• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK PRE-HEMODIALISIS DAN POST-HEMODIALISIS DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG DESEMBER 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBEDAAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK PRE-HEMODIALISIS DAN POST-HEMODIALISIS DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG DESEMBER 2012"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK PRE-HEMODIALISIS DAN POST-HEMODIALISIS DI

RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG DESEMBER 2012

(Skripsi)

Oleh

APRILIA ELISABET

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gagal Ginjal Kronis (GGK) merupakan keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel. Pada suatu derajat tertentu, penyakit ini membutuhkan terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).

(16)

GGK merupakan tahap akhir dari Penyakit Ginjal Kronik (PGK), dimana telah terjadi penurunan yang cukup drastis dari faal ekskresi dan faal endokrin ginjal. Terapi pengganti yang ideal adalah terapi yang dapat menggantikan kedua fungsi faal ini (Rahardjo dkk., 2009). Suhardjono, 2007 dalam Arifin, 2009 menyatakan bahwa penderita GGK dengan terapi pengganti ginjal di Indonesia mengalami peningkatan dengan insiden rata-rata pada tahun 2006 sebesar 30,7 % penduduk pertahun. Kondisi GGK ini memerlukan tindakan aktif berupa terapi pengganti fungsi ginjal yaitu hemodialisis, peritonial dialisis atau transplantasi ginjal untuk memperpanjang hidup penderita (McKenzie, 1999). Dari berbagai jenis terapi pengganti, salah satu terapi yang sering digunakan adalah hemodialisis (National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse, 2006).

Hemodialisis atau cuci darah adalah suatu terapi pengganti yang dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialyzer) yang fungsinya untuk menyaring darah dan membuang zat-zat toksik yang tidak diperlukan oleh tubuh (Raharjo dkk., 2009). Pasien GGK yang menjalani terapi hemodialisis dirawat di rumah sakit atau rawat jalan di unit hemodialisis. Sebagian besar pasien membutuhkan waktu 12-15 jam hemodialisis setiap minggunya yang dibagi menjadi 2 atau 3 sesi dimana setiap sesinya berlangsung selama 3-6 jam. Kegiatan ini akan berlangsung terus menerus seumur hidup, kecuali jika pasien menjalani transplantasi ginjal (Brunner dan Suddarth, 2005). Di Indonesia, hemodialisis dilakukan 2 kali seminggu dengan setiap hemodialisis dilakukan selama 5 jam (Rahadjo dkk., 2009).

(17)

komplikasi yang minimal (Roesma, 2009). Salah satu komplikasi yang sering terjadi adalah hipoglikemia yaitu keadaan di mana kadar glukosa darah dalam tubuh tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh tubuh yaitu kurang dari 70 mg/dl. Padahal, glukosa merupakan faktor utama dalam metabolisme tubuh dan keberadaannya sangat penting di dalam tubuh. Kekurangan glukosa yang cukup berat dapat menimbulkan disorientasi, gangguan kesadaran dan kejang. Keadaan ini disebut dengan syok hipoglikemik dan ini merupakan kasus gawat darurat yang memerlukan penanganan segera (American Diabetes Association, 2007). Sebuah penelitian di Brasil mengemukakan bahwa pemberian glukosa sebelum melakukan hemodialisis dapat mengurangi dampak hipoglikemia pada pasien (Burmeister, 2007).

Keadaan ini belum diketahui secara pasti apakah terjadi perubahan kadar glukosa darah antara pre-hemodialisis dan post-hemodialisis. Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar glukosa darah yang signifikan pada pasien yang menjalani terapi hemodialisis di Lampung, peneliti merasa perlu meneliti perbedaan kadar glukosa darah pre-hemodialisis dan post-pre-hemodialisis di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

B. Rumusan Masalah

GGK ditandai dengan adanya penurunan fungsi ginjal yang irreversible. Penurunan fungsi ginjal ini dapat menyebabkan banyak komplikasi, salah satunya hipoglikemia. Namun, penelitian yang sudah dilakukan berkaitan dengan gagal ginjal kronik dan hipoglikemia ini belum terlalu banyak di Indonesia. Dengan demikian, masalah penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada kadar glukosa darah pasien pre-hemodialisis dan post-hemodialisis di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung?

(18)

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan umum

Mengetahui perbedaan kadar glukosa darah yang bermakna klinis pada pasien pre-hemodialisis dan post-pre-hemodialisis di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui rerata kadar glukosa darah pasien pre-hemodialisis dan post-hemodialisis.

b. Mengetahui apakah terdapat penurunan kadar glukosa darah yang bermakna setelah proses hemodialisis.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Bagi peneliti, manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang glukosa darah dan hemodialisis.

2. Bagi masyarakat terutama pasien gagal ginjal kronik dapat mengetahui adanya pengaruh hemodialisis terhadap kadar glukosa darah pasien, sehingga pasien dapat mengatasi masalah yang terjadi akibat hemodialisis.

(19)

4. Bagi peneliti lain, hasis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data sekunder untuk penelitian berikutnya yang berhubungan dengan kadar glukosa darah dan hemodialisis.

E. Kerangka Teori

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel serta umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Klasifikasi PGK didasarkan pada 2 hal yaitu, derajat (stage) penyakit dan diagnosis etiologi. Pada PGK derajat lima yang juga disebut gagal ginjal kronik (Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) < 15 ml/menit/1,73m2) terjadi penurunan jumlah massa maupun fungsi ginjal sehingga terjadi akumulasi bahan-bahan toksik uremik dan penurunan fungsi hormonal (Suwitra, 2009).

Kondisi ini memerlukan tindakan aktif berupa terapi pengganti fungsi ginjal yaitu hemodialisis, peritonial dialisis atau transplantasi ginjal untuk memperpanjang hidup penderita. Walaupun tindakan ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, beberapa penderita tetap mengalami masalah medis saat pelaksanaan hemodialisis. Beberapa masalah medis yang bisa terjadi pada penderita yang mengalami hemodialisis seperti gangguan hemodinamik, gangguan koagulasi, gangguan pada sistem saraf dan lain-lain (Agustriadi, 2009).

(20)

Gambar 1. Kerangka Teori (Price dan William, 2006) Ginjal normal

Etiologi : - Kongenital - Penyakit Ginjal - Penyakit Metabolik - Obat-obatan

Pengurangan massa ginjal

Kompensasi ginjal terhadap beban kerja

ginjal

Penurunan fungsi nefron yang

progresif

Gagal Ginjal Kronik

Jaringan perifer tidak peka terhadap insulin

(21)

F. Kerangka konsep

Gambar 2. Kerangka Konsep

G. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

H0: Tidak terdapat perbedaan kadar glukosa darah pada pasien pre-hemodialisis dan post-hemodialisis

Ha : Terdapat perbedaan kadar glukosa darah pada pasien pre-hemodialisis dan post-hemodialisis

Hemodialisis Kadar glukosa darah

pre-hemodialisis

Pengeluaran Glukosa Darah ke Dialisat Gagal Ginjal Kronis

Perbedaan Kadar Glukosa darah

Pre-Hemodialisis dan Post-Hemodialisis

Kadar glukosa darah post-hemodialisis

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Ginjal

1. Anatomi Ginjal

(23)

Gambar 3. Letak Anatomi Ginjal (Sumber : Fisiologi Ginjal dan Cairan Tubuh, 2009)

(24)

2. Fisiologi Ginjal

Masing-masing ginjal manusia terdiri dari sekitar satu juta nefron yang masing-masing dari nefron tersebut memiliki tugas untuk membentuk urin. Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru, oleh sebab itu, pada trauma, penyakit ginjal, atau penuaan ginjal normal akan terjadi penurunan jumlah nefron secara bertahap. Setelah usia 40 tahun, jumlah nefron biasanya menurun setiap 10 tahun. Berkurangnya fungsi ini seharusnya tidak mengancam jiwa karena adanya proses adaptif tubuh terhadap penurunan fungsi faal ginjal (Sherwood, 2001).

(25)

Gambar 4. Ginjal dan nefron (Sumber : Fisiologi Ginjal dan Cairan Tubuh, 2009)

Kapiler-kapiler glomerulus dilapisi oleh sel-sel epitel dan seluruh glomerulus dilingkupi dengan kapsula Bowman. Cairan yang difiltrasi dari kapiler glomerulus masuk ke dalam kapsula Bowman dan kemudian masuk ke tubulus proksimal, yang terletak pada korteks ginjal. Dari tubulus proksimal kemudian dilanjutkan dengan ansa Henle (Loop of Henle). Pada ansa Henle terdapat bagian yang desenden dan asenden. Pada ujung cabang asenden tebal terdapat makula densa. Makula densa juga memiliki kemampuan kosong untuk mengatur fungsi nefron. Setelah itu dari tubulus distal, urin menuju tubulus rektus dan tubulus koligentes modular hingga urin mengalir melalui ujung papilla renalis dan kemudian bergabung membentuk struktur pelvis renalis (Berawi, 2009).

(26)

jantung untuk kembali diedarkan. Dari 180 liter plasma yang difiltrasi setiap hari, 178,5 liter diserap kembali, dengan 1,5 liter sisanya terus mengalir melalui pelvis renalis dan keluar sebagai urin. Secara umum, zat-zat yang masih diperlukan tubuh akan direabsorpsi kembali sedangkan yang sudah tidak diperlukan akan tetap bersama urin untuk dikeluarkan dari tubuh. Proses ketiga adalah sekresi tubulus yang mengacu pada perpindahan selektif zat-zat dari darah kapiler peritubulus ke lumen tubulus. Sekresi tubulus merupakan rute kedua bagi zat-zat dalam darah untuk masuk ke dalam tubulus ginjal. Cara pertama adalah dengan filtrasi glomerulus dimana hanya 20% dari plasma yang mengalir melewati kapsula Bowman, sisanya terus mengalir melalui arteriol eferen ke dalam kapiler peritubulus. Beberapa zat, mungkin secara diskriminatif dipindahkan dari plasma ke lumen tubulus melalui mekanisme sekresi tubulus. Melalui 3 proses dasar ginjal tersebut, terkumpullah urin yang siap untuk diekskresi (Sherwood, 2001).

(27)

adalah jauh lebih encer, dan urin menjadi bening. Sistem ini dikontrol oleh renin, suatu hormon yang diproduksi dalam ginjal yang merupakan sebagian daripada sistem regulasi cairan dan tekanan darah tubuh (Ganong, 2009).

B. Gagal Ginjal Kronik

1. Definisi

Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel serta umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Penderita gagal ginjal memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).

Gagal ginjal kronis (chronic renal failure) adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia. Uremia adalah suatu keadaan dimana urea dan limbah nitrogen lainnya beredar dalam darah yang merupakan komplikasi akibat tidak dilakukannya dialisis atau transplantasi ginjal (Nursalam,2006).

Gagal ginjal kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan kegagalan tubuh untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, sehingga menyebabkan uremia (Smeltzer dan Bare, 1997 dalam Suharyanto dan Madjid, 2009). GGK adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama atau lebih 3 bulan dengan LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2(Perhimpunan Nefrologi Indonesia, 2011).

2. Klasifikasi

Berdasarkan perjalanan klinis, gagal ginjal dapat dibagi menjadi 3 stadium (Price dan Wilson, 2006), yaitu :

(28)

Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dengan tes pemekatan urin dan tes LFG yang teliti.

b. Stadium II, dinamakan insufisiensi ginjal

Pada stadium ini dimana lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. LFG besarnya 25 % dari normal. Kadar BUN dan kreatinin serum mulai meningkat dari normal. Gejala-gejala nokturia atau sering berkemih di malam hari sampai 700 ml dan poliuria (akibat dari kegagalan pemekatan urin) mulai timbul.

c. Stadium III, dinamakan gagal ginjal stadium akhir atau uremia

Sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur atau rusak, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal. Kreatinin serum dan BUN akan meningkat dengan mencolok. Gejala-gejala yang timbul karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh, yaitu oliguri karena kegagalan glomerulus, sindrom uremik.

Berdasarkan dasar derajat penyakitnya, gagal ginjal kronis dapat diklasifikasikan menurut LFG dari pasien GGK seperti pada Tabel 1 .

Tabel 1. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1,75m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat

≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan

60–89 3 Kerusakan ginjal dengan LFG

menurun sedang

30–59

4 LFG menurun berat 15–29

5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

(Sumber : Ilmu Penyakit Dalam UI, 2009)

Perhitungan LFG dilakukan dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :

( 1,73 ) = (140 ) ×

(29)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi GGK juga dapat dibedakan berdasarkan etiologinya seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik Berdasarkan Etiologi

Klasifikasi Penyakit Penyakit

Penyakit infeksi dan peradangan Pielonefritis kronik Glomerulonefritis Penyakit vaskuler hipertesif Nefrosklerosis benigna

Nefrosklerosis maligna Stenosis arteri renalis Gangguan jaringan penyambung Lupus eritematosus sistemik

Poliartritis nodusa Sklerosis sistemik progresif Gangguan kongenital dan herediter Penyakit ginjal polikistik

Asidosis tubulus ginjal

Penyakit metabolik Diabetes Melitus

Gout Disease Hipertiroidisme Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesik

Nefropati timbal

Nefropati obstruksi Saluran kemih bagian atas : kalkuli, neoplasma, fibrosis retroperineal.

Saluran kemih bagian bawah : hipertropi prostat, striktur uretra, anomali leher kandung kemih dan

uretra. (Sumber : Suharyanto dan Madjid, 2009)

3. Epidemiologi

(30)

Indonesia akan terjadi peningkatan penderita gagal ginjal antara tahun 1995-2025 sebesar 41,4%.

4. Etiologi

[image:30.595.97.470.248.341.2]

Secara garis besar, Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) mengelompokkan etiologi gagal ginjal sebagai berikut.

Tabel 3. Etiologi Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia Tahun 2000

Etiologi Insidensi

Glomerulonefritis Diabetes melitus Obstruksi dan infeksi Hipertensi Penyakit lain 46,39% 18,65% 12,85% 8,46% 13,65% (Sumber : Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009)

Sedangkan, etiologi dari penyakit GGK sangat bervariasi seperti pada Tabel 4. Tabel 4. Etiologi Gagal Ginjal Kronik di Amerika Serikat tahun 1995 - 1999

Etiologi Insidensi

Diabetes melitus - Tipe 1 (7%) - Tipe 2 (37%)

Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar Glomerulonefritis

Nefritis interstitialis

Kista dan penyakit bawaan lain Penyakit sistemik (misalnya SLE) Neoplasma Idiopatik Penyakit lain 44% 27% 10% 4% 3% 2% 2% 4% 4% (Sumber : Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009)

5. Faktor Resiko

[image:30.595.94.469.396.578.2]
(31)

6. Patofisiologi

Patofisiologi GGK diawali dengan adanya PGK yang bersifat progresif. Patofisiologinya diawali dengan adanya etiologi yang mendasarinya, tetapi dalam proses selanjutnya perkembangan yang terjadi kurang lebih sama (Suwitra, 2009).

Terdapat dua pendekatan teoritis yang umumnya diajukan untuk menjelaskan gangguan fungsi ginjal pada GGK. Sudut pandang tradisional mengatakan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit, namun dalam stadium yang berbeda-beda dan bagian-bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi tertentu dapat saja benar-benar rusak atau berubah strukturnya. Misalnya, lesi organik pada medula akan merusak susunan anatomik pada lengkung Henle dan vasa rekta, atau pompa klorida pada parsascendenslengkung Henle yang akan mengganggu proses aliran balik pemekat dan aliran balik penukar. Pendekatan kedua dikenal dengan nama hipotesis Bricker atau hipotesis nefron yang utuh, yang berpendapat bahwa bila nefron terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan terjadi bila jumlah nefron sudah sangat berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi. Hipotesis nefron yang utuh ini sangat berguna untuk menjelaskan pola adaptasi fungsional pada penyakit ginjal progresif, yaitu kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit tubuh saat LFG sangat menurun.

(32)

melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron meskipun LFG untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal. Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75% massa nefron sudah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron tinggi sehingga keseimbangan glomerulus atau tubulus (keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus) tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun pada proses zat terlarut dan air menjadi berkurang. Sedikit perubahan pada makanan dapat mengubah keseimbangan yang rawan tersebut, karena makin rendah LFG (yang berarti makin sedikit nefron yang ada) semakin besar perubahan kecepatan ekskresi per nefron. Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan urin menyebabkan berat jenis urin menyebabkan nilai 1,010 atau 285 mOsm (yaitu sama dengan konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia (Sherwood, 2002).

7. Manifestasi Klinis

(33)

memiliki kecenderungan hilangnya garam pada ginjal seperti pada medullary cystic disease. Denyut nadi dan laju nafas cepat akibat dari anemia dan asidosis metabolik. Apabila ginjal dapat diraba, maka diduga polycystic disease. Pemeriksaan dengan oftalmoskop dapat menunjukkan adanya retinopati hipertensif atau diabetik retinopati. Perubahan pada kornea biasanya dihubungkan dengan penyakit metabolik seperti Fabry disease, cystinosis, danAlport hereditary nephritis(Vincenti, 2012).

8. Penegakan Diagnosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006).

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.

b. Pemeriksaan laboratorium

Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan faal ginjal, identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.

1) Pemeriksaan faal ginjal

Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal.

(34)

Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis.

3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit

Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal. c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang digunakan untuk memberi keyakinan akan diagnosis banding yang sudah ditetapkan. Pemeriksaan penunjang harus selektif dan sesuai dengan tujuannya, yaitu:

1) Diagnosis etiologi GGK

Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU)

2) Diagnosis pemburuk faal ginjal

Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan USG.

9. Penatalaksanaan a. Terapi konservatif

(35)

1) Peranan diet

Terapi diet rendah protein menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

2) Kebutuhan jumlah kalori

Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

3) Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.

4) Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

b. Terapi simtomatik 1) Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bikarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

2) Anemia

Transfusi darah misalnyaPacked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak (hipervolemik).

(36)

Anoreksia, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.

4) Kelainan kulit

Tindakan yang diberikan tergantung dengan jenis keluhan kulit. 5) Kelainan neuromuskular

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

6) Hipertensi

Pemberian obat-obatan anti hipertensi sesuai dengan keadaan pasien. 7) Kelainan sistem kardiovaskular

Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.

c. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada PGK stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).

1) Hemodialisis

(37)

termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan BUN > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia (kehilangan energi) berat (Sukandar, 2006).

Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2009).

2) Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, pasien dengan stroke, pasien gagal ginjal terminal (GGT) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006). 3) Transplantasi ginjal

(38)

a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah

b) Kualitas hidup normal kembali c) Masa hidup (survival rate) lebih lama

d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan

e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi (Suwitra, 2009)

C. Glukosa Darah

1. Definisi Glukosa

Glukosa yang merupakan suatu gula monosakarida adalah salah satu karbohidrat terpenting yang digunakan sebagai sumber tenaga utama dalam tubuh. Glukosa merupakan prekursor untuk sintesis semua karbohidrat lain di dalam tubuh seperti glikogen, ribosa dan deoksiribosa dalam asam nukleat, galaktosa dalam laktosa susu, dalam glikolipid, dan dalam glikoprotein dan proteoglikan (Mayes, 2003).

Didalam darah terdapat zat glukosa, glukosa ini gunanya untuk dibakar agar mendapatkan kalori atau energi. Sebagian glukosa yang ada dalam darah adalah hasil penyerapan dari usus dan sebagian lagi dari hasil pemecahan simpanan energi dalam jaringan. Glukosa yang ada di usus bisa berasal dari glukosa yang kita makan atau bisa juga hasil pemecahan zat tepung yang kita makan dari nasi, ubi, jagung, kentang, roti atau dari yang lain (Djojodibroto, 2001).

(39)

Kadar glukosa darah adalah istilah yang mengacu kepada tingkat glukosa di dalam darah. Konsentrasi glukosa darah, atau tingkat glukosa serum, diatur dengan ketat di dalam tubuh. Umumnya tingkat glukosa darah bertahan pada batas-batas yang sempit sepanjang hari (70-150 mg/dl). Tingkat ini meningkat setelah makan dan biasanya berada pada level terendah pada pagi hari, sebelum orang makan. Ada beberapa tipe pemeriksaan glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah puasa adalah dengan mengukur kadar glukosa darah selepas tidak makan setidaknya 8 jam. Pemeriksaan glukosa darah postprandial 2 jam yaitu mengukur kadar glukosa darah tepat selepas 2 jam makan. Pemeriksaan glukosa darah sewaktu yaitu mengukur kadar glukosa darah tanpa melihat waktu makan terakhir (Kee, 1997).

3. Kelainan Kadar Glukosa Darah

(40)

D. Hemodialisis

1. Definisi

Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan hemodialisis adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto dan Madjid, 2009).

Hemodialisis sebagai terapi yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia. Hemodialisis merupakan metode pengobatan yang sudah dipakai secara luas dan rutin dalam program penanggulangan gagal ginjal akut maupun GGK. Sehelai membran sintetik yang semipermiable menggantikan glomerulus serta tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya itu bagi penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisis tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal (Smeltzer, 2001).

2. Tujuan Hemodialisis

(41)

3. Prinsip Kerja Hemodialisis

Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan toksin dan nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialyzertempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besardialyzermerupakan lempengan rata atau ginjal serat artificial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus dan bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membrane semipermeabel tubulus (Brunner dan Suddarth, 2002).

Gambar 5. Proses Hemodialisis (Sumber : Treatment Methods for Kidney Failure, National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse, 2006)

[image:41.595.107.466.348.606.2]
(42)
[image:42.595.250.388.126.336.2]

dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal (Suharyanto dan Madjid, 2009).

Gambar 6. Dialyzer (Sumber : Treatment Methods for Kidney Failure, National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse, 2006)

Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, dengan kata lain, air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal dengan ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan pengisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air. Karena pasien tidak dapat mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia atau keseimbangan cairan (Smeltzer, 2001).

4. Komplikasi Hemodialisis

Komplikasi terapi hemodialisis sendiri dapat mencakup hal-hal berikut:

(43)

c. Hipoglikemia juga dapat terjadi akibat kurangnya glukosa dalam darah.

d. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.

e. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh.

f. Pruritus dapat terjadi selama terapi hemodialisis ketika produk akhir metabolisme meninggalkan kulit.

g. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini kemungkinan terjadi lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat.

h. Spasme otot yang disertai nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan ruang ekstrasel.

i. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.

Menurut Knoll, komplikasi dialisis yaitu hipoglikemia (fatal/non fatal), ketoasidosis, dan kematian.

Gambar 7. Komplikasi Hemodialisis (Sumber : Dialysis, Kidney Transplantation, or Pancreas Transplantation for Patients with Diabetes Mellitus and Renal Failure: A Decision Analysis of Treatment Options, 2003)

[image:43.595.109.462.493.631.2]
(44)
(45)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan menggunakan rancangan penelitiancross sectional.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung. Pengambilan sampel dilakukan di Ruang Hemodialisis Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung.

2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2012.

(46)

1. Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian ditentukan dengan cara non-probability samplingyaituconsecutive sampling dimana semua subyek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi.

3. Estimasi Besar Sampel

Untuk menentukan jumlah sampel terhadap rerata dua populasi berpasangan digunakan rumus sebagai berikut :

= ( + )

zα = Nilai standar normal yang merupakan besarnya peluang untuk menolak atau

menerima H0, bergantung pada besarnya kesalahan tipe I (α = 0,05) sehingga Zα = 1,960

zβ = Nilai standar normal yang merupakan besarnya peluang untuk menerima H0

padahal populasi H0 harus ditolak (negatif semu), bergantung pada power dari penelitian (1-β)

sd= simpang baku rerata selisih (dari pustaka)

d = selisih rerata kedua kelompok bermakna (clinical judgement) (Sostroasmoro, 2007)

Ditentukan α = 0,05, dan β = 0,20, sehingga zα= 1,960 dan zβ= 0,842, sehingga besar

sampel,

= ( + )

(47)

= 38

Besar sampel yang diambil adalah 38 orang ditambah dengan kemungkinan terjadinya Drop out(10%) sehingga ditentukan dengan rumus,

=

(1 )

= 38

(1 0,10)

= 42

Maka, sampel yang diambil adalah sebesar 42 orang.

D. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah semua pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

E. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Pasien yang tidak bersedia menjadi responden.

(48)

3. Pasien mengonsumsi makanan dan minuman yang mengandung glukosa selama hemodialisis berlangsung.

4. Pasien tidak mengikuti proses hemodialisis dengan sempurna (minimal 4 jam).

F. Variabel Penelitian

Variabel bebas dari penelitian ini adalah pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung, sedangkan variabel terikatnya adalah kadar glukosa darah pre-hemodialisis dan post-hemodialisis.

G. Defenisi Operasional

[image:48.595.92.484.540.764.2]

Definisi yang harus diketahui dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Tabel 5. Definisi Operasional

Variabel Definisi Hasil Ukur Skala Ukur

Pasien GGK Penderita gagal ginjal kronik adalah penderita gagal ginjal kronik yang menjalani proses hemodialisis di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung

Kadar Glukosa Darah Pre-Hemodialisis dan Post-Hemodialisis

Kadar glukosa darah adalah kadar glukosa yang berada di dalam darah yang kadarnya diukur sebelum dan setelah hemodialisis

menggunakan alat analisa

Kadar Glukosa Darah Sewaktu Rendah <70mg/dl

Normal

70-200mg/dl

Tinggi >200mg/dl

(Price dan

(49)

otomatis glukosa darah Cobas® dengan metode Heksokinase.

Wilson, 2006)

H. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah : a. Spuit 3cc

b. Alat analisa glukosa darah Cobas® c. Tabung reaksi

d. Sentrifus

2. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah vena pasien gagal ginjal kronik pre-hemodialisis dan post-hemodialisis.

I. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mencari subjek yang sesuai dengan kriteria pemilihan.

2. Meminta kesediaan subjek untuk mengikuti penelitian dengan memberikan lembar persetujuan (Inform concent)

(50)

Pengambilan darah dilakukan menggunakan spuit dengan mengambil darah melalui selang yang digunakan untuk proses hemodialisis. Pengambilan darah dilakukan sebelum dan sesudah hemodialisis sebanyak ± 3cc. Setelah darah diambil, darah dikirim ke laboratorium Patologi Klinik untuk diperiksa.

4. Pemisahan Serum atau Plasma

Sebelum dilakukan pemeriksaan glukosa darah dilakukan sentrifugasi darah 5000rpm selama ± 5 menit. Setelah terbentuk endapan, serum diambil untuk diperiksa dengan analisis Cobas®.

5. Pemeriksaan Glukosa Darah

Metode : Heksokinase dengan menggunakan alat analisis Cobas®

Prinsip : Glukosa darah ditentukan setelah terdapat reaksi enzimatis dengan adanya glukosa heksokinase. Glukosa 6-fosfat terbentuk dan kemudian bereaksi dengan glukosa 6-fosfat dehidrogenase menjadi 6-fosfat glukonat dan NADPH yang kadarnya dapat ditentukan dengan fotometri.

heksokinase

Glukosa glukosa 6-fosfat

ATP

dehidrogenase

Glukosa 6-fosfat 6-fosfat glukonate + NADPH NADP

(Purwanto, 1999) 6. Setelah pasien mendapatkan terapi hemodialisis, glukosa darah pasien diperiksa kembali, dengan mengambil darah vena pasien melalui selang hemodialisis sekitar 3 cc. Kemudian, dengan cara yang sama, glukosa diperiksa kembali untuk menentukan kadar glukosa darah post-hemodialisis.

(51)

J. Pengumpulan data

Data yang dikumpulkan berasal dari data primer. Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah metode heksokinase pada alat analisis glukosa darah Cobas® dengan menggunakan sampel darah sewaktu pre-hemodialisis dan post-hemodialisis.

K. Analisis Data

Data yang telah diperoleh dimasukkan kedalam komputer dan dilakukan analisis data dengan menggunakan sistem SPSS versi 18.

Analisis data yang digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar glukosa darah pre-hemodialisis dan post-hemodialisis pada pasien gagal ginjal kronik. Perbandingan hubungan antara kedua kelompok diuji dengan uji statistik T berpasangan. Uji statistik T berpasangan dapat dilakukan dengan prinsip sebagai berikut:

1. Distribusi data harus normal

2. Nilai kepercayaan peneliti terhadap penelitian adalah 95% 3. Nilai p yang signifikan adalah kurang dari 0,05

(52)
(53)

1

DAFTAR PUSTAKA

Agustriadi, O., Suwitra, K., Widiana, G. R., Sudhana, W., Loekman, J. S., Kandarini, Y. 2009. Hubungan antara Perubahan Volume Darah Relatif dengan Episode Hipotensi Intradialik selama Hemodialisis pada Gagal Ginjal Kronik.J Peny Dalam; 10: 2

American Diabetes Association. 2007. Standards of medical care in diabetes. Diabetes Care 2007;30:S4–S41

Antonios, H., Tzamaloukas, H., Friedman, E. A. Diabetes. 2007. Handbook of Dialysis;3:453-465.

Arifin, A. 2009. Data Pasien Hemodialisis Instalasi Hemodialisis RSUD Ulin Banjarmasin. Diunduh tanggal 31 Agustus 2009

Berawi, K.N. 2009.Fisiologi Ginjal dan Cairan Tubuh. Edisi 2. Bandar Lampung : Penerbit Universitas Lampung

Brunner & Suddarth. (2001).Keperawatan Medikal Bedahed.8. Jakarta: EGC. Burmeister, J. E., Scapini, A., Miltersteiner, D. R., da Costa, M. G., Campos, B.

M. 2007. Glucose-added dialysis fluid prevents asymptomatic hypoglycaemia in regular haemodialysis.Nephrol Dial Transplant2007; 22: 11841189

Coresh, J., Selvin, E., Stevens, L.A., Manzi, J., Kusek, J.W., Eggers, P., van Lente, F., Levey, A.S. 2007. Prevalence of chronic kidney disease in the United States. JAMA;298: 20382047

Dahlan, M. S. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan: Deskriptif, Bivariat dan Multivariat, Dilengkapi Aplikasi dengan Menggunakan SPSS. Jakarta: Salemba Medika

Dikow, R., Ritz, E. 2005.Hemodialysis and CAPD in Type 1 and Type 2 Diabetic Patients with Endstage Renal Failure. The Kidney and Hypertension in Diabetes Mellitus;6:703-723

(54)

2

Foss, M. C., Gouveia, L. M., Moyses, N. M., Paccola, G. M., Piccinato, C. E. 1996. Effect of hemodialysis on peripheral glucose metabolism of patients with chronic renal failure.J Nephron73: 48–53

Ganong, W.F. 2002.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 20. Jakarta: EGC. Havens, L., Terra, R. P. 2005. Hemodialysis. Available from:

http//www.kidneyatlas.org

Jackson, M. A., Holland, M. R., Nicholas, J., Lodwick, R., Foster, D., MacDonald, I. A. 2000. Hemodialysis-induced hypoglycemia in diabetic patients.Clin Nephrol54: 3034

Kee, J. L. 1997. Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik dengan Implikasi Keperawatan. Jakarta: EGC

Knoll, G. A., Nichol, G. 2003. Dialysis, Kidney Transplantation, or Pancreas Transplantation for Patients with Diabetes Mellitus and Renal Failure: A Decision Analysis of Treatment Options.J Am Soc Nephrol14: 500515 Leunissen, K.L.M. 2000. Hypotension and ultrafiltration physiology in dialysis.

Blood Purif; 18: 251-4

Moore, K. L. 2002.Anatomi Klinis Dasar. Jakarta : Hipokrates.p125-8

Mackenzie, H.S., Brenner, B.M. 1999. Chronic renal failure and its systemic manifestation. In: Brady HR, Wilcox CS, editors. Therapy in nephrology and hypertension. Philadelphia: WB Saundres; p.463-73.

Mayes, P. A. 2003. Karbohidrat yang Memiliki Makna Fisiologis. Murray, R. K., Granner, D. K., Mayes, P. A., Rodwell, V. W. 2003. Biokimia Harper. Jakarta: EGC

Nabyl, R. A. 2009. Cara Mudah Mencegah dan Mengobati Diabetes Melitus. Yogyakarta: Aulia Publishing.

National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse. 2006. Treatment Methods for Kidney Failure Hemodialysis. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases NIH Publication; 7–4666 National Kidney Foundation I. 2001. Kidney-Dialysis Outcome Quality Initiative.

K/DOQI clinical practice guidelines : anemia.Am J Kidney Dis2001; 37 Nursalam. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem

(55)

3

Ogrizovic, S., Backus, G., Mayer, A., Vienken, J., DjUkanovic, L., Kleophas, W. 2001. The influence of different glucose concentration in haemodialysis solution on metabolism and blood pressure stability in diabetic patients. Int J Artif Organs; 24: 863869

Parsaw F, Stewart W. The composition of dialysis fluid. In: Drucker WM, Parsons FM, Maher JF, eds. Replacement of Renal Function by Dialysis A Textbook of Dialysis. Martinus Nijhoff, Boston, MA: 1983;148170

Perhimpunan Nefrologi Indonesia. 2011. Pengkajian Status Besi dan Terapi Besi. Konsensus Manajemen Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik. Ed II.: 11-16 Rahardjo, P., Susalit, S., Suhardjono. 2009. Hemodialisis. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Dalam: Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. Edisi V, Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.p.1050-1052.

Rasjidi, I. 2008. Panduan Pelayanan Medik: Model Interdisiplin Penatalaksanaan Kanker Serviks dengan Gangguan Ginjal. Jakarta: EGC Roesma, J. 2009. Penyakit Ginjal dan Kehamilan. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Dalam: Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. Edisi V, Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;p.1033-4.

Sherwood, L. 2001.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.p462-8

Simic-Ogrizovic, S., Backus, G., Mayer, A., Vienken, J., DjUkanovic, L., Kleophas, W. The influence of different glucose concentration in haemodialysis solution on metabolism and blood pressure stability in diabetic patients.Int J Artif Organs2001; 24: 863869

Smeltzer, S. C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 1. Jakarta: EGC

Snell, R. S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC

Sostroasmoro, S., Ismael, S. 2010. Dasar dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto

Suharyanto, A., Madjid. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Trans Info Media. Jakarta.

(56)

4

Suwitra, K. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. Edisi V, Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.p.1035-1040.

Takahashi, A., Kubota, T., Shibahara, N. 2004. The mechanism of hypoglycemia caused by hemodialysis.Clin Nephrol; 62: 362368

United States Renal Data System. 2007.USRDS 2007 annual data report: atlas of chronic kidney disease and end-stage renal disease in the United States [article online] Available from http://www.usrds.org/adr.htm.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Teori (Price dan William, 2006)
Gambar 2. Kerangka Konsep
Gambar 3. Letak Anatomi Ginjal (Sumber : Fisiologi Ginjal dan Cairan Tubuh, 2009)
Tabel 1. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
+7

Referensi

Dokumen terkait

Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu kerusakan pada struktur atau fungsi ginjal yang berlangsung ≥ 3 bulan dengan atau tanpa disertai penurunan glomerular filtration rate

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang didapat dari jumlah hitung sel neutrofil pre dan post hemodialisis untuk mengetahui kadar neutrofil

PERBEDAAN KADAR MONOSIT PRE DAN POST HEMODIALISIS PADA PASIEN END STAGE RENAL DISEASE (ESRD) DI RSUD Dr.. ABDUL MOELOEK

Nilai positif artinya ada hubungan searah, yaitu semakin berat IDWG semakin tinggi tekanan darah pre hemodialisa pada penderita gagal ginjal kronik dengan yang

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui sejauh mana efektivitas Dialiser Proses Ulang (DPU) terhadap penurunan kadar ureum darah pasien yang menjalani terapi hemodialisis