DEPARTEMEN SOSIOLOGI LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi ini di setujui untuk di pertahankan oleh:
Nama : Emby Weimski
NIM : 070901030
Departemen : Sosiologi
Judul : Resistensi Supir Angkutan Kota Terhadap Relokasi Terminal Sukadame Kota Pematang Siantar
(Study Deskriptif Pada Supir Angkutan Kota dan Dinas Perhubunghan Kota Pematang Siantar)
Dosen Pembimbing Ketua Departemen
dto dto
(Dra. Lina Sudarwati,M.Si) (Dra. Lina Sudarwati,M.Si)
NIP 196603181989032001 NIP 196603181989032001
Dekan
dto
(Prof. Dr. Badaruddin,M.Si)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi ini Telah di pertahankan didepan Panitia Penguji Skripsi Departemen Sosiologi.
Hari :
Tanggal :
Pukul :
Tempat :
Tim Penguji
Ketua Penguji : Dra. Lina Sudarwati, M.Si ( dto )
Penguji I (Pembimbing) : Dra. Lina Sudarwati,M.Si ( dto )
ABSTRAK
Penulisan skripsi yang berjudul “Resistensi Supir Angkutan Kota Terhadap Relokasi Terminal Sukadame Kota Pematang Siantar “ Studi deskriptif pada Supir angkutan kota Pematang Siantar dilatarbelakangi dari Kebijakan Pemerintah untuk merelokasi terminal Sukadame/Parluasan dan timbulnya resistensi/Penolakkan dari Kalangan Supir angkutan yang berdampak pada tidak berfungsinya Terminal Sarantama yang Berada di kecamatan Tanjung Pinggir sebagai pengganti terminal Parluasan.
Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Bersifat deskriptif yaitu memberi gambaran atas apa yang dilihat dari situasi, kejadian dan perilaku. Lokasi penelitian ini di lakukan di kota pematang siantar tepatnya di Terminal Sukadame kecamatan Siantar Martoba, Sumatra Utara. Adapun alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah Terjadinya resistensi/penolakan supir angkutan kota terhadap relokasi Terminal Sukadame dan Terminal Sukadame yang di anggap sudah tidak layak sebagai terminal penumpang tipe A. Teknik pengambilan data peneliti menggunakan teknik berupa observasi dimna peneliti mengamati secara langsung akan masalah penolakan supir angkutan kota yang tidak mengoptimalkan terminal Sarantama sebagai pengganti Eks Terninal Sukadame. Selanjudnya teknik pengumpilan data yang diperoleh melalui teknik wawancara mendalam dengan menggunakan panduan wawancara (interview guide). Cara ini digunakan guna mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan penelitian, kemudian dianalisis untuk diinterpretasikan.
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulilah penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas
limpahan Rahmat dan hidayahnya yang senantiasa menyertai dan menaungi penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan peyusunan skripsi ini dengan
sebaik-baiknya. Berkat rahmat dan karuniaNya yang begitu besar sehingga penulis
dapat merangkai kata dari kata dan menghadapi berbagai hambatan selama proses
penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan karya ilmiah sebagai
salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi di Departemen Sosiologi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dengan judul Resistensi
Supir Angkutan Kota Terhadap Relokasi terminal Sukadame Kota pematang
Siantar ( Study Deskriptif pada Supir Angktan dan Dinas Perhubungan).
Dengan ketulusan hati, skripsi ini penulis persembahkan sebagai tanda bakti dan cinta
penulis kepada kedua orang tua penulis yaitu Ibunda Herliana Hrp dan Ayahanda
Irwansyah yang telah banyak mencurahkan doa dan kasih sayang pengorbanan baik
moril maupun materil yang sangat tulus dan tiada henti kepada penuis. Ungkapan
terimakasih juga penulis ucapkan kepada adikku tercinta Azja Vinda dan Billya Inchu
yang telah memberikan dorongan,motivasi dan semangat yang sangat luar biasa
dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat kerjasama,bantuan dan
dukungan dari semua pihak, baik secara moril maupun materil. Untuk itu penulis
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah
Dengan kerendahan hati izinkanlah penulis menyampaikan penghargaan dan
ucapan yang tulus dan terimakasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini, khususnya kepada.
1. Bapak Prof. Dr Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan
Ilmu Politik
2. Ibu Dra. Lina Sudarwati M.Si selaku Ketua Jurusan
3. Bapak Drs. T.Ilham Saladin M.SP selaku Sekretaris Jurusan
4. Ibu Dra. Lina Sudarwati M.Si Selaku pembimbing yang telah banyak
memberikan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini dan selaku dosen
pembimbing akademik yang telah selalu memberikan arahan-arahan positif
selama dalam proses belajar
5. Staf Pengajar Khususnya Dosen-dosen sosiologi dan pegawai fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Khususnya Kak Beti dan Kak Feni dan juga yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut andil besar dalam studi
penulis
6. Staf Dinas Perhubungan Kota Pematang Siantar yang telah memberikan data
7. Kepada adikku yang telah memberikan motivasi dan semangat dalam
penyelesaian skripsi ini
8. Ungkapan terimakasih yang setulus-tulusnya penulis persembahkan kepada
Maya Sartika Sari atas cinta dan sayang, canda, perhatian, dukungan semangat
9. Buat sahabat-sahabat ku yang telah turut membantu dalam menyelesaikan
skripsi ini terutama Dini Syahputri, Dea Ananda, Royan, Adrian, Ridwan,
Ngadino, Hadi, Nanda, Aspipin Sinulingga dan teman-teman lainnya yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam
penyelesaian skripsi ini
10.Kepada informan-informan yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk
diwawancarai oleh penulis
Terimakasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu atas doa, dukungan dan partisipasinya, semoga amal kebaikan yang telah
diberikan senantiasa mendapatkan balasan dari Allah SWT. Amin yarobbal alamin
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dengan
segala keterbatasan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu masukan dan
kritik yang bersifat membangun sangat penulis hargai. Semoga skripsi ini bermanfaat
bagi kita semua. Penulis banyak mengucapkan terimakasih.
Medan September 2014
Emby Weimski
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan
Lembar Pengesahan
Abstrak...i
Kata Pengantar...ii
Daftar Isi...v
Daftar Tabel...vii
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang...1
1.2Perumusan Masalah...9
1.3Tujuan Penelitian...9
1.4Manfaat Penelitian...10
1.5Defenisi Konsep...10
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1Transportasi dan Pengembangan Wilayah...14
2.2Persfektif Resistensi Terhadap Perubahan sosial Dan Kebijakan Pemerintah...16
2.3Pertukaran Dan Kekuasaan Dalam Kehidupan Sosial...21
BAB III METODE PENELITIAN 3.1Jenis Penelitian...29
3.2Lokasi penelitian...30
3.3Unit Analisis Dan Informan...30
3.4Karakteristik Informan...31
3.5Teknik Pengumpulan Data...31
3.7Jadwal Kegiatan...34
BAB IV TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1Deskripsi Lokasi Penelitian...36
4.1.1 Sejarah dan Gambaran Umum Kota Pematang Siantar...36
4.1.2 Kondisi Geografis kota Pematang Siantar...39
4.1.3 Kondisi Transportasi Kota Pematang Siantar...40
4.1.4 Sejarah Dan Romantika Eks Terminal Sukadame...42
4.2Profil informan...46
4.3Kondisi Sistem Transportasi...56
4.3.1 Sistem Transportasi Kota Pematang Siantar...56
4.3.2 Trayek/Lin Angkutan Umum...57
4.3.3 Tarif/Ongkos Angkutan Umum...59
4.4Kebijakan Pemerintah Kota Untuk Merelokasi Terminal dalam hubungannya dengan Harapan Supir Angkutan Umum...60
4.4.1 Kebijakan Pemerintah Dalam Pembangunan yang Tidak Partisipatif...60
4.4.2 Pemerintah Kota Dalam Melihat Resistensi Supir Angkutan Umum....63
4.4.3 Bentuk Resistensi Supir Angkutan Dengan Kebijakan Pemerintah...66
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan...71
5.2 Saran...73
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABLE
Tabel 3.7 Jadwal Kegiatan...34
Tabel 4.1.3 Jumlah Perusahaan Angkutan di Kota Pematang Siantar...41
ABSTRAK
Penulisan skripsi yang berjudul “Resistensi Supir Angkutan Kota Terhadap Relokasi Terminal Sukadame Kota Pematang Siantar “ Studi deskriptif pada Supir angkutan kota Pematang Siantar dilatarbelakangi dari Kebijakan Pemerintah untuk merelokasi terminal Sukadame/Parluasan dan timbulnya resistensi/Penolakkan dari Kalangan Supir angkutan yang berdampak pada tidak berfungsinya Terminal Sarantama yang Berada di kecamatan Tanjung Pinggir sebagai pengganti terminal Parluasan.
Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Bersifat deskriptif yaitu memberi gambaran atas apa yang dilihat dari situasi, kejadian dan perilaku. Lokasi penelitian ini di lakukan di kota pematang siantar tepatnya di Terminal Sukadame kecamatan Siantar Martoba, Sumatra Utara. Adapun alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah Terjadinya resistensi/penolakan supir angkutan kota terhadap relokasi Terminal Sukadame dan Terminal Sukadame yang di anggap sudah tidak layak sebagai terminal penumpang tipe A. Teknik pengambilan data peneliti menggunakan teknik berupa observasi dimna peneliti mengamati secara langsung akan masalah penolakan supir angkutan kota yang tidak mengoptimalkan terminal Sarantama sebagai pengganti Eks Terninal Sukadame. Selanjudnya teknik pengumpilan data yang diperoleh melalui teknik wawancara mendalam dengan menggunakan panduan wawancara (interview guide). Cara ini digunakan guna mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan penelitian, kemudian dianalisis untuk diinterpretasikan.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Perkembangan ruang perkotaan merupakan suatu proses perubahan perkotaan
dari suatu keadaan ke keadaan yang lain dalam waktu yang berbeda. Soroton
perubahan keadaan tersebut biasanya didasarkan pada waktu yang berbeda dan untuk
analisis ruang yang sama. Dalam hal ini pengertiannya dapat menyangkut suatu
proses yang berjalan secara alami atau dapat menyangkut suatu proses perubahan
yang berjalan artifasial dengan campur tangan manusia yang mengatur arah
perubahan tersebut (Hendro, 2001:91).
Berkembangnya suatu kota, pasti berpengaruh terhadap pola kehidupan
masyarakat dari berbagai bidang atau aspek kehidupan. Perencanaan tata ruang kota
selalu akan merupakan proses dinamis yang menerus dan berkesinambungan, yang
didalamnya mengandung pengertian bahwa peluang perubahan kebijakan harus selalu
ditampung dan dilakukan perubahan pada setiap saat diperlukan (Budiharjo, 1997).
Kebijakan tata ruang sangat erat kaitannya dengan kebijakan transportasi, ruang
merupakan kegiatan yang ditempatkan di atas lahan kota, sedangkan transportasi
merupakan jaringan yang secara fisik menghubungkan satu ruang dengan ruang
kegiatan yang lainnya (Tamin, 1997). Bila akses transportasi ke suatu ruang (lahan)
dibentuk atau diperbaiki maka ruang kegiatan tersebut akan menjadi menarik dan
Sistem transportasi yang baik merupakan salah satu kebutuhan yang penting
dalam menunjang perkembangan dan kelancaran aktivitas sosial ekonomi suatu kota,
transportasi yang aman dan lancar, selain mencerminkan keteraturan kota juga
mencerminkan kelancaran kegiatan perekonomian kota. Perwujudan kegiatan
transportasi yang baik adalah dalam bentuk terkendalinya keseimbangan antara
sistem kegiatan, sistem jaringan dan sistem kelembangan. Sistem transportasi kota
merupakan satu kesatuan dari pada elemen-elemen, komponen komponen yang saling
mendukung dan bekerja sama dalam pengadaan transportasi yang melayani wilayah
perkotaan.
Komponen-komponen transportasi menurut Morlock (Miro,1997:5) adalah
manusia dan barang (yang diangkut), kendaraan dan peti kemas (alat angkut), jalan
(tempat alat angkut bergerak), terminal (tempat memasukan dan mengeluarkan yang
diangkut oleh alat angkut) dan sistem pengoperasian (yang mengatur keempat
komponen di atas). Sedangkan menurut Menheim (dalam Miro, 1997:5) membatasi
komponen utama transportasi adalah jalan, terminal dan sistem pengoperasian.
Dimana ketiganya terkait dalam memenuhi permintaan akan transportasi yang berasal
dari manusia dan barang.
Dari ketiga komponen tersebut yang menjadi perhatian selain jalan adalah
terminal. Terminal berfungsi sebagai penunjang kelancaran mobilisasi orang dan arus
barang serta tempat perpaduan intra dan antar moda secara lancar dan tertib.
Kebutuhan terminal bagi suatu kota dipengaruhi oleh beberapa hal, khususnya
karateristik sistem transportasi kota yang juga dipengaruhi oleh sistem aktivitas (tata
(perpindahan) lokasi terminal harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan tata
ruang kota untuk menjamin terciptanya struktur kota yang baik dan harus sesuai
dengan keinginan pengguna untuk menjamin pemanfaatan terminal tersebut secara
optimal. Selain itu keberadaan terminal diharapkan dapat mampu memacu
perkembangan dan pertumbuhan wilayah suatu kota.
Terminal juga sebagai prasarana transportasi jalan, dalam menjalankan
fungsinya merupakan wujud simpul jaringan transportasi (UU No. 14 Tahun 1992
Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) harus dapat bekerja secara optimal dan
efesien, sehingga dapat mendukung mobilitas penduduk, ketertiban lalu lintas, selain
itu terminal juga berfungsi sebagai sarana penunjang bagi peningkatan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dari sektor restribusi.
Terminal Sarantama atau yang di sebut juga dengan Terminal Tanjung Pinggir
ditetapkan sebagai Terminal penumpang tipe A di yang berada di Kelurahan Tanjung
Pinggir, Kecamatan Martoba (pusat kegiatan sekunder), Kota Pematang Siantar,
Propinsi Sumatera Utara merupakan salah satu simpul jaringan transportasi jalan
sesuai dengan keputusan Dirjen Perhubungan Darat Nomor :
1361/AJ.106/DRJD/2003, yang mana pembangunan Terminal Sarantama sebagai
prasarana simpul transportasi tipe-A tentunya telah mengikuti ketentuan persyaratan
yang ada. penempatan lokasi Terminal Sarantama telah mengikuti rencana tata ruang
Kota Pematang Siantar dan memperhatikan rencana kebutuhan lokasi simpul yang
merupakan bagian dari rencana umum jaringan transportasi jalan.
Ditinjau dari tipenya Terminal penumpang tipe A, berfungsi melayani
angkutan antar kota dalam propinsi (AKDP), angkutan kota (ANGKOT), angkutan
pedesaan (ANGDES), dengan frekwensi 50 – 100 kenderaan/jam. Keberadaan
Terminal Sarantama di sini tidak berfungsi efektif, tidak efektifnya fungsi Terminal
Sarantama dapat dilihat dari rendahnya pemanfaatan Terminal tersebut dimana
sebagian besar penumpang atau calon penumpang angkutan kota antar propinsi,
angkutan kota dalam propinsi, angkutan pedesaan dan angkutan kota telah
memanfaatkan lokasi-lokasi pool, kantor-kantor perusahaan angkutan/agen, pinggir
jalan dan persimpangan jalan menuju lokasi terminal sebagai tempat kedatangan dan
melanjutkan perjalanan penumpang dan yang lebih buruk lagi sebagian besar lokasi
pool-pool dan kantor-kantor/agen tersebut berada disepanjang jalan pusat kota yang
tentunya semua itu berdampak negatif terhadap lalu-lintas, keindahan dan
kenyamanan kota Pematang Siantar sendiri.
Kota Pematang Siantar sebagai salah satu kota di Propinsi Sumatera Utara
yang memiliki luas 79.91 Km2 yang terdiri dari 6 kecamatan dan 43 kelurahan
dengan jumlah penduduk 246.277 jiwa ( kota Pematang Siantar dalam angka, BPSN
Tahun 2007), sedang berbenah diri diberbagai sektor kehidupan guna mencapai visi
Kota Pematang siantar yaitu “Sebagai Kota Perdagangan dan Jasa Yang Maju, Indah,
Nyaman dan Beradap”. Artinya Kota Pematang Siantar diharapkan dimasa
mendatang semakin memiliki peranan penting dalam perdagangan dan jasa.Untuk itu
di perukan penataan dan rekontruksi pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Dari sudut pandang transport dimana arus distribusi orang, barang, dan jasa dari suatu
lokasi ke lokasi lain, kemudian berhenti pada konsumen akhir, hanya dimungkinkan
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Pematangsiantar, diakses pada 17 februari pukul
15.35 WIB).
Kota Pematang Siantar sebagai kota nomor dua terbesar setelah kota Medan
yang sedang mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam bidang infrastruktur
perlu melakuan pembenahan dalam sektor pembangunan penataan kota guna
mencapai visi menjadi kota perdagangan dan jasa. Salah satunya dengan melakukan
pembenahan sarana tranportasi guna kelancaran aktivitas perdagangan.
Pemerintah kota Pematang Siantar membentuk kebijakan untuk melakuakn
relokasi terminal yang baru karena pemerintah menganggap terminal Parluasan yang
sebelumnya di anggap tidak memenuhi standar sebagai terminal penumpang tipe A.
Seiring dengan pertumbuhan trasnportasi dan kebutuhan masyarakat akan sarana
transportasi yang ada, masih kurang memadai untuk mencukupi kebutuhan
masyarakat. Perlu dilakukan penambahan armada trasportasi umum sebagai
penggerak ekonomi masyarakat. Untuk menampung armada transportasi umum
tersebut dibutuhkan terminal yang memenuhi standar tipe A. Bila kita melihat tata
letak terminal Parluasan yang yang ada sekarang ini, sudah tidak layak untuk di
gunakan karena terminal tidak mampu menampung banyaknya armada transportasi
umum yang singgah untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Dan masalah
selanjutnya terminal Parluasan terletak pada inti kota menjadi salah satu penyebab
kesemrautan transportasi diinti kota karena terjadi penumpukan bus-bus yang
mengakhiri perjalanan. Ditambah lagi dengan masuknya bus-bus antar provinsi yang
memenuhi jalan protokol. Dengan kesemrautan transportasi yang terjadi di kota
Pematang siantar ini menjadikan masyarakat merasa tidak nyaman dan mengganggu
keindahan kota dengan kemacetan yang terjadi pada inti kota.
Pertumbuhan armada transportasi yang tidak sebanding dengan pertumbuhan
ruas jalan dan di tambah lagi dengan terminal yang sudah tidak memenuhi standar
oprasional menjadi masalah utama yang harus dibenahi pemerintah kota Pematang
Siantar. Dari masalah ini pemerintah membuat sutau kebijakan untuk merelokasi
terminal yang ada di tengah kota menjadi di pinggir kota, agar inti kota menjadi lebih
lapang dan tidak terjadi penumpukkan kendaraan umum. Dan bila dilihat dari Tingkat
pertumbuhan wilayah pinggiran kota cenderung mempunyai tingkat yang lebih
rendah apabila dibandingkan di pusat kota. Keberadaan prasarana transportasi berupa
terminal mempunyai efek menyebar yakni untuk merangsang pemerataan
pembangunan dari pusat kota ke pinggiran kota.
Aliran rangsangan pertumbuhan wilayah terutama sektor ekonomi dapat
terjadi dengan didukung oleh adanya aksesibilitas yang baik untuk menghubungkan
pusat Kota dengan daerah pinggiran Kota Pematang Siantar. Salah satu pendukung
aksesibilitas yang menunjang pengembangan wilayah pinggiran adalah adanya
jaringan transportasi yang baik. Hal inilah yang menjadi alasan penguat kebijakan
pemerintah kota pematang siantar untuk merelokasi terminal ke pinggiran kota.
Dengan pembangunan dan penataan kota yang dilakukan pemerintah untuk
merelokasi terminal Sukadame/Parluasan menimbulkan dampak pada masyarakat,
merupakan kebijakan sepihak karena tidak melakukan sosiolisasi dan pembangunan
yang dinilai tidak partisivatif terhadap masyarakat sebagai pengguna terminal. Meski
pembangun terminal Tanjung Pinggir sudah selesai pada 1998, saat Walikota Siantar
dijabat Abu Hanifa, namun sampai kini Terminal Tanjung Pinggir belum juga
maksimal di manfaatkan supir angkutan umum sebagai tempat untuk menaikkan dan
menurunkan penumpang.
Keberadaan terminal yang menggantikan Terminal Parluasan itu salah satu
tujuannya untuk mengatasi kemacetan lalulintas. Pengoperasian terminal itu sudah
beberapa kali diuji coba, namun gagal. Sejumlah angkutan kota dan bus antar kota
dan propinsi lebih memilih terminal sendiri, dan mereka jarang masuk keterminal.
Dalam upaya relokasi Terminal Sukadame ke terminal tanjung pinggir terdapat juga
berbagai hambatan seperti penolakan para sopir angkutan yang mulanya menempati
terminal suka dame sebagai tempat mencari nafkah.
Terdapat juga perselisihan antara masyarakat pengguna terminal dengan
pemerintah daerah sebagai contoh kasus yang saya kutip dari media elektronik
mengatakan. Dalam aturan daerah Dari Perda No 7 tahun 2003 disebutkan
pemerintah kota harus menyediakan kawasan perdagangan dan jasa seluas 55,43
hektar di lokasi yang strategis dan terjangkau. Akan tetapi fakta yang ada tidak lebih
dari 2ha lahan yang diperuntukkan sebagai terminal Sukadame. Hal inilah yang
mnjadi alasan pemerintah kota merelokasi terminal Sukadame ke terminal tanjung
yang dilakukan supir angkutan kota dengan tidak mengindahkan peraturan yang
diberlakukan pemerintah kota.
Dinas Perhubungan melakukan penertiban setiap hari Senin sampai Jumat,
saat siang, semua angkutan luar kota berada di Terminal Tanjung Pinggir. Akan tetapi
Begitu pagi atau sore setiap harinya dan sepanjang hari pada Sabtu dan Minggu,
terminal yang memang terpinggir itu sepi dan angkutan kembali ke terminal
Sukadame. Tidak maksimalnya reoperasional terminal Tanjung Pinggir itu memang
tak lepas dari perlakuan diskriminatif terhadap merek angkutan. Sampai sekarang
masih beroperasi secara terbuka beberapa merek bus dan angkutan di inti kota. Hal
itu memicu kecemburuan dan meletupkan hawa perlawanan dari bus merek lain.
Bagaimana mungkin gula diletakkan di Sukadame sedangkan semut disuruh pindah
ke Tanjung Pinggir. jika mau reoperasional Tanjung Pinggir sukses maka harus
ada ‘gula’ di sana. Namun hingga saat ini program itu masih tidak efektif (http://bant
orsmedia.blogspot.com/2007/05/ada apa dengan walikota-biru.html, di akses pada
tanggal 20 februari pukul 10.15 WIB)
Untuk memenuhi tugas tersebut maka Terminal Sarantama harus efektif agar
dapat memenuhi tuntutan pelayanan yang sebaik-baiknya, dimana pelayanan ini
menyangkut pandangan pihak-pihak yang terkait yaitu pihak pengelola terminal
dalam hal ini pemerintah (regulator) dan pihak pengguna jasa layanan (operator dan
User). Melihat pembangunan Terminal Tanjung Pinggir merupakan proyek yang masih kurang efektif di operasikan yang diakibatkan adanya kesalahan dalam studi
pemerintah kepada para pengguna sarana terminal dan keadaan terminal secara cost
benefit dan cost social masih pasif sampai sekarang, maka peneliti tertarik untuk
melihat Relokasi terminal Sukadame.
1.2Perumusan Masalah
Hal yang sangat penting untuk memulai suatu penelitian adalah adanya
masalah yang akan diteliti. Agar penelitian dapat dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya, maka peneliti harus merumuskan masalahnya dengan jelas sehingga akan
jelas bagi peneliti dari mana harus mulai, ke mana harus pergi dan dengan apa
(Arikunto, 2006:24). Berdasarkan latar belakang dalam penelitian ini maka
perumusan masalah yang dapat ditarik adalah: Mengapa terjadi resistensi supir
angkutan kota terhadap relokasi terminal sukadame Pematang Siantar ?
1.3Tujuan Penelitian
Secara umum kegiatan penelitian dilakukan dengan satu tujuan pokok
yaitu Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya
penolakan supir angkutan kota terhadap relokasi terminal suka dame
Pematang Siantar.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teorits
1. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan kajian ilmiah
bagi mahasiswa sosiologi. sealain itu diharapkan juga dapat
memberikan kontribusi terhadap perkembangan bidang kajian
sosiologi perkotaan dan kepada pihak-pihak yang membutuhkannya.
2. Hasil penelitian dapat menambah rujukan bagi mahasiswa sosiologi
mengenai penelitian yang terkait dengan penelitian ini.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian diharapkan dapat membuka dan menambah wawasan
bagi yang melakukan riset dan pemerintah kota yaitu dinas tata kota
sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan.
2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberi manfaat bagi
masyarakat pengguna saranan transportasi.
1.5 Definisi Konsep
Dalam sebuah penelitian, definisi konsep sangat diperlukan untuk
memfokuskan penelitian sehingga memudahkan penelitian. Konsep adalah definisi
abstraksi mengenai gejala suatu realita ataupun suatu pengertian yang nantinya akan
menjelaskan suatu gejala (Maleong,2006:67). Adapun konsep yang digunakan sesuai
1. Relokasi
Relokasi adalah perpindahan atau pemindahan lokasi, baik suatu industri
ataupun tempat berdagang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan
alasan-alasan tertentu. Definisi lain dari relokasi yaitu sebuah perubahan di fisik
lokasi dari sebuah bisnis. Sebuah bisnis mungkin merelokasi karena
meningkatnya biaya pada saat pengadaan fasilitas, karena keringanan pajak di
lokasi yang berbeda, perubahan melalui pasar sasaran atau untuk alasan lain.
Jadi relokasi yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah tindakan
pengalihan tempat perusahaan beroperasi dari satu lokasi fisik yang lain.
Yaitu dipindahkannya terminal Sukadame ke terminal Tanjung Pinggir.
2. Terminal
Terminal adalah tempat sekumpulan bis mengakhiri dan mengawali lintasan
operasionalnya. Dengan mengacu pada pengertian tersebut, maka pada
bangunan terminal penumpang dapat mengakhiri perjalanannya, atau memulai
perjalananya atau juga dapat menyambung perjalanannya dengan mengganti
(transfer) lintasan bis lainnya.
3. Supir angkutan kota
Supir angkutan kota adalah seseorang yang menjalankan kendaraan untuk
mengangkut penumpang dari tempat asal menuju tempat tujuan tertentu. Di
hal ini supir melakuakn suatu tindakan untuk menghasilkan uang dari
4. Resistensi
Resistensi merupakan suatu perlawanan yaitu semua ketakuatan di dalam diri
individu atau kelompok untuk melawan prosedur-prosedur atau proses-proses
yang menghalangi kepentingan asosiasi. Dalam pembahasan ini perlawanan
timbul pada kelompok supir anggkutan umum yang menolak pindahnya
terminal suka dame ke terminal tanjung pinggir.
5. Tata Ruang Kota
Tata ruang kota merupakan suatu usaha pemegang kebijakan untuk
menentukan visi ataupun arah dari kota yang menjadi tanggung jawab
pemegang kekuasaan di wilayah tersebut khususnya pemerintah kota
Pematang Siantar.
6. Kebijakan Pengembangan kota
Kebijakan pengembangan kota merupahan suatu upaya untuk membangun
infrastruktur kota guna menciptakan kota yang diharapkan sesuai dengan visi
misi kota yang telah direncanakan.
7. Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan merupakan Penolakan yang terjadi dan senantiasa
menciptakan konnflik diantara dua posisi yang mempunyai kepentingan.
Pemerintah sebagai pemegang posisi superordinat dan pemegang otoritas
baik untuk kepentingan bersama. Akan tetapi konfliklah yang terjadi akibat
dari tidak terciptanya koordinasi antara superordinat dan subordinat yang
membentuk suatu konsensus bersama.
8. Terminal Tipe A : terminal berfungsi melayani angkutan umum untuk antar
kota antar propinsi (AKAP), atau angkutan lintas negara, angkutan antar kota
dalam propinsi (AKDP), angkutan kota (ANGKOT), angkutan pedesaan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Transportasi dan Pengembangan Wilayah
Pembangunan transportasi yang baik dapat mempermudah pergerakan bahan
baku mencapai lokasi pemrosesan atau mempermudah konsumen dalam menjangkau
kebutuhan akan barang-barang. Dengan adanya transportasi, maka peningkatan
aktivitas produksi pada suatu wilayah akan terdorong (siagian, 1991). Penataan
transportasi yang baik dapat membentu karakteristik wilayah sesuai dengan
pergerakan penduduk dan barang. Demikian pula sebaliknya, terjadinya peningkatan
aktivitas sosial-ekonomi masyarakat dapat pula mempengaruhi permintaan akan
tranportasi.
Pembangunan transportasi selanjudnya akan membentuk integrasi ruang bagi
suatu wilayah, meliputi integrasi ke dalam dan integrasi keluar. Integrasi ruang inilah
yang mengakibatkan transportasi mampu menjadi pendorong pembangunan wilayah.
Oleh karena itu, jika suatu wilayah terdapat masyarakat yang miskin kendatipun
wilayah tersebut memiliki sumberdaya alam yang cukup, hal ini di sebabkan oleh
kurangnya perkembangannya kondisi transportasi yang ada pada wilayah tersebut.
(Purnama, 2000).
Tamin (2000), menghatakan pada dasarnya, sistemprasarana transportasi
mempunyai dua peran utama. Pertama, sebagai alat bantu mengarahkan
manusia dan /atau barang yang timbul akibat adanya kegiatan di daerah perkotaan
tersebut.
Secara umum dikatakan bahwa peranan perencanaan transportasi sebenarnya
adalah untuk dapat memastikan bahwa kebutuhan akan pergerakan dalam bentuk
pergerakan manuasia, barang atau kendaraan dapat ditunjang oleh sistem prasarana
transportasi yang ada dan harus beroperasi di bawah kapasitasnya.
Kebutuhan akan pergerakan itu sendiri mempunyai ciri yang berbeda-beda,
seperti perbedaan tujuan perjalanan, moda transportasi yang digunakan, dan waktu
terjadinya pergerakan. Sistem prasarana transportasinya sendiri terbentuk dari:
pertama, sistem prasarana (penunjang), misalnya sistem jaringan jalan raya atau jalan
rel termasuk terminal. Kedua, sistem manajemen trasnportasi, misalnya
undang-undang, peraturan, dan kebijakan. Ketiga, beberapa jenis moda transportasi denagan
berbagai macam opratornya.
Menurut Kamaluddin (1987), setiap bentuk transportasi terdapat empat unsur,
yaitu: jalan; alat angkutan; tenaga penggerak dan terminal. Pada dasarnya
pemindahan barang dan penumpang dengan transportasi adalah dengan maksud untuk
dapat mencapai tempat tujuan dan menciptakan atau menaikkan kegunaan(utilitas)
dari barang yang diangkut. Utilitas yang dapat diciptakan oleh transportasi khususnya
untuk barang yang diangkut ada dua macam, yaitu: utilitas tempat dan utilitas waktu.
Sinulingga (1999), berpendapat bahwa suatu transportasi dikatakan baik
apabila : pertama, waktu perjalanan cukup cepat. Kedua, frakuensi pelayanan cukup.
Ketiga, aman (bebas dari kemungkinan kecelakaan) dan kondisi pelayanan yang
berbagai faktor yang menjadi komponen transportasi, yaitu kondisi prasarana (jalan)
dan kondisi sarana (kendaraan).
2.2 Persfektif Resistensi Terhadap Perubahan Sosial Dan Kebijakan Pemerintah Pandangan mainstream memisahkan secara tegas antara subyek dan obyek,
organisasi-individu dan organisasi-lingkungan eksternal. Ada beberapa implikasi dari
pandangan ini. Pertama, adanya subyek(pemko) sebagai agen yang berperan aktif dan
obyek(sopir) yang menjadi agen pasif yang dikenai tindakan. Kedua, pandangan ini
menjelaskan tindakan, hubungan dan hasil perubahan dengan mengacu pada karakter
entitas subyek atau obyek. Ketiga, subyek diasumsikan yang menciptakan realitas
sosial. Subyek adalah pihak yang mengetahui dan mempengaruhi “yang lain” sebagai
obyek yang dapat diketahui dan dibentuk (Hosking, D.M., 2004, diakses dari situs htt
p://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_SEKOLAH/197108171998021 S
ARDIN/resistensi_perubahan_sosial_dari_berbagai_aspek_13_. ).
Perubahan merupakan proses perpindahan dari keadaan stabil yang satu
menuju keadaan stabil yang lain (unfreeze-move-refreeze). Pemimpin atau agen
perubahan berusaha melakukan perubahan berdasarkan analisis rasional-empiris
tentang apa yang akan dicapai, memproduksi pengetahuan tentang bagaimana harus
menjalakan perubahan, sebagai dasar dalam mempengaruhi, membentuk ulang, obyek
perubahan (Hosking & Morley, 1991 dalam Hosking,2004).
Pandangan adanya realitas tunggal dan homogen mengakibatkan pengetahuan
diukur dari dimensi tunggal dan itu berarti bersifat benar/salah. Pemimpin perubahan,
anggota organisasi. Pandangan perubahan organisasi sebagai realitas tunggal
membuat setiap resistensi terhadap perubahan itu merupakan tindakan yang tidak
masuk akal. Pemimpin perubahan harus mempengaruhi, mendidik dan melakukan
negosiasi terhadap anggota organisasi lain agar meyakini perubahan yang diyakini
pemimpin perubahan (Hosking, 2004).
Pemimpin perubahan harus melakukan upaya agar anggota organisasi
menyadari akan realitas tunggal perubahan organisasi serta mau dan mampu
menjalankan perubahan. Pendekatan sosial konstruksionis berpandangan tidak ada
realita yang homogen bagi setiap orang. Pengertian resistensi terhadap perubahan
tidak mengacu pada sebuah obyek atau sebuah karakteritik dari realitas obyektif,
tetapi sebuah fungsi dari konstruksi realitas dimana orang hidup. Pendekatan
konstruksionis menyatakan bahwa realitas itu diinterpretasikan, dikonstruksikan
melalui interaksi sosial.
Resistensi terhadap perubahan kemudian bukan ditemukan dalam individu,
tetapi dalam realitas yang dikonstruksikan oleh individu. Partisipan yang mempunyai
perbedaan realitas yang dikonstruksikan akan mempunyai sense yang berbeda
terhadap diri mereka dan dunianya. Hasilnya, mereka akan menempuh tindakan yang
berbeda, dan menunjukkan bentuk resistensi yang berbeda, tergantung pada realitas
dimana mereka hidup. Resistensi kemudian dipahami sebagai sebuah respon terhadap
suatu inisiatif perubahan, suatu respon hasil percakapan yang membentuk realitas
Dalam konteks ini, resistensi adalah sebuah realitas yang dikonstruksikan,
oleh dan melalui percapakan. Hal ini menempatkan resistensi dalam pola percakapan
dibandingkan dalam diri individu. Lebih lanjut, resistensi adalah fungsi dari tingkat
persetujuan yang hadir untuk melakukan perubahan. Resistensi terhadap perubahan,
kemudian, dapat dipandang sebagai sebuah fungsi dari latar belakang atau konteks
percakapan. Dalam suatu konteks dan percakapan, maka segala sesuatunya adalah
tepat. Ini berarti sangat sulit menantang sebuah realitas dari cara pandang yang
berbeda. Sejumlah tantangan, mengasumsikan resistensi hadir secara terpisah dari
percakapan yang membentuknya, dan respon terhadap resistensi itu tetaplah terpisah
dari konteksnya (Ford dkk, 2001).
Dalam setiap percakapan yang mengajukan suatu perubahan organisasi
terdapat sejumlah perbedaan konteks yang mengkontekstualisasikan, mewarnai dan
memberi karakter terhadap perubahan organisasi itu. Mengacu pada Ford ddk. (2001),
terdapat tiga tipe generik latar belakang percakapan yang menghasilkan perbedaan
tipe resistensi terhadap perubahan. Tiga konteks tersebut adalah:
Konteks Kepuasan
Suatu konteks kepuasan adalah konstruksi yang didasarkan pada keberhasilan
masa lalu: organisasi telah berhasil, entah dengan inovasi atau dengan gigih bertahan.
Salah satu ungkapan yang muncul adalah “Kita akan sukses di masa depan, dengan
membenarkan kesuksesan itu akan berlanjut atau mereka akan dengan mudah
mengulangnya jika kita “membiarkan segala sesuatu apa adanya”.
Dalam realitas ini, sukses masa lalu dipandang sebagai kenyataan yang
memadai dan orang menghindar membuat “perubahan yang merusak”. Konteks ini
melahirkan sindrom ketakutan akan kegagalan yang merusak kesuksesan. Percakapan
dalam konteks ini menggambarkan tema “sesuatu yang berbeda atau yang baru tidak
dibutuhkan”. Ada percakapan tentang kenyamanan relatif dan kepuasan akan cara
melakukan sesuatu dan kecenderungan meneruskan cara itu untuk memastikan
kesuksesan di masa depan. Orang mengekspresikan kepuasan dengan ungkapan
seperti “jika itu tidak rusak, jangan diperbaiki”, “Mengapa mengacaukan
kesuksesan?”, serta “Jangan goyang perahunya” dan mengatribusikan kesuksesan
pada atribut, kapabilitas dan perilaku individu atau kelompok. Akibatnya, setiap
upaya menginspirasi atau menghasilkan sebuah perubahan akan dipandang tidak
penting dan mengancam keberhasilan masa depan.
Konteks Menyerah
Konteks Menyerah terkonstruksikan karena kegagalan sejarah, daripada
kesuksesan. Dalam organisasi dimana “sesuatu” telah berjalan salah, percakapan akan
membentuk latar belakang menyerah yang terakumulasi dalam tema “Ini mungkin
juga salah”. Tema dalam percakapan tersebut merefleksikan ketiadaan harapan pada
orangorang untuk melakukan perubahan atas sesuatu itu. Secara normal, ketika orang
sebagai penyebab kesalahan. Dalam konteks menyerah, percakapan yang
menyalahkan diri sendiri begitu dominan, dan individu menyalahkan diri atau
organisasinya atas ketidakmampuan mencapai kesuksesan. Dalam kenyataan, orang
mungkin akan berkata “Posisi saya tidak memberi saya kekuasaan apapun”, “Saya
tidak mempunyai keterampilan, latar belakang atau keberuntungan”, “Kami tidak
pernah mendapat dukungan yang kami butuhkan”, “Kelompok kami tidak pernah
dilibatkan dalam pengambilan keputusan besar”. Percakapan dalam konteks
menyerah ini diwarnai oleh nada apatis, putus asa, tertekan, dan sedih.
Pengajuan sebuah usulan perubahan dalam konteks menyerah ini akan
menghasilkan resistensi yang ditandai dengan tindakan setengah hati, dan
merefleksikan rendahnya motivasi dan ketidakmauan berpartisipasi. Orang-orang
sulit mendengarkan dan enggan merespon usulan perubahan, sebagaimana mereka
menghindari area yang mereka merasa tidak mempunyai kekuasaan.
Konteks Sinisme
Konteks Sinisme terkonstruksi, sebagaimana Konteks Menyerah, dari
kegagalan masa lalu secara langsung ataupun melalui cerita pengalaman orang lain.
Akan tetapi percakapan mengenai penyebab kegagalan membedakan konteksi ini,
yaitu penyebab kegagalan adalah realitas eksternal, orang dan kelompok lain.
Pernyataan seperti, “Mereka bergurau, tidak ada yang dapat menjalankan”, “Saya
tidak tahu mengapa mereka khawatir, itu tidak berjalan dengan benar”, dan “Itu
ini menguatkan suatu realitas bahwa tidak ada yang dapat melakukan perubahan.
Konteks sinisme merupakan sebuah konteks pesimistis yang ditandai dengan frustasi
dan ketidaksetujuan. Tidak ada yang dapat merubah sampai saatnya berubah dengan
sendirinya. Dalam konteks ini, tercakup juga tindakan serangan terhadap orang lain,
serta menggambarkan orang yang melakukan perubahan sebagai tidak mampu dan
malas, tidak jujur, mementingkan kepentingan diri sendiri, dan tidak dapat dipercaya.
Tiga konteks percakapan tersebut menunjukkan resistensi terhadap perubahan
sebagai suatu kumpulan percakapan mengenai subtansi, makna dan penyebab
kesuksesan dan keberhasilan masa lalu, daripada sebagai sebuah respon terhadap
kondisi aktual dan situasi yang melingkupi usulan perubahan itu sendiri. Resistensi
terhadap perubahan tidak hanya berkaitan dengan apa yang terjadi saat ini, tetapi juga
mencakup apa yang telah terjadi dan pemaknaan akan kemungkinan di masa depan.
2.3 Pertukaran Dan Kekuasaan Dalam Kehidupan Sosial
Peter M Blau memandang bahwa tidak semua perilaku manusia dibimbing
oleh pertimbangan pertukaran soial, tetapi dia berpendapat kebanyakan memang
demikian. Dia mengetengahkan dua persyaratan yang harus dipenuhi bagi perilaku
yang menjurus pada pertukaran sosial : (1) perilaku tersebut “harus berorientasi pada
tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai melalui interaksi dengan orang lain”, dan (2)
perilaku “harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaiaan tujuan-tujuan
Prilaku manusia, yang dibimbing oleh proinsip-prinsip pertukaran soial, mendasari
pembentukan struktur serta lembaga-lembaga sosial.
Blau juga mengakui bahwa tidak semua transaksi soaial bersifat simetris dan
berdasarkan pertukaran soaial seimbang. Hal ini dapat terlihat, bahwa
hubungan-hubungan antar pribadi dapat bersifat timbal balik atau sepihak. Dalam hal terjadi
hubungan yang bersifat simetris dimana semua anggota menerima ganjaran yang
sesuai dengan apa yang diberikannya, maka kit adapt menyebut hal demikian sebgai
hubungan pertukaran. Didalam hubungannya dengan masalah stratifikasi, kita dapat bebicara tetang pertukaran sejauh hubungan-hubungan itu menguntungkan bagi para
anggota yang berkedudukan tinggi dan rendah. Suatu hubungan kekuasaan yang
bersifat memaksa merupakan hubungan terdapat pertukaran tidak seimbang yang di
pertahankan melalui sangsi-sangsi negatif.
Diferensiasi Kekuasaan
Blau (1964: 117) member batasan kekuasaan sesuai dengan pengertian
Weberian, yaitu”kemampuan orang atau kelompokmemaksakan kehendaknya pada
pihak lain, walaupun terdapat penolakan melalui perlawanan, baik dalam bentuk
pengurangan pemberian ganjaran secara teratur maupun dalam bentuk penghukuman,
sejauh kedua hal itu ada, dengan memperlakukan sangsi negatif’. Dengan demikian
kekuasaan hanya dapay dilihat sebagi pengendalian melalui sangsi-sangsi negative,
Untuk menjelaskan hubungan-hubungan ketergantungan kekuasaan (power
dependence), Blau (1964:118)mengutip skema Richard Emerson, sebagai dasar untuk
menganalisa ketimpangan kekuasaan yang terdapat didalam dan di antara
kelompok-kelompok. Individu yang membutuhkan pelayanan orang lain harus memberikan
alternative berikut ini:
1. Mereka dapat member pelayanan yang sangat ia butuhkan sehingga cukup
untuk membuat orang tersebut memberikan jasanya sebagai imbalan, walau
hanya apabila mereka memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk itu; hal
ini akan menjurs pada pertukaran timbal balik.
2. Mereka dapat memperoleh pelayanan yang dibutuhkan itu di mana-mana
(dengan asumsi bahwa ada penyedia alternative), yang menjurus pada
pertukaran timbal balik, sekalipun dalam bentuk hubungan yang berbeda.
3. Mereka dapat memaksa seseorang menyediakan pelayanan (dengan asumsi
orang tersebut mampu melakukannya). Bilamana pemaksaan yang demikan
terjadi, maka mereka mampu memperoleh pelayanan tersebut menciptakan
dominasi terhadap penyedia (supplier).
4. Mereka dapat belajar menari diri tanpa mengharap pelayanan atau
menentukan beberapa pengganti pelayanan serupa itu.
Ke empat alternatif itu menunjukkan kondisi-kondisi ketergantungan sosial
dari mereka yang membutuhkan pelayanan tertentu. Bilamana orang-orang yang
tersebut (yang oleh karena itu menunjukan kebebasan penyedia) maka mereka tidak
mempunyai pilihan kecuali menuruti kehendak dari penyedia “sebab keterlangsungan
persediaan pelayanan yang dibutuhkan tersebut hanya dapat diperoleh sesuai dengan
kepatuhan mereka” (Blau, 1964: 118). Ketergantungan ini menempatkan penyedia
pada posisi kekuasaan. Agar dapat mempertahankan posisinya penyedia ini harus
tetap bersikap wajar terhadap keuntungan yang diperoleh atas pertukaran pelayanan
itu dan harus merintangi penyedia lain dalam kegiatan pelayanan yang sama
(M.Poloma:85).
Gambaran Blau tentang orang mungkin lebih dekat dengan Parson atau
Merton daripada dengan Homans. Walaupun Blau melihat motif-motif ekonomis
dalam pengertian keuntungan atau laba secara tradisional. Homans secara tak
langsung menyatakan bahwa semua tindakan rasional perdefinisi adalah “ekonomis”
dan model ekonomi sesuai bagi semua perilaku. Sebagai mana dengan Parson dan
Merton, Blau percaya bahwa setiap orang mencapai tujuan secara rasional tetapi
tujuan-tujuan itu dirintangi oleh berbagi kendala dalam struktur sosial. Sebagaimana
yang kita lihat, kekuasaan adalah suatu fenomena yang harus mendapat pertimbangan
khusus dan tidak dapat diredusir ke dalam model pertukaran yang murni. Orang
Adapun Kajian yang dapat mendukung penelitian ini adalah penelitian yang
dilakuakn oleh Trica Vidi Prasetyo(2010) dalam jurnal Tata Kota dan Daerah Volume
2, Nomor 1, Juli 2010 yang berjudul SKENARIO PENGEMBANGAN TERMINAL
DAN PASAR GONDANGLEGI. Dalam jurnalnya mengatakan Kecamatan
Gondanglegi memiliki prasarana transportasi berupa terminal penumpang tipe C serta
fasilitas perdagangan dan jasa berupa pasar tradisional. Keberadaan terminal dan
pasar yang berdekatan seharusnya dapat saling menguntungkan, tetapi dalam
perkembangannya peningkatan fungsi dan aktivitas dari masing-masing fasilitas
tersebut tidak disertai dengan daya tampung yang memadai. Kondisi demikian
mengakibatkan adanya rencana pemindahan terminal, dan lokasi yang akan dijadikan
pilihan adalah satu diantara tiga lokasi yang terdapat di Kecamatan Gondanglegi.
Keberadaan terminal penumpang di Kecamatan Gondanglegi merupakan jenis
pelayanan terminal tipe C, dimana sebagian besar angkutan penumpang yang beredar,
beroperasi melayani pengangkutan antar desa dalam lingkup kecamatan maupun luar
kecamatan. Terminal penumpang di Kecamatan Gondanglegi secara tidak langsung
membantu bergeraknya roda perekonomian di wilayah Malang Selatan dengan pusat
wilayah pengembangannya di Kecamatan Gondanglegi dengan subpusatnya adalah
Kecamatan Gedangan, Kecamatan Pagelaran, dan Kecamatan Bantur1. Peran dari
keberadaan terminal bagi keberlangsungan perekonomian wilayah pengembangan
Kecamatan Gondanglegi adalah adanya penyaluran distribusi hasil pertanian maupun
industri dari desa-desa yang tersebar di seluruh kecamatan tersebut.
Secara lokasi, terminal penumpang di Kecamatan Gondanglegi bersebelahan
seluruh satu wilayah kecamatan dan sebagian kecamatan lainnya. Dengan lokasi yang
bersebelahan dengan pasar maka hal ini menguntungkan berbagai pihak, pertama dari
segi perdagangan pasar, yaitu menguntungkan para pedagang/penjual dan para
pembeli/konsumen, karena proses berdagang/jual-beli lebih cepat karena dimudahkan
dengan adanya angkutan yang telah tersedia setelah mereka melakukan proses
transaksi berdagan, sedangkan keuntungan lokasi terminal bersebelahan dengan pasar
yaitu dari segi perangkutan, mereka dengan mudah memperoleh banyak keuntungan
finansial karena banyak penumpang yang manggunakan jasa angkutan mereka.
Keadaan ini telah berlangsung cukup lama, dan seiring perkembangan waktu
dimana bertambahnya jumlah penduduk dan bertambah pula tingkat kebutuhan maka
semakin banyak orang yang melakukan pergerakan dengan menggunakan jasa
angkutan, hal ini yang mengakibatkan keterbatasan kapasitas terminal Kecamatan
Gondanglegi, sehingga mengakibatkan munculnya dampak yang kurang baik bagi
keberadaan pasar maupun terminal. Dengan keadaan yang seperti dijelaskan di
atas maka pemerintah Kabupaten Malang dalam Peraturan Daerah Nomor 24 tahun 1
993 tentang RUTRK/RDTRK IKK Gondanglegi, dalam dokumen rencana akan mela
kukan upaya relokasi/pemindahan Terminal Gondanglegi (terminal penumpang tipe
C) tersebut ke tempat yang lain.
Penelitian lain yang dilakukan oleh OA Sulaeman, D Widiyanto - Jurnal Bumi
Indonesia, 2012 - lib.geo.ugm.ac.id yang berjudul KAJIAN PEMANFAATAN
TERMINAL INDIHIANG TERKAIT DENGAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN
WILAYAH KOTA TASIKMALAYA. Dalam jurnalnya menjelaskan strategi dan
prasarana transportasi terminal ini pada kenyataannya sulit untuk diterapkan dengan
baik di lapangan. Perkembangan wilayah di sekitar Terminal Indihiang cenderung
tidak terlalu pesat.Hal ini dapat diamati dari perkembangan fisik wilayah sekitar
Terminal Indihiang cenderung lambat.Fungsi yang dijalankan oleh keberadaan
Terminal Indihiang sebagai pelayanan publik serta sumber pendapatan daerah belum
tercapai secara maksimal. Hal ini dapat diindikasikan dari kebanyakan angkutan
umum tidak masuk ke dalam terminal untuk menurunkan maupun menaikan
penumpang, tetapi dilakukan di pinggir-pinggir jalan utama atau persimpangan jalan
masuk ke terminal.
Fenomena ini berdampak pada minimnya sumber pendapatan dari kendaraan
umum yang masuk terminal (retribusi). Belum optimalnya dari fungsi pemanfaatan
Terminal Indihiang sebagai fasilitas pelayanan publik yaitu tempat untuk menurunkan
maupun menaikkan penumpang membuat perkembangan aktifitas dan kegiatan yang
ada di sekitar terminal kurang berjalan dengan baik, bangunan ruko serta gerai
dagangan yang menjual berbagai produk khas Tasikmalaya dan lainnya sepi pembeli
bahkan ada beberapa juga yang sudah tutup. Hal tersebut apabila terus dibiarkan
begitu saja, selain menjadi permasalahan di dalam kondisi terminal itu sendiri juga
akan berdampak pada pengembangan wilayah Kota Tasikmalaya.
Bila melirik dari masalah penolakan supir terhadap relokasi terminal dengan
menggunakan sudut pandang teori pertukaran, terlihat relevan dengan keadaan yang
ada. Hal ini dapat terlihat dari setiap elemen yang menjalankan fungsi sosialnya
seperti pemerintah kota khususnya dinas perhubungan kota pematang siantar sebagai
dame. Pemerintah mengaanggap relokasi terminal di kota itu penting, guna
membenahi infrastruktur kota untuk mencapai visi Kota Pematang siantar yaitu
“Sebagai Kota Perdagangan dan Jasa Yang Maju, Indah, Nyaman dan Beradap”.
Artinya Kota Pematang Siantar diharapkan dimasa mendatang semakin memiliki
peranan penting dalam perdagangan dan jasa.Untuk itu di perukan penataan dan
rekontruksi pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Namun kebijakan pemerinmtah tersebut tidak mendapat respon yang baik dari
supir angkutan kota sebagai efek dari pertukaran yang tidak seimbang antara
pemerintah dan supir angkutan, yang merupakan elemen penting dari berjalannya
transportasi kota. Para supir angkutan kota menilai kebijakan pemerintah tersebut
timpang kepada mereka sehingga mempengaruhi aspek ekonomi para supir angkutan
umum. Hal ini dikeluhkan para supir angkutan yang sulit untuk mencari penumpang
dan letak terminal sarantama yang dianggap jauh oleh para supir sehingga hiungga
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai oleh peneliti adalah pendekatan kualitatif
dengan jenis penelitian deskriptif. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan
penelitian yang menghasilkann data, tulisan, dan tingkah laku yang didapat dan apa
yang diamati dan juga untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subyek penelitian. Dengan menggunakan penelitian dengan pendekatan kualitatif
peneliti akan memperoleh informasi atau data yang lebih mendalam melihat
mengenai berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya penolakan supir angkutan
kota terhadap relokasi terminal suka dame Pematang Siantar.
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan
secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, dan sebagainya yang
merupakan objek penelitian. Pelaksanaannya tidak terbatas kepada pengumpulan data
saja melainkan juga meliputi analisa dan interprestasi dari data itu. Dengan demikian
penelitian ini berusaha menurutkan, menganalisa, mengklasifikasi,
memperbandingkan, dan sebagainya. Sehingga pada akhirnya dapat ditarik
kesimpulan yang bersifat deduktif. Penelitian deskriftif sering disejajarkan dengan
penelitian pengembangan dan merupakan persiapan bagi penelitian selanjutnya.
Pendekatan kualitatif dengan menggunakan penelitian deskriptif akan
menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, situasi dan realitas sosial yang ada di
masyarakat yang menjadi pusat perhatian.
3.2 Lokasi Penelitian
Peneltian di lakukan di kota pematang siantar tepatnya di Terminal Sukadame
kecamatan Siantar Martoba, Sumatra Utara. Adapun alasan pemilihan lokasi
penelitian ini adalah:
1. Terjadinya resistensi/penolakan supir angkutan kota terhadap relokasi
Terminal Sukadame.
2. Terminal Sukadame yang di anggap sudah tidak layak sebagai
terminal penumpang tipe A.
3.3 Unit Analisis Dan Informan
Unit analisis data yang dimaksudkan dalam penelitian adalah satuan tertentu
yang di perhitungkan sebagai subjek penelitian (Arikunto, 2006:143). Adapun yang
menjadi unit analisis atau objek kajian dalam penelitian ini adalah mereka pengguna
terminal yang rutin melakuan kegiatan hidupnya di dalam lingkup terminal yaitu
pemerintah kota khususnya dinas perhubungan, supir angkutan umum, dan
3.4 Karakteristik Informan
Adapun yang menjadi Informan adalah orang-orang yang masuk dalam
karakteristik unit analisis dan dipilih menjadi sumber data yang dapat memberikan
informasi yang dibutuhkan oleh peneliti (Arikunto,2006:145). Adapun yang menjadi
informan dalam penelitian ini adalah pemerintah kota dalam hal ini yaitu pejabat
dinas perhubungan dan supir angkutan kota yang melakukan aktifitas menaikkan dan
menurunkan penumpang di terminal sukadame kota pematang siantar dan memiliki
pengalaman menjadi supir minimal 5 tahun dan menjadi supir tetap, agar didapatkan
keakuratan data yang benar mengenai pemahaman masalah yang terjadi.
3.5 Teknik Pengumpilan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan atau
mengumpulkan informasi yang dapat menjelaskan dan menjawab permasalahan
penelitian yang menyangkut secara objektif. Dalam hal ini, terkait pengumpulan
data yang dilakukan penelitian ini dibagi menjadi dua cara yaitu :
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diambil dari sumber data atau sumber pertama
dilapangan. Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini dilakukan
dengan mengadakan studi lapangan yaitu:
a. Metode observasi yaitu pengamatan yang dilakukan secara langsung
untuk memperoleh dan mengumpulkan data yang diperlukan. Dalam
dilakukan untuk mengamati objek dilapangan, meliputi pengguna
terminal sukadame.
b. Metode wawancara, metode wawancara yang biasa disebut juga
metode interfiew. Salah satu metode wawancara yang di pakai dalam
penelitian ini adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam
merupakan suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara
langsung bertatap muka dengan informan, dengan maksud
mendapatkan gambaran lengkap dengan topik yang di terliti.
Wawancaradilakukan dengan cara berulang-ulang untuk mendapatkan
informasi yang akurat.
2. Data Skunder
Data skunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau
sumber skunder yaitu mengumpulkan data dan mengambil informasi dari
beberapa literature diantaranya afdalah buku-buku referensi dukumen ,
majalah, jurnal, ataupun internet yang di anggap relevan dengan masalah yang
diteliti. Oleh karena itu, sumber data skunder diharapkan dapat membantu,
mengunmgkapkan data yang diharapkan, membantu member keterangan
3.6 Interpretasi Data
Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia, yaitu
pengamatan dan wawancara mendalam yang sudah dalam catatan lapangan. Data
tersebut setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah, maka langkah berikutnya ialah
mangadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi. Abtraksi
merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses sehingga tetap berada
didalam fokus penelitian. Setelah data terkumpul dilakukan analisa data. Interpretasi
data merupakan tahap penyederhanaan data, setelah data dan informasi yang
dibutuhkan telah terkumpul. Data-data yang telah diperoleh dalam penelitian ini akan
didinterpretasikan berdasarkan dukungan teori dalam kajian pustaka, sampai pada
akhirnya sebagai laporan penelitian serta data tersebut akan diatur, diurutkan,
dikelompokkan ke dalam kategori, pola atau uraian tertentu. Disini peneliti akan
mengelompokkan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara, dan sebagainya,
selanjutnya akan dipelajari dan ditelaah secara seksama agar diperoleh hasil atau
kesimpulan yang baik. Dengan kata lain, data yang terkumpul akan disusun ke dalam
pola tertentu. Kemudian data yang relevan dengan fokus permasalahan tersebut
diorganisasikan dan diatur serta dikelompokan ke dalam kategori tertentu. Dan data
tersebut diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat
3.7 Jadwal Kegiatan
No Kegiatan
Bulan ke
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1. Pra Observasi √
2. ACC judul √
3. Penyusunan Proposal
Penelitian
√ √
4. Seminar Proposal
penelitian
√
5. Revisi Proposal Penelitian √
6. Penelitian Kelapangan √
7. Pengumpulan dan Analisis
Data
√
8. Bimbingan √ √ √
9. Penulisan Laporan Akhir √ √
3.8 Keterbatasan penelitian
Selama dalam penelitian penulis mempunyai banyak kendala-kendala dan
keterbatsan penulis dalam mendapatkkan data yaitu:
1. Sangat sulit mencari waktu yang tepat untuk menemui informan kunci
dikarenakan padasaat penelitian para sopir sudah banyak yang pergi narik.
2. Dalam mendapatkan data sekunder dari pengurus terminal sangat sulit dimana
dalam pengambilan data sekunder itu mempunyai waktu yang lumayan lama
sehingga penulis tidak dapat melanjutkanpenulisan karena data sekunder dari
kantor dinas perhubungan belum lengkap, tapi akhirnya data tersebut saya
dapatkan dengan waktu yang begitu lama.
3. Dikarenakan masalah yang kaji peneliti sangat sensitif dalam wawancara
sebagian informan kurang terbuka, sehingga peneliti harus berusaha agar
informan mau terbukan dan bisa bicara dengan leluasa bagaimana peran supir
angkutan kota melakukan penolakan terhadap relokasi terminal suka dame
BAB IV
TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN
4.1Deskripsi Lokasi Penelitian
4.1.1. Sejarah dan Gambaran Umum Kota Pematang Siantar
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Pematangsiantar
merupakan daerah kerajaan. Pematangsiantar berkedudukan di Pulau holing dan Raja
terakhir dari dinasti ini adalah keturunan marga Damanik yaitu Tuan sang Nawaluh
Damanik yang memegang kekuasaan sebagai Raja tahun 1906.
Disekitar pulau holoing kemudian berkembang menjadi perkampungan
tempat tinggal penduduk diantaranya kampung suhi haluan, siantar bayu, suhi
kahaean, pantoan, suhi bah bosar, dan tomuan. Daerah-daerah tersebut kemudian
menjadi daerah hukum kota pematangsiantar, yaitu:
1. Pulau Holing menjadi Kampung Pematang
2. Siantar Bayu menjadi Kampung Pusat Kota
3. Suhi Kahean menjadi Kampung Sipinggol-pinggol, kampung melayu,
Martoba,Sukadame, dan Bane
4. Suhi Bah Bosar menjadi Kampung Kristen, Karo, Tomuan, Pantoan, Toba
dan Martimbang.
Setelah belanda memasuki daerah Sumatera Utara, daerah Simalungun
menjadi daerah kekuasaan belanda sehingga pada tahun 1907 berakhirlah kekuasaan
dikunjungi pendatang baru, bangsa china mendiami kawasan timbang galung dan
kampung melayu.
Pada tahun 1910 didirikan Badan Persiapan Kota Pematangsiantar. Kemudian
pada tanggal 1 Juni 1917 berdasarkan Stad Blad No. 285 Pematangsiantar berubah
menjadi Gemente yang mempunyai otonomi sendiri. Sejak Januari 1939 berdasarkan
Stad Blad No. 717 berubah menjadi Gemente yang mempunyai Dewan.
Pada zaman penjajahan jepang berubah menjadi siantar state dan dewan
dihapus. Setelah proklamasi kemerdekaan pematang siantar kembali menjadi daerah
otonomi. Berdasarkan undang-undang No.27/ 1948 status Gemente menjadi Kota
Kabupaten Simalungun dan Walikota dirangkap oleh bupati simalungun sampai
tahun 1957 berdasarkan uu No1/1957. Berdasarkan UU No.1/1957 berubah menjadi
Kota Praja penuh dan dengan keluarnya UU No.18/1965 berubah menjadi
Kotamadya , dan dengan keluarnya UU No. 5/1974 tentang pokok-pokok pemerintah
di daerah berbah menjadi daerah tingkat II pematang siantar sampai sekarang.
Kemudian pada tanggal 10 Maret 1986 Kota Daerah Tingkat II Pematang Siantar
diperluas dari 4 (empat) kecamatan menjadi 6 (enam) kecamatan , dimana 9 desa dari
wilayah kabupaten Simalungun menjadi Wilayah Kota Pematang Siantar. Sehingga
luas kota pematang siantar bertambah dari 12,48km2 menjadi 70,230 km2.
Berdasarkan Peraturan pemerintah No.15 tahun 1986 tanggal 10 Maret 1986
kota daerah tingkt II Pematang Siantar iperluas menjadi 6 (enam ) wilayah
kecamatan yaitu :
1. Kecamatan Siantar Barat
3. Kecamatan Siantar Timur
4. Kecamatan Siantar Selatan
5. Kecamatan Siantar Marihat
6. Kecamatan Siantar Martoba
Kemudian pada tahun 2007, diterbitkan peraturan daerah tentang pemekaran
wilayah admisnistrasi Kota Pematangsiantar yaitu:
1. Peraturan Daerah No.3 tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Siantar
Sitalasari
2. Peraturan Daerah No.6 tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Siantar
Marimbun
Sehingga secara administrasi wilayah Kota Pematangsiantar terbagi menjai 8
(Delapan) kecamatan yaitu:
1. Kecamatan Siantar Marihat
2. Kecamatan Siantar Marimbun
3. Kecamatan Siantar Selatan
4. Kecamatan Siantar Barat
5. Kecamatan Siantar Utara
6. Kecamatan Siantar Timur
7. Kecamatan Siantar Martoba
4.1.3. Kondisi Transportasi Kota Pematang Siantar
1. Simpul Transportasi Kota Pematang Siantar
Berdasarkan data Dinas Perhubungan Kota Pematang Siantar menyebutkan
simpul transportasi di Kota Pematang Siantar sebagai berikut :
1. Terminal angkutan umum antar kota dan internal kota/ Terminal
Sarantama berlokasi di Tanjung Pinggir (yang melayani pergerakan
regional).
2. Terminal angkutan kota direncanakan di lokasi Pasar Dwikora dan
Siantar Marihat.
3. Penyediaan sub Terminal di area Stasiun Kereta Api.
4. Penyediaan halte di Kawasan Pusat Kota.
2. Route Angkutan Umum Kota Pematang Siantar
Berdasarkan data dari Dinas Perhubungan Kota Pematang Siantar, pada tahun
2013 terdapat 33 perusahaan angkutan dengan 1522 kenderaan yang melayani 88
trayek di seluruh wilayah Kota Pematang Siantar. Dilihat dari trayek yang melayani
angkutan penumpang, di Kota Pematang Siantar terdapat 20 trayek Angkutan Antar
Kota Antar Propinsi (AKAP) dan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) yang
dilayani oleh 8 perusahaan angkutan dengan 218 armada kenderaan. Trayek AKAP
ini melayani dari kota Medan – kota Pematang Siantar (jalur lintas tengah) - sampai
kota yogyakarta. Angkutan kota di wilayah kota Pematang Siantar dan angkutan
pedesaan (ANGDES) melayani 68 trayek dengan 25 perusahaan yang
Table 4.1.3 Jumlah Perusahaan Angkutan di Kota Pematang Siantar
No Jenis Pelayanan Jumlah
Perusahaan
Angkutan AKDP / AKAP
Angkutan Taksi
Sumber : Dinas Perhubungan Kota Pematang Siantar, 2013
3. Terminal Sarantama dalam Sistem Jaringan Transportasi Kota Pematang
Siantar
Terminal Sarantama adalah Terminal tipe A, dalam sistem jaringan
transportasi perkotaan Kota Pematang Siantar berada di kawasan pusat kegiatan
sekunder di Kecamatan Martoba, Kelurahan Tanjung Pinggir yang posisinya diantara
jalan arteri primer (lintas tengah) dan arteri sekunder, yang mana penentuan lokasi
tersebut sesuai dengan rencana tata ruang kota yang salah satunya bertujuan untuk
mengatasi kepadatan lalu-lintas pada pusat kegiatan primer dan pengembangan pusat
kegiatan sekunder.
Sedangkan karakteristik Terminal dibagi 4 bagian yang terpisah, dalam arti
masing-masing bagian mempunyai pintu masuk dan keluar sendiri, yaitu bagian I
untuk bus Angkutan Antar Kota Dalam Propinsi (AKDP), bagian III Angkutan Desa
(ANGDES) dan Angkutan Kota (ANGKOT) dan bagian IV untuk Terminal Taksi,
dimana luas keseluruhan area parkir 8035.15 m2 dengan luas parkir AKAP 1258.00
m2 + luas parkir AKDP 3288.00 m2 + luas parkir ANGDES - ANGKOT 2958.15 m2
+ luas parkir Taksi 491.40 m2. Jalan aksess masuk internal Terminal untuk AKAP
dan AKDP lebar badan jalan 12 m’ dan ANGDES - ANGKOT - Taksi lebar badan
jalan 7 m’. Sebagai jalan aksess dari ke Terminal terdapat ruas jalan AMD disebelah
depan (pintu masuk – keluar) dengan lebar 14 m’ dan pengaturan arus lalu lintas
sistem dua arah. Sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota Pematang Siantar
kawasan sekitar Terminal Sarantama akan dipergunakan sebagai pusat kegiatan
sekunder (pusat pendidikan, industri, rekreasi, permukiman dan pertanian yang mana
pada saat ini kondisi kawasan tersebut masih belum berkembang dapat dikatakan
masih sepi.
4.1.4. Sejarah dan Romantika Terminal Sukadame Siantar
Terminal Sukadame sebelum dibangun tahun 70-an, adalah rawa-rawa yang
sering dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah. Namun karena lokasinya
dianggap strategis, Pemerintah Kota Siantar meliriknya untuk dijadikan sebagai
terminal.
Saat itu di Siantar telah ada dua terminal, yaitu terminal di Jalan Patuan Nagari
dan di Jalan Pantoan. Laurimba Saragih yang saat itu menjabat Walikota Siantar
menyatukan kedua terminal dengan membangun sebuah terminal yang terbilang
megah. Terminal yang dibangun di Kelurahan Sukadame, Kecamatan Siantar Utara
Dibangunnya terminal di daerah itu mendatangkan rezeki bagi warga setempat
(sering disebut sebagai warga par Parluasan). Banyaknya angkutan umum yang
melewati terminal itu membuka lowongan pekerjaan bagi warga Parluasan. Banyak
warga yang bekerja di sekitar terminal sebagai pedagang, supir, agen bus, atau
tukang semir sepatu. Warga dari daerah lainnya pun mulai berdatangan untuk
mengadu nasib di tempat itu.
Geliat ekonomi yang cukup pesat kemudian menimbulkan persaingan untuk
memperebutkan daerah kekuasaan. Misalnya untuk menjadi penguasa sektor bongkar
muat barang, perebutan mandor bus, hingga menjadi ketua tukang semir. Perkelahian
demi perkelahian pun kerap terjadi dalam perebutan itu.
Untuk memenangkan persaingan, masing-masing pihak mulai membangun
organisasi (genk). Ngadu Purba, Jendam Damanik, Burhanudin Purba, Ramli Silalahi,
serta beberapa orang lagi, bergabung dalam Organisasi Karvetri (Karyawan Veteran
Republik Indonesia). Mereka kemudian menguasai bongkar muat angkutan di seluruh
Siantar.
Kemudian Amir Damanik bersama Terem Sembiring, Rakyat, Nasib, dan
beberapa nama lain, menguasai keamanan di sejumlah perusahaan yang saat itu mulai
berkembang di Siantar. Selain itu, beberapa nama lainnya seperti Ater Siahaan,
Dobur dan lainnya pun mulai bermunculan. Keberadaan mereka pun cukup disegani
Seiring waktu, di antara sejumlah nama itu ada dua nama yakni Amir Damanik
dan Ramli Silalahi yang muncul menjadi penguasa Siantar. Keduanya oleh
masyarakat setempat sering disebut dengan julukan Singa Siantar.
Mereka menjadi rival berat dalam perebutan kekuasaan di Siantar. Pertarungan
antara keduanya selalu menjadi buah bibir. Saat tersiar kabar bahwa keduanya akan
melakukan pertarungan di Terminal Sukadame, ribuan warga Siantar pasti
berbondong-bondong datang untuk menyaksikannya.
Setelah Amir Damanik terbunuh oleh beberapa musuhnya dan ditambah
dengan munculnya penembak misterius (petrus), nama-nama penguasa Siantar ini
mulai jarang kedengaran. Beberapa di antaranya beralih profesi menjadi pengusaha,
sedangkan sebagian lagi pergi meninggalkan Siantar. Terminal itu kemudian tak
terkendali dan dikuasai preman-preman baru. Para pencopet sampai agen bus liar
bermunculan dan menimbulkan keresahan bagi pengunjung terminal.
Tak jarang warga yang hendak bepergian melalui terminal itu harus menangis
karena seluruh uangnya hilang diambil copet. Sementara agen bus liar sering
memaksa penumpang untuk menaiki bus tertentu dengan tarif yang dibuat sesukanya.
Akibatnya, terminal mulai sepi karena penumpang enggan naik atau turun di tempat
itu. Oleh warga dari daerah lain, Siantar kemudian disebut sebagai ’kota copet’.
Warga Siantar yang berada di perantauan pun kena getahnya karena sering disebut
sebagai copet. Keadaan itu berlangsung hingga pertengahan 1990 sebelum kepolisian
melakukan operasi preman secara rutin.
Pasca dipindahkannya terminal ke Tanjung Pinggir, Kecamatan Siantar