• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi pengembangan ekowisata berbasis masyarakat di zona wisata Bogor Kabupaten Bogor:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi pengembangan ekowisata berbasis masyarakat di zona wisata Bogor Kabupaten Bogor:"

Copied!
387
0
0

Teks penuh

(1)

RINI UNTARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Zona Wisata Bogor Barat

Kabupaten Bogor “ merupakan gagasan dan karya saya bersama pembimbing

yang belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2009

(3)

MUNANDARand NURHAYATI H.S. ARIFIN.

A concept of Community Based Ecotourism (CBE) was evaluated to be implemented in Bogor Regency. This concept was considered important to develop ecotourism which contributes towards community human resource development and participation, contributes to the welfare of local people and enhances the local culture. The aim of this research was to define spatially the potential villages and to formulate strategies for development of Community Based Ecotourism in West Bogor Tourism Zone, Bogor Regency. This research was conducted in 17 villages (desa) of nine districts (kecamatan). Feasibility analysis was based on tourist destination and attraction, Community Based Ecotourism (CBE) readiness value and the preference of the community in tourism development zone of West Bogor. All information and analysis were presented in spatial information (GIS) using a builder modelling to define spatially the potential villages. Finally the SWOT analysis were conducted to find out the best strategy based on the priority for development of Community Based Ecotourism. The result from spatial analysis using builder modelling showed that there were four villages which very potential to be developed for CBE i.e. Pasir Eurih village, Sukajadi village, Gunung Malang village and Cihideung Udik village. Other nine villages were potential and four villages were medium in their potential. Based on SWOT analysis, there were eight strategies in priority recommended for development of Community Based Ecotourism in very potential villages cluster, seven strategies in priority for potential villages cluster and seven strategies in priority for medium in potential villages cluster. The result from a combination of spatial analysis and SWOT analysis, it was also recommended that the areas of CBE to be developed in priority were Pamijahan district, Tenjolaya district and Tamansari district.

(4)

MUNANDARdanNURHAYATI H.S. ARIFIN

Kabupaten Bogor mempunyai potensi ekowisata berupa potensi sumberdaya alam seperti pemandangan alam yang indah dengan latar Gunung Salak serta potensi budaya seperti kehidupan masyarakat, kesenian, upacara adat serta budaya bertani yang masih tradisional yang sangat potensial dalam pengembangan berbasis masyarakat. Dalam pengembangan wisata, pemerintah Kabupaten Bogor membuat zonasi dalam pengelolaannya. Salah satu bagian dari Kabupaten Bogor yang belum optimal dalam pengembangan ekowisata berbasis masyarakatnya yaitu di Zona Wisata Bogor Barat. Ekowisata Berbasis Masyarakat atau Community Based Ecotourism (CBE) merupakan konsep pengembangan ekowisata dengan melibatkan dan menempatkan masyarakat lokal yang mempunyai kendali penuh dalam manajemen dan pengembangannya sehingga memberikan kontribusi terhadap masyarakat berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dan keberlanjutan kebudayaan lokal.

Tujuan penelitian ini yaitu memetakan daerah potensial pengembangan CBE dan menyusun strategi pengembangan ekowisata berbasis masyarakat di Zona Wisata Bogor Barat. Selain itu untuk menspasialkan informasi non-spasial dengan mengidentifikasi objek dan daya tarik wisata berupa kondisi biofisik, sosial-budaya, ekonomi, dan permasalahan dalam pengembangan ekowisata berbasis masyarakat, menganalisis kesiapan masyarakat serta menganalisis secara spasial maupun deskriptif desa yang potensial untuk pengembangan ekowisata berbasis masyarakat.

Penelitian dilaksanakan di 17 desa (sembilan kecamatan) yang termasuk zona wisata Bogor Barat Kabupaten Bogor yaitu Kecamatan Tamansari, Parung, Ciampea, Cibungbulang, Pamijahan, Tenjolaya, Jasinga, Cigudeg dan Sukajaya. Penentuan lokasi objek dan daya tarik wisata (ODTW) dilakukan secarapurposive sampling. Dalam penelitian ini dilakukan tiga penilaian yaitu penilaian objek dan daya tarik wisata, penilaian kesiapan pengembangan CBE serta penilaian kesiapan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata yang diketahui melalui kuesioner.

Penilaian objek dan daya tarik wisata didasarkan pada lima aspek yaitu daya tarik, aksesibilitas, kondisi lingkungan sosial ekonomi, akomodasi dan prasarana dan sarana penunjang (radius 10 km dari objek). Sedangkan penilaian kesiapan pengembangan CBE didasarkan empat aspek penilaian yaitu aspek sosial ekonomi, aspek sosial budaya, aspek lingkungan dan aspek pengelolaan dan penilaian kesiapan masyarakat dalam pengembangan ekowisata berdasarkan data karakteristik masyarakat, persepsi masyarakat, partisipasi serta keinginan masyarakat.

(5)

Desa Gunung Malang, Sukajadi, Cihideung Udik dan Desa Pasir Eurih. Sedangkan hasil penilaian kesiapan pengembangan CBE menunjukkan bahwa satu desa dengan klasifikasi sangat baik yaitu Desa Pasir Eurih. Penilaian kesiapan pengembangan CBE yang masuk klasifikasi baik sebanyak delapan desa, selain itu dua desa masuk kategori sedang, lima desa masuk kategori buruk dan satu desa masuk kategori penilaian sangat buruk. Hasil kuesioner yang disebarkan kepada masyarakat untuk masing-masing desa di 17 desa menunjukkan bahwa satu desa masuk dalam klasifikasi sangat baik yaitu Desa Pasir Eurih. Sedangkan sepuluh desa masuk dalam kategori baik dan enam desa masuk klasifikasi sedang. Hasil ground-true-check di lapangan menunjukkan desa-desa yang masuk klasifikasi sangat baik, beberapa desa diantaranya yaitu Desa Pasir Eurih dan Desa Sukajadi telah ditunjuk menjadi desa inisiasi dalam pengembangan desa wisata di Kabupaten Bogor.

Hasil analisis spasial dari tiga penilaian baik ODTW, kesiapan pengembangan CBE dan penilaian kesiapan masyarakat dalam pengembangan ekowisata menunjukkan bahwa empat desa sangat potensial untuk dikembangkan ekowisata berbasis masyarakat yaitu Desa Pasir Eurih dan Desa Sukajadi yang termasuk Kecamatan Tamansari, Desa Gunung Malang yang termasuk Kecamatan Tenjolaya dan Desa Cihideung Udik yang termasuk Kecamatan Ciampea. Sedangkan sembilan desa masuk klasifikasi baik dan empat desa masuk klasifikasi sedang. Desa Pasir Eurih dengan objek utama yaitu Kampung Budaya Sindangbarang, Desa Sukajadi dengan objek wisata Curug Nangka, Desa Gunung Malang dengan objek Curug Luhur dan Desa Cihideung Udik dengan objek wisata Kampung Wisata Cinangneng. Empat desa yang sangat potensial dalam pengembangan CBE berada dalam tiga kecamatan yang memiliki karakter berdekatan satu sama lain.

(6)
(7)

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

RINI UNTARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Aris Munandar, MS Dr. Ir. Nurhayati HS Arifin, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya

Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Surjono H Sutjahjo, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(11)

penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2009 ini adalah ekowisata, dengan judul Strategi Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Zona Wisata Bogor Barat Kabupaten Bogor.

Tesis merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Dalam penyusunan tesis, penulis banyak menerima masukan dan saran serta bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Aris Munandar, M.S, dan Ibu Dr. Ir. Nurhayati HS. Arifin M.Sc. sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan tesis.

2. Bapak Dr. Ir. Bambang Sulistyantara M. Agr dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina M.Sc yang telah bersedia menjadi dosen penguji pada sidang tesis serta memberikan masukan untuk perbaikan tesis.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya M. Agr yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk mendiskusikan metode yang berhubungan dengan GIS.

4. Kedua orangtua serta kedua saudara penulis (Setio Ajiwibowo dan Tri Fitriyanti) yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil. Tak lupa suami, Joko Santoso yang terus memberikansupportserta motivasi untuk menyelesaikan tesis serta putraku tersayang Akmal Satrio (15 bulan) yang telah menjadi penyemangat dalam penyelesaian tesis.

5. Keluarga Mukito Yudho Prayitno (Alm) untuk support dan motivasi terutama kepada Ibu Sri Sukartini dan juga Mbak Pur, Bambang dan De’ Wuri.

6. Bapak Adrian Aria Kusuma Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor, Bapak Sudiyono Kasi Aneka Wisata, serta seluruh staf Disbudpar Kabupaten Bogor atas bantuan serta informasi yang telah diberikan.

7. Keluarga besar Ekowisata Direktorat Diploma IPB, khususnya Koordinator Program Keahlian Ekowisata Ir. Tutut Sunarminto, M. Si beserta staf dosen dan juga mahasiswa Ekowisata angkatan 44, atas semangat dan bantuan yang telah diberikan.

8. Staf di Laboratorium Remote Sensing, Departemen Manajemen Hutan Fahutan IPB, Edwin Setia P dan Bapak Uus dengan waktu dan kesediaan berbagi aplikasi GIS.

(12)
(13)

dan ibu Hj. Bingah Saparyati. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Tahun 1998 penulis menempuh pendidikan sarjana di Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), lulus pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS 2007.

(14)

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran ... 5

1.3. Perumusan Masalah ... 8

1.4. Tujuan Penelitian ... 11

1.5. Manfaat Penelitian ... 11

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Pariwisata dan Wisata ... 13

2.2. Ekowisata ... 14

2.3. Pengembangan Ekowisata ... 18

2.4. Penilaian Potensi Wisata ... 20

2.5. Ekowisata Berbasis Masyarakat ... 23

2.6. Partisipasi Masyarakat Lokal ... 25

2.7. Sistem Informasi Geografis ... 31

3 METODE PENELITIAN ... 34

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian... 34

3.2. Alat dan Bahan ... 35

3.3. Kerangka Pendekatan ... 36

3.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 38

3.5. Metode Penelitian ... 38

3.5.1. Metode Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata... 38

3.5.2. Metode Penilaian Kesiapan Pengembangan CBE... 39

3.5.3. Metode Penilaian Kesiapan Masyarakat... 42

3.6. Teknik Pengumpulan Data ... 43

3.7. Metode Analisis Data ... 46

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52

4.1. Identifikasi Sumberdaya Wisata di Zona Wisata Bogor Barat ... 52

4.2. Analisis Penilaian... 93

4.2.1. Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata... 93

4.2.2. Penilaian Kesiapan Pengembangan CBE... 105

(15)

Pengembangan Ekowisata... 119

4.3. Analisis SWOT ... 124

4.3.1. Faktor Internal dan Eksternal (IFAS dan EFAS)... 124

4.3.2. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal ... 129

4.3.3. Strategi SWOT ... 133

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 149

5.1. Kesimpulan ... 149

5.2. Saran ... 150

DAFTAR PUSTAKA ... 152

(16)

1. Karakteristik Pengelolaan Berbasis Masyarakat... 28

2. Fungsi Dasar SIG dalam melakukan Analisis Ruang ... 33

3. Lokasi Objek Penelitian ... 34

4. Metode Penilaian Objek dan Daya Tarik ... 39

5. Kriteria dan Indikator Aspek Sosek ... 40

6. Kriteria dan Indikator Aspek Sosbud... 41

7. Kriteria dan Indikator Aspek Lingkungan ... 41

8. Kriteria dan Indikator Aspek Pengelolaan ... 42

9. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ... 45

10. Strategi Hasil Perpaduan Faktor Internal dan Eksternal ... 50

11. Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata ... 94

12. Hasil Penilaian Aspek Daya Tarik ... 96

13. Hasil Penilaian Aspek Aksesibilitas ... 98

14. Hasil Penilaian Aspek Kondisi Lingkungan Sosek ... 98

15. Hasil Penilaian Aspek Akomodasi ... 99

16. Hasil Penilaian Aspek Prasarana dan Sarana ... 99

17. Rekapitulasi Dokumentasi Objek Wisata ... 101

18. Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata Berdasarkan Sebaran Spasial ... 103

19. Hasil Penilaian Kesiapan Pengembangan CBE ... 105

20. Penilaian Kesiapan Pengembangan CBE Berdasarkan Analisis Spasial ... 107

21. Hasil Penilaian Aspek Sosek ... 108

22. Hasil Penilaian Aspek Sosbud ... 109

23. Hasil Penilaian Aspek Lingkungan ... 110

24. Hasil Penilaian Aspek Pengelolaan ... 111

25. Penilaian Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata ... 113

(17)

29. Hasil Penilaian Partisipasi dan Keinginan Masyarakat ... 117

30. Kekuatan Cluster Desa Sangat Baik, Baik dan Sedang ... 125

31. Kelemahan Cluster Desa Sangat Baik, Baik dan Sedang ... 126

32. Peluang Cluster Desa Sangat Baik, Baik dan Sedang ... 127

33. Ancaman Cluster Desa Sangat Baik, Baik dan Sedang ... 128

34. Alternatif Strategi dalam Analisis SWOT Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat Cluster Desa Sangat Baik ... 134

35. Alternatif Strategi dalam Analisis SWOT Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat Cluster Desa Baik ... 136

36. Alternatif Strategi dalam Analisis SWOT Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat Cluster Desa sedang ... 138

(18)

2. Peta Lokasi Penelitian ... 35

3. Tahapan Penelitian... 37

4. Tahapan Analisis Spasial Hasil Penilaian ODTW, Kesiapan Pengembangan CBE dan Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata ... 48

5. Curug Bandung (a); Bukit Panyis (b) ... 53

6. Setu Cijantungeun ... 54

7. Keindahan Setu Kadondong ... 56

8. Wana Wisata Taman Bambu ... 57

9. Hutan Penelitian Haurbentes ... 57

10. Curug Luhur ... 59

11. Bumi Perkemahan Gunung Bunder ... 61

12. Kawah Ratu ... 62

13. Curug Ngumpet 1 ... 64

14. Curug Cihurang ... 64

15. Air Panas Ciparai GSE ... 67

16. Curug Cigamea ... 68

17. Curug Ngumpet 2 ... 69

18. Curug Seribu... 69

19. Goa Simasigit ... 72

20. Rumah Tradisional di Kampung Urug (a); Lumbung Padi (b) ... 74

21. Kampung Budaya Sindangbarang (a); Seren Taun (b) ... 76

22. Kampung Wisata Cinangneng (a); Belajar Gamelan (b) ... 79

23. Keindahan Curug Nangka (a);Camping Ground (b) ... 81

24. Pintu Utama Museum (a); Koleksi Bandul Kalung Perunggu (b) ... 84

25. Bukit Kapur (a); Kolam Pemandian air panas (b) ... 86

26. Prasasti Ciaruteun (a); Situs Batu Congklak (b)... 88

(19)

30. Peta Kelas Penilaian Kesiapan Pengembangan CBE ... 112 31. Peta Kelas Penilaian Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan

Ekowisata ... 118 32. PetaOverlay Penilaian ODTW, Kesiapan Pengembangan CBE dan

(20)

1. Kriteria dan Bobot Penilaian ODTW ... 158

2. Kriteria dan Bobot Penilaian Kesiapan Pengembangan CBE ... 161

3. Kriteria dan Bobot Penilaian Kesiapan Masyarakat ... 165

4. Objek wisata di Zona Wisata Bogor Barat ... 168

5. Jenis Kesenian dan Organisasi Seni di Zona Wisata Bogor Barat ... 169

6. Hasil IFAS dan EFAS Cluster Desa Sangat Baik, Baik dan Sedang ... 170

7. Matriks SWOT Cluster Desa Sangat Baik, Baik dan Sedang ... 175

8. Contoh Kuesioner Penelitian ... 178

(21)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia yang dikenal dengan negara kepulauan memiliki lebih dari 18.000 pulau, memiliki luasan hutan lebih dari 100 juta hektar dan memiliki lebih dari 500 etnik budaya, selain itu Indonesia dikenal sebagai negara mega biodiversity. Dengan segala potensi sumberdaya dan kekayaan alam yang dimiliki tersebut menjadi pendukung dalam pengembangan pariwisata.

Sektor pariwisata menjadi salah satu sektor unggulan dan menyumbangkan devisa komoditi non migas yang cukup signifikan. Data BPS tahun 2008 menunjukkan wisatawan mancanegara (wisman) di tahun 2007 mencapai 5.51 juta, jumlah wisman yang masuk ke Indonesia naik mencapai 13.02 persen dibandingkan tahun 2006 yang hanya mencapai 4.87 juta orang. Total pengeluaran wisman di Indonesia untuk tahun 2007 mencapai US$ 5.3 miliar atau naik 20.45 persen dibandingkan pemasukan devisa tahun 2006 sebesar US$ 4.4 miliar (Detikfinance 2008). Satria (2008) menyebutkan, Indeks daya saing wisata tahun 2007 secara total, Indonesia ternyata masih menempati urutan ke 60 dan tertinggal dengan negara-negara di Asia lainnya seperti Hongkong yang menempati urutan ke 6, Singapura urutan ke 8, Malaysia ke 31, Korea Selatan ke 42 dan Thailand ke 43. Daya tarik terbesar dalam persaingan wisata Indonesia dengan negara lain yaitu kategori budaya, sumberdaya alam dan sumberdaya manusia.

(22)

Proyeksi pertumbuhan kepariwisataan tersebut juga diharapkan dapat memberikan dampak yang berkesinambungan terhadap penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat lokal dan pertumbuhan ekonomi nasional yang mendorong upaya pelestarian lingkungan. Konsep pariwisata pada awalnya hanya mementingkan segi ekonomi saja yaitu pemasukan dan banyaknya jumlah pengunjung. Padahal pemanfaatan kawasan yang hanya mementingkan aspek ekonomi tanpa memperhatikan faktor lingkungan akan merusak kawasan dan pengembangan wisata itu sendiri. Beberapa bukti kesalahan dalam pengelolaan aset kawasan terlihat dengan adanya kerusakan aset-aset lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity), polusi, kemiskinan dan termasuk termarjinalkannya masyarakat lokal. Kondisi tersebut terjadi akibat dari konsepsi pembangunan lingkungan terutama pengelolaan kawasan wisata yang keliru. Kebijakan pembangunan kawasan yang belum secara komprehensif memahami prinsip-prinsip ekowisata. Padahal pengembangan ekowisata tidak hanya memiliki potensi pembangunan ekonomi, tetapi pengembangan ekowisata menjanjikan potensi pembangunan dalam aspek sosial dan lingkungan.

Ekowisata secara konseptual merupakan konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan serta berintikan partisipasi aktif masyarakat dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran, berdampak negatif minimum terhadap lingkungan, memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan daerah dan diberlakukan pada kawasan lindung, kawasan terbuka, kawasan binaan serta kawasan budaya (Sekartjakrarini 2004). Dalam konteks pengelolaan, ekowisata merupakan penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami, yang secara ekonomi berkelanjutan dan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat setempat, serta mendukung upaya pelestarian lingkungan alam dan budaya. Ekowisata berbeda dengan wisata massal (mass tourism), tetapi model pengembangan ekowisata diharapkan dapat meningkatkan ekonomi masyarakat lokal serta keberlanjutan kualitas lingkungan.

(23)

karena jika dikaitkan dengan tujuan utama ekowisata adalah sebagai sumber pendapatan ekonomi baik bagi pemerintah maupun masyarakat lokal, tanpa mengorbankan lingkungan dan bersifat berkelanjutan. Ekowisata Berbasis Masyarakat atau Community Based Ecotourism (CBE) merupakan konsep pengembangan ekowisata dengan melibatkan dan menempatkan masyarakat lokal yang mempunyai kendali penuh dalam manajemen dan pengembangannya sehingga memberikan kontribusi terhadap masyarakat berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dan keberlanjutan kebudayaan lokal.

Kabupaten Bogor termasuk wilayah yang memiliki banyak objek wisata yang pengembangannya belum optimal. Salah satu upaya pengembangan pariwisata di Kabupaten Bogor dilakukan perwilayahan pariwisata sehingga diharapkan dapat menyebarkan pengembangan pariwisata ke seluruh wilayah Kabupaten Bogor yang terdapat dalam Rencana Strategis Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Kabupaten Bogor tahun 2003-2008. Perwilayahan pariwisata Kabupaten Bogor dibagi menjadi empat zona wisata, yaitu Zona Wisata Puncak, Bogor Barat, Bogor Timur, dan Bogor Utara.

(24)

konservasi, pemberdayaan masyarakat, ekonomi dan pendidikan akan dapat terwujud dengan sendirinya.

Banyak contoh pengembangan CBE yang dikenal juga dengan sebutan desa wisata di Indonesia yang sebagian besar diaplikasikan di kawasan konservasi diantaranya Taman Nasional Halimun, Taman Nasional Betung Kerihun, Taman Nasional Siberut, Taman Nasional Ujung Kulon, selain itu terdapat juga pengembangan CBE di Desa Candirejo, Magelang dan Desa Tado Waerebo di Flores (Suhandi 2008). Tidaklah berlebihan kiranya, apabila Ekowisata – CBE dijadikan instrumen pembangunan pariwisata daerah, termasuk di Zona Wisata Bogor Barat karena pembangunan wisata memilikimultiplier effect yang sangat luas. Kabupaten Bogor terutama di Zona Wisata Bogor Barat dalam mengimplementasikan pembangunan pariwisata berbasis masyarakat dapat menjadi kebijakan pengembangan pariwisata. Dalam pelaksanaannya, hal ini perlu didukung oleh kondisi wilayah dan sumber daya wisatanya.

Pengembangan ODTW yang berpotensi ekowisata, dalam analisisnya dapat mengaplikasikan Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG merupakan alat analisis (analytical tool) yang mampu memecahkan masalah spasial hampir di semua bidang ilmu yang bekerja dengan informasi keruangan diantaranya bidang kehutanan, perikanan, pertanian, pariwisata, lingkungan, perkotaan dan transportasi (Jaya 2002). Kemampuan SIG juga dapat membantu pengambilan keputusan untuk penyusunan strategi pengembangan ekowisata. Pemodelan (modelling) juga menjadi alternatif aplikasi bagi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dalam SIG. Salah satunya yaitu aplikasi model builder yang memiliki keunggulan berupa proses analisis yang cepat dan fleksibel, kerangka berfikir/ skema alur pikir jelas serta secara teknis tidak memerlukan operasi fisik yang memerlukan banyak memori (Jaya 2009)

(25)

Kabupaten Bogor sebagai pengambil kebijakan harus mempunyai persepsi, sikap, perilaku yang sama untuk mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat sehingga menghasilkan manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial budaya. Pengelolaan ekowisata yang berbasis masyarakat dalam pengembangannya memerlukan strategi yang spesifik. Untuk menentukan strategi pengembangan yang akan dilakukan terlebih dahulu dilakukan penilaian objek dan daya tarik wisata, kesiapan pengembangan CBE yang dijabarkan dalam empat aspek yaitu aspek sosial ekonomi, sosial budaya, aspek lingkungan dan aspek pengelolaan. Penilaian juga dilakukan terhadap kesiapan masyarakat baik persepsi, partisipasi masyarakat dan keinginan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata berbasis masyarakat di Zona Wisata Bogor Barat.

1.2. Kerangka Pemikiran

Zona wisata Bogor Barat di Kabupaten Bogor memiliki potensi pariwisata yang beragam, unik dan tersebar di wilayahnya. Dalam pengembangan potensi pariwisata yang ada memerlukan, sekaligus mengatasi permasalahan yang dihadapinya, sehingga pengembangan kepariwisataan yang dilakukan dapat memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

Banyak potensi wisata yang belum dikembangkan di Zona Wisata Bogor Barat baik potensi wisata budaya maupun wisata alam. Potensi objek dan daya tarik di zona wisata Bogor Barat seperti pemandangan yang indah dengan latar Gunung Salak dan aktivitas masyarakat pedesaaan yang masih tradisional. Selain itu kesenian dan permainan tradisional serta peninggalan sejarah yang tersebar di beberapa titik di wilayah zona wisata Bogor Barat menjadi daya tarik tersendiri dibandingkan wilayah lain di Kabupaten Bogor.

(26)

wisatawan tidak hanya terpusat di wilayah Puncak tapi mulai memanfaatkan potensi wisata di zona wisata Bogor Barat.

Potensi ekowisata yang cukup besar dan potensial dalam pengembangan berbasis masyarakat juga terdapat di zona wisata Bogor Barat, dimana keberadaan masyarakat sebagai pelaku dan perencana dalam kegiatan wisata. Paradigma lama wisata berupa wisata missal (mass tourism) perlu diubah dengan kebijakan yang komprehensif terutama memperhatikan prinsip ekowisata dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Hal ini terkait dengan pengelolaan, ekowisata ditinjau sebagai kegiatan wisata yang bertanggungjawab di tempat-tempat alami dan atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan keindahan alam dan secara ekonomi berkelanjutan yang berupaya mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan alam. Kegiatan wisata harus bertanggungjawab terhadap lingkungan, artinya turut serta melestarikan lingkungan, selain itu juga peduli terhadap masyarakat setempat. Sementara kecenderungan pengelolaan wisata saat ini masih identik dengan masyarakat sebagai objek dalam pengembangan wisata dan hanya melibatkan pengelola dan investor serta sebagian masyarakat sekitar objek wisata.

Namun sampai saat ini baru beberapa objek wisata yang dikembangkan dan diketahui wisatawan baik wisman maupun wisatawan nusantara (wisnus) di zona wisata Bogor Barat. Permasalahan lain dalam pengembangan ekowisata berbasis masyarakat lainnya yaitu pengelolaan yang belum optimal karena dalam implementasinya, masyarakat masih sebagai objek dalam kegiatan wisata dan pelibatan dalam pengembangan wisata masih kurang. Hal ini juga terjadi karena pengetahuan masyarakat masih rendah terutama dalam pengembangan wisata dan didukung belum adanya kebijakan pemerintah daerah mengenai pengembangan ekowisata berbasis masyarakat di zona wisata Bogor Barat Kabupaten Bogor.

(27)

Kajian secara spasial mengenai kesiapan pengembangan Community Based Ecotourism (CBE) perlu dilakukan serta kesiapan masyarakat tidak hanya sebagai objek tapi sebagai subjek dalam pelaksanaan wisata.

(28)

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

1.3. Perumusan Masalah

Bogor merupakan salah satu kabupaten yang cukup luas. Secara geografis mempunyai luas sekitar 2.371.21 Km², terletak antara 6.19o - 6.47o lintang selatan dan 106o1'-107o103' bujur timur. Kabupaten Bogor terbagi menjadi 40 kecamatan

Kabupaten Bogor Zona Wisata Bogor Barat

Kendala: 1. Pengelolaan

v Masyarakat sebagai objek

v Pelibatan masih kurang 2. Pengetahuan masyarakat rendah

3. Kebijakan CBE belum ada

Potensi

1. ODTW

· Pemandangan dengan latar Gunung Salak

· Kesenian

· Kehidupan masyarakat yang masih tradisional

· Peninggalan sejarah 2. Sumberdaya masyarakat

Potensi spasial objek dan daya tarik

wisata

Potensi spasial kesiapan pengembangan CBE

Potensi spasial kesiapan masyarakat

Kombinasi potensi spasial

Analisis SWOT

Strategi pengembangan ekowisata berbasis masyarakat

(29)

yang termasuk wilayah propinsi Jawa Barat merupakan kabupaten yang strategis karena berbatasan dengan Depok, Jakarta, Bekasi, Banten dan wilayah lainnya.

Kabupaten Bogor memiliki potensi sumberdaya alam yang dapat dikembangkan sebagai objek ekowisata baik berupa pemandangan alam dengan panorama Gunung Salak, potensi budaya seperti kesenian, peninggalan sejarah serta kehidupan masyarakat pedesaan dengan budaya bertani yang masih tradisional. Keberadaan potensi sumberdaya alam maupun potensi budaya tersebut belum dikelola dengan baik sehingga pemanfaatannya belum memberikan kontribusi yang signifikan baik dari aspek ekologi, ekonomi serta sosial budaya.

Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Bogor pada tahun 2006 berdasarkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata berjumlah 1.851.680 orang dengan perincian 1.833.530 wisatawan nusantara dan 18.150 wisatawan mancanegara (Bogorkab 2008). Kunjungan wisatawan ini baru mencapai 44 persen dari jumlah total penduduk Kabupaten Bogor tahun 2006 yang mencapai 4.215.436 orang (BPS Bogor 2007).

Zona wisata Bogor Barat sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Bogor dalam penyebaran wisatawan masih sangat rendah. Untuk persebaran wisatawan nusantara (wisnus) baru mencapai 2,74 persen dan persebaran wisatawan mancanegara (wisman) mencapai 8,54 persen. Angka ini jauh dari persebaran kawasan wisata Puncak yang menunjukkan persebaran wisnus mencapai 85,30 persen dan persebaran Wisman mencapai 89,99 persen (Anonim 2006). Kunjungan wisatawan ke wilayah Zona Bogor Barat juga rendah. Berdasarkan data yang masuk ke Disbudpar Kabupaten Bogor tahun 2007 menunjukkan dari 15 objek wisata di zona wisata Bogor Barat, kunjungan wisman mencapai 4.072 orang dan wisnus mencapai 288.706 orang. Kunjungan ini baru mencapai 7 persen jumlah total penduduk Kabupaten Bogor tahun 2006.

(30)

Taman Safari, Wisata Agro Gunung Mas dan Telaga Warna. Padahal masih banyak objek wisata lain yang berpotensi tetapi belum dikembangkan dan dipromosikan dengan baik. Selain itu belum adanya pemahaman secara komprehensif beberapa objek wisata di Zona Wisata Bogor Barat dapat dikembangkan secara produktif terutama kekayaaan kondisi alamnya (landscape) sehingga perlu dilakukan identifikasi biofisik, ekonomi dan sosial budaya. Karena masih belum teridentifikasinya fisibilitas ketiga unsur tersebut akibatnya sering terjadi konflik kepentingan baik secara ekologi dan ekonomi yang menyebabkan pengembangan ekowisata di Kabupaten Bogor belum dapat berjalan sesuai yang diharapkan.

Beberapa permasalahan lain yang muncul dalam pengembangan ekowisata di Zona Wisata Bogor Barat adalah belum optimal pengembangan objek dan daya tarik wisata, kurangnya partisipasi masyarakat dalam ikut mengembangkan ekowisata dan belum optimal dukungan kelembagaan pemerintah daerah Kabupaten Bogor dalam pengembangan ekowisata berbasis masyarakat. Padahal Zona Wisata Bogor Barat merupakan bagian dari Kabupaten Bogor yang memiliki potensi besar dalam pengembangan ekowisata dengan melibatkan masyarakat lokal, dalam pengelolaannya dikenal dengan Community Based Ecotourism

(CBE).

(31)

1. Bagaimana kondisi biofisik,ekonomi dan sosial budaya termasuk kelembagaan dalam hubungan untuk pengembangan ekowisata di zona wisata Bogor Barat Kabupaten Bogor ?

2. Bagaimana objek wisata dan daya tarik wisata, kesiapan pengembangan CBE serta partisipasi masyarakat di Zona Wisata Bogor Barat secara spasial yang mendukung dalam pengembangan ekowisata berbasis masyarakat ? 3. Strategi apa yang harus diterapkan di Zona Wisata Bogor Barat agar dapat

berkembang dalam konteks sebagai wilayah wisata yang memperhatikan masyarakat lokal dan berwawasan ekowisata berkelanjutan ?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan akhir dari penelitian ini adalah menyusun strategi pengembangan ekowisata berbasis masyarakat di Zona Wisata Bogor Barat, dengan tujuan spesifik, yaitu:

1. Mengidentifikasi objek dan daya tarik wisata di zona wisata Bogor Barat di Kabupaten Bogor berupa kondisi biofisik, sosial-budaya, ekonomi, dan permasalahan dalam pengembangan ekowisata berbasis masyarakat.

2. Menganalisis kesiapan masyarakat melalui identifikasi persepsi masyarakat, partisipasi serta keinginan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata di Zona Wisata Bogor Barat Kabupaten Bogor.

3. Menganalisis secara spasial maupun deskriptif (dengan pendekatan analisis SWOT) pada desa yang potensial untuk pengembangan ekowisata berbasis masyarakat dengan menyusun strategi pengembangan wisata.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian diharapkan memberikan masukan dan manfaat bagi: 1. Pemerintah daerah Kabupaten Bogor khususnya dapat merumuskan

(32)

2. Masyarakat umum dan masyarakat lokal dalam memahami peranan partisipasi dalam pengembangan ekowisata di kecamatan masing-masing di Zona Wisata Bogor Barat Kabupaten Bogor dan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.

3. Para penyelenggara jasa wisata atau sektor swasta sehingga dapat memperoleh gambaran mengenai peluang dan prospek industri wisata di Kabupaten Bogor khususnya zona Wisata Bogor Barat yang berwawasan ekowisata (sustainable tourism).

(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pariwisata dan Wisata

Pariwisata diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan perjalanan untuk rekreasi, pelancongan dan turisme. Suwantoro (1997) menyatakan pada hakikatnya pariwisata merupakan suatu proses bepergian sementara dari seseorang atau lebih menuju tempat lain di luar tempat tinggalnya dengan tujuan mencari sesuatu yang baru yang tidak ada di tempat asalnya.

Undang-undang No. 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan mendefinisikan wisata sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Sedangkan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah. Fandeli (2002) menyatakan bahwa pariwisata minat khusus dapat terfokus kepada :

· Aspek budaya : Wisata terfokus perhatiannya pada tarian, musik, seni, kerajinan, arsitektur, pola tradisi masyarakat, aktivitas ekonomi yang spesifik, arkeologi dan sejarah.

· Aspek alam : Wisatawan dapat terfokus perhatiannya pada flora, fauna, geologi, taman nasional, hutan, sungai, danau, pantai, laut serta perilaku ekosistem tertentu.

Sedangkan Gunn (1994) mendefinisikan wisata sebagai suatu pergerakan temporal manusia menuju tempat selain dari tempat biasa tinggal dan bekerja, selama tinggal di tempat tujuan tersebut melakukan kegiatan dan diciptakan fasilitas untuk mengakomodasikan kebutuhan. Bentuk-bentuk wisata menurut Gunn (1994) dikembangkan dan direncanakan sebagai berikut:

(34)

2. Sumberdaya (resource) yaitu alam (natural), atau budaya (culture). 3. Perjalanan wisata/lama tinggal.

4. Tempat kegiatan yaitu di dalam ruangan (indoor) atau di luar ruangan (outdoor).

5. Wisata utama/wisata penunjang (primary/secondary).

6. Daya dukung (carrying capacity) tapak dengan tingkat penggunaan pengunjung intensif, semi intensif dan ekstensif.

Gunn (1994) menyatakan suatu kawasan dikembangkan untuk tujuan wisata karena terdapat atraksi yang merupakan komponen dari suplai. Atraksi merupakan alasan terkuat untuk perjalanan wisata, bentuknya dapat berupa ekosistem, tanaman langka, landmark, atau satwa. Atraksi biasanya adalah hasil dari pengembangan dan pengelolaan. Atraksi terdapat di daerah pedesaan dan perkotaan, keadaan kedua tempat tersebut sangat berbeda. Daerah pedesaan menyajikan suatu atraksi yang lebih tenang dan alami, sedangkan perkotaan menyediakan atraksi yang lebih berupa budaya dan hasilnya, seperti sungai kota, museum, dan sebagainya. Kawasan wisata tergantung pada sumberdaya alami dan budaya, dimana distribusi dan kualitas dari sumberdaya ini dengan kuat mendorong pengembangan wisata.

Fennell (1999) sependapat dengan Gunn (1994), bahwa suatu atraksi merupakan alasan terkuat untuk adanya suatu kegiatan wisata dan merupakan elemen dasar yang berkaitan dengan pengalaman (experience) wisatawan. Atraksi selain karena keunikan dari suatu tapak juga karena keberadaannya dalam suatu ruang spasial. Secara umum atraksi suatu wisata berupa kebudayaan dan sumberdaya alam. Atraksi budaya suatu kawasan wisata dapat menjadi atraksi utama ataupun atraksi penunjang.

2.2. Ekowisata

(35)

dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat. Sementara dalam PP RI No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona TN, Tahura, TWA, ekowisata sebagai kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di Taman Nasional, Taman Hutan Rakyat dan Taman Wisata Alam.

Damanik dan Weber (2006) mendefinisikan ekowisata dari tiga perspektif yakni sebagai : (1) produk, merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam. (2) pasar, merupakan perjalanan yang diarahkan pada upaya-upaya pelestarian lingkungan dan (3) pendekatan pengembangan, merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan. Kegiatan wisata yang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dan pelestarian lingkungan sangat ditekankan dan merupakan ciri khas ekowisata. Pihak yang berperan penting dalam ekowisata bukan hanya wisatawan tetapi juga pelaku wisata lain (tour operator) yang memfasilitasi wisatawan untuk menunjukkan tanggungjawab tersebut.

Ekowisata adalah hal tentang menciptakan dan memuaskan suatu keinginan akan alam, tentang mengeksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan dan tentang mencegah dampak negatifnya terhadap ekologi, kebudayaan dan keindahan (Linberg dan Hawkins 1995). Beberapa faktor yang menyebabkan berkembangnya ekowisata yaitu:

1) Ramah lingkungan; dampak yang rendah, mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan, perlindungan landscape termasuk pemandangan alam dan ekosistem alami.

2) Community based; membuka peluang kerja dan berusaha serta pembangunan ekonomi masyarakat lokal (local community economic development).

3) Sensitive secara budaya; terintegrasinya budaya lokal akibat aktivitas wisata yang berjalan yang akan memberikan manfaat terhadap wilayah akibat kunjungan.

(36)

Dalam pelaksanaannya, dikenal lima prinsip ekowisata yaitu: 1) Nature based; produk dan program berdasarkan kondisi alami 2) Ecologically sustainable; manajemen dan pelaksanaan berkelanjutan

3) Environmentally educative; pendidikan lingkungan bagi pengelola, masyarakat lokal dan pengunjung

4) Local community based; bermanfaat bagi masyarakat lokal 5) Ecotourist based; kepuasan bagi pengunjung

Gunn (1994) menjelaskan, pengembangan sustainable tourism adalah perubahan yang positif dari sosial ekonomi yang tidak merusak sistem ekologi dan sosial, tempat masyarakat dan kehidupan sosialnya berada. Suatu keberhasilan implementasi membutuhkan integrasi antara proses kebijakan, perencanaan dan sosial, kelangsungan hidup politik bergantung pada dukungan penuh masyarakat yang dipengaruhi oleh pemerintah, institusi sosial dan aktivitas pribadi masyarakat. Tujuan darisustainable tourism adalah:

1. Untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman bahwa wisata dapat memberikan kontribusi terhadap lingkungan dan ekonomi.

2. Untuk mempromosikan pembangunan yang ramah lingkungan. 3. Untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat lokal.

4. Untuk memberikan pengalaman yang berkualitas kepada pengunjung. 5. Untuk mempertahankan kualitas lingkungan.

Damanik dan Weber (2006) menyebutkan beberapa prinsip ekowisata yang dapat diidentifikasikan dari beberapa definisi ekowisata di atas, yaitu:

1) Mengurangi dampak negatif berupa kerusakan dan pencemaran lingkungan dan budaya lokal akibat kegiatan ekowisata.

2) Membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan dan budaya di destinasi wisata, baik pada diri wisatawan, masyarakat lokal maupun pelaku wisatawan lainnya.

(37)

4) Memberikan keuntungan finansial secara langsung bagi keperluan konservasi melalui kontribusi atau pengeluaran ekstra wisatawan.

5) Memberikan keuntungan finansial dan pemberdayaan bagi masyarakat lokal dengan menciptakan produk wisata yang mengedepankan nilai-nilai lokal. 6) Meningkatkan kepekaan terhadap situasi sosial, lingkungan dan politik daerah

tujuan wisata, dan

7) Menghormati hak asasi manusia dan perjanjian kerja dalam arti memberikan kebebasan kepada wisatawan dan masyarakat lokal untuk menikmati atraksi wisata sebagai wujud hak asasi serta tunduk pada aturan main yang adil dan disepakati bersama dalam pelaksanaan transaksi-transaksi wisata.

The Ecotourism Society diacu dalam Fandeli (2002) menyatakan ada

delapan prinsip untuk menjamin terlaksananya pembangunan yang bersifat

ecological friendly dengan pembangunan berbasis kerakyatan. Delapan prinsip tersebut sebagai berikut :

1) Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya yang disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat.

2) Pendidikan konservasi lingkungan, mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi.

3) Pendapatan langsung untuk kawasan, mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan.

4) Partisipasi masyarakat baik dalam perencanaan maupun pengawasan. 5) Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat.

6) Menjaga keharmonisan dengan alam.

7) Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan.

(38)

2.3. Pengembangan Ekowisata

Pengembangan Ekowisata di Indonesia, menurut Usman (1999) perlu mengikutsertakan masyarakat setempat dalam setiap kegiatan kepariwisataan. Konsep pengembangan wisata yang melibatkan atau mendasarkan kepada peran serta masyarakat, pada dasarnya adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat yang tinggal di daerah-daerah yang menjadi objek dan daya tarik wisata untuk mengelola jasa-jasa pelayanan bagi wisatawan. Denman (2001) menyebutkan syarat-syarat untuk menetapkan pengembangan bisnis ekowisata sebagai berikut:

1. Kerangka ekonomi dan politik yang mendukung perdagangan yang efektif dan investasi yang aman.

2. Perundang-undangan di tingkat nasional yang tidak menghalangi pendapatan wisata diperoleh dan berada di tingkat komunitas lokal.

3. Tercukupinya hak-hak kepemilikan yang ada dalam komunitas lokal. 4. Keamanan pengunjung terjamin.

5. Resiko kesehatan yang relatif rendah, akses yang cukup mudah terhadap pelayanan medis dan persediaan air bersih yang cukup.

6. Tersedianya fasilitas fisik dan telekomunikasi dari dan ke wilayah tersebut. Suprana (1997) diacu dalam Qomariah (2009) menyebutkan dalam pengembangan wisata memiliki strategi pengembangan dan program pengembangan Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW), antara lain:

1. Strategi pengembangan ODTW

Pengembangan potensi ODTW untuk menunjang tujuan pembangunan khususnya pengembangan pariwisata mencakup aspek-aspek perencanaan, pembangunan, kelembagaan, sarana dan prasarana dan infrastruktur, pengusahaan pariwisata, promosi dan pemasaran, pengelolaan kawasan, sosial budaya dan sosial ekonomi, penelitian pengembangan dan pendanaan.

2. Program pengembangan ODTW

(39)

kelembagaan pengelola ODTW, (c) Pengembangan dan pemantapan sistem pengelolaan ODTW, (d) Pengembangan sistem perencanaan, (e) Penelitian dan pengembangan manfaat, (f) Pengembangan sarana prasarana dan infrastruktur, (g) Perencanaan dan penataan, (h) Pengembangan pengusahaan pariwisata dan (i) Pengembangan sumberdaya manusia.

Muntasib et al. (2004) menyebutkan beberapa prinsip dasar pengembangan ekowisata, yaitu:

1) Berhubungan/kontak langsung dengan alam (touch with nature). 2) Pengalaman yang bermanfaat secara pribadi dan sosial.

3) Bukan wisata massal.

4) Program-programnya membuat tantangan fisik dan mental bagi wisatawan. 5) Interaksi dengan masyarakat dan belajar budaya setempat.

6) Adatif (menyesuaikan) terhadap kondisi akomodasi pedesaan. 7) Pengalaman lebih diutamakan dibanding kenyamanan.

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2003) menjelaskan dalam upaya pengembangan ekowisata akan berjalan dengan baik diperlukan perencanaan dan kebijaksanaan dan sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan ekowisata. Secara konseptual ekowisata menekankan tiga prinsip dasar pengembangan, yaitu:

1. Prinsip konservasi yaitu pengembangan ekowisata atau ekoturisme harus mampu memelihara, melindungi dan atau berkontribusi untuk memperbaiki sumberdaya alam.

2. Prinsip partisipasi masyarakat adalah pengembangan harus didasarkan atas musyawarah dan persetujuan masyarakat setempat serta peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan yang dianut masyarakat di sekitar kawasan.

(40)

Sedangkan dalam penerapannya, sebaiknya dapat mencerminkan dua prinsip lainnya, yaitu:

1. Prinsip edukasi yaitu pengembangan ekowisata harus mengandung unsur pendidikan untuk mengubah sikap atau perilaku seseorang menjadi memiliki kepedulian tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan budaya.

2. Prinsip wisata adalah pegembangan ekowisata harus dapat memberikan kepuasan dan memberikan pengalaman yang orisinil kepada pengunjung serta memastikan usaha ekowisata berkelanjutan.

Fandeli dan Mukhlison (2000) menjelaskan suatu perencanaan akan menghasilkan pengembangan yang baik, bila dilaksanakan dengan pengenalan secara menyeluruh elemen-elemennya. Upaya menyajikan seluruh elemen ekowisata dapat didekati dengan elemen dan sistem pariwisata. Pada dasarnya setiap bentuk pengembangan pariwisata bertumpu pada dua elemen yaitu produk (destination) dan pasar wisata (market). Untuk dapat mengembangkan kedua aspek ini diperlukan upaya pemasaran dan menganut aspek perjalanan.

Dalam pengembangannya, terutama pada tahapan perencanaan dan

programming, perlu dilakukan upaya pembekalan dan pemberdayaan baik pada pihak-pihak yang ingin mengembangkan ekowisata dan masyarakat setempat. Selanjutnya pola pengembangannya berbeda dari satu tempat atau daerah yang lain. Hal ini disebabkan status dan kondisi masing-masing daerah berbeda-beda satu sama lain.

2.4. Penilaian Potensi Wisata

(41)

Soekadijo (1996) menjelaskan potensi pariwisata dicirikan dengan adanya tiga komponen utama yang merupakan syarat untuk terbentuknya kegiatan pariwisata. Pertama adanya motif wisata, wisatawan akan berkunjung ke suatu tempat jika tempat tersebut terdapat kondisi yang sesuai dengan motif wisata. Kondisi yang sesuai dengan motif wisata tersebut merupakan daya tarik bagi wisatawan untuk mengunjungi tempat tersebut. Daya tarik bagi wisatawan tersebut disebut atraksi wisata yang dapat berupa fasilitas olahraga, tempat hiburan, museum, peninggalan sejarah, pertunjukan kesenian dan sebagainya. Kedua yaitu adanya jasa wisata karena wisatawan selama dalam perjalanan tetap memerlukan kebutuhan hidup seperti kehidupan biasa di tempat asalnya. Kebutuhan makan, mandi, beristirahat atau tourist needs didapatkan dari jasa wisata. Jasa wisata ini dapat berupa rumah makan, hotel, sarana kesehatan, sarana komunikasi dan sebagainya. Ketiga adalah kemudahan untuk berpindah tempat atau bepergian menuju objek wisata (transferabilitas). Tanpa adanya kemudahan lalu lintas tersebut perjalanan wisata dari suatu tempat ke tempat lain sulit dilaksanakan. Segala sesuatu yang dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata disebut sebagai modal atau sumberdaya kepariwisataan. Sumberdaya yang dapat menarik kedatangan wisatawan ada tiga yaitu alam, kebudayaan dan manusia itu sendiri.

(42)

Pengembangan objek dan daya tarik wisata dapat berjalan efektif dan efisien, perlu memperhatikan prinsip-prinsip pengembangan pariwisata dan ditetapkan skala prioritas dalam pelaksanaan pembangunan. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2007) menjelaskan skala prioritas pengembangan Objek dan Daya Tarik Wisata dapat dilakukan dengan menggunakan Pedoman Penilaian Daya Tarik Wisata (PPDTW). PPDTW adalah suatu alat untuk menganalisa suatu objek (lokasi) wisata alam dan budaya dengan menggunakan instrumen kriteria penilaian dan pengembangan untuk mendapatkan gambaran kelayakan pengembangan suatu objek menjadi objek wisata.

Penilaian terhadap objek dan daya tarik wisata sangat diperlukan untuk mempersiapkan kawasan sebagai destinasi pariwisata di masa datang. Suatu proses perencanaan yang terstruktur sangat penting agar perusakan terhadap sumber-sumber daya pariwisata dapat dihindari sedini mungkin. Salah satu tahapan dalam perencanaan yang runut (sistematis) dan selayaknya dilakukan adalah melaksanaan kajian awal pengembangan dengan melakukan penilaian (assesment) terhadap Objek dan Daya Tarik Wisata (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 2007).

Pedoman penilaian daya tarik wisata (tourism assesment attraction guideline) dapat menjadi tuntunan bagi para pemangku kepentingan pariwisata melakukan penilaian kuantitatif secara cepat (quantitative rapid assessment) keadaan terkini suatu daya tarik pariwisata dan unsur-unsur lain yang membentuknya sebagai produk pariwisata.

(43)

pariwisata, aksesibilitas, aspek masyarakat dan lingkungan, aspek pasar, pengelolaan dan pelayanan dan keterkaitan daya tarik wisata.

2.5. Ekowisata Berbasis Masyarakat

Denman (2001) menjelaskan bahwa ekowisata berbasis masyarakat dapat membantu memelihara penggunaan sumberdaya alam dan penggunaan lahan yang berkelanjutan. Lebih dari itu ekowisata berbasis masyarakat mengambil dimensi sosial ekowisata sebagai suatu langkah lebih lanjut dengan mengembangkan bentuk ekowisata menempatkan masyarakat lokal yang mempunyai kendali penuh dan keterlibatan di dalamnya baik itu manajemen dan pengembangannya dan proporsi yang utama menyangkut sisa manfaat di dalam masyarakat. Beberapa syarat dasar dalam pengembangan ekowisata berbasis masyarakat adalah (Denman 2001) :

1. Lanskap atau flora fauna yang dianggap menarik bagi para pengunjung khusus atau bagi pengunjung yang lebih umum.

2. Ekosistem yang masih dapat menerima kedatangan jumlah tertentu tanpa menimbulkan kerusakan.

3. Komunitas lokal yang sadar akan kesempatan-kesempatan potensial, resiko dan perubahan yang akan terjadi serta memiliki ketertarikan untuk menerima kedatangan pengunjung.

4. Adanya struktur yang potensial untuk pengambilan keputusan komunitas yang efektif.

5. Tidak adanya ancaman yang nyata-nyata dan tidak bisa dihindari atau dicegah terhadap budaya dan tradisi lokal.

6. Penaksiran pasar awal menunjukkan adanya permintaan yang potensial untuk ekowisata dan terdapat cara yang efektif untuk mengakses pasar tersebut. Selain itu juga harus diketahui bahwa pasar potensial tersebut tidak terlalu banyak menerima penawaran ekowisata.

Komunitas lokal yang terlibat dalam pengembangan ekowisata berbasis masyarakat perlu memenuhi beberapa aspek yaitu:

(44)

b. Keterampilan dasar Bahasa Inggris. c. Keterampilan komputer.

d. Keterampilan pengelolaan keuangan. e. Keterampilan pemasaran.

f. Keterbukaan terhadap pengunjung

Dalam pengembangan ekowisata dengan melibatkan masyarakat lokal relatif mudah dilaksanakan karena memiliki beberapa keunikan, yaitu:

1. Jumlah wisatawan berskala kecil sehingga lebih mudah dikoordinir dan dampak yang akan ditimbulkan terhadap alam relatif kecil dibandingkan pariwisata massal.

2. Ekowisata berbasis masyarakat lokal memiliki peluang dalam mengembangkan atraksi-atraksi wisata yang berskala kecil sehingga dapat dikelola dan lebih mudah diterima oleh masyarakat lokal.

3. Dengan peluang yang dimiliki masyarakat lokal dalam mengembangkan objek-objek wisata yang ada di sekitarnya memberikan peluang lebih besar pula dalam partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.

4. Memberikan pemahaman pentingnya keberlanjutan budaya (cultural

sustainability) serta meningkatkan penghargaan wisatawan terhadap

kebudayaan lokal.

Definisi Community Based Ecotourism (CBE), menurut Muallisin (2007) adalah pariwisata yang menyadari kelangsungan budaya, sosial, dan lingkungan. Bentuk pariwisata ini dikelola dan dimiliki oleh masyarakat untuk masyarakat, guna membantu para wisatawan untuk meningkatkan kesadaran mereka dan belajar tentang masyarakat dan tata cara hidup masyarakat lokal (local way of life). Dengan demikan, CBE sangat berbeda dengan pariwisata massa (mass

tourism). CBE merupakan model pengembangan pariwisata yang berasumsi

(45)

resources). CBE lahir dari strategi pengembangan masyarakat dengan menggunakan pariwisata sebagai alat untuk memperkuat kemampuan organisasi masyarakat rural/lokal.

Konsep CBE mempunyai prinsip-prinsip yang dapat digunakan sebagaitool of community development bagi masyarakat lokal, (Muallisin 2007) yakni:

a. Mengakui, mendukung dan mempromosikan pariwisata yang dimiliki masyarakat,

b. Melibatkan anggota masyarakat sejak awal pada setiap aspek c. Mempromosikan kebanggaan masyarakat

d. Meningkatkan kualitas hidup

e. Menjamin keberlanjutan lingkungan

f. Memelihara karakter dan budaya lokal yang unik g. Membantu mengembangkancross-cultural learning

h. Menghormati perbedaan-perbedaan kultural dan kehormatan manusia i. Mendistribusikan keuntungan secara adil di antara anggota masyarakat j. Menyumbang presentase yang ditentukan bagiincome proyek masyarakat

Dalam pengembangan CBE, WTO (2004) dan INDECON (2008) menjabarkan menjadi beberapa kriteria yang dapat dilakukan pembobotan karena masing-masing kriteria dan subkriteria memiliki dampak dan tingkat kepentingan yang berbeda dan akan berubah berdasarkan waktu. Masing-masing kriteria penilaian dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2001) selanjutnya dilakukan nilai peringkat (skor) dan hasil penilaian dari pengembangan CBE dapat dilakukan analisis spasial.

2.6. Partisipasi Masyarakat Lokal

(46)

memberikan layanan yang berkualitas bagi wisatawan dan menjaga kelestarian lingkungan sekitar agar wisata dapat terus berjalan, oleh karena itu penting untuk menjadikan masyarakat sebagai masyarakat yang sadar wisata.

Masyarakat sadar wisata adalah masyarakat yang mengetahui dan menyadari apa yang dikerjakan dan juga masalah-masalah yang dihadapi untuk membangun dunia pariwisata nasional. Dengan adanya kesadaran ini maka akan berkembang pemahaman dan pengertian yang proporsional di antara berbagai pihak yang pada gilirannya akan mendorong masyarakat untuk mau berperan serta dalam pembangunan (Suwantoro 1997).

Ife dan Frank (2008) mengemukakan beberapa keadaan atau kondisi seseorang akan berpartisipasi yaitu:

1) Jika kegiatan tersebut penting bagi orang tersebut.

2) Seseorang merasa bahwa tindakan yang akan dilakukan membuat suatu perubahan.

3) Seseorang merasa diakui dan dihargai. 4) Terdapat kesempatan untuk berpartisipasi.

(47)

Beberapa kriteria dalam kegiatan pelibatan masyarakat adalah :

1. Melibatkan masyarakat setempat dan pihak-pihak terkait lain dalam proses perencanaan dan pengembangan ekowisata.

2. Membuka kesempatan dan mengoptimalkan peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan keuntungan dan peran aktif dalam kegiatan ekowisata.

3. Membangun hubungan kemitraan dengan masyarakat setempat untuk melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap dampak negatif yang ditimbulkan.

4. Meningkatkan keterampilan masyarakat setempat dalam bidang-bidang yang menunjang pengembangan wisata.

5. Mengutamakan peningkatan ekonomi lokal dan menekan tingkat kebocoran pendapatan (leakage) serendah-rendahnya.

6. Meningkatkan pendapatan masyarakat.

Partisipasi masyarakat dalam pariwisata memacu perkembangan pariwisata ke arah yang lebih baik. Partisipasi tersebut dapat berupa keikutsertaan secara sosial budaya dan ekonomi. Keikutsertaan secara sosial budaya tidak hanya menjadi atraksi wisata, akan tetapi kesediaan masyarakat dalam menerima kegiatan wisata yang akan menyatu dalam kehidupannya. Keikutsertaan secara ekonomi ialah keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan perekonomian, baik yang terkait langsung dengan wisata maupun yang tidak terkait secara langsung dengan wisata. Kegiatan perekonomian wisata menopang perekonomian kawasan wisata dan memiliki posisi penting dalam wisata, sedangkan kegiatan perekomonian non wisata merupakan kegiatan pendukung perekonomian di kawasan wisata.

Suwantoro (1997) menyebutkan, partisipasi masyarakat sekitar kawasan objek wisata dapat berbentuk usaha dagang atau pelayanan jasa, baik di dalam maupun di luar kawasan objek wisata, antara lain:

· Jasa penginapan (homestay)

· Penyediaan/usaha warung makan dan minuman

· Penyediaan/toko souvenir/cinderamata dari daerah tersebut · Jasa pemandu/penunjuk jalan

(48)

· Menjadi pegawai perusahaan/pengusahaan wisata alam, dan lain-lain

Salah satu sebab terjadinya gangguan terhadap kawasan objek wisata alam adalah kurangnya kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan perekonomian masyarakat sekitar kawasan objek wisata. Oleh karena itu, kegiatan usaha masyarakat diharapkan akan dapat menciptakan suasana rasa ikut memiliki tempat mata pencaharian/tempat usaha yang pada akhirnya akan mendorong masyarakat untuk ikut berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan. Pengelolaan berbasis masyarakat memiliki karakteristik yang berbeda dengan ko-manajemen maupun pengelolaan berbasis negara.

Tabel 1 Karakteristik Pengelolaan Berbasis Masyarakat

Karakteristik Berbasis Masyarakat Penerapan Spasial Lokasi spesifik (kecil)

Pihak otoritas utama Struktur pengambilan keputusan lokal dan penduduk lokal

Pihak bertanggung jawab Komunal; badan pengambilan keputusan lokal Tingkat partisipasi Tinggi pada tataran lokal

Durasi kegiatan Proses awal cepat; proses pengambilan keputusan lambat

Keluwesan pengelolaan Daya penyesuaian tinggi; sensitif dan cepat tanggap terhadap perubahan kondisi lingkungan lokal

Investasi finansial dan sumberdaya manusia Menggunakan sumberdaya manusia lokal; pengeluaran finansial moderat sampai rendah; anggaran fleksibel

Kelangsungan usaha Jangka pendek, bila tanpa dukungan eksternal yang berkelanjutan

Orientasi prosedural Berfokus pada dampak jangka pendek; didisain hanya untuk lokasi-lokasi spesifik; sanksi moral

Orientasi aspek legal Kontrol sumberdaya secara de facto; hak properti komunal atau properti swasta

Orientasi resolusi konflik Salah satu pihak ada yang dikalahkan; akomodatif, kompetisi, kekuatan politik; sanksi hukum lokal

Tujuan akhir Revitalisasi atau mempertahankan status-quo penguasaan sumberdaya lokal; demokratisasi politik pengelolaan sumberdaya tingkat lokal Sumber informasi pengelolaan Pengetahuan lokal

(49)

Karakteristik yang mendasar dari ekowisata berbasis masyarakat adalah bahwa kualitas sumberdaya alam dan kebudayaan setempat terjaga dan jika memungkinkan ditingkatkan oleh pengunjung (Denman 2001).

Sudiyono (2008) menjelaskan pembangunan/pengembangan ekowisata dituntut untuk memberdayakan masyarakat desa, dengan menyeimbangkan nilai-nilai lingkungan dan budaya setempat. Keuntungan dari wisata harus dinikmati oleh masyarakat, dan masyarakat turut berpartisipasi sebagai pelaku, sehingga kemitraan dengan antar pihak perlu dibangun/difasilitasi seperti tour operator, pemandu dan pemasarannya. Model pengembangan pariwisata yang diharapkan adalah Community Based Ecotourism (CBE). Elemen dasar dalam pengelolaan CBE yaitu :

· Aktivitas dan pelayanan dikembangkan melalui proses “Bottom Up” dan anggota masyarakat aktif berpartisipasi.

· Dikelola oleh pengurus terpilih yang mewakili masyarakat desa/kelompok

bukan individu.

· Penekanan pada pemanfaatan sumber-sumber daya lokal (alam, budaya, SDM). · Proyek-proyek ke desa harus mampu mendorong masyarakat, dan bertujuan untuk mengembangkan ekonomi desa, lingkungan sosial dan budaya agar dapat berkelanjutan.

· CBE sebagai pusat untuk berinteraksi antar tamu dengan tuan rumah baik

pengetahuan/pengalaman tentang budaya dan lingkungan.

(50)

pariwisata bukan sekedar tujuan tetapi alat untuk meraih tujuan pembangunan mensejahterakan masyarakat. Beberapa keuntungan dari desa wisata antara lain : · Desa sebagai sumber pendapatan dan peningkatan ekonomi masyarakat. · Desa sebagai sumber/penyedia tenaga kerja dan lapangan kerja.

· Mencengah urbanisasi. · Peningkatan peran gender. · Peningkatan kualitas lingkungan.

Model pendekatan masyarakat (community approach) menjadi standar baku bagi proses pengembangan pariwisata di daerah pinggiran, dimana melibatkan masyarakat di dalamnya adalah faktor yang sangat penting bagi kesuksesan produk wisata. Muallisin (2007) menyebutkan panduan model bagi pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, yakni :

a. Mengidentifikasi prioritas pembangunan yang dilakukan penduduk lokal (resident)

b. Mempromosikan dan mendorong penduduk lokal c. Pelibatan penduduk lokal dalam industri

d. Investasi modal lokal atau wirausaha sangat dibutuhkan

e. Partisipasi penduduk dalam event-event dan kegiatan yang luas f. Produk wisata untuk menggambarkan identitas lokal

g. Mengatasi problem-problem yang muncul sebelum pengembangan yang lebih jauh.

(51)

Getz dan Jamal (1994) diacu dalam Muallisin (2007) menyatakan perlunya upaya mengembangkan pondasi teoritis pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata. Selain itu perlu menganalisis watak dan tujuan dari model kolaborasi (collaboration) yang berbeda dari model kerjasama (cooperation). Kolaborasi sebagai “sebuah proses pembuatan keputusan bersama diantara stakeholders otonom dari domain interorganisasi untuk memecahkan problem-problem atau me-manage isu yang berkaitan dengan pariwisata (Getz dan Jamal 1994 diacu dalam Muallisin 2007). Proses kolaborasi meliputi : (1)

Problem setting dengan mengidentifikasi stakeholders kunci dan isu-isu; (2)

Direction setting dengan berbagi interpretasi kolaboratif, mengapresiasi tujuan umum; (3) Strukturisasi dan implementasikan dan (4) Institusionalisasi. Pelaksanaan CBE dapat berhasil dengan baik, ada elemen-elemen CBE yang harus diperhatikan, yakni :

a. Sumberdaya alam dan budaya, b. Organisasi-organisasi masyarakat, c. Manajemen,

d. Pembelajaran (learning).

Pembelajaran disini bertujuan untuk membantu proses belajar antara tuan rumah (host community) dan tamu (guest), mendidik dan membangun pengertian antara cara hidup dan budaya yang beragam, meningkatkan kesadaran terhadap konservasi budaya dan sumberdaya diantara turis dan masyarakat luas.

2.7. Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) bukanlah suatu sistem yang semata-mata berfungsi untuk membuat peta, tetapi merupakan alat analisis (analytical tool) yang mampu memecahkan masalah spasial hampir di semua bidang ilmu yang bekerja dengan informasi keruangan memerlukan SIG diantaranya bidang kehutanan, perikanan, pertanian, pariwisata, lingkungan, perkotaan dan transportasi (Jaya 2002).

(52)

mengidentifikasi kesesuaian yang potensial dan mengidentifikasikan konflik antar tujuan-tujuan tersebut. Proses identifikasi potensi kawasan untuk tujuan wisata melalui SIG dapat dilakukan dengan cara menumpangsusunkan (overlay) peta-peta tematik yang memuat karakteristik biofisik, sosial ekonomi dan sosial budaya terhadap peta-peta yang memuat persyaratan (kriteria) dari setiap kegiatan pembangunan yang direncanakan.

Slow (1993) menyatakan proses SIG dalam identifikasi memerlukan data masukan yang disusun dalam bentuk format digital yang tersimpan dalam layer-layer peta dan basis data tabular. Proses pengelolaan basis data (data base management system) dan analisis keruangan merupakan proses komunikasi dalam pengambilan keputusan untuk suatu tujuan pemanfaatan ruang. Keunikan SIG dibandingkan dengan sistem pengelolaan basis data lainnya adalah kemampuannya untuk menyajikan informasi spasial dan non spasial secara bersama-sama. SIG merupakan alat analitik yang mampu memecahkan masalah-masalah spasial secara otomatis, cepat dan teliti. Kemampuan SIG dalam membantu pengambilan keputusan sangat bergantung pada kualitas database yang menyusun sebuah sistem informasi. SIG yang baik adalah SIG yang powerfull

artinya SIG yang dilengkapi dengan kelengkapan, keakuratan dan ketelitian

(53)

Tabel 2 Fungsi Dasar SIG dalam Melakukan Analisis Ruang

No Kelompok Fungsi

1 Fungsi manipulasi data Klasifikasi data

Generalisasi (disolving, merging, line smoothing) Interpolasi

Koreksi distorsi (rubber sheeting) Proyeksi

2 Pembentukan data Data titik, garis, poligon Koridor/buffer

Gridding 3 Pengambilan data (data

extraction)

Pencarian kembali data (search and identification) Pengukuran (jarak, luas, volume)

4 Perbandingan (comparison)

Pemotongan danoverlay(point in polygon, polygon on polygon)

Proximity(shortes route, nearest neighbour) Connectivity(route)

5 Interpretasi Penentuan lokasi optimum Suitability

6 Hitungan Hitungan statistik

Aplikasi SIG dengan analisis layer tematik dapat memprediksikan hasil kondisi tersebut, membandingkan, dan mengidentifikasi beberapa skenario yang tidak mungkin sekalipun. Dengan tujuan pemanfaatan ruang dalam hal ini untuk menilai potensi objek dan daya tarik wisata biasanya menghasilkan sejumlah pilihan yang mudah (Slow 1993).

Jaya (2009) menyatakan pemodelan (modelling) juga menjadi salah satu alternatif aplikasi bagi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Pemodelan

memungkinkan seseorang untuk melakukan prediksi terhadap suatu fenomena yang menjadi perhatiannya, contohnya model yang memberi informasi mengenai

tingkat kerawanan kawasan terhadap bencana alam. Model builder merupakan salah satu pemodelan spasial yang merekam semua proses yang terlibat seperti pembuatanbuffermaupunoverlay dari beberapatheme yang diperlukan untuk mengkonversi data input menjadi peta output. Model yang dibangun dapat berupa

model sederhana maupun model kompleks. Satu input dapat diproses dengan berbagai tujuan untuk menghasilkan output yang berbeda (Jaya 2009). Model builder mempunyai keunggulan diantaranya proses analisis yang cepat dan fleksibel dengan kerangka berpikir atau skema alur pikir jelas serta secara teknis

(54)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian tentang strategi pengembangan ekowisata berbasis masyarakat dilaksanakan di beberapa objek dan daya tarik wisata (ODTW) di tujuhbelas desa, sembilan kecamatan yang termasuk zona wisata Bogor Barat, Kabupaten Bogor yaitu Kecamatan Tamansari, Parung, Ciampea, Cibungbulang, Pamijahan, Tenjolaya, Jasinga, Cigudeg dan Sukajaya (Tabel 3). Pengambilan data di lapangan dilakukan selama tiga bulan dimulai April - Juni 2009.

Tabel 3 Lokasi Objek Penelitian

No. Kecamatan Desa

1. Tamansari Pasir Eurih

Sukajadi Sukamantri

2. Parung Cogreg

3. Tenjolaya Gunung Malang

Tapos 1

4. Ciampea Cihideung Udik

5. Cibungbulang Ciaruteun Ilir

Cemplang

6.

Pamijahan

Gunung Sari Gunung Sari Gunung Sari Gunung Sari Gunung Sari Gunung Bunder

7. Cigudeg Argapura

8. Sukajaya Kiarapandak

9. Jasinga

(55)

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian

3.2. Alat dan Bahan

Berkaitan dengan survei lapangan dan pengolahan data, alat bantu yang digunakan adalah:

1. Alat fotografi kamera digital untuk mendokumentasikan gambar-gambar lokasi objek dan daya tarik wisata.

2. Global Positioning System (GPS Garmin Etrex) 3. Software GIS ArcView versi 3.3.

4. Kuesioner untuk mengetahui karakteristik masyarakat, persepsi, partisipasi dan keinginan masyarakat.

(56)

3.3. Kerangka Pendekatan

Pengembangan ekowisata berbasis masyarakat di Zona Wisata Bogor Barat Kabupaten Bogor dalam penelitian ini mempertimbangkan berbagai komponen. Ada lima komponen terkait pengembangan ekowisata sebagai dasar dalam penilaian objek dan daya tarik wisata (ODTW) yang berpotensi dan menjadi prioritas dalam pengembangannya. Lima komponen terkait penilaian ODTW yang menjadi prioritas yaitu daya tarik objek, aksesibilitas, akomodasi, kondisi lingkungan sosial ekonomi serta prasarana dan sarana penunjang.

Penilaian terhadap objek dan daya tarik wisata dijabarkan dalam lima komponen dan kriteria yang lebih spesifik untuk pengembangan objek dan daya tarik wisata. Untuk mengetahui kesiapan dalam pengembangan Community Based Ecotourism (CBE) dilakukan penilaian yang terbagi dalam empat aspek yang juga dijabarkan dalam kriteria-kriteria spesifik. Empat aspek dalam penilaian kesiapan pengembangan CBE yaitu aspek sosial ekonomi, aspek sosial budaya, aspek lingkungan dan aspek pengelolaan.

(57)

Gambar 3 Tahapan penelitian

kuesioner Survei dandata

· Daya tarik wisata · Aksesibilitas

· Akomodasi

· Kondisi lingkungan sosek

· Prasarana dan sarana penunjang

daya tarik wisata

(58)

3.4. Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini dibuat batasan penelitian, yaitu :

1. Ekowisata dalam penelitian ini adalah konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan serta berintikan partisipasi aktif masyarakat dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran, berdampak negatif minimum terhadap lingkungan, memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan daerah serta kesejahteraan masyarakat yang diberlakukan pada kawasan lindung, kawasan terbuka, kawasan binaan serta kawasan budaya. 2. Ekowisata Berbasis Masyarakat atau Community Based Ecotourism (CBE)

merupakan konsep pengembangan ekowisata dengan melibatkan dan menempatkan masyarakat lokal yang mempunyai kendali penuh dalam manajemen dan pengembangannya sehingga memberikan kontribusi terhadap masyarakat berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dan keberlanjutan kebudayaan lokal.

3. Masyarakat dalam penelitian ini adalah masyarakat sekitar objek dan daya tarik wisata yang letaknya berdekatan/berbatasan dengan ODTW.

3.5. Metode Penelitian

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode survei, wawancara dan kuesioner. Sebelum penelitian dilakukan prasurvei untuk menentukan lokasi ODTW di desa yang berada di kecamatan yang termasuk bagian dari zona wisata Bogor Barat. Penentuan lokasi ODTW mengacu pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor (2007a) dan Muntasibet al.

(2004). Hasil penentuan lokasi ODTW dilakukan secara purposive sampling

sehingga terpilih 17 desa di sembilan kecamatan di Zona Wisata Bogor Barat (Lampiran 4).

3.5.1. Metode Penilaian ODTW

(59)

Wisata (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 2001). Lima komponen utama yang menjadi penilaian yaitu daya tarik, aksesibilitas, kondisi lingkungan sosial ekonomi, akomodasi serta prasarana dan sarana penunjang. Kriteria dan pembobotan lebih lengkap disajikan pada Lampiran 1. Metode penilaian ODTW dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Metode Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata

Data Peubah Bentuk Data

(Tabular, peta)

Aksesibilitas · Kondisi jalan

· Jarak

Tabular Skoring dan pembobotan

· Tipe Jalan

Tabular Skoring dan pembobotan

· Mata

akomodasi Tabular Skoring dan pembobotan

· Jumlah kamar

Prasarana dan Sarana Penunjang

· Prasarana

Tabular Skoring dan pembobotan

· Sarana Penunjang

3.5.2. Metode Penilaian Kesiapan Pengembangan CBE

Gambar

Tabel 1 Karakteristik Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Tabel 2  Fungsi Dasar SIG dalam Melakukan Analisis Ruang
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian
Gambar 3 Tahapan penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keinginan rnasyarakat mempakan ha1 yang h m s menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan wisata alam berbasis rnasyarakat di TNGM. Berdasarkan hasil penelitian ini

(3) Model pengembangan desa wisata berbasis komoditas lokal di Kabupaten Bantul: (a) Desa Wisata Wukirsari dijadikan model pengembangan desa wisata wayang kulit dan

“ STRATEGI PENGEMBANGAN WISATA EDUKASI DI DESA LEBAK MUNCANG SEBAGAI DESA WISATA DI KECAMATAN CIWIDEY, KABUPATEN BANDUNG ”..

Secara umum Desa Kenderan memiliki potensi yang prospektif untuk dikembangkan menjadi Desa Wisata, baik potensi alam dan budaya, ditambah dukungan dari faktor

Berdasarkan hasil penelitian aspek ekologi yang menjadi prioritas pertama dalam pengembangan wisata Pantai Songka serta strategi yang menjadi prioritas

Bentuk-bentuk partisipasi dari penulis mengarahkan pada pengembangan desa wisata yaitu partisipasi buah pikir dengan pelibatan masyarakat dalam sumbangan ide-ide

Pengaruh pengembangan desa wisata dalam kehidupan masyarakat lokal Desa Mendak Dari pastisipasi masyarakat yang tingggi dalam pengembangan desa wisata watu rumpuk mempengaruhi kehidupan

Adapun faktor pendorong dan penghambat dalam kegiatan pengembangan Desa Wisata Kampung Patin Melalui Pemberdayaan Masyarakat Desa Koto Mesjid Kabupaten Kampar yaitu faktor pendorongnya