa syarat khusus penyembelihan halal adalah jenis ternak halal, petugas penyembelih dewasa dan sehat mental, menyebut nama Allah, dan menggunakan pisau tajam. Menurut Soeparno et al. (2007) semua prinsip teknis penyembelihan harus diperhatikan dan dijalankan dengan benar agar daging berjaminan mutu dan bersertifikat halal.
Selama proses penyembelihan juru sembelih halal menggunakan pisau dengan panjang 25-30 cm. Pisau yang tajam untuk meminimalkan rasa sakit adalah titik kritis penyembelihan halal. Hal ini sejalan dengan Regenstein (1994) yang mengatakan bahwa di New Zealand para juru sembelih halal yang belum menggunakan aplikasi pemingsanan diberi pelatihan khusus mengenai menajamkan pisau dan meningkatkan teknik penyembelihan sesuai syariat Islam. Selain itu, pengasahan pisau tidak dilakukan di depan hewan yang akan disembelih mengikuti kaedah animal walfare. Sesuai dengan Regenstein et al.
(2013) bahwa Islam menekankan perlakuan yang manusiawi pada hewan sebelum disembelih, diantaranya tidak mengasah pisau di depan hewan, diistirahatkan dan diberikan air minum yang cukup dan menghindari stres. Soeparno et al. (2007) menegaskan bahwa perlu adanya pengaturan dan pengawasan terhadap sapi sebelum dan sesudah disembelih serta sosialisasi tentang kesadaran animal walfare. Berdasarkan pengamatan, seluruh pelaksanaan pemotongan menerapkan penyembelihan yang halal. Hal tersebut menunjukkan bahwa jaminan halal dapat diterapkan guna memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan daging yang disembelih secara halal.
Badan Kesehatan Hewan Dunia atau Office Internationale Epizooticae
(OIE) pada tahun 2010 secara formal mensosialisasikan animal walfare dan merekomendasi prosedur penyembelihan halal yang menjadi acuan dunia kesehatan hewan bagi 178 negara dengan tujuan mengurangi perlakuan kejam terhadap hewan sembelihan dan untuk mendapatkan produk daging yang halal.
Dalam proses penyembelihan terdapat etika yang harus diperhatikan oleh juru sembelih. Menurut Alwasim (2010) hal ini meliputi (a) tidak diperbolehkan menyembelih jika tidak memahami ilmu syariat dan tata cara menyembelih yang benar, (b) diwajibkan untuk mempelajari ilmu syariat dan tata cara menyembelih yang benar, (c) menyembelih binatang harus diniatkan sebagai ibadah, dan (d) selalu menerapkan aspek halal dan menjauhi yang haram.
Fungsi penerapan GSP dapat menjadikan produksi karkas bersih dan meminimalkan tingkat terjadinya kontaminasi patogenik. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam GSP adalah fasilitas, penerimaan ternak, eksanguinasi (pengeluaran darah), eviserasi (pengeluaran jeroan), sanitasi, trimming akhir dan pencucian karkas (Harris dan Jeff 2003). Ditambahkan oleh Whetley et al. (2014) penerapan HACCP (sanitasi dan higien) dan GSP mampu mengurangi kontaminasi mikroba. Berdasarkan penelitiannya kontaminasi Enterobacteriaceae
Penerapan SSOP dan GSP dapat menghasilkan daging dengan kualitas baik, berdasarkan penelitian Zweifel et al. (2008) di RPH Swiss dengan sampel 535 ekor sapi. Pemeriksaan dilakukan pada bagian leher, brisket dan flank
menunjukkan bahwa bakteri masih berada di bawah baku mutu yang ditetapkan. Parameter GSP telah dipenuhi oleh RPH PTEI berdasarkan pemeriksaan dokumen pada form penerimaan ternak yang diperiksa oleh dokter hewan. Form berisikan waktu kedatangan, nomor kendaraan pengangkut, nama pengemudi, nomor surat jalan, asal ternak, surat kesehatan hewan, sertifikat kesehatan hewan, sertifikat pelepasan karantina, surat keterangan retribusi, izin pengeluaran ternak, surat keterangan cap “S”, nota pengantar transport, jumlah ternak, jenis kelamin, kondisi keseluruhan, jumlah pakan dan kondisi unloading area.
Petugas bagian produksi berjumlah 25 orang, dengan pemotongan yang dikhususkan pada sapi atau kerbau (jika ada permintaan) dan tidak digunakan untuk memotong ruminansia kecil atau babi. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya resiko kontaminasi dengan babi agar tidak menyalahi aturan kehalalan. Penerimaan dan Penampungan Ternak
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa proses penerimaan dan penampungan ternak sudah sesuai prosedur karena ternak yang baru datang dari
feedlot melalui transportasi darat diturunkan menggunakan fasilitas unloading
sehingga tidak menimbulkan stres. Ternak yang dikirim adalah sapi yang sudah siap untuk dipotong dan biasanya masuk satu hari sebelum pemotongan. Pada saat penurunan, bagian belakang truk yang membawa ternak merapat pada ujung tempat penurunan ternak (loading yard) agar ternak dapat turun dengan aman dan bisa langsung berjalan menuju kandang peristirahatan. Alur produksi dimulai dengan mendatangkan sapi, kemudian sapi diistirahatkan di kandang kurang lebih 24 jam. Menurut Soeparno (1992) ternak yang akan disembelih adalah ternak yang tidak dalam keadaan lelah atau habis dipekerjakan. Ditambahkan oleh Prasetyo et al. (2013) perlakuan istirahat dapat menurunkan tingkat stres.
Pemeriksaan Ante-mortem
Pemeriksaan ante-mortem adalah pemeriksaan kesehatan hewan sebelum disembelih. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemeriksaan ante-mortem di RPH PTEI dilakukan secara inspeksius yaitu pengamatan secara langsung dan kasat mata seperti pemeriksaan habitus (tingkah laku), pernafasan abdominal normal (jika terjadi hipermea atau terengah-engah secara berlebihan dianggap sebagai masalah minor, kecuali jika bersamaan dengan discharge atau keluar air liur kekuningan). Jika ada kelainan mayor misalnya sulit berjalan, maka sapi tersebut akan disembelih terlebih dahulu. Sapi yang terkena downer (lumpuh) atau trauma lainnya akan disembelih di kandang dengan tetap mematuhi aspek
Persiapan Sebelum Penyembelihan
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa persiapan sebelum penyembelihan sesuai dengan prosedur, yaitu sapi terlebih dahulu dibersihkan dengan air menggunakan selang. Semua kotoran yang menempel pada tubuh sapi dibersihkan terutama pada bagian perut, kaki, paha belakang serta bagian dubur karena sifat sapi bila sedang stress adalah sering mengeluarkan kotoran. Proses ini bertujuan agar pada penanganan selanjutnya karkas tidak tercemar sehingga dapat menghasilkan karkas yang sehat dan higienis. Air yang digunakan harus bebas dari bakteri patogen. Berdasarkan hasil penelitian Sartika et al. (2005) 60% sampel air yang digunakan di RPH Cibinong, Bogor positif tercemar E. coli. Proses Pemingsanan (Stunning)
Terdapat dua teknik pemotongan ternak yaitu (a) teknik pemotongan ternak secara langsung dan (b) secara tidak langsung. Pemotongan ternak secara langsung dilakukan setelah ternak dinyatakan sehat dan dapat disembelih pada bagian leher dengan memutuskan saluran pernafasan, makanan dan darah. Pemotongan ternak secara tidak langsung adalah dengan perlakuan pemingsanan terlebih dahulu yang bertujuan untuk memudahkan penyembelihan ternak, agar ternak tidak stres sehingga kualitas karkas lebih baik (Soeparno 2005).
Sapi dimasukkan ke dalam knocking box berukuran 2 x 1 m melalui gang way untuk dipingsankan. Proses stunning merupakan suatu tahapan yang mulai diterapkan di Indonesia yang umumnya dilakukan di RPH yang sudah memiliki alat stunning dan operator yang terlatih. MUI telah mengeluarkan Fatwa No 12/2009 tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Hewan dimana stunning
disarankan penggunaannya agar sapi tidak merasakan sakit saat penyembelihan. Fungsi stunning yaitu meningkatkan kualitas daging, efisiensi waktu dan tenaga kerja serta meminimalisir kecelakaan kerja (MLA 2011). Regenstein (1994) melaporkan bahwa setelah tahun 1980 di New Zealand sudah mulai berkembang penggunaan stunning listrik yang memenuhi syariat Islam dan sudah banyak diaplikasikan di RPH modern.
Teknik stunning yang dilakukan di RPH PTEI menggunakan alat pemingsanan (stunning gun) berupa captive bolt, yaitu suatu tongkat besi yang bekerja di dalam suatu silinder yang diaktifkan oleh suatu muatan eksplosif yang menyerupai selongsong kosong ditembakkan oleh suatu tekanan, selongsong peluru akan tertinggal di dalam senjata dan dapat diambil. Operator yang sudah terlatih dapat menjamin ketepatan penggunaan stunning gun agar tidak membuat sapi mati. Operator harus memakai hearing protective device (HPD) selama proses
stunning. Stunning memiliki titik kritis dengan penggunaan ukuran peluru. Peluru yang berwarna hitam dengan ukuran 3 mm untuk sapi kecil (<400 kg) dan ukuran 4 mm untuk sapi sedang (450 kg), peluru hijau dengan ukuran 4.5 mm untuk sapi besar (500 kg) dan peluru merah dengan ukuran 6 mm (>550 kg). Posisi stunning adalah di dahi (forehead) sekitar 2 cm diatas garis silang antara dua mata atau tepat di bagian otak besar.
Proses Penyembelihan dan Pengeluaran Darah (Exanguinasi/Bleeding)
Hasil pengamatan menunjukkan proses penyembelihan sudah sesuai prosedur, yaitu sapi yang telah dipingsankan segera disembelih, tidak boleh dibiarkan lebih dari 40-50 detik, setelah disembelih sapi dibiarkan mati dengan sempurna sekitar 2-3 menit agar darah keluar dengan baik (darah berhenti mengalir), ditandai dengan pupil mata sudah tidak berkedip dan abdomen (perut) sudah tidak bergerak, uji reflek kaki dengan memukul persendian kaki atau dengan memijit sela-sela kuku bahwa tidak terjadi gerakan atau konstraksi terkejut dan uji reflek ekor dengan membengkokkan ekor jika sudah tidak ada gerakan berarti ternak sudah mati.
Penyembelihan dilakukan oleh juru sembelih halal sesuai syariat Islam, menggunakan pisau yang tajam dengan sekali tekan tanpa diangkat. Setelah hewan disembelih, luka akibat disembelih tidak disiram air. Untuk mempercepat proses pengeluaran darah maka dilakukan penggantungan pada kaki belakang. Darah murni dialirkan ke dalam bak penampungan di bawah tanah. Penelitian Datta et al. (2012) menemukan bahwa bakteri E. coli paling dominan mengkontaminasi daging pada tahapan penyembelihan, pengulitan dan distribusi. Pemotongan Kepala dan Kaki
Setelah ternak digantung, ternak ditarik dengan katrol yang terkontrol untuk digantung pada sistem rel (conveyor). Penggantungan dilakukan pada tulang kaki belakang yaitu pada tendon acchilles. Kemudian dilakukan pengikatan pada saluran makan di leher dan anus untuk menghindari terjadinya pencemaran kulit, memperkecil kontaminasi mikroba dan kotoran terhadap karkas. Menurut Prastowo (2014) proses penggantungan kaki dapat membantu pengeluaran darah dan mencegah cemaran mikroba. Teknik pengikatan atau penyumbatan saluran makanan dapat membantu mencegah cemaran kotoran yang keluar akibat kontraksi oesophagus ke daging. Apabila penyembelihan kurang sempurna menyebabkan darah kembali ke tubuh dan akan merusak (rupture) pembuluh darah halus (kapiler) di otot yang akan menyebabkan proses pembusukan daging. Penyembelihan sempurna mampu mengeluarkan darah lebih dari 50% yang terkandung di tubuh hewan, sehingga hanya tertinggal otot (khusus di longisimus dorsi) sekitar 10-25 %.
Pemotongan kepala dilakukan di persendian leher yang paling ujung dekat otak atau yang disebut bagian ulak-ulak, sehingga bagian leher tidak banyak terbuang dari karkas, sedangkan pemotongan kaki (karpus/tarsus) sapi dilakukan pada persendian di bawah tulang matakarpal untuk kaki bagian depan dan pada bagian phalageal bone untuk kaki belakang. Pemotongan kaki dilakukan secara mekanik menggunakan hog cutter.
Proses Pengulitan (Skinning)
Pengeluaran Jeroan
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pengeluaran jeroan telah sesuai prosedur, yaitu: rongga perut dan rongga dada dibuka dengan membuat irisan sepanjang garis perut dan dada (brisket). Organ-organ yang ada di rongga perut dan dada dikeluarkan dan dijaga agar rumen dan alat pencernaan lainnya tidak pecah/robek dan langsung ditempatkan dalam keranjang jeroan (riversed) lalu dipindahkan ke ruang jeroan (oval room). Menurut Harsojo dan Irawati (2011) jeroan adalah sasaran kontaminasi mikroba yang mempercepat kerusakan sehingga tidak layak dikonsumsi, seperti E. coli. Bakteri ini dapat menyebabkan
hemorrhagic colitis yang banyak dijumpai pada air yang terkontaminasi oleh kotoran manusia.
Tahapan selanjutnya dilakukan pemisahan jeroan merah (red oval) yaitu hati, jantung, paru-paru, limpa, ginjal dan lidah dan jeroan hijau (lambung, usus dan esophagus) kemudian dibersihkan dengan menggunakan air mengalir di oval table. Jeroan hijau dikategorikan sebagai hasil ikutan. Setiap sapi akan mengeluarkan isi rumen rata-rata 10-12% dari berat hidupnya sebelum disembelih (Aboenawan 1993).
Pemeriksaan Post-mortem
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemeriksaan post-mortem telah sesuai prosedur, yaitu pemeriksaan dilakukan oleh petugas yang berwenang terhadap setiap sapi setelah dipotong. Pemeriksaan dilakukan pada bagian organ rongga mulut, dada, perut dan karkas yang dilakukan dengan cara melihat, meraba dan menyayat. Keputusan telah sesuai hasil pemeriksaan.
Pembelahan Karkas (Splitting)
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pembelahan karkas telah sesuai prosedur, yaitu pembelahan karkas dilakukan dengan gergaji mesin (carcass splitting saw) dibantu dengan tangga hidrolik untuk mempermudah pembelahan dari bagian atas ke bawah sepanjang tulang belakang dibagi menjadi dua bagian (khusus untuk produksi PTEI) atau empat bagian sesuai dengan permintaan konsumen yang membeli jasa penyembelihan di PTEI. Proses ini memerlukan air yang mengalir untuk memperlancar proses pembelahan dan menghilangkann serpihan tulang, lemak dan darah. Keran air dibuka sebelum gergaji mesin dinyalakan dan ditutup kembali setelah gergaji mesindimatikan.
Penimbangan Karkas (Wheighing)
Pelayuan Karkas
Karkas lalu dimasukkan ke dalam chilling room dengan suhu 0oC selama 12-24 jam, sedangkan untuk jasa pemotongan karkas yang sudah ditimbang langsung dibawa ke mobil angkut untuk didistribusikan.
Semua kegiatan produksi dilakukan di tempat khusus dengan permukaan yang terbuat dari keramik agar dapat terjamin kebersihannya karena terdapat pembagian area bersih dan area kotor sehingga mengurangi resiko kontaminasi. Menurut BSN RPH (1999), daerah kotor terdiri atas tempat pemotongan, pengeluaran darah, penyelesaian proses penyembelihan, ruang jeroan, kepala dan kaki, kulit dan pemeriksaan postmortem. Sedangkan daerah bersih yaitu tempat penimbangan karkas dan tempat keluar karkas.
Pemotongan Bagian-bagian Daging (Deboning)
Tahapan deboning dimulai dengan memasukkan karkas ke dalam boning room yang bersuhu 10oC, karkas ditimbang, dilakukan pengecekan oleh dokter hewan seperti sisa darah, feses atau rambut, kemudian dilakukan pemisahan daging dan tulang. Pemisahan tersebut dilakukan dengan tiga tahap perlakuan yaitu boning, cutting dan trimming. Pemotongan dilakukan juga untuk mendapatkan potongan komersial daging. Pemotongan dimulai dengan memotong bagian blade, chuck, shank dan chuck tender. Kemudian dilakukan pemotongan ¼ karkas yang dipotong lagi menjadi potongan yang lebih kecil dengan menggunakan bond saw menjadi tulang brisket. Kemudian dilakukan pemisahan bagian striploin, flank dan pemisahan tulang belakang (back bone), lalu dilakukan pemisahan bagian rump, silverside, knuckle dan shank. Lemak yang menempel pada bagian luar daging diiris dengan pisau. Daging yang masih menempel pada tulang dikikis dengan menggunakan pisau untuk dijadikan daging tetelan.
Potongan karkas dilakukan di PTEI berdasarkan metoda Australia dengan membagi menjadi 14 potong dalam tiga kategori, yaitu :
a. Enam potong pada bagian belakang (potongan pistol) : 1) filet, 2) sirloin, 3) rump, 4) topside, 5) inside dan 6) silverside dalam keadaan hampa udara (pressmeat). Yanti et al. (2008) mengatakan bahwa pengemasan daging sangat penting dalam mencegah atau mengurangi kerusakan oleh mikroorganisme dan gangguan fisik. Pembungkusan dengan plastik dapat mencegah kontaminasi bakteri dari udara dan tangan manusia.
Label yang diberikan berisi informasi logo dan nomor sertifikat halal MUI, berat bersih, masa kadaluarsa, nama jenis kode produk, produsen, nama dan logo perusahaan, merk dagang, NKV, kode dan tanggal produksi, jumlah kemasan dan informasi cara penyimpanan. Daging dari RPH diberikan label pada plastik dan karton yang menandakan bahwa daging tersebut halal. Cara memperoleh label halal adalah dengan mengevaluasi seluruh rantai produksi dalam pemotongan halal. Evaluasi tersebut dilakukan oleh organisasi pengawas berwenang, yang berperan sebagai badan kontrol dan sertifikasi (Bonne dan Verbeke 2008). Di Indonesia ada dua tahap dalam menentukan kehalalan sebuah produk. Pertama, adalah sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI. Kemudian dilanjutkan proses lebelisasi halal yang menjadi kewenangan BPOM.
Pengecekan kembali dilakukan oleh dokter hewan sebelum kardus ditutup dan diikat dengan memeriksa daging utuh, tidak cacat atau memar, kemasan
vacuum tidak bocor, kesesuian label dengan item dan cemaran fisik. Jika terdapat kejanggalan maka item akan direject untuk pengerjaan ulang, jika sudah sesuai item didorong dengan conveyor ke ruang penyimpanan (aging) pada suhu -5oC. Ini bertujuan agar daging tetap segar dan tidak rusak. Menurut Cetin et al. (2010) proses pendinginan dan penyimpanan yang tidak benar dapat menyebabkan daging terkontaminasi mikrobiologi.
Maksimal lama penyimpanan untuk produk chilled adalah tiga bulan, terhitung mulai dari tanggal produksi dengan kondisi penyimpanan pada suhu 0-4oC. Sedangkan untuk produk frozen adalah 12 bulan dengan penyimpanan pada suhu -20oC. Kemasan daging terdiri dari kemasan primer berupa barrier bag
(plastik vaccum) dan kemasan sekunder berupa plastik HDPE dan karton (kardus). Informasi pada kemasan primer hanya berupa logo produk yaitu ”Vaccum Chilled Beef by Elders”. Informasi lainnya diberikan pada kemasan sekunder.
Pendistribusian Daging
Pendistribusian daging dilakukan setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu. Hasil ikutan pemotongan seperti kepala, kaki, jeroan dan kulit dijual kepada pelanggan tetap yang datang setiap hari pemotongan, yaitu hari Senin, Rabu dan Jumat.
Daging didistribusikan dengan mobil box bersuhu -1oC. Alat transportasi yang terjaga dapat menjamin daging tidak tercemar bahan yang bersifat haram sehingga tidak menurunkan kualitasnya. Sejalan dengan Harsajo dan Irawati (2011) bahwa sistim transportasi dan distribusi daging dari tempat pemotongan ke tempat pengolahan berperan penting dalam penerapan jaminan keamanan mutu. Menurut Murdhiati (2007) transportasi merupakan titik penting dalam rantai penyediaan bahan pangan asal ternak, baik transportasi dari peternakan ke RPH ataupun dari RPH ke konsumen. Daging merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroba patogen sehingga diperlukan fasilitas pendingin pada saat transportasi. Transportasi berpendingin dapat menekan mikroba berkembangbiak sehingga jumlahnya tidak mencapai tingkat yang berbahaya.
Tabel 1 Matriks evaluasi prosedur pemotongan ternak RPH PTEI
Indikator B Hasil pengamatan S NK Tindakan koreksi
Penerimaan dan penampungan ternak
1.Ternak yang baru datang di RPH harus diturunkan dari alat angkut dengan hati-hati dan tidak membuat ternak menjadi stres
2
Terdapat fasilitas unloading untuk menurunkan ternak dengan
kemiringan maksimal 300 3 6 hewan, surat karantina dsb untuk ternak luar daerah)
2
Selalu dilakukan pemeriksaan oleh petugas setiap ternak baru didatangkan sebelum diturunkan dari truk
pengangkut 3 6 -
Ternak harus dipuasakan untuk memenuhi kaedah
animal walfare
5.Ternak diperiksa jenis kelamin,
umur dan berat badannya. Jika 2
Tabel 1 Matriks evaluasi prosedur pemotongan ternak RPH PTEI (lanjutan 1)
Indikator B Hasil pengamatan S NK Tindakan koreksi
betina diperiksa status kesehatan reproduksinya
3 6 -
Sub total 12 14 33
Pemeriksaan ante-mortem
1. Dilakukan oleh petugas pemeriksa yang berwenang paling lama 24 jam sebelum penyembelihan
2
Pemeriksaan dilakukan oleh dokter
hewan sesuai dengan SOP 3 6 -
2. Dilakukan di tempat yang disediakan dan/atau sesuai pertimbangan petugas pemeriksa yang berwenang
2
Pemeriksaan dilakukan di kandang
penampungan 3 6
-
3. Mengamati secara seksama ternak (sikap hewan saat berdiri atau bergerak yang dilihat dari segala arah, lubang kumlah, selaput lendir mulut, mata, cermin hidung, kulit, kelenjar getah bening, tanda-tanda suntikan hormon dan suhu badan)
2
Mengamati lubang kumlah, tingkah laku, pernafasan, suhu tubuh, cermin hidung (lembab = normal, kering = demam), pemeriksaan dilakukan secara menyeluruh
3 6
-
Tabel 1 Matriks evaluasi prosedur pemotongan ternak RPH PTEI (lanjutan 2)
Indikator B Hasil pengamatan S NK Tindakan koreksi
4. Keputusan yang diambil petugas pemeriksa sesuai dengan hasil pemeriksaan (diizinkan tanpa syarat, diizinkan dengan syarat, ditunda dan/atau ditolak untuk disembelih) dan diberi tanda (cap)
3
Ternak yang sehat dipersiapkan untuk pemotongan, ternak yang sakit ditunda dan/atau ditolak pemotongan. Ternak yang sakit akan langsung dipisahkandangkan dengan ternak sehat sehingga tidak diberikan cap
3 9
-
Sub total 9 12 27
Persiapan sebelum
penyembelihan
1. Ternak dibersihkan atau
dimandikan 3
Disemprot dengan air mengalir untuk menghindari kontaminasi produk dengan lingkungan produksi
3 9
-
2. Ternak dibawa ke ruang pemotongan dengan cara yang baik (tidak kasar)
3
Ternak dibawa melalui gang way
3 9
-
3. Tata cara menjatuhkan hewan harus dapat meminimalkan rasa
sakit dan stres 3
Ternak dimasukkan ke dalam
knocking box kemudian dipingsankan dengan stunning gun dan dijatuhkan pada lantai yang beralas
3 9
-
Tabel 1 Matriks evaluasi prosedur pemotongan ternak RPH PTEI (lanjutan 3)
Indikator B Hasil pengamatan S NK Tindakan koreksi
4. Pengekangan/pengikatan ternak dilakukan dengan baik (tidak kasar) dengan meminimalisir kemungkinan dilakukan oleh juru sembelih halal dan sesuai syariat Islam.
Penyembelihan dengan pemingsan- an dilakukan oleh juru sembelih halal dan mengacu pada ketentuan dalam HAS 23103
5
Penyembelihan dilakukan dengan pemingsanan untuk menjaga
animal walfare karena kesulitan dalam menjatuhkan ternak dan mengurangi rasa sakit. Berdasarkan fatwa MUI (2009) tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Hewan
3 15 -
2. Menggunakan pisau yang tajam
dengan sekali tekan tanpa diangkat 4
Pisau tajam (25-30 cm) dan
dilengkapi dengan alat pengasah 3 12 -
3. Harus memotong saluran darah, saluran nafas dan saluran makanan sekaligus
4
Sudah sesuai dengan prosedur
3 12 -
4. Setelah hewan disembelih, luka
sembelihan tidak disiram air 3
Sudah sesuai dengan prosedur
3 9 -
5. Ternak harus benar-benar mati (tidak bergerak) dan pengeluaran darah
Tabel 1 Matriks evaluasi prosedur pemotongan ternak RPH PTEI (lanjutan 4)
Indikator B Hasil pengamatan S NK Tindakan koreksi
6. Dilakukan pemisahan kepala dan kaki
(tarsus/karpus) dari badan 3
Sudah sesuai dengan prosedur
3 9 -
Sub total 23 18 69
Pengulitan
1. Sebelum proses pengulitan dilakukan, terlebih dahulu harus dilakukan
pengikatan pada saluran makan di leher dan anus, sehingga isi lambung dan feses tidak keluar dan mencemari karkas
4
Sudah sesuai dengan prosedur
3 12
-
2. Pengulitan dilakukan bertahap, diawali dengan irisan panjang pada kulit sepanjang garis dada dan bagian perut dilanjutkan sepanjang permukaan dalam (medial) kaki
3
Sudah sesuai dengan prosedur
3 9 -
3. Kulit dipisahkan mulai dari bagian
tengah ke punggung 2
Sudah sesuai dengan prosedur
3 6 -
4. Pengulitan harus hati-hati tidak terjadi kerusakan pada kulit dan terbuangnya daging
3
Sudah sesuai dengan prosedur
3 9
-
Sub total 12 12 36
Tabel 1 Matriks evaluasi prosedur pemotongan ternak RPH PTEI (lanjutan 5)
Indikator B Hasil pengamatan S NK Tindakan koreksi
Pengeluaran jeroan
1. Rongga perut dan rongga dada dibuka dengan membuat irisan sepanjang garis perut dan dada
3
Sudah sesuai dengan prosedur
3 9 -
2. Organ-organ yang ada di rongga perut dan dada dikeluarkan dan dijaga agar rumen dan alat pencernaan lainnya tidak pecah/robek
4
Pembersihan alat pencernaan dilakukan di tempat terpisah
dengan area pemotongan 3 12
-
3. Dilakukan pemisahan antara jeroan merah (hati, jantung, paru-paru, limpa, ginjal dan lidah) dan jeroan hijau (lambung, usus dan
1. Karkas dibelah dua sepanjang tulang belakang dengan kampak yang tajam atau mesin
3
Pembelahan dilakukan dengan
mesin 3 9 bagian sebelum dimasukkan ke dalam chilling room untuk dilayukan pada suhu 00C
3 6
-
Tabel 1 Matriks evaluasi prosedur pemotongan ternak RPH PTEI (lanjutan 6)
Indikator B Hasil pengamatan S NK Tindakan koreksi
3. Dilakukan penimbangan karkas
2 Penimbangan dilakukan secara
otomatis setelah karkas dibelah 3 6
-
Sub total 7 9 21
Pemeriksaan post-mortem 1. Dilakukan oleh petugas
pemeriksa yang berwenang 3
Dilakukan oleh dokter hewan
3 9 -
2. Dilakukan segera setelah
penyelesaian penyembelihan 3
Dilakukan setelah ternak ditimbang
3 9 -
3. Pemeriksaan kepala dan lidah secara lengkap dengan cara melihat, meraba dan menyayat
2
Sudah sesuai dengan prosedur
3 6 -
4. Pemeriksaan organ rongga dada dan rongga perut dengan cara melihat, meraba dan menyayat
2
Sudah sesuai dengan prosedur
3 6 -
5. Pemeriksaan karkas dengan cara melihat, meraba dan menyayat 3
Sudah sesuai dengan prosedur
3 6 -
6. Keputusan yang diambil petugas pemeriksa sesuai dengan hasil pemeriksaan (dapat
2
Keputusan telah sesuai dengan hasil, selama ini tidak pernah ditemukan penyakit yang menyebabkan karkas/daging
dilarang untuk
diedarkan/dikonsumsi
3 9 -
Tabel 1 Matriks evaluasi prosedur pemotongan ternak RPH PTEI (lanjutan 7)
Indikator B Hasil pengamatan S NK Tindakan koreksi
diedarkan, dapat diedarkan dengan syarat dan/atau dilarang diedarkan)
-
7. Pemberian tanda atau stempel
daging 2
Tidak diberikan stempel pada
daging 1 2
Stempel halal diberikan pada kemasan plastik vacuum
Sub total 15 19 47
Total 100 105 299
B : Bobot (100). S : Skor (0-3). NK : Nilai Kesesuaian (Tidak Sesuai = <101, Kurang Sesuai = 102-200, Sesuai = >201)
Evaluasi Juru Sembelih Halal dan Sumberdaya Manusia
Rumah potong hewan harus memiliki empat kompetensi sumberdaya manusia berdasarkan Permentan No 13/2010 Bab VII Pasal 41-42, yaitu juru sembelih halal, dokter hewan berwenang, dokter hewan pelaksana dan penanggungjawab teknis dan tenaga pemeriksa daging (keurmaster).
Juru sembelih halal wajib memiliki kompetensi tidak hanya dari aspek syari’at Islam, namun juga dari aspek teknis kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan. Menurut Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) No 196/2014, fungsi utama juru sembelih halal harus mampu mengembangkan kemampuan religius, berinteraksi sosial, menjamin terlaksana prinsip keamanan pangan dan kesejahteraan hewan, kesiapan dalam penyembelihan, pelaksanaan penyembelihan dan evaluasi penyembelihan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa RPH PTEI sudah memenuhi kriteria dengan memiliki juru sembelih halal yang merupakan karyawan tetap dan sudah mempunyai sertifikat yaitu lulus persyaratan petugas penyembelih dengan mengikuti pelatihan penyembelihan halal yang diadakan oleh lembaga sertifikasi halal Islam yang bekerjasama dengan instansi teknis terkait (LPPOM MUI 2012), sertifikat dapat diperbaharui per lima tahun. Pelatihan penyegaran kompetensi juru sembelih halal diberikan per enam bulan. Jenis pelatihan yang diberikan yaitu kesadaran pentingnya kehalalan, hukum halal-haram dalam Islam terkait bahan pangan, pengertian dan pemahaman sistem produksi halal, pelatihan sistim dokumentasi dan audit halal.
Hasil penelitian Prastowo (2014) mengatakan bahwa konsep Islam dan OIE bahwa pengetahuan dan keterampilan juru sembelih halal sangat menentukan dalam menjalankan tugasnya terkait kehalalan penyediaan daging. Juru sembelih halal wajib dilakukan oleh muslim yang memahami syariat Islam. Peta kompetensi juru sembelih halal dapat dilihat pada Tabel 2.
Dokter hewan berwenang adalah dokter hewan pemerintah yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota untuk melakukan pengawasan di bidang kesehatan masyarakat veteriner. RPH PTEI tidak memiliki dokter hewan berwenang yang ditunjuk berdasarkan SK Bupati/Walikota, karena perusahaan ini milik swasta bukan berada di bawah wewenang Dinas Peternakan Kabupaten Bogor.
Dokter hewan pelaksana dan penanggungjawab teknis adalah dokter hewan yang ditunjuk oleh manajemen RPH yang dapat bertanggungjawab dalam pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem serta pengawasan di bidang kesehatan masyarakat veteriner. RPH PTEI sangat menjaga kualitas daging yang dihasilkan. Hal ini dibuktikan dengan memperkerjakan seorang dokter hewan untuk mengawasi kesehatan ternak sebelum dan sesudah dipotong. PTEI memiliki dua dokter hewan pelaksana dan penanggungjawab teknis di bawah divisi quality control yang dikepalai oleh Ibu Syari Wulan dan membawahi Bapak drh. Restroka Adhi G yang sekaligus merangkap sebagai pemeriksa daging (keurmaster).
Sumber : Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (2014)
Tujuan utama Fungsi kunci Fungsi utama Fungsi dasar Juru sembelih
Kompetensi B Hasil pengamatan S NK Tindakan koreksi Dokter Hewan
1. RPH harus dibawah pengawasan dokter hewan berwenang di bidang kesehatan masyarakat veteriner yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota
20
Berada di bawah
pengawasan dokter hewan ditunjuk oleh presiden direktur PT. Elders Indonesia
3 60 -
Sub total 20 3 60 -
Dokter Hewan pelaksana dan penanggung jawab teknis
1. RPH harus mempekerjakan paling kurang satu orang dokter hewan sebagai pelaksana dan penanggung jawab teknis pengawasan kesehatan masyarakat veteriner di RPH
10
Memiliki satu orang dokter hewan, yaitu Bapak Drh.
Restroka Adhi 3 30
-
2. Mempunyai keahlian di bidang meat inspector yang diakui oleh organisasi profesi dokter hewan dan diverifikasi oleh Otoritas Veteriner
8
Memiliki keahlian di bidang
meat inspector yang diakui oleh Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia
3 24 -
3. Mempunyai keahlian di bidang reproduksi yang diakui oleh
organisasi profesi dokter hewan dan diverifikasi oleh Otoritas Veteriner
7
Memiliki keahlian di bidang reproduksi
3 21 -
Tabel 3 Matriks evaluasi persyaratan sumberdaya manusia RPH PTEI (lanjutan 1)
Kompetensi B Hasil pengamatan S NK Tindakan koreksi
4. Mendapatkan pelatihan
penyegaran kompetensi 5
Mendapat pelatihan seperti HACCP
minimal enam bulan sekali 3 15 -
Sub total 30 12 90
Tenaga pemeriksa daging (keurmaster)
Pemeriksa daging ditangani oleh dokter hewan
- 1. RPH mempunyai paling kurang
satu orang tenaga pemeriksa daging (keurmaster) dibawah pengawasan dokter hewan penanggung jawab teknis
15 3 45 -
2. Harus memenuhi persyaratan paling kurang mempunyai sertifikat sebagai juru uji daging yang mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh Otoritas Veteriner
10 3 30
-
3. Mendapatkan pelatihan
penyegaran kompetensi 5 3 15
-
Tabel 3 Matriks evaluasi persyaratan sumberdaya manusia RPH PTEI (lanjutan 2)
Kompetensi B Hasil pengamatan S NK Tindakan koreksi
Juru sembelih halal 1. Setiap RPH wajib
mempekerjakan paling kurang satu orang juru sembelih halal
15
Memiliki tiga orang juru sembelih
halal 3 45
-
2. Harus memenuhi persyaratan paling kurang mempunyai sertifikat sebagai juru sembelih halal yang dikeluarkan oleh lembaga berwenang
10
Ketiganya sudah memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh MUI
3 30
-
3. Mendapatkan pelatihan
penyegaran kompetensi 5
Pelatihan penyegaran kompetensi
minimal enam bulan sekali 3 15
-
Sub total 30 9 90
Total 100 33 330
B : Bobot (100). S : Skor (0-3). NK : Nilai Kesesuaian (TS = <101, KS = 102-200, S = >201)
Kesesuaian Fasilitas RPH
Secara umum berdasarkan Permentan No 10/2013, persyaratan teknis yang harus dipenuhi oleh RPH adalah lokasi, sarana pendukung, konstruksi dasar, desain bangunan dan peralatan harus mampu memfasilitasi pelaksanaan produksi daging dan karkas yang baik serta mencegah terjadinya kontaminasi. Hal ini penting untuk menjamin pangan asal hewan khususnya daging sapi dari RPH PTEI memenuhi prinsip ASUH. Evaluasi kesesuaian fasilitas menunjukkan bahwa RPH PTEI dikategorikan sesuai dengan nilai kesesuaian 293. Fasilitas RPH yang lengkap dan memadai menjadi patokan utama proses pemotongan sapi sesuai standar pemotongan halal dan GSP.
Lokasi RPH PTEI terletak jauh dari pemukiman warga, sehingga tidak berisiko mencemari lingkungan. Tempat pemotongan sapi memiliki fasilitas penanganan limbah padat dan cair serta dipagar terpisah. Tata ruang didisain khusus untuk daerah kotor dan bersih, pemeriksaan postmortem dan penerangan yang baik. Hasil evaluasi kesesuaian fasilitas ditampilkan pada Tabel 4.
Persyaratan sarana/prasarana pendukung RPH diatur dalam Permentan No 13/2010 pasal 7-8 ayat 1. Hasil pengamatan menunjukkan sarana/prasarana pendukung RPH PTEI sudah sesuai seperti akses jalan baik dan beraspal, komplek RPH berpagar, jalur masuk hewan terpisah dengan jalur keluar daging/karkas, air PDAM yang digunakan memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dan sumber listrik dari PLN dengan cadangan ginset jika dibutuhkan. Bangunan Utama
Bangunan utama adalah bangunan yang digunakan sebagai tempat pemotongan ternak dan menghasilkan karkas/daging. Persyaratan bangunan utama diatur dalam Permentan No 13/2010 pasal 9 dan 11. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bangunan utama RPH PTEI sudah sesuai persyaratan, yaitu disain tata ruang searah alur proses, terdapat pemisahan daerah bersih dan kotor dengan luas ruang pemotongan sesuai kapasitas. Tersedia area dan fasilitas khusus untuk melaksanakan pemeriksaan postmortem. Bangunan mempunyai dinding dan pintu, sehingga akses terbatas hanya bagi yang berkepentingan. Lantai rata tanpa lubang sehingga tidak terjadi genangan air. Tersedia penampungan darah murni dan langit-langit tertutupi asbes.
Kandang Penampung dan Istirahat
Kandang penampung adalah kandang yang digunakan untuk menampung hewan sebelum dipotong dan tempat dilakukannya pemeriksaan
Kamar Mandi dan WC
Persyaratan kamar mandi dan WC diatur dalam Permentan No 13/2010 pasal 20. Hasil pengamatan menunjukkan semua persyaratan telah terpenuhi yaitu jumlah kamar mandi/WC telah sesuai dengan jumlah karyawan dan saluran pembuangannya dibuat khusus ke arah septic tank. Ventilasi baik, mempunyai lampu penerangan, kondisi bak air, dinding dan lantai bersih. Peralatan
Persyaratan peralatan RPH diatur dalam Permentan No 13/2010 pasal 29. Hasil pengamatan menunjukkan persyaratan peralatan telah terpenuhi, yaitu peralatan pendukung dan penunjang di RPH terbuat dari bahan yang tidak mudah korosif, mudah dibersihkan/dirawat dan didesinfeksi. Peralatan dan permukaan yang kontak dengan daging dan jeroan tidak terbuat dari kayu dan bahan-bahan yang bersifat toksik, tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta mudah dirawat. Peralatan logam seperti pisau yang kontak dengan daging dan jeroan terbuat dari bahan yang tidak mudah berkarat atau korosif, kuat, tidak dicat, mudah dibersihkan dan mudah didesinfeksi serta mudah dirawat. Tidak menggunakan pelumas pada peralatan. Sarana pencucian tangan atau kran tidak kontak dengan telapak tangan, terdapat air hangat, desinfektan, sabun cair, pengering dan tempat sampah. Peralatan untuk membersihkan dan mendesinfeksi ruang berupa sapu lidi, selang, ember dan gayung. Tersedia
restraining box, cradle, hoist, meja pemeriksaan, alat penggantung kepala dan timbangan serta peralatan untuk petugas pemeriksa berupa pakaian pelindung diri dan pisau, pengasah pisau, apron plastik, tutup kepala dan sepatu bot.
Penelitian Bhandare et al. (2009) di Mumbai, India menujukkan bahwa kontaminasi dapat berasal dari lantai, platform dan dinding. Situasi ini diperparah karena permukaan lantai yang tidak rata, celah platform dan retakan dinding dimana darah, daging, partikel lemak, serpihan tulang dan isi usus dapat jatuh atau terpercik dan menempel sehingga bakteri dapat tumbuh dan berkembang.
Higien dan Sanitasi
Tabel 4 Matriks evaluasi kesesuaian persyaratan fisik RPH PTEI
Indikator B Hasil pengamatan S NK Tindakan koreksi
Lokasi
1. Harus sesuai dengan dengan Rencana Umum Tata Ruang
Wewenang Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
1 1.5
-
2. Tidak berada di daerah rawan banjir, tercemar asap, bau, debu dan kontaminan lainnya
Pencemaran lingkungan diminimalisir dengan upaya penyaringan limbah 5 kali sebelum dialirkan ke rumput yang berbatasan dengan sungai
3 3
-
4. Letaknya lebih rendah dari
pemukiman 1
Jauh dari pemukiman
1 1 -
- 5. Mempunyai akses air bersih
yang cukup untuk pelaksanaan tercukupi baik secara kuantitas dan kualitas
3 3
-
Tabel 4 Matriks evaluasi kesesuaian persyaratan fisik RPH PTEI (lanjutan 1)
Indikator B Hasil pengamatan S NK Tindakan koreksi
6. Tidak berada dekat industri
logam dan kimia 1
Tidak terdapat industri
3 3 -
7. Mempunyai lahan yang cukup untuk pengembangan RPH 1
Mempunyai lahan yang cukup
3 3 -
Sub total 8 17 19
Sarana/prasarana pendukung 1. Akses jalan yang baik menuju
RPH yang dapat dilalui kendaraan pengangkut hewan potong dan kendaraan daging
1
Akses jalan baik dan beraspal
3 3 -
2. Sumber air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah cukup, paling kurang 1000
liter/ekor/hari
1
Air yang digunakan memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dan
jumlahnya mencukupi kebutuhan 3 3 -
3. Sumber tenaga listrik yang cukup dan tersedia terus menerus
1
Sumber tenaga listrik masih kurang,
harus memakai ginset sewaktu-waktu 2 2 Harus ditambahkan sumber tenaga listrik yang cukup dan stabil 4. Fasilitas penanganan limbah
padat dan cair
1
Limbah cair (darah murni) ditampung dan diberikan kepada peternak ikan, feses diberikan kepada petani dan limbah cair lainnya dialirkan ke saluran limbah
3 3
-
Tabel 4 Matriks evaluasi kesesuaian persyaratan fisik RPH PTEI (lanjutan 2)
Indikator B Hasil pengamatan S NK Tindakan koreksi
5. Kompleks RPH harus dipagar, dan harus memiliki pintu yang terpisah untuk masuknya hewan potong dengan keluarnya karkas dan daging
1
Komplek RPH dipagari dan memiliki pintu terpisah untuk masuk hewan potong (pintu belakang 1), keluar karkas dan daging (pintu belakang 2) dan untuk akses keluar masuk orang
1. Tata ruang didisain searah dengan alur proses serta memiliki ruang yang cukup, sehingga seluruh kegiatan pemotongan hewan dapat berjalan baik dan higienis, dan besarnya ruangan disesuaikan
2. Adanya pemisahan ruangan yang jelas secara fisik antara “daerah
bersih” dan “daerah kotor” 1
Adanya pemisahan ruangan yang jelas secara fisik antara “daerah
bersih” dan “daerah kotor” 3 3
-
3. Memiliki area dan fasilitas khusus untuk melaksanakan pemeriksaan
postmortem
1
Memiliki area dan fasilitas khusus untuk melaksanakan pemeriksaan
postmortem
3 3
-
Tabel 4 Matriks evaluasi kesesuaian persyaratan fisik RPH PTEI (lanjutan 3)
Indikator B Hasil pengamatan S NK Tindakan koreksi
4. Lampu penerangan harus mempunyai pelindung, mudah dibersihkan dan mempunyai intensitas cahaya 540 luks untuk area pemeriksaan post-mortem, dan 220 luks untuk area
pengerjaan proses pemotongan
0.5
Lampu penerangan mempunyai pelindung, mudah dibersihkan dan mempunyai intensitas cahaya yang cukup untuk pemeriksaan post-mortem dan pengerjaan proses pemotongan
3 1.5
-
5. Dinding bagian dalam berwarna terang dan paling kurang setinggi 3 meter terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas
0.5
Dinding bagian dalam berwarna terang, kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas
3 1.5
-
6. Dinding bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang memungkinkan dipakai sebagai
7. Lantai terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah korosif, tidak licin, tidak toksik, mudah toksik, mudah dibersihkan dan didesinfeksi dan landai ke arah saluran pembuangan
3 1.5
-
Tabel 4 Matriks evaluasi kesesuaian persyaratan fisik RPH PTEI (lanjutan 4)
Indikator B Hasil pengamatan S NK Tindakan koreksi
8. Permukaan lantai harus rata, tidak bergelombang, tidak ada celah atau lubang, jika lantai terbuat dari ubin, maka jarak antar ubin diatur sedekat mungkin dan celah antar ubin harus ditutup dengan bahan kedap air
0.5
Permukaan lantai rata
3 1.5
-
9. Lubang ke arah saluran pembuangan pada permukaan lantai dilengkapi
dengan penyaring 0.5
Lubang dilengkapi dengan penyaring untuk menghindari penyumbatan saluran pembuangan karena sisa pemotongan
3 1.5
-
10.Sudut pertemuan antara dinding dan lantai harus berbentuk lengkung dengan jari-jari sekitar 75 mm
0.5
Sudut pertemuan antara dinding
dan lantai berbentuk lengkung 3 1.5
-
11.Sudut pertemuan antara dinding dan dinding harus berbentuk lengkung dengan jari-jari sekitar 25 mm
0.5
Sudut pertemuan antara dinding
dan dinding berbentuk lengkung 3 1.5
-
12.Di daerah pemotongan dan pengeluaran darah harus didisain agar darah dapat tertampung
0.5
Daerah pemotongan didisain untuk
dapat menampung darah 3 1.5
-
Tabel 4 Matriks evaluasi kesesuaian persyaratan fisik RPH PTEI (lanjutan 5)
Indikator B Hasil pengamatan S NK Tindakan koreksi
13. Langit-langit didisain agar tidak terjadi akumulasi kotoran dan kondensasi dalam ruangan, berwarna terang, terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah mengelupas, kuat, mudah dibersihkan, tidak ada lubang atau celah terbuka pada langit-langit
0.5
Desain langit-langit baik dan tidak ada lubang/ celah
3 1.5
-
14. Ventilasi pintu dan jendela harus dilengkapi dengan kawat kasa untuk mencegah masuknya serangga atau dengan menggunakan metode pencegahan serangga lainnya
0.5
Ventilasi pintu dan jendela dilengkapi dengan kawat kasa
3 1.5
-
15. Kusen pintu dan jendela, serta bahan daunnya tidak terbuat dari kayu, dibuat dari bahan yang tidak mudah korosif, kedap air, tahan benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi dan bagian bawahnya harus dapat menahan agar tikus/rodensia tidak dapat masuk
0.5
Kusen pintu dan jendela terbuat dari besi, bahan daun pintu terbuat dari kayu yang dilapisi alumunium dan dilengkapi dengan tirai plastik sebagai pembatas
3 1.5
-
16. Kusen pintu dan jendela bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang memungkinkan dipakai sebagai tempat
Tabel 4 Matriks evaluasi kesesuaian persyaratan fisik RPH PTEI (lanjutan 6)
Indikator B Hasil pengamatan S NK Tindakan koreksi
17.Konstruksi bangunan harus dirancang sedemikian rupa sehingga mencegah tikus atau rodensia, serangga dan burung masuk dan bersarang dalam bangunan
1
Konstruksi bangunan dirancang dengan baik dan benar
3 3
-
18.Pertukaran udara dalam bangunan harus
baik 0.5
Pertukaran udara dalam bangunan
baik 3 1.5 -
Sub total 11 54 33
Area penurunan (unloading) ternak 1. RPH dilengkapi dengan fasilitas untuk
menurunkan ternak (unloading) dari atas kendaraan angkut ternak yang didisain sedemikian rupa sehingga ternak tidak cedera akibat melompat atau tergelincir
1
Fasilitas unloading didisain dengan baik namun di bagian kiri dan
kanan belum dipasang penutup 2 2
Di bagian kiri dan kanan harus dipasang penutup agar sapi tidak melihat keadaan sekitar
2. Ketinggian tempat penurunan/penaikan ternak harus disesuaikan dengan ketinggian kendaraan angkut hewan
1 Ketinggian sudah disesuaikan
dengan baik 3 3 -
3. Lantai sejak dari tempat penurunan hewan sampai kandang penampungan harus tidak licin dan dapat
meminimalisasi terjadinya kecelakaan
0.5
Lantai tidak licin, diberikan serabut kasar sebagai alas untuk mencegah ternak tergelincir
3 1.5 -