• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Jual Beli Pada PT. Mutiara Hijau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Jual Beli Pada PT. Mutiara Hijau"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

i

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN

DALAM JUAL BELI PERUMAHAN PADA

PT. MUTIARA HIJAU

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar

Sarjana Hukum

O L E H

Agung Nugraha

NIM : 090200301

Bagian : Hukum Keperdataan

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

ii

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN

DALAM JUAL BELI PERUMAHAN PADA

PT. MUTIARA HIJAU

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan

memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

O L E H

Agung Nugraha

NIM : 090200301

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Perdata

Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum

Pembimbing I

Sinta Uli, SH.M.Hum

Pembimbing II

Syamsul Rizal, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

iii

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.

Adapun skripsi ini berjudul : “UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM JUAL BELI PERUMAHAN PADA PT. MUTIARA HIJAU”. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran yang bersifat membangun untuk di masa yang akan datang.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin, SH. MH. DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(4)

iv

3. Ibu Sinta Uli, SH. M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan di dalam penulisan skripsi ini. 4. Bapak Syamsul Rizal, SH. M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah

banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan di dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Hukum Keperdataan serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya Universitas Sumatera Utara.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan,

(5)

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAK ... v

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Pengumpulan Data ... 20

G. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II : TINJAUAN TENTANG HUKUM KONSUMEN .... 23

A. Pengertian dan Hak-hak Dasar Konsumen ... 23

B. Dasar Hukum ... 28

C. Tujuan Perlindungan Konsumen ... 29

D. Hak-hak dan Kewajiban Konsumen... 30

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG JUAL BELI ... 37

A. Pengertian Jual Beli ... 37

B. Dasar Hukum ... 39

C. Hak dan Kewajiban Dalam Jual Beli ... 42

D. Obyek Jual Beli ... 43

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PEMBELIAN RUMAH PT. MUTIARA HIJAU ... 45

(6)

vi

B. Prosedur yang Ditempuh dalam Penyelesaian Sengketa yang Timbul antara Konsumen

Dengan Pengembang ... 59

C. Upaya Penanggulangan Terhadap Kendala yang Dihadapi dalam Perlindungan Konsumen Perumahan ... 60

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 65

(7)

vii

ABSTRAK

Pada hakekatnya rumah atau pemukiman dapat dilihat secara baik apabila ia dikaitkan dengan manusia yang menempatinya. Dengan demikian rumah merupakan pengejawantahan pribadi manusia. Disamping sebagai tempat tinggal ataupun hunian rumah juga menunjukkan dan menjadi tolok ukur kesejahteraan dan kemakmuran dari suatu negara.

Oleh karena itu permasalahan yang dikemukakan adalah bagaimana konsep perlindungan konsumen menurut hukum positif Indonesia, bagaimana prosedur yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa yang timbul antara konsumen dengan pengembang serta bagaimana upaya penanggulangan terhadap kendala yang dihadapi dalam perlindungan konsumen perumahan.Metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research).

Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman dipandang masih lemah dalam melindungi konsumen perumahan. Hal ini disebabkan karena undang-undang tersebut lebih difokuskan pada pembangunan perumahan itu sendiri. Prosedur yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa yang timbul antara konsumen dan pengembang tersebut adalah : musyawarah atau perdamaian, melalui lembaga swasta/instansi yang berwenang, Badan Arbitrase Nasional Indonesia dan melalui Pengadilan Negeri. Sedangkan upaya penanggulangan terhadap kendala yang dihadapi dalam perlindungan konsumen perumahan adalah dengan memanfaatkan undang-undang sektoral yang ada, pengawasan yang efektif dari pemerintah terhadap informasi periklanan yang dilakukan oleh pengusaha (developer), peran serta masyarakat dan andil pemerintah dalam mengaktifkan kesadaran hukum konsumen serta kontrol (pengawasan) dari pemerintah terhadap pembuatan akta perjanjian pengikatan jual beli dalam bentuk kontrak baku.

(8)

vii

ABSTRAK

Pada hakekatnya rumah atau pemukiman dapat dilihat secara baik apabila ia dikaitkan dengan manusia yang menempatinya. Dengan demikian rumah merupakan pengejawantahan pribadi manusia. Disamping sebagai tempat tinggal ataupun hunian rumah juga menunjukkan dan menjadi tolok ukur kesejahteraan dan kemakmuran dari suatu negara.

Oleh karena itu permasalahan yang dikemukakan adalah bagaimana konsep perlindungan konsumen menurut hukum positif Indonesia, bagaimana prosedur yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa yang timbul antara konsumen dengan pengembang serta bagaimana upaya penanggulangan terhadap kendala yang dihadapi dalam perlindungan konsumen perumahan.Metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research).

Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman dipandang masih lemah dalam melindungi konsumen perumahan. Hal ini disebabkan karena undang-undang tersebut lebih difokuskan pada pembangunan perumahan itu sendiri. Prosedur yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa yang timbul antara konsumen dan pengembang tersebut adalah : musyawarah atau perdamaian, melalui lembaga swasta/instansi yang berwenang, Badan Arbitrase Nasional Indonesia dan melalui Pengadilan Negeri. Sedangkan upaya penanggulangan terhadap kendala yang dihadapi dalam perlindungan konsumen perumahan adalah dengan memanfaatkan undang-undang sektoral yang ada, pengawasan yang efektif dari pemerintah terhadap informasi periklanan yang dilakukan oleh pengusaha (developer), peran serta masyarakat dan andil pemerintah dalam mengaktifkan kesadaran hukum konsumen serta kontrol (pengawasan) dari pemerintah terhadap pembuatan akta perjanjian pengikatan jual beli dalam bentuk kontrak baku.

(9)

viii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai suatu negara dalam kelangsungannya selalu menuju kepada perkembangan yang dinamis dengan meningkatkan pembangunan di berbagai sektor kehidupan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Salah satu yang menjadi perhatian dan perlu penanganannya adalah dalam sektor perumahan dan pemukiman karena merupakan kebutuhan dasar hidup manusia disamping kebutuhan pokok lainnya seperti : sandang, pangan, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan lainnya.

Disamping sebagai tempat tinggal ataupun hunian rumah juga menunjukkan dan menjadi tolok ukur kesejahteraan dan kemakmuran dari suatu negara.

(10)

ix

Pada tingkat nasional perumahan adalah penting sekali tidak saja untuk kesehatan dan kesejahteraan akan tetapi berkaitan dengan prinsip-prinsip politik sebagai kesempatan yang sederajat dan standar minimum, juga sebagai faktor vital dari ekonomi nasional. Jadi perumahan dan pemukiman adalah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia yang dapat berfungsi sebagai sarana produktif keluarga dan merupakan titik strategik dalam pembangunan manusia seutuhnya karena dengan pemenuhan kebutuhan dasar akan mempercepat pembangunan keluarga yang pada akhirnya mempercepat pembangunan bangsa.

Pada hakekatnya rumah atau pemukiman hanya dapat dilihat secara baik apabila ia dikaitkan dengan manusia yang menempatinya. Dengan demikian rumah merupakan pengejawantahan pribadi manusia. Rumah tidak dapat dilihat hanya sebagai sarana instrumental belaka, melainkan juga dalam kaitan dengan hubungan struktural di atas suatu kawasan oleh karena itu makna dan fungsi rumah akan mempunyai arti yang lebih luas yaitu sebagai perumahan : rumah sehat dalam suatu lingkungan pemukiman yang tertata baik. Sehubungan dengan itu upaya pembangunan perumahan dan pemukiman terus ditingkatkan untuk menyediakan perumahan dengan jumlah yang makin meningkat dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah dan tetap memperhatikan persyaratan minimum bagi perumahan pemukiman yang layak, sehat, aman dan serasi.

(11)

x

hal tersebut kemitraan antara pemerintah dan badan usaha swasta, BUMN, koperasi, maupun masyarakat luas merupakan kunci untuk suksesnya pembangunan perumahan dan pemukiman tersebut.

Sejalan dengan peran serta masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan pemukiman, pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk melakukan pembinaan dalam wujud pengaturan dan bimbingan, pendidikan dan pelatihan, pemberian bantuan dan kemudahan, penelitian dan pengembangan yang meliputi, berbagai aspek yang terkait antara lain : tata ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia serta peraturan perundang-undangan.

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa kebutuhan masyarakat akan rumah dan pemukiman yang layak, sehat, aman dan serasi khususnya masyarakat yang berpenghasilan rendah telah memotivasi pemerintah bahkan pihak-pihak swasta dan masyarakat untuk merealisasikannya, didukung dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia saat ini yang sedang giatnya melaksanakan pembangunan khususnya di perkotaan dimana lahan yang tersedia semakin berkurang sebaliknya pertambahan penduduk semakin meningkat sehingga menimbulkan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan dan pemukiman tersebut, di satu sisi negara kita masih mengalami kekurangan rumah terutama di daerah perkotaan dan juga masalah lain belum terjaminnya kualitas rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan untuk ditempati.

(12)

xi

rumah bagi masyarakat (konsumen) dan juga telah mempermudah konsumen untuk menjatuhkan pilihannya atas rumah tersebut. Atas tersedianya rumah tersebut tidak lepas dari sarana dan informasi dalam hal pengalihannya kepada konsumen yang kemudian ditindaklanjuti dengan jual beli melalui akta yang telah dipersiapkan oleh pengembang.

Sebagaimana diketahui, pengembang melakukan pemasaran atas rumah yang siap huni maupun rumah yang sedang dalam tahap pembangunan. Tak jarang konsumenpun banyak menjatuhkan pilihannya atas kedua hal tersebut. Terhadap pilihannya tersebut konsumen diwajibkan untuk membayar sejumlah uang muka (down payment) sebagai tanda jadi dan selanjutnya disodori akta perjanjian pengikatan jual beli (PPJB).

Untuk kepraktisan dari segi hubungan hukum antara pengembang dengan konsumen, pengembang sebagai pihak yang lebih kuat kedudukannya menciptakan formulir-formulir standar yang mengikat yang disebut sebagai kontrak standar dimana isi dari klausula-klausula kontrak tersebut hanya memuat kepentingan-kepentingan pengembang saja sehingga tidak memuat keadilan untuk melindungi konsumen perumahan.

Sejumlah kendalapun ditemui dalam upaya perlindungan konsumen perumahan baik yang timbul dari sikap pengusaha maupun dari pihak konsumen itu sendiri, antara lain :

(13)

xii

para developer (pengembang) belum melihat peraturan itu sebagai bagian dari perlindungan konsumen perumahan dan menganggap ketentuan yang ada itu kurang jelas tentang apa yang harus dilakukannya. Demikian juga konsumen belum memahami apa yang menjadi hak-haknya untuk dilindungi.

- Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman masih lemah dalam melindungi konsumen. Kenyataan yang dihadapi oleh konsumen perumahan adalah bahwa ternyata undang-undang tersebut yang diharapkan dapat melindungi konsumen dirasakan masih kurang. Hal ini disebabkan karena undang-undang tersebut lebih difokuskan pada pembangunan perumahan itu sendiri.

- Minimnya kesadaran hukum konsumen disebabkan karena kurangnya pengetahuan konsumen terhadap hak-haknya sebagai konsumen.

- Belum efektifnya pengawasan pemerintah terhadap kontrak baku yang ada. - Sulitnya beracara di pengadilan. Ketentuan tata cara beracara di pengadilan

sebagaimana telah ditetapkan belum menampung kepentingan konsumen baik dari hal biaya atau ongkos perkara, maupun dalam hal pembuktian sehingga menimbulkan keengganan bagi konsumen untuk berperkara di pengadilan.

(14)

xiii

B. Permasalahan

Berdasarkan pengamatan dan penelaahan penulis dari berbagai literatur, informasi serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat tentang pembelian, pemilikan perumahan, pemukiman maka perlu kiranya penulis mengemukakan permasalahan-permasalahan yang ada dalam skripsi ini. Adapun permasalahannya adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana konsep perlindungan konsumen menurut hukum positif Indonesia? b. Bagaimana prosedur yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa yang timbul

antara konsumen dengan pengembang ?

c. Bagaimana upaya penanggulangan terhadap kendala yang dihadapi dalam perlindungan konsumen perumahan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui bagaimana konsep perlindungan konsumen menurut hukum positif Indonesia.

b. Untuk mengetahui prosedur yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa yang timbul antara konsumen dengan pengembang.

c. Untuk mengetahui upaya penanggulangan terhadap kendala yang dihadapi dalam perlindungan konsumen perumahan.

2. Manfaat Penulisan

(15)

xiv

1. Secara akademik penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu khususnya tentang perlindungan konsumen terhadap pembelian perumahan. 2. Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dan

landasan bagi penelitian lanjutan.

D. Keaslian Penelitian

Sepanjang pengetahuan penulis, penulisan tentang Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Jual Beli Perumahan Pada PT. Mutiara Hijau belum pernah diteliti. Oleh karena itu penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Perumahan

Perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat.

Perumahan tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya dan menampakkan jati diri. Perumahan juga berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan manusia untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya, rumah juga merupakan tempat awal pengembangan kehidupan dan penghidupan keluarga dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.

(16)

xv

ayat (2) menyatakan bahwa : “Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan”. Sedangkan pada angka (3) pasal 1 undang-undang tersebut menyatakan bahwa : “Pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung peri kehidupan dan penghidupan.

2. Tujuan Pembangunan Perumahan

Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat. Hakikat pembangunan itu mengandung makna bahwa pembangunan nasional mengejar keseimbangan, keserasian dan keselarasn antara kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah. Pembangunan nasional yang berkesinambungan diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa sehingga senantiasa mampu mewujudkan ketenteraman dan kesejahteraan hidup lahir dan batin.

Bertolak dari hakikat pembangunan nasional tersebut, maka pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur, merata materil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah negara kesatuan RI yang merdeka, bersatu dan berdaulat dalam suasana peri kehidupan yang merdeka, bersahabat, tenteram dan damai.

(17)

xvi

dengan upaya pemenuhan kebutuhan dasar tersebut sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, pembangunan perumahan ditujukan pula untuk mewujudkan pemukiman yang secara fungsional dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kebijaksanaan pembangunan perumahan juga bertujuan untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan rakyat terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini telah dilaksanakan berdasarkan upaya-upaya antara lain :

1) Menciptakan keadaan dimana setiap keluarga dapat menempati rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat dan teratur. Suatu kondisi yang memenuhi persyaratan kelayakan dalam hunian, kelayakan sosial, kelayakan kesehatan, kelayakan keamanan dan konstruksi, kelayakan kenyamanan dan keindahan serta kawasan pemukiman yang terbentuk tersebut dapat berfungsi sebagai wahana kehidupan dan penghidupan warganya yang semakin tertib dan meningkat mutunya.

2) Mendorong terciptanya kawasan pemukiman yang dapat berkembang sebagai pusat pertumbuhan bagi wilayah sekitarnya.

3) Mengusahakan agar proses pembangunan perumahan pemukiman dapat menjadi peluang dalam memperluas kesempatan kerja serta menggerakkan kegiatan ekonomi.

(18)

xvii

5) Mengarahkan peran pemerintah untuk memberikan penyuluhan, bimbingan dan menciptakan iklim usaha serta iklim pembangunan, disamping itu mendorong dan menggerakkan serta merangsang peran serta masyarakat luas, menumbuhkan swakarsa dan mengembangkan swadaya masyarakat sehingga secara bertahap masyarakat semakin mampu memenuhi kebutuhan perumahan sendiri. Pemerintah juga mengatur agar pelaksanaan pembangunan perumahan itu dapat berjalan dengan tertib dan teratur.

6) Memberikan arah kepada pembangunan dan pemukiman yang dilaksanakan berdasarkan asas-asas keadilan, pemerataan dan keterjangkauan, berwawasan lingkungan serta memperhatikan kondisi sosial budaya setempat.

7) Memberikan penekanan kepada pembangunan perumahan dan pemukiman yang bersifat multi sektoral, yang perlu didukung oleh berbagai kebijaksanaan penunjang, meliputi aspek-aspek tata ruang, pertanahan, prasarana dan fasilitas lingkungan, teknologi membangun, industri bahan bangunan dan jasa konstruksi, pembiayaan, pengembangan sumber daya manusia, kelembagaan, peraturan perundang-undangan serta penelitian dan pengembangan oleh karenanya diperlukan koordinasi yang efektif antara unsur-unsur instansi yang terkait dalam penanganan masalah perumahan dan pemukiman.

Undang-undang nasional Indonesia yang mengatur tentang perumahan dan pemukiman antara lain : UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang mana dalam pasal 3 menyebutkan pembangunan rumah susun bertujuan untuk :

(19)

xviii

b. Meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan pemukiman yang lengkap, serasi dan seimbang.

2) Memenuhi kebutuhan untuk kepentingan lainnya yang berguna bagi kehidupan masyarakat dengan tetap mengutamakan ketentuan ayat (1) huruf a.

Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman dalam pasal 4 menjelaskan tentang tujuan penataan perumahan dan pemukiman yaitu :

a. Memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

b. Mewujudkan perumahan dan pemukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.

c. Memberi arah pada pertumbuhan wilauyah dan persebaran penduduk yang rasional.

d. Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan bidang-bidang lain.

Prof. Dr. A.P. Parlindungan, SH memberikan komentar terhadap tujuan penataan perumahan dan pemukiman tersebut, yaitu : “Bahwa kebutuhan papan bagi masyarakat luas dalam peningkatan kesejahteraan rakyat dan adanya perumahan dan pemukiman yang memenuhi standar. Disamping itu juga dengan perumahan yang tertib dan rapi tersebut menunjang adanya pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya.1

1

(20)

xix

Secara ringkas bahwa tujuan pembangunan perumahan adalah mewujudkan tersedianya rumah dalam jumlah yang memadai, di dalam lingkungan yang memenuhi syarat-syarat kesehatan, kuat dalam jangkauan daya beli rakyat banyak.

3. Kedudukan Konsumen Pada Perjanjian Jual Beli Rumah

Untuk kepraktisan dari segi hubungan hukum antara pengembang dengan konsumen, pada umumnya pengembang sebagai pihak yang kedudukannya lebih kuat, menciptakan formulir-formulir standar yang mengikat (standard form contracts).

Dalam praktek perlindungan konsumen, formulir-formulir itu disebut sebagai kontrak standar. Penggunaan istilah kontrak dalam hal ini bukanlah istilah “kontrak rumah” sehari-hari yang digunakan masyarakat awam, yang membedakannya dengan “sewa rumah”. Kontrak disini dirumuskan sebagai berikut : “Suatu kontrak dibuat dimana para pihak memberikan persetujuannya, atau dimana mereka diminta persetujuannya dan hukum mengakui hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian”. Sedangkan standar disini memiliki pengertian baku. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kontrak standar adalah perjanjian atau persetujuan yang dibuat para pihak mengenai suatu hal yang telah ditentukan secara baku (standar) serta dituangkan secara tertulis.

(21)

xx

tanggungjawab pengembang dalam hal terlambat menyerahkan bangunan, membebaskan pengembang dari tuntutan atas kondisi/kualitas bangunan yang melampaui batas waktu seratus hari sejak serah terima bangunan fisik rumah atau satuan rumah susun, sebaliknya bila konsumen terlambat membayar angsuran dikenakan penalti atau denda.

Hondius menyebut pembuat kontrak standar itu sebagai “pembuat undang-undang swasta” atau “hakim swasta”. Lebih lanjut dikatakannya adanya penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheiden), karena pihak lain berada keseluruhannya di bawah kemurahan hati pengusaha yang muncul sebagai “hakim swasta”. 2

Oleh karena kontrak, yang biasanya disebut juga dengan PPJB dibuat oleh pengembang, subjektifitas pengembang sangat mempengaruhi dalam memasukkan kepentingan-kepentingannya didalam PPJB, sebaliknya sulit bagi konsumen untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan didalam PPJB itu walaupun sudah ada UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, namun kepentingan konsumen tidak terlindungi.

(22)

xxi

menandatanganinya jika setuju silahkan pilih, jika tidak setuju silahkan cari pengembag lain, padahal pengembang lain pun melakukan hal yang sama.

Sejumlah ketidakadilanpun dijumlah dalam klausula-klausula PPJB. Pertama akibat keterlambatan pembayaran yang dialami konsumen. Klausula-klausula dalam PPJB menentukan bahwa konsumen harus membayar denda yang tinggi, bahkan menghadapi pembatalan perjanjian dengan tanpa pengembalian sebagian atau keseluruhan uang muka yang sudah dibayarkan. Dalam hubungan ini, bila pengembang yang terlambat menyelesaikan atau menyerahkan bangunan, akibat yang dialaminya hanya sebatas denda atau bahkan akibat yang dialami pengembang tidak diatur sama sekali dalam PPJB dan kerugian-kerugian akibat keterlambatan itu juga tidak diperhitungkan.

Kedua, pembatasan tanggungjawab pengembang akas klaim atau tuntutan konsumen. Dalam praktek, penerapannya dilakukan dengan mencantumkan klausula-klausula dalam PPJB yang pada intinya menetapkan suatu tengang waktu untuk mengajukan klaim atau kondisi/mutu bangunan atau hal-hal lain yang dijanjikan pengembang. Biasanya dalam PPJB dicantumkan klausula bahwa konsumen dapat mengajukan klaim kepada pengembang dalam waktu 90 hari atau 100 hari setelah serah terima bangunan, termasuk dalam hal ini masalah cacat tersembunyi. Lewat dari waktu yang ditentukan secara sepihak itu, klaim atas apapun tidak dilayani. Pembatasan ini tidak adil bagi konsumen karena waktu 90 hari atau 100 hari hanya cukup untuk meneliti kondisi atau kualitas bangunan yang terlihat kasat mata sedangkan untuk mengetahui cacat-cacat tersembunyi pada bangunan, seperti konstruksi bangunan, penggunaan semen yang tidak sesuai

2

(23)

xxii

dengan perbandingan dan sebagainya tidak cukup dalam waktu itu. Klaim konsumen tentang hal itu tidak dilayani pengembang setelah melampaui jangka waktu tersebut. Ini sama saja mengabaikan hak konsumen untuk mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya. Dalam keadaan ini pihak pengembang menggunakan kedudukannya itu untuk membebankan kewajiban yang berat kepada pihak yang lainnya (konsumen), sedangkan ia sedapat mungkin membatasi atau mengesampingkan tanggungjawabnya, termasuk dalam hal-hal adanya cacat tersembunyi pada obyek perjanjian.

Pasal 1493 KUH Perdata memang memungkinkan untuk mengurangi kewajiban salah satu atau kedua belah pihak dengan menentukan sebagai berikut : “Kedua belah pihak diperbolehkan, dengan persetujuan-persetujuan istimewa, memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang ini, bahkan mereka itu diperbolehkan mengadakan persetujuan bahwa si penjual tidak akan diwajibkan menanggung suatu apapun”.

Ketentuan ini sering digunakan untuk memojokkan konsumen secara hukum, padahal pasal berikutnya (pasal 1494 KUH Perdata) menegaskan bahwa : “meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan menanggung suatu apapun, namun ia tetap bertanggungjawab tentang apa yang berupa akibat dari suatu perbuatan yang dilakukan olehnya, segala persetujuan yang bertentangan dengan hal ini adalah batal”.

Dengan melihat ketentuan ini bahwa sebenarnya pengembang dalam menciptakan kontrak standar tidak akan sewenang-wenang dalam memasukkan

(24)

xxiii

kepentingan-kepentingannya, sebaliknya dengan merujuk pada asas kebebasan berkontrak dan meminta perbaikan atau perubahan klausula-klausula dalam PPJB.

4. Pemberian Hak Atas Tanah Untuk Perumahan

Apabila telah diperoleh izin lokasi untuk yang dimohonkan maka sudah dapat dimulai kegiatan perolehan tanahnya. Kemudian bila telah diperoleh tanahnya, maka pemohon harus mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut, yang dalam hal ini adalah Hak Guna Bangunan.

Kemudian setelah menerima permohonan Hak Guna Bangunan secara lengkap, maka panitia pemeriksa tanah yang telah ditunjuk oleh Kepala Kantor Pertanahan yang dalam hal ini disebut Panitia A memeriksa dan membuat risalah pemeriksaan tanah selambat-lambatnya sepuluh hari kerja sejak diterimanya permohonan tersebut secara lengkap.

Adapun susunan Panitia A tersebut adalah :

1. Kepala seksi hak-hak atas tanah atau staf seksi hak-hak atas tanah yang senior dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, sebagai ketua merangkap anggota. 2. Kepala seksi pengukuran dan pendaftaran tanah atau staf seksi pengukuran

dan pendaftaran tanah yang senior dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, sebagai wakil ketua merangkap anggota.

(25)

xxiv

4. Kepala sub seksi pengurusan hak-hak atas tanah atau staf sub seksi pengurusan hak-hak atas tanah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, sebagai sekretaris merangkap anggota.

Kemudian selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari kerja sejak risalah pemeriksaan tanah selesai, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menerbitkan surat keputusan pemberian Hak Guna Bangunan atas permohonan tersebut yang luasnya tidak lebih dari 5 Ha. Untuk luas tanah yang lebih dari 5 Ha maka selambat-lambatnya dalam waktu tiga hari kerja Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota telah menyampaikan permohonan tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi disertai pertimbangan-pertimbangannya. Kemudian Kepala Kantor Pertanahan Propinsi menerbitkan keputusan pemberian Hak Guna Bangunan selambat-lambatnya tujuh hari kerja sejak diterimanya permohonan hak tersebut secara lengkap. Apabila ada penolakan terhadap permohonan hak atas tanah tersebut, maka disampaikan kepada yang bersangkutan dengan tembusan kepada instansi yang terkait.

Oleh Kepala Kantor Pertanahan setempat akan dibukukan dan diterbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan dalam waktu tujuh hari kerja sejak diterimanya : a. Asli surat keputusan pemberian hak.

b. Asli bukti pembayaran uang pemasukan/uang administrasi dan kewajiban lain yang diisyaratkan dalam keputusan pemberian hak.

Adapun bentuk dan jenis-jenis hak atas tanah yang dapat dimiliki perusahaan pembangunan perumahan adalah :

(26)

xxv a. Hak pengelolaan

b. Hak Guna Bangunan da c. Hak Pakai

2. Untuk perusahaan pembangunan perumahan yang modalnya berasal dari swasta dapat diberikan :

a. Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai b. Hak Pakai

Jika diberikan hak pengelolaan, maka hak pengelolaan itu dengan suatu janji dapat diberikan Hak Milik, Hak Guna Bangunan, kemudian dapat pula diberikan secara langsung Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai oleh negara.

Untuk Perum Perumnas, dapat diberikan Hak Milik, namun badan hukum swasta lainnya tidak dapat diberikan hak milik, karena memang tidak ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk bisa memperoleh hak milik tersebut.

Terhadap tanah-tanah hak, baru dapat dimiliki oleh pengembang pembangunan perumahan setelah memenuhi syarat-syarat sebagai pemegang hak atas tanah dan harus terlebih dahulu mendapatkan izin lokasi sebagai persyaratan untuk pengembang. Peralihan haknya haruslah dilakukan pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

(27)

xxvi

September pada tahun ke tiga puluh berikutnya terhitung sejak diterbitkannya keputusan pemberian izin lokasi.

Untuk tanah-tanah dengan sertifikat Hak Guna Bangunan dapat dilakukan langsung pemindahan haknya dihadapan PPAT dan kemudian dilakukan pendaftaran peralihan haknya di Kantor Pertanahan setempat dan sekaligus diberikan perpanjangan haknya dan akan berakhir pada tanggal 24 September pada tahun ke tiga puluh sejak dikeluarkannya izin lokasi.

Sedangkan untuk tanah-tanah yang bersertifikat Hak Guna Usaha, bidang tanah tersebut diterbitkan sertifikat Hak Guna Bangunannya dengan dilampiri gambar situasi atau surat ukur pemisahan yang jangka waktu berakhir haknya adalah sama dengan berakhirnya Hak Guna Usaha tersebut. Demikian pula terhadap tanah-tanah dengan hak pakai harus terlebih dahulu dimohonkan Hak Guna Bangunannya.

Berbeda dengan tanah-tanah perorangan atau tanah-tanah milik adat yang belum bersertifikat, maka harus terlebih dahulu dimohonkan sertifikat Hak Miliknya lalu hak tersebut dilepaskan dan dimohonkan Hak Guna Bangunan atas tanah tersebut setelah lewat waktu pengumuman atas tanah tersebut.

Adapun tanah-tanah yang langsung dikuasai oleh negara, pemohon harus terlebih dahulu membebaskan tanah tersebut dari semua penggarap atau penguasaan lain atas tanah tersebut sebelum mengajukan haknya.

5. Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Rumah

(28)

xxvii

Estate Indonesia (REI), sehingga memberikan indikasi bahwa peranan developer swasta dalam pembangunan perumahan cukup besar, bahkan ada kecenderungan akan ditingkatkan lagi untuk masa yang akan datang.

Adapun proses pelaksanaan perjanjian jual beli perumahan itu biasanya apabila calon konsumen yang ingin membeli sebuah rumah, maka calon konsumen tersebut akan mendatangi kantor developer perumahan tersebut dan memilih perumahan mana yang akan dipilih.

Prosedur jual beli rumah yang dilakukan oleh developer biasanya hampir sama seperti yang dilakukan oleh kantor-kantor developer lainnya. Setelah memilih rumah yang akan dibeli, konsumen dan pihak developer akan menandatangani perjanjian pendahuluan untuk membuktikan adanya hubungan hukum antara konsumen dengan developer. Bagi konsumen yang membayar dengan uang kontan, maka pembayaran uang muka dilakukan di kantor developer dan sisanya dengan transfer uang melalui bank yang ditunjuk oleh developer ke nomor rekening perusahaan developer.

(29)

xxviii

F. Metode Penelitian

Penggunaan metode penelitian ini penting supaya masalah-masalah di atas dapat terjawab dengan cepat.

Dalam memperoleh data-data yang diperlukan sehingga isi skripsi ini dapat terungkap dengan jelas penulis menggunakan dua cara, kedua cara yang dimaksud adalah :

1. Penelitian kepustakaan (library research).

Dalam rangka pengumpulan data-data melalui penelitian kepustakaan maka penulis meneliti melalui sumber bacaan yang berhubungan dengan judul skripsi ini, yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan menganalisa masalah-masalah yang dihadapi. Penelitian dilakukan dengan membaca serta menganalisa peraturan perundang-undangan maupun dokumentasi lainnya seperti karya ilmiah para sarjana, majalah maupun surat kabar dan sumber teoritis lainnya yakni buku-buku dan catatan penulis yang diperoleh dari kegiatan perkuliahan yang berkaitan dengan materi skripsi yang penulis ajukan.

2. Penelitian lapangan (field research)

(30)

xxix

a. Wawancara (interview) yaitu mengadakan tanya jawab dengan instansi-instansi maupun kantor-kantor yang ada hubungannya dengan penelitian ini.

b. Pengamatan (observasi) yaitu penelitian dengan cara melakukan pengamatan atau pencatatan secara sistimatis terhadap objek yang diteliti sesuai dengan data-data yang telah dikumpulkan penulis kemudian disajikan sebagai gambaran dari keadaan yang sebenarnya (deskriptif) dengan berpedoman kepada bentuk metode penelitian karya ilmiah yang kiranya dapat diterima oleh semua pihak.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan

Bab ini merupakan bab pembuka yang berisikan latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II : Tinjauan Tentang Hukum Konsumen

Pada bab ini diuraikan tentang pengertian dan hak-hak dasar konsumen, dasar hukum, tujuan perlindungan konsumen serta hak-hak dan kewajiban konsumen.

Bab III : Tinjauan Umum Tentang Jual Beli

(31)

xxx

Bab IV : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pembelian Rumah Pada PT. Mutiara Hijau

Pada bab ini diuraikan tentang perlindungan konsumen menurut hukum positif Indonesia, prosedur yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa yang timbul antara konsumen dengan pengembang serta upaya penanggulangan terhadap kendala yang dihadapi dalam perlindungan konsumen perumahan.

Bab V : Kesimpulan dan saran

(32)

xxxi

BAB II

TINJAUAN TENTANG HUKUM KONSUMEN

A. Pengertian dan Hak-hak Dasar Konsumen

Istilah konsumen berasal dari bahasa Belanda “konsument”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsumen diartikan sebagai barang-barang hasil industri (bahan pakaian,makanan, dsb.) para ahli hukum (leguleius, legum peritus) pada umumnya sepakat bahwa konsumen diartikan sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijke gebruiker van goederen en diensten) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha (ondernamer). Dari Pengertian tersebut dapat dipahami bahwa konsumen merupakan pemakai benda dan jasa yang merupakan hasil proses industri dari pihak pengusaha produsen.

Pengertian Yuridis formal ditemukan dalam Pasal 1 angka (2) UUPK dinyatakan bahwa :

3

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

Berdasarkan pengertian yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa Konsumen adalah pihak yang memakai, membeli, menikmati, menggunakan barang dan /atau jasa dengan tujuan untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan rumah tangganya.

3

(33)

xxxii

Menurut Pasal 1 angka (2) UUPK dikenal istilah Konsumen akhir dan Konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan Konsumen antara adalah Konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi lainnya. Maka dapat disimpulkan bahwa pengertian Konsumen dalam UUPK adalah Konsumen akhir (selanjutnya disebut dengan Konsumen).

Pengertian Konsumen dalam Pasal 1 angka (2) UUPK mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. Konsumen adalah setiap orang

Maksudnya adalah orang perorangan dan termasuk juga badan usaha (badan hukum atau non badan hukum).

b. Konsumen sebagai pemakai

Pasal 1 angka (2) UUPK hendak menegaskan bahwa UUPK menggunakan kata “pamakai” untuk pengertian Konsumen sebagai Konsumen akhir (end user). Hal ini disebabkan karena pengertian pemakai lebih luas, yaitu semua orang mengkonsumsi barang dan/atau jasa untuk diri sendiri.

c. Barang dan/jasa

Barang yaitu segala macam benda (berdasarkan sifatnya untuk diperdagangkan) dan dipergunakan oleh Konsumen. Jasa yaitu layanan berupa pekerjaan atau prestasi yang tersedia untuk digunakan oleh Konsumen.

d. Barang dan/jasa tersebut tersedia dalam masyarakat

(34)

xxxiii

e. Barang dan/jasa digunakan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain atau mahluk hidup lain.

Dalam hal ini tampak adanya teori kepentingan pribadi terhadap pemakaian suatu barang dan/jasa.

f. Barang dan/jasa tidak untuk diperdagangkan

Pengertian Konsumen dalam UUPK dipertegas, yaitu hanya Konsumen akhir, sehingga maksud dari pengertian ini adalah konsumen tidak memperdagangkan barang dan/jasa yang telah diperolehnya. Namun, untuk dikonsumsi sendiri.

Az Nasution juga mengklasifikasikan pengertian Konsumen menjadi tiga bagian:4

a. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.

b. Konsumen antara yaitu pemakai, pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat dan/atau jasa untuk diproduksi menjadi barang dan/jasa lain untuk memperdagangkannya (distributor) dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.

c. Konsumen akhir yaitu, pemakai, pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Konsumen akhir inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam UUPK.

Konsumen memilki posisi yang sangat penting dalam kegiatan ekonomi yang juga menjadi faktor penting bagi kelancaran dunia usaha bagi pelaku usaha, karena Konsumen lah yang akan mengkonsumsi barang dan/jasa yang diproduksi oleh pelaku usaha tanpa memperdagangkannya kembali, yang mana akan memberikan keuntungan bagi pelaku usaha untuk kelangsungan usahanya.

(35)

xxxiv

bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari hal tersebut. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.

Pada tahun 1962 Presiden John F. Kennedy mengemukakan secara tegas hak-hak asasi (dasar) setiap konsumen. Hak-hak konsumen yang dikemukakan itu adalah :

a. Hak untuk memperoleh keselamatan dan keamanan (the right to safety).

Hak ini terutama ditujukan pada perlindungan konsumen terhadap pemasaran barang-barang/jasa yang membahayakan keselamatan jiwa atau keselamatan dirinya. Dalam rangka penggunaan hak ini, pemerintah mempunyai peranan dan tanggungjawab yang sangat penting. Berbagai bentuk perundang-undangan harus dan telah dibentuk untuk penanggulangannya, sekalipun dibanding dengan meningkatnya produksi karena pembangunan ribuan jenis barang/jasa, dirasakan peraturan-peraturan untuk menjaga keselamatan dan keamanan tersebut masih miskin.

b. Hak memilih (the right to choose) ;

Hak ini bagi konsumen sebenarnya telah ditujukan pada apakah ia akan membeli atau tidak membeli sesuati barang/jasa yang dibutuhkannya. Oleh karena itu tanpa ditunjang oleh hak untuk mendapatkan informasi yang jujur, tingkat pendidikan yang patut dan penghasilan yang memadai maka hak ini tidak akan banyak artinya. Apalagi dengan meningkatnya teknik penguasaan pasar, terutama lewat iklan, maka hak untuk memilih ini lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor di luar diri konsumen. Dengan jumlah ribuan barang-barang yang terdapat di pasar untuk pilihan tanpa digalakkannya faktor penunjang (informasi dan keterangan yang jujur mengenai suatu barang/jasa) rasanya sukar dilaksanakan hak untuk memilih ini.

c. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed)

Dari sudut kepentingan/kehidupan ekonominya, hak ini mempunyai arti yang sangat fundamental bagi konsumen. Setiap keterangan mengenai sesuatu barang/jasa yang akan dibelinya atau akan mengikat dirinya, haruslah diberikan selengkap mungkin dan dengan penuh kejujuran, informasi baik secara langsung maupun secara umum melalui berbagai media komunikasi, seharusnya disepakati bersama untuk tidak menyesatkan, berlebih-lebihan apalagi kalau memuat unsur-unsur yang membahayakan keselamatan/keamanan diri konsumen tersebut.

d. Hak untuk didengar pendapatnya (the right to be heard)

(36)

xxxv

Hak ini dimaksudkan sebagai jaminan bagi konsumen bahwa kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam pola kebijaksanaan pemerintah termasuk di dalamnya turut didengar dalam pembentukan kebijaksanaan tersebut. Dewan atau lembaga yang bertanggungjawab dalam penggarisan kebijaksanaan itu tidak hanya “production oriented”, tetapi juga haruslah

“consumers oriented”, tidak hanya memperhatikan peningkatan

ekonomi/produksi tetapi juga memperhatikan keamanan, keselamatan dan kesejahteraan konsumen pada umumnya.5

Selanjutnya oleh Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dilahirkan satu hak konsumen, yaitu hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik.

Konsumen mempunyai hak untuk lingkungan yang baik, yaitu udara yang bebas dari pencemaran asap-asap pabrik, kenderaan bermotor, bebas dari kebisingan, air yang bebas dari pencemaran sampah pabrik-pabrik ataupun sampah rumah tangga. Suasana lingkungan yang baik dalam arti kata kita dapat menikmati hidup dengan aman dan tenteram. Tetapi ada perbedaan dengan hak-hak konsumen yang lain, hak-hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik ini perlu diikuti dengan tanggungjawab dari konsumen untuk menjaga lingkungannya misalnya tidak membuang sampah sembarangan, tidak mencemari air sungai dengan membuang sampah ke dalamnya, tidak melakukan penggundulan hutan dan lain-lain. Kelima hak-hak tersebut di atas merupakan hak-hak konsumen yang bersifat universal.

Selanjutnya dalam UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 pada pasal 4 ditegaskan hak-hak konsumen, yaitu :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa ;

5

(37)

xxxvi

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan ;

3. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa ;

4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.

5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen

7. hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

B. Dasar Hukum

Pada hakekatnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu :

(38)

xxxvii

ekonomi yang demokratis sehingga mampu menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.

Kedua, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Lahirnya undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang dan jasa, Undang-undang Perlindungan Konsumen ini menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen.

C. Tujuan Perlindungan Konsumen

Di dunia internasional, masalah perlindungan konsumen mendapat perhatian dari PBB dengan dikeluarkannya Resolusi No. 39/248 pada Sidang Umum PBB ke-106 pada tanggal 9 April 1985. Resolusi tersebut mengemukakan :

a. Perlindungan konsumen dari bahaya terhadap kesehatan dan keamanan b. Promosi dan perlindungan pada kepentingan ekonomi konsumen.

c. Terjadinya informasi yang mencukupi, sehingga dilakukannya pilihan sesuai kehendak dan kebutuhan.

d. Pendidikan konsumen

e. Tersedianya cara-cara ganti rugi yang efektif.

(39)

xxxviii

Selanjutnya oleh pemerintah Indonesia perlindungan konsumen itu juga telah mulai diperhatikan dengan dikeluarkannya kebijakan/peraturan mengenai hal itu yakni melalui Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 khususnya pada pasal 3 yang menyatakan : perlindungan konsumen bertujuan : a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri ;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha.

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjadi kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

Demikianlah perlindungan konsumen telah dengan jelas diungkapkan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.

(40)

xxxix

Selama orde baru, upaya dari berbagai pihak untuk memiliki Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak pernah terwujud, sehingga hak-hak konsumen selalu tidak diperdulikan oleh pelaku usaha. Kalaupun ada perlindungan hukum, sifatnya hanya sporadis dalam beberapa peraturan perundang-undangan, dan penegakan baik oleh pemerintah maupun pelaku usaha tidak optimal. Konsumen dalam menggunakan hak yuridisnya secara penuh dan pelaku usaha sering mengabaikan kewajibannya untuk melindungi konsumen terhadap produk-produk yang dihasilkan.

Secara harfiah diketahui, perlindungan konsumen berarti upaya pembelaan konsumen dalam seluruh sistem suatu struktur perekonomian. Orientasinya adalah perubahan keadaan menjadi lebih menguntungkan dan memperkuat peran dan posisi konsumen. Undang-undang Dasar 1945 menyatakan dalam pasal 27 "segala warga negara Republik Indonesia bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerinthan itu dengan tidak ada kecualinya".

Dari pasal 27 Undang-undang Dasar 1945 ini terkandung arti bahwa hak-hak konsumen adalah hak-hak-hak-hak konstitusional, artinya diakui oleh hukum.

Sejalan dengan itu Tan Kamello 6

mengemukkan bahwa : hak konsumen merupakan wewenang yang diberikan oleh hukum untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu perbuatan hukum. Hak konsumen itu tertuju kepada pihak-pihak yang mengedarkan produk sampai ke pasar yakni mereka yang memegang kewajiban hukum tersebut.

6

(41)

xl

Di Amerika Serikat, Presiden John F. Keneddy mengemukakan ada 4 (empat) hak dasar yang menjadi hak konsumen, yaitu :

1. hak memperoleh keamanan (the right to safety)

2. hak memilih (the right to choose)

3. hak mendapatkan informasi (the right to be informed)

4. hak untuk didengar (the right to be heard)7

Sementara itu menurut yayasan lembaga konsumen Indonesia 8 yang menjadi hak-hak konsumen yaitu :

1. Hak atas keamanan dan keselamatan

Hak ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan keamanan dan keselamatan dalam memakai/menggunakan barang dan/atau jasa. Karena itu setiap pengusaha dalam setiap memproduksi suatu barang dan/atau jasa harus memenuhi :

a. memenuhi persyaratan peraturan yagn telah ditentukan oleh pemerintah. b. Menjamin hasil produksinya aman/tidak berbahaya bila dimakan atau

digunakan.

2. Hak untuk mendapatkan informasi.

Hak ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi yang benar pada setiap barang dan/atau jasa yang akan dikonsumsi ;

a. dengan mendapatkan informasi yang benar dan lengkap, konsumen akan dapat mencegah atau mengurangi bentuk kerugian atau bencana.

7

(42)

xli b. Informasi tersebut antara lain meliputi :

a. keterangan tidak hanya mengenai kehebatan dan manfaat dari suatu barang, tetapi yang lebih penting adalah akibat-akibat sampingan yang dapat timbul dari pemakaian barang/produk tersebut.

b. Cara penggunaan, cara merawat.

Informasi barang atau jasa dapat diperoleh : a. secara langsung oleh pedagang.

b. Tercantum pada label barang tersebut.

c. Melalui promosi pada media massa, brosur, para salesman/salesgirl, dll.

3. Hak untuk memilih

Konsumen mempunyai hak untuk memilih/memakai barang dan jasa yang dibutuhkan secara bebas, atas dasar keyakinan diri sendiri bukan karena dipengaruhi dari luar.

Dalam memilih/menentukan sesuatu barang dan/atau jasa, konsumen berhak menentukan pilihannya baik kualitas maupun kuantitasnya.

4. Hak untuk didengar

Hak ini dimaksudkan sebagai hak konsumen secara kolektif atau individu untuk didengar pendapatnya mengenai berbagai keputusan atau kebijaksanaan yang akan berakibat pada dirinya.

8

(43)

xlii

Hak untuk didengar dapat diungkapkan dengan cara : mengadu kepada produsen/penjual/instansi yang berkaitan dengan masalah tersebut apabila ia dirugikan atau dikecewakan dalam mengkonsumsi barang an/atau jasa.

5. Hak untuk mendapat lingkungan yang bersih dan sehat.

Hak ini dimaksudkan agar konsumen mendapatkan lingkungan hidup yang baik bebas dari berbagai pencemaran (polusi).

Selain itu yayasan lembaga konsumen Indonesia juga terdapat kewajiban konsumen, sebab untuk mendapat hak, harus juga memenuhi kewajiban.

Adapun kewajiban konsumen menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yaitu : 9

1. Bersikap kritis

Bertanggungjawab untuk bertindak lebih waspada dan kritis terhadap harga dan mutu suatu barang atau jasa yang digunakan, serta akibat lain yang mungkin ditimbulkan.

2. Berani bertindak atas kesadaran.

Berani bertindak guna melindungi dirinya sendiri maupun secara berkelompok dalam upaya menjamin perlakuan yang adil.

3. Memiliki kepedulian sosial

9

(44)

xliii

Turut bertanggungjawab serta waspada terhadap segala akibat yang ditimbulkan oleh sikap dan pola konsumsi kita bagi orang lain terutama golongan masyarakat bawah.

4. Tanggungjawab terhadap lingkungan hidup.

Memiliki rasa tanggungjawab dalam melestarikan lingkungan hidup. 5. Memiliki rasa kesetiakawanan.

Maksudnya adalah mempunyai rasa tanggungjawab sosial untuk menggalang kekuatan guna mempengaruhi dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan konsumen.

Usaha yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Indonesia untuk menyebarkan hak dan kewajiban konsumen, baik melalui media massa, maupun selebaran berupa brosur, kiranya belum dapat mencapai hasil sebagainya yang diharapkan, oleh karena itu untuk memperkuat hak dan kewajiban tersebut sekarang telah ada di dalam Undang-undang Perlindungan Knsumen.

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan hak-hak dan kewajiban konsumen sebagai berikut :

Dalam Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa hak-hak konsumen adalah :

a. hak atas kenyaman, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa ;

(45)

xliv

c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa ;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan ;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut ;

f. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen ;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif ;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Selanjutnya dalam Pasal 5 UU No. 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa kewajiban konsumen adalah :

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati ;

(46)

xlv

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG JUAL BELI

A. Pengertian Jual Beli

Menurut pasal 1457 KUH Perdata jual beli adalah suatu perjanjian timbal balik antara penjual dan pembeli, dengan mana pihak penjual mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu benda, sedangkan pihak pembeli mengikatkan diri untuk membahar harga benda sebagaimana yang sudah diperjanjikan. Jual beli semacam ini sering terjadi antara pedagang dan pribadi atau pribadi dengan pribadi. Jual beli perdata ini sudah diatur dalam KUH Perdata, Buku Ketiga, Bab Kelima. Hal ini termasuk dalam hukum perdata dan termasuk dalam hukum dagang. 10

Jadi, dari dalam perjanjian-perjanjian jual beli timbul perutangan-perutangan, tetapi pada kebanyakan perjanjian-perjanjian jual beli yang diadakan sehari-hari, hal ini tidaklah ternyata, oleh karena disitu, tegasnya pada pembelian dalam toko pada galibnya terjadi pembayaran tunai. Perutangan dari penjual untuk menyerahkan benda dari pembeli untuk membayar, dipenuhi pada ketika itu juga dan persetujuan kehendak konsensus yang disyaratkan bagi terjadinya perjanjian, ternyata kebanyakan terjadi secara diam-diam, khususnya pada barang-barang yang diberi harga.

(47)

xlvi

disyaratkan adanya tulisan, dan apabila itu diadakan, gunanya ialah melulu untuk pembuktian.

Lain halnya dengan sewa beli, sebuah bentuk khusus daripada jual beli dengan mencicil, sedangkan pada penjualan benda-benda tak bergerak untuk terjadinya perjanjian memang tidak disyaratkan adanya tulisan, tetapi bagi penyerahannya, suatu akta tertulis adalah tidak dapat tidak harus ada.

Hal melakukan perbuatan-perbuatan yang disertai upacara pada saat mengadakan perjanjian jual beli memang terdapat dan itu berdasarkan kebiasaan-kebiasaan setempat demikianlah misalnya jual beli dengan pukul tangan dalam lalu lintas pasar yang terjadi di negeri Belanda.

Salah satu dari ketentuan-ketentuan yang paling prinsipal dari perjanjian jual beli ialah ketentuan di dalam pasal 1494, dimana persetujuan kehendak antara para pihak adalah cukup bagi terjadinya perjanjian. Persetujuan kehendak ini harus mengenai benda yang akan dilever maupun harga yang terhutang untuk itu. Karena perjanjian belaka dalam eigendom, benda yang dijual belumlah beralih kepada pembeli. Dalam hal ini terletak perbedaan penting dengan hukum dari code civil. Baru pada saat penyerahan terjadilah peralihan eigendom, perjanjian jual beli tersebut merupakan dasar dari penyerahan, yaitu sebagai alas haknya.

Mengenai cara terjadinya perjanjian jual beli, dapatlah dibedakan atas dua bagian yaitu :

- Perjanjian di bawah tangan atau disebut juga pembelian dari dalam tangan. - Perjanjian dimuka umum atau dimuka publik yaitu penjualan yang dilakukan

kepada penawar yang paling tinggi tawarannya baik dengan cara penawaran

10

(48)

xlvii

yang makin menaik maupun yang makin menurun, ataupun secara kombinasi. Maksud penjualan dimuka umum ini ialah untuk memperoleh hasil setinggi mungkin. Penjualan ini dilangsungkan menurut kebiasaan setempat dan kebanyakan dilakukan dihadapan seorang notaris atau jurusita.

Harus dibedakan dari perjanjian jual beli ialah kesanggupan membeli yang singkatnya ialah bahwa pihak pertama mengikat diri menjual kepada pihak lainnya, apabila yang terakhir ini menghendaki yang demikian itu. Jadi, disitu lantas ada suatu penawaran mengikat, sering disebut opsi, seperti misalnya pada perjanjian-perjanjian sewa menyewa, dimana orang yang menyewakan menyatakan bersedia untuk menjual benda yang disewakan kepada penyewa atau pula membiarkan penyewa itu menikmati pengutamaan, jika bendanya dijual.11

B. Dasar Hukum

Dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan perumahan dengan harga yang dapat dijangkau oleh setiap lapisan masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi lemah yang benar-benar sangat membutuhkan perumahan sebagai tempat tinggal sehingga apa yang menjadi tujuan pembangunan tersebut dapat tercapai dengan baik.

Pembangunan perumahan adalah usaha yang secara sadar dilaksanakan oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah dalam rangka pertumbuhan dan perubahan yang berencana menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa terlepas dari sistem politik dan ekonomi yang dianut oleh suatu negara, khususnya negara Indonesia yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan

11

(49)

xlviii

keadilan bagi seluruh warganya. Maka tampak jelaslah disini tujuan dilaksanakannya pembangunan perumahan, khususnya bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah serta untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, yaitu masyarakat yang adil dan makmur.

Untuk dapat terlaksananya pembangunan perumahan dan pemukiman yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat telah diundangkan oleh pemerintah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hal itu, yaitu :

1. PMDN No. 5 Tahun1973 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah.

2. PMDN No. 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan.

3. PMDN No. 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah yang telah diubah dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

4. PMDN No. 1 Tahun 1977 tanggal 17 Pebruari 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak atas Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan serta Pendaftarannya.

5. Surat keputusan bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 959/KPTS/1983

6. PMDN No.2 Tahun 1984 tanggal 28 Januari 1984 tentang Penyediaan Tanah untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan.

tentang Penanganan Bidang Perumahan Rakyat No. 3/KPTS/1983

(50)

xlix

8. PMDN No. 3 Tahun 1987 tentang Penyediaan dan Pemberian Hak Atas Tanah untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan.

9. PP No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun.

10.Kepmen. Pekerjaan Umum No. 01/KPTS/1989 tentang Pedoman Teknik Pembangunan Kapling Siap Bangun (KSB).

11.Kepmen Perumahan Rakyat No. 11/KPTS/1989 tentang Pedoman Pengadaan Perumahan dan Pemukiman dengan Fasilitas KPR-BTN oleh Koperasi.

12.Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 41/PRT/1989 tentang Pengesahan 25 Standar Konstruksi Bangunan Indonesia Menjadi Standar Pembangunan Nasional Indonesia.

13.UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. 14.UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

15.Surat Edaran Menteri Negara Agraria/KBPN No. 500-1988 tanggal 29 Juni 1994 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keppres No. 55 Tahun 1993.

16.Peraturan Menteri Negara Agraria/KBPN No. 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

(51)

l

18.Surat Edaran Menteri Negara Agraria/KBPN No. 500-1567 tanggal 2 Juli Tahun 1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Hak Milik atas Tanah RSS dan RS.

C. Hak dan Kewajiban Dalam Jual Beli

Seperti kita ketahui bahwa di dalam setiap hubungan hukum, terdapat hak dan kewajiban dari pihak yang mengadakan hubungan hukum tersebut. Maka para pihak (penjual dan pembeli) masing-masing mempunyai hak dan kewajiban.

Hak dan kewajiban penjual

Di dalam perjanjian jual beli pihak penjual mempunyai dua kewajiban pokok yaitu :

1. Menyerahkan barang serta menjamin si pembeli dapat memiliki barang itu dengan tenteram.

2. Bertanggungjawab terhadap cacat-cacat tersembunyi. 12

Berbicara mengenai kewajiban dari penjual tersebut maka hal itu akan mudah dilakukan jika antara penjual dan pembeli berada di satu tempat, atau bilamana perjanjian jual beli tersebut merupakan perjanjian jual beli yang bersifat nasional. Namun di dalam jual beli internasional tidaklah semudah melaksanakan kewajiban penjual seperti didalam perjanjian jual beli yang bersifat nasional/jual beli biasa, hal ini disebabkan antara lain karena pihak pembeli dan pihak penjual terpisah satu sama lainnya, baik secara geografis maupun oleh batas kenegaraan.

(52)

li

Oleh karena itu pihak penjual haruslah berusaha bagaimana caranya supaya dapat memenuhi kewajiban untuk menyerahkan barang kepada pembeli serta bertanggungjawab terhadap cacat-cacat tersembunyi dari barang yang dijualnya kepada si pembeli.

Selain kedua kewajiban dari pihak penjual tersebut di atas, maka pihak penjual juga mempunyai hak di dalam jual beli itu yakni menerima pembayaran sejumlah uang dari harga barang yang dijualnya. Mengenai penerimaan pembayaran barang oleh penjual dari pihak pembeli, maka hal ini mempunyai hubungan yang erat dengan bagaimana para pihak menyepakati cara pembayaran jual beli tersebut.

Hak dan Kewajiban Pihak Pembeli

Adapun kewajiban dari pihak pembeli di dalam jual beli adalah membayar harga barang yang dibelinya kepada pihak penjual.

Tentang cara pembayaran, maka para pihak dapat menentukan salah satu cara pembayaran yang lazim berlaku di dalam perdagangan. Sedangkan hak dari si pembeli adalah menerima barang yang dibelinya dari si penjual. Hak si pembeli untuk menerima yang dibelinya dari si penjual ini mempunyai kaitan erat dengan adanya penyerahan yang dilakukan oleh pihak penjual kepada pembeli.

D. Obyek Jual Beli

Obyek dalam suatu perjanjian jual beli dapat diartikan sebagai hal yang diperlakukan oleh subyek, berupa suatu hal yang penting dalam tujuan untuk

12

(53)

lii

membentuk suatu perjanjian, yaitu berupa barang. Oleh karena itu, obyek, dalam perhubungan hukum perihal perjanjian ialah : hal yang diwajibkan kepada pihak berwajib (debitur), dan hal terhadap mana pihak berhak (kreditur) mempunyai hak.

(54)

liii

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN

DALAM PEMBELIAN RUMAH PADA

PT. MUTIARA HIJAU

A. Perlindungan Konsumen Menurut Hukum Positip Indonesia

1. Perlindungan Konsumen Menurut KUH Perdata

Perjanjian jual beli rumah melalui developer pada umumnya dilakukan dengan menandatangani perjanjian baku. Satu hal yang selalu menjadi permasalahan dalam perjanjian baku ini adalah adanya syarat-syarat eksonerasi yaitu pembebasan pertanggungjawaban dari debitur.

Menurut Purwahid Patrik, perjanjian yang dilakukan dengan syarat-syarat eksonerasi adalah dibuat tertulis oleh pihak yang membuatnya yang dicantumkan sebagai syarat-syarat baku dan diberlakukan bagi para konsumen yang membutuhkannya”. 13

Demikian banyaknya syarat-syarat eksonerasi dalam dunia perdagangan telah membuat seakan-akan bahwa syarat ini merupakan syarat yang wajib dan konsumen telah terbiasa dengan adanya syarat seperti itu. Sehingga konsumen tidak merasa bahwa dengan adanya syarat eksonerasi, hak-haknya telah dibatasi oleh syarat-syarat dari pihak lain. Padahal apabila developer telah melakukan penawaran dan konsumen telah menerima penawaran tersebut terjadilah

13

(55)

liv

kesepakatan dan perjanjian telah mengikat sesuai dengan pasal 1338 KUH Perdata. Artinya konsumen telah menerima maka ia terikat dengan syarat yang dicantumkan dalam perjanjian.

Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan antara lain bahwa untuk sahnya perjanjian, suatu perjanjian harus memenuhi syarat sebab yang halal. Sehubungan dengan ini telah diatur pula dalam pasal 1335 KUH Perdata bahwa : “Perjanjian tanpa sebab atau sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan”. Selanjutnya pasal 1337 KUH Perdata juga mengatur bahwa : “Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum”. Adanya syarat-syarat eksonerasi perjanjian yang merupakan syarat-syarat baku ini pada umumnya telah mengakibatkan kerugian bagi kepentingan konsumen. Untuk itu, menurut Purwahid Patrik, konsumen dapat dilindungi terhadap pihak yang membuat eksonerasi apabila dapat membuktikan. 14

a. Syarat eksonerasi itu bertentangan dengan kesusilaan adalah batal menurut hukum (van rechtswesfe nietig) ;

b. Syarat eksonerasi itu dibuat dengan menyalahgunakan keadaan, sehingga perjanjian itu dapat dibatalkan (vernietigbaar) ;

c. Syarat eksonerasi itu tidak diberitahukan secara pantas kepada pihak lain sehingga syarat-syarat itu tidak merupakan bagian dari perjanjian itu, dan syarat itu tidak mengikat.

14

(56)

lv

Pasal 1491 KUH Perdata menekankan bahwa adanya kewajiban penjual untuk menjaminkan penguasaan benda yang dijual secara aman dan tenteram kepada pembeli dan adanya cacad-cacad barang tersebut yang tersembunyi.

Menurut Subekti, kewajiban untuk menanggung cacad-cacad tersembunyi pada barang yang dijualnya, yang dapat membuat barang itu tidak dapat dipakai keperluan yang dimaksudkan atau yang mengurangi pemakaiannya. Kalau pembeli mengetahui cacad-cacad tersembunyi itu, ia tidak akan membeli barang itu atau mungkin membelinya tetapi dengan harga yang kurang. Penjual tidak wajib menanggung terhadap cacad-cacad yang kelihatan. Hal ini sudah sepantasnya, karena dengan cacad yang kelihatan itu dapat dianggap pembeli telah membeli cacad itu. 15

Apabila terdapat cacad-cacad tersembunyi, maka pihak pembeli dapat mengajukan tuntutan pembatalan jual beli asalkan tuntutan itu diajukan dalam waktu singkat, dengan perincian tuntutan sebagaimana ditentukan oleh KUH Perdata sebagai berikut :

a. Kalau cacadnya memang semula diketahui oleh pihak penjual dalam pasal 1608 KUH Perdata ditentukan bahwa penjual wajib untuk mengembalikan harga penjualan kepada pembeli dan ditambah dengan pembayaran ganti rugi yang terdiri dari biaya, kerugian dan bunga. Disini dapat kita lihat bahwa tuntutan atas cacad yang diketahui sejak semula sama dengan tuntutan yang diatur oleh pasal 1243 KUH Perdata, yaitu berupa tuntutan pembatalan dengan tuntutan ganti rugi.

15

(57)

lvi

b. Kalau cacad ini memang benar-benar tidak diketahui oleh penjual sendiri. Pasal 1507 KUH Perdata menentukan bahwa penjual hanya berkewajiban mengembalikan harga penjualan serta biaya-biaya (ongkos) yang dikeluarkan oleh pembeli dan penyerahan barang.

c. Kalau barang-barang yang dibeli musnah sebagai akibat yang ditimbulkan oleh cacad tersembunyi. Pasal 1510 KUH Perdata menentukan penjual tetap wajib mengembalikan harga penjualan kepada pembeli.

Terhadap ketentuan di atas terdapat pengecualiannya dalam pasal 1493 dan 1506 KUH Perdata yang menentukan bahwa apabila penjual meminta diperjanjikan tidak menanggung sesuatu apapun dalam hal cacad tersembunyi pada barang yang dijualnya, maka hal itu berarti menjadi resiko pembeli sendiri.

Ketentuan lain yang terdapat dalam KUH Perdata yang masih berhubungan dengan perlindungan konsumen ini adalah ketentuan yang terdapat dalam pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum.

Menurut arrest Lidenbaum-Cohen tahun 1919 dikatakan bahwa perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja, akan tetapi termasuk juga perbuatan melawan hukum adalah: a. Perbuatan yang melanggar hak orang lain ;

b. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban orang yang berbuat atau tidak berbuat ;

c. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan maupun sikap berhati-hati sebagaimana patutnya dalam lalu lintas bermasyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang melakukan amal salih dari kalangan lelaki atau peempuan dalam keadaan beriman, benar-benar Kami akan berikan kepada mereka

Semenjak keberadaan wisata makam, masyarakat asli Tebuireng yang berjulan oleh oleh di kawasan makam lebih cenderung menggunakan bahasa Indonesia untuk berinteraksi

Gambar 3.12 Usecase Diagram Kegiatan Dosen Tetap Bidang Keahlian Sesuai Program Studi Dalam Seminar

menggambarkan ciri khas TNGC , namun belum tersedia di lokasi ekowisata. 5) Ekowisatawan berminat untuk menggunakan jasa pemandu, namun informasi tentang keberadaan

Beberapa hal telah berhasil diidentifikasi sebagai komponen- komponen penting yang berkontribusi pada proses inflamasi aterosklerosis, yaitu (1) disfungsi endotel, (2) akumulasi

merupakan kandidat yang baik sebagai pakan alami abalon tropis (Haliotis asinina) dalam pematangan gonad.. Persentase kombinasi Gracilaria

Kesimpulan pada penelitian ini adalah kesimpulan yang didapat dari analisis data iklan layanan masyarakat BKKBN Versi “2 Anak Lebih Baik” di Televisi adalah

Poin-poin aktivitas pada aspek “penggunaan material dan bahan kimia secara umum” yang belum menerapkan konsep produksi bersih dibahas dalam sesi diskusi dan