• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Jarak Tanam dan Pemberian Beberapa Pupuk Organik terhadap Penyakit Hawar Daun (Helminthosporium turcicum) Pada Tanaman Jagung (Zea mays) di Lapangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Jarak Tanam dan Pemberian Beberapa Pupuk Organik terhadap Penyakit Hawar Daun (Helminthosporium turcicum) Pada Tanaman Jagung (Zea mays) di Lapangan"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH JARAK TANAM DAN PEMBERIAN BEBERAPA

PUPUK ORGANIK TERHADAP PENYAKIT HAWAR DAUN

(Helminthosporium turcicum (Pass.)Leonard et Sugss) PADA

TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) DI LAPANGAN

SKRIPSI

OLEH :

ELSA OCTA MIRANTINA SINGARIMBUN

070302045

HPT

DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PENGARUH JARAK TANAM DAN PEMBERIAN BEBERAPA

PUPUK ORGANIK TERHADAP PENYAKIT HAWAR DAUN

(Helminthosporium turcicum (Pass.)Leonard et Sugss) PADA

TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) DI LAPANGAN

SKRIPSI

OLEH :

ELSA OCTA MIRANTINA SINGARIMBUN

070302045

HPT

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana Di Departemen Ilmu Hama Dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan

Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. Hasanuddin, MS) (Ir. Mukhtar Iskandar Pinem, MAgr Ketua Anggota

)

DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

ABSTRACT

Elsa Octa Mirantina Singarimbun, “The Influence of Planting distance and distribution some organic fertilizer to the leaf blight desease (Helminthosporium turcicum) in the corn plantation (Zea mays) under guidance Hasanuddin and Mukhtar Iskandar Pinem. This research intends to know the influence of planting distance and distribution some organic fertilizer to the progress of leaf blight disease (H.turcicum) in field. This research used design random group two factorial with 9 treatment and 3 replied. This first factor are J1, J2, J3(with planting distance 50 x 25, 60 x 25 , 70 x 25 cm) and the second factor are P0, P2, P3( without organic fertilizer, , organic fertilizer).

(4)

ABSTRAK

Elsa Octa Mirantina Singarimbun, “Pengaruh Jarak Tanam dan Pemberian Beberapa Pupuk Organik terhadap Penyakit Hawar Daun (Helminthosporium turcicum) Pada Tanaman jagung (Zea mays) di Lapangan”, dibawah bimbingan Hasanuddin dan Mukhtar Iskandar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jarak tanam dan pemberian pupuk organik terhadap perkembangan penyakit H.turcicum di lapangan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dua faktorial dengan sembilan perlakuan dan tiga ulangan. Faktor pertama yaitu J1, J2, J3 (dengan jarak tanam masing-masing 50 x 25, 60 x 25, 70x 25 cm) dan faktor kedua P0, P1, P2 (tanpa pupuk organik, pupuk kandang kotoran ayam, pupuk kompos).

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan AnugerahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul “PENGARUH JARAK TANAM DAN PEMBERIAN BEBERAPA PUPUK ORGANIK TERHADAP PENYAKIT HAWAR DAUN ( Helminthosporium turcicum (Pass.) Leonard et Sugss) PADA TANAMAN JAGUNG ( Zea mays L.) DI LAPANGAN” disusun sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Komisi Pembimbing Bapak Dr. Ir. Hasanuddin, MS selaku ketua dan Bapak Ir. Mukhtar Iskandar Pinem, MAgr.) selaku anggota yang telah

memberikan arahan dan bimbingan kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini..

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu, semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Medan, Februari 2012

(6)

DAFTAR ISI

Biologi Penyakit Hawar Daun (Helminthosporium turcicum) ... 7

Gejala Penyakit... 9

Daur Hidup Penyakit... 9

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi... 11

(7)

Penanaman benih... 24

Pemeliharaan... 24

Pemberian Pupuk Kimia... 25

Penetapan Sampel Dan Pengambilan Data... 25

Parameter Pengamatan ... 26

HASIL DAN PEMBAHASAN Intensisitas Serangan H.turcicum ... 27

Produksi Jagung ... 32

KESIMPULAN Kesimpulan... 36

Saran... 36 DAFTAR PUSTAKA

(8)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Hlm

1. Patogen H. turcicum... ………... 8 2. Gejala Serangan H. turcicum... 9

3. Histogram pengaruh jarak tanam terhadap intensitas serangan H. turcicum (%) pada pengamatan 12-14 mst...………... 30

4. Histogram pengaruh jarak tanam terhadap intensitas serangan H. turcicum (%) pada pengamatan 5-14 mst... 32

5. Histogram pengaruh jarak tanam terhadap produksi jagung pipilan kering...………... 33

6. Histogram pengaruh pupuk organik terhadap produksi jagung pipilan kering... 34

(9)

DAFTAR TABEL

No Judul Hlm

1. Beda Uji Rataan Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Intensitas Serangan H. turcicum (%) Pada Pengamatan 12-14 mst... 28

2. Beda Uji Rataan Pengaruh Pupuk Organik Terhadap Intensitas Serangan H. turcicum (%) Pada Pengamatan 5 -14 mst... 30

3. Beda Uji Rataan Pengaruh Jarak tanam Terhadap Produksi Jagung)... 32

4. Beda Uji Rataan Pengaruh Pupuk OrganikTerhadap Produksi Jagung)... 33

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Hlm

1. Rataan Intesitas Serangan H.turcicum Pada Tanaman Jagung

Pengamatan 5 mst... 41

2. Rataan Intesitas Serangan H.turcicum Pada Tanaman Jagung Pengamatan 6 mst... 43

3. Rataan Intesitas Serangan H.turcicum Pada Tanaman Jagung Pengamatan 7 mst... 45

4. Rataan Intesitas Serangan H.turcicum Pada Tanaman Jagung Pengamatan 8 mst... 47

5. Rataan Intesitas Serangan H.turcicum Pada Tanaman Jagung Pengamatan 9 mst………... 49

6. Rataan Intesitas Serangan H.turcicum Pada Tanaman Jagung Pengamatan 10 mst……….... 51

7. Rataan Intesitas Serangan H. turcicum Pada Tanaman Jagung Pengamatan 11 mst………... 53

8. Rataan Intesitas Serangan H.turcicum Pada Tanaman Jagung Pengamatan 12 mst... 55

9. Rataan Intesitas Serangan H.turcicum Pada Tanaman Jagung Pengamatan 13 mst... 57

10. Rataan Intesitas Serangan H.turcicum Pada Tanaman Jagung Pengamatan 14 mst)... 59

11. Rataan Produksi Tanaman Jagung (ton/ha)... 61

12. Foto penelitian... 64

(11)

RIWAYAT HIDUP

Elsa Octa Mirantina Singarimbun, lahir pada tanggal 29 Oktober 1989 di Medan, putri dari Ayahanda tercinta Elieser Singarimbun dan Ibunda tersayang Evis Br. Sianturi. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara.

Pendidikan dan Pengalaman

1. Tahun 2001 lulus dari SD Negeri 068008 Medan. 2. Tahun 2004 lulus dari SLTP Negeri 10 Medan.

3. Tahun 2007 lulus dari SMA Swasta Budi Murni 2 Medan.

4. Tahun 2007 diterima di Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan melalui jalur SPMB.

5. Tercatat sebagai anggota IMAPTAN (Ikatan Mahasiswa Perlindungan Tanaman) Departemen FP-USU tahun 2007-2011. 6. Tercatat sebagai anggota IMKA (Ikatan Muda/i Anak Karo)

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara tahun 2007-2012. 7. Tercatat sebagai anggota Paguyuban KSE (Karya Salemba Empat)

USU tahun 2011-2012.

8. Tahun 2009/2010, 2010/2011 sebagai asisten Laboratorium Dasar Perlindungan Tanaman Sub Gulma Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan FP-USU.

(12)

10. Tahun 2011/2012 sebagai asisten Laboratorium Hama Hutan Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan FP-USU..

11. Pernah mengikuti seminar seperti :

- Seminar Bioetanol Sebagai Sumber Energi Alternatif pada Tanggal 17 Mei 2008.

- Seminar Motivation Training “Change Your Mind, Setting Your Life, Get the Bright Future” pada Tanggal 24 Mei 2008.

- Seminar Dengan Pertanian Berkelanjutan Kita Wariskan Kehidupan Berwawasan Lingkungan pada Tanggal 15 November 2008.

12. Mengikuti Kegiatan Mandiri Leadership Camp Di Buperta, Cibubur – Jakrta Timur, 06-09 Januari 2012.

13. Mengikuti Praktek Kerja Lapang (PKL) di PTP N IV Unit Kebun Laras Pematang Siantar Kab. Simalungun pada Bulan Juni sampai Juli 2011.

(13)

ABSTRACT

Elsa Octa Mirantina Singarimbun, “The Influence of Planting distance and distribution some organic fertilizer to the leaf blight desease (Helminthosporium turcicum) in the corn plantation (Zea mays) under guidance Hasanuddin and Mukhtar Iskandar Pinem. This research intends to know the influence of planting distance and distribution some organic fertilizer to the progress of leaf blight disease (H.turcicum) in field. This research used design random group two factorial with 9 treatment and 3 replied. This first factor are J1, J2, J3(with planting distance 50 x 25, 60 x 25 , 70 x 25 cm) and the second factor are P0, P2, P3( without organic fertilizer, , organic fertilizer).

(14)

ABSTRAK

Elsa Octa Mirantina Singarimbun, “Pengaruh Jarak Tanam dan Pemberian Beberapa Pupuk Organik terhadap Penyakit Hawar Daun (Helminthosporium turcicum) Pada Tanaman jagung (Zea mays) di Lapangan”, dibawah bimbingan Hasanuddin dan Mukhtar Iskandar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jarak tanam dan pemberian pupuk organik terhadap perkembangan penyakit H.turcicum di lapangan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dua faktorial dengan sembilan perlakuan dan tiga ulangan. Faktor pertama yaitu J1, J2, J3 (dengan jarak tanam masing-masing 50 x 25, 60 x 25, 70x 25 cm) dan faktor kedua P0, P1, P2 (tanpa pupuk organik, pupuk kandang kotoran ayam, pupuk kompos).

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jagung merupakan bahan makanan pokok kedua setelah beras. Jagung juga mempunyai arti penting dalam perkembangan industri di Indonesia karena merupakan bahan baku untuk industri pangan maupun industri pakan ternak khusus pakan ayam. Dengan semakin berkembangnya industri pengolahan pangan di Indonesia maka kebutuhan akan jagung akan semakin meningkat pula (Bakhri, 2007).

Usaha peningkatan produksi jagung di Indonesia telah ditingkatkan melalui dua program utama yakni: (1) Ekstensifikasi (perluasan areal) dan (2) intensifikasi (peningkatan produktivitas). Program peluasan areal tanaman jagung selain memanfaatkan lahan kering juga lahan sawah, baik sawah irigasi maupun lahan sawah tadah hujan melalui pengaturan pola tanam. Usaha peningkatan produksi jagung melalui program intensifikasi adalah dengan melakukan perbaikan teknologi dan manajemen pengelolaan. Usaha-usaha tersebut nyata meningkatkan produktivitas jagung terutama dengan penerapan teknologi inovatif yang lebih berdaya saing (produktif, efisien dan berkualitas) telah dapat menghasilkan jagung 7 – 9 ton/ha seperti ditemukan varietas unggul baru dengan tingkat produktvitas tinggi dan metode manajemen pengelolaan tanaman dan sumberdaya secara terpadu (Bakhri, 2007).

(16)

disebut sebagai gangguan penyakit. Mikroorganisme penyebab penyakit dikelompokkan kedalam tiga golongan yaitu cendawan, bakteri, dan virus. Jenis penyakit yang disebabkan oleh cendawan adalah penyakit bulai, hawar daun, bercak daun, hawar upih, karat daun, busuk batang, dan gosong. Jenis penyakit yang disebabkan oleh bakteri meliputi : hawar/ layu bakteri Goss, dan layu bakteri Stewart. Jenis penyakit yang disebabkan oleh virus adalah penyakit virus penyakit virus mosaik kerdil, penyakit virus kerdil klorotik, penyakit virus mosaik jagung,

penyakit virus gores, dan penyakit virus mosaik tebu (Wakman et al. 2001, Shurtleff, 1980 dalam Wakman dan Burhanuddin, 2005).

Salah satu penyebab penyakit hawar daun adalah Helminthosporium turcicum. Penyakit hawar daun (H. turcicum) ini mampu menyebabkan

kehilangan hasil hingga 50% bahkan dapat menyebabkan kerugian besar bila serangan patogen terjadi sebelum pemunculan bunga jantan. Hasil pengamatan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, luas serangan penyakit ini rata-rata mencapai 100% (Dharma, 1993). Beberapa cara pengendalian penyakit hawar daun yang sudah umum dilakukan oleh petani jagung manis adalah dengan menghindari menanam jagung manis secara terus menerus, penggunaan fungisida, penggunaan tanaman yang resisten, dan sanitasi lapangan (Semangun 1991).

Jarak tanam dapat mempengaruhi kelembaban pada tanaman jagung

sehingga dapat mempengaruhi perkembangan H. turcicum. Pertumbuhan

miselium H. turcicum cenderung meningkat mengikuti peningkatan suhu.

Rata-rata kecepatan pertumbuhan pada suhu 20oC, 25oC, dan 30oC berturut-turut adalah

3,30; 7,44; dan 12,32 mm/hari. Pada suhu 35oC pertumbuhan H. turcicum tertekan

(17)

mempengaruhi pertumbuhan H. turcicum. Pada kelembapan > 90% pertumbuhan

miselia lebih cepat (11,51 mm/hari) dibanding pada kelembapan < 90% (7,44

mm/hari). Semakin rendah kelembapan, pertumbuhan miselia makin lambat. Data

tersebut menunjukkan bahwa kondisi terbaik untuk perkembangan H. turcicum

adalah pada suhu sekitar 30oC dengan kelembapan > 90%. Pada varietas hibrida

yang rentan, ukuran bercak H. turcicum meningkat pada suhu 200−30oC.

Demikian pula pada galur-galur hibrida, sporulasi dan ukuran bercak meningkat

pada suhu 15−300C (Nelson dan Tung 1973).

Seiring berkembangnya program pertanian kembali ke alam, pupuk

organik menjadi popular kembali. Pupuk jenis ini memang memiliki berbagai

keunggulan dibandingkan pupuk kimia, diantaranya dapat mengatur sifat tanah

dan berperan sebagai penyangga persedian unsur hara bagi tanaman sehingga

pupuk ini dapat mengembalikan kesuburan tanah (Yuliarti, 2009).

Secara umum, pemberian pupuk organik dapat meningkatkan

pertumbuhan aktivitas mikroorganisme karena bahan organik merupakan sumber

energi dan bahan makanan bagi mikroorganisme yang hidup dalam tanah.

Kegiatan jasad peningkatan dekomposisi adalah bentuk senyawa yang lebih stabil

yang disebut humus (Sutanto, 2002).

Berdasarkan penjelasan diatas, suatu penelitian tentang pengendalian

penyakit H. turcicum dengan menggunakan perbedaan jarak tanam dan pemberian

beberapa pupuk organik dilakukan untuk mendapatkan metode pengendalian

(18)

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaruh jarak tanam terhadap perkembangan penyakit

hawar daun (H. turcicum ) jagung pada tanaman di Lapangan.

2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian beberapa pupuk organik terhadap

perkembangan penyakit hawar daun (H. turcicum ) jagung pada tanaman di

Lapangan.

Hipotesa Penelitian

1. Jarak tanam yang berbeda dapat mempengaruhi perkembangan penyakit

hawar daun (H. turcicum ) pada tanaman jagung (Zea mays).

2. Pemberian pupuk organik mempengaruhi perkembangan penyakit hawar

daun (H.turcicum) pada tanaman jagung (Zea mays).

3. Ada interaksi jarak tanam dan pemberian pupuk organik terhadap

perkembangan penyakit hawar daun (H. turcicum) pada tanaman jagung

(Zea mays).

Kegunaan Penelitian

1. Sebagai salah satu cara pengendalian untuk mengendalikan penyakit H. turcicum dengan cara kultur teknis sehingga dapat mengurangi

pemakaian pupuk kimia dan fungisida.

2. Sebagai salah satu syarat untuk dapat menempuh ujian sarjana di Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman

Menurut Pandey (1969) tanaman jagung diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Sub divisio : Angiospermaeae Class : Monocotiledoneae Ordo : Graminales

Family : Graminieae Genus : Zea

Species : Zea mays L.

Akar jagung tergolong akar serabut, pada tanaman yang sudah cukup dewasa muncul akar adventif dari buku- buku batang bagian bawah yang membantu menyangga tegaknya tanaman.Batang jagung tegak dan mudah terlihat,

sebagaimana sorgum dan tebu, namun tidak seperti padi atau gandum (Muis, dkk. 2008).

Batang jagung tidak berulang tetapi padat dan terisi oleh bekas-bekas pembuluh sehingga memperkuat tegaknya tanaman. Batang jagung beruas-ruas yang jumlahnya bervariasi antara 10-14 ruas, umumnya tak berkecambah, panjang batang berkisar antara 60-300 cm tergantung dari jenis jagung (Effendi, 1985).

(20)

jagung berbentuk halter, yang khas dimiliki famili Poaceae. Setiap stoma dikelilingi sel-sel epidermis berbentuk kipas. Struktur ini berperan penting dalam respon tanaman menanggapi defisit air pada sel-sel daun (Muis, dkk, 2008).

Buah jagung terdiri atas tongkol, biji dan daun pembungkus. Biji jagung mempunyai bentuk, warna dan kandungan endosperm yang bervariasi, tergantung pada jenisnya. Pada umumnya jagung memiliki barisan biji yang melibit secara lurus atau berkelok-kelok dan berjumlah antara 8-20 baris biji. Biji jagung terdiri atas tiga bagian utama yaitu kulit biji, endosperm dan embrio (Effendi, 1985). Syarat Tumbuh

Iklim

Iklim yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung adalah daerah beriklim sedang hingga sub-tropis/tropis yang basah. Jagung dapat tumbuh di daerah yang terletak antara 0-50 derajat LU hingga 0-40 derajat LS. Pada lahan yang tidak beririgasi, pertumbuhan tanaman ini memerlukan curah hujan ideal yakni sekitar 85-200 mm/bulan dan harus merata. Pada fase pembungaan dan pengisian biji, tanaman jagung perlu mendapatkan cukup air. Sebaiknya jagung ditanam diawal musim hujan dan menjelang musim kemarau (Muis, dkk, 2008).

Distribusi curah hujan yang merata selama pertumbuhan akan memberikan hasil yang baik. Distribusi hujan yang ideal bagi pertumbuhan tanaman jagung kurang lebih 200 mm tiap bulan. Untuk memperoleh hasil yang baik, tanaman jagung membutuhkan keadaan air yang cukup, terutama pada fase perbungaan hingga pengisian biji (Effendi, 1985).

(21)

°C. Pada proses perkecambahan benih, jagung memerlukan suhu yang cocok sekitar 30 °C (Muis, dkk, 2008).

Tanah

Jagung di Indonesia umumnya ditanam di dataran rendah, baik di lahan tegalan, sawah tadah hujan, serta sebagian kecil ditanam didataran tinggi. Tanaman ini tidak dapat tumbuh dengan subur pada tanah basah atau tergenang, karena daun-daunnya akan menjadi kuning kemudian mati (Lubach,1980).

Tanah yang baik untuk jagung adalah gembur dan subur, karena tanaman ini memerlukan aerase dan drainase yang baik. Jagung dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah asalkan mendapatkan pengelolahan yang baik. Tanah dengan tekstur lempung berdebu adalah yang terbaik untuk pertumbuhan. Tanah-tanah dengan tekstur berat masih dapat ditanami jagung dengan hasil yang baik pengolahan tanah yang dikerjakan secara optimal, sehingga aerase dan ketersediaan air dalam tanah berada dalam kondisi baik (Effendi, 1985).

Biologi Penyebab Penyakit

Klasifikasi jamur H. turcicum menurut Alexopoulus dan Mims (1979) adalah :

(22)

Spesies :H. turcicum (Pass.) Leonard et Suggs

Dematiaceae- Phragmospore, marga H. turcicum kebanyakan menyerang Graminae. Ini mempunyai konidiofor tegak dan kuat, berwarna coklat. Konidium seperti kumparan atau seperti gada panjang, sering agak bengkok, bersekat banyak berwarna coklat, konidium berdinding tebal. Marga H.turcicum dipecah menjadi beberapa marga, antara lain Drechslera, Bipolaris, dan Exserohilum. H .turcicum (Exserohilum turcicum) menyerang bunga dan daun jagung (Semangun, 1996)

Penyakit hawar daun (leaf blight) turcicum disebabkan oleh jamur H. turcicum (Pass.) Leonard et Suggs. Jamur membentuk konidiofor yang keluar

dari mulut daun (stomata), satu atau dua dalam kelompok, lurus atau lentur,

berwarna coklat, panjangnya sampai 300 μm, tebal 7-11 μm, secara umum 8-9 μm. Konidium lurus atau agak melengkung, jorong atau berbentuk gada

terbalik, pucat atau berwarna coklat jerami, halus mempunyai 4-9 sekat palsu, panjang 50-144 (115) μm, dan bagian yang paling lebar berukuran 18-33 μm, kebanyakan 20-24 μm (Gambar 1). Konidium mempunyai hilum menonjol dengan jelas, yang merupakan ciri dari marga Drechslera. Dalam biakan murni, H. turcicum membentuk askus dalam peritesium. Stadium sempurna dari jamur ini

disebut Setosphaeria turcica (Luttrell) Leonard et Suggs atau Trichometasphaeria turcica (Pass.) Luttrell (Holliday, 1980).

(23)

Gejala Serangan

Hawar daun turcicum mula-mula menyebabkan terjadinya bercak-bercak kecil, jorong, hijau tua atau hijau kelabu kebasah-basahan. Kemudian bercak menjadi berwarna cokelat kehijauan, lama kelamaan bercak membesar dan mempunyai bentuk yang khas , yaitu berbentuk kumparan atau perahu. Bercak mempunyai lebar 1-2 cm dan panjang 5-10 cm, tetapi dapat mencapai lebar 5 cm dengan panjang 15 cm (Gambar 2). Sehabis hujan atau banyak embun pada kedua sisi bercak terbentuk banyak spora, yang menyebabkan bercak tampak berwarna hijau tua berbeledu, yang makin ke tepi warnanya makin muda. Beberapa bercak dapat bersatu membentuk bercak yang sangat besar yang dapat memenuhi seluruh daun. Tanaman yang sakit keras tampak kering seperti habis terbakar (Semangun,1991).

Gambar 2 : Gejala Serangan H. turcicum Daur Hidup Penyakit

(24)

bertahan pada sisa-sisa tanaman yang sakit yang terdapat diatas tanah, tetapi tidak pada sisa-sisa tanaman sakit yang dipendam dalam tanah (Semangun, 1991).

Jamur dapat dipencarkan oleh angin. Di udara konidium yang terbanyak terdapat menjelang tengah hari. Konidium berkecambah dan pembuluh kecambah mengadakan infeksi melalui mulut kulit atau dengan mengadakan penetrasi secara langsung, yang didahului dengan pembentukan apresorium (Semangun,1991).

Jamur H. turcicum dapat bertahan sebagai miselium dan konidia dalam bagian tanaman yang terserang atau dalam bentuk klamidospora. Konidia dihasilkan dalam jumlah banyak di atas bercak dan disebarkan oleh angin. Penyakit berkembang biak baik pada kelembaban tinggi. Infeksi pada inang terjadi bila terdapat lapisan tipis air pada permukaan daun. Infeksi tersebut memerlukan waktu 6-18 jam pada suhu 18-27°C. Gejala berkembang 7-12 hari

setelah inokulasi, dan sporulasi dapat terjadi bila keadaan lembab (Lipps & Mills 2002).

Sporulasi H. turcicum di lapang terjadi pada permukaan tanaman yang terinfeksi, hingga pada permukaan tanaman yang lain. Selanjutnya spora beradhesi, melakukan penetrasi awal, kemudian membentuk bercak dan berkembang. Siklus hidup cendawan H. turcicum berlangsung 2–3 hari. Dalam 72 jam satu bercak mampu menghasilkan 100–300 konidia (Holliday, 1980).

Menurut Massie (1973) dalam Pakki (2005), sporulasi H. maydis di lapang

terjadi pada permukaan tanaman yang terinfeksi. Setelah itu spora lepas,

kemudian terbawa oleh angin dan hinggap pada permukaan tanaman yang lain.

Selanjutnya spora beradhesi, melakukan penetrasi awal, kemudian membentuk

(25)

Dalam 72 jam satu bercak mampu menghasilkan 100–300 spora (Govitawawong

dan Kengpiem 1975 dalam Pakki, 2005). Dengan demikian penyakit bercak daun

berpotensi berkembang cepat pada areal pertanaman jagung dan dapat

menyebabkan kehilangan hasilyang berarti, sekitar 59%

(Poy 1970 dalam Pakki, 2005).

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit

Pada H. turcicum suhu optimum untuk perkecambahan konidiumnya lebih kurang 30oC. Jamur ini lebih banyak terdapat di dataran rendah. Suhu optimum untuk pembentukan peritesium adalah 26-27oC. Konidium tidak terbentuk pada kelembaban nisbi kurang dari 93%. Pada kelembaban 97-98% jamur akan membentuk banyak konidium (Semangun,1991).

Terdapat tiga spesies gulma yang dapat menjadi inang alternatif H. maydis

yaitu Leptochloa chinensis, Digitaria ciliaris, dan Echinochloa colona (Koesnang

et al. 1996 dalam Pakki, 2005). Govitawawong dan Kengpiem (1975) dalam

Pakki, 2005 melaporkan terdapat enam jenis rumput yang terinfeksi H. maydis,

yaitu Jonhson grass, R. exaltata, Setaria sphacelata, Pennisetum setosum,

Sorghum vulgare, dan Brachiaria cumbens. Spesies R. exaltata pada kondisi

lapang sangat rentan sehingga jenis rumput ini cukup potensial sebagai sumber

inokulum awal. Spesies-spesies rumput tersebut dominan ditemukan pada areal

pertanaman jagung sehingga dapat menjadi sumber inokulum awal yang penting.

Akibatnya H. maydis selalu ditemukan pada setiap musim tanam.

Pengendalian

(26)

adalah Metro, Kania, Harapan, Harapan Baru, Arjuna, Bromo, Rama, Bisma. Diantara varietas hibrida yang diketahui atau cukup tahan adalah C-4, C-9-10, Pioner 2-5, Pioner 7, Pioner 10-19, Semar 1-10, dan Bima-1.

Untuk mencegah terjadinya kerugian karena penyakit ini tanaman harus mendapat air yang cukup, pupuk yang seimbang, dan ditanam secara serentak pada saat penanaman yang tepat. Pemberian unsur hara yang tepat dianggap sebagai cara pengendalian yang paling baik (Semangun, 1996).

Jika dibutuhkan penyakit dapat dikendalikan dengan fungisida, antara lain mankozeb, jamur yang terbawa oleh biji dapat dikendalikan dengan Thiram dan Karboxin , atau dengan perawatan udara panas selama 17 menit dengan suhu 54-55oC (Holliday,1980).

Jarak Tanam

Jarak tanam atau jumlah populasi tanaman per satuan luas merupakan faktor penting untuk mendapatkan produksi tinggi, disamping kultur teknis lainnya. Jumlah populasi tanaman per satuan luas pada suatu tempat sangat bergantung pada varietas, umur tanaman, kesuburan tanah dan keadaan air tanah (Effendi,1985).

(27)

Nunes dan Kamprath (1969) menyatakan bahwa tinggi tanaman, jumlah tongkol, kerusakan batang akan bertambah dengan meningkatnya populasi. Hal ini disebabkan karena terjadinya saling menaungi diantara tanaman pada populasi tinggi dapat mengakibatkan pertumbuhan meninggi lebih cepat, tanaman lebih lemah dan meningkatnya kerusakan batang.

Dalam suatu pertanaman sering terjadi persaingan antar tanaman maupun antara tanaman dengan tanaman lain untuk mendapatkan unsur hara, air, cahaya matahari maupun ruang tumbuh. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan pengaturan jarak tanam. Dengan tingkat kerapatan yang optimum maka akan diperoleh ILD (Indeks Luas Daun) yang optimum dengan pembentukan bahan kering yang maksimum (Effendi, 1977). Jarak tanam yang rapat akan meningkatkan daya saing tanaman terhadap gulma karena tajuk tanaman menghambat pancaran cahaya ke permukaan lahan sehingga pertumbuhan tanaman menjadi terhambat, disamping juga laju evaporasi dapat ditekan. Namun pada jarak tanam yang terlalu sempit mungkin tanaman budidaya akan memberikan hasil yang relatif kurang karena adanya kompetisi antar tanaman itu sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan jarak tanam yang optimum untuk memperoleh hasil yang maksimum (Dad Resiworo, 1992).

Jarak tanam jagung disesuaikan dengan umur panennya, semakin panjang umurnya, tanaman akan semakin tinggi dan memerlukan tempat yang lebih luas. Jagung berumur dalam/panjang dengan waktu panen kurang lebih 100 hari sejak penanaman, jarak tanamnya dibuat 40x100 cm (2 tanaman/lubang). Jagung

(28)

(1 tanaman/lubang). Sedangkan jagung berumur pendek (panen < 80 hari), jarak tanamnya 20x50 cm (1 tanaman/lubang) (Muis, dkk. 2008).

Pupuk Organik

Untuk meningkatkan kandungan unsur hara maka pupuk sangat dibutuhkan. Seberapa banyak pupuk yang diperlukan tentu bergantung pada kondisi tanah. Menurut balai penelitian / Balai Teknologi Pertanian, faktor yang menentukan berapa banyak unsur hara yang diperlukan untuk koreksi ialah kondisi kesuburan tanah itu sendiri, kemasaman (pH) tanah, kelembaban tanah, tinggi rendahnya kadar bahan organik dalam tanah, kemampuan penyerapan terhadap zat-zat mineral dari tanaman, faktor iklim, dan nilai ekonomi tanaman yang dibudidayakan (Yuliarti, 2009).

Pupuk organik merupakan hasil akhir dari penguraian bagian-bagian atau sisa-sisa (serasah) tanaman dan binatang, contoh: pupuk kandang, pupuk hijau, pupuk kompos, bungkil, guano, tepung tulang dan sebagainya. Pupuk organik mampu menggemburkan lapisan permukaan tanah (top soil), meningkatkan populasi jasad renik, mempertinggi daya serap dan daya simpan air, yang oleh karenanya kesuburan tanah menjadi meningkat (Yuliarti, 2009).

(29)

Pemberian bahan organik ke dalam tanah menyebabkan terjadinya peningkatan P tersedia tanah mulai saat inkubasi dan sejak 60 hari setelah tanam, sedangkan penurunan P tersedia erat kaitannya dengan tingkat pertumbuhan tanaman (Damanik dan Supriadi, 1991). Foth, 1991 juga menyatakan bahwa semakin banyak bahan organik yang ditambahkan dalam setiap tahun, semakin banyak unsur-unsur hara yang akan dimineralisasikan untuk pertumbuhan tanaman.

Tan (1995) menyatakan bahwa bahan organik tanah mempunyai pengaruh nyata terhadap pelapukan. Melalui dekomposisi bahan organik, jumlah senyawa organik dilepaskan atau dibentuk. Kebanyakan dari senyawa-senyawa tersebut, mempunyai kapasitas untuk mengkompleksi ion-ion logam. Pemberian bahan organik pada tanah masam dapat bertindak sebagai penawar keracunan Al, karena Al dengan bahan organik akan membentuk senyawa kompleks. Bahan organik juga mengandung unsur hara makro dan mikro (Sanchez, 1992).

Salah satu jenis pupuk organik adalah pupuk kandang. Menurut Syekhfani (2000) bahwa pupuk kandang memiliki sifat yang alami dan tidak

merusak tanah, menyediakan unsur makro (nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, dan belerang) dan mikro (besi, seng, boron, kobalt, dan molibdenium). Selain itu pupuk kandang berfungsi untuk meningkatkan daya menahan air, aktivitas mikrobiologi tanah, nilai kapasitas tukar kation dan memperbaiki struktur tanah. Menurut Setiawan (2002) pengaruh pemberian pupuk kandang secara tidak langsung memudahkan tanah untuk menyerap air.

(30)

tanaman, kotoran hewan atau hasil pengomposan seperti kotoran sapi, kotoran ayam, jerami atau sisa tanaman lain, pupuk hijau dan hasil pangkasan tanaman kacang-kacangan (Muis, dkk. 2008).

Pupuk Kandang Kotoran Ayam

Pemberian bahan organik berupa pupuk kandang meningkatkan kesuburan tanah. Tanaman rami yang ditanam pada tanah yang gembur dan subur mengalami peningkatan jumlah anakan per rumpun dan pertumbuhannya optimal. Menurut hasil penelitian Sastrosupadi dan Santoso (2005), rami memerlukan bahan organik dalam jumlah yang besar untuk pertumbuhannya. Dibanding dengan bahan organik yang lain pupuk kandang ayam memiliki kandungan N yang cukup tinggi

yakni 2,6%, 2,9% (P), dan 3,4% (K) dengan perbandingan C/N ratio 8,3 (Zakaria dan Vimala, 2002). Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Sutejo (2002) yang mengemukakan bahwa pupuk kandang kotoran ayam

mengandung nitrogen tiga kali lebih besar dari pada pupuk kandang yang lainnya. Lebih lanjut dikemukakan kandungan unsur hara dari pupuk kandang kotoran ayam lebih tinggi karena bagian cair (urine) bercampur dengan bagian padat.

Peranan bahan organik bila diberikan pada tanah maka akan terjadi perubahan terutama dalam perbaikan fisik tanah. Menurut (Syekhfani, 2000) usaha untuk mengatasi tingkat kesuburan tanah pertama-tama dilakukan dengan cara pemberian bahan organik sebagai perbaikan sifat fisik, kemudian diikuti perbaikan sifat kimia melalui pemberian pupuk anorganik dalam kondisi yang seimbang.

(31)

terbaik diperoleh dari pemupukan dengan dosis 100 kg urea + 100 kg TSP + 50 kg KCl setiap hektar pada penggunaan jarak tanam 40 cm x 20 cm. Dosis optimum untuk menghasilkan produksi dan mutu yang baik adalah 10 ton pupuk kandang per ha, 200 kg Urea, 200 kg SP36 dan 100 kg KCl. Namun demikian, tuntutan pengguna untuk mendapatkan budidaya pertanian organik mendorong penelitian untuk menghasilkan teknologi pendukung budidaya organik, yaitu dengan memanfaatkan bahan organik dan bahan alami yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk.

Pupuk Kompos

Kompos adalah hasil akhir suatu proses dekomposisi tumpukan sampah/serasah tanaman dan bahan organik lainnya. Keberlangsungan proses dekomposisi ditandai dengan nisbah C/N bahan yang menurun sejalan dengan waktu. Bahan mentah yang biasa digunakan seperti : daun, sampah dapur, sampah kota dan lain-lain dan pada umumnya mempunyai nisbah C/N yang melebihi 30 (Sutedjo, 2002).

(32)

Namun proses tersebut berlangsung lama sekali pada sedangkan kebutuhan akan tanah yang subur sudah mendesak. Oleh karenanya proses tersebut perlu dipercepat dengan bantuan manusia. Dengan cara yang baik, proses mempercepat pembuatan kompos berlangsung sehingga bisa diperoleh kompos yang berkualitas baik (Wilfredo, dan Cosico. 1985).

Terdapat beberapa macam mikroorganisme yang dapat digunakan untuk membantu dan mempercepat pengomposan sampah organik agar menjadi pupuk kompos. Mikroorganisme tersebut antara lain Streptomyces sp., Acetybacter sp., Actynomycetes sp. Pupuk kompos yang dihasilkan dari mikroorganisme tersebut

dapat digunakan kembali untuk memupuk tanaman untuk meningkatkan kualitas hasil yang dihasilkan. Penggunaan bantuan mikroorganisme dalam pengolahan sampah organik akan meningkatkan mutu kompos yang dihasilkan, mengurangi rasio volume sampah yang dihasikan, mengurangi ketergantungan petani akan pupuk buatan, meningkatkan efisiensi perkebunan yang dilakukan, dan secara tidak langsung akan meningkatkan penghasilan petani (terdapat beberapa macam mikroorganisme yang dapat digunakan untuk membantu dan mempercepat pengomposan sampah organik agar menjadi pupuk kompos). Mikroorganisme tersebut antara lain Streptomyces sp., Acetybacter sp., Actynomycetes sp. Pupuk kompos yang dihasilkan dari mikroorganisme tersebut dapat digunakan kembali untuk memupuk tanaman untuk meningkatkan kualitas hasil yang dihasilkan (Lingga , dkk, 1999) .

(33)
(34)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman

Menurut Pandey (1969) tanaman jagung diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Sub divisio : Angiospermaeae Class : Monocotiledoneae Ordo : Graminales

Family : Graminieae Genus : Zea

Species : Zea mays L.

Akar jagung tergolong akar serabut, pada tanaman yang sudah cukup dewasa muncul akar adventif dari buku- buku batang bagian bawah yang membantu menyangga tegaknya tanaman.Batang jagung tegak dan mudah terlihat,

sebagaimana sorgum dan tebu, namun tidak seperti padi atau gandum (Muis, dkk. 2008).

Batang jagung tidak berulang tetapi padat dan terisi oleh bekas-bekas pembuluh sehingga memperkuat tegaknya tanaman. Batang jagung beruas-ruas yang jumlahnya bervariasi antara 10-14 ruas, umumnya tak berkecambah, panjang batang berkisar antara 60-300 cm tergantung dari jenis jagung (Effendi, 1985).

(35)

jagung berbentuk halter, yang khas dimiliki famili Poaceae. Setiap stoma dikelilingi sel-sel epidermis berbentuk kipas. Struktur ini berperan penting dalam respon tanaman menanggapi defisit air pada sel-sel daun (Muis, dkk, 2008).

Buah jagung terdiri atas tongkol, biji dan daun pembungkus. Biji jagung mempunyai bentuk, warna dan kandungan endosperm yang bervariasi, tergantung pada jenisnya. Pada umumnya jagung memiliki barisan biji yang melibit secara lurus atau berkelok-kelok dan berjumlah antara 8-20 baris biji. Biji jagung terdiri atas tiga bagian utama yaitu kulit biji, endosperm dan embrio (Effendi, 1985). Syarat Tumbuh

Iklim

Iklim yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung adalah daerah beriklim sedang hingga sub-tropis/tropis yang basah. Jagung dapat tumbuh di daerah yang terletak antara 0-50 derajat LU hingga 0-40 derajat LS. Pada lahan yang tidak beririgasi, pertumbuhan tanaman ini memerlukan curah hujan ideal yakni sekitar 85-200 mm/bulan dan harus merata. Pada fase pembungaan dan pengisian biji, tanaman jagung perlu mendapatkan cukup air. Sebaiknya jagung ditanam diawal musim hujan dan menjelang musim kemarau (Muis, dkk, 2008).

Distribusi curah hujan yang merata selama pertumbuhan akan memberikan hasil yang baik. Distribusi hujan yang ideal bagi pertumbuhan tanaman jagung kurang lebih 200 mm tiap bulan. Untuk memperoleh hasil yang baik, tanaman jagung membutuhkan keadaan air yang cukup, terutama pada fase perbungaan hingga pengisian biji (Effendi, 1985).

(36)

°C. Pada proses perkecambahan benih, jagung memerlukan suhu yang cocok sekitar 30 °C (Muis, dkk, 2008).

Tanah

Jagung di Indonesia umumnya ditanam di dataran rendah, baik di lahan tegalan, sawah tadah hujan, serta sebagian kecil ditanam didataran tinggi. Tanaman ini tidak dapat tumbuh dengan subur pada tanah basah atau tergenang, karena daun-daunnya akan menjadi kuning kemudian mati (Lubach,1980).

Tanah yang baik untuk jagung adalah gembur dan subur, karena tanaman ini memerlukan aerase dan drainase yang baik. Jagung dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah asalkan mendapatkan pengelolahan yang baik. Tanah dengan tekstur lempung berdebu adalah yang terbaik untuk pertumbuhan. Tanah-tanah dengan tekstur berat masih dapat ditanami jagung dengan hasil yang baik pengolahan tanah yang dikerjakan secara optimal, sehingga aerase dan ketersediaan air dalam tanah berada dalam kondisi baik (Effendi, 1985).

Biologi Penyebab Penyakit

Klasifikasi jamur H. turcicum menurut Alexopoulus dan Mims (1979) adalah :

(37)

Spesies :H. turcicum (Pass.) Leonard et Suggs

Dematiaceae- Phragmospore, marga H. turcicum kebanyakan menyerang Graminae. Ini mempunyai konidiofor tegak dan kuat, berwarna coklat. Konidium seperti kumparan atau seperti gada panjang, sering agak bengkok, bersekat banyak berwarna coklat, konidium berdinding tebal. Marga H.turcicum dipecah menjadi beberapa marga, antara lain Drechslera, Bipolaris, dan Exserohilum. H .turcicum (Exserohilum turcicum) menyerang bunga dan daun jagung (Semangun, 1996)

Penyakit hawar daun (leaf blight) turcicum disebabkan oleh jamur H. turcicum (Pass.) Leonard et Suggs. Jamur membentuk konidiofor yang keluar

dari mulut daun (stomata), satu atau dua dalam kelompok, lurus atau lentur,

berwarna coklat, panjangnya sampai 300 μm, tebal 7-11 μm, secara umum 8-9 μm. Konidium lurus atau agak melengkung, jorong atau berbentuk gada

terbalik, pucat atau berwarna coklat jerami, halus mempunyai 4-9 sekat palsu, panjang 50-144 (115) μm, dan bagian yang paling lebar berukuran 18-33 μm, kebanyakan 20-24 μm (Gambar 1). Konidium mempunyai hilum menonjol dengan jelas, yang merupakan ciri dari marga Drechslera. Dalam biakan murni, H. turcicum membentuk askus dalam peritesium. Stadium sempurna dari jamur ini

disebut Setosphaeria turcica (Luttrell) Leonard et Suggs atau Trichometasphaeria turcica (Pass.) Luttrell (Holliday, 1980).

(38)

Gejala Serangan

Hawar daun turcicum mula-mula menyebabkan terjadinya bercak-bercak kecil, jorong, hijau tua atau hijau kelabu kebasah-basahan. Kemudian bercak menjadi berwarna cokelat kehijauan, lama kelamaan bercak membesar dan mempunyai bentuk yang khas , yaitu berbentuk kumparan atau perahu. Bercak mempunyai lebar 1-2 cm dan panjang 5-10 cm, tetapi dapat mencapai lebar 5 cm dengan panjang 15 cm (Gambar 2). Sehabis hujan atau banyak embun pada kedua sisi bercak terbentuk banyak spora, yang menyebabkan bercak tampak berwarna hijau tua berbeledu, yang makin ke tepi warnanya makin muda. Beberapa bercak dapat bersatu membentuk bercak yang sangat besar yang dapat memenuhi seluruh daun. Tanaman yang sakit keras tampak kering seperti habis terbakar (Semangun,1991).

Gambar 2 : Gejala Serangan H. turcicum Daur Hidup Penyakit

(39)

bertahan pada sisa-sisa tanaman yang sakit yang terdapat diatas tanah, tetapi tidak pada sisa-sisa tanaman sakit yang dipendam dalam tanah (Semangun, 1991).

Jamur dapat dipencarkan oleh angin. Di udara konidium yang terbanyak terdapat menjelang tengah hari. Konidium berkecambah dan pembuluh kecambah mengadakan infeksi melalui mulut kulit atau dengan mengadakan penetrasi secara langsung, yang didahului dengan pembentukan apresorium (Semangun,1991).

Jamur H. turcicum dapat bertahan sebagai miselium dan konidia dalam bagian tanaman yang terserang atau dalam bentuk klamidospora. Konidia dihasilkan dalam jumlah banyak di atas bercak dan disebarkan oleh angin. Penyakit berkembang biak baik pada kelembaban tinggi. Infeksi pada inang terjadi bila terdapat lapisan tipis air pada permukaan daun. Infeksi tersebut memerlukan waktu 6-18 jam pada suhu 18-27°C. Gejala berkembang 7-12 hari

setelah inokulasi, dan sporulasi dapat terjadi bila keadaan lembab (Lipps & Mills 2002).

Sporulasi H. turcicum di lapang terjadi pada permukaan tanaman yang terinfeksi, hingga pada permukaan tanaman yang lain. Selanjutnya spora beradhesi, melakukan penetrasi awal, kemudian membentuk bercak dan berkembang. Siklus hidup cendawan H. turcicum berlangsung 2–3 hari. Dalam 72 jam satu bercak mampu menghasilkan 100–300 konidia (Holliday, 1980).

Menurut Massie (1973) dalam Pakki (2005), sporulasi H. maydis di lapang

terjadi pada permukaan tanaman yang terinfeksi. Setelah itu spora lepas,

kemudian terbawa oleh angin dan hinggap pada permukaan tanaman yang lain.

Selanjutnya spora beradhesi, melakukan penetrasi awal, kemudian membentuk

(40)

Dalam 72 jam satu bercak mampu menghasilkan 100–300 spora (Govitawawong

dan Kengpiem 1975 dalam Pakki, 2005). Dengan demikian penyakit bercak daun

berpotensi berkembang cepat pada areal pertanaman jagung dan dapat

menyebabkan kehilangan hasilyang berarti, sekitar 59%

(Poy 1970 dalam Pakki, 2005).

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit

Pada H. turcicum suhu optimum untuk perkecambahan konidiumnya lebih kurang 30oC. Jamur ini lebih banyak terdapat di dataran rendah. Suhu optimum untuk pembentukan peritesium adalah 26-27oC. Konidium tidak terbentuk pada kelembaban nisbi kurang dari 93%. Pada kelembaban 97-98% jamur akan membentuk banyak konidium (Semangun,1991).

Terdapat tiga spesies gulma yang dapat menjadi inang alternatif H. maydis

yaitu Leptochloa chinensis, Digitaria ciliaris, dan Echinochloa colona (Koesnang

et al. 1996 dalam Pakki, 2005). Govitawawong dan Kengpiem (1975) dalam

Pakki, 2005 melaporkan terdapat enam jenis rumput yang terinfeksi H. maydis,

yaitu Jonhson grass, R. exaltata, Setaria sphacelata, Pennisetum setosum,

Sorghum vulgare, dan Brachiaria cumbens. Spesies R. exaltata pada kondisi

lapang sangat rentan sehingga jenis rumput ini cukup potensial sebagai sumber

inokulum awal. Spesies-spesies rumput tersebut dominan ditemukan pada areal

pertanaman jagung sehingga dapat menjadi sumber inokulum awal yang penting.

Akibatnya H. maydis selalu ditemukan pada setiap musim tanam.

Pengendalian

(41)

adalah Metro, Kania, Harapan, Harapan Baru, Arjuna, Bromo, Rama, Bisma. Diantara varietas hibrida yang diketahui atau cukup tahan adalah C-4, C-9-10, Pioner 2-5, Pioner 7, Pioner 10-19, Semar 1-10, dan Bima-1.

Untuk mencegah terjadinya kerugian karena penyakit ini tanaman harus mendapat air yang cukup, pupuk yang seimbang, dan ditanam secara serentak pada saat penanaman yang tepat. Pemberian unsur hara yang tepat dianggap sebagai cara pengendalian yang paling baik (Semangun, 1996).

Jika dibutuhkan penyakit dapat dikendalikan dengan fungisida, antara lain mankozeb, jamur yang terbawa oleh biji dapat dikendalikan dengan Thiram dan Karboxin , atau dengan perawatan udara panas selama 17 menit dengan suhu 54-55oC (Holliday,1980).

Jarak Tanam

Jarak tanam atau jumlah populasi tanaman per satuan luas merupakan faktor penting untuk mendapatkan produksi tinggi, disamping kultur teknis lainnya. Jumlah populasi tanaman per satuan luas pada suatu tempat sangat bergantung pada varietas, umur tanaman, kesuburan tanah dan keadaan air tanah (Effendi,1985).

(42)

Nunes dan Kamprath (1969) menyatakan bahwa tinggi tanaman, jumlah tongkol, kerusakan batang akan bertambah dengan meningkatnya populasi. Hal ini disebabkan karena terjadinya saling menaungi diantara tanaman pada populasi tinggi dapat mengakibatkan pertumbuhan meninggi lebih cepat, tanaman lebih lemah dan meningkatnya kerusakan batang.

Dalam suatu pertanaman sering terjadi persaingan antar tanaman maupun antara tanaman dengan tanaman lain untuk mendapatkan unsur hara, air, cahaya matahari maupun ruang tumbuh. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan pengaturan jarak tanam. Dengan tingkat kerapatan yang optimum maka akan diperoleh ILD (Indeks Luas Daun) yang optimum dengan pembentukan bahan kering yang maksimum (Effendi, 1977). Jarak tanam yang rapat akan meningkatkan daya saing tanaman terhadap gulma karena tajuk tanaman menghambat pancaran cahaya ke permukaan lahan sehingga pertumbuhan tanaman menjadi terhambat, disamping juga laju evaporasi dapat ditekan. Namun pada jarak tanam yang terlalu sempit mungkin tanaman budidaya akan memberikan hasil yang relatif kurang karena adanya kompetisi antar tanaman itu sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan jarak tanam yang optimum untuk memperoleh hasil yang maksimum (Dad Resiworo, 1992).

Jarak tanam jagung disesuaikan dengan umur panennya, semakin panjang umurnya, tanaman akan semakin tinggi dan memerlukan tempat yang lebih luas. Jagung berumur dalam/panjang dengan waktu panen kurang lebih 100 hari sejak penanaman, jarak tanamnya dibuat 40x100 cm (2 tanaman/lubang). Jagung

(43)

(1 tanaman/lubang). Sedangkan jagung berumur pendek (panen < 80 hari), jarak tanamnya 20x50 cm (1 tanaman/lubang) (Muis, dkk. 2008).

Pupuk Organik

Untuk meningkatkan kandungan unsur hara maka pupuk sangat dibutuhkan. Seberapa banyak pupuk yang diperlukan tentu bergantung pada kondisi tanah. Menurut balai penelitian / Balai Teknologi Pertanian, faktor yang menentukan berapa banyak unsur hara yang diperlukan untuk koreksi ialah kondisi kesuburan tanah itu sendiri, kemasaman (pH) tanah, kelembaban tanah, tinggi rendahnya kadar bahan organik dalam tanah, kemampuan penyerapan terhadap zat-zat mineral dari tanaman, faktor iklim, dan nilai ekonomi tanaman yang dibudidayakan (Yuliarti, 2009).

Pupuk organik merupakan hasil akhir dari penguraian bagian-bagian atau sisa-sisa (serasah) tanaman dan binatang, contoh: pupuk kandang, pupuk hijau, pupuk kompos, bungkil, guano, tepung tulang dan sebagainya. Pupuk organik mampu menggemburkan lapisan permukaan tanah (top soil), meningkatkan populasi jasad renik, mempertinggi daya serap dan daya simpan air, yang oleh karenanya kesuburan tanah menjadi meningkat (Yuliarti, 2009).

(44)

Pemberian bahan organik ke dalam tanah menyebabkan terjadinya peningkatan P tersedia tanah mulai saat inkubasi dan sejak 60 hari setelah tanam, sedangkan penurunan P tersedia erat kaitannya dengan tingkat pertumbuhan tanaman (Damanik dan Supriadi, 1991). Foth, 1991 juga menyatakan bahwa semakin banyak bahan organik yang ditambahkan dalam setiap tahun, semakin banyak unsur-unsur hara yang akan dimineralisasikan untuk pertumbuhan tanaman.

Tan (1995) menyatakan bahwa bahan organik tanah mempunyai pengaruh nyata terhadap pelapukan. Melalui dekomposisi bahan organik, jumlah senyawa organik dilepaskan atau dibentuk. Kebanyakan dari senyawa-senyawa tersebut, mempunyai kapasitas untuk mengkompleksi ion-ion logam. Pemberian bahan organik pada tanah masam dapat bertindak sebagai penawar keracunan Al, karena Al dengan bahan organik akan membentuk senyawa kompleks. Bahan organik juga mengandung unsur hara makro dan mikro (Sanchez, 1992).

Salah satu jenis pupuk organik adalah pupuk kandang. Menurut Syekhfani (2000) bahwa pupuk kandang memiliki sifat yang alami dan tidak

merusak tanah, menyediakan unsur makro (nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, dan belerang) dan mikro (besi, seng, boron, kobalt, dan molibdenium). Selain itu pupuk kandang berfungsi untuk meningkatkan daya menahan air, aktivitas mikrobiologi tanah, nilai kapasitas tukar kation dan memperbaiki struktur tanah. Menurut Setiawan (2002) pengaruh pemberian pupuk kandang secara tidak langsung memudahkan tanah untuk menyerap air.

(45)

tanaman, kotoran hewan atau hasil pengomposan seperti kotoran sapi, kotoran ayam, jerami atau sisa tanaman lain, pupuk hijau dan hasil pangkasan tanaman kacang-kacangan (Muis, dkk. 2008).

Pupuk Kandang Kotoran Ayam

Pemberian bahan organik berupa pupuk kandang meningkatkan kesuburan tanah. Tanaman rami yang ditanam pada tanah yang gembur dan subur mengalami peningkatan jumlah anakan per rumpun dan pertumbuhannya optimal. Menurut hasil penelitian Sastrosupadi dan Santoso (2005), rami memerlukan bahan organik dalam jumlah yang besar untuk pertumbuhannya. Dibanding dengan bahan organik yang lain pupuk kandang ayam memiliki kandungan N yang cukup tinggi

yakni 2,6%, 2,9% (P), dan 3,4% (K) dengan perbandingan C/N ratio 8,3 (Zakaria dan Vimala, 2002). Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Sutejo (2002) yang mengemukakan bahwa pupuk kandang kotoran ayam

mengandung nitrogen tiga kali lebih besar dari pada pupuk kandang yang lainnya. Lebih lanjut dikemukakan kandungan unsur hara dari pupuk kandang kotoran ayam lebih tinggi karena bagian cair (urine) bercampur dengan bagian padat.

Peranan bahan organik bila diberikan pada tanah maka akan terjadi perubahan terutama dalam perbaikan fisik tanah. Menurut (Syekhfani, 2000) usaha untuk mengatasi tingkat kesuburan tanah pertama-tama dilakukan dengan cara pemberian bahan organik sebagai perbaikan sifat fisik, kemudian diikuti perbaikan sifat kimia melalui pemberian pupuk anorganik dalam kondisi yang seimbang.

(46)

terbaik diperoleh dari pemupukan dengan dosis 100 kg urea + 100 kg TSP + 50 kg KCl setiap hektar pada penggunaan jarak tanam 40 cm x 20 cm. Dosis optimum untuk menghasilkan produksi dan mutu yang baik adalah 10 ton pupuk kandang per ha, 200 kg Urea, 200 kg SP36 dan 100 kg KCl. Namun demikian, tuntutan pengguna untuk mendapatkan budidaya pertanian organik mendorong penelitian untuk menghasilkan teknologi pendukung budidaya organik, yaitu dengan memanfaatkan bahan organik dan bahan alami yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk.

Pupuk Kompos

Kompos adalah hasil akhir suatu proses dekomposisi tumpukan sampah/serasah tanaman dan bahan organik lainnya. Keberlangsungan proses dekomposisi ditandai dengan nisbah C/N bahan yang menurun sejalan dengan waktu. Bahan mentah yang biasa digunakan seperti : daun, sampah dapur, sampah kota dan lain-lain dan pada umumnya mempunyai nisbah C/N yang melebihi 30 (Sutedjo, 2002).

(47)

Namun proses tersebut berlangsung lama sekali pada sedangkan kebutuhan akan tanah yang subur sudah mendesak. Oleh karenanya proses tersebut perlu dipercepat dengan bantuan manusia. Dengan cara yang baik, proses mempercepat pembuatan kompos berlangsung sehingga bisa diperoleh kompos yang berkualitas baik (Wilfredo, dan Cosico. 1985).

Terdapat beberapa macam mikroorganisme yang dapat digunakan untuk membantu dan mempercepat pengomposan sampah organik agar menjadi pupuk kompos. Mikroorganisme tersebut antara lain Streptomyces sp., Acetybacter sp., Actynomycetes sp. Pupuk kompos yang dihasilkan dari mikroorganisme tersebut

dapat digunakan kembali untuk memupuk tanaman untuk meningkatkan kualitas hasil yang dihasilkan. Penggunaan bantuan mikroorganisme dalam pengolahan sampah organik akan meningkatkan mutu kompos yang dihasilkan, mengurangi rasio volume sampah yang dihasikan, mengurangi ketergantungan petani akan pupuk buatan, meningkatkan efisiensi perkebunan yang dilakukan, dan secara tidak langsung akan meningkatkan penghasilan petani (terdapat beberapa macam mikroorganisme yang dapat digunakan untuk membantu dan mempercepat pengomposan sampah organik agar menjadi pupuk kompos). Mikroorganisme tersebut antara lain Streptomyces sp., Acetybacter sp., Actynomycetes sp. Pupuk kompos yang dihasilkan dari mikroorganisme tersebut dapat digunakan kembali untuk memupuk tanaman untuk meningkatkan kualitas hasil yang dihasilkan (Lingga , dkk, 1999) .

(48)
(49)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Percobaan

Penelitian dilaksanakan di lahan Pertanian Tanjung Selamat Kab. Deli Serdang dengan ketinggian tempat ± 25 m dpl. Penelitian dimulai bulan Mei 2011 sampai dengan bulan Agustus 2011.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah benih Jagung dengan Varietas Pioner 23, Pupuk kandang ayam, Pupuk Kompos dan air.

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah cangkul, gembor, papan sampel, papan nama, tugal, timbangan, meteran, tali plastik, alat-alat tulis, buku data.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial yang terdiri dari 2 faktor perlakuan dan 3 ulangan. Dengan perlakuan sebagai berikut :

Faktor I : Pupuk Organik (P) dengan 3 taraf perlakuan P0 : Kontrol (Tanpa Bahan Organik)

P1 : Pupuk Kandang kotoran ayam

P2 : Kompos

Faktor II : Jarak Tanam Jagung dengan 3 taraf perlakuan J1 : Jarak tanam 50 x 25

(50)

J3 : Jarak tanam 70 x 25

Penelitian dianalisis dengan menggunakan model linier yaitu : Yijk : µ + ρi + αj + βk + (αβ)jk + Eijk

Keterangan : Yijk = Data yang dihasilkan dari pengaruh ulangan pada taraf ke i dan perlakuan ke j dan perlakuan ke k.

µ = Rataan / nilai tengah ρi = Efek blok ke i αj = Efek perlakuan ke j βk = Efek perlakuan ke k

(αβ)jk = Efek interaksi perlakuan ke j dan perlakuan ke k

Eijk = Efek error dari ulangan pada taraf ke i dan perlakuan ke j da perlakuan ke k.

Kombinasi perlakuan :

P0J1 P1J1 P2J1

P0J2 P1J2 P2J2

P0J3 P1J3 P2J3

Ulangan dilakukan sebanyak 3 kali diperoleh dari : (t-1) (r-1)> 15

(9-1)(r-1)> 15 8(r-1)> 15

8r > 23

r > 2.8 (Dibulatkan r = 3)

Untuk analisa data secara statistik digunakan Uji Jarak Duncan tafaf 5 %.

(51)

Jarak antar plot : 50 cm Jarak antar ulangan : 100 cm Ukuran parit besar : 100 cm

Luas plot : p x l =2 ,1 m x 2 m = 4 m2 Luas lahan : p x l = 25 m x 9 m = 225 m2 Luas plot efektif : 27 x 4 m = 108 m2

Jumlah seluruh tanaman : 756 tanaman

Pelaksanaan Penelitian Pengolahan Lahan

Pengolahan lahan dimulai dengan pembersihan areal dari gulma dan

sisa-sisa tanaman, setelah areal bersih dilakukan pencangkulan tanah sedalam 20-30 cm untuk menghancurkan bongkahan tanah. Selanjutnya dilakukan

penggemburan tanah kembali dengan membalik tanah sekaligus membuat petak-petak percobaan / plot dengan ukuran 2 m x 2 m. Jarak antar petak-petak / plot adalah 50 cm, dan jarak antar blok / ulangan adalah 100 cm.

Pembuatan Pupuk Organik Pupuk Kompos

Pembuatan pupuk kompos dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Kotoran sapi ( feses dan urin) diambil dari kandang dan ditiriskan selama

1 minggu hingga kadar airnya ± 60 %.

(52)

3. Setelah seminggu di lokasi pertama, bahan dipindahkan, ke lokasi ke 2 dan diaduk hingga merata guna menambahkan suplai oksigen dan meningkatkan homogenitas bahan. Pada tahap ini diharapkanakan terjadi peningkatan suhu sampai 70oC hingga dapat mematikan mikroorganisme dan biji gulma.

4. Seminggu kemudian kembali diaduk dan dipindahkan ke lokasi ke 3 dan dibiarkan selama 1 minggu.

5. Setelah 1 minggu pada lokasi ke 3, diaduk dan dibalik kemudian dipindahkan ke lokasi keempat. Di tempat ini kompos super telah matang, berwarna cokelat kehitaman dan bertekstur remah dan tidak berabu.

6. Pupuk kemudian disaring untuk mendapatkan bentuk yang seragam serta memisahkannya dari bahan yang tidak diharapkan, untuk mendapatkan kompos yang benar-benar berkualitas.

7. Pupuk kompos super siap dikemas dan siap diaplikasikan ke lahan sebagai pupuk organik.

Pupuk Kandang Kotoran Ayam

Pembuatan pupuk kandang kotoran ayam dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Kotoran ternak segar dikeluarkan dari kandang ayam dan dijemur hingga setengah kering, penjemuran bisa dilakukan setiap hari.

2. Hamparkan tipis-tipis kotoran tersebut dan timbun setiap hari diatasnya sambil diaduk-aduk hingga menjadi setengah kering.

(53)

4. Kotoran ternak segar yang bercampur dengan sisa-sisa pakan diaduk setiap 3-4 hari sekali. Lakukan selama 30 hari dan tamabahkan starter 0,1 % dengan cara dipercikkan.

5. Tumpukan bahan yang setengah jadi kemudian dicampur dengan kotoran ayam setengah kering dari luar dan diaduk, yang dilakukan setiap hari.

Perlakuan Pupuk Organik

Pupuk organik diberikan dua kali yaitu pada saat tanah diolah dan pada saat tanaman jagung berumur satu minggu setelah tanam. Pupuk organik disebarkan secara merata di permukaan tanah pada setiap plot sesuai dengan perlakuan, banyak bahan organik yang diberikan pada aplikasi pertama yaitu 2 kg per plot. Setelah itu tanah digemburkan dan dicampur dengan pupuk organik

secara merata. Pemberian pupuk organik berikutnya dilakukan pada waktu 1 minggu setelah tanam sebanyak 2 kg. Dosis pemupukan yang dibutuhkan yaitu

sebanyak 10 ton/ha untuk pemakaian pupuk organik.

Penanaman benih

Benih yang ditanam adalah benih yang sehat dan seragam. Sebelum benih ditanam, dibuat lubang tanam pada setiap plot percobaan dengan menggunakan

tugal. Kedalaman lubang tanam antara 3-5 cm dengan jarak tanam 50 cm x 25 cm, 60 cm x 25 cm, 70 cm x 25 cm, setiap lubang tanam diisi dengan

2 benih jagung, penanaman dilakukan pada pagi hari atau sore hari.

Pemeliharaan Tanaman

(54)

dilakukan 2 kali sehari, yaitu pada pagi dan sore hari, jika terjadi hujan penyiraman tidak dilakukan.

Penyulaman dilakukan apabila tanaman mati, persentase pertumbuhan kurang dari 100%. Waktu penyulaman dilakukan pada waktu tanaman berumur 7-14 hari.

Penjarangan dilakukan setelah tanaman berumur 14 hari. Hal ini dilakukan apabila setiap lubang tanam, tanaman tumbuh lebih dari satu dan tanaman yang tumbuh adalah tanaman yang baik.

Pebumbuhan dilakukan dengan cara mengumpulkan tanah disekitar barisan tanaman yang bertujuan untuk menutup akar yang terbuka dan membuat tanaman menjadi tegak.

Perlakuan Pupuk Kimia

Pupuk kimia diaplikasikan pada tanaman jagung pada umur tanaman sekitar 2 minggu. Pupuk yang digunakan adalah pupuk NPK diaplikasikan dengan cara ditugal pada permukaan tanah sekitar tanaman.

Penetapan Sampel dan Pengambilan Data

(55)

Parameter Pengamatan Intensitas Serangan

Pengamatan Intensitas Serangan dilakukan pada saat tanaman terinfeksi pertama kali di lapangan dan diamati satu minggu sekali sebanyak enam kali pengamatan, dengan menggunakan rumus berikut:

(nixvi) IS = NxZ x 100%

Keterangan: IS : Intensitas Serangan Penyakit (%)

n : Jumlah bagian tanaman yang terserang (helai) v : Nilai skala daun yang terserang

N : Jumlah seluruh daun yang diamati

Z : Skala tertinggi dari kategori skala serangan Kategori Skala Serangan

Skala Keterangan

0 Tidak terdapat gejala serangan (sehat) 1 >1% - <

3 >15% -

15% luas permukaan daun terserang <

5 >25% -

25% luas permukaan daun terserang <

7 >50% -

50% luas permukaan daun terserang <

9 >75% -

75% luas permukaan daun terserang <

(Sudarsono dan Sujarman, 1981).

(56)

Produksi

Produksi dihitung dengan menimbang berat bersih biji jagung pipilan pada akhir masa percobaan yang dikonversikan ke dalam bobot ton/ha, dengan menggunakan rumus :

X 10.000 m2 Y (ton /ha) = x

L 1.000 kg Keterangan:

(57)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Intensitas Serangan Helminthosporium turcicum (Pass.) Leonard et Suggs a. Pengaruh Jarak tanaman terhadap intensistas serangan H. turcicum pada

tanaman Jagung

Data pengamatan intensitas serangan H. turcicum pada setiap waktu pengamatan mulai dari 5-14 minggu setelah tanam (mst) dapat dilihat pada lampiran 1-10. Dari hasil analisis sidik ragam dapat dilihat bahwa jarak tanam nyata pada pengamatan 12-14 mst . Hal ini dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Beda Uji Rataan Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Intensitas Serangan H. turcicum (%) Pada Pengamatan 12-14 mst.

PERLAKUAN PENGAMATAN

12 mst 13 mst 14 mst

J1 18.09a 18.88a 21.43a

J2 14.92a 16.09a 17.68b

J3 12.84a 13.60b 15.71b

Keterangan: Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata, pada taraf 5%.

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada pengamatan 12 minggu setelah tanam intensitas serangan tertinggi H. turcicum terdapat pada perlakuan J1 (jarak tanam 50 x 25 cm) sebesar 18.09 % dan terendah pada perlakuan J3 (jarak tanam 70 x 25 cm) sebesar 12.84%. Pada pengamtan 14 minggu setelah tanam, intensitas

serangan tertinggi H. turcicum terdapat pada perlakuan J1 (jarak tanam 50 x 25 cm) sebesar 21.43% dan terendah pada perlakuan J3 (jarak tanam 70 x 25 cm) sebesar 15.71%. Hal ini menunjukkan bahwa jarak tanam yang

(58)

perkembangan penyakit dikarenakan antar tanaman terjadi persaingan unsur hara,

cahaya matahari, CO2 dan kelembaban. Hal ini sesuai dengan literatur Hunter, Kannenberg dan Gamble (1970), yang menyatakan bahwa ada penurunan

luas daun secara linier per tanaman jika populasi ditingkatkan. Penurunan ini mungkin disebabkan oleh persaingan CO2 atau cahaya antar tanaman. Penetapan jumlah populasi tanaman per satuan luas atau pengaturan jarak tanam erat hubungannya dengan penyerapan sinar matahari secara efektif oleh tajuk tanaman untuk dapat berlangsungnya proses fotosintesis. Effendi (1977) menyatakan bahwa dalam suatu pertanaman sering terjadi persaingan antar tanaman maupun antara tanaman dengan tanaman lain untuk mendapatkan unsur hara, air, cahaya matahari maupun ruang tumbuh. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan pengaturan jarak tanam. Dengan tingkat kerapatan yang optimum maka akan diperoleh ILD (Indeks Luas Lahan Daun) yang optimum dengan pembentukan bahan kering yang maksimum.

Jarak tanam juga dapat mempengaruhi intensitas serangan penyakit didukung dengan pengaruh curah hujan meningkat dan intensitas matahari yang menurun sehingga perkembangan penyakit dapat menyebar dengan cepat. Hal ini sesuai dengan literatur Pakki (2005) yang menyatakan bahwa mulai meningkatnya curah hujan dan menurunnya intensitas penyinaran matahari. Keadaan tersebut

memberi gambaran bahwa pengaturan waktu tanam dan jarak tanam, yaitu tanam

lebih awal saat curah hujan dan intensitas penyinaran tidak menguntungkan bagi

perkembangan H. maydis, dapat menekan perkembangan penyakit.

(59)

Gambar 3 : Histogram pengaruh jarak tanam terhadap intensitas serangan H. turcicum (%) pada pengamatan 12-14 mst.

b. Pengaruh pupuk organik terhadap intensistas serangan H. turcicum pada tanaman Jagung

Data pengamatan intensitas serangan H. turcicum pada setiap waktu pengamatan mulai dari 5-14 minggu setelah tanam (mst) dapat dilihat pada lampiran 1-10. Dari hasil analisis sidik ragam dapat dilihat bahwa pupuk organik nyata pada pengamatan 5-14 mst . Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Beda Uji Rataan Pengaruh Pupuk Organik Terhadap Intensitas Serangan H. turcicum (%) Pada Pengamatan 5 -14 mst.

PERLAKUAN

Keterangan: Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata, pada taraf 5%.

Tabel 2 menunjukkan bahwa pada pengamatan 5 minggu setelah tanam intensitas serangan tertinggi H. turcicum terdapat pada perlakuan P0 (kontrol) sebesar 1.32% dan terendah pada perlakuan P2 (pupuk kompos) sebesar 0.19%.

(60)

H. turcicum terdapat pada perlakuan P0 (kontrol) sebesar 23.38% dan terendah

pada perlakuan P2 (pupuk kompos) sebesar 14.74%. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk organik yang efektif untuk menekan perkembangan penyakit H. turcicum adalah pupuk kompos dikarenakan pada pupuk kompos terdapat mikrorganisme yang berguna dalam tanah dalam memperbaiki struktur tanah, penyerapan air dan unsur hara, serta adanya aktifitas mikroba untuk menekan perkembangan penyakit. Hal ini sesuai dengan literatur Wilfredo and Cosico (1985) yang menyatakan bahwa aktivitas mikroba membantu tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah dan menghasilkan senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Aktivitas mikroba tanah juga diketahui dapat membantu tanaman menghadapi serangan penyakit lewat proses alamiah. Isron (2008) kompos memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah. Aktivitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah. Aktivitas mikroba tanah yang diketahui dapat membantu tanaman menghadapi serangan penyakit.

Intensitas serangan penyakit H. turcicum pada penelitian ini dapat juga dipengaruhi oleh sisa-sisa tanaman jagung sehingga berpotensi sebagai inokulum awal karena H. turcicum mempunyai klamidiospora yang dapat bertahan pada sisa- sisa tanaman jagung dan inang alternatif lain. Hal ini sesuai dengan literatur Pakki (2005) yang menyatakan bahwa Helminthosporium sp. hampir selalu ditemukan pada setiap musim tanam. Patogen dalam bentuk miselium dorman

(61)

dalam Pakki 2005) sehingga penyakit bersifat laten serta mampu menyebabkan

serangan secara sporadis yang serius terutama pada varietas rentan.

Beda rataan intensitas serangan H. turcicum pada perlakuan pupuk organik pada pengamatan 5-14 mst dapat dilihat pada histogram dibawah ini (Gambar 4).

Gambar 4 : Histogram pengaruh pupuk organik terhadap intensitas serangan H. turcicum (%) pada pengamatan 5-14 mst.

2. Produksi Jagung (ton/ha)

a. Pengaruh Jarak tanam terhadap produksi jagung (ton/ha).

Hasil pengamatan produksi jagung pipilan kering dapat dilihat pada lampiran 11. Dari analisis sidik ragam produksi dapat dilihat adanya perbedaan nyata pada masing-masing perlakuan, maka dilakukan uji jarak Duncan dapat dilihat pada tabel 3

Tabel 3. Beda Uji Rataan Pengaruh Jarak tanam Terhadap Produksi Jagung.

Perlakuan Produksi (ton/ha)

J1 6.48b

J2 6.98a

J3 6.61a

Keterangan : Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata, pada taraf 5%.

Tabel 3 menunjukkan bahwa produksi tertinggi terdapat pada perlakuan

(62)

J1 (jarak tanam 50 x 25) sebesar 6.48 ton/ha. Hal ini menunjukkan bahwa jarak tanam yang sempit dapat menurunkan produksi karena adanya persaingan unsur hara antar tanaman sehingga diperlukan jarak tanam yang optimum untuk menghasilkan produksi yang maksimum. Hal ini sesuai dengan literatur Dad Resiworo (1992) yang menyatakan bahwa pada jarak tanam yang terlalu sempit mungkin tanaman budidaya akan memberikan hasil yang relatif kurang karena adanya kompetisi antar tanaman itu sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan jarak tanam yang optimum untuk memperoleh hasil yang maksimum.

Beda rataan parameter produksi pada perlakuan jarak tanam pada dapat dilihat pada histogram di bawah ini (Gambar 5).

Gambar 5 : Histogram pengaruh jarak tanam terhadap produksi jagung pipilan kering

b. Pengaruh pupuk orgnik terhadap produksi jagung (ton/ha).

Hasil pengamatan produksi jagung pipilan kering dapat dilihat pada lampiran 11. Dari analisis sidik ragam produksi dapat dilihat adanya perbedaan nyata pada masing-masing perlakuan, maka dilakukan uji jarak Duncan dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Beda Uji Rataan Pengaruh Pupuk Organik Terhadap Produksi Jagung

Perlakuan Produksi (ton/ha)

P0 6.06c

P1 6.66b

P2 7.35a

(63)

Tabel 4 menunjukkan bahwa produksi tertinggi terdapat pada perlakuan P2 (pupuk kompos) sebesar 7.35 ton/ha dan terendah pada perlakuan P0 (kontrol) sebesar 6.06 ton/ha. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan kontrol menghasilkan produksi terendah karena pada perlakuan ini tidak diaplikasi pupuk organik sedangkan pada perlakuan P2 (pupuk kompos) pupuk kompos dapat meningkatkan produksi tanaman karena kompos mempunyai unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman dan dapat memperbaiki struktur tanah menjadi lebih

baik, dan meningkatkan kesuburan tanah. Hal ini sesuai dengan literatur Wilfredo dan Cosico (1985) yang menyatakan bahwa kompos diumpamakan

sebagai multi-vitamin untuk tanah pertanian. Kompos akan meningkatkan kesuburan tanah, merangsang perakaran yang sehat. Kompos memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah.

Beda rataan parameter produksi pada perlakuan pupuk organik pada dapat dilihat pada histogram di bawah ini (Gambar 6).

Gambar 6 : Histogram pengaruh pupuk organik terhadap produksi jagung pipilan kering

Gambar

Gambar 1. Patogen H. turcicum
Gambar 2 : Gejala Serangan H. turcicum
Gambar 3 :  Histogram pengaruh jarak tanam terhadap intensitas serangan H. turcicum (%) pada pengamatan 12-14 mst
Gambar 4 :  Histogram pengaruh pupuk organik terhadap intensitas serangan H. turcicum (%) pada pengamatan 5-14 mst
+7

Referensi

Dokumen terkait

tongkol tanaman jagung dengan jarak tanam dapat dilihat pada Gambar 3. Berat Tongkol Tanaman Jagung dengan

Tabel 13 menunjukkan perlakuan jarak tanam menghasilkan rerata berat kering pipilan jagung yang tidak beda nyata, sedangkan perlakuan dosis pupuk urea menghasilkan

Interaksi antara jarak tanam dan dosis pupuk organik berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, diameter batang dan bobot jagung pipil per plot, tetapi tidak nyata

terdapat perbedaan yang nyata dari taraf perlakuan pupuk organik yang diberikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung manis, dimana makin tinggi jumlah

pertumbuhan tanaman jagung dan perlakuan terbaik terdapat pada pemberian pupuk ko mpos crotalaria , hal ini diduga karena pupuk kompos lebih banyak mengandung unsur

Penelitian ini bertujuan : untuk mengetahui pengaruh dosis pupuk urea, jarak tanam, dan interaksi antara dosis pupuk urea dan jarak tanam, yang dapat

Meskipun demikian berdasarkan data-data hasil penelitian yang diuraikan sebelumnya dapat dilihat bahwa kombinasi perlakuan takaran pupuk kandang babi 25 t/ha dengan

Hasil penelitian menunjukkan Tidak terjadi interaksi antara penggunaan jarak tanam dan pemberian pupuk hayati Petrobio terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung