• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Lama Hidrolisis Dan Konsentrasi Larutan Pati Pada Pembuatan Sirup Glukosa Dari Biji Jagung Muda Secara Hidrolisis Asam.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Lama Hidrolisis Dan Konsentrasi Larutan Pati Pada Pembuatan Sirup Glukosa Dari Biji Jagung Muda Secara Hidrolisis Asam."

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Lama Hidrolisis dan Konsentrasi Larutan Pati

pada Pembuatan Sirup Glukosa dari Biji Jagung Muda

secara Hidrolisis Asam

SKRIPSI

RONA MONIKA SIHALOHO

080822007

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

PERSETUJUAN

Nama : RONA MONIKA SIHALOHO

NIM : 080822007

Judul : PENGARUH LAMA HIDROLISIS DAN KONSENTRASI

LARUTAN PATI PADA PEMBUATAN SIRUP GLUKOSA DARI BIJI JAGUNG MUDA SECARA HIDROLISIS ASAM

Jurusan : S1 Kimia Ekstensi

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di,

Medan, Oktober 2009

Mengetahui,

Komisi Pembimbing II, Komisi Pembimbing I,

(Dra. Emma Zaidar, Msi) (Dr. Rumondang Bulan, MS)

NIP. 131 653 985 NIP. 131 459 466

Ketua Departemen Kimia

FMIPA USU,

(Dr. Rumondang Bulan, MS)

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah benar – benar hasil kerja saya

sendiri, kecuali ada beberapa kutipan diambil dari berbagai berbagai sumber.

Medan, Oktober 2009

RONA MONIKA SIHALOHO

(4)

PENGHARGAAN

Bagi DIA-lah sumber kekuatan dan sumber syukur diatas segala. Terimakasih

banyak penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas kasih dan karunia-Nyalah

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Tak lupa juga penulis sampaikan kepada Ibu Rumondang Bulan selaku dosen

pembimbing I dan Ibu Emma Zaidar Nasution selaku dosen pembimbing II yang telah

banyak membantu penulis dalam membimbing dan mengarahkan penulis mulai dari

penelitian sampai penyusunan skripsi ini, terimakasih juga penulis sampaikan kepada

Bapak dan Ibu dosen jurusan Kimia FMIPA USU, yang telah memberikan ilmu

kepada penulis selama masa kuliah, terimakasih juga penulis sampaikan kepada

semua staff administrasi FMIPA USU yang telah banyak membantu penulis dalam

menyelesaikan segala keperluan administrasi selama kuliah. Tak lupa saya ucapkan

terimakasih banyak yang sebesar – besarnya kepada Ibunda tersayang H. Sinaga yang

telah banyak membantu ku baik dalam memenuhi segala kebutuhan kuliah dan

memberikan doa yang tulus kepada penulis, terimakasih juga saya ucapkan kepada

keluarga ku yang tercinta, yang selalu memberikan dukungan sepenuhnya kepada

penulis, dan saya juga mengucapkan terimakasih banyak kepada semua teman –

teman kuliah ku yang telah memberikan semangat kepadaku selama kuliah, semoga

(5)

Pengaruh Lama Hidrolisis dan Konsentrasi Larutan Pati Biji Jagung Muda pada Pembuatan Sirup Glukosa dari Biji Jagung Muda secara Hidrolisis Asam

ABSTRAK

(6)

The Influence of Hydrolysis Time and Concentration of Young Corn Starch in The Manufacture of Glucose Syrup from Corn Kernels with Method of

Hydrolysis Acid

ABSTRACT

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Abstrak iv

Abstract v

Daftar Isi vi

Daftar Tabel x

Daftar Gambar xi

Daftar Lampiran xii

Bab 1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Pembatasan Masalah 3

1.4 Lokasi Penelitian 3

1.5 Tujuan Penelitian 3

1.6 Manfaat Penelitian 4

1.7 Metodologi Penelitian 4

Bab 2. Tinjauan Pustaka

2.1 Tanaman Jagung 6

2.1.1 Klasifikasi Jagung 6

2.1.1 Komposisi Biji Jagung 7

2.1.3 Pemanfaatan Biji Jagung 7

2.1.3.1 Pemanfaatan Bidang Non Pangan 7

2.1.3.2 Pemanfaatan Bidang Pangan 8

2.2 Karbohidrat 8

2.2.1 Glukosa 8

2.2.2 Polisakarida 9

(8)

2.4 Gula Cair 12

2.4.1 Pemanfaatan Sirup Glukosa 15

2.4.2 Standard Mutu Sirup Glukosa 15

Bab 3. Metodologi Penelitian

3.1 Alat dan Bahan 16

3.1.1 Alat – alat 16

3.1.2 Bahan 17

3.2 Prosedur Penelitian 17

3.2.1 Pembuatan Reagen 17

3.2.1.1 Pembuatan Luff Schrool 17

3.2.1.2 Pembuatan Larutan Standard Na2S2O3 0,1 N 18

3.2.1.3 Pembuatan HCl 3 % 19

3.2.1.4 Pembuatan Indikator Amilum 19

3.2.1.5 Pembuatan H2SO425 % 19

3.2.1.6 Pembuatan Larutan NaOH 1 % 19

3.2.1.7 Pembuatan KI 20 % 19

3.2.2 Pemisahan Pati Jagung 20

3.2.3 Pembuatan Sirup Glukosa 20

3.2.4 Pengukuran Parameter 21

3.2.4.1 Penentuan Kadar Glukosa 21

3.2.4.2 Pembuatan Blanko 21

3.2.4.3 Penentuan Total Padatan Terlarut (Total Soluble Solid = TSS) 22

3.2.4.4 Penentuan Kadar Abu 22

3.2.4.5 Uji Organoleptik Warna 23

3.3 Bagan Penelitian 24

3.3.1 Pemisahan Pati Jagung 24

3.3.2 Pembuatan Sirup Glukosa 25

3.3.3 Penentuan Kadar Glukosa 26

3.3.4 Penentuan Total Padatan Terlarut (Total Soluble Solid = TSS) 27

3.3.5 Penentuan Organoleptik Warna 27

(9)

Bab 4. Hasil dan Pembahasan

4.1 Hasil Penelitian 29

4.2 Pengolahan Data 30

4.2.1 Kombinasi Perlakuan (tc) dengan Banyaknya Ulangan (n) 30

4.2.2 Uji Signifikan Data (S) Metode Chauvenent Criterion Test (CCT) 30

4.2.3 Perhitungan Kadar Glukosa 31

4.3 Uji Statistik Analisa Varians (anava) metode Rancangan AcakLengkap (RAL) 32

4.4. Pembahasan 34

4.4.1 Reaksi Hidrolisis Pati menjadi Glukosa 34

4.4.2 Kadar Glukosa 35

4.4.2.1 Pengaruh Kadar Glukosa terhadap Waktu Hidrolisis 35

4.4.2.2 Pengaruh Kadar Glukosa terhadap Konsentrasi Larutan Pati 36

4.4.2.3 Hubungan Pengaruh Interaksi Waktu Hidrolisis dan Konsentrasi

Larutan Pati terhadap Kadar Glukosa 37

4.4.3 Total Padatan Terlarut(Total Solid Solubility = TSS ) 38

4.4.3.1 Pengaruh Nilai TSS terhadap Waktu Hidrolisis 38

4.4.3.2 Pengaruh Nilai TSS terhadap Konsentrasi Larutan Pati Biji Jagung

Muda 39

4.4.3.3 Hubungan Pengaruh Interaksi Waktu Hidrolisis dan Konsentrasi

Larutan Pati terhadap Nilai TSS 40

4.4.4 Kadar Abu 41

4.4.4.1 Pengaruh Kadar Abu terhadap Waktu Hidrolisis 41

4.4.4.2 Pengaruh Kadar Abu terhadap Konsentrasi Larutan Pati 42 4.4.4.3 Hubungan Pengaruh Interaksi Waktu Hidrolisis dan Konsentrasi

Larutan Pati terhadap Kadar Abu 43

4.4.5 Nilai Organoleptik Warna 44

4.4.5.1 Pengaruh Nilai Organoleptik Warna terhadap Waktu Hidrolisis 44

4.4.5.2 Pengaruh Nilai Organoleptik Warna terhadap Konsentrasi Larutan

Pati 45

4.4.5.3 Hubungan Pengaruh Interaksi Waktu Hidrolisis dan Konsentrasi

(10)

Bab 5. Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan 47

5.2 Saran 47

Daftar Pustaka 48

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Komposisi Kimia Biji Jagung Muda setiap 100 gram 7

Tabel 2.2 Syarat Mutu Sirup Glukosa 15

Tabel 4.1 Pengaruh Waktu Hidrolisis terhadap Parameter yang diamati 29

Tabel 4.2 Pengaruh Konsentrasi Larutan Pati Biji Jagung Muda terhadap

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Struktur Utama Biji Jagung 7

Gambaran proyeksi Haworth struktur glukosa (α-D glukosa) 8

Gambar 2.3 Pembuatan Pati Jagung 11

Gambar 2.4 Skema Pemecahan Zat Pati menjadi Dekstrosa (D-glukosa) dengan

Katalis Asam 14

Gambar 4. 1 Pengaruh Kadar Glukosa terhadap Waktu Hidrolisis 36

Gambar 4.2 Pengaruh Kadar Glukosa terhadap Konsentrasi Larutan Pati 36

Gambar 4.3 Hubungan Pengaruh Interakasi Waktu Hidrolisis dan Konsentrasi

Larutan Pati terhadap Kadar Glukosa 37

Gambar 4.4 Pengaruh Nilai TSS terhadap Waktu Hidrolisis 38

Gambar 4.5 Pengaruh Nilai TSS terhadap Konsentrasi Larutan Pati 39

Gambar 4.6 Hubungan Pengaruh Interaksi Waktu Hidrolisis dan Konsentrasi

Larutan Pati terhadap Nilai TSS 40

Gambar 4.7 Pengaruh Kadar Abu terhadap Waktu Hidrolisis 41

Gambar 4.8 Pengaruh Kadar Abu terhadap Konsentrasi Larutan Pati 42

Gambar 4.9 Hubungan Pengaruh Interaksi Waktu Hidrolisis dan Konsentrasi

Larutan Pati terhadap Kadar Abu 43

Gambar 4.10 Pengaruh Nilai Organoleptik Warna terhadap Waktu Hidrolisis 44

Gambar 4.11 Pengaruh Nilai Organoleptik Warna terhadap Konsentrasi Larutan Pati 45

Gambar 4.12 Hubungan Pengaruh Interaksi Waktu Hidrolisis dan Konsentrasi

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Tabel 1. Data Kadar Glukosa (%) pada Sirup Glukosa dari Biji Jagung Muda 50

Tabel 2. Data Analisa Sidik Ragam Kadar Glukosa (%) 50

Tabel 3. Data Pengamatan Nilai TSS (o Brix) pada Sirup Glukosa dari Biji Jagung

Muda 51

Tabel 4. Data Analisa Sidik Ragam Nilai TSS (oBrix) 51

Tabel 5. Data Kadar Abu (%) pada Sirup Glukosa dari Biji Jagung Muda 52

Tabel 6. Data Analisa Sidik Ragam Kadar Abu (%) 52

Tabel 7. Data Perhitungan Nilai Organoleptik Warna pada Sirup Glukosa dari Biji

Jagung Muda 53

Tabel 8. Data Analisa Sidik Ragam Organoleptika Warna 53

Tabel 9. Data Standard Kadar Luff Schrool 54

(14)

Pengaruh Lama Hidrolisis dan Konsentrasi Larutan Pati Biji Jagung Muda pada Pembuatan Sirup Glukosa dari Biji Jagung Muda secara Hidrolisis Asam

ABSTRAK

(15)

The Influence of Hydrolysis Time and Concentration of Young Corn Starch in The Manufacture of Glucose Syrup from Corn Kernels with Method of

Hydrolysis Acid

ABSTRACT

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pada saat ini pemerintah menghimbau masyarakat dan pengusaha untuk

meningkatkan ekspor non migas sebagai sumber devisa negara. Sangat diharapkan

dari sektor pertanian, hal ini disebabkan karena Indonesia adalah negara agraris. Pada

umumnya hasil pertanian sangat mudah mengalami kerusakan dan tidak tahan lama

disimpan, sehingga produksi yang tinggi tidak menjamin kenaikan pendapatan petani.

Tidak jarang produksi tersebut rusak sebelum dipasarkan. Disamping mudah

mengalami kerusakan, harganya juga relatif murah karena pemasarannya kebanyakan

hanya dalam bentuk bahan baku. (Rukmana, R.,1997)

Dalam program Gema Pelagung 2006 menyatakan produksi jagung tahun

2004 sebesar 11 juta ton, 2005 sebesar 11,5 juta ton dan 2006 telah mencapai 12 juta

ton. Target produksi telah dicapai maka akan ada kelebihan produksi untuk ekspor.

Thailand dan Malaysia merupakan 2 negara tujuan ekspor jagung tersebut. Hal lain

yang mendorong petani menanam jagung adalah jaminan harga yang cukup baik.

Melemahnya rupiah terhadap dollar AS menyebabkan harga jagung impor relatif lebih

mahal dibandingkan harga jagung dalam negeri. Akibatnya produksi jagung dalam

negeri akan terserap pasar (Adisarwanto, T., 1999).

Untuk meningkatkan nilai tambah dari hasil pertanian perlu dilakukan

pengolahan untuk memperoleh bahan setengah jadi menjadi bahan jadi. Seperti

jagung, selama ini kebanyakan digunakan sebagai bahan pakan ternak, tepung jagung,

emping dan untuk berbagai jenis masakan. Untuk mendapatkan nilai ekonomi jagung

yang lebih tinggi, jagung dapat diolah menjadi sirup glukosa.

Sirup glukosa adalah suatu larutan kental termasuk golongan monosakarida

yang diperoleh dari pati dengan cara hidrolisis dengan katalis asam atau katalis

enzime, selanjutnya dimurnikan serta dikentalkan. (Kirk, R.E.,1949). Keuntungan

(17)

gula yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses dengan katalis enzime.

Penggunaan katalis enzime tingkat hidrolisisnya terbatas sesuai dengan kemampuan

enzime yang dipergunakan sehingga untuk memperoleh nilai derajat konversi yang

lebih tinggi, katalisnya harus digantikan dengan enzym yang sesuai derajat dekstrosa

larutan sampel. (Meyer, L.H.,1970)

Menurut Ida Bagus (1969), asam yang digunakan dalam proses hidrolisis

adalah asam kuat seperti HCl, H2SO4. Bila proses hidrolisis menggunakan katalis HCl maka sirup yang dihasilkan dapat dinetralkan dengan larutan soda abu (Na2CO3). Jumlah garam NaCl yang terbentuk relatip kecil dan biasanya dibiarkan dalam larutan

karena tidak mempengaruhi rasa sirup yang dihasilkan. Menurut Stout dan Ryberg

(1939), konsentrasi pati yang terbaik adalah 10 % sampai 20 % larutan pati, untuk

waktu hidrolisis yang baik tidak lebih dari 180 menit. Semakin tinggi konsentrasi pati

yang digunakan, semakin singkat waktu yang dipergunakan untuk proses hidrolisis.

Bila hidrolisis terlalu singkat maka pengamatan terhadap hasil yang diperoleh sukar

dilakukan.

Pemilihan biji jagung muda sebagai bahan dasar pembuatan sirup glukosa

karena biji jagung muda lebih banyak mengandung karbohidrat, vitamin A dan fosfor

yang cukup tinggi dibandingkan biji jagung tua. (http://ianrpubs.unl.edu/fieldcrops/).

Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini penulis berkeinginan untuk melakukan

penelitian yang berjudul : ’’ Pengaruh Lama Hidrolisis dan Konsentrasi Larutan Pati

pada Pembuatan Sirup Glukosa dari Biji Jagung Muda secara Hidrolisis Asam ’’.

1.2 Permasalahan

Di Indonesia, khususnya di kota Medan, pada dasarnya masyarakat setempat belum

memanfaatkan biji jagung secara maksimal. Pada umumnya lebih banyak digunakan

sebagai pakan ternak, tepung jagung, emping dan untuk berbagai jenis masakan,

sehingga timbul permasalahan bagaimana memberi variasi pada pemanfaatan biji

jagung yang memberikan nilai ekonomi yang lebih tinggi dan mengandung zat gizi

yang diperlukan oleh tubuh. Dalam hal ini penulis ingin memanfaatkan biji jagung

(18)

waktu hidrolisis dan variasi konsentrasi larutan pati dalam pembuatan sirup glukosa

dari biji jagung.

1.3 Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini permasalahan dibatasi pada :

1. Bahan baku adalah biji jagung muda (jenis baby corn) yang diambil dari

Sinaksak Pematangsiantar.

2. Hidrolisis asam menggunakan HCl 3 %.

3. Parameter yang dianalisa dalam pembuatan sirup glukosa adalah kadar

glukosa, nilai total padatan terlarut (total solid solubility = TSS ), kadar abu

dan nilai organoleptik warna.

4. Variasi konsentrasi larutan pati per 200 ml larutan terdiri dari 4 tahap, yaitu :

K1 = 10 gram; K2 = 20 gram; K3 = 30 gram dan K4 = 40 gram.

5. Variasi waktu hidrolisis terdiri dari 4 tahap, yaitu : H1 = 1 jam; H2 = 1,5 jam; H3 = 2 jam dan H4 =2,5 jam.

6. Larutan pentiter yang digunakan adalah Na2S2O3 0,1 N 7. Indikator yang digunakan adalah larutan amilum.

1.4 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di :

1. Laboratorium Biokimia / Kimia Bahan Makanan FMIPA USU Medan

2. Laboratorium Kimia Analitik FMIPA USU Medan

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui pengaruh waktu hidrolisis dan konsentrasi larutan pati terhadap

(19)

1.6 Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini, diharapkan akan diperoleh pemecahan masalah penganeka

ragaman hasil olahan biji jagung muda dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi

sekaligus dapat menambah penghasilan masyarakat petani.

1.7 Metodologi Percobaan

Penelitian ini bersifat eksperimen laboratorium. Dengan menggunakan 3 variabel

yaitu variabel tetap, variabel bebas dan variabel terikat.

1. Variabel tetap meliputi : jenis sampel, temperatur, pH, konsentrasi asam.

2. Variabel bebas meliputi : massa pati, lama hidrolisis.

3. Variabel terikat meliputi : kadar gula (%), kadar abu (%), nilai total padatan

terlarut (total solid solubility = TSS) (o Brix) dan nilai organoleptik warna.

1.7.1 Pemisahan Pati Jagung

Biji jagung muda (300 gram) dicuci, diblender dan ditambahkan air bersih (200 ml).

Kemudian diremas dan disaring dengan menggunakan kain saring. Ditambah air

bersih (100 ml) pada ampas hasil penyaringan kemudian diblender kembali serta

diremas dan disaring. Filtrat akhir yang diperoleh dicampur dengan filtrat yang

diperoleh semula, kemudian diendapkan selama 24 jam, kemudian dipisahkan pati

dengan larutan. Diambil patinya lalu dikeringkan dibawah sinar matahari selama ± 48

jam, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC sampai kadar air pati 10 %.

1.7.2 Pembuatan Sirup Glukosa

Pati biji jagung muda ditimbang 10 gram, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer

dan ditambah 200 ml air panas kemudian dipanaskan sambil diaduk selama ± 1 jam

sampai terbentuk larutan pati kental berwarna kuning. Ditambah HCl 3 % sampai

(20)

pH = 6,5 - 6,8 dan disaring. Filtrat yang diperoleh diuapkan sampai diperoleh larutan

kental. Dilakukan perlakuan yang sama terhadap pati 20 gram, 30 gram dan 40 gram

dengan lama hidrolisis 1 jam; 1,5 jam; 2 jam dan 2,5 jam. Kemudian dilakukan

pengukuran parameter terhadap :

1. Penentuan kadar glukosa dengan menggunakan metode Luff Schrool.

2. Penentuan kadar abu dilakukan dengan metode pengabuan dalam tanur.

3. Pengukuran nilai TSS dilakukan dengan menggunakan handrefraktometer.

(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Jagung

Sumber genetik (plasma nutfah) tanaman jagung berasal dari benua Amerika. Konon,

bentuk liar tanaman jagung disebut pod maize, telah tumbuh 4.500 tahun yang lalu di

pegunungan Andes, Amerika Selatan. Literatur lain menyebutkan bahwa jagung

tumbuh subur di kawasan Meksiko, kemudian menyebar ke Amerika Tengah dan

Amerika Selatan.

Linnaeus (1737), seorang ahli botani memberikan nama Zea mays untuk

tanaman jagung. Zea berasal dari bahasa Yunani yang digunakan untuk

mengklasifikasikan jenis padi – padian. Adapun mays berasal dari bahasa indian yaitu

Mahiz atau Marisi yang kemudian digunakan untuk sebutan spesies. Sampai sekarang

nama latin jagung Zea mays.

2.1.1 Klasifikasi Jagung

Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman jagung dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae (tumbuh – tumbuhan)

Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup)

Kelas : Monocotyledonae (biji berkeping satu)

Ordo : Poales

Famili : Poaceae

Genus : Zea

Spesies : Zea mays

(22)

2.1.2 Komposisi Biji Jagung

Biji jagung terdiri dari kulit ari (pericarp), lembaga (germ), tip cap dan endosperma.

Sebagian besar pati (85 %) terdapat pada endosperma. Pati terdiri dari raksi

amilopektin (73 %) dan amilosa (27 %). Serat kasar terutama terdapat pada kulit ari.

Komponen utama serat kasar adalah hemiselulosa (41,16 %). Gula terdapat pada

lembaga (57 %) dan endosperma (15 %). Protein sebagian besar terdapat pada

endosperma.

Gambar 2.1 Struktur Utama Biji Jagung

Sumber : www.warintek.ristek.go.id/pangan/umum/tanaman_penghasil_pati.

Tabel 2.1 Komposisi Kimia Biji Jagung Muda Setiap 100 gram

No Komponen Prosentase (gram)

1 Karbohidrat 74,5

2 Vitamin A 9,0

3 Serat 1,0

4 Abu 1,1

5 Air 3,4

6 Fosfor 12,0

Sumber : http://ianrpubs.unl.edu/fieldcrops/g1115.html

2.1.3 Pemanfaatan Biji Jagung

2.1.3.1 Pemanfaatan Bidang Non Pangan

Biji jagung muda yang biasanya dimasak untuk menjadi makanan, ternyata punya

manfaat lain yaitu sebagai penghilang bercak-bercak hitam pada wajah akibat bekas

jerawat atau penyakit cangkrang. (www.digilib.ui.ac.id/abstrakpdf)

Belakangan ini biji jagung mulai dioperasikan sebagi bahan yang berpotensi sebagai

(23)

2.1.3.2 Pemanfaatan Bidang Pangan

Biji jagung biasa digunakan untuk tujuan utama: sebagai bahan makanan pokok

terutama di daerah tropis, makanan untuk ternak hewan dan unggas, terutama di

negara-negara industri di daerah temperate, dan sebagai bahan baku untuk banyak

hasil-hasil industri. Hasil industri utama berupa tepung jagung, minyak jagung, sirup.

(www.bdpunib.org/akta/artikelakta/EdisiKhusus2007/pemanfaatan biji jagung)

2.2 Karbohidrat

Karbohidrat merupakan komponen pangan yang menjadi sumber energi utama dan

sumber serat makanan. Komponen ini disusun oleh 3 unsur utama, yaitu karbon (C),

hidrogen (H) dan oksigen (O). Jenis – jenis karbohidrat sangat beragam dan mereka

dibedakan satu dengan yang lain berdasarkan susunan atom – atomnya, panjang /

pendeknya rantai serta jenis ikatan akan membedakan karbohidrat yang satu dengan

lainnya. Dari kompleksitas strukturnya dikenal kelompok karbohidrat sederhana

(seperti monosakarida dan disakarida) dan karbohidrat dengan struktur yang kompleks

atau polisakarida (seperti pati, glikogen, selulosa dan hemiselulosa).

(http ://www.chem-is-try.org).

2.2.1 Glukosa

Glukosa (C6H12O6) adalah gula sederhana (monosakarida). Glukosa adalah salah satu produk utama fotosistesis dan merupakan komponen struktural pada tanaman.

Glukosa merupakan gula C-6 yang memiliki beberapa bentuk, tetapi umumnya

digambarkan sebagai cincin karbon seperti gambar di bawah ini:

a.Gambaran proyeksi Haworth struktur glukosa (α-D glukosa)

(24)

Untuk mengetahui jumlah gula reduksi dapat dilakukan dengan metode Luff

Schoorl, yang ditentukan bukan kuprooksida yang mengendap tetapi dengan

menentukan kuprioksida dalam larutan sebelum direaksikan dengan sampel gula

reduksi (titrasi sampel). Penentuannya dengan titrasi menggunakan Na-tiosulfat.

Selisih titrasi blanko dengan titrasi sampel ekuivalen dengan kuprooksida yang

terbentuk dan juga ekuivalen dengan jumlah gula reduksi yang ada dalam bahan /

larutan. Reaksi yang terjadi selama penentuan karbohidrat dengan cara ini mula –

mula kuprioksida yang ada dalam reagen akan membebaskan iod dari garam

K-iodida. Banyaknya iod yang dibebaskan ekuivalen dengan banyaknya kuprioksida.

Banyaknya iod dapat diketahui dengan titrasi dengan menggunakan Na-tiosulfat.

Untuk mengetahui bahwa titrasi sudah cukup maka diperlukan indikator amilum.

Apabila larutan berubah warnanya dari biru menjadi putih berarti titrasi sudah selesai.

Agar perubahan warna dari biru menjadi putih dapat tepat maka penambahan amilum

dapat dilakukan pada saat titrasi hampir selesai. Reaksi yang terjadi dalam penentuan

gula dengan cara Luff Schoorl dapat dituliskan sebagai berikut :

R – COH + CuO Cu2O + R – COOH (endapan)

H2SO4 + CuO CuSO4 + H2O CuSO4 + 2KI CuI2 + K2SO4 2 CuI2 + I- CuI2 + I2 I2 + Na2S2O3 Na2S4O6 + NaI I2 + amilum biru

Gula reduksinya dapat ditentukan dengan menggunakan tabel gula reduksi.

(Sudarmadji, S., 1989).

2.2.2 Polisakarida

Polisakarida adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air, berwujud bubuk

putih, tawar dan tidak berbau, (seperti pati). Pati merupakan bahan utama yang

dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk

fotosintesis) dalam jangka panjang. Pati tersusun oleh amilosa dan amilopektin.

(25)

monomernya. Tiap-tiap monomer terhubung dengan ikatan 1,6-glikosidik. Amilosa

merupakan polimer tidak bercabang yang bersama-sama dengan amilopektin menjadi

komponen penyusun pati. Amilopektin merupakan polisakarida yang tersusun dari

monomer α-glukosa (dibaca: alfa glukosa). Amilopektin merupakan molekul raksasa dan mudah ditemukan karena menjadi satu dari dua senyawa penyusun pati,

bersama-sama dengan amilosa. Walaupun tersusun dari monomer yang bersama-sama, amilopektin

berbeda dengan amilosa, yang terlihat dari karakteristik fisiknya. Secara struktural,

amilopektin terbentuk dari rantai glukosa yang terikat dengan ikatan 1,6-glikosidik,

sama dengan amilosa. Namun demikian, pada amilopektin terbentuk cabang-cabang

(sekitar tiap 20 mata rantai glukosa) dengan ikatan 1,4-glikosidik. Pemisahan antar

fraksi amilosa dan amilopektin dapat menggunakan elektrodiase atau dengan

n-butanol atau thymol. Amilopektin larut dalam n-n-butanol sedangkan amilosa tidak

larut. Amilosa memberikan warna biru dengan larutan iodin dan amilopektin

memberikan warna merah violet.

(http://www.scientificpsychic.com/fitness/carbohydrates.html)

Karbohidrat golongan polisakarida akan memberikan reaksi dengan larutan

iodin dan memberikan warna spesifik bergantung pada jenis karbohidratnya. Amilosa

dengan iodin akan berwarna biru; Amilopektin dengan iodin akan memberikan warna

merah violet; glikogen maupun dekstrin dengan iodin akan berwarna merah coklat.

(Sudarmadji, S., 1989).

2.3 Pembuatan Pati

Menurut Holleman dan Aten (1956), secara garis besarnya proses pembuatan pati

terbadi atas beberapa fase :

 Penghancuran sel – sel dan pemisahan butir – butiran pati dari benda lain yang tidak larut. Fase ini meliputi waktu pengupasan, pencucian dan pemarutan

sampel dari bahan yang mengandung karbohidrat.

(26)

 Mengurangi air yang terkandung dalam pati basah dangan cara menebarkan pati tersebut pada tampi – tampi bambu dan kemudian menjemurnya dibawah

sinar matahari atau dikeringkan dengan alat pengering.  Menggiling tapioka yang masih kasar dan pengayakan.

Pengendapan bertujuan untuk memisahkan pati dari benda – benda bukan pati seperti

protein, lemak dan lain – lain. Pada waktu proses pengendapan ini berlangsung, akan

terjadi juga perubahan kimia dan biokimia yang disebabkan oleh adanya kegiatan

enzime dan mikroorganisme. (Ciptadi, W., 1976).

Tujuan dari pengeringan adalah mengurangi kadar air sampai batas dimana

perkembangan mikrobia yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat atau

terhenti dan mencegah perubahan – perubahan yang diakibatkan oleh kegiatan

enzime. (Allister, M., 1975). Tetapi pada umumnya untuk pengeringan pati ditetapkan

sampai kadar air 14,5 – 17 %. Kadar air yang terlalu tinggi akan memudahkan

tumbuhnya jamur dan berbau sehingga tepung menjadi rusak dan kwalitasnya

menurun. Pati dengan kadar air 10 % dipergunakan dalam pembuatan gula cair

(sirup).

Gambar 2.3 Pembuatan Pati Jagung

digiling kasar

dipisahkan kulit dan lembaga

digiling halus

pengayakan

(Rukmana, R., 1997)

Biji jagung

Beras jagung

(27)

2.4 Gula Cair

Umumnya gula cair dikenal masyarakat dengan nama ” Sirup glukosa atau Sirup

Fruktosa ” (Anonymous., 1977). Sirup glukosa ialah suatu larutan kental termasuk

golongan monosakarida yang diperoleh dari pati dengan cara hidrolisis lengkap

dengan menggunakan katalis asam atau enzime, selanjutnya dimurnikan serta

dikentalkan. Untuk memperoleh gula cair dapat ditempuh dengan jalan memasak pati

ke dalamnya ditambahkan sejumlah kecil zat kimia (HCl) selama beberapa jam.

Dengan pemasakan itu akan diperoleh suatu cairan yang rasanya manis, yang

disebabkan karena sebagian besar dari pati yang ada telah diubah menjadi gula

(glukosa). Selain cara tersebut, pembuatan gula cair dari pati atau tepung dapat

mempergunakan mikroorganisme (yeast) dan proses ini disebut peragian. Kedua cara

tersebut akan menghasilkan gula yaitu cairan yang dapat langsung dikonsumsi dalam

bentuk sirup (sirup glukosa). (Anonymous., 1977)

Sirup ini bukanlah suatu produk yang murni, tetapi merupakan campuran

antara glukosa, maltosa dan dekstrin, sehingga mempunyai derajat kemanisan yang

lebih rendah dibandingkan dengan glukosa atau sukrosa murni. (Kirk, R.E., 1949).

Mutu Sirup glukosa ditentukan oleh kadar bahan kering, kadar abu, warna dan

kejernihan. Sirup glukosa yang bermutu tinggi mempunyai kadar abu serendah

mungkin dan warna yang bening serta jernih (seperti air). (Anonymous., 1977)

Menurut Noller (1966) komponen heksosa dapat menghasilkan hidroksi metil

fulfural dan asam levulinat. Bila sirup glukosa / gula cair dipanaskan dalam

lingkungan asam dan pada waktu hidrolisis lebih dari 2 jam, maka akan terbentuk

hidroksi metil fulfural yang menyebabkan warna kekuning – kuningan pada sirup

glukosa / gula cair, disamping itu dapat juga terjadi peristiwa ” browning =

(28)

Reaksi pembentukan hidroksi metil fulfural adalah sebagai berikut :

Pembuatan sirup glukosa pada prinsipnya dilakukan dengan dua cara, yaitu:

1. Proses hidrolisis pati dengan katalis asam.

2. Proses hidrolisis pati dengan katalis enzime.

Kedua cara hidrolisis diatas mempunyai keuntungan dan kerugian. Keuntungan

hidrolisis dengan katalis asam yaitu dapat menghasilkan derajat konversi pati menjadi

gula yang lebih tinggi daripada proses katalis enzime, sedangkan keuntungan

hidrolisis enzimatik adalah karena dapat mencegah kehilangan flavour dan warna

sirup. Pada hidrolisis enzime tingkat hidrolisisnya terbatas sesuai dengan kemampuan

enzime yang dipergunakan sehingga untuk memperoleh nilai derajat konversi yang

lebih tinggi, katalisnya harus diganti dengan enzime lain yang sesuai dengan derajat

dekstrosa larutan (D-glukosa). (Meyer, L.H.,1970). Bila pada proses hidrolisis

(29)

dengan air kapur (Ca(OH)2). Bila pada proses hidrolisis digunakan katalis asam klorida (HCl) maka sirup yang dihasilkan dapat dinetralkan dengan larutan soda abu

(Na2CO3) atau natrium karbonat. Jumlah garam NaCl yang terbentuk relatif kecil dan biasanya dibiarkan dalam larutan karena tidak mempengaruhi rasa sirup yang

dihasilkan. (Greenwood, C.T., 1964)

Menurut Mac Allister (1975), proses penetralan dapat dilakukan secara

“Batch” maupun kontiniu dengan penambahan Na2CO3 sehingga diperoleh larutan dengan pH 4,5 - 5. Pada hasil penelitian dengan Na2CO3 disamping terbentuk garam

NaCl juga terbentuk gas CO2 yang harus segera diuapkan untuk mencegah pembentukan busa. (Brautlecht, C.A., 1953). Filtrat hasil penyaringan diuapkan di

dalam evaporator pada kondisi suhu 80oC dan tekanan rendah antara 0,78 – 0,80 atm selama 1 jam dari proses ini dihasilkan sirup glukosa yang encer, pada skala

laboratorium, penguapan dilakukan pada suhu 80oC dengan bantuan pompaa vakum atau pompa isap. (Anonymous., 1976). Pada proses perubahan pati oleh aktifitas asam

untuk menghasilkan glukosa terdapat variasi waktu, temperatur dan tekanan, jenis

asam dan kepekatan asam serta tergantung pada sifat dari bahan baku dan hasil yang

diinginkan. (Othmer, D.P., 1949)

Zat pati

(amilosa dan amilopektin)

Amilodekstrin

Eritrodekstrin

Akrodekstrin Dekstrin

Maltodekstrin

Maltosa

D-glukosa

Gambar 2.4 Skema Pemecahan Zat Pati menjadi Dekstrosa (D-glukosa) dengan

(30)

2.4.1 Pemanfaatan Sirup Glukosa

Sirup glukosa (gula cair) banyak digunakan dalam pembuatan bon – bon, es krim,

pengolahan buah – buahan, campuran obat – obatan, campuran tembakau, campuran

semir sepatu, pembuatan sabun, pembuatan perekat dan sebagainya. Penggunaannya

tergantung kadar dekstrosa (D-glukosa) dan kemurnian sirup. (Jacobs, M.B.,1944)

2.4.2 Standard Mutu Sirup Glukosa

Tabel 2.2 Syarat mutu sirup glukosa :

Komponen Spesifikasi

Air Maksimum 20 %

Kadar abu (dasar kering) Maksimum 1 %

Gula reduksi dihitung D-glukosa Maksimum 30 %

Pati Tidak ada

Logam berbahaya (Pb, Cu, Zn, As) Negatif

Sulfur dioksida (SO2) Untuk kembang gula maksimum 400

ppm, yang lain maksimum 40 ppm

Pemanis buatan Negatif

Na-benzoat Maksimum 250 ppm

Warna Tak berwarna sampai kekuning –

kuningan

Jumlah bakteri Maksimum 500 koloni / gram

Kapang Negatif

Khamir 50 koloni / gram

Bakteri golongan koliform Negatif

(31)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat – Alat

─ Termometer Fisher

─ Kapas penyumbat

─ Buret Pyrex

─ Labu erlenmeyer Pyrex

─ Labu ukur Pyrex

─ Labu leher dua Pyrex

─ Stop watch

─ Blender Philips

─ Corong Pyrex

─ Baskom

─ Penangas air Fisons

─ Oven Memmert

─ Gelas ukur Pyrex

─ Neraca analitik Mettler Toledo

─ Botol akuades

─ Batang pengaduk

─ Kain panjang

─ Kompor

─ Karet dan plastik

─ Statif dan klem

Handrefraktometer

─ Pisau

─ Indikator universal

─ Batu didih

(32)

─ Desikator

─ Gelas beaker Pyrex

─ Pendingin balik

─ Aluminium foil

─ Hot plate Fisher

─ Kertas saring Whatman no. 42

3.1.2 Bahan

─ Biji jagung muda

─ Akuades

─ Larutan Luff Schrool

─ HCl (p) p.a.(E.Merck)

─ NaOH p.a.(E.Merck)

─ Na2CO3anhidrat p.a.(E.Merck)

─ KI p.a.(E.Merck)

─ Na2S2O3 0,1 N p.a.(E.Merck)

─ H2SO4 p.a.(E.Merck)

─ Larutan kanji p.a.(E.Merck)

─ Pb(CH3COO)2 netral p.a.(E.Merck)

─ CuSO4. 5H2O p.a.(E.Merck)

3.2 Prosedur Penelitian

3.2.1 Pembuatan Reagen

3.2.1.1 Pembuatan Larutan Luff Schrool

Larutkan 143,8 gram Na2CO3 anhidrat dalam 300 ml akuades. Sambil diaduk ditambahkan 50 gram asam sitrat yang telah dilarutkan dengan 50 ml akuades.

Tambahkan 25 gram CuSO4. 5H2O yang telah dilarutkan dengan 100 ml akuades. Pindahkan larutan tersebut ke dalam labu ukur 1000 ml, tepatkan sampai tanda garis

(33)

Pengecekan Ketelitian Larutan Luff Scrhool :

1. Larutan Luff Scrhool 10 ml dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml,

kemudian ditambahkan akuades sampai garis tanda, dan dihomogenkan.

2. Dari pengenceran larutan Luff Scrhool dimasukkan sebanyak 10 ml ke

dalam erlenmeyer.

3. Ditambahkan 25 ml KI 3 %.

4. Ditambahkan 25 ml H2SO4 25 %. 5. Titrasi dengan Na2S2O3 0,1 N

6. Ditambah 2 tetes larutan amilum pada saat mendekati titik akhir titrasi

(iod berwarna kuning muda).

7. Dititrasi kembali dengan Na2S2O3 0,1 N sampai warna biru hilang.

Catatan : Larutan Luff Scrhool dikatkan standard jika volume Na2S2O3 0,1 N yang dibutuhkan sebanyak 25 ml (sesuai tabel Luff Scrhool).

3.2.1.2 Pembuatan Larutan Standard Na2S2O3 0,1 N

Ditimbang kasar (dengan neraca analitis) sebanyak 6,2 gram Na2S2O3 .5H20, kemudian larutkan dengan akuades dingin (setelah didihkan) ke dalam labu ukur 500

ml, biarkan semalam, saring dan ambil larutan jernih. Tambahkan 0,2 gram Na2CO3 (sebagai pengawet) per 25 gram Na2S2O3 dan simpan dalam botol yang bersih.

Standarisasi Na2S2O3 0,1 N :

1. Larutkan 5 gram KI dan 4 gram NaHCO3 ke dalam gelas erlenmeyer yang berisi 300 ml akuades.

2. Kemudian tambahkan HCl 1 M perlahan – lahan sambil digoyang

sampai tidak ada lagi CO2(g) yang keluar, lanjutkan penambahan HCl sebanyak 10 ml.

3. Tambahkan 25 ml K2Cr2O7 0,1 N; goyang perlahan gelasnya (agar homogen); kemudian diamkan selama 10 menit.

4. Turunkan larutan pentiter Na2S2O3; tepat berwarna kuning muda, tambahkan 2 tetes indikator amilum dan teruskan pentitrasian secara

perlahan. Hentikan tepat warna biru hilang dan warna hijau muda (dari

(34)

3.2.1.3 Pembuatan HCl 3 %

Diencerkan 6,9 ml HCl (p) ke dalam labu ukur 100 ml, ditambah akuades sampai garis tanda, kemudian dihomogenkan.

3.2.1.4 Pembuatan Indikator Amilum A. NaCl (saring dahulu) 500 ml

Asam asetat glasial 80 ml

Akuades 20 ml

Campurkan ketiga bahan tersebut ke dalam gelas beaker 1000 ml.

B. Amilum 3 gram

Masukkan amilum (bagian B) sambil diaduk ke dalam campuran A, tutup gelas

beaker lalu panaskan sampai mendidih, dan teruskan pendidihan selama 2 menit

sampai larutan bening, lalu dinginkan. Simpan dalam botol bersih.

3.2.1.5 Pembuatan Larutan H2SO4 25 %

Diencerkan 16,4 ml H2SO4 (p) ke dalam labu ukur 100 ml, ditambah akuades sampai garis tanda, kemudian dihomogenkan.

3.2.1.6 Pembuatan Larutaan NaOH 1 %

Dilarutkan 1 gram NaOH ke dalam labu ukur 100 ml, ditambah akuades sampai garis

tanda, kemudian dihomogenkan.

3.2.1.7 Pembuatan Larutan KI 20 %

Dilarutkan 20 gram KI ke dalam labu ukur 100 ml, ditambahkan akuades sampai garis

(35)

3.2.2 Pemisahan Pati Jagung

─ Biji jagung muda (300 gram), dicuci, dan diblender serta ditambah air bersih (200 ml).

─ Diremas dan diperas dengan menggunakan kain saring.

─ Ditambahkan air bersih (100 ml) pada ampas hasil penyaringan.

─ Diblender dan diperas kembali.

─ Diendapkan suspensi selama 24 jam.

─ Dipisahkan pati dari airnya.

─ Dikeringkan pati yang didapat dibawah sinar matahari selama ± 48 jam.

─ Dikeringkan kembali dalam oven pada suhu 80oC hingga kadar air pati 10 %.

3.2.3 Pembuatan Sirup Glukosa

─ Ditimbang pati biji jagung muda 10 gram dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer.

─ Ditambahkan air panas 200 ml.

─ Diaduk dan dipanaskan hingga diperoleh larutan pati kental berwarna kuning.

─ Ditambahkan HCl 3 % sampai pH = 2.

─ Dihidrolisis pada suhu 115oC selama 1 jam.

─ Dikeluarkan dan didinginkan hingga suhu mencapai 75oC.

─ Dinetralkan dengan NaOH 1 % sampai pH 6,5 – 6,8.

─ Dilakukan penyaringan

─ Diuapkan filtrat yang diperoleh sampai menjadi larutan kental.

─ Dilakukan analisis terhadap parameter kadar glukosa, nilai TSS, kadar abu dan organoleptik warna.

Catatan : Dilakukan perlakuan yang sama untuk massa pati 20 gram, 30 gram dan 40

(36)

3.2.4 Pengukuran Parameter

3.2.4.1 Penentuan Kadar Glukosa

─ Dimasukkan 25 ml gula cair ke dalam labu ukur 100 ml.

─ Ditambah 50 ml akuades.

─ Ditambah Pb(CH3COO)2 netral setetes demi setetes sampai larutan tidak keruh.

─ Ditambah akuades sampai garis tanda kemudian dihomogenkan.

─ Disaring.

─ Ditampung filtrat ke dalam labu ukur 250 ml.

─ Ditambah Na2CO3 anhidrat sedikit demi sedikit sampai tidak ada lagi endapan putih.

─ Ditambah akuades sampai garis tanda kemudian dihomogenkan.

─ Disaring.

─ Dimasukkan 25 ml filtratnya ke dalam labu leher dua.

─ Ditambah 25 ml larutan Luff Schrool.

─ Ditambah beberapa butir batu didih.

─ Dihubungkan dengan pendingin balik.

─ Dipanaskan selama ± 15 menit pada suhu 100oC.

─ Didinginkan.

─ Ditambah 15 ml KI 20 % secara perlahan – lahan.

─ Ditambah 25 ml H2SO4 25 %.

─ Dititrasi dengan Na2S2O3 0,1 N .

─ Ditambah 2 tetes indikator amilum pada saat mendekati titik akhir titrasi (iod berwarna kuning muda).

─ Dititrasi kembali dengan Na2S2O3 0,1 N sampai warna biru hilang.

─ Diukur volume yang terpakai Na2S2O3 0,1 N .

3.2.4.2 Pembuatan Blanko

─ Dimasukkan 25 ml akuades ke dalam labu leher dua.

─ Ditambah 25 ml larutan Luff Schrool.

─ Dihubungkan dengan pendingin balik.

(37)

─ Didinginkan.

─ Ditambah 15 ml KI 20 % secara perlahan – lahan.

─ Ditambah 25 ml H2SO4 25 % .

─ Dititrasi dengan Na2S2O3 0,1 N .

─ Ditambah 2 tetes indikator amilum pada saat mendekati titik akhir titrasi (iod berwarna kuning muda).

─ Dititrasi kembali dengan Na2S2O3 0,1 N sampai warna biru hilang.

─ Diukur volume yang terpakai Na2S2O3 0,1 N .

3.2.4.3 Penentuan Total Padatan Terlarut (Total Soluble Solid = TSS)

─ 10 ml sirup glukosa.

─ Dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml.

─ Diencerkan dengan akuades sampai garis tanda.

─ Diaduk sampai homogen kemudian disaring.

─ Diteteskan filtrat yang diperoleh pada kaca sensor handrefraktometer.

─ Dibaca nilai oBrix.

3.2.4.4 Penentuan Kadar Abu

─ Ditimbang cawan porselin kosong.

─ Ditempatkan 10 ml gula cair dalam cawan porselin.

─ Dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC selama 2 jam.

─ Didinginkan cawan ke dalam desikator selama 20 menit.

─ Ditimbang berat kering setelah dingin.

─ Diulangi terus sampai diperoleh berat konstan.

─ Dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 500 oC - 600oC sampai diperoleh abu. berwarna keputih – putihan.

─ Didinginkan dalam desikator.

─ Ditimbang abu yang diperoleh.

─ Diulang terus sampai diperoleh berat konstan.

(38)

3.2.4.5 Uji Organoleptik Warna

Uji ini hanya meliputi warna yang ditentukan dengan uji kesukaan oleh 10

orang panelis. Uji ini ditentukan dengan skala hedonik sebagai berikut :

Uji Kesukaan (Skala Hedonik) Skala Numerik

Kuning pucat 1

Agak kekuningan 2

Kekuningan 3

(39)

3.3 Bagan Penelitian

3.3.1 Pemisahan Pati Jagung

Dicuci, diblender serta ditambah air bersih

(200 ml)

Diremas dan diperas dengan kain saring

Ditambah air bersih (100 ml) kemudian diblender

Diremas dan diperas kembali

Digabungkan dengan filtrat sebelumnya

Diendapkan selama 24 jam

(dibuang)

Dikeringkan dibawah sinar matahari selama ± 48 jam

Diovenkan pada suhu 80oC hingga kadar air 10 %

Biji jagung muda (300 gram)

Biji jagung halus

Residu Filtrat

Residu Filtrat

Campuran filtrat

Pati Larutan keruh

Pati kering

(40)

3.3.2 Pembuatan Sirup Glukosa

Dimasukkan ke dalam erlenmeyer Ditambah 200 ml air mendidih

Dipanaskan sambil diaduk ± 1 jam

Ditambah HCl 3 % sampai pH = 2

Ditutup dengan kapas

Dihidrolisis pada suhu 115oC selama 1 jam Didinginkan hingga suhu 75oC

Dinetralkan dengan NaOH 1 % sampai

pH = 6,5 – 6.,8

Disaring

Diuapkan sampai diperoleh larutan kental

Catatan : Dilakukan perlakuan yang sama untuk massa pati 20 gram, 30 gram dan 40

gram dengan lama hidrolisis 1 jam; 1,5 jam; 2 jam dan 2,5 jam. Pati jagung 10 gram

Larutan pati

Larutan pati kental berwarna kuning

Filtrat Residu

(41)

3.3.3 Penentuan Kadar Glukosa

Ditambah Na2CO3 anhidrat sedikit demi sedikit sampai tidak ada lagi

(42)

3.3.4 Penentuan Total Padatan Terlarut (Total Soluble Solid = TSS)

Dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml

Diencerkan dengan akuades sampai garis

batas

Diaduk sampai homogen

Disaring

Diteteskan pada kaca sensor handrefraktometer

Dibaca dan dicatat angka Brix

3.3.5 Penentuan Organoleptik Warna

Dilakukan uji warna kepada panelis

Ditentukan skor nilainya 10 ml sampel

Filtrat Residu

HASIL

Sirup glukosa

(43)

3.3.6 Penentuan Kadar Abu

Ditempatkan dalam cawan porselin

Dikeringkan dalam oven pada suhu

100oC selama 2 jam

Didinginkan cawan dalam desikator

selama 20 menit

Ditimbang berat kering dan diulang terus

sampai diperoleh berat konstan

Dimasukkan dalam tanur pada suhu

500 oC - 600oC

Didinginkan dalam desikator

Ditimbang abu yang diperoleh dan

Diulang sampai diperoleh berat konstan

Dihitung kadar abunya

10 ml gula cair

HASIL Gula cair kering

(44)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Secara umum dari hasil waktu hidrolisis dan variasi konsentrasi larutan pati biji

jagung muda pada pembuatan sirup glukosa dari biji jagung muda memberikan

pengaruh terhadap kadar glukosa, kadar abu, kadar TSS dan nilai organoleptik warna.

Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.1 Pengaruh Waktu Hidrolisis terhadap Parameter yang diamati :

Waktu Hidrolisis

Tabel 4.2 Pengaruh Konsentrasi Larutan Pati Biji Jagung Muda terhadap Parameter

(45)

4.2 Pengolahan Data

4.2.1 Kombinasi Perlakuan (tc) dengan Banyaknya Ulangan (n)

Penelitian dilaksanakan dengan model Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri

dari 2 faktorial yaitu :

Kombinasi perlakuan (tc) adalah 4 x 4 = 16 dengan banyak ulangan (n), adalah :

Tc (n – 1) ≥ 15

4.2.2 Uji Signifikan Data (S) Metode Chauvenent Criterion Test (CCT)

Contoh uji signifikan data nilai TSS pada waktu hidrolisis 1 jam dan konsentrasi

(46)

V1 0.821

Berdasarkan data di atas htabel > hhitung yang menyatakan data signifikan.

(Gaspersz, V., 1990)

4.2.3 Perhitungan Kadar Glukosa

Penentuan kadar glukosa dari biji jagung muda dapat dihitung sebagai berikut :

Volume larutan Na2S2O3 0.1052 yang dibutuhkan adalah : (a – b) dimana : a = volume blanko --- x N b = volume sampel 0.1

Contoh perhitungan kadar glukosa pada waktu hidrolisis 1 jam dan konsentrasi larutan

(47)

4.3 Uji Statistik Analisa Varians (anava) metode Rancangan Acak Lengkap (RAL)

Dalam hal ini RAL merupakan suatu metode untuk pelengkap penentu anava. Karena

data anava yang akan diperoleh dilakukan dengan menggunakan statistik hitung (F)

taraf signifikan 5 % dan 1 %. Statistik F dapat dihitung dengan rumus :

KT perlakuan dimana : KT perlakuan = kuadrat tengah perlakuan F hitung = --- KT galat = kuadrat tengah galat KT galat

Dengan ini maka hipotesa Ho dan Hi diuji dengan :

1. Ho : X1 = X2 = X3

Bila tidak ada pengaruh waktu hidrolisis dan variasi konsentrasi larutan pati

biji jagung muda terhadap pembuatan sirup glukosa dari biji jagung muda.

2. Hi : X1≠ X2 ≠ X3

Bila terdapat pengaruh waktu hidrolisis dan variasi konsentrasi larutan pati biji

jagung muda terhadap pembuatan sirup glukosa dari biji jagung muda.

(48)

JKP 98584,67

KT perlakuan = --- = --- = 98584,67 DBP 1

JKG 98285,8

KT galat = --- = --- = 3276,19 DBG 30

KT perlakuan 98584,67

F hitung = --- = --- = 30,09 KT galat 3276,19

Dimana : FK = faktor koreksi

Σ

Xtotal = jumlah X total

n = total ulangan

JKU = jumlah kuadrat umum

X = X1, X2, X3

JKP = jumlah kuadrat perlakuan

r = banyaknya perulangan

JKG = jumlah kuadrat galat

DBT = derajat bebas total

DBP = derajat bebas perlakuan

DBG = derajat bebas galat

Dari lampiran.... jika dibandingkan antara F hitung dengan F tabel maka F hit > F tab yaitu (30,09> 4,17) untuk α = 0,05 dan (30,09 > 7,56) untuk α = 0,01. Dari hasil tersebut berarti Ho ditolak dan Hi diterima dengan arti bahwa terdapat pengaruh waktu

hidrolisis terhadap kadar glukosa pada sirup glukosa dari biji jagung muda.

(49)

4.4 Pembahasan

4.4.1 Reaksi Hidrolisis Pati menjadi Glukosa

(C6H10O5)x + H2O (C6H10O5)y + H2O (C6H10O5)z + H2O Pati amilodekstrin eritrodekstrin

(C6H10O5)v + H2O C12H22O11 + H2O C6H12O6 akhrodekstrin maltosa glukosa

(Silitongan Melva.,2009)

H CH2OH H CH2OH H O H O

H O H + H2O OH H OH H

H OH H OH

X

Pati (Amilosa)

H CH2OH H CH2OH H O H O

H O H + H2O OH H OH H

H OH H OH

Y

Amilodekstrin

H CH2OH H CH2OH H O H O

H O H + H2O OH H OH H

H OH H OH

Z

(50)

H CH2OH H CH2OH H O H O

H O H + H2O OH H OH H

H OH H OH

V

Akhrodekstrin

H CH2OH H H CH2OH H

O O δ- δ+ H O H + HO — H

OH OH H OH H OH

H OH H OH

Amilosa

H CH2OH H H CH2OH H O O

H + H

OH OH H OH OH OH H OH

H OH H OH

Glukosa Glukosa

4.4.2 Kadar Glukosa

4.4.2.1 Pengaruh Kadar Glukosa terhadap Waktu Hidrolisis

Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa setiap perlakuan berbeda sangat nyata

antara satu dengan yang lainnya. Kadar glukosa tertinggi diperoleh pada waktu

(51)

0

Dari hasil analisa sidik ragam pada tabel 2 (pada lampiran) menunjukkan bahwa

waktu hidrolisis memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar glukosa.

Hal ini dapat juga dilihat dari gambar grafik 4.1 Semakin lama waktu hidrolisis maka

kadar glukosa semakin meningkat. Peningkatan kadar glukosa ini disebabkan karena

semakin lama waktu hidrolisis semakin sempurna pemecahan pati menjadi glukosa

sehingga kadar glukosa semakin meningkat.

4.4.2.2 Pengaruh Kadar Glukosa terhadap Konsentrasi Larutan Pati

Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa setiap perlakuan berbeda sangat nyata

antara satu dengan yang lainnya. Kadar glukosa tertinggi diperoleh 15 % (30 gram/

200 ml) tetapi pada 20 % (40 gram/ 200 ml) turun mengikuti garis regresi kuadratik.

Gambar 4.2 Pengaruh Kadar Glukosa terhadap Konsentrasi Larutan Pati

Ŷ = 17,31 - 15,61 X + 16,67 X2 r = + 0,66

Dari hasil analisa sidik ragam pada tabel 2 (pada lampiran) menunjukkan bahwa

(52)

0

Semakin meningkat konsentrasi larutan pati maka kadar glukosa meningkat juga pada

konsentrasi 15 %, tetapi pada konsentrasi 20 % turun mengikuti garis kuadratik

(sesuai grafik 4.4.1.2). Peningkatan kadar glukosa karena pada konsentrasi larutan

pati 15 % (30 gram/ 200 ml) semakin sempurna pemecahan pati menjadi glukosa,

sehingga didapat kadar glukosa yang lebih tinggi dan pada konsentrasi 20 % terjadi

penurunan kadar glukosa. Hal ini disebabkan karena pemecahan pati menjadi glukosa

kurang sempurna akibat konsentrasi pati terlalu tinggi atau kadar air berkurang

sehingga proses hidrolisis terganggu, selain itu terjadinya penurunan kadar glukosa

pada konsentrasi 20 % karena adanya reaksi dehidrasi glukosa yang dikenal dengan

reaksi pencoklatan.

4.4.2.3 Hubungan Pengaruh Interaksi Waktu Hidrolisis dan Konsentrasi Larutan Pati terhadap Kadar Glukosa

Dari tabel 1 (pada lampiran) dapat dilihat bahwa setiap level kombinasi

perlakuan lama hidrolisisis dengan tingkat konsentrasi larutan pati menunjukkan

pengaruh yang berbeda nyata pada Fhit > F tab (30,09 > 4,17) untuk α = 0,05 dan (30,09 > 7,56) untuk α = 0,01 terhadap kadar glukosa. Semakin lama hidrolisis dan perbedaan tingkat konsentrasi larutan pati pada keasaman tertentu yaitu pH = 2 maka

kadar glukosa meningkat sampai batas tertentu dan kemudian menurun mengikuti

regresi kuadratik seperti gambar berikut.

Gambar 4.3 Hubungan Pengaruh Interakasi Waktu Hidrolisis dan Konsentrasi

(53)

0

Penurunan kadar glukosa disebabkan karena pemecahan pati menjadi glukosa kurang

sempurna akibat konsentrasi pati terlalu tinggi atau kadar air berkurang sehingga

proses hidrolisis terganggu, selain itu terjadinya penurunan kadar glukosa pada

konsentrasi 20 % karena adanya reaksi dehidrasi glukosa yang dikenal dengan reaksi

pencoklatan.

4.4.3 Total Padatan Terlarut(Total Solid Solubility = TSS ) 4.4.3.1 Pengaruh Nilai TSS terhadap Waktu Hidrolisis

Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa setiap perlakuan berbeda sangat nyata

antara satu dengan yang lainnya. Nilai TSS tertinggi diperoleh pada waktu hidrolisis 2

jam, tetapi pada waktu hidrolisis 2,5 jam turun mengikuti garis regresi kuadratik.

Gambar 4.4 Pengaruh Nilai TSS terhadap Waktu Hidrolisis

Ŷ = -11,74 + 53,11 X - 12,56 X2 r = + 0,90

Dari hasil analisa sidik ragam pada tabel 4 (pada lampiran) menunjukkan bahwa

waktu hidrolisis memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap nilai TSS.

Semakin lama waktu hidrolisis maka nilai TSS meningkat juga pada waktu hidrolisis

2 jam, tetapi pada waktu hidrolisis 2,5 jam turun mengikuti garis kuadratik (sesuai

grafik 4.4).

Terjadinya perbedaan nilai TSS pada sirup glukosa disebabkan semakin lama

waktu hidrolisis maka semakin sempurna penguraian pati menjadi glukosa, sehingga

nilai TSS semakin tinggi hingga lama hidrolisis 2 jam. Kemudian terjadi penurunan

nilai TSS akibat perombakan glukosa menjadi levulinat dan asam formiat dalam

(54)

0

reaksi pencoklatan dimana pada reaksi pencoklatan terjadi pengeluaran H2O(l) sehingga beratnya berkurang.

4.4.3.2Pengaruh Nilai TSS terhadap Konsentrasi Larutan Pati Biji Jagung Muda

Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa setiap perlakuan berbeda sangat nyata

antara satu dengan yang lainnya. Nilai TSS tertinggi diperoleh pada konsentrasi 20 %,

dan terendah pada konsentrasi 5 % mengikuti garis regresi kuadratik.

Gambar 4.5 Pengaruh Nilai TSS terhadap Konsentrasi Larutan Pati

Ŷ = 42,56 + 0,45 X - 0,05 X2 r = - 0,95

Dari hasil analisa sidik ragam pada tabel 4 (pada lampiran) menunjukkan bahwa

konsentrasi larutan pati memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai TSS.

Meningkatnya konsentrasi larutan pati maka nilai TSS akan semakin meningkat. Hal

ini dapat dijelaskan bahwa nilai TSS merupakan suatu analisa untuk menentukan

banyaknya padatan gula yang terlarut dalam suatu larutan yang dinyatakan dalam o

Brix. Dimana setiap kenaikan konsentrasi larutan pati akan meningkatkan kenaikan

nilai TSS (http://www.refractometer.com). Disamping itu juga disebabkan karena

semakin banyaknya glukosa dan zat lain yang terlarut dalam proses hidrolisis.

Terjadinya peningkatan kadar glukosa akibat penguraian pati menjadi glukosa

(55)

0

4.4.3.3 Hubungan Pengaruh Interaksi Waktu Hidrolisis dan Konsentrasi Larutan Pati terhadap Nilai TSS

Dari tabel 3 (pada lampiran) dapat dilihat bahwa setiap level kombinasi

perlakuan lama hidrolisisis dengan tingkat konsentrasi larutan pati menunjukkan

pengaruh yang berbeda sangat nyata pada Fhit > F tab (6385,19 > 4,17) untuk α = 0,05 dan (6385,19 > 7,56) untuk α = 0,01 terhadap nilai TSS. Semakin lama hidrolisis dan perbedaan tingkat konsentrasi larutan pati yang tinggi maka TSS akan semakin

meningkat mengikuti garis regresi kuadratik seperti gambar berikut.

Gambar 4.6 Hubungan Pengaruh Interaksi Waktu Hidrolisis dan Konsentrasi

Larutan Pati terhadap Nilai TSS

Dari gambar diatas dapat dilihat, bahwa kombinasi perlakuan konsentrasi larutan pati

yang tinggi akan meningkatkan nilai TSS sebaliknya, semakin lama waktu hidrolisis

(56)

0

meningkat. Hal ini dapat dijelaskan bahwa nilai TSS merupakan suatu analisa untuk

menentukan banyaknya padatan gula yang terlarut dalam suatu larutan yang

dinyatakan dalam oBrix. Dimana setiap kenaikan konsentrasi larutan pati akan meningkatkan kenaikan nilai TSS (http://www.refractometer.com).

Terjadinya perbedaan nilai TSS pada sirup glukosa disebabkan semakin lama

waktu hidrolisis maka semakin sempurna penguraian pati menjadi glukosa, sehingga

TSS semakin tinggi sampai batas tertentu, kemudian terjadi penurunan TSS akibat

perombakan glukosa menjadi levolonat dan asam formiat dalam pemanasan yang

terlalu lama terlebih – lebih dalam suasana asam. Disini juga terjadi reaksi

pencoklatan dimana pada reaksi pencoklatan terjadi pengeluaran H2O(l) sehingga beratnya berkurang.

4.4.4 Kadar Abu

4.4.4.1 Pengaruh Kadar Abu terhadap Waktu Hidrolisis

Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa setiap perlakuan berbeda sangat

nyata antara satu dengan yang lainnya. Kadar abu tertinggi diperoleh pada waktu

hidrolisis 1 jam, tetapi pada waktu hidrolisis 2,5 jam turun mengikuti garis regresi

kuadratik.

Gambar 4.7 Pengaruh Kadar Abu terhadap Waktu Hidrolisis

(57)

1.05

Dari hasil analisa sidik ragam pada tabel 6 (pada lampiran) menunjukkan bahwa

waktu hidrolisis memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar abu.

Semakin lama waktu hidrolisis maka kadar abu menurun mengikuti garis kuadratik

(sesuai grafik 4.7). Terjadinya penurunan kadar abu pada sirup glukosa disebabkan

akibat terjadinya penggabungan molekul glukosa dengan garam – garam mineral

seperti ion besi (III) dengan glukosa membentuk gula besi (Sacharas ferricus)

(Pharmakope Nederland, 1929)

4.4.4.2Pengaruh Kadar Abu terhadap Konsentrasi Larutan Pati

Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa setiap perlakuan berbeda nyata antara satu

dengan yang lainnya. Kadar abu terendah diperoleh pada konsentrasi larutan pati 5 %,

tertinggi pada konsentrasi larutan pati 20 % mengikuti garis regresi kuadratik.

Gambar 4.8 Pengaruh Kadar Abu terhadap Konsentrasi Larutan Pati

Ŷ = 1,06 + 0,011 X r = + 0,89

Dari hasil analisa sidik ragam pada tabel 6 (pada lampiran) menunjukkan bahwa

konsentrasi larutan pati memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar

abu. Berdasarkan grafik 4.8 terlihat bahwa semakin meningkat konsentrasi larutan

pati, maka kadar abu semakin meningkat, mengikuti garis regresi kuadratik.

Terjadinya peningkatan kadar abu diduga akibat konsentrasi larutan pati yang

semakin tinggi, sehingga semakin banyak garam – garam mineral yang terlarut yang

(58)

0

Dari tabel 5 (pada lampiran) dapat dilihat bahwa setiap level kombinasi

perlakuan lama hidrolisisis dengan tingkat konsentrasi larutan pati menunjukkan

pengaruh yang berbeda nyata pada Fhit > F tab (17,67 > 4,17) untuk α = 0,05 dan (17,67 > 7,56) untuk α = 0,01 terhadap kadar abu. Semakin lama hidrolisis dan perbedaan tingkat konsentrasi larutan pati yang tinggi maka kadar abu akan semakin

meningkat mengikuti garis regresi kuadratik seperti gambar berikut.

Gambar 4.9 Hubungan Pengaruh Interaksi Waktu Hidrolisis dan Konsentrasi

Larutan Pati terhadap Kadar Abu

Dari gambar diatas dapat dilihat, bahwa semakin lama waktu hidrolisis dan semakin

tinggi konsentrasi larutan pati maka kadar abu semakin meningkat. Hal ini terjadi

karena semakin tinggi tingkat konsentrasi larutan pati, semakin banyak juga

mineralnya, dimana mineral – mineral ini akan semakin banyak terlarut bila hidrolisis

lebih lama. Dengan demikian, kadar abu akan semakin tinggi sesuai dengan

(59)

0

Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa setiap perlakuan berbeda sangat nyata

antara satu dengan yang lainnya. Kadar abu tertinggi diperoleh pada waktu hidrolisis

1 jam, tetapi pada waktu hidrolisis 2,5 jam turun mengikuti garis regresi kuadratik.

Gambar 4.10 Pengaruh Nilai Organoleptik Warna terhadap Waktu Hidrolisis

Ŷ = 1,25 + 0,62 X - 0,13 X2 r = + 0,64

Dari hasil analisa sidik ragam pada tabel 8 (pada lampiran) menunjukkan bahwa

waktu hidrolisis memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap nilai

organoleptik warna. Semakin lama waktu hidrolisis maka nilai organoleptik warna

meningkat mengikuti garis kuadratik (sesuai grafik 4.10). Peningkatan ini disebabkan

karena semakin lama waktu hidrolisis maka tejadi perombakan glukosa menjadi

levolonat dan asam formiat dalam pemanasan yang terlalu lama terlebih – lebih dalam

suasana asam. Disini juga terjadi reaksi pencoklatan dimana pada reaksi pencoklatan

(60)

0 Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa setiap perlakuan berbeda nyata antara satu

dengan yang lainnya. Nilai organoleptik warna terendah diperoleh pada konsentrasi

larutan pati 5 %, tertinggi pada konsentrasi larutan pati 20 % mengikuti garis regresi

kuadratik.

Gambar 4.11 Pengaruh Nilai Organoleptik Warna terhadap Konsentrasi Larutan Pati

Dari hasil analisa sidik ragam pada tabel 8 (pada lampiran) menunjukkan bahwa

konsentrasi larutan pati memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai

organoleptik warna. Meningkatnya konsentrasi larutan pati maka nilai organoleptik

warna akan semakin meningkat. Peningkatan nilai organoleptik warna ini disebabkan

karena panelis lebih menyukai warna sirup yang agak pekat, dimana semakin tinggi

konsentrasi larutan pati maka warna sirup yang dihasilkan juga semakin gelap dan

kental.

4.4.5.3 Hubungan Pengaruh Interaksi Waktu Hidrolisis dan Konsentrasi Larutan Pati terhadap nilai Organoleptik Warna

Dari tabel 7 (pada lampiran) dapat dilihat bahwa setiap level kombinasi

perlakuan lama hidrolisisis dengan tingkat konsentrasi larutan pati menunjukkan

(61)

0

hidrolisis dan perbedaan tingkat konsentrasi larutan pati yang tinggi maka kadar abu

akan semakin meningkat mengikuti garis regresi kuadratik seperti gambar berikut.

Gambar 4.12 Hubungan Pengaruh Interaksi Waktu Hidrolisis dan Konsentrasi

Larutan Pati terhadap Kadar Abu

Dari gambar diatas dapat dilihat, bahwa semakin lama waktu hidrolisis dan semakin

tinggi konsentrasi larutan pati maka nilai organoleptik warna semakin meningkat. Hal

ini terjadi karena semakin lama waktu hidrolisis maka tejadi perombakan glukosa

menjadi levolonat dan asam formiat dalam pemanasan yang terlalu lama terlebih –

lebih dalam suasana asam. Disini juga terjadi reaksi pencoklatan dimana pada reaksi

pencoklatan terjadi pengeluaran H2O(l). Dengan juga dengan konsentrasi larutan pati, semakin tinggi konsentrasi larutan pati maka warna sirup yang dihasilkan juga

semakin gelap dan kental. Pada umumnya panelis lebih menyukai warna sirup yang

(62)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut :

1. Lama hidrolisis memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kadar glukosa

dan nilai organoleptik warna, dan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata

terhadap nilai TSS dan kadar abu.

2. Konsentrasi larutan pati memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kadar

glukosa dan nilai organoleptik warna, dan memberikan pengaruh berbeda

sangat nyata terhadap nilai TSS dan kadar abu.

3. Interaksi perlakuan lama hidrolisis dan konsentrasi larutan pati memberikan

pengaruh berbeda sangat nyata pada kadar glukosa, nilai TSS, kadar abu dan

nilai organoleptik warna.

5.2 Saran

Untuk kesempurnaan penelitian ini disarankan kepada peneliti selanjutnya

untuk memperhatikan pengenceran yang tepat dalam penggunaan HCl sebelum

(63)

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T.,1999. Budi Daya Jagung. Jilid Kedua. Surabaya : Penerbit Kendang Sari.

Allister, M., 1975. Enzym in Food Processing. New York: Acadic Press.

Anonymous, L., 1977. Akhirnya Singkongpun menjadi Gula. Medan : Harian Sinar Indonesia Baru.

Brautlecth, C.A., 1953. Starch, It’s Sources. Production and Uses. New York : Reinhold Publishing Corporation.

Greenwood, C.T., 1964. Food Chemistry. Heidenburg : Springer Venag Berlin.

http : //www.balitsereal.litbang.deptaan.go.id/ Pengolahan Jagung. html. 2006. Diakses 24 Mei 2009.

http : //www.bdpunib.org/ Edisi Khusus 2007/ Pemanfaatan Biji Jagung. Diakses 24 Mei 2009.

http : //www.ianrpubs. unl. edu/ Fieldcorps/ html. 2003. Diakses 22 Juni 2009.

http : //www. scientificpsychic.com/ Carbohydrates/ html. 1997.Diakses 30 Juni 2009

http : //www. warintek.ristek.go.id / Tanaman- Penghasil-Pati/ html. 2002. Diakses 14 Juni 2009

Jacobs, M.B., 1994. The Chemical Analysis of Food and Food Product 2nd. New York : D. Van Nostran Company Inc.

Judoamidjojo, M., A.A. Darwis dan E. G. Sa’id., 1992. Tekonologi Fermentasi. Bogor : IPB Press.

Lambau, M. B., 1958. Effect of Curing, Storage and Dehydration Mono & Disacarida of Sweet Potato. Food Technology 12 No.3. Roma : Italy.

Meyer, L.H., 1970. Food Chemistry. New York : Reinhold Publishing Corporation.

Mulyono, H.A., 2004. Membuat Reagen Kimia. Jakarta : Bumi Aksara.

Othmer, D.P., 1949. Starch Production Technology. London : Applied Science Publishing Ltd.

Rukmana, R., 1997. Usaha Tani Jagung. Cetakan Pertama. Surabaya : Penerbit Kendang Sari.

(64)

Somaatmadja, D., 1970. Sirup Pati Ubi Kayu. Bogor : Balai Penelitian Kimia Bogor.

Stout, L.E and Ryberg., 1939. Polysacharida Chemistry. New York : Academic Press Inc.

Sudarmadji, S., 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Yogyakarta : Penerbit Liberty Yogyakarta.

Sudjana, M.A.,1992. Metode Statistika. Edisi Kelima. Bandung : Tarsito.

Sutrisno Hadi., 2000. Metodologi Research. Jilid Keempat. Yogyakarta : Penerbit Andi.

(65)
(66)
(67)

Tabel 3. Data Pengamatan Nilai TSS (o Brix) pada Sirup Glukosa dari Biji

Tabel 4. Data Analisa Sidik Ragam Nilai TSS (o Brix)

(68)
(69)
(70)

Tabel 9. Data Standard Kadar Luff Schrool

ml 0,1 N Na2S2O3 *)

glukosa, fruktosa, gula invert mg C6H12O6 ∆ 1. 2.4 2.4 2. 4.8 2.4 3. 7.2 2.5 4. 9.7 2.5 5. 12.2 2.5 6. 14.7 2.5 7. 17.2 2.6 8. 19.8 2.6 9. 22.4 2.6 10. 25.0 2.6 11. 27.6 2.7 12. 30.3 2.7 13. 33.0 2.7 14. 35.7 2.8 15. 38.5 2.8 16. 38.5 2.9 17. 44.2 2.9 18. 47.1 2.9 19. 50.0 3.0 20. 53.0 3.0 21. 56.0 3.1 22. 59.1 3.1 23. 62.2 - 24. - -

(71)

Gambar

Gambar 2.1 Struktur Utama Biji Jagung
gambar di
Gambar 2.3 Pembuatan Pati Jagung
Gambar 2.4 Skema Pemecahan  Zat Pati menjadi Dekstrosa (D-glukosa) dengan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi gum xantan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar vitamin C, total asam, TSS, viskositas dan nilai organoleptik

Analisis statistik menunjukkan bahwa daerah asal pati sagu berpengaruh nyata pada kadar air, kadar abu, kadar bahan kering, pH dan kejernihan sebelum purifikasi untuk sirup

Suspensi pati yang telah diasamkan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat hidrolisis dan dihidrolisis dengan konsentrasi asam dan waktu hidrolisis yang bervariasi Tahap analisis

Suspensi pati yang telah diasamkan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat hidrolisis dan dihidrolisis dengan konsentrasi asam dan waktu hidrolisis yang bervariasi Tahap analisis

fisik etanol dari glukosa hasil hidrolisis pati biji durian dengan menggunakan ragi..

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya pengaruh variasi konsentrasi HCl pada hasil hidrolisis pati biji nangka, menentukan konsentrasi optimum katalis HCl yang memberikan

Penambahan volume HCl dapat meningkatkan kadar glukosa dalam sirup glukosa, tetapi penambahan volume larutan asam yang terlalu banyak mengakibatkan penurunan gula

Analisis statistik menunjukkan bahwa daerah asal pati sagu berpengaruh nyata pada kadar air, kadar abu, kadar bahan kering, pH dan kejernihan sebelum purifikasi untuk sirup