• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak Pidana Kelalaian Berlalu Lintas Yang Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tindak Pidana Kelalaian Berlalu Lintas Yang Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS)"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2014 SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

MEIRITA PAKPAHAN 100200297

Departemen Hukum Pidana

(2)

TINDAK PIDANA KELALAIAN BERLALU LINTAS YANG MENYEBABKAN ORANG LAIN MENINGGAL DUNIA YANG

DILAKUKAN OLEH ANAK

(STUDI PUTUSAN NOMOR: 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS) S K R I P S I

Ditujukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Melengkapi Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

MEIRITA PAKPAHAN 100200297

Departemen Hukum Pidana Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

(Dr. M. Hamdan, S.H., M.H.) NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Liza Erwina, S.H.,M.Hum) (Dr. Mohammad Ekaputra, S.H, M.Hum) NIP. : 196110241989032002 NIP. : 197110051998011001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2014

(3)

ABSTRAKSI Meirita Pakpahan * Liza Erwina, S.H., M.Hum**

Dr. Mohammad Ekaputra, S.H., M.Hum***

Skripsi ini berbicara mengenai kelalaian berlalu lintas yang menyebabkan kematian orang lain yang dilakukan oleh anak. Tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh anak menunjukkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Kecelakaan merupakan sebuah kelalaian, dan kelalaian merupakan tindak pidana yang tentunya menuntut pertanggung jawaban. Kecelakaan seharusnya dapat dihindarkan dari anak. Usia mereka yang belum cukup umur sesuai ketentuan, tidak memenuhi persyaratan untuk dapat memperoleh Surat Izin Mengemudi (SIM). Kebutuhan terhadap alat transportasi mendorong anak melakukan pelanggaran yang pada akhirnya memungkinkan untuk terjadinya kecelakaan. Oleh karena itu, penelitian tentang kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh anak dan upaya penanggulangannya terus dikembangkan untuk menekan angka kecelakaan yang semakin tinggi.

Permasalahan dari penulisan skripsi ini adalah tentang bagaimana ketentuan pidana yang relevan mengatur tentang kelalaian berlalu lintas yang menyebabkan kematian orang lain yang dilakukan oleh anak, faktor-faktor apakah yang dapat menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh anak, dan bagaimana pertanggungjawaban tindak pidana kelalaian berlalu lintas yang dilakukan oleh anak. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dan empiris dengan metode pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan mewawancarai instansi pemerintah terkait yang dapat membantu memecahkan permasalahan dalam skripsi ini.

Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas adalah kelalaian pengguna jalan, ketidaklaiakan kendaraan, ketidaklaiakan jalan dan lingkungan/geografis (alam) suatu wilayah. Faktor dominan penyebab kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Kota Medan adalah disebabkan karena sikap pengemudi yang tidak tertib. Selanjutnya untuk mengurangi angka kecelakaan maka dapat dilakukan penanggulangan secara prefentif dan represif.

Pertanggungjawaban tindak pidana kelalaian berlalu lintas yang menyebabkan kematian orang lain yang dilakukan oleh anak harus memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Harus dilakukan pula evaluasi substansi hukum terhadap Pasal 235 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengenai perdamaian yang tidak menggugurkan penuntutan.

* Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara.

** Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. *** Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas kasih dan anugerah-Nyalah, yang telah memberikan kesehatan, kekuatan, dan ketekunan kepada penulis, sehingga mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini adalah salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari terdapatnya kekurangan, namun demikian dengan senang hati penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.

Demi terwujudnya penyelesaian dan penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah tulus dan ikhlas dalam memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. sebagai Dekan Fakultas Hukum USU.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H., M.Hum. sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan S.H., M.Hum., D.F.M. sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU.

(5)

4. Bapak O. K. Saidin S.H., M.Hum. sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU.

5. Bapak Dr. M. Hamdan S.H., M.Hum sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.

6. Ibu Liza Erwina S.H., M.Hum. sebagai Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU dan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penyusunan dan penulisan skripsi.

7. Bapak Dr. Mohammad Ekaputra S.H.,M.Hum sebagai Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu, memberikan ilmunya serta mengarahkan penulis dalam penyusunan dan penulisan skripsi baik materi maupu n moril. 8. Bapak Dosen Pembimbing Akademik, Dr. Edy Yunara S.H., M.Hum yang

telah memberikan pengarahan selama mengikuti perkuliahan.

9. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

10.Seluruh staf administrasi dan pegawai pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu dalam hal administrasi.

11.Yang teristimewa, kedua orang tuaku, Benyamin Partogi Pakpahan, S.H dan Saima Lasputri Harefa, yang telah mengasuh dan membesarkan penulis dengan cinta, mendidik dalam kasih, memberikan dukungan baik materil maupun moril supaya semangat dan tidak pantang menyerah, bahkan

(6)

menemani dan tiada hentinya mendoakan penulis. Mereka adalah anugerah yang luar biasa yang diberikan Tuhan kepada penulis.

12.Adikku tersayang, Teresia Pakpahan dan Josua Ferdinan Pakpahan, yang selalu menyayangi, mendukung, membantu serta memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

13. Keluarga besar KMK USU UP FH yang telah mendoakan dan membangun motivasi penulis. Setiap orang di dalamnya sangat mendukung pembentukan karakter penulis. Terkhusus kelompok kecil Rogate (Ruth Sonya O. Siahaan, Christina D. Manalu, dan Merty Pasaribu), yang telah menjadi sahabat sekaligus saudari. Bernyanyi bersama, berdoa, sekutu, dan sehati, pertemuan kita bukanlah suatu kebetulan tetapi memang sudah dirancang Tuhan kita, Yesus Kristus. Biarlah persekutuan yang indah itu terus kita pelihara. Teristimewa kelompok kecil Rejoicing in hope (Reihope) yang merupakan beautiful fine ladies (Bettiteresya Perangin-angin, Jesica Rulina Sinaga, Febriyani Helena Panjaitan, dan Ruth Nelta Tambunan), kalian juga adalah anugerah terindah yang Tuhan beri kepadaku. Harapan kakak, kalian tetap rukun dan saling memperhatikan, tetaplah bersekutu dan setia satu sama lainnya.

14.Keluarga besar HKBP Binjai Weyk Timbang Langkat yang telah mendoakan dan dorongan untuk terus semangat mengerjakan skripsi ini.

15.Keluarga besar KPS FH USU terimakasih untuk untuk hari-harinya dan pengkaderannya. Terkhusus pengalaman berkompetisi bersama delegasi MCC

(7)

Udayana 2012 dan MCC Undip 2013 sungguh pengalaman yang tidak bisa dilupakan.

16.Keluarga besar PERMAHI Medan yang telah mengkader penulis.

17.Sahabat yang senantiasa mendukung, Lowria L. Napitupulu dan Swanti N. Siboro, kebersamaan kita selama ini tidak akan pernah kulupakan, hari-hari penuh kegilaan, tawa, tangis, senyum, dan lawak.

18.Orang-orang yang telah banyak membantu penulis baik selama perkuliahan maupun selama penulisan skripsi termasuk para narasumber Brigadir Fhirisman, S.H., Aipda D. Panggabean, dan AKP. L. Marpaung.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi kita semua serta memberikan gambaran dan dapat menambah wawasan tentang permasalahan yang penulis bahas serta dapat menambah referensi bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Medan, 24 April 2014 Hormat Penulis

(Meirita Pakpahan)

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN

ABSTRAKSI ……….. i

KATA PENGANTAR ………... ii

DAFTAR ISI ……….. vi

DAFTAR TABEL ………... ix

BAB I : PENDAHULUAN ……….……….. 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Perumusan Masalah ………. 7

C. Tinjauan dan Manfaat Penulisan ………. 8

D. Keaslian Penulisan ……….. 10

E. Tinjauan Pustaka……… 11

1. Pengertian Tindak Pidana ……… 11

2. Pengertian Kelalaian ……… 15

3. Pengertian Lalu Lintas ………. 18

4. Pengertian Anak ……….. 21

F. Metode Penelitian ……… 24

G. Sistematika Penulisan ……….. 29

BAB II : KETENTUAN PIDANA YANG RELEVAN MENGATUR TENTANG KELALAIAN BERLALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN ORANG LAIN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK ………..…………. 32

A. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan ………. 32

(9)

B. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ……….. 44

C. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak ………... 45

D. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ……….………. 51

BAB III : FAKTOR-FAKTOR YANG DAPAT MENJADI PENYEBAB KECELAKAAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK ... 57

A. Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas yang Dilakukan oleh Anak ………... 57

1. Faktor Manusia ……….. 59

2. Faktor Kendaraan ……….. 69

3. Faktor Jalan ……….... 73

4. Faktor Lingkungan/geografis (alam) suatu wilayah ………. 76

B. Upaya Penanggulangan Kecelakaan Lalu Lintas yang Dilakukan oleh Anak ……….. 78

BAB IV : PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA KELALAIAN BERLALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN ORANG LAIN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI PUTUSAN NOMOR 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS) ……. 85

A. Kronologi Kasus ………... 85

B. Dakwaan ………. 86

C. Tuntutan ……….. 87

D. Pertimbangan Hakim ……….. 88

(10)

E. Putusan ……… 92 F. Analisis Terhadap Putusan Nomor

579/Pid.Sus/2013/PN.DPS ……….

BAB V : PENUTUP ……… 101

A. Kesimpulan ………. 101 B. Saran ……… 102

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Term Series Jumlah Korban Kecelakaan Lalu Lintas Dan

Kerugian Materi Di Kota Medan ………. 58 Tabel 2 : Kecelakaan Lalu Lintas Yang Disebabkan Kelalaian

Pengemudi Di Sumut ……..………. 66 Tabel 3 : Kecelakaan Lalu Lintas Yang Disebabkan Kelalaian

Pengemudi Di Kota Medan ……….. 67 Tabel 4 : Kecelakaan Lalu Lintas Yang Disebabkan Ketidaklaiakan

Kendaraan Di Sumut …….……….. 70 Tabel 5 : Kecelakaan Lalu Lintas Yang Disebabkan Ketidaklaiakan

Kendaraan Di Kota Medan .……….……. 71 Tabel 6 : Kecelakaan Lalu Lintas Yang Disebabkan Ketidaklaiakan

Jalan Di Sumut ………...………... 74 Tabel 7 : Kecelakaan Lalu Lintas Yang Disebabkan Ketidaklaiakan

Jalan Di Kota Medan …...…..……….. 75 Tabel 8 : Kecelakaan Lalu Lintas Yang Disebabkan Faktor Alam

Di Sumut………...……… 76 Tabel 9 : Kecelakaan Lalu Lintas Yang Disebabkan Faktor Alam

Di Kota Medan ………...………. . 77

(12)

ABSTRAKSI Meirita Pakpahan * Liza Erwina, S.H., M.Hum**

Dr. Mohammad Ekaputra, S.H., M.Hum***

Skripsi ini berbicara mengenai kelalaian berlalu lintas yang menyebabkan kematian orang lain yang dilakukan oleh anak. Tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh anak menunjukkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Kecelakaan merupakan sebuah kelalaian, dan kelalaian merupakan tindak pidana yang tentunya menuntut pertanggung jawaban. Kecelakaan seharusnya dapat dihindarkan dari anak. Usia mereka yang belum cukup umur sesuai ketentuan, tidak memenuhi persyaratan untuk dapat memperoleh Surat Izin Mengemudi (SIM). Kebutuhan terhadap alat transportasi mendorong anak melakukan pelanggaran yang pada akhirnya memungkinkan untuk terjadinya kecelakaan. Oleh karena itu, penelitian tentang kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh anak dan upaya penanggulangannya terus dikembangkan untuk menekan angka kecelakaan yang semakin tinggi.

Permasalahan dari penulisan skripsi ini adalah tentang bagaimana ketentuan pidana yang relevan mengatur tentang kelalaian berlalu lintas yang menyebabkan kematian orang lain yang dilakukan oleh anak, faktor-faktor apakah yang dapat menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh anak, dan bagaimana pertanggungjawaban tindak pidana kelalaian berlalu lintas yang dilakukan oleh anak. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dan empiris dengan metode pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan mewawancarai instansi pemerintah terkait yang dapat membantu memecahkan permasalahan dalam skripsi ini.

Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas adalah kelalaian pengguna jalan, ketidaklaiakan kendaraan, ketidaklaiakan jalan dan lingkungan/geografis (alam) suatu wilayah. Faktor dominan penyebab kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Kota Medan adalah disebabkan karena sikap pengemudi yang tidak tertib. Selanjutnya untuk mengurangi angka kecelakaan maka dapat dilakukan penanggulangan secara prefentif dan represif.

Pertanggungjawaban tindak pidana kelalaian berlalu lintas yang menyebabkan kematian orang lain yang dilakukan oleh anak harus memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Harus dilakukan pula evaluasi substansi hukum terhadap Pasal 235 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengenai perdamaian yang tidak menggugurkan penuntutan.

* Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara.

** Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. *** Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(13)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transportasi merupakan sarana yang digunakan masyarakat untuk melakukan aktifitasnya. Seiring dengan berkembangnya zaman, maka semakin banyak pula alat transportasi yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan, dari berbagai macam sarana transportasi yang ada, seperti transportasi laut, udara, dan darat, transportasi darat merupakan transportasi yang dominan digunakan oleh masyarakat. Hal tersebut dikarenakan sarana transportasi darat lebih mendukung mobilitas orang serta barang. Sarana transportasi darat memegang peranan yang sangat penting dalam memperlancar pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, lalu lintas dan angkutan jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara. Lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1

1

Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(14)

Sejak beberapa tahun terakhir bahkan sudah menjadi hal yang biasa kita melihat anak mengemudikan kendaraan bermotor di jalan raya. Dimana-mana, khususnya di kota-kota besar, kendaraan sudah menjadi kebutuhan bagi anak. Anak sudah mulai mengendarai kendaraan untuk pergi ke sekolah, ke tempat bimbingan belajar, dan ke tempat-tempat umum lainnya.

Masalah lalu lintas merupakan salah satu masalah yang berskala nasional yang berkembang seirama dengan perkembangan masyarakat. Pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor berkembang dengan sangat pesat tetapi apabila tidak diimbangi panjang jalan yang memadai, keterampilan berkendara, dan disiplin berlalu lintas bagi pengemudi kendaraan bermotor dan pengguna jalan lainnya maka akan menambah masalah dalam bidang lalu lintas. Tingginya pelanggaran lalu lintas dan tingkat kecelakaan lalu lintas menunjukkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Berkaitan dengan itu masalah yang kita hadapi dewasa ini adalah tingginya angka kecelakaan lalu lintas di jalan raya, terutama di kota-kota besar yang mana pergerakan arus kendaraannya sangat padat.

Data WHO tahun 2011 menyebutkan, terdapat sekitar 400.000 korban di bawah usia 25 tahun yang meninggal di jalan raya akibat kecelakaan lalu lintas, dengan rata-rata angka kematian 1.000 anak-anak dan remaja setiap harinya. Bahkan, kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab utama kematian anak-anak di dunia, dengan rentang usia 10-24 tahun.2

(15)

Menurut data Direktorat Lalu Lintas Polda Metropolitan Jakarta Raya, sepanjang tahun 2010 angka kecelakaan sepeda motor mencapai 7.806 kejadian. Celakanya, dari angka itu 10% anak menjadi korban atau sebanyak 780 anak. Data ini baru wilayah Jakarta dan sekitarnya. Itupun korban yang dilaporkan secara resmi dan bila ditambah angka tak resmi bisa melebihi perhitungan itu.3

Dari berbagai kejadian kecelakaan dapat diketahui bahwa salah satu faktor kelelahan dan kurang berhati-hatinya pengemudi adalah pemicu kecelakaan. Faktor manusia merupakan penyebab utama terjadinya kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Hal tersebut terjadi karena adanya kelalaian atau kealpaan pengemudi khusunya anak dalam mengemudikan kendaraannya.4

Kasus kecelakaan berikut merupakan kasus yang marak diperbincangkan di berbagai media massa yang mana mengakibatkan banyak korban meninggal dunia. Kasus kecelakaan ini terjadi pada hari Minggu, 8 September 2013 sekitar pukul 01.45 WIB oleh AQJ alias Dul yang mengemudikan mobil Mitsubitshi Lancer B 80 SAL menabrak mobil Daihatsu Gran Max B 1349 TEN, dan Toyota Avanza B 1882UZJ di Tol Jagorawi KM 8 arah selatan dan mengakibatkan tujuh orang meninggal dunia dan belasan orang mengalami luka termasuk Dul dan

Kelalaian tersebut tidak jarang menimbulkan korban, baik korban menderita luka ringan, luka berat atau meninggal dunia bahkan tidak jarang merenggut jiwa pengemudinya sendiri.

diakses tanggal 12 Februari 2014, pukul 22.03 WIB

4

(16)

Noval, teman yang bersamanya di mobil. Pengemudi, Dul mengemudikan mobil tersebut tanpa memiliki Surat Izin Mengemudi.5

Data Kepolisian Republik Indonesia menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2010, jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia sebanyak 31.234 jiwa dengan kerugian ekonomi yang diderita akibat kecelakaan yang menelan korban jiwa mencapai Rp35,8 triliun.

Di Indonesia pengaturan tentang lalu lintas dan angkutan jalan secara nasional diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-undang ini menjadai dasar dan pedoman dalam penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas. Ketentuan mengenai pidana terhadap pengemudi dalam kecelakaaan lalu lintas secara jelas telah diatur dalam undang-undang tersebut.

6

Pada tahun 2013, terdapat 93.578 kasus Lakalantas dengan korban meninggal dunia sebanyak 23.385 orang, sedangkan tahun 2012 sebanyak 29.544 orang, yang artinya menurun 20,84%. Korban luka berat dalam kecelakaan lalu lintas di tahun 2013, sebanyak 27.054 orang yang artinya menurun 31,66% dibanding tahun 2012 yang mencapai 39.704 orang. Korban luka ringan selama tahun 2013, yakni sebanyak 104.976 orang, sedangkan di tahun 2012 mencapai 128.312 orang, yang artinya menurun 18,18%. Kerugian materiil selama tahun 2013 sebesar Rp. 233.842.283.566. Turun dari tahun 2012 sebesar Rp.298.627.130.430. Meski jumlah angka kecelakaan dan

6

(17)

korban meninggal dunia masih tinggi, namun jika dibandingkan beberapa tahun lalu, terjadi penurunan. Angka kecelakaan lalu lintas pada tahun 2013 memang mengalami penurunan sebesar 20,66% dibanding tahun 2012 yang mencapai 117.949 kasus tetapi, tidak menutup kemungkinan akan meningkat di tahun selanjutnya.

Meski UU Lalu lintas dan angkutan jalan telah diterapkan sampai dengan sekarang tapi tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat kecelakaan masih tetap terjadi. Dengan banyaknya kasus kecelakaan di jalan raya setidaknya itu bisa menggambarkan cerminan masyarakatnya, betapa minimnya kesadaran hukum pengguna jalan khususnya pengendara sepeda motor. Karena masih banyak orang-orang yang mengemudikan kendaraannya dengan tidak tertib dan tidak taat pada rambu-rambu lalu lintas.

Meningkatnya jumlah korban dalam suatu kecelakaan merupakan suatu hal yang tidak diinginkan oleh berbagai pihak, mengingat betapa berharganya nyawa seseorang yang sulit diukur dengan sejumlah uang dalam satuan. Orang yang mengakibatkan kecelakaan tersebut harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya dengan harapan pelaku menjadi jera dan lebih berhati-hati. Bahkan berhati-hatipun tidaklah cukup untuk menghindari kecelakaan, faktor kondisi juga sangat mempengaruhi ketika mengendarai kendaraan serta kesadaran hukum berlalu lintas yang harus dipatuhi sebagaimana mestinya.

(18)

lain meninggal dunia, ketika banyak pertimbangan jika anak harus dipidana. Sehingga perlu dilakukan berbagai upaya untuk memberikan pembinaan dan perlindungan terhadap anak, baik menyangkut kelembagaan maupun menyangkut perangkat hukum yang lebih memadai. Adanya undang-undang tentang anak tentu menunjukkan anak memang perlu untuk dilindungi. Aturan hukum yng mengatur tentang anak antara lain: Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Anak yang tanpa sengaja melakukan kesalahan sehingga menyebabkan orang lain mati merupakan suatu tindak pidana. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak tersebut sebenarnya merupakan suatu tindak pidana yang ringan, bagi orang dewasa tindak pidana ini hanya diancamkan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak dua belas juta rupiah, sehingga bagi anak diancamkan maksimal seperdua ancaman orang dewasa. Hal ini didasarkan pada Pasal 26 Undang-Undang Pengadilan Anak. Di lain pihak, berdasarkan asas yang dianut di Indonesia bahwa ancaman pidana hanya diterapkan kepada anak sebagai upaya terakhir dan apabila masih dapat dilakukan upaya lain maka hal tersebut dapatlah ditiadakan.

(19)

generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa. Untuk itu, diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan, perkembangan fisik, mental dan social serta perlindungan dari segala kemungkinan yang membahayakan diri mereka sendiri dan bangsa di masa depan.

Berdasarkan dari uraian latar belakang tersebut, maka penulis akan mengkaji dan membahas lebih jauh mengenai bagaimana posisi hukum pengemudi anak dalam kasus kelalaian berlalu lintas yang menyebabkan orang lain meninggal dunia dan bagaimana penerapan hukum dalam putusan perkara Nomor 579/PID.SUS/2013/PN.DPS. Apakah sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, timbul rasa tertarik untuk menuangkan tulisan ini dalam bentuk skripsi yang berjudul “TINDAK PIDANA KELALAIAN BERLALU LINTAS YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ORANG LAIN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DENPASAR NOMOR 579/PID.SUS/2013/PN.DPS)” B. Perumusan Masalah

(20)

Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana ketentuan pidana mengatur tentang kelalaian berlalu lintas yang menyebabkan kematian orang lain yang dilakukan oleh anak?

2. Faktor-faktor apakah yang dapat menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh anak?

3. Bagaimana pertanggungjawaban tindak pidana kelalaian berlalu lintas yang menyebabkan kematian orang lain yang dilakukan oleh anak (studi putusan nomor 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS)?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

(21)

a. Untuk mengetahui ketentuan hukum yang mengatur tentang tindak pidana kelalaian berlalu lintas yang menyebabkan kematian orang lain yang dilakukan oleh anak;

b. Untuk mengetahui faktor penyebab kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh anak;

c. Untuk mengetahui pertanggungjawaban tindak pidana kelalaian berlalu lintas yang menyebabkan kematian orang lain yang dilakukan oleh anak (studi putusan nomor 579/Pid.Sus/2013/ PN.DPS)

2. Manfaat Penulisan

Bertolak dari rumusan dan tujuan penelitian sebagaimana dikemukakan di atas, maka kegunaan dan manfaat penulisan yang diharapkan dari penelitian ini, adalah:

1) Manfaat Teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan bacaan di dalam menguraikan perspektif hukum pidana terhadap penerapan sanksi yang dijatuhkan terhadap anak yang melakukan kelalaian berlalu lintas yang menyebabkan kematian orang lain.

(22)

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul “TINDAK PIDANA KELALAIAN BERLALU LINTAS YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ORANG LAIN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DENPASAR NOMOR 579/PID.SUS/2013/PN.DPS)” adalah hasil pemikiran sendiri. Skripsi ini menurut sepengetahuan belum pernah ada yang membuat. Kalaupun ada seperti beberapa judul skripsi yang diuraikan di bawah ini, dapat diyakinkan bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah.

Pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di Perpustakaan Fakultas Hukum USU juga telah dilakukan dan dapat dilewati, maka ini juga dapat mendukung tentang keaslian penulisan.

Adapun judul-judul yang telah ada di perpustakaan universitas cabang Fakultas Hukum yang mirip adalah:

1. Nama : Ridha Rahmatan Hafiz NIM : 070200369

Judul : Kajian hukum pidana terhadap kelalaian pengemudi yang mengakibatkan korban dalam lalu lintas dan jalan raya berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan (studi kasus di Satlantas Polresta Medan)

(23)

Judul : Penerapan pidana denda dalam kasus pelanggaran lalu lintas di Medan (studi pelanggaran lalu lintas di Medan)

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana

Para pembentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah menggunakan perkataan strafbaar feit untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan perkataan strafbaar feit tersebut.7

Pompe menyatakan, strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum yang terjaminnya kepentingan umum.8

Simons telah merumuskan strafbaar feit itu sebagai tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung-jawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang yang dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.9

7

PAF. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 181.

8

Ibid, hlm. 182.

9

Ibid, hlm. 185.

(24)

a. untuk adanya suatu strafbaar feit diisyaratkan bahwa disitu harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang, dan

c. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechtmatige handeling.

Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan beliau sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.10 Ia tidak menyetujui apabila kata straf diterjemahkan menjadi “hukuman” dan dari kata wordt gestraf diartikan “dihukum”. Selanjutnya ia mengalternatifkan terjemahan lain, yaitu “pidana” untuk kata straf dan ‘diancam dengan pidana” untuk kata wordt gestraf. Pertimbangannya adalah apabila kata straf diartikan “hukuman”, maka kata strafrecht harus mengandung arti “hukuman-hukuman”.11

Kata straf dalam penggunaanya akan sangat tergantung dengan situasi dalam kerangka apa istilah tersebut dipergunakan, karena istilah ini tidak memiliki

10

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002), hlm. 71.

11

(25)

arti yang pasti. Berikut beberapa penjelasan tentang arti “pidana” dan “hukum pidana”, berikut ini beberapa kutipan definisi para ahli:12

1. Mr. W. P. J. Pompe memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan umum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.

2. Moelyatno mengartikan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar untuk, menentukan perbuatan mana yang dilarang, kapan, dan bagaimana pengenaan pidana dilaksanakan.

3. Sudarto mendefinisikan bahwa yag dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

4. Roeslan Saleh mengartikan bahwa yang dimaksud dengan pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik.

Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.13

Unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk ke dalamnya yaitu

12

Ibid, hlm. 3.

13

(26)

segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

1. kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

Unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:14

1. sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

2. kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

3. kausalitas, yakni hubungan antar sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

14

(27)

Moeljatno menyatakan suatu perbuatan dapat dikataan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:15

1. Subjek 2. Kesalahan

3. Bersifat melawan hukum (dari tindakan)

4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundang-undangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana;

5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsure objektif lainnya).

C.S.T Kansil menyatakan, tindak pidana atau delik ialah tindakan yang mengandung 5 unsur yakni:16

Undang-undang (KUHP) tidak memberi definisi apakah kelalaian itu, hanya dalam Memorie van Toelichting mengatakan, bahwa kelalaian (culpa) adalah terletak antara sengaja dan kebetulan.

1. Harus ada suatu kelakuan (gedraging);

2. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang (wattelijke omschrijving);

3. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak; 4. Kelakuan itu dapat diberatkn kepada pelaku; 5. Kelakuan itu diancam dengan hukuman. 2. Pengertian Kelalaian

17

15

Ibid, hlm. 211.

16

C.S.T. Kansil. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), hlm. 276.

17

Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta, Rineka Cipta, 1994), hlm. 125.

(28)

dimana batas antara sengaja dengan kebetulan ini. Mungkin keterangan yang diberikan pemerintah (Belanda) dalam bentuk Memorie van Antwoord (MvA) dapat memberi sedikit petunjuk. “Siapa yang melakukan kejahatan dengan sengaja berarti menggunakan salah kemampuannya sedangkan siapa karena salahnya (culpa) melakukan kejahatan berarti tidak menggunakan kemampuannya yang ia harus mempergunakannya.”18

Umumnya para pakar sependapat bahwa “kealpaan” adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari “kesengajaan”. Itulah sebabnya, sanksi atau ancaman hukuman terhadap pelanggaran norma pidana yang dilakukan dengan “kealpaan”, lebih ringan. Kealpaan menurut bahasa pada dasarnya ialah kekurang hati-hatian atau lalai, kekurang waspadaan, kesembronoan atau keteledoran, kurang menggunakan ingatannya atau kekhilafan atau sekiranya dia hati-hati,

Istilah schuld dalam arti luas sebagaimana terdapat dalam asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straft zonder schuld), sering diterjemahkan dengan “kesalahan” yang terdiri atas kesengajaan (opzettelijk) dan kealpaan (culpa). Kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan jenis dengan kealpaan. Meskipun dasarnya adalah sama yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam pidana, adanya kemampuan bertanggung jawab, dan tidak adanya alasan pemaaf. Akan tetapi bentuknya lain. Kedua hal tersebut dibedakan, “kesengajaan” adalah dikehendaki, sedang “kealpaan” adalah tidak dikehendaki. Dalam kealpaan, kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.

18

(29)

waspada, tertib atau ingat, peristiwa itu tidak akan terjadi atau akan dapat dicegahnya.19

Kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak disangka-sangka dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan, mengakibatkan korban manusia atau kerugian harta benda

Meskipun pada umumnya dalam rumusan delik kejahatan-kejahatan diperlukan adanya unsur kesengajaan seperti yang tercantum dalam pasal 338 KUHP, tetapi terhadap sebagian dari padanya ditentukan bahwa di samping kesengajaan itu seseorang juga dapat dipidana bila kesalahannya berbentuk kealpaan. Misalnya pasal 359 KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa karena salahnya menyebabkan kematian orang akan diancam dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-selama-lamanya satu tahun.” Pasal 359 KUHP tersebut mengandung unsure culpa yang berbunyi “barangsiapa karena salahnya (Hij aan wiens schuld) menyebabkan matinya orang”, mati orang disini tidak disengaja dan tidak dimksudkan sama sekali oleh pelaku, akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dri pada kurang hati-hati, lalai, atau alpanya pelaku tersebut.

20

19

S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikutnya Uraiannya, (Jakarta, Alumni AHMPTHM, 1983), hlm. 511.

20

Definisi kecelakaan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, pasal 93.

(30)

Ada 2 (dua) unsur sehingga suatu perbuatan tersebut dapat dikatakan kelalaian (culpa) yaitu pertama seseorang tidak dapat melihat ke depan yang akan terjadi dan yang kedua adalah unsur kekurang hati-hatian.21 Karena itu maka kita harus melihat pada teori atau ilmu pengetahuan untuk memberi pengertiannya ini. Van Hamel mengatakan bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat yaitu: 22 1) Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum. 2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Guna memahami dengan seksama tentang kealpaan, tidak berlebihan jika dicermati contoh yang diutarakan oleh Satochid Kartanegara di dalam Leden Marpaung berikut : 23

3. Pengertian Lalu Lintas

Seorang pengemudi mobil di jalan kota menabrak orang maka diselidiki apakah opzet atau culpa yang ada pada si pengemudi. Dalam hal ini harus ditinjau pula masalah-masalah yang meliputi perbuatan si pengemudi. Misalnya apakah pengemudi tadi mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi di tempat itu karena remnya rusak ataukah karena ia sedang mabuk. Contoh yang diutarakan oleh Satochid Kartanegara ini memberikan pemahaman bahwa kelalaian itu bisa beragam. Artinya kelalaian ini bisa bermacam-macam perwujudannya.

Di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan beberapa pengertian mengenai istilah-istilah yang dipergunakan dalam undang-undang tersebut. Berikut beberapa terminologi yang tercantum dalam Bab I Ketentuan Umum UU LLAJ. Pasal 1 angka 1

21

Andi Hamzah, loc.cit. 22

Moeljatno, op.cit. hlm. 217. 23

(31)

menyebutkan bahwa: LLAJ adalah kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan LLAJ, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya.

Apabila diuraikan satu persatu terminologi yang terdapat dalam pengertian LLAJ di atas maka dapat kita rincikan sebagai berikut:

a. Lalu lintas adalah gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan.

b. Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan di ruang lalu lintas jalan.

c. Jaringan LLAJ adalah serangkaian simpul dan/atau ruang kegiatan yang saling terhubungkan untuk penyelenggaraan LLAJ.

d. Prasarana LLAJ adalah ruang lalu lintas, terminal, dan perlengkapan jalan yang meliputi marka, rambu, alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengaman pengguna jalan, alat pengawasan dan pengamanan jalan, serta fasilitas pendukung.

e. Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor.

f. Pengemudi adalah orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang telah memiliki surat izin mengemudi.

(32)

disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya, mengakibatkan korban mausia atau kerugian harta benda.24

Berdasarkan Pasal 93 PP No. 43 Tahun 1993 menyatakan bahwa korban kecelakaan lalu lintas dapat berupa:

Kecelakaan lalu lintas merupakan bahaya potensial akibat meningkatnya kegiatan dalam sektor ekonomi, khususnya perhubungan darat. Kerugian yang ditimbulkan akibat dari kecelakaan lalu lintas tidak saja kerugian materil tetapi juga menyebabkan luka ringan, luka berat, cacat tubuh yang permanen, bahkan meninggal dunia.

25

1. Korban mati sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf a, adalah korban yang dipastikan mati sebagai akibat kecelakaan lalu lintas dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah kecelakaan tersebut.

2. Korban luka berat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, adalah orang yang karena luka-lukanya menderita cacat tetap atau harus dirawat dalam jangka waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari setelah kecelakaan tersebut.

3. Korban luka ringan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf c, adalah korban yang tidak termasuk dalam ayat (3) dan ayat (4). Jalan raya adalah tempat untuk lalu lintas orang atau kendaraan dan sebagainya; perlintasan dari satu tempat ke tempat lain.26 Bahwa jalan sebagai salah satu prasarana transportasi merupakan unsur penting dalam pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara dan pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, wilayah bangsa dan fungsi masyarakat serta dalam memajukan kepentingan umum.

24

Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993 Tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, Pasal 93.

25 Ibid 26

(33)

4. Pengertian Anak

Beberapa definisi anak di bawah ini dapat memberikan batasan pemikiran tentang konsep anak itu sendiri, di antaranya ada:

a) Nicholas Mcbala dalam buku Juvenile Justice System mengatakan anak yaitu periode di antara kelahiran dan permulaan kedewasaan. Masa ini merupakan masa perkembangan hidup, juga masa dalam keterbatasan kemampuan termasuk keterbatasan untuk membahayakan orang lain.27

b) Poerwadarminta, memberikan pengertian anak sebagai manusia yang masih kecil.28

c) Made Sadhi Astuti menyimpulkn, bahwa yang dimaksud dengan pengertian anak adalah mereka yang masih muda usia dan sedang menentuan identitas, sehingga berkibat mudah kena pengaruh lingkungan sekitar.29

d) Ter Haar menyatakan, bahwa menurut hukum adat, masyarakat hukum kecil itu yaitu saat orang yang menjadi dewasa ialah saat (laki-laki dan perempuan) sebagai seorang yang sudah berkawin meninggalkan rumah ibu bapaknya atau ibu bapak mertuanya untuk berumah tangga lain sebagai laki-laki bini muda yang merupakan keluarga yang berdiri sendiri.30

Pengertian anak dalam kaitan dengan perilaku anak nakal (juvenile deliquency), biasanya dilakukan dengan mendasarkan pada tingkat usia, dalam arti tingkat usia berapakah seseorang dikategorikan sebagai anak. Selain itu adapula

27

Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, (Bandung:Refika Aditama, 2009), hlm. 36.

28

W.J.S Poerwadadarinta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Batavia: Balai Pustaka, 1976), hlm. 735.

29

Made Sadhi Astuti, Hukum Pidana Anak dan Perlindungan Anak, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2003), hlm. 6.

30

(34)

yang melakukan pendekatan psikhososial dalam usahanya merumuskan tentang anak.31

Menurut R.A. Koesno, yang dimaksud dengan anak adalah manusia yang masih muda dalam umur, muda jiwa, dan pengalaman hidupnya karena lingkungan sekitar. Shanty Dellyana berpendapat bahwa anak adalah mereka yang belum dewasa dan yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu (mental dan fisik belum dewasa).

Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus memerlukan pembinaan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.

Pengertian anak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 1 angka 3 yaitu: Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

32

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Mahkamah Konstitusi menetapkan batas umur bagi anak untuk melindungi hak konstitusional anak

31

Agung Wahyono dan Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hlm. 2.

http://perpustakaan.bphn.go.id/index.php/searchkatalog/byId/14343.

32

(35)

terutama hak terhadap perlindungan dan hak untuk tumbuh dan berkembang. Penetapan usia minimal 12 tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban huku m bagi anak telah diterima dalam praktik di berbagai negara.33

Kartini mengatakan bahwa, “Anak adalah keadaan manusia normal yang masih muda jiwanya, sehingga sangat mudah terpengaruh lingkungannya.”34

33

Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan anak adalah makhluk berakal budi yang masih akan berkembang menjadi manusia yang utuh. Dalam rangka menuju manusia yang utuh tersebut karena masih muda usia dan jiwanya maka sangat mudah terpengaruh oleh lingkungannya.

Pengertian anak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Pasal 1 angka 1 yaitu: Anak adalah dalam orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

Anak nakal merupakan anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Pengertian anak nakal ini diambil dari istilah asing Juvenile Deliquency, tetapi kenakalan anak ini bukan kenakalan yang dimaksud dalam pasal 489 KUHP.

April 2014, pukul 09.00 WIB.

34

(36)

Istilah kenakalan anak itu pertama kali ditampilkan pada badan peradilan Amerika Serikat dalam rangka usaha membentuk suatu undang-undang peradilan bagi anak di negara tersebut. Dalam pembahasannya ada kelompok yang menekankan segi pelanggaran hukumnya, ada pula kelompok yang menekankan pada sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari norma yang berlaku atau belum melanggar hukum. Namun semua sepakat bahwa dasar pengertian kenakalan anak adalah perbuatan atau tingkah laku yang bersifat anti sosial.

Paul Moedikno memberikan perumusan, mengenai pengertian Juvenile Deliquency (anak nakal), yaitu sebagai berikut :

1. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan deliquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh dan sebagainya.

2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbukan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana jangki tidak sopan, mode you can see. dan sebagainya.

3. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial, termasuk gelandangan, pengemis, dan lain-lain.

(37)

G.Metode Penelitian

Demi melengkapi penulisan skripsi ini dan agar tujuan dapat lebih terarah serta dapat dipertanggung-jawabkan, maka metode yang digunakan penulis mencakup antara lain :

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian hukum pada umumnya yaitu normatif dan empiris. Pendekatan yuridis normatif tersebut mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan dengan melihat suatu kenyataan hukum dalam masyarakat.35

2. Sifat Penelitian

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam skripsi ini menitikberatkan pada penelitian hukum normatif. Hal ini dikarenakan penelitian lebih banyak dilakukan terhadap data sekunder yang didapati dengan menggunakan penelitian deskriptif dan penelitian kasus.

Penelitian deskriptif yakni pemaparan dengan memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena yang bertujuan untuk memperoleh gambaran ruang lingkup tentang keadaan hukum.36

35

Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 105. 36

Mahmul Siregar, EdyIkhsan, 2010, Metode Penelitian Hukum, Bahan Ajar tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, hlm. 13.

(38)

individu, institusi, atau masyarakat tertentu tentang latar belakang, keadaan/kondisi, faktor-faktor, atau interaksi sosial yang terjadi didalamnya.37

3. Sumber data

Penelitian hukum normatif yang dilakukan pada penulisan skripsi yakni dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan pengaturan hukum dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas.

Berdasarkan sudut pandang penelitian hukum, peneliti pada umumnya mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung melalui wawancara dan/atau survey di lapangan yang berkaitan dengan perilaku masyarakat. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan pustaka.38

Berkaitan dengan data primer yang dimaksud di atas, dalam hal ini penulis akan mengadakan wawancara kepada Polisi Lalu Lintas (Polantas) pada Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Kepolisian Resort Kota (Polresta) Medan atau sejajarannya guna mendapatkan informasi mengenai kasus-kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Kota Medan. Data sekunder diambil dengan melakukan penelitian terhadap bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum mengikat khususnya : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ, dan peraturan perundang-undangan lain di bawahnya yang bersangkutan dengan permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Kapolri, dan lain-lain. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer,

37

Bambang Sunggono, 2010, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 35-36.

38

(39)

misalnya : buku-buku tentang hukum, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari pakar hukum, artikel, surat kabar, dan media massa lainnya, serta berbagai berita yang penulis peroleh dari internet. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberi petunjuk penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yakni kamus hukum, ensiklopedia, dan sebagainya.

4. Alat pengumpulan data

Ada tiga alat pengumpulan data yang lazim digunakan yakni, studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara (interview)39

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan dua cara yaitu studi kepustakaan dan wawancara.

Studi dokumen ini merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum (baik normatif maupun sosiologis). Hal ini dikarenakan penelitian hukum selalu bertolak dari premis normatif. Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.40 1. Bahan hukum primer (bahan hukum yang mengikat secara umum) terdiri dari:

a. Norma dasar atau kaidah dasar dalam pembukaan (preambule) UUD 1945; b. Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia.

c. Undang-undang No 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia. d. Konvensi-konvensi internasional di bidang hak asasi manusia.

e. Yurisprudensi yang ada hubunganya dengan pelanggaran hak asasi manusia.

39

Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, hlm. 201. 40

(40)

2. Bahan hukum sekunder yaitu yang memberi Penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti berbagai bahan kepustakaan berupa buku, majalah, hasil penelitian, makalah dalam seminar, dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.

3. Bahan hukum Tertier

Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang mana terdiri:

a. Kamus hukum

b. Kamus bahasa Indonesia c. Kamus Bahasa Inggris

d. Artikel artikel dan laporan dari media massa ( surat kabar , jurnal hukum, majalah dan lain sebagainya ).

b. Wawancara

Studi lapangan yang dilakukan penulis dalam skripsi ini berupa wawancara. Wawancara adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka (face to face), ketika seseorang, yakni pewawancara, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada seorang responden dimana pertanyaan itu dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian.41

Tipe wawancara yang akan dilakukan oleh penulis yakni melalui wawancara berencana (standardized interview) yaitu suatu wawancara yang disertai dengan suatu daftar pertanyaan yang disusun sebelumnya. Dipandang dari sudut pertanyaannya, maka wawancara yang digunakan adalah tipe wawancara

41

(41)

terbuka (open interview). Wawancara terbuka ini dilaksanakan dengan mengajukan pertanyaan sedemikian rupa sehingga responden tidak terbatas pada jawaban “ya” atau “tidak” tetapi juga dapat memberikan penjelasan-penjelasan.42 5. Analisa data

Dalam penulisan skripsi ini analisis data yang dilakukan penulis adalah menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif, yaitu menggambarkan secara lengkap kualitas dari data-data yang telah dikumpulkan dan telah diolah, selanjutnya dibuat kesimpulan. Data yang telah diperoleh melalui studi lapangan (wawancara) dan studi pustaka dikualifikasi dan diurutkan kedalam pola, kategori, dan suatu uraian dasar. Keseluruhan data akan diuraikan secara deskriptif yang kemudian akan dianalisa secara kualitatif.43

Berdasarkan hal tersebut dapatlah dikatakan, bahwa apa yang dimaksudkan dengan metode kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analitis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden/informan secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, dipelajari dan diteliti sebagai sesuatu yang utuh. Metode kualitatif tidak hanya bertujuan mengungkapkan kebenaran tetapi juga untuk memahami kebenaran tersebut dan latar belakang terjadinya suatu peristiwa.44

42

Amirudin, Zainal Asikin, op.cit., hlm. 84. 43

Burhan Bungin, 2003, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, hlm. 72.

44

Sorjoeno Soekanto, 1996, Kejahatan & Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, hlm. 250.

(42)

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibuat secara sistematis agar memudahkan dalam memahami pemaparan masalah yang terkandung dalam skripsi ini. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat berhubungan antara yang satu dengan yang lain. Adapun sistematika penulisan skripsi yang terdiri atas lima bab ini di antaranya sebagai berikut :

Bab I : Bab ini berisikan pendahuluan yang memberikan gambaran umum dan menyeluruh tentang pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi, diantaranya: latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan yang mana menguraikan tentang pengertian tindak pidana, pengertian kelalaian atau kealpaan, pengertian LLAJ, dan pengertian anak, dan pengertian kausalitas. Dalam bab ini terdapat pula penjelasan metode penelitian yang dipergunakan kemudian diakhiri dengan penjabaran sistematika penulisan.

(43)

pelaku kejahatan lalu lintas menurut UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Bab III: Bab ini memberikan pemaparan tentang faktor penyebab kecelakaan lalu lintas di jalan raya serta upaya pencegahan dan penanggulangan yang dilakukan untuk mengurangi terjadinya kecelakaan lalu lintas terutama yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia yang dilakukan oleh anak.

Bab IV : Bab ini memberikan pemaparan tentang pertanggungjawabanan tindak pidana kelalaian berlalu lintas yang mengakibatkan kematian orang lain yang dilakukan oleh anak (studi putusan Nomor 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS). Dalam bab ini terdapat gambaran kasus kelalaian anak yang mengarah pada tindak pidana, maka disini juga akan dibahas mengenai kasus posisi kecelakaan lalu lintas yang kemudian menganalisis pertimbangan hukum atas vonis yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim dalam putusan tersebut.

(44)

BAB II

KETENTUAN PIDANA YANG MENGATUR TENTANG KELALAIAN BERLALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN ORANG

LAIN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

A. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan

Ketentuan pidana dalam UU LLAJ merupakan dasar hukum penjatuhan sanksi pidana bagi pengemudi dalam kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia. Ketentuan pidana ini perlu diuraikan terlebih dahulu untuk mengetahui dasar hukum dapat dipidananya seseorang dalam hal ini pengemudi yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia yakni Pasal 310, Pasal 311, dan Pasal 312 UU LLAJ. Pasal-pasal tersebut yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas.

Pasal 310

(1) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(2) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).

(3) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(45)

(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Unsur-unsur pidana yang terkandung dan harus terpenuhi dalam aturan Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ antara lain:

1. Setiap orang;

Kata setiap orang yang dimaksud di sini adalah siapa saja yang menjadi subjek hukum, yakni sebagai pembawa hak dan kewajiban. Dalam doktrin ilmu hukum pidana “setiap orang” dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu:

a. manusia (nature person);

b. korporasi, yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum (legal person)

“Setiap orang” dalam Pasal ini mengacu pada pelaku dari perbuatan tindak pidana kejahatan lalu lintas serta tidak ditemukan alasan penghapus pidana baik berupa alasan pemaaf maupun alasan pembenar sebagaimana yang diatur dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 51 KUHP dan pelaku tersebut dipandang cakap sebagai subjek hukum.

2. Mengemudikan kendaraan bermotor;

Pelaku dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang dapat dipidana adalah setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor. Artinya setiap orang yang mengemudikan kendaraan tidak bermotor maka ia tidak dapat dipidana. Redaksi pasal ini setelah dicermati ternyata didapati bahwa pengemudi kendaraan tidak bermotor tidak dijadikan pelaku dalam kecelakaan lalu lintas terkait dengan posisinya yang lemah sebagai pengguna jalan. Umumnya orang yang

(46)

mengemudikan kendaraan tidak bermotor menggunakan kekuatan fisik dan bukan dengan kekuatan mesin seperti pada kendaraan bermotor, sehingga disini dituntut unsur kehati-hatian yang tinggi pada diri pengemudi kendaraan bermotor. Berhubungan dengan ini dapat diketahui dengan melihat pada redaksi Pasal 1 angka 8 dan angka 9 UU LLAJ sebagai berikut :

a. Kendaraan bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan di atas rel.

b. Kendaraan tidak bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan.

3. Karena lalai; dan

Unsur ini pada umumnya yang memerlukan waktu lebih lama dalam hal pembuktiannya. Kesalahan pelaku dalam kecelakaan lalu lintas berupa kelalaian yang ada pada dirinya saat itu harus dilihat dari faktor kejadian yang sebenarnya yakni faktor apa yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas tersebut. Demikian pula harus diukur sejauh mana pengemudi telah benar-benar waspada dan hati-hati dalam mengemudikan kendaraannya. Dalam hal ini yang membedakan antara kelalaian dengan kesengajaan pada pokoknya adalah bahwa pengemudi tentu tidak akan berbuat, seandainya ia mengetahui akibat yang akan timbul akibat perbuatannya. Di sini pengemudi tidak sadar akan resiko dari perbuatannya tersebut yang menyebabkan ia lalai. Kesalahan berbentuk kealpaan/kelalaian dengan kata lain merupakan tindakan tercela dan pelaku tidak menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.

Kelalaian tersebut merupakan rumusan delik maka juga harus dibuktikan. Unsur ini dapat diungkapkan dari kronologis kejadian dan kesaksian-kesaksian.

(47)

Melalui penyidikan dan dengan mengungkapkan fakta-fakta dalam persidangan maka unsur kelalaian akan dapat dibuktikan atau tidak.

4. Mengakibatkan orang lain meninggal dunia.

Unsur mengkibatkan orang lain meninggal dunia pada umumnya dibuktikan berdasarkan Visum Et Repertum dari rumah sakit yang menerangkan penyebab dan cara kematian korban dengan memeriksa tubuh korban baik dengan pemeriksaan luar maupun dengan pemeriksaan dalam. Defenisi umum Visum Et Repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat dokter berdasarkan sumpah jabatan dokter tentang hal yang dilihat dan ditemukan pada benda yang diperiksa serta memberikan pendapat mengenai apa yang ditemukannya tersebut.45

(1) Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

Visum Et Repertum ini merupakan alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 184 KUHAP. Selain dengan melakukan Visum Et Repertum pada korban, pembuktian mengenai adanya korban meninggal dunia pada pasal ini juga dapat dibuktikan dengan melampirkan surat kematian yang dikeluarkan dokter ataupun lurah pada tempat tinggal korban.

Pasal 311

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah). (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan

45

Rita Mawarni, 2012, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Bahan Ajar tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, hlm. 2.

(48)

dan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 8.000.000,00 (delapan juta rupiah).

(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

(5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). Unsur-unsur pidana yang terkandung dan harus terpenuhi dalam aturan Pasal 311 ayat (5) UU LLAJ antara lain:

1. Setiap orang;

2. Mengemudikan kendaraan bermotor;

3. Dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang

4. Mengakibatkan orang lain meninggal dunia.

Ketentuan Pasal 311 sebenarnya serupa dengan Pasal 310. Apa yang membedakan Pasal 311 ini adalah adanya unsur kesengajaan orang yang mengemudikan kendaraan dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang. Perbuatan tersebut yang menyebabkan ancaman sanksi pidana dalam pasal 311 lebih berat jika dibandingkan dengan Pasal 310 yaitu ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.

Sama halnya dengan membuktikan unsur kelalaian pada Pasal 310, pembuktian unsur kesengajaan inilah yang paling sulit diantara unsur-unsur pasal yang terkandung dalam Pasal 311. Kesalahan pelaku dalam kecelakaan lalu lintas

(49)

berupa kesengajaan yang ada pada dirinya saat kejadian kecelakaan lalu lintas juga harus dilihat dari faktor kejadian yang sebenarnya yakni faktor apa yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas tersebut, hal ini dapat diungkapkan pula dari kronologis kejadian dan kesaksian-kesaksian.

Penjelasan mengenai cara mengemudikan kendaraan yang membahayakan atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dalam Pasal 311 ini tidak ditemui dalam penjelasan pasal UU LLAJ. Lebih lanjut, apabila dikaitkan dengan penjelasan Pasal 106 mengenai yang dimaksud dengan ”penuh konsentrasi” akan didapati penalaran mengenai kesengajaan mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang. Bentuk kesengajaan ini terwujud dalam tindakan meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga memengaruhi kemampuan dalam mengemudikan kendaraan. Mengingat betapa berbahayanya meminum minuman alkohol dan obat-obatan yang mana pengetahuan ini sudah barang tentu diketahui secara umum, maka tindakan tersebut dapat menjadi alas pemidanaan seseorang melakukan kesengajaan, hal ini sebagaimana terjadi pada kasus Afriyani.

Unsur dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang ini dipahami sebagai adanya pelanggaran-pelanggaran lalu lintas yang dilakukan pengemudi terlebih dahulu yang disadarinya sehingga mengakibatkan kecelakaan. Misalnya seorang pengemudi sepeda motor menerobos lampu merah dengan melewati batas kecepatan pada jalan yang kelihatan tidak tampak ada yang menghalanginya,

(50)

namun tiba-tiba ada seorang penyeberang pejalan kaki yang hendak menyeberang dan terjadilah kecelakaan mengakibatkan penyeberang tadi luka berat. Pengemudi ini patut dipersalahkan atas Pasal 311 dengan pembuktian unsur dengan sengaja membahayakan nyawa berupa menerobos lampu merah (Pasal 287 ayat 1), melanggar batas kecepatan (Pasal 287 ayat 5), dan tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki (Pasal 284). Ketiga pelanggaran tersebut akan menjadi alasan yang memberatkan pidananya.46

Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang terlibat kecelakaan lalu lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidak melaporkan kecelakaan lalu lintas kepada kepolisian negara republik indonesia terdekat sebagaimana dimaksud dalam pasal 231 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c tanpa alasan yang patut dipidana dengan pidana penjara paling Unsur “kesengajaan” dalam pasal ini barangkali berdasar pada sikap batin pengemudi dan pandangan masyarakat bahwa perbuatan itu telah diketahui dan dapat diperhitungkan akan mengakibatkan kecelakaan. Meskipun demikian, kian rumit untuk menemukan unsur kesengajaan dalam kasus kecelakaan lalu lintas. Perilaku pengemudi yang sudah melampaui batas sehingga dapat membahayakan nyawa orang lain menjadikan penerapan sanksi pidana lebih berat (pidana penjara maksimal 12 tahun). Tentunya pemikiran ini kembali lagi pada penafsiran majelis hakim dalam mengenakan pasal ini pada persidangan mengenai kecelakaan lalu lintas. Untuk itu, aparat penegak hukum, meliputi polisi, jaksa, dan hakim dalam hal ini hendaklah harus membuktikan adanya unsur kesengajaan tersebut dengan lebih teliti.

Pasal 312

46

Wawancara dengan Brigadir Fhirisman, SH., loc.cit.

(51)

lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

Pasal 312 tersebut diatas terkait dengan kewajiban dan tanggung jawab pengemudi dalam Pasal 231 ayat (1). Pasal ini jika dicermati bukan merupakan tindakan yang mengakibatkan orang lain meninggal sebagaimana terdapat pada kedua pasal sebelumnya yakni Pasal 310 dan Pasal 311. Akan tetapi pasal ini dimasukkan dalam pasal yang tergolong pada suatu tindak pidana kejahatan sebagaimana tertera pada Pasal 316 ayat 2.

Berkaitan dengan pasal 312 ini, sering pula ditemui dalam beberapa kasus kecelakaan lalu lintas yaitu tabrak lari. Tabrak lari pada umumnya merupakan istilah dengan pengertian bahwa pelaku dalam hal ini pengemudi meninggalkan korban kecelakaan lalu lintas dan tidak menghentikan kendaraan yang dikemudikannya. Perbuatan tersebut merupakan tindakan pengemudi yang tidak bertanggung jawab atas perbuatannya. Apabila melihat pada sikap batin dari pengemudi yang menghindari tanggung jawabnya ini, dapat ia dikatakan melakukan suatu tindakan pembiaran dengan mengacuhkan korban yang telah dicelakainya. Apabila dicermati dari teropong norma kesusilaan dapatlah kita sadari perbuatan ini patut disebut sebagai suatu kejahatan. Begitu juga halnya dengan pengemudi yang tidak menolong korban yakni tidak melakukan upaya untuk membantu meringankan beban penderitaan korban, antara lain tidak memberikan pertolongan pertama di tempat kejadian dan tidak membawa korban ke rumah sakit, bisa menjadi penyebab korban meninggal dunia. Selanjutnya, perbuatan pengemudi yang tidak melaporkan kecelakaan lalu lintas kepada kepolisian menyulitkan penyidik dan memperlambat proses persidangan.

(52)

Pasal-pasal mengenai kejahatan lalu lintas dimana pengemudi mengakibatkan orang lain meninggal dunia yakni Pasal 310, Pasal 311, dan Pasal 312 UU LLAJ telah diuraikan. Berikut beberapa pasal yang tidak boleh luput dari perhatian manakala terjadi kecelakaan lalu lintas. Bahwa selain ancaman pidana yang tercantum dalam Pasal 310, Pasal 311, dan Pasal 312, dapat pula disertai dengan penjatuhan pidana tambahan sebagaimana terurai dalam Pasal 314 berikut:

Pasal 314

Selain pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak pidana lalu lintas dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan surat izin mengemudi atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas.

Pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh majelis hakim dalam putusannya mengenai perkara pidana kecelakaan lalu lintas adalah berupa pencabutan surat izin mengemudi atau ganti kerugian. Pidana tambahan berupa pencabutan SIM (larangan mengemudi) adalah agar pelaku dalam hal ini pengemudi menjadi jera dan lebih hati-hati dalam mengendarai kendaraannya di kemudian hari. Pidana tambahan menjadi penghukuman agar pelaku tidak dapat mengulangi perbuatannya sebab ia berada dalam kondisi tidak diperkenankan mengemudi hingga berakhir larangan mengemudi tersebut.

Mencermati adanya pidana tambahan berupa ganti kerugian disini, hal ini diputuskan majelis hakim apabila belum ada kesepakatan antara pelaku kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kecelakaan dengan korban mengenai besar nominal ganti kerugian yang diderita korban. Apabila telah ada sebelu

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3 Kecelakaan Lalu Lintas Yang Disebabkan Kelalaian Pengemudi Di Kota
Tabel 4 Kecelakaan Lalu Lintas Yang Disebabkan Ketidaklaiakan Kendaraan Di
+6

Referensi

Dokumen terkait

7 Fenomena yang dapat diamati pada Pemerintah Kabupaten Badung terkait Implementasi Dokumen Pelaksanaan Anggaran adalah adanya kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Pardono (2009) yang menunjukkan hasil terbaik pembentukan jumlah polong tanaman kacang panjang dari kombinasi dosis pupuk organik

Pada tanggal 28 Desember 2010 dan 21 April 2011, Entitas Induk bersama dengan SDN, DKU, BIG dan PT Mitra Abadi Sukses Sejahtera, pihak berelasi, menandatangani

Tujuan penelt ian ini adalah 1) Unt uk menget ahui pr ofesionalisme audit or dan et ika pr ofesi secar a par sial ber pengar uh t er hadap t ingkat per t imbangan mat

Insight itu hanya mungkin terjadi apabila situasi belajar diatur sedemikian rupa sehingga segala aspek yang perlu dapat diambil. Apabila alat yang diperlukan

Pengaruh negatif tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti data penelitian merupakan data bulanan yang tidak memilahkan antara bank syariah dengan

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang dapat dikemukakan adalah (1) Bagaimana bentuk pertunjukan Kelompok Jaranan Pegon Suko Budoyo di Kabupaten

Dari beberapa pendapat di atas, peneliti menyimpulkan bahwa fungsi menulis itu sangat banyak, salah satunya bagi siswa Sekolah Dasar yaitu; dengan menulis siswa akan lebih