• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendugaan Umur Simpan Permen Jelly Pepaya (Carica papaya L).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendugaan Umur Simpan Permen Jelly Pepaya (Carica papaya L)."

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

PENDUGAAN UMUR SIMPAN

PERMEN JELLY PEPAYA (Carica papaya L.)

Oleh:

MULATSIH TRI ATMINI F34052997

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PENDUGAAN UMUR SIMPAN

PERMEN JELLY PEPAYA (Carica papaya L.)

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

MULATSIH TRI ATMINI F34052997

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Judul Skripsi : PENDUGAAN UMUR SIMPAN PERMEN JELLY PEPAYA (Carica papaya L.)

Nama : Mulatsih Tri Atmini

NIM : F34052997

Menyetujui ,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr. Endang Warsiki S.TP, M.Si) (Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA) NIP : 19710305 199702 2 001 NIP : 19581026 198303 2 003

Mengetahui : Ketua Departemen,

(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP : 19621009 198903 2 001

(4)

MULATSIH TRI ATMINI. F34052997. Pendugaan Umur Simpan Permen Jelly sehingga keberadaannya terus ada sepanjang tahun. Perlu dilakukan beberapa upaya untuk memanfaatkan buah pepaya, sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis buah pepaya tersebut. Salah satunya adalah dengan mengolah pepaya menjadi produk olahan pepaya. Alternatif produk olahan pepaya yang mungkin dapat dikembangkan adalah permen jellypepaya.

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk menghasilkan produk permen jelly pepaya. Tujuan khususnya adalah mengetahui perubahan mutu permen jelly pepaya selama penyimpanan, menduga umur simpan permen jelly pepaya, dan mengetahui kemasan terbaik untuk permen jelly pepaya. Umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk dalam kondisi penyimpanan tertentu untuk dapat mencapai tingkatan degradasi mutu tertentu. Pendugaan umur simpan perlu dilakukan untuk mengetahui umur simpan permen jelly pepaya pada kondisi tertentu. Penentuan umur simpan produk dengan metode accelerated storage studies (ASS) dilakukan dengan menggunakan parameter kondisi lingkungan yang dapat mempercepat proses penurunan mutu produk pangan. Pengemasan dan penyimpanan yang tepat diharapkan dapat memperpanjang umur simpan dan menekan laju kerusakan permen jelly pepaya. Pada penelitian ini, permen jelly pepaya dikemas dalam tiga kemasan yang berbeda, yaitu plastik polipropilen (PP), alumunium foil, dan kemasan gelas. Penyimpanan dilakukan pada suhu 5, 15, 25, dan 35˚C.

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu persiapan bahan dan pembuatan permen jelly pepaya, pengemasan dan penyimpanan pada berbagai jenis kemasan dan suhu penyimpanan, analisa mutu produk. Karakterisasi awal bahan adalah proksimat yang meliputi uji kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar, pH, aw, dan kadar karbohidrat (by difference). Uji mikrobial yg dilakukan adalah uji total kapang. Selain itu, selama penyimpanan produk diuji mutunya, yaitu kadar air, vitamin C, total asam tertitrasi (TAT), tekstur, warna, dan organoleptik.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perubahan kadar air permen jelly pepaya meningkat di semua jenis kemasan dan suhu penyimpanan. Peningkatan kadar air permen jelly pepaya kemasan plastik PP suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut adalah 0,11, 0,13, 0,16, dan 0,17% per hari, sedangkan kadar air produk kemasan alumunium foil suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut meningkat 0,08, 0,10, 0,13, dan 0,14% per hari, sedangkan pada kemasan gelas pada suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut meningkat 0,12, 0,15, 0,15 dan 0,19% per hari. Vitamin C dan Total Asam Tertitrasi (TAT) permen jelly pepaya menurun 0,01% per hari di semua jenis kemasan dan suhu penyimpanan.

(5)

suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut adalah 0,06, 0,07, 0,07, dan 0,07% per hari. Pada kemasan alumunium foil suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut meningkat 0,05, 0,05, 0,06, dan 0,07% per hari, sedangkan pada kemasan gelas pada suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut meningkat 0,05, 0,07, 0,08, dan 0,09% per hari.

Penurunan kualitas warna permen jelly pepaya ditandai dengan menurunnya nilai L (tingkat kecerahan). Penurunan nilai L permen jelly pepaya kemasan plastik PP suhu 5, 15, 25, dan 35 berturut-turut turun 0,20, 0,21, 0,21, dan 0,22% per hari. Pada kemasan alumunium foil suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut turun 0,15, 0,18, 0,18, dan 0,19% per hari, sedangkan pada kemasan gelas pada suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut turun 0,15, 0,16, 0,18, dan 0,18% per hari.

Hasil uji organoleptik permen jelly pepaya pada semua perlakuan selama penyimpanan mengalami penurunan. Tidak ada penolakan panelis terhadap atribut penerimaan umum. Secara keseluruhan, penurunan mutu yang terjadi pada ke dua belas perlakuan masih dapat diterima oleh konsumen hingga hari ke-42. Berdasar parameter kadar air dengan titik kritis 20%, umur simpan permen jelly pepaya kemasan plastik PP suhu 5˚C adalah 116 hari, suhu 15˚C adalah 102 hari, suhu

25˚C adalah 91 hari, dan suhu 35˚C adalah 82 hari. Pada kemasan alumunium foil suhu 5˚C adalah 156 hari, suhu 15˚C adalah 133 hari, suhu 25˚C adalah 116

hari, dan suhu 35˚C adalah 101 hari, sedangkan pada kemasan gelas suhu 5˚C

adalah 103 hari, suhu 15˚C adalah 93 hari, suhu 25˚C adalah 84 hari, dan suhu 35˚C adalah 77 hari. Dengan demikian, kemasan yang baik untuk produk permen

(6)

MULATSIH TRI ATMINI. F34052997. Shelf Life Prediction of Papaya (Carica papaya L) Jelly Candy. Supervised by Endang Warsiki and Ani Suryani. 2010. papaya, for example papaya jelly candy.

The general aim of this research was to produce papaya jelly candy. The special aim of this research was to know the quality changing during storage, also predict shelf-life of the product, and to know the best packaging for the product of papaya jelly candy. Shelf life is time that is needed for a product in a certain storage condition to get into a certain level of quality. Shelf life is determinated by using accelerated storage studies (ASS) method. It was done by using such condition that could accelerate the degradation process of quality of the product.

The packaging and storage condition is assumed could lengthen product’s shelf

life and suppress degradation rate of papaya jelly candy. In this research, papaya jelly candy was packed in three different packaging. Those were polypropylene (PP) plastic, aluminum foil and glass packaging. Storage was held at 5, 15, 25, and 35˚C.

This research consists of three stages. Firsting, the material preparation and making of papaya jelly candy. Second, packing and storage papaya jelly candy in different packaging and storage temperature. Third, analysis quality product. Material characterized before treatment, with proximate and microbial analysis. Proximate analysis consisted of water, ash, protein, fat, high fiber content, carbohydrate, pH, and aw. Microbial analysis included mold analysis of papaya jelly candy. Besides that, there was another analysis to know material characterization during storage. Those are water content, total titrated acid, vitamin C content, texture, color analysis, and sensory evaluation test.

Based on the research result, it was known that quality of papaya jelly candy was changing during storage. Water content of papaya jelly candy was increasing in every packaging and at every temperature of storage. Water content increased in PP plastic packaging at 5, 15, 25, and 35°C, were 0,11, 0,13, 0,16, and 0,17% respectively per day. Water content increasing of papaya jelly candy in aluminum foil packaging at 5, 15, 25, and 35°C were 0,08, 0,10, 0,13, and 0,14% per day. While water content increasing of papaya jelly candy in glass packaging the same temperature were 0,12, 0,15, 0,15 and 0,19% per day. Vitamin C content and Total Titrated Acid of papaya jelly candy decreased 0,01% per day in all of packaging and all storage temperature.

(7)

papaya jelly candy in glass packaging and at 5, 15, 25, and 35°C were 0,05, 0,07, 0,08 and 0,09% per day.

The decreasing of color quality of papaya jelly candy was marked by the increasing of value of L. The decreasing of L value of papaya jelly candy in PP plastic packaging and at 5, 15, 25, and 35°C were 0,20, 0,21, 0,21, and 0,22% per day. The decreasing of L value of papaya jelly candy in aluminum foil packaging and at 5, 15, 25, and 35°C were 0,15, 0,18, 0,18, and 0,19% per day. The decreasing of L value of papaya jelly candy in glass packaging and at 5, 15, 25, and 35°C were 0,15, 0,16, 0,18 and 0,18% per day.

Results of sensory evaluation test of papaya jelly candy for all of treatments during storage increased. There was no panelist’s denial of general acceptance attributes. Commonly, quality degradation that was happened on 12 treatments could still accepted by consumers until the 42th day. Based on water content parameter with critical point of 20%, shelf life of papaya jelly candy in PP

at 5˚C was 116 days, at 15˚C was 102 days, at 25˚C was 91 days and at 35 ˚C was

82 days. Shelf life of papaya jelly candy in aluminum foil at 5˚C was 156 days, at

(8)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa Skripsi dengan judul:

“Pendugaan Umur Simpan Permen Jelly Pepaya (Carica papaya L.)”

Adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang

dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, Mei 2010

Yang Membuat Pernyataan,

Mulatsih Tri Atmini

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Wonogiri pada tanggal 24 Juli 1986

dengan nama lengkap Mulatsih Tri Atmini. Penulis

merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan

Slamet Riyanto dan Siti Juaren Budiastuti. Riwayat

pendidikan penulis dimulai dari TK Pertiwi Wuryantoro,

SDN Wuryantoro II, SLTP Negeri 3 Wonogiri, dan SMA

Negeri 1 Wonogiri.

Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada tahun

2005 melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Pada tahun

2006, penulis masuk Mayor Departemen Teknologi Industri Pertanian dengan

Supporting Course. Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis menjadi anggota

Koperasi Mahasiswa Institut Pertanian Bogor, serta aktif menjadi pengurus

organisasi di Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian Departemen

kesekretariatan biro Administrasi dari tahun 2006 s.d. 2008. Penulis

berkesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Peralatan Industri pada

tahun 2009.

Tahun 2008 penulis melaksanakan kegiatan Praktek Lapang di PT. Heinz

ABC Indonesia dengan kajian Teknologi Proses Produksi, Teknologi

Pengemasan, Penyimpanan, dan Transportasi Produk di PT. Heinz ABC

Indonesia. Pada tahun 2009, penulis melakukan penelitian akhir dalam rangka

(10)

i KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah

memberikan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan

penulisan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai bagian dari tugas akhir untuk

memperoleh gelar sarjana Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi

Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa bantuan dari berbagai pihak cukup berarti bagi

penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan

terima kasih kepada:

1. Dr. Endang Warsiki, S.TP, M.Si selaku dosen pembimbing akademik dan

pembimbing utama yang telah memberikan saran, arahan, dan bimbingan

kepada penulis sampai terselesaikannya skripsi ini.

2. Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA selaku pembimbing kedua yang telah

memberikan bimbingan, arahan, dan perhatian kepada penulis sampai

terselesaikannya skripsi ini.

3. Drs. Purwoko, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan pengarahan

dan saran dalam penyempurnaan skripsi.

4. Ibu Syafrida selaku ketua proyek penelitian dari Pusat Kajian Buah-Buahan

Tropika.

5. Kedua orang tua, keempat kakakku, keempat ponakanku, atas doa, dukungan,

semangat, dan inspirasi yang telah diberikan.

6. Seluruh staf dan karyawan PKBT : Ibu Sriani, Mas Fatkan, Bapak Ibram,

Mbak Aline, Mbak Dede, Mas Ubay, Bapak Kosim, Bapak Heri, Ibu Yuyun

yang telah membantu dalam persiapan bahan, ilmu, keramahan, keceriaan,

kekeluargaan, persahabatan, canda-tawa serta suka-duka selama penelitian

berlangsung.

7. Seluruh laboran dan teknisi, terutama Bapak Sugiardi, Ibu Ega, Bapak

Gunawan, Ibu Rini, dan Ibu Sri, terimaksih atas saran, bantuan, dan ilmu

yang diberikan

8. Dewi sebagai teman satu tim proyek, terimakasih atas kebersamaan dan

(11)

ii 9. Marlina Nurul Magribi dan Juanda Sianturi sebagai teman satu bimbingan,

terima kasih atas kebersamaan dan perjuangan kita.

10. Roisah, Rima, Pute, Anas, Amel, Rey, Ipul, Tika, Novi, Nunung, serta

seluruh penghuni laboratorium, terima kasih atas bantuan, dukungan, dan

perhatiannya, serta pinjaman alat-alat dan aquadesnya.

11. Teman-teman TIN 42, kita telah berjuang bersama hingga akhir, terimakasih

atas kebersamaan dan kekeluargaan ini.

12. Penghuni Villa Cempaka dan Harmony 2, terimakasih atas kenyamanan dan

canda tawa yang diberikan.

13. Teman, sahabat, dan seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu

atas segala bantuan dan dukungannya.

Penulis menyadari keterbatasan yang penulis miliki. Kritik dan saran yang

membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat baik

bagi penulis maupun pembacanya. Amin.

Bogor, Mei 2010

Penulis

(12)

iii DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN. ... viii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pepaya (Carica papaya L.) ... 3

2.2 Pemanis ... 6

2.3 Karagenan. ... 7

2.4 Permen Jelly ... 9

2.5 Pengemasan dan Penyimpanan... 11

2.6 Kemasan ... 13

2.7 Umur Simpan... 20

III.METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat. ... 26

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 26

3.3 Metode Penelitian. ... 27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Permen Jelly Pepaya. ... 31

4.2 Karakteristik kemasan ... 36

4.3 Kondisi Penyimpanan ... 37

4.4 Perubahan Mutu ... 38

4.5 Penentuan Parameter Kritis dan Titik Kritis Mutu ... 60

(13)

iv V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan. ... 63

5.2 Saran. ... 64

DAFTAR PUSTAKA

(14)

v DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Produksi pepaya di Indonesia ... 1

Tabel 2. Ciri-ciri pepaya IPB 1 ... 4

Tabel 3. Komposisi kimia buah pepaya matang per 100 gram buah ... 5

Tabel 4. Komposisi kimia wadah gelas komersial ... 19

Tabel 5. Karakteristik awal produk permen jelly pepaya ... 31

Tabel 6. Persyaratan mutu permen jelly menurut SNI 02-3547-2008... 32

Tabel 7. Hasil uji karakteristik kemasan... 36

Tabel 8. Nilai k dan Ln k parameter kadar air ... 61

Tabel 9. Nilai E, ln k0, k0, dan k tiap suhu penyimpanan parameter kadar air ... 62

Tabel 10. Umur simpan permen jelly pepaya ... 62

(15)

vi DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur umum polipropilen ... 17

Gambar 2. Grafik antara nilai ln K dan 1/T dalam persamaan Arrhenius ... 23

Gambar 3. Diagram alir pembuatan permen jelly pepaya... 28

Gambar 4. Diagram alir penelitian ... 30

Gambar 5. Kemasan plastik PP, alumunium foil, dan gelas jar yang digunakan untuk mengemas permen jelly pepaya ... 36

Gambar 6. Perubahan kadar air permen jelly pepaya selama penyimpanan: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar ... 39

Gambar 7. Perubahan vitamin C permen jelly pepaya selama penyimpanan: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar ... 42

Gambar 8. Perubahan total asam tertitrasi (TAT) permen jelly pepaya selama penyimpanan: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar ... 44

Gambar 9. Perubahan tekstur permen jelly pepaya selama penyimpanan: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar ... 46

Gambar 10.Perubahan warna (L) permen jelly pepaya selama penyimpanan: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar ... 48

Gambar 11.Nilai median dan modus tingkat kesukaan terhadap atribut rasa permen jelly pepaya: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar ... 51

Gambar 12.Nilai median dan modus tingkat kesukaan terhadap atribut aroma permen jelly pepaya: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar ... 53

Gambar 13.Nilai median dan modus tingkat kesukaan terhadap atribut tekstur permen jelly pepaya: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar ... 55

(16)

vii Gambar 15.Nilai median dan modus tingkat kesukaan terhadap atribut

penerimaan umum permen jelly pepaya: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar ... 59

(17)

viii DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Prosedur Analisa ... 69

Lampiran 2. Persamaan regresi perubahan mutu ... 75

Lampiran 3. Data nilai kadar air (%) selama penyimpanan (wet basis) ... 77

Lampiran 4. Data nilai kadar air (%) selama penyimpanan (dry basis) ... 78

Lampiran 5. Data nilai vitamin C (mg/100gram) selama penyimpanan (wet basis) ... 79

Lampiran 6. Data nilai vitamin C (mg/100gram) selama penyimpanan (dry basis) ... 80

Lampiran 7. Data nilai total asam tertitrasi (%) selama penyimpanan (wet basis) ... 81

Lampiran 8. Data nilai total asam tertitrasi (%) selama penyimpanan (dry basis) ... 82

Lampiran 9. Data nilai tekstur selama penyimpanan ... 83

Lampiran 10. Data nilai warna (L) selama penyimpanan ... 84

Lampiran 11. Laju perubahan mutu tiap parameter (% per hari) ... 85

Lampiran 12. Data uji lanjut organoleptik selama penyimpanan ... 86

(18)

1 I.PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pepaya (Carica papaya L.) merupakan salah satu jenis buah-buahan yang

tergolong ke dalam famili Caricaceae. Spesies ini merupakan spesies paling

penting di antara dua puluh tiga spesies Carica lainnya. Buah pepaya merupakan

salah satu buah yang digemari masyarakat baik di dalam maupun di luar negeri

karena memiliki rasa yang enak dan aroma yang khas. Buah ini merupakan buah

tahunan, sehingga terus ada sepanjang tahun. Buah pepaya merupakan salah satu

buah eksotik dari negara tropis yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Menurut Data Biro Pusat Statistik Indonesia, produksi pepaya di Indonesia cukup

tinggi dan stabil, mencapai angka enam ratus ton. Angka produksi pepaya di

Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Produksi pepaya di Indonesia

Tahun Produksi Pepaya (Ton)

Sumber: Biro Pusat Statistik (2009)

Seperti jenis hortikultura lainnya, kurang lebih 20-40% hasil panen pepaya

mengalami cacat fisik, sehingga ditolak pada pasaran buah segar. Angka ini tentu

saja cukup tinggi, oleh karena itu, perlu dilakukan beberapa upaya untuk

meningkatkan nilai ekonomis dan daya guna buah pepaya yang tak terspesifikasi

untuk kepentingan buah segar. Salah satunya adalah dengan mengolah pepaya

menjadi produk olahan pepaya. Alternatif produk olahan pepaya yang dapat

dikembangkan adalah permen jelly pepaya. Permen jelly adalah kembang gula

lunak yang terbuat dari komponen-komponen bubur buah, gula atau pemanis

lainnya, dan bahan pembentuk gel. Kembang gula ini mempunyai mempunyai

(19)

2 Proses pengolahan, pengemasan, dan penyimpanan diperlukan untuk

mendapatkan mutu permen jelly pepaya yang baik. Setelah itu, proses

pengemasan dan penyimpanan menjadi faktor penting yang harus diperhatikan

untuk mempertahankan mutu produk tersebut. Pengemasan merupakan salah satu

cara memberikan kondisi yang tepat bagi pangan untuk mempertahankan mutunya

dalam jangka waktu yang diinginkan (Buckle et al., 1987). Kemasan kaca,

alumunium foil, dan plastik jenis PP (polypropilen) banyak digunakan untuk

mengemas permen di pasaran. Belum ada penelitian yang melaporkan pengaruh

penggunaan tiga jenis kemasan tersebut pada permen, khususnya permen jelly

pepaya. Oleh sebab itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh

kemasan terhadap mutu permen jelly pepaya selama penyimpanan. Selanjutnya,

pendugaan umur simpan permen jelly pepaya dilakukan untuk mengetahui tingkat

ketahanan produk selama penyimpanan. Salah satu cara pendugaan umur simpan

yang cepat dan cukup akurat adalah melalui metode akselerasi (Accelerated

Storage Studies) dengan menggunakan pendekatan metode Arrhenius.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan mutu permen jelly

pepaya pada kemasan dan suhu penyimpanan yang berbeda selama jangka waktu

tertentu, menentukan umur simpannya, dan mendapatkan kemasan yang lebih baik

(20)

3 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pepaya (Carica papaya L.)

Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika

tropis. Pusat penyebaran tanaman berada di daerah sekitar Meksiko bagian selatan

dan Nicaragua. Menurut Kalie (1999), dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan

pepaya diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Sub-divisi : Angiospermae (berbiji tertutup)

Klas : Dicotyledone (biji berkeping dua)

Ordo : Caricales

Famili : Caricaceae

Genus : Carica

Species : Carica papaya L.

Famili Caricaceae termasuk famili kecil dari tanaman dikotiledon yang

terdiri dari empat genus yaitu: carica, jarilla, jacaratia yang berasal dari Amerika

Tropis dan cylicomorpha dari daerah Afrika ekuatorial. Genus carica adalah

genus paling penting dalam famili Caricaceae yang terdiri atas 24 spesies, dan

salah satunya adalah Carica papaya L. (Kalie,1999).

Tinggi pohon pepaya dapat mencapai delapan sampai sepuluh meter

dengan akar yang kuat dan batang tidak bercabang. Namun, cabang dapat

dibentuk dengan melakukan pemotongan pada pucuk. Batang tanaman berbentuk

bulat lurus berbuku-buku, berongga di bagian tengahnya, dan tidak berkayu. Daun

pepaya tersusun secara melingkar pada batang, lembar daunnya menjari dengan

warna permukaan atas berwarna hijau muda. Pepaya memiliki tiga jenis bunga,

yaitu bunga jantan (masculus), bunga betina (femineus), dan bunga sempurna atau

hermaprodit (Rukmana, 1995).

Tanaman pepaya dapat tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian seribu

meter di atas permukaan air laut dan pada umumnya tumbuh di lokasi yang cukup

(21)

4 Suhu optimal pertumbuhan tanaman berkisar antara 22-26oC, suhu minimum

15oC, dan suhu maksimum 43oC (Kalie,1999).

Varietas pepaya dikenal dari bentuk, ukuran, warna, rasa, dan tekstur

buahnya. Varietas pepaya yang banyak ditanam di Indonesia adalah pepaya

semangka, pepaya jinggo, dan pepaya cibinong. Selain itu, juga dikenal varietas

pepaya mas, pepaya item, dan pepaya ijo (Kalie, 1999). Salah satu jenis pepaya

yang dikembangkan saat ini adalah pepaya IPB 1 yang ciri-cirinya dapat dilihat

pada Tabel 2.

Tabel 2. Ciri-ciri pepaya IPB 1

Parameter Unit Nilai

Buah pepaya secara keseluruhan mirip buah melon, berongga, bentuk buah

lonjong, mempunyai aroma yang khas, warna daging kuning, orange sampai

merah cerah. Rasanya manis dan menyegarkan karena mengandung banyak air.

(22)

5 vitamin C, serta kalsium. Komposisi kimia buah pepaya matang dan mentah per

100 gram buah dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi kimia buah pepaya matang dan mentah per 100 gram buah

Komponen Satuan Buah matang Buah mentah Energi

mentah per 100 gram buah. Buah-buahan umumnya mengandung beberapa

macam asam organik, dimana di dalam buah pepaya kandungan gula lebih besar

dari asam, sehingga rasa manis lebih dominan. Selama pematangan buah pepaya

yang disimpan pada suhu kamar akan mengalami peningkatan kandungan asam

tertitrasi. Akan tetapi, setelah buah lewat matang kandungannya akan menurun

(Kalie, 1999). Menurut Chan dan Kwok (1971) yang dikutip Kalie (1999),

asam-asam yang terkandung dalam pepaya antara lain asam-asam ketoglutarat, sitrat, malat,

tertarat, asam askorbat, dan galakturonat. Kandungan vitamin C untuk buah

matang lebih tinggi dari buah mentah karena selama masa pematangan terjadi

peningkatan persentase karoten dan xantofil, dan akibat adanya metabolisme

polisakarida dalam dinding sel yang menyebabkan kadar gula meningkat.

Stabilitas vitamin C (asam askorbat) akan meningkat dengan menurunnya

pH. Laju oksidasi asam askorbat sebanding dengan konsentrasi oksigen terlarut

dalam bahan pangan. Oksidasi asam askorbat akan menghasilkan bentuk

(23)

6 dehidroaskorbat yang masih memiliki aktivitas vitamin C. Apabila terjadi

dekomposisi hidrolitik dari asam dehidroaskorbat, maka akan terbentuk asam 2,3-

diketoglutanat yang sudah tidak mempunyai aktivitas vitamin C. Reaksi lebih

lanjut dari asam 2,3- diketoglutanat tidak memberikan dampak lagi terhadap nilai

gizi bahan pangan, tetapi akan menimbulkan perubahan flavor dan warna yang

dikaitkan dengan reaksi pencoklatan. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di

atas, stabilitas vitamin C juga dipengaruhi oleh adanya enzim, konsentrasi gula

dan garam, konsentrasi awal asam askorbat, dan rasio antara asam askorbat

dengan asam dehidroaskorbat (Winarno dan Aman, 1981).

Karoten merupakan prekusor vitamin A yang banyak terdapat di dalam

pepaya. Biasanya perubahan warna pada kulit buah menunjukkan kematangan

buah, begitu pula halnya dengan pepaya. Perubahan warna buah pepaya dari hijau

menjadi kemerahan disebabkan penurunan klorofil, sehingga warna karotenoid

mulai terlihat. Perbedaan warna pada pepaya merah dan kuning adalah adanya

likopen, dimana buah pepaya kuning tidak terdapat likopen. Total karoten yang

dikandung dalam pepaya mengkal adalah 3,7 mg per 100 gram, sedangkan pada

pepaya berwarna matang total karotennya adalah 4,2 mg per 100 gram (Winarno

dan Aman, 1981).

Tingkat kemasakan buah pepaya biasanya dinyatakan dalam bentuk buah

muda, buah tua, buah mengkal, dan buah terlalu masak. Buah pepaya dipanen

pada stadium mendekati matang pohon, yakni setelah buah menunjukkan

garis-garis menguning. Untuk pemasaran setempat biasanya buah dipetik pada tingkat

kemasakan mengkal, sedangkan untuk pemasaran jarak jauh buah dipetik pada

tingkat kemasakan tua. Buah masak mengkal bila kulit buah di bagian ujung

tampak mulai menguning, sedangkan daging buah masih tetap keras. Buah pepaya

yang masak ditandai dengan kulit dan dagingnya berwarna cerah, rasanya manis,

dan aromanya sudah tercium.

2.2 Pemanis

Pemanis merupakan bahan yang umum terdapat pada makanan.

Berdasarkan kemampuan metabolismenya, bahan pemanis digolongkan menjadi

(24)

7 adalah pemanis yang dapat dimetabolis tubuh seperti sukrosa dan glukosa,

sedangkan non-nutritive sweetener adalah pemanis yang tidak dapat

dimetabolisme oleh tubuh seperti sakarin, siklamat, acesulfame-K, dan sorbitol

(Nicole,1979). Sukrosa merupakan senyawa kimia yang memiliki rasa manis,

berwarna putih, bersifat anhidrous, dan larut dalam air. Sukrosa memiliki peranan

penting dalam teknologi pangan karena fungsinya yang beraneka ragam yaitu

sebagai pemanis, pembentuk tekstur, pembentuk cita rasa, bahan pengisi, dan

pengawet (Nicole,1979),

Fungsi utama sukrosa sebagai pemanis memegang peranan penting, karena

dapat meningkatkan penerimaan dari suatu makanan, yaitu dapat menutupi cita

rasa yang tidak menyenangkan. Rasa manis sukrosa bersifat murni dan tidak

memiliki after taste yang meninggalkan rasa pait di lidah. Sukrosa dikatakan

mampu membentuk citarasa yang baik, karena kemampuannya menyeimbangkan

rasa asam, pahit, dan asin, atau melebihi pembentukan karamelisasi

(Nicole,1979). Sukrosa dapat digunakan sebagai pengawet dikarenakan

kemampuannya untuk menurunkan nilai keseimbangan kelembaban relatif dan

meningkatkan tekanan osmotik dengan cara mengikat air bebas sehingga tidak

dapat digunakan mikroba. Sukrosa dapat menghambat daya kerja enzim, yaitu

pada konsentrasi 30% akan menghambat aktivitas enzim asam askorbat oksidase

dan pada konsentrasi 50% akan menghambat enzim katalase (Nicole,1979).

2.3 Karagenan

Karagenan adalah polisakarida linear yang tersusun atas unit-unit

galaktosa dan 3,6-anhidrogalaktosa dengan ikatan glikosidik α-1,3 dan β-1,4

secara bergantian. Pada beberapa atom hidroksil, terikat gugus sulfat dengan

ikatan ester (Angka dan Suhartono, 2000). Karagenan diberi nama berdasarkan

persentase kandungan ester sulfatnya, kappa: 25-30%, iota: 28-35%, dan lambda:

32-39%. Larut dalam air panas (70oC), air dingin, susu, dan larutan gula, sehingga

sering digunakan sebagai bahan pengental/penstabil pada minuman atau makanan.

Karagenan dapat membentuk gel dengan baik, sehingga banyak digunakan

(25)

8 Sifat-sifat yang dimiliki karagenan antara lain: kelarutan, pH, stabilitas,

viskositas, pembentukan gel, dan reaktivitas dengan protein. Sifat-sifat tersebut

sangat dipengaruhi oleh adanya unit bermuatan (ester sulfat) dan penyusun dalam

polimer karagenan. Karagenan biasanya mengandung unsur yang berupa garam

yodium dan potasium yang juga berfungsi untuk menentukan sifat-sifat

karagenan. Tulisan di bawah ini menjelaskan sifat-sifat umum karagenan yaitu:

(i) Kelarutan

Semua karagenan larut di dalam air pada suhu di atas 70oC. dalam air dingin, hanya α-karagenan dan garam natrium dari - dan - karagenan yang larut (Glicksman, 1983). Kelarutan karagenan dalam air dipengaruhi oleh beberapa

faktor, yaitu tipe karagenan, pengaruh ion, pH, dan komponen organik larutan.

Dikaitkan molekulnya, kelarutan karagenan terutama dikendalikan oleh derajat

hidrofiliknya, yaitu gugus ester sulfat dan unit galaktosa-piranosa yang

berlawanan dengan unit 3,6-anhidro-galaktosa yang bersifat hidrofobik (Towle,

1973). Di samping kelarutan dalam air, karagenan juga memiliki sifat kelarutan

dalam media cair lainnya, misalnya dalam susu panas, sedangkan dalam susu dingin hanya α-karagenan yang mempunyai kelarutan tinggi. Dalam kelarutan sukrosa panas dengan konsentrasi 65% - dan α-karagenan larut, sedangakan -karagenan sedikit larut dalam kondisi ini (Glicksman, 1983).

(ii) Pembentukan Gel

Karagenan jenis - dan - mempunyai kemampuan untuk membentuk gel

pada saat larutan yang panas dibiarkan menjadi dingin. Proses ini bersifat

reversibel, artinya gel mencair pada pemanasan dan cairan akan menbentk gel

kembali pada saat pendinginan (Glicksman, 1983). Terbentuknya gel ini sebagai

akibat pembentuk struktur double helix oleh polimer karagenan. Konsistensi gel

karagenan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis dan tipe karagenan,

konsentrasi, adanya ion-ion serta pelarut yang menghambat terbentuknya

hidrokoloid (Towle,1973).

Pada proses pembentukan gel dari - dan -karagenan dibutuhkan kation tertentu. Dalam aplikasi pangan ada tiga kation yang paling umum digunakan,

yaitu natrium, kalium, dan kalsium serta beberapa ion lainnya seperti amonium,

(26)

-9 karagenan dapat menaikkan kekerasan dan suhu pembentukan gel. Ion kalsium

dan barium menaikan kekakuan gel karagenan. Ion rubidium dan cesium juga dapat menyebabkan gelasi -karagenan. Ion kalium menyebabkan gel -karagenan elastis dan transparan, sedangkan ion kalsium menyebabkan gel -karagenan rapuh. Penambahan ion natrium pada gel -karagenan membuat gel menjadi pendek dan rapuh.

Letak gugus sulfat pada struktur molekul karagenan sangat berpengaruh

terhadap kemampuan karagenan untuk membentuk gel. Demikian pula derajat

keteraturan rantai polimer menentukan kemampuan membentuk gel. Suatu

modifikasi struktural dapat dilakukan dengan mengubah unit yang mengandung

sulfat pada C6 di ikatan (1 → 4) menjadi unit 3,5-anhidro galaktosa akan

meningkatkan kemampuan membentuk gel dan kekuatan gel (Towle,1973).

(iii) Stabilitas

Karagenan akan stabil pada pH 7 atau lebih tinggi, sedangkan pH yang lebih

rendah dari 7, stabilitas karagenan menurun khususnya dengan peningkatan suhu

(Moirano,1977; Glicksman,1983). Pada pH rendah dari 7, polimer karagenan

terhidrolisis sehingga kemampuan untuk membentuk gel menjadi hilang. Namun,

pada penerapannya, suatu gel terbentuk pada pH di bawah 7 dan hidrolisis terjadi

tidak lama sehingga gel dapat stabil (Glicksman,1983). Hal ini disebabkan

beberapa karagenan mengandung ikatan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang tinggi,

sehingga tidak mudah terhidrolisis dan dapat digunakan dalam aplikasi pangan

pada pH rendah sebagai pengental, misalnya pH 3,0-4,0. Misalnya, kappa

karagenan dan iota karagenan dapat digunakan sebagai gelling agent pada pH

rendah (Moraino,1977).

2.4 Permen Jelly

Permen jelly merupakan permen yang terbuat dari komponen-komponen

air, flavor, gula, dan bahan pembentuk gel. Permen jelly mempunyai penampakan

jernih, transparan, serta mempunyai tekstur yang elastis dengan kekenyalan

tertentu. Adanya partikel-partikel yang tersuspensi seperti protein, tanin, dan

polisakarida (pati) menyebabkan warna permen jelly yang dihasilkan menjadi

(27)

10 dimasak dengan kandungan padatan yang diperlukan dan penambahan bahan

pembentuk gel (gelatin, agar, pektin, atau karagenan) dengan cita rasa dan aroma,

serta bentuk yang menarik. Kekerasan dan tekstur permen jelly banyak tergantung

pada bahan pembentuk gel yang digunakan. Permen jelly memerlukan bahan

pelapis yang dapat berupa tepung tapioka, tepung gula, atau campuran dari

keduanya. Hal ini dikarenakan permen jelly memiliki sifat kencenderungan

menjadi lengket satu sama lain karena sifat dari gula pereduksi yang membentuk

permen. Adanya bahan pelapis ini akan memudahkan dalam pengemasan dan

dapat menambah rasa manis (Jackson, 1995).

Kekerasan dan tekstur permen jelly tergantung pada bahan pembentuk gel

yang digunakan. Jelly gelatin mempunyai konsistensi yang lunak dan bersifat

seperti karet, sedangkan jelly agar-agar bersifat lunak dan agak rapuh. Pektin

menghasilkan tekstur yang sama dengan agar-agar, tetapi gelnya lebih baik pada

pH rendah, sedangkan karagenan menghasilkan gel yang kuat (Bukle et al.,1987).

Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989), kerusakan utama pada hasil

olahan permen jelly adalah sebagai berikut:

(i) Terbentuknya kristal-kristal karena bahan yang terlarut cukup banyak,

sedangkan gula tidak cukup melarut sehingga mengkristal kembali.

(ii) Gel besar dan kaku, disebabkan oleh kadar gula yang rendah atau karena

pembentuk gel yang tidak cukup.

(iii) Gel yang kurang padat dan menyerupai sirup, karena kadar gula yang terlalu

tinggi dan tidak seimbang dengan kandungan pembentuk gel.

(iv) Pengeluaran air dari gel karena terlalu banyak asam.

Permen jelly termasuk dalam pangan semi basah yang mempunyai kadar air

sekitar 10-40% dan nilai aw berkisar 0,6-0,9 (Bukle et al.,1987). Kondisi ini telah

cukup menghambat aktivitas biologis dan biokimia, sehingga tidak mudah terjadi

kerusakan. Prinsip pengolahan permen sesuai dengan pengolahan pangan semi

basah yaitu menurunkan nilai aw produk pada suatu tingkat tertentu sehingga

mikroba patogen tidak tumbuh. Walaupun demikian, kandungan air produk ini

masih cukup tinggi, sehingga dapat dimakan tanpa melakukan rehidrasi terlebih

(28)

11 Rodel, 1976). Mutu permen jelly diatur dalam SNI 02-3547-2008 tentang

kembang gula lunak.

Muchtadi et al. (1979) menyebutkan bahwa jelly merupakan produk yang

dibuat dari sari buah yang dipekatkan, jernih, transparan, bebas dari pulp atau

partikel asing, konsistensinya stabil, dan cukup kukuh mempertahankan

bentuknya bila dikeluarkan dari wadah. Jelly buah merupakan satu diantara

produk makanan yang sudah dikenal dan sangat popular di kalangan masyarakat.

Dapat dibuat dari buah yang cacat rupa, berukuran kecil, buah yang kurang

matang, kulit buah, hati buah atau buah yang terjatuh oleh angin, sehingga dalam

hal ini nilai ekonomis buah lebih meningkat (Woodroof dan Luh, 1975). Jelly

merupakan makanan sumber kalori yang tinggi, karena mengandung kadar gula

yang tinggi, dimana mudah diabsorpsi oleh usus manusia dan memberikan energi

tubuh dengan cepat Muchtadi et al. (1979).

2.5 Pengemasan dan Penyimpanan

Pengemasan merupakan salah satu cara untuk melindungi atau

mengawetkan produk serta penunjang bagi kelancaran transportasi dan distribusi

yang merupakan bagian terpenting dari suatu usaha untuk mengatasi persaingan

dalam pemasaran produk. Pengemasan yang sempurna dilakukan untuk

mempertahankan mutu suatu produk. Tujuan dari proses pengemasan adalah

melindungi produk dari pengaruh oksidasi dan mencegah terjadinya kontaminasi

dengan udara luar. Hasil pengolahan dapat dikendalikan dengan pengemas,

termasuk pengendalian cahaya, konsentrasi oksigen, kadar air, perpindahan panas,

kontaminasi, dan serangan makhluk hayati (Harris dan Karnas,1989).

Pengemasan dapat memperlambat kerusakan produk, menahan efek yang

bermanfaat dari proses, memperpanjang umur simpan, dan menjaga atau

meningkatkan kualitas dan keamanan pangan. Pengemasan juga dapat melindungi

produk dari tiga pengaruh luar, yaitu kimia, biologis, dan fisik. Perlindungan

kimia mengurangi perubahan komposisi yang cepat oleh pengaruh lingkungan,

seperti terpapar gas (oksigen), uap air, dan cahaya (cahaya tampak, infra merah

atau ultraviolet). Perlindungan biologis mampu menahan mikroorganisme

(29)

12 Perlindungan fisik menjaga produk dari bahaya mekanik dan menghindari

goncangan dan getaran selama pendistribusian (Marsh dan Betty, 2007).

Adanya kesadaran mengenai daya tahan berbagai produk menuntut

kesadaran akan perlunya penyimpanan. Penyimpanan suatu bahan merupakan

salah satu upaya agar produk dapat dinikmati oleh konsumen sebelum terjadi

kerusakan, sehingga selama penyimpanan harus selalu diusahakan agar produk

tidak mengalami penurunan mutu yang besar. Penyimpanan bahan pangan

berfungsi lebih luas lagi yaitu sebagai pengendali persediaan makanan (Syarief

dan Halid, 1993).

Kelembaban dan suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam

proses penyimpanan. Kelembaban sangat berperan dalam menentukan mutu bahan

dan proses kerusakan selama penyimpanan. Kadar air suatu bahan akan meningkat

jika disimpan dalam ruangan dengan kelembaban yang tinggi. Kadar air yang

tinggi akan membantu pertumbuhan mikroorganisme dan mengakibatkan

terjadinya penurunan mutu produk. Bahan yang disimpan akan menyerap uap air

dari udara atau melepaskannya sampai tekanan uap air dalam bahan sama dengan

tekanan uap air udara ruang penyimpanan. Setiap bahan mempunyai

keseimbangan kadar air tertentu yang dipengaruhi oleh komposisi kimia bahan

tersebut. Kelembaban udara ruang penyimpanan berhubungan dengan aktivitas air

suatu bahan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme (Syarief

dan Halid,1993).

Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu

makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa

kimia akan semakin cepat. Oleh karena itu, dalam menduga kecepatan penurunan

mutu makanan selama penyimpanan, faktor suhu harus selalu diperhitungkan

(Syarief dan Halid,1993).

Penggunaan suhu rendah dapat dilakukan untuk menghambat atau

mencegah reaksi-reaksi kimia, reaksi enzimatis, atau pertumbuhan mikroba.

Semakin rendah suhu, semakin lambat proses tersebut. Penggunaan suhu rendah

dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu penyimpanan sejuk, pendinginan, dan

penyimpanan beku. Penyimpanan sejuk biasanya dilakukan pada suhu sedikit di

(30)

13 penyimpanan di atas suhu pembekuan yaitu -2 sampai +10 oC, sedangkan

penyimpanan beku adalah penyimpanan di bawah suhu -2 oC (Winarno dan

Jenie,1983).

Pendinginan dapat memperlambat kecepatan reaksi-reaksi metabolisme.

Oleh karena itu, penyimpanan bahan pangan pada suhu rendah dapat

memperpanjang masa hidup dari jaringan-jaringan di dalam bahan pangan. Hal ini

bukan hanya disebabkan oleh keaktifan responsi menurun, tetapi juga terjadinya

penghambatan pertumbuhan mikroba penyebab kebusukan dan kerusakan.

Pendinginan yang biasa dilakukan sehari-hari dalam lemari es pada umumnya

mencapai 5-8 oC. Walaupun suhu pendinginan dapat menghambat pertumbuhan

atau aktivitas mikroba atau mungkin membunuh beberapa bakteri, tetapi

pendinginan maupun pembekuan tidak dapat digunakan untuk membunuh semua

bakteri (Winarno et al.,1980).

Pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan di

antaranya adalah suhu, pH, aktivitas air, adanya oksigen, dan tersedianya zat

makanan. Oleh karena itu, kecepatan pertumbuhan mikroba dapat diubah dengan

mengubah faktor lingkungan tersebut. Semakin rendah suhu yang digunakan

dalam penyimpanan maka semakin lambat pula reaksi kimia, aktivitas enzim dan

pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff,1979).

Faktor yang mempengaruhi proses pendinginan bahan adalah suhu,

kecepatan udara dalam ruang pendinginan, komposisi atmosfer serta ada tidaknya

sinar ultra violet. Penggunaan suhu rendah yang tepat dapat menghambat: (i)

respirasi dan kegiatan-kegiatan metabolik lainnya; (ii) penuaan karena

pematangan, pelunakan, perubahan-perubahan tekstur dan warna; (iii) kehilangan

air; (iv) kerusakan yang disebabkan oleh serbuan bakteri, jamur, dan khamir; (v)

pertumbuhan yang tak diinginkan; dan (vi) perubahan-perubahan rasa dan bau

(Pantastico,1986).

2.6 Kemasan

Pengertian umum dari kemasan adalah suatu benda yang digunakan untuk

wadah atau tempat yang dikemas dan dapat memberikan perlindungan sesuai

(31)

14 (i) sistem terkoordinasi dalam pembuatan barang untuk transportasi, distribusi,

penyimpanan, perdagangan eceran, dan penggunaan akhir; (ii) suatu sarana untuk

menjamin sistem penghantaran yang aman kepada konsumen terakhir dalam

kondisi yang baik dengan biaya seminimal mungkin; (iii) suatu fungsi tekno

ekonomi dengan tujuan agar biaya semurah mungkin, dan memaksimalkan

perdagangan (atau dengan kata lain keuntungan). Secara teoritis, kemasan dinilai

ideal apabila secara kimia inert total dan memungkinkan bahan makanan

mempertahankan karakteristik aslinya. Akan tetapi, pada kenyataannya jarang

sekali ada bahan pengemas yang benar-benar inert, beberapa reaksi tidak dapat

dihindari dan dicegah tergantung dari sifat-sifat bahan pengemas dan tipe

makanan yang dikemas (Agoes, 2004).

Kemasan dapat ditinjau berdasarkan bahan dasar, konstruksi, bentuk, dan

fungsinya. Berdasarkan bahannya, kemasan yang semula dari bahan tradisional,

sekarang telah berkembang dengan menggunakan bahan modern seperti metal

baja, alumunium, kaca, kertas, dan plastik. Berdasarkan konstruksinya, kemasan

dapat berupa lapis tunggal, lapis ganda, dan lapis majemuk. Berdasar bentuknya,

kemasan dapat berbentuk kaleng, tube, sachet, botol, gelas, mangkuk, kotak,

karton, karung, dan drum (Soekarto dan Nur, 2004).

Berdasarkan fungsinya, kemasan dibagi menjadi dua yaitu kemasan untuk

pengangkutan dan distribusi (shiping/delivery package) dan kemasan untuk

perdagangan eceran atau supermarket (retail package). Pemakaian material dan

pemilihan rancangan kemasan untuk pengangkutan dan distribusi akan berbeda

dengan kemasan untuk perdagangan eceran. Kemasan untuk pengangkutan atau

distribusi akan mengutamakan material dan rancangan yang dapat melindungi

kerusakan selama pengangkutan dan distribusi, sedangkan kemasan untuk eceran

diutamakan materi atau material yang dapat memikat konsumen untuk membeli

(Peleg,1985).

Beberapa persyaratan kemasan makanan yang perlu diperhatikan adalah

sebagai berikut: (i) permeabilitas terhadap udara; (ii) tidak dapat menyebabkan

penyimpangan warna produk; (iii) tidak bereaksi, sehingga tidak merusak bahan

maupun cita rasanya, tidak mudah teroksidasi atau bocor; (iv) tahan panas; (v)

(32)

15 pangan dapat terjadi secara spontan. Hal ini disebabkan oleh lingkungan luar.

Pengemasan juga digunakan untuk membatasi antara bahan pangan dengan

keadaan sekelilingnya untuk menunda proses kerusakan dalam jangka waktu

tertentu (Buckle et al.,1987). Pengemasan sebagai bagian integral dari proses

produksi dan pengawetan bahan pangan dapat mempengaruhi mutu produk.

Perubahan fisik dan kimia dapat terjadi karena migrasi zat-zat kimia pada bahan

kemasan. Selain itu juga perubahan aroma, warna, dan tekstur yang dipengaruhi

uap air dan oksigen (Syarief et al.,1989).

2.6.1 Kemasan Plastik

Plastik merupakan senyawa polimer dari turunan-turunan monomer

hidrokarbon yang membentuk molekul-molekul dengan rantai panjang dari reaksi

polimerisasi adisi atau polimerisasi kondensasi. Sifat-sifat plastik sangat

tergantung pada jumlah molekul dan susunan atom molekul. Plastik dalam bentuk

produk akhir terdiri dari polimer murni dan unsur-unsur lain seperti bahan pengisi,

pigmen, stabilisator, dan bahan pelunak (Harper,1975). Plastik juga mengandung

beberapa zat aditif yang diperlukan untuk memperbaiki sifat-sifat fisiko kimia

plastik. Bahan yang ditambahkan tersebut disebut komponen non-plastik yang

berupa senyawa organik atau anorganik yang memiliki berat molekul rendah.

Bahan aditif tersebut dapat berfungsi sebagai pewarna, antioksidan, penyerap

sinar UV, anti lekat, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan migrasi bahan

kemasan plastik ke dalam makanan, bahan aditif bukan satu-satunya komponen

yang harus diteliti, melainkan juga residu monomer yang masih berada pada

matrik polimer plastik. Daya peracunan setiap jenis residu monomer, oligomer

dan bahan aditif perlu diselidiki agar keamanan konsumen dapat dijamin

(Robertson, 1993).

Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas memiliki keunggulan

dibandingkan dengan bahan kemasan lainnya, karena sifatnya yang ringan,

transparan, kuat, termoplastik, dan permeabilitasnya terhadap uap air, CO2, dan

O2, harganya relatif rendah, dapat dibentuk dalam berbagai rupa, dan mengurangi

biaya transportasi. Sebagai bahan pembungkus, kemasan plastik dapat digunakan

(33)

16 (kertas atau alumunium foil). Kelemahan bahan kemasan plastik ini adalah adanya

zat-zat monomer dan molekul kecil yang terkandung dalam plastik dapat

melakukan migrasi ke bahan makanan terkemas (Winarno,1993).

Permeabilitas plastik terhadap udara dan uap air menyebabkan plastik

berperan dalam modifikasi ruang kemasan selama penyimpanan. Sifat penting

bahan kemasan plastik yang digunakan meliputi permeabilitas gas dan uap air,

bentuk dan permukaannya. Permeabilitas gas dan uap air, serta luas permukaan

kemasan mempengaruhi produk yang disimpan. Jumlah gas yang sesuai dan luas

permukaan yang kecil menyebabkan masa simpan produk lebih lama

(Winarno,1993).

Jenis plastik yang digunakan dalam penelitian ini adalah plastik

polipropilen. Polipropilen termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer

dari propilen. Polipropilen merupakan jenis termoplastik yang memiliki densitas

rendah. Dikembangkan sejak 1950 dengan berbagai nama dagang seperti

bexphane, dynafilm, luparen, escon, ole fane, dan profax. Polipropilen sangat

mirip dengan polietilen dan sifat-sifat penggunaannya juga serupa. Polipropilen

lebih kuat dan ringan dengan daya tembus uap yang rendah, ketahanan yang baik

terhadap lemak, stabil terhadap suhu tinggi, dan cukup mengkilap (Syarief et

al.,1989).

Plastik propilen tidak mudah sobek atau retak. Sifat utama polipropilen

adalah ringan (densitas 900 kg/m3), permeabilitas uap air rendah dan

permeabilitas gas sedang sehingga tidak baik untuk makanan yang peka terhadap

oksigen, tembus pandang dan jernih sehingga mudah dicetak (printing).

Polipropilen dibuat melalui proses polimerisasi dengan bantuan katalisator pada

monomer propilen di bawah panas dan tekanan (Robertson, 1993). Monomer

polipropilen diperoleh dengan pemecahan secara thermal naphtha (distilasi

minyak kasar) etilen, propilen dan homologues yang lebih tinggi dipisahkan

dengan distilasi pada temperatur rendah. Dengan menggunakan katalis

Natta-Ziegler polipropilen dapat diperoleh dari propilen (Brown, 1991). Struktur umum

(34)

17 CH3

CH CH2

Gambar 1. Struktur umum polipropilen (Brown, 1991)

Beberapa sifat utama dari polipropilen menurut Syarief et al. (1989), antara lain:

(i) ringan (densitas 0.9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk

film, tidak transparan dalam bentuk kemasan kaku; (ii) mempunyai kekuatan tarik lebih

besar dari PE. Pada suhu rendah akan rapuh, dalam bentuk murni pada suhu -300C mudah

pecah sehingga perlu ditambahkan PE atau bahan lain untuk memperbaiki ketahanan

terhadap benturan. Tidak dapat digunakan untuk kemasan beku; (iii) lebih kaku dari PE

dan tidak gampang sobek sehingga mudah dalam penanganan dan distribusi; (iv)

permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang, tidak baik untuk makanan yang

peka terhadap oksigen; (v) tahan terhadap suhu tinggi sampai 1500C, sehingga dapat

dipakai untuk makanan yang harus disterilisasi; (vi) titik leburnya tinggi sehingga sulit

dibuat kantung dengan sifat kelim panas yang baik. Mengeluarkan benang-benang plastik

pada suhu tinggi; (vii) tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak. Baik untuk kemasan

sari buah dan minyak. Tidak terpengaruh oleh pelarut pada suhu kamar kecuali HCl; (viii)

pada suhu tinggi PP akan bereaksi dengan benzen, silken, toluene, terpentin, dan asam

nitrat kuat.

2.6.2 Kemasan Alumunium foil

Foil adalah bahan kemas dari logam, berupa lembaran alumunium yang

padat dan tipis dengan ketebalan kurang dari 0.15 mm. Foil mempunyai sifat

thermotis, fleksibel, dan tidak tembus cahaya. Pada umumnya digunakan sebagai

bahan pelapis (laminan) yang dapat ditempatkan pada bagian dalam atau lapisan

tengah sebagai penguat yang dapat melindungi bungkusan. Ketebalan dari

alumunium foil menentukan sifat protektifnya. Foil dengan ketebalan rendah

masih dapat dilalui oleh gas dan uap. Sifat-sifat alumunium foil yang tipis dapat

diperbaiki dengan memberikan lapisan plastik atau kertas menjadi foil-plastik,

foil-kertas, atau kertas-foil-plastik (Syarief et al., 1989).

Alumunium foil merupakan kemasan logam yang lebih ringan daripada

(35)

18 dilekuk-lekukkan sehingga dapat dibentuk sesuai dengan keinginan, tidak berbau,

tidak berasa, dan tidak beracun. Alumunium foil juga merupakan salah satu jenis

kemasan yang kedap terhadap udara, uap air, dan kedap cahaya sehingga dapat

mencegah peningkatan aw dan oksidasi. Alumunium foil memiliki sifat tahan

terhadap panas, permeabilitas yang rendah terhadap uap air dan tidak korosif.

Kemasan ini juga memiliki pori-pori yang kecil sehingga dapat menghambat

kemampuan uap air untuk menembus masuk kedalam kemasan (Departemen

Perindustrian dan Perdagangan, 2003).

Alumunium foil merupakan kemasan yang dapat menghalangi cahaya dan

oksigen (penyebab lemak teroksidasi atau menjadi tengik), bau dan aroma,

kelembaban, dan bakteri masuk ke dalam makanan yang dikemas. Alumunium

foil digunakan pada makanan dan produk-produk farmasi. Bahan ini juga

digunakan untuk membuat kemasan pak yang berumur panjang (kemasan aseptik)

untuk minuman dan dairy product dengan penyimpanan tanpa pendingin.

Laminasi alumunium foil juga digunakan untuk mengemas makanan yang sensitif

terhadap oksigen dan uap air, misalnya tembakau (Departemen Perindustrian dan

Perdagangan, 2003).

Alumunium foil memiliki sisi yang mengkilap dan sisi yang buram. Sisi

yang mengkilap diproduksi ketika alumunium digulung pada waktu tahap akhir.

Pada tahap akhir penggulungan, dua lembar digulung pada waktu yang sama.

Keduanya masuk pada mesin penggulung. Ketika lembaran dipisahkan, sisi

dalamnya tidak mengkilap, sedangkan sisi luarnya mengkilap. Banyak orang

percaya bahwa sisi yang mengkilap mencerminkan bagian yang menjaga panas

keluar dan menjaga panas di dalam ketika melapisi bagian luar produk

(Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2003).

2.6.3 Kemasan Gelas

Gelas merupakan salah satu kemasan yang tertua. Gelas mempunyai

sifat-sifat yang menguntungkan sebagai bahan kemasan seperti inert (tidak bereaksi),

kuat, tahan terhadap kerusakan, serta sangat baik sebagai barier terhadap benda

(36)

19 pecah dan kurang baik bagi produk-produk yang peka terhadap penyinaran

(ultraviolet) (Syarief,2002).

Gelas adalah padatan amorf dari suatu larutan peroksida oksida, kalsium,

natrium dan elemen lain. Bahan mentah gelas terutama adalah pasir, soda abu, dan

batu kapur yang dipilih secara hati-hati. Dalam pembuatan wadah gelas, bahan

adonan termasuk pasir, soda abu, batu kapur, dan bubuk gelas (yang dimasukkan

ke dalam adonan untuk menurunkan titik lebur), diukur jumlahnya secara teliti,

dan dipanaskan sampai suhu melebihi 2600oF. Setelah gelas melebur dan

dibersihkan, wadah gelas dibentuk dengan cara memasukkan gelas cair ke dalam

mesin pencetak dimana pembentukkan gelas dimulai. Kemudian dipindahkan de

dalam mesin pencetak terakhir untuk ditiup menjadi bentuk akhir, didinginkan

sebentar, dan akhirnya dipisahkan dari mesin (Muchtadi, 1995). Komposisi kimia

wadah gelas komersial dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi kimia wadah gelas komersial

Komposisi kimia Rumus kimia Persentase

neck). Wadah gelas bermulut lebar kebanyakan digunakan untuk produk makanan

bayi, susu bubuk, buah-buahan, mentega, kacang, kopi, teh, jam, jelly, acar,

manisan, mayonais. Sedangkan, wadah gelas berleher sempit kebanyakan

digunakan untuk produk-produk cair, seperti kecap, sari buah, sirup, bumbu cair,

(37)

20 Faktor yang menentukan dalam pengemasan botol adalah adanya ruang

udara. Ruang kosong (head space) harus disediakan pada setiap kemasan gelas

yang diisikan dengan suatu bahan. Ruang ini diberikan untuk mengantisipasi

terjadinya pemuaian bahan akibat peningkatan suhu karena proses sterilisasi.

Ukuran dari head space ini diusahakan tidak terlalu besar atau kecil. Bila terlalu

besar maka dapat mengakibatkan akumulasi udara pada atas kemasan gelas dan

apabila terlalu kecil proses penutupan kemasan tidak akan sempurna. Besarnya

head space yang digunakan tergantung dari bahan yang dikemas. Pada umumnya

berkisar antara 3%-5%. Namun, untuk produk-produk yang menghasilkan gas

seperti peroksida dan hipoklorit digunakan head space sebesar 10%

(Muchtadi,1995).

Proses penutupan merupakan bagian yang cukup penting dalam

penggunaan kemasan gelas jar. Penutupan yang rapat dapat dihasilkan karena

kontruksi leher botol memiliki ulir dan pengunci yang dapat menahan tutup secara

kuat. Tutup yang digunakan untuk menutup kemasan jar dapat terbuat dari logam

maupun plastik (Muchtadi,1995). Kemasan gelas dapat digunakan untuk jenis

bahan berasam rendah ataupun berasam tinggi, sehingga cocok digunakan untuk

mengemas produk confectionery. Perbedaan suhu di dalam dan di luar kemasan

tidak boleh lebih dari 27oC. Oleh karena itu, proses pengemasan terhadap

kemasan ini harus dilakukan secara perlahan-lahan untuk menghindari keretakan

(Syarief,2002). Menurut Muchtadi (1995), keuntungan menggunakan kemasan

gelas meliputi (i) gelas bersifat inert sehingga tidak akan bereaksi dengan bahan

yang dikemas; (ii) gelas bersifat kedap dan tidak berpori; (iii) tidak berbau dan

bersih; (iv) bersifat transparan sehingga memungkinkan dapat diperiksa baik oleh

konsumen maupun produsen; (v) mudah dibuka dan ditutup kembali; (vi) dapat

dibuat dalam berbagai bentuk, ukuran, dan warna.

2.7 Umur Simpan

Umur simpan adalah selang waktu sejak barang diproduksi hingga produk

tersebut tidak layak diterima atau telah kehilangan sifat khususnya. Umur simpan

dapat didefinisikan juga sebagai waktu yang dibutuhkan oleh suatu produk pangan

(38)

21 fisik, dan organoleptik, setelah disimpan dalam kondisi yang direkomendasikan

(Arpah dan Syarief, 2000). Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa

umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam kondisi

penyimpanan tertentu untuk dapat mencapai tingkatan degradasi mutu tertentu.

Menurut Labuza dan Schmild (1985), faktor-faktor yang mempengaruhi umur

simpan meliputi: (i) jenis dan karakteristik produk pangan. Produk yang

mengalami pengolahan akan lebih tahan lama dibanding produk segar. Produk

yang mengandung lemak berpotensi mengalami rancidity, sedangkan produk yang

mengandung protein dan gula berpotensi mengalami reaksi maillard (warna

coklat); (ii) jenis dan karakteristik bahan kemasan. Permeabilitas bahan kemas

terhadap kondisi lingkungan (uap air, cahaya, aroma, oksigen); (iii) kondisi

lingkungan. Intensitas sinar (UV) menyebabkan terjadinya ketengikan dan

degradasi warna. Oksigen menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi.

Menurut Syarief et al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur

simpan makanan yang dikemas adalah sebagai berikut: (i) keadaan alamiah atau

sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan

terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal

dan fisik; (ii) ukuran kemasan dalam hubungan dengan volumenya; (iii) kondisi

atmosfir (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama

transit dan sebelum digunakan; (iv) ketahanan keseluruhan dari kemasan terhadap

keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekatan, penutupan, dan

bagian-bagian yang terlipat.

Proses perkiraan umur simpan sangat tergantung pada tersedianya data

mengenai: (i) mekanisme penurunan mutu produk yang dikemas; (ii) unsur-unsur

yang terdapat di dalam produk yang langsung mempengaruhi laju penurunan mutu

produk; (iii) mutu produk dalam kemasan; (iv) bentuk dan ukuran kemasan yang

diinginkan; (v) mutu produk pada saat dikemas; (vi) mutu minuman dari produk

yang masih dapat diterima; (vii) variasi iklim selama distribusi dan penyimpanan;

(viii) resiko perlakuan mekanis selama distribusi dan penyimpanan yang

mempengaruhi kebutuhan kemasan; (ix) sifat barrier pada bahan kemasan untuk

mencegah pengaruh unsur-unsur luar yang dapat menyebabkan terjadinya

(39)

22 Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan dua

metode yaitu metode Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage

Studies (ASS). ESS atau sering disebut metode konvensional adalah penentuan

tanggal kadaluarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi

normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya

hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun

memerlukan waktu yang lama dan analisa parameter yang relatif banyak. Metode

ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi

penurunan mutu produk pangan. Pada metode ini, kondisi penyimpanan diatur

diluar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan dapat

ditentukan umur simpan produk. Kelebihan metode ini adalah waktu pengujian

yang relatif singkat (1-4 bulan), namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang

tinggi (Herawati, 2008).

Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan

untuk produk-produk pangan tertentu. Model-model yang diterapkan pada

penelitian akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan yaitu : (i) pendekatan

kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang

diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktifitas air

sebagai kriteria kadaluarsa; (ii) pendekatan semi empiris dengan bantuan

persamaan Arrhenius, yaitu suatu cara pendekatan yang menggunakan teori

kinetika yang pada umumnya mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk produk

pangan (Herawati, 2008).

Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan makanan.

Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan

semakin cepat. Untuk menentukan kecepatan reaksi kimia bahan pangan dalam

kaitannya dengan perubahan suhu, Labuza (1982) menggunakan pendekatan

Arrhenius. Semakin sederhana model yang digunakan untuk menduga umur

simpan, maka biasanya semakin banyak asumsi yang dipakai. Asumsi untuk

penggunaan model Arrhenius ini misalnya:

(i) Perubahan faktor mutu hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja

(40)

23 (iii) Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat dari proses-proses

yang terjadi sebelumnya

(iv) Suhu selama penyimpanan tetap atau dianggap tetap

Dalam kinetika perubahan mutu pangan, umumnya dilakukan

penyederhanaan reaksi-reaksi yang kompleks menjadi reaksi sederhana dengan

orde reaksi kenol atau kesatu. Model perubahan mutu pangan dan orde reaksi

perubahannya dapat dianalisis dengan berbagai metode, diantaranya dengan

integrasi yang dilanjutkan dengan analisis model atau fungsi dugaannya.

Pengujian atas ketepatan model atau fungsi dugaan dapat dilihat dari koefisien

determinasi (R2). Persamaan Arrhenius dapat dilihat pada persamaan (1) dan ln

atas persamaan (1) menjadi persamaan (2), dengan:

………(1)

Dimana :

K = konstanta kecepatan reaksi

Ko = konstanta pre-eksponensial

Ea = Energi aktivasi (KJ/mol)

R = konstanta gas = 1.986 (kal/mol)

T = suhu mutlak (K)

………(2)

Gambar 2. Grafik antara nilai ln K dan 1/T dalam persamaan Arrhenius Ln K

-Ea/R

(41)

24 Nilai umur simpan dapat dihitung dengan memasukkan nilai perhitungan

ke dalam persamaan reaksi ordo nol atau satu. Menurut Labuza (1982), reaksi

kehilangan mutu pada makanan banyak dijelaskan oleh reaksi ordo nol dan satu,

sedikit yang dijelaskan oleh ordo reaksi lain.

a. Reaksi Orde Nol

Penurunan mutu orde nol adalah penurunan mutu yang konstan. Tipe kerusakan

yang mengikuti kinetika reaksi orde nol adalah kerusakan enzimatis, pencoklatan

enzimatis, dan oksidasi. Persamaannya adalah sebagai berikut:

………..………..(3)

Integrasi terhadap persamaan (3) akan menghasilkan persamaan (5) dan umur

simpan produk dapat dihitung dengan persamaan (6):

……….(4)

……….……….…….(5)

Pendugaan umur simpan berdasarkan reaksi orde nol adalah:

………(6)

Dimana :

At = nilai A pada awal waktu t

A0 = nilai awal A

K = laju perubahan mutu

t = waktu simpan

b. Reaksi Orde Satu

Tipe kerusakan bahan pangan yang mengikuti reaksi orde satu adalah ketengikan,

(42)

25 unggas, kerusakan vitamin, penurunan mutu protein, dan sebagainya. Persamaannya

adalah sebagai berikut:

...(7)

Integrasi terhadap persamaan (7) akan menghasilkan persamaan (9) dan umur

simpan dihitung berdasarkan persamaan (10):

………..(κ)

………..(9)

Pendugaan umur simpan berdasarkan reaksi orde satu adalah:

Gambar

Gambar 3. Diagram alir pembuatan permen jelly pepaya
Gambar 4. Diagram alir penelitian
Tabel 6. Persyaratan mutu permen jelly menurut SNI 02-3547-2008
Gambar 6. Perubahan kadar air permen jelly pepaya selama penyimpanan: (a)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari ketiga kemasan, dapat dilihat bahwa sebenarnya ketiga kemasan cukup baik menjaga kualitas warna buah pepaya, tetapi hanya kemasan stretch film (SF) yang

Pada Lampiran 14 dapat dilihat bahwa umur simpan keripik salak pada suhu ruang (25 0 C atau 298 K) berdasarkan laju peningkatan kadar asam lemak bebasnya, kemasan alumunium

Verifikasi perilaku daya berkecambah benih pepaya selama penyimpanan secara deskriptif menunjukkan adanya kesesuaian data hasil aktual dan dugaan (Gambar 2). Dari

Dari ketiga kemasan, dapat dilihat bahwa sebenarnya ketiga kemasan cukup baik menjaga kualitas warna buah pepaya, tetapi hanya kemasan stretch film (SF) yang

Verifikasi perilaku daya berkecambah benih pepaya selama penyimpanan secara deskriptif menunjukkan adanya kesesuaian data hasil aktual dan dugaan (Gambar 2). Dari

Perubahan nilai kekerasan permen jelly pepaya pada kemasan plastik PP, alumunium foil, dan gelas jar dengan suhu penyimpanan 5, 15, 25, dan 35˚C dapat dilihat pada

Kadar penambahan sari daun mint sebanyak 60 ml merupakan kadar tertinggi aktivitas antioksidan untuk produk permen jelly.. Produk permen jelly ini memiliki kadar

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbandingan sari pepaya dan sari kweni serta penambahan gelatin terhadap sifat fisik, kimia dan sensoris