• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model penyeimbangan nilai tambah berdasarkan tingkat risiko pada rantai pasok minyak sawit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model penyeimbangan nilai tambah berdasarkan tingkat risiko pada rantai pasok minyak sawit"

Copied!
213
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PENYEIMBANGAN NILAI TAMBAH

BERDASARKAN TINGKAT RISIKO PADA

RANTAI PASOK MINYAK SAWIT

SYARIF HIDAYAT

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model penyeimbangan nilai tambah berdasarkan tingkat risiko pada rantai pasok minyak sawit adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2012

(4)

ABSTRACT

SYARIF HIDAYAT. A model to balance the added value based on the risk level in the palm oil supply chain. Supervised by MARIMIN, ANI SURYANI, SUKARDI and MOHAMAD YANI

In palm oil supply chain the smallholder farmers sell their fresh fruit bunch (FFB) to Palm Oil Mills through traders. Palm Oil Mills convert the FFB into crude palm oil (CPO). CPO is sold to the refinery, who converts CPO into frying oil and sends the product to the distributors. The distributors subsequently sell them to the consumers. The risk levels between the actors may not be proportionately rewarded by the same levels of added value. The objectives of this study are to identify and evaluate the risks faced by the actors, to find or improve a formula to calculate the added value for all actors successively, to design a model to simulate the interactive behaviors of the palm oil supply chain actors, and to facilitate optimum distribution of the added value for each actor, while considering the successive investment and risk levels. Information obtained from the interviews with selected experts and industry players were processed using Fuzzy Analytic Hierarchy Process (FAHP). From the 12 risks identified the result converged into supply continuity and product quality risks. In this study the original Hayami method was modified to calculate the added value for all actors successively. The price of the output product from one actor became the input cost for the next actor, this went on until the end of the chain. The modified Hayami method can also measure the added value levels between all supply chain actors. Netlogo agent-based modeling tool was used for this purpose as it provided the best means to identify and study the supply chain actors (or agents) behaviors. To facilitate fair distribution of rewards for the supply chain actors a concept of added value utility based on investment and risk level was introduced. To optimize the added value distribution between the agents the concept of stakeholder dialogue was used. The selling prices were negotiated between the actors until each reached a satisfactory value, which was ruled by the levels of optimum added value utility. This research is important because the developed model may facilitate a better formula to calculate the fair distribution of added value among the actors, therefore ensure its sustainability and improve the total supply chain added value.

(5)

RINGKASAN

SYARIF HIDAYAT. Model penyeimbangan nilai tambah berdasarkan tingkat risiko pada rantai pasok minyak sawit. Dibawah bimbingan MARIMIN, ANI SURYANI, SUKARDI dan MOHAMAD YANI.

Di dalam rantai pasok minyak sawit (RPMS), para petani swadaya menjual tandan buah segar (TBS) kepada pabrik kelapa sawit (PKS) melalui para pedagang perantara atau pengepul. Minyak sawit kasar (crude palm oil, CPO) dijual ke pabrik minyak goreng (refinery) yang menjualnya kepada para distributor yang kemudian menyalurkannya kepada para pengguna. Terdapat banyak risiko usaha yang dihadapi setiap pelaku RPMS. Ada risiko bahwa tingkat mutu dan harga produk berfluktuasi. Risiko lain adalah ketidakpastian kelanjutan pasokan sehingga setiap pelaku rantai pasok menghadapi risiko rugi dan berhenti berbisnis. Tingkat bobot risiko antara para pelaku rantai pasok tidak dengan sendirinya diikuti oleh imbalan nilai tambah yang seimbang. Dalam hampir semua kejadian, petani hampir tidak memiliki kekuatan tawar-menawar dalam penentuan harga komoditas. Untuk kondisi Indonesia harga TBS, CPO dan minyak goreng sawit sangat ditentukan oleh dan tergantung kepada harga CPO dunia.

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi dan mengevaluasi risiko-risiko yang dihadapi oleh para pelaku rantai pasok, menentukan atau memperbaiki formula untuk menghitung nilai tambah untuk semua pelaku secara beranting, merancang suatu model untuk melakukan simulasi perilaku interaktif para pelaku rantai pasok minyak sawit, dan mengupayakan distribusi optimum dari nilai tambah setiap aktor dengan memperhatikan bobot risiko antara para pelaku tersebut.

(6)

terpenting yaitu risiko keberlangsungan pasokan dan risiko mutu produk. Urutan bobot risiko para pelaku RPMS adalah Petani (0,338), PKS (0,214), Refinery (Pabrik MGS) (0,184), Pengepul (0,119), Distributor (0,098) dan Konsumen (0,046). Urutan bobot dari jenis-jenis risiko adalah Pasokan (0,151), Kualitas (0,129), Pasar (0,121), Risiko Harga (0,105), Produksi (0,0981), Risiko Kemitraan (0,081), Risiko Teknologi (0,064), Risiko Transportasi (0,058), Risiko Lingkungan (0,054), Risiko Informasi (0,050), Risiko Penyimpanan (0,045), dan Risiko Kebijakan (0,039). Untuk strategi peningkatan nilai tambah, yang dipandang terpenting adalah perbaikan infrastruktur/pengembangan klaster (0,406) dan perbaikan produktivitas/budidaya (0,331).

Metode penghitungan nilai tambah yang diteliti adalah metode yang dikembangkan oleh Hayami. Metode Hayami yang asli dibuat untuk satu pelaku pada satu siklus musim tanaman jangka pendek dibawah 1 tahun, atau satu siklus produk industri satu jenis makanan saja. Penelitian ini memodifikasi metode Hayami yang asli menjadi dapat digunakan untuk menghitung nilai tambah industri yang terjalin dalam suatu rantai pasok lebih dari satu tahun dan bahan serta produk yang beragam. Model formula perhitungan Hayami modifikasi ini menghitung juga rasio-rasio nilai tambah bagi pelaku industri. Pada skala industri kapasitas PKS 30 ton TBS/jam dibutuhkan sebanyak 180.000.000 kg TBS per tahun, yang dihasilkan dari kebun sawit sendiri dan kebun rakyat seluas total 6.065 ha. Pada model penelitian ini diasumsikan bahwa PKS memiliki kebun sawit sendiri seluas sama dengan sumber luar, yaitu seluas 3.302 ha. Dengan asumsi bahwa setiap petani memiliki 2 hektar kebun maka diperlukan sebanyak 1.516 orang petani. Pada tingkat harga jual TBS Rp 1.423/kg, harga MKS Rp 6.500/kg, palm kernel (PK) Rp 3.500/kg, MGS Rp 12.000/kg, stearin Rp 5.000/kg dan PFAD Rp 2.500/kg didapat hasil perbandingan nilai tambah Petani : Pengepul: PKS : Refinery : Distributor = 4,27% : 1,54% : 51,11% : 40,02% : 3,06%. Nilai tambah untuk Kelompok Petani adalah Rp 44.029.700.759 untuk satu tahun. Dari nilai ini dapat dihitung nilai tambah untuk setiap petani sebesar Rp 2.420.003 per bulan.

(7)

kemampuannya mengidentifikasi pola perilaku para pelaku untuk mengoptimalkan nilai tambah masing-masing. Dengan pemodelan berbasis-agen ini dapat dilakukan simulasi yang mendukung dan terkait erat dengan hasil dari metode Hayami termodifikasi dan identifikasi serta evaluasi risiko tiap pelaku RPMS. Untuk memfasilitasi distribusi nilai tambah yang adil diusulkan suatu formula utilitas nilai tambah sebagai fungsi dari tingkat investasi dan risiko. Software Netlogo dipergunakan untuk membuat model berbasis-agen karena software tersebut paling populer and praktis penggunaannya. Model ini sekaligus mengupayakan optimisasi distribusi dengan konsep stakeholder dialogue. Dengan konsep ini para pelaku melakukan negosiasi secara bertingkat untuk mendapatkan tingkat harga yang menghasilkan nilai tambah yang seimbang dengan bobot risiko. Bobot risiko ini didapatkan dari hasil penerapan metode FAHP. Dari simulasi dengan model Netlogo ini didapatkan bahwa nilai harga jual produk tiap pelaku sebelum stakeholder dialogue telah bergeser mengikuti tingkat utilitas optimal nilai tambah.

Para pakar ternyata secara konvergen memilih untuk mengatasi risiko pasokan yang tidak stabil serta memastikan untuk mendapatkan bahan berkualitas dan menghasilkan produk berkualitas. Berdasarkan hasil evaluasi dengan FAHP tersebut, dapat disimpulkan bahwa manajemen risiko rantai pasok minyak sawit mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan kontinyuitas pasokan. Ini berarti bahwa semua responden dan pakar sepakat menyatakan bahwa kelancaran arus bahan baku dan produk secara beranting merupakan hal yang mutlak harus dijamin dalam RPMS agar terjadi kelangsungan usaha.

Penelitian ini penting karena model-model yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengukur bobot risiko para pelaku, menghitung nilai tambah para pelaku dalam kesatuan rantai pasok, serta memberikan tingkat harga bahan dan produk yang memberikan nilai tambah yang optimal seimbang dengan bobot investasi dan risikonya. Penelitian dapat dilanjutkan ke sisi hulu (usaha pembibitan) maupun ke hilir (industri oleokimia pangan dan non-pangan). Formula utilitas nilai tambah dapat diperluas, misalnya dengan faktor teknologi.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(9)

RANTAI PASOK MINYAK SAWIT

SYARIF HIDAYAT

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Ujian Tertutup

Penguji Luar Komisi: 1. Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali, MSi

2. Dr. Ir. Yandra Arkeman, MEng

Ujian Terbuka

Penguji Luar Komisi: 1. Prof. Dr. Ir. Zuhal, MSc.EE

(11)

Nama : Syarif Hidayat NIM : F361070131

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc

Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA

Dr. Ir. Sukardi, MM Dr. Ir. Mohamad Yani, MEng

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(12)

PRAKATA

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, puji syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT, karena hanya dengan izin, pertolongan dan rahmat-Nya maka disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa banyak pihak telah membantu sampai selesainya Disertasi ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan curahan waktu, bimbingan dan arahan, dukungan serta dorongan sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA, bapak Dr. Ir. Sukardi, MM, serta bapak Dr. Ir. Mohammad Yani, MEng selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran serta keikhlasannya dalam membimbing dan memberikan masukan hingga terselesaikannya Disertasi ini.

3. Ibu Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali MSi. dan bapak Dr. Ir. Yandra Arkeman M.Eng. selaku Penguji Luar Komisi pada Sidang Tertutup.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Zuhal, MSc.EE dan ibu Prof. Dr. Ir. Tien Rusprihatin Muchtadi, MS selaku Penguji Luar Komisi pada Sidang Terbuka.

5. Bapak Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc. selaku Ketua Sidang Tertutup dan Sidang Terbuka.

6. Bapak Dr. Ir. Machfud, MS dan bapak Dr. Ir. Taufik Djatna, M.Eng selaku perwakilan Program Studi Teknologi Industri Pertanian pada Sidang-sidang Tertutup dan Terbuka.

(13)

8. Ibu Satriyana Sinulingga dan bpk Munansyah serta pimpinan/staf PT Amal Tani Medan yang telah memberikan informasi yang jelas perihal profitabilitas dan pemasaran usaha kebun sawit dan pabrik CPO.

9. Bapak-bapak pimpinan beserta staf pada kantor-kantor Dinas Perindustrian Perdagangan dan Perkebunan di Dumai, Pakanbaru dan Padang yang telah memberikan informasi yang jelas perihal ketentuan-ketentuan perkebunan sawit di daerah Dumai, Riau dan Sumatera Barat.

10.Bapak-bapak Dr. Suharjito MSi, Dr. Ir. Alexie Herryandie Bronto Adi, MS, Dr Emirul Bahar MSi, Dr Dadang Suryasa MT, Dr Ir. Rika Ampuh Hadiguna, atas masukan dan bantuannya yang tidak ternilai.

11.Bapak Imran Mazhni SE Akt yang telah menyediakan waktunya yang berharga sebagai kawan berdiskusi dan mengembangkan model simulasi Netlogo berbasis-agen.

12.Seluruh staf Program Studi Teknologi Industri Pertanian yang telah membantu dalam pengurusan administrasi.

13.Pimpinan Universitas Al Azhar yang telah memberikan izin dan dukungan untuk pelaksanaan program pendidikan doktoral saya di IPB. 14.Pimpinan dan rekan-rekan dosen di FST UAI yang telah turut memberikan

dukungan semangat.

15.Para mahasiswa Universitas Al Azhar Indonesia yang telah ikut membantu mempersiapkan draft akhir disertasi ini terutama Riyana Susanti, Syantie Nurmalasari, Masud dan Nurfadilah.

16.Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan kuliah di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, utamanya rekan-rekan kelompok konsultasi hari Kamis/Jumat di Lab TMI IPB, atas dukungan, kebersamaan dan semangat saling menguatkan untuk menyelesaikan program pendidikan ini dengan sebaik-baiknya.

(14)

Isteri penulis Hj. Annie Maryatun telah mendampingi penulis sejak lebih dari 32 tahun lalu dalam kehidupan yang penuh dengan bauran kemudahan dan kesusahan yang kami hadapi bersama dengan tabah. Anak-anak penulis Kharisma Pusparuri, Kharisma Rengganis dan Kharisma Anggraini telah ikut bercapai-lelah membantu menyiapkan formula, worksheet, diagram, bahan presentasi dan meng-edit draft Disertasi sampai dengan bentuknya yang final.

Semoga karya Disertasi ini merupakan sumbangan yang cukup bernilai bagi kekayaan khazanah karya ilmiah di negeri Indonesia tercinta ini. Amin.

Jakarta, Agustus 2012

(15)

Penulis dilahirkan di Pangandaran pada tanggal 13 September 1946 sebagai anak sulung dari pasangan M.Ismail dan Siti Hadidjah. Pendidikan sarjana ditempuh pada Departemen Elektroteknik Institut Teknologi Bandung lulus tahun 1972. Pada tahun 1976, penulis diterima pada the School of Mechanical & Industrial Engineering di the University of New South Wales di Sydney, lulus pada tahun 1978. Selain itu penulis juga mengikuti Program Magister Manajemen di Universitas Indonesia, lulus pada tahun 1992. Setelah selesai dari perkerjaan terakhir di Unilever Indonesia, penulis kemudian bergabung menjadi dosen tetap pada Program Studi Teknik Industri Universitas Al Azhar Indonesia (UAI). Penulis memutuskan untuk mengikuti Program Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian pada Program Pascasarjana IPB pada tahun 2007.

Selama mengikuti program S3, penulis aktif dalam kegiatan ilmiah seperti Hibah bersaing DIKTI dan juga Hibah Kompetensi DIKTI bersama-sama dengan dosen pembimbing dalam penulisan buku ajar Teknik dan Analisis Pengambilan Keputusan Fuzzy Dalam Manajemen Rantai Pasok. Karya ilmiah yang berjudul Kesetaraan nilai tambah pada rantai pasok agroindustri kelapa sawit yang terintegrasi telah disajikan pada seminar Nasional Masyarakat Kelapa Sawit Indonesia (MAKSI) pada bulan Januari 2012.

(16)

i

2.1.2 Manajemen Rantai Pasok (Supply Chain Management) ... 8

2.1.3 Rantai Pasok dan Rantai Nilai ... 11

2.1.4 Kemitraan dengan Pemasok ... 12

2.2 Kelapa Sawit ... 13

2.2.1 Pohon Industri Kelapa Sawit ... 13

2.2.2 Proses-proses Pengolahan Kelapa Sawit ... 15

2.2.3 Rantai Pasok Industri Minyak Sawit ... 18

2.3 Nilai Tambah dan Risiko ... 18

2.3.1 Pengertian Umum Nilai Tambah ... 18

2.3.2 Kebutuhan Terhadap Nilai Tambah ... 19

2.3.3 Pengertian Nilai Tambah untuk Penelitian ini ... 19

2.3.4 Nilai Tambah dan Produktivitas ... 21

(17)

2.3.6 Metode Hayami ... 23

2.3.7 Kekuatan dan Kelemahan Metode Hayami ... 25

2.3.8 Nilai Tambah Dalam Agroindustri ... 26

2.3.9 Pengertian Risiko ... 28

2.3.10 Manajemen Risiko ... 30

2.4 Konsep Dasar Agen dan Sistem Multi Agen ... 31

2.4.1 Latar Belakang Sistem Multi Agen ... 31

2.4.2 Sistem Multi Agen dan Motivasi Penggunaannya ... 34

2.4.3 Pemodelan Berbasis Sistem Multi Agen untuk Rantai Pasok ... 34

2.4.4 Software Netlogo ... 36

2.6 Logika dan Analisa Fuzzy ... 45

2.6.1 Dasar-dasar Logika Fuzzy ... 45

2.6.2 Aturan-aturan Fuzzy ... 47

2.6.3 Analytical Hierarchy Process (AHP) ... 48

2.6.4 Fuzzy Analytical Hierarchy Process (FAHP) ... 50

2.6.5 Stakeholder Dialogue ... 52

3 METODE PENELITIAN... 55

3.1 Kerangka Pemikiran... 55

3.2 Teknik-Teknik yang Digunakan ... 58

3.2.1 Analytical Hierarchy Process (AHP) ... 58

3.2.2 Fuzzy Inference System ... 58

3.2.3 Stakeholder Dialogue ... 59

3.2.4 Pemodelan dengan Sistem Multi Agen (SMA) ... 59

3.2.5 Unified Modeling Language (UML) ... 59

3.2.6 Verifikasi dan Validasi Model ... 60

(18)

iii

3.3.1 Proses Modifikasi ... 61

3.4 Model Identifikasi dan Perhitungan Bobot Risiko... 64

3.5 Formulasi Nilai Tambah Berdasarkan Tingkat Risiko dan investasi ... 65

3.6 Model Penyeimbangan Nilai Tambah dengan Sistem Multi-Agen ... 67

3.6.1 Penggunaan UML ... 68

3.6.2 Formulasi Proses Bisnis dan Prosedur Pengambilan Keputusan... 71

3.7 Tata Laksana Penelitian ... 74

3.7.1 Tempat dan Waktu Penelitian... 74

3.7.2 Pengumpulan/Pengolahan Data, Informasi dan Pengetahuan ... 74

3.8 Posisi Penelitian Ini... 75

4 ANALISIS SITUASIONAL ... 79

4.1 Gambaran Pelaku Rantai Pasok Minyak Sawit ... 79

4.1.1 Kegiatan Petani ... 79

4.1.2 Kegiatan Pengepul ... 80

4.1.3 Kegiatan Pabrik Minyak Sawit ... 81

4.1.4 Kegiatan Pabrik Minyak Goreng ... 81

4.1.5 Kegiatan Distributor ... 81

4.2 Analisa Permasalahan Rantai Pasok Sawit ... 82

4.2.1 Tata Niaga TBS ... 82

4.2.2 Tata Niaga Minyak Sawit ... 83

4.2.3 Tata Niaga Minyak Goreng ... 84

4.2.4 Pengaruh Harga Minyak Sawit Dunia ... 86

4.2.5 Proses Pelelangan Minyak Sawit oleh KPBN ... 88

4.2.6 Perhitungan Index Proporsi “k” oleh Dinas Perkebunan ... 89

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 91

5.1 Modifikasi Terhadap Model Hayami ... 92

5.1.1 Proses Modifikasi Terhadap Model Hayami ... 92

5.1.2 Penerapan modifikasi Metode Hayami ... 94

5.1.3 Verifikasi dan Validasi Model ... 97

(19)

5.2.1 Identifikasi dan Evaluasi Risiko Rantai Pasok ... 99

5.2.2 Identifikasi dan Bobot Risiko Tiap Pelaku RPMS ... 101

5.2.3 Identifikasi dan Evaluasi Strategi Peningkatan Nilai Tambah RPMS ... 107

5.3 Model Simulasi Berbasis-Agen ... 108

5.3.1 Pendahuluan... 108

5.3.2 Formulasi Model Perhitungan Nilai Tambah RPMS berbasis-agen ... 109

5.3.3 Formulasi Model Netlogo ... 120

5.3.4 Verifikasi dan Validasi Model ... 123

5.3.5 Hasil simulasi dengan Model Netlogo ... 123

5.4 Implikasi Manajerial ... 129

6 SIMPULAN DAN SARAN ... 133

6.1 Simpulan ... 133

6.2 Saran ... 134

DAFTAR PUSTAKA ... 137

(20)

v

Tabel 3.1 Template perhitungan nilai tambah Metode Hayami yang dimodifikasikan ... 63

Tabel 3.2 Posisi penelitian ini terhadap penelitian terdahulu dalam rantai pasok ... 76

Tabel 4.1 Penentuan harga minyak goreng berdasarkan harga minyak sawit luar negeri.. 87

Tabel 5.1Template Metode Hayami yang dimodifikasi (dihitung untuk setahun) ... 94

Tabel 5.2 Formulasi perhitungan nilai tambah dengan Metode Hayami Termodifikasi .... 98

Tabel 5.3 Bobot tujuan FAHP dan risiko pelaku ... 101

Tabel 5.4 Hasil identifikasi dan evaluasi strategi peningkatan nilai tambah ... 107

Tabel 5.5 Daftar tingkat utilitas optimum ... 124

Tabel 5.6 Kesimpulan hasil simulasi penyeimbangan nilai tambah ... 128

(21)

vi

Gambar 2.1 Skema sistem rantai pasok (Vorst, 2004) ... 9

Gambar 2.2 Skema rantai pasok pertanian (Vorst, 2004) ... 11

Gambar 2.3 Buah kelapa sawit penampang membujur (Mahfot, 2011) ... 13

Gambar 2.4 Kebun sawit dengan buah unggulan (Teoh, 2009) ... 13

Gambar 2.5 Pohon industri kelapa sawit (KPPU, 2006) ... 14

Gambar 2.6 Diagram alir pengolahan awal TBS (BSPJ, 2009) ... 15

Gambar 2.7 Diagram alir proses refinery (BPPMD, 2009) ... 16

Gambar 2.8 Metode pengurangan untuk menghitung nilai tambah (Cruz, 2011) ... 22

Gambar 2.9 Diagram manajemen risiko (Meydano lu, 2009) ... 29

Gambar 2.10 Diagram manajemen risiko (IRM, 2002) ... 30

Gambar 2.11 Interaksi agen dengan lingkungannya (Russel dan Norvig, 2003) ... 33

Gambar 2.12 Rantai pasok minyak sawit (Hidayat et al., 2012) ... 35

Gambar 2.13 Diagram lingkar input-output RPMS (Marimin, 2005) ... 40

Gambar 2.14 Diagram input-output untuk agroindustri minyak sawit (Marimin, 2005) ... 42

Gambar 2.15 Diagram kebutuhan sub-sistem ... 44

Gambar 2.16 Alur penyelesaian masalah dengan metode fuzzy (Marimin, 2007) ... 45

Gambar 2.17 Fungsi keanggotaan fuzzy berbentuk segitiga (Gao dan Zhang, 2009) ... 47

Gambar 2.18 Fungsi keanggotaan fuzzy TFN (Gao dan Zhang, 2009) ... 50

Gambar 2.19 Gambar fungsi keanggotaan bilangan fuzzy triangular (Suharjito, 2011) ... 52

Gambar 2.20 Model stakeholder dialogue 4 fasa (Palazzo, 2010) ... 53

Gambar 3.1 Rantai nilai global komoditas kelapa sawit Indonesia ... 55

Gambar 3.2 Kerangka pemikiran penelitian ... 56

Gambar 3.3 Diagram alir global penelitian ... 57

Gambar 3.4 Diagram alir proses modifikasi formula Hayami ... 62

Gambar 3.5 Diagram alur identifikasi dan evaluasi risiko ... 64

Gambar 3.6 Diagram alir model penyeimbangan nilai tambah ... 67

Gambar 3.7 Diagram use-case rantai pasok minyak sawit ... 69

Gambar 3.8 Sequence Diagram RPMS ... 70

(22)

vii

Gambar 3.10 Proses bisnis generik pelaku usaha RPMS ... 72

Gambar 3.11 Diagram alir generik pengambilan keputusan pelaku RPMS ... 73

Gambar 4.1 Alur pergerakan TBS yang dijual oleh petani (KPPU, 2009) ... 83

Gambar 4.2 Alur tata niaga minyak sawit – minyak goreng – distributor (KPPU, 2009) . 83

Gambar 4.3 Alur tata niaga refinery - distributor-konsumen (KPPU, 2009) ... 84

Gambar 4.4 Proses penjualan pada pelelangan minyak sawit ... 88

Gambar 5.1 Rantai pasok minyak sawit (BSPJ, 2009) ... 91

Gambar 5.2 Diagram alir prosedur modifikasi formula Hayami ... 93

Gambar 5.3 Struktur hirarki identifikasi faktor risiko tiap tingkatan RPMS ... 102

Gambar 5.4 Struktur hirarki identifikasi strategi peningkatan nilai tambah RPMS ... 102

Gambar 5.5 Histogram perbandingan bobot risiko pelaku RPMS ... 103

Gambar 5.6 Histogram perbandingan bobot faktor risiko petani ... 103

Gambar 5.7 Histogram perbandingan bobot faktor risiko pengepul ... 104

Gambar 5.8 Histogram perbandingan bobot faktor risiko PKS ... 105

Gambar 5.9 Histogram perbandingan bobot faktor risiko refinery ... 105

Gambar 5.10 Histogram perbandingan bobot faktor risiko distributor ... 106

Gambar 5.11 Histogram perbandingan bobot faktor risiko konsumen ... 106

Gambar 5.12 Histogram perbandingan bobot faktor risiko total RPMS ... 107

Gambar 5.13 Hasil identifikasi dan evaluasi strategi peningkatan nilai tambah ... 108

Gambar 5.14 Diagram alir pemodelan berbasis agen ... 109

Gambar 5.15 Proses bisnis petani dalam rantai pasok minyak sawit ... 109

Gambar 5.16 Diagram alir pengambilan keputusan oleh petani ... 110

Gambar 5.17 Proses bisnis pengepul dalam RPMS ... 112

Gambar 5.18 Diagram alir keputusan pengepul ... 113

Gambar 5.19 Proses bisnis pabrik minyak sawit ... 114

Gambar 5.20 Diagram alir keputusan pabrik minyak sawit ... 115

Gambar 5.21 Proses bisnis refinery ... 116

Gambar 5.22 Diagram alir keputusan refinery ... 117

Gambar 5.23 Proses bisnis distributor MGS ... 118

Gambar 5.24 Diagram alir keputusan distributor MGS ... 119

(23)

Gambar 5.26 Diagram alir global program Netlogo Negosiasi RPMS ... 120

Gambar 5.27 Diagram alir program simulasi Netlogo ... 121

Gambar 5.28 Diagram alir program Netlogo untuk pelaku selanjutnya ... 122

Gambar 5.29 Simulasi utilitas nilai tambah Petani ... 124

Gambar 5.30 Simulasi utilitas nilai tambah Pengepul ... 125

Gambar 5.31 Simulasi utilitas nilai tambah PKS ... 125

Gambar 5.32 Simulasi utilitas nilai tambah Pabrik minyak goreng (refinery] ... 125

Gambar 5.33 Simulasi utilitas nilai tambah Distributor ... 126

Gambar 5.34 Nilai tambah tiap pelaku RPMS ... 126

Gambar 5.35 Harga jual produk tiap pelaku RPMS ... 127

Gambar 5.36 Rasio nilai tambah tiap pelaku saat awal negosiasi ... 127

(24)

ix

Lampiran 1 Daftar Pakar dan Narasumber ..……….…..……149

Lampiran 2 Masukan Pakar untuk Identifikasi/Evaluasi Risiko RPMS ………....151

Lampiran 3 Masukan Pakar untuk Strategi Peningkatan Nilai Tambah RPMS……….172

Lampiran 4 Hasil Simulasi Model Netlogo (Nilai dalam Satuan Rp/kg produk)….…..181

(25)

x

1 Agen Suatu entitas fisik atau virtual yang memiliki tujuan tertentu, berfungsi

dan berinteraksi secara kontinyu dan otonomus didalam suatu lingkungan

bersama agen-agen lain.

2 Agroindustri Industri yang mengolah hasil pertanian yang bernilai rendah menjadi

barang lain yang mempunyai nilai tambah lebih tinggi melalui

kemampuan teknologi dengan melibatkan proses fisika, kimia maupun

biologi.

3 AHP (Analytical Hierarchy Process) - model pengambilan keputusan yang

mampu memecahkan persoalan kompleks secara kuantitatif,

dikembangkan oleh Thomas L.Saaty

4 Defuzzyfisikasi Proses konversi nilai fuzzy kembali ke nilai crisp (tunggal)

5 FAHP Fuzzy AHP - proses pemecahan masalah dengan pendekatan AHP yang

menggunakan data fuzzy

6 Fuzzyfikasi Proses konversi nilai crisp ke nilai fuzzy

7 Manajemen rantai pasok

Pengelolaan aliran bahan, informasi, dan uang melalui suatu jaringan

kerja melibatkan beberapa organisasi. Dapat terdiri dari pemasok,

pengolah, pedagang besar, distributor, dan pengecer. Tujuan kegiatannya

adalah menjamin berlangsungnya arus bahan untuk berproduksi dan

pengiriman produk atau jasa untuk pelanggan

8

9

Model

Netlogo

Model adalah suatu entitas perwakilan fisik atau matematik yang

mewakili suatu sistem atau proses. Model merupakan penyederhanaan

realitas sistem yang kompleks dengan hanya menganalisis faktor-faktor

yang dominan dan dianggap perlu.

Netlogo adalah suatu sarana pemodelan dengan program komputer untuk

kasus-kasus sains ataupun sosial, berbasis Java, merupakan software

yang open-source, dapat diunduh secara gratis

10 Nilai Jumlah yang rela dibayar oleh seorang pembeli atau pengusaha untuk

(26)

11 Nilai tambah Nilai tambah adalah perbedaan antara nilai output dan biaya input dan

proses pengolahan. Nilai tambah merupakan semua tambahan nilai yang

dibuat oleh faktor-faktor produksi, termasuk nilai barang tangible yang

ditambahkan melalui transformasi bahan mentah, tenaga kerja dan

barang modal, serta nilai intangible yang ditambahkan melalui modal

intelektual

12 Produktivitas Rasio output terhadap input, baik parsial ataupun total.

13 Rantai pasok Rantai pasok atau supply chain adalah serangkaian kumpulan dari

perusahaan yang saling tergantung dan bekerjasama dalam pengendalian,

pengelolaan dan perbaikan arus barang dan informasi dari sisi penyalur

sampai ke sisi pengguna akhir

14 Risiko Risiko dapat didefinisikan sebagai adanya ketidak pastian tentang

pencapaian sasaran perusahaan, dan adanya variasi pada distribusi hasil

potensial.

15 Sistem Sistem adalah kumpulan obyek-obyek yang saling berinteraksi dan

bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu dalam lingkungan

yang kompleks.

16 Sistem Multi Agen (SMA)

Sistem yang memperhatikan bagaimana suatu kelompok agen yang

otonom dan cerdas mengatur perencanaannya sendiri agar dapat

mencapai tujuan tertentu (lokal atau global). Untuk bekerja dengan SMA

diperlukan aturan-aturan (rules) yang didefinisikan untuk setiap agen

perihal langkah apa yang diambil bila menghadapi kondisi tertentu.

17 Stakeholder dialogue

Stakeholder dialogue adalah suatu diskusi yang terstruktur dan iteratif

diantara wakil-wakil perusahaan atau organisasi yang berinteraksi. Harus

dilakukan kesepakatan perihal tujuan, aturan-aturan, dan harapan yang

ingin dicapai dalam dialog.

18 TFN (Triangular Fuzzy Number) merupakan representasi bilangan fuzzy

paling populer dengan bentuk keanggotaan segitiga.

19 Utilitas Nilai guna yang menggambarkan tingkat kepuasan seseorang atau suatu

(27)
(28)

1

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelapa sawit diperkenalkan ke Indonesia pertama kali pada tahun 1848 ketika empat bibit

pohon kelapa sawit ditanam sebagai hiasan di Kebun Raya Bogor (Setiadi, 2008). Perkebunan

komersial pertama kali dikembangkan di Sumatra pada tahun 1911. Luas areal kebun menjadi

sekitar 31,600 hektar pada tahun 1925 dan menjadi 92,000 hektar pada saat Perang Dunia II

(Corley and Tinker, 2003). Sejak tahun 2005 ekspor produk minyak sawit atau crude palm oil

(CPO) Indonesia terus meningkat, kecuali untuk tahun 2009. Gambar 1.1 memperlihatkan bahwa

total kenaikan nilai ekspor sawit dan produk sawit dari tahun 2009 ke 2010 naik dari 11,6

menjadi 15,6 milyard US$. Dalam persentase, kenaikan tersebut hampir sebesar 35%, jauh

melebihi tingkat pertumbuhan ekspor produk-produk non-migas lain kecuali batubara. Hal ini

mendukung pernyataan bahwa agroindustri kelapa sawit dapat merupakan motor penggerak

ekonomi Indonesia.

Suatu penghambat menurut BAPPENAS (2010) adalah adanya kesenjangan produktivitas

antara perkebunan rakyat (13,61 ton TBS/ha/tahun) dengan perkebunan besar negara (16,98 ton

TBS/ha/th) dan perkebunan besar swasta (16,69 ton TBS/ha). Selain itu juga diperlukan

sertifikasi yang disyaratkan oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dari institusi yang

berwenang agar ekspor minyak sawit dapat diterima Eropa (Gumbira-Sa’id, 2009).

Gambar 1.1 Nilai ekspor minyak sawit Indonesia menurut kelompok (PKPN, 2011)

(29)

Teoh (2011) menguraikan masalah yang serupa. Pengamatan tahun 2008 di Indonesia

produktivitas petani hanya 2,52 ton CPO/ha, lebih rendah 35% dan 40% dari kebun milik swasta

dan milik Negara, padahal secara teori harusnya bisa mencapai 8,6 ton CPO/ha. Pada situasi

monopsonistik di daerah-daerah maka kekuatan tawar petani adalah lemah. Mulyana (2004)

menyatakan kejadian yang sama. Konflik lahan yang timbul dari kepemilikan ganda atau kurang

jelas telah banyak dilaporkan di Indonesia (WG, 2011). CAO (2009) melaporkan keprihatinan

tentang produktifitas petani kecil yang rendah dan kesenjangan besar dalam keuntungan per

hektar dibandingkan dengan perkebunan; kurangnya akses ke layanan keuangan dan teknis; dan

kurangnya perwakilan yang memadai dalam perencanaan dan pengambilan keputusan di tingkat

perusahaan perkebunan dan industri minyak sawit. Mulyana (2004) menguraikan bahwa petani

sawit menerima harga TBS yang rendah padahal menghadapi risiko lebih tinggi dibandingkan

dengan pabrik CPO yang mempertahankan tingkat margin usahanya.

Disertasi ini berusaha mengembangkan suatu model yang menggambarkan interaksi

rantai nilai agroindustri kelapa sawit yang memberikan tingkat keuntungan yang seimbang

dengan bobot risikonya kepada para pelaku atau stakeholder. Alasan utama perlunya hal ini

dikembangkan adalah bahwa secara prinsip dan pengalaman sejarah, adilan atau

ketidak-seimbangan tingkat keuntungan dan risiko antara sisi hilir dan sisi hulu suatu rantai pasok yang

berlangsung lama akan merugikan semua pihak yang terlibat. Persoalan pokok yang dibahas

dalam penelitian ini adalah menyeimbangkan tingkat nilai tambah para stakeholder berdasarkan

tingkat risiko yang dihadapinya. Nilai tambah dihitung dengan memperhatikan aturan interaksi

antara para stakeholder sesuai dengan tujuan usaha masing-masing. Untuk menghitung nilai

tambah pada rantai pasok agroindustri terdapat beberapa pendekatan. Dalam penelitian ini

dipelajari metode mana yang dapat digunakan secara praktis dengan mempertimbangkan

karakteristik investasi, motif usaha, siklus hidup usaha, dan ketersediaan data para pelaku rantai

pasok minyak sawit (RPMS).

Pada disertasi ini pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana

mengupayakan keseimbangan distribusi nilai tambah yang adil berdasarkan bobot risiko untuk

para pelaku RPMS, agar terjadi arus produk, informasi dan dana secara berkelanjutan dan jangka

(30)

Pertanyaan penelitian tersebut untuk praktisnya diuraikan sebagai berikut:

1. Metode apa yang saat ini digunakan untuk menghitung nilai tambah setiap pelaku

pada rantai pasok agroindustri kelapa sawit, dan apa saja kelebihan dan keterbatasan

metode tersebut?

2. Bagaimana mengatasi keterbatasan metode tersebut untuk dapat mengupayakan

beroperasinya rantai pasok secara berkelanjutan (sustainable)?

3. Bagaimana perimbangan bobot risiko dan nilai tambah antara para pelaku tersebut

dan apakah perimbangan tersebut cukup adil?

4. Apa saja prinsip keadilan yang layak diterapkan, dan bagaimana perimbangan

tersebut dapat diubah agar terjaga prinsip keadilan dalam rantai pasok tersebut?

5. Pendekatan model rantai pasok minyak sawit yang bagaimana yang dapat mewakili

perilaku para pelaku yang dinamis dan masing-masing mempunyai tujuan

sendiri-sendiri, tetapi harus dapat saling memperhatikan dan mempertimbangkan tujuan

pelaku lain yang berinteraksi dengannya?

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dibagi dalam dua tingkat, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

Tujuan umum adalah untuk menghasilkan model yang menggambarkan interaksi hubungan kerja

antara para pemangku kepentingan dalam RPMS. Setiap pemangku kepentingan akan berusaha

meng-optimumkan nilai tambahnya, tetapi distribusi nilai tambah untuk masing-masing pelaku

harus seimbang untuk menjaga kesinambungan keseluruhan rantai pasok.

Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui para pemangku kepentingan yang aktif dan dominan terlibat dalam

interaksi yang mengupayakan lancarnya arus barang, uang dan informasi dari RPMS.

2. Mengembangkan model untuk mengukur bobot risiko antara para pelaku RPMS serta

mengetahui strategi mana yang terbaik untuk meningkatkan nilai tambah RPMS.

3. Memilih dan memperbaiki model pengukuran nilai tambah para pelaku RPMS yang

memenuhi prinsip keseimbangan dengan distribusi bobot risiko dan berkelanjutan.

4. Mengetahui karakteristik interaksi antar para pemangku kepentingan sehingga dapat

ditentukan prosedur negosiasi pencapaian keseimbangan nilai tambah. Karakteristik

ini akan dinyatakan dalam aturan-aturan (rules) yang akan diikuti dan dipatuhi oleh

(31)

5. Menghasilkan model berdasarkan konsep Sistem Multi Agen (SMA) sebagai dasar

untuk menyusun formulasi fungsi tujuan masing-masing pemangku kepentingan

dalam hal optimasi nilai tambah usahanya.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian bagi keseluruhan aktor rantai pasok minyak sawit dan bagi

masyarakat ilmiah dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Mendapatkan gambaran umum dari permasalahan yang dihadapi para stakeholder

dalam rantai pasok minyak sawit.

2. Model-model yang akan dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai kerangka pikir untuk

melakukan upaya-upaya meningkatkan keseimbangan yang adil dalam rantai pasok

minyak sawit.

3. Mendapatkan pola kerjasama yang menjamin keberlangsungan rantai pasok minyak

sawit dari hulu sampai hilir dengan terjadinya optimasi distribusi nilai tambah.

1.4 Asumsi-asumsi Pokok

Pemodelan adalah kegiatan yang sulit dilaksanakan untuk sistem yang kompleks seperti

halnya rantai pasok minyak sawit dari hulu ke hilir. Sangat banyak perilaku kegiatan bisnis

beserta interaksi antar pelaku yang terjadi. Keputusan-keputusan yang diambil dan variabel

yang diperhatikan sangat banyak. Untuk dapatnya dilakukan pemodelan yang praktis dan

rasional maka pada penelitian ini penulis menggunakan asumsi-asumsi pokok sebagai berikut.

1. Sepanjang rantai pasok akan terjadi pertambahan nilai produk pada setiap pelaku atau

pemangku kepentingan. Akumulasi nilai tambah sepanjang rantai pasok berakhir pada

harga yang dibayar oleh konsumen.

2. Keuntungan atau nilai tambah dihasilkan sebagai selisih dari harga jual dengan

biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Nilai tambah ini sudah memperhitungkan risiko-risiko

yang dihadapi.

3. Negosiasi akan terjadi diantara dua aktor yang bersebelahan dalam rantai pasok

dengan masing-masing mengoptimumkan pencapaian tujuan usahanya. Setiap aktor

dalam rantai pasok memiliki beberapa pertimbangan berbeda dalam bernegosiasi.

4. Risiko-risiko yang dihadapi oleh para stakeholder bersifat tidak tergantung satu sama

lain. Urutan tingkat risiko merupakan pertimbangan yang rasional untuk urutan

(32)

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Seperti diuraikan pada asumsi-asumsi di atas, penelitian akan mencakup keseluruhan

siklus rantai pasok dari sisi petani/kebun, pengepul, pabrik minyak kelapa sawit, pabrik lanjutan

(minyak goreng) disisi hilir, distributor/pengecer, dan konsumen. Batasan ruang lingkup

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk membatasi penelitian agar dapat dilaksanakan dengan baik maka dipilih

beberapa perwakilan dari masing-masing aktor atau pemangku kepentingan. Untuk

produk industri hilir dipilih satu jenis industri pengolah saja yaitu refinery atau

pabrik minyak goreng sawit (MGS). Nilai penjualan produk sampingan berupa stearin

dan Palm fatty acid distillate (PFAD) tetap diperhitungkan sebagai pendapatan pabrik

MGS.

2. Interaksi antar pemangku kepentingan diutamakan kepada yang bersifat transaksi

kuantitatif dan rasional.

3. Penyusunan model rantai pasok minyak sawit dengan Sistem Multi Agen

menggunakan suatu perangkat lunak yang dipilih dari beberapa jenis yang sudah

tersedia dan berdasarkan konsep open source. Dengan demikian penulis dapat

menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak pendukung yang sudah dimiliki.

4. Formulasi perhitungan nilai tambah menggunakan pendekatan metode Hayami yang

dimodifikasi.

1.6 Kebaruan Penelitian

Kebaruan pertama yang diajukan pada penelitian ini adalah pengembangan (scaling-up)

metode perhitungan nilai tambah Hayami (1987). Kebaruan kedua adalah usulan formula utilitas

nilai tambah yang merupakan fungsi dari tingkat risiko dan investasi.

Pada model yang asli, metode Hayami menghitung nilai tambah untuk satu pelaku, satu

jenis komoditas, dalam satu siklus usaha dan kurun waktu pendek dibawah satu tahun. Dengan

modifikasi maka metode ini dapat menghitung nilai tambah untuk beberapa pelaku usaha yang

terikat dalam suatu rantai pasok. Harga jual produk dari satu pelaku menjadi harga beli atau

biaya bahan dari pelaku berikutnya. Fokus perhatian metode yang dimodifikasi adalah kepada

pelaku rantai pasok dalam kesatuan.

Sebagai kebaruan kedua diusulkan formula utilitas nilai tambah sebagai berikut. Formula

(33)

dan bobot nilai investasi dari pelaku rantai pasok tertentu. Motif dari usulan ini adalah

merumuskan keadilan bagi pelaku rantai pasok sebagai berikut. Apabila bobot risiko yang

dihadapi pelaku adalah tinggi maka seharusnya pelaku tersebut menerima nilai tambah yang

tinggi. Sebaliknya apabila bobot risiko yang pelaku tersebut rendah maka nilai tambah yang

didapatnya harus rendah pula. Demikian juga bila bobot investasi yang dikeluarkan pelaku

adalah tinggi maka nilai tambah yang diterimanya seharusnya tinggi. Sebaliknya bila bobot

investasinya rendah maka rendah pula penerimaan nilai tambahnya. Dalam suatu rantai pasok

yang terdiri dari beberapa pelaku akan terdapat perbedaan bobot risiko dan bobot investasi.

Perbandingan nilai tambah yang adil bagi para pelaku seharusnya ditentukan oleh perbandingan

bobot risiko dan bobot invetasinya. Formulasi utilitas nilai tambah ini diuraikan secara lebih jelas

(34)

7

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rantai Pasok

2.1.1 Pengertian Rantai Pasok

Rantai pasok atau supply chain adalah serangkaian kumpulan dari perusahaan yang saling

tergantung secara berurutan dan bekerjasama dalam pengendalian, pengelolaan dan perbaikan

arus barang dan informasi dari sisi penyalur sampai ke sisi pengguna akhir (Christopher, 2005;

Pujawan dan Mahendrawathi, 2010). Selanjutnya Walker (2008) mendefinisikan rantai pasok

atau supply chain sebagai jaringan global yang digunakan untuk menyampaikan barang atau jasa

dari mulai bahan baku sampai kepada pengguna-akhir melalui suatu arus informasi, distribusi

fisik, dan uang. Menurut Vorst (2004) rantai pasok adalah jaringan fisik dan aktivitas yang

terkait dengan aliran bahan dan informasi di dalam atau melintasi batas-batas perusahaan.

Mekanisme rantai pasok produk pertanian secara alami dibentuk oleh para pelaku rantai pasok

itu sendiri. Adanya kelemahan-kelemahan produk pertanian, seperti mudah rusak, musiman,

jumlah yang banyak dengan nilai relatif kecil, tidak seragam, akan mempengaruhi mekanisme

pemasaran, sering kali menyebabkan fluktuasi harga, yang akan merugikan pihak petani dan

produsen (Marimin dan Magfiroh, 2010).

Manajemen rantai pasok adalah upaya mengintegrasikan pengelolaan pasokan dan

permintaan di dalam dan antar perusahaan, dan bertanggung-jawab menterpadukan fungsi-fungsi

bisnis dan proses-proses bisnis di dalam dan antar perusahaan dalam suatu model perusahaan

yang unggul (Vitasek, 2003).

Manajemen rantai pasok adalah usaha yang sangat sulit terutama karena 3 hal yaitu:

1) Perusahaan dalam rantai pasok tidak lagi membuat keputusan sendiri-sendiri tetapi harus

memperhatikan dan memprediksi keputusan yang diambil atau mungkin akan diambil

perusahaan lain dalam rantai pasok tersebut (Simchi-Levi et al., 2004). Secara tradisional

fungsi-fungsi dalam suatu perusahaan seperti pengadaan, produksi, keuangan dan

pemasaran mungkin telah mengambil keputusan-keputusan yang mungkin merugikan

karena masing-masing dapat saja mempunyai tujuan yang berlawanan. Hal ini akan

membebani perusahaan dengan biaya dan pemborosan.

2) Terjadi dinamika rantai pasok karena adanya interaksi antar anggota rantai pasok tersebut

(35)

pembayaran, dll. Interaksi ini terus berubah sehingga sebetulnya suatu jaringan rantai

pasok tidak pernah mencapai keadaan stabil.

3) Rantai pasok modern adalah sangat kompleks karena terdapatnya arus barang dan

informasi yang bertujuan untuk menjamin bahwa produk yang benar, dengan jumlah

yang benar, dikirimkan ke tempat yang benar, dengan jumlah, harga dan waktu serta

biaya yang benar (Chapman et al., 2002). Kemudian riset dari DTT (2003) melaporkan 3

trend yang kritis sebagai berikut:

a) Tekanan terus menerus kepada perusahaan untuk selalu meminimalkan biaya

rantai pasok sejak dibuatnya konsep produk, produksi dan seterusnya sampai ke

pengirimannya ke konsumen.

b) Mengejar pasar dan saluran bisnis yang baru dan menarik.

c) Semakin cepatnya inovasi produk.

Oleh karena itu diperlukan ketangguhan rantai pasok untuk dapat bertahan beroperasi

secara efektif dan efisien menghadapi kesulitan-kesulitan tersebut. Pada sisi hulu terdapat 2

macam sumber tandan buah segar kelapa sawit (TBS) yaitu Kebun swadaya dan Kebun

Inti-Plasma. Kebun swadaya dimiliki oleh petani swadaya. Untuk makalah ini pabrik CPO/PKO

adalah Perusahaan Perkebunan Nasional milik Pemerintah (PTPN), sedangkan Kebun petani

plasma dimiliki oleh petani tetapi dalam kontrak pemeliharaan dan jual-beli hasil dengan PBSN

maupun PTPN.

Rantai pasok atau supply chain adalah jaringan perusahaan-perusahaan yang secara

bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan menghantarkan suatu produk ke tangan pelanggan

atau pemakai akhir (Chopra dan Meindl, 2007; Pujawan dan Mahendrawathi, 2010).

Perusahaan-perusahaan tersebut meliputi pemasok, pabrik, distributor, toko atau pengecer, serta

perusahaan-perusahaan pendukung seperti perusahaan jasa logistik.

2.1.2 Manajemen Rantai Pasok (Supply Chain Management)

Istilah Manajemen Rantai Pasok (Supply Chain Management, SCM) dipopulerkan

pertama kalinya pada tahun 1982 sebagai pendekatan manajemen persediaan yang menekankan

pada pasokan bahan baku. Pada tahun 1990-an isu manajemen rantai pasok telah menjadi agenda

para manajemen senior sebagai kebijakan strategis perusahaan. SCM adalah keterpaduan dari

perencanaan, koordinasi dan kendali seluruh proses dan aktivitas bisnis dalam rantai pasok untuk

(36)

memenuhi kebutuhan kepuasaan para pihak yang berkepentingan dalam rantai pasok tersebut

(Simchi-Levi et al., 2004). Ellram (1991) mendefinisikan SCM sebagai pendekatan integratif

dalam menangani masalah perencanaan dan pengawasan aliran material dari pemasok sampai ke

pengguna. Pendekatan ini ditujukan untuk pengelolaan dan pengawasan hubungan saluran

distribusi secara kooperatif untuk kepentingan semua pihak yang terlibat, untuk mengefisienkan

penggunaan sumberdaya dalam mencapai tujuan kepuasan konsumen rantai pasokan secara total.

Penggunaan istilah rantai dalam SCM benar-benar menunjukkan sebuah rantai (jaringan kerja)

perusahaan-perusahaan yang saling berinteraksi untuk mengantarkan produk/jasa ke konsumen

akhir, mengaitkan aliran dari bahan mentah sampai pengguna terakhir.

Para manajer senior menyadari bahwa keunggulan daya saing perlu didukung oleh

aliran bahan baku dari hulu (pemasok) hingga hilir (pengguna akhir) secara efisien dan efektif.

Sebagai pendukung kelancaran arus barang maka harus terjadi juga aliran informasi yang terkait.

Gambar 2.1 menguraikan tahapan yang harus dilalui oleh aliran barang dari hulu hingga hilir,

yaitu pemasok, pabrik, distribusi, ritel dan konsumen akhir.

Gambar 2.1 Skema sistem rantai pasok (Vorst, 2004)

Pengelolaan atau manajemen rantai pasok adalah keterpaduan antara perencanaan,

koordinasi dan kendali seluruh proses dan aktivitas bisnis dalam rantai pasok untuk

menghantarkan nilai maksimal dari konsumen dengan biaya termurah kepada pelanggan. Rantai

pasok lebih ditekankan pada sisi aliran bahan dan informasi, sedangkan manajemen rantai pasok

menekankan pada upaya memadukan kumpulan rantai pasok (Vorst, 2006). Pada tingkat

agroindustri, manajemen rantai pasok memberikan perhatian pada pasokan, persediaan dan

transportasi pendistribusian produk-produk pertanian. Kelembagaan rantai pasok adalah

(37)

hubungan manajemen atau sistem kerja yang sistematis dan saling mendukung diantara beberapa

lembaga kemitraan rantai pasok suatu komoditas (Marimin dan Magfiroh, 2010).

Brown (1994) mengatakan bahwa untuk mendapatkan pasokan bahan baku yang

berkualitas diperlukan standar dasar komoditas, sedangkan kuantitas pasokan perlu

memperhatikan produktivitas tanaman. Pasokan bahan baku dalam agroindustri mempunyai

karakteristik musiman, mudah rusak, beragam, dan kamba. Manajemen rantai pasok memberikan

perhatian pada pasokan, persediaan dan transportasi pendistribusian sebagai strategi mengurangi

resiko kerusakan atau penurunan kualitas produk secara total serta meminimasi biaya. Rantai

pasok adalah jaringan pelayanan, material dan aliran informasi yang menghubungkan keterkaitan

dengan pelanggan, proses pemenuhan order, serta proses keterkaitannya dengan para supplier

dan pelanggannya.

Sinkronisasi dari proses perusahaan terhadap pemasok disesuaikan dengan aliran

barang/bahan, jasa dan informasi dari permintaan. Implikasi strateginya akan melibatkan

koordinasi dari proses kunci di perusahaan seperti penerimaan order (pesanan), pemenuhan

order dan pembelian yang didukung oleh fungsi pemasaran, keuangan, sistem informasi,

operasional dan logistik. Beberapa pemain utama yang merupakan pelaku-pelaku yang

mempunyai kepentingan dalam manajemen rantai pasok adalah para pemasok, produsen,

distributor, retail outlets dan pelanggan.

Menurut Austin (1981) agroindustri menjadi pusat rantai pertanian yang berperan

penting dalam meningkatkan nilai tambah produk pertanian di pasar. Agroindustri membutuhkan

pasokan bahan baku yang berkualitas dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan. Menurut

Brown (1994) untuk mendapatkan pasokan bahan baku yang berkualitas diperlukan standar dasar

komoditas, sedangkan kuantitas pasokan perlu memperhatikan produktivitas tanaman. Gambar

2.2 menunjukkan aliran produk disetiap tingkatan rantai pasok dalam konteks jejaring rantai

pasok pertanian menyeluruh. Setiap perusahaan diposisikan dalam sebuah titik dalam lapisan

jaringan.

Beberapa pembahasan rantai pasok agroindustri yang telah dilakukan diantaranya

Wouda et al., (2001) menggunakan programa linier untuk komoditas susu, Vorst (2007) untuk

agroindustri peternakan menggunakan model simulasi untuk membahas persediaan dan distribusi

untuk produk pangan. Beberapa hasil penelitian ini memperlihatkan perkembangan baik

(38)

merupakan salah satu masalah yang menarik untuk dipelajari dan dikembangkan model

pengambilan keputusannya.

2.1.3 Rantai Pasok dan Rantai Nilai

Istilah rantai pasok diambil dari pengertian dalam uraian pada buku Porter (1985) yang

berjudul Competitive Advantage. Didalam suatu organisasi rantai nilai mencakup semua kegiatan

yang menyentuh produk atau pelanggan, termasuk kegiatan logistik masuk (inbound logistics),

produksi atau kegiatan operasional, logistik keluar (outbound logistics), pemasaran, dan

penjualan dan jasa. Analisa Rantai nilai dapat digunakan untuk mengukur kelayakan komersial

dan teknikal dai suatu usulan proyek. Salah satu sarana pengukur yang layak untuk kelayakan

politis adalah melaksanakan analisa dampak ekonomi-sosial. Didalam suatu sistem ekonomi

yang sedang tumbuh, pemerintah pusat maupun lokal mungkin saja cemas atau ragu-ragu

terhadap dampak suatu kegiatan kerjasama yang baru didalam suatu pasar yang sudah ada

(Roekel et al., 2009). Didalam konsep rantai nilai, ada fungsi atau komponen kegiatan-kegiatan

yang mendukung usaha pokok, yaitu Pengadaan, Teknologi, SDM, dan sarana infrastruktur

seperti jalan raya.

Setiap organisasi mengaitkan jaringan rantai pasoknya dengan rantai nilai dengan

komponen-komponen yang serupa. Porter (1985) juga menambahkan unsur profit margin

(39)

dibayar pelanggan dan harga atau biaya kegiatan rantai nilai tersebut. Keuntungan yang lebih

tinggi berarti bahwa organisasi mempekerjakan kapasitas atau kemampuan produksinya

sedemikian rupa sehingga dapat memberikan nilai tambah kepada para pelanggannya, yang

diukur dari kerelaannya membayar untuk jasa atau produk tersebut. Kegiatan rantai pasok

merupakan sub-set dari value chain yang meliputi kegiatan inbound logistics, operations,

outbound logistics, marketing dan services. Kegiatan pemindahan barang atau logistik

merupakan pekerjaan pokok para pengepul dan distributor yang termasuk proses value chain dan

turut memberikan nilai tambah terhadap produk yang dipindahkan (Porter, 1985). Pada

prinsipnya nilai tambah yang dibahas pada penelitian ini adalah keuntungan (profit) yang

merupakan selisih dari hasil penjualan produk dikurangi biaya bahan dan biaya pengolahan.

2.1.4 Kemitraan dengan Pemasok

Menurut Wong (2002) kemitraan di antara anggota rantai pasok dilakukan untuk

menjamin kualitas produk dan efektivitas rantai pasok yang selanjutnya akan menghasilkan

solusi untuk kepentingan bersama. Pengembangan rantai pasok yang efektif dilakukan melalui

beberapa tahap sebagai berikut.

Pertama, memilih kelompok pemasok berdasarkan reputasi industri dan transaksi

sebelumnya tentang harga dan kualitas melalui program penilai pemasok. Proses ini dilakukan

untuk mendapatkan pemasok terbaik dalam industri yang menjamin kualitas pasokan.

Kedua, memilih pemasok yang memiliki manajemen rantai pasok berhubungan erat

dengan strategi perusahaan. Langkah ini akan meminimalkan peluang terjadinya konflik target

strategis dengan para mitra. Kemitraan rantai pasok bersifat jangka panjang dan merupakan

keputusan penting yang membutuhkan komitmen semua pihak.

Ketiga, membentuk kemitraan rantai pasokmelalui negosiasi dan kompromi.

Keempat, membangun sarana untuk menjamin pengetahuan tentang informasi produksi

yang diberikan tepat waktu melalui perjanjian teknologi. SCM harus menjamin ketepatan waktu,

efektivitas biaya dan sistem informasi yang komprehensif untuk menyediakan data yang

dibutuhkan dalam membuat keputusan pasokan yang optimum.

Kelima, disusun sistem monitoring yang memantau kinerja mitra. Proses ini dimaksudkan

untuk memelihara hubungan dengan pemasok dalam menjamin administrasi yang lancar dan

(40)

2.2 Kelapa Sawit

2.2.1 Pohon Industri Kelapa Sawit

Kelapa sawit atau Elaeis guineensis, aslinya berasal dari Afrika (Basiron et al., 2004).

Nilai komersial pokok tanaman ini terletak pada minyak yang dapat diambil dari mesocarp dan

kernel. Gambar 2.3 menunjukkan buah kelapa sawit pada penampang membujur. Gambar 2.4

memperlihatkan kebun sawit dengan buah unggulan.

Gambar 2.3 Buah kelapa sawit penampang membujur (Mahfot, 2011)

Kelapa sawit digunakan terutama untuk membuat minyak goreng, margarin dan

shortening; juga sebagai bahan sarana non-makanan seperti sabun, deterjen, dan kosmetik.

Gambar 2.4 Kebun sawit dengan buah unggulan (Teoh, 2009)

Gambar 2.5 menunjukkan Pohon Industri Kelapa Sawit. Tandan Buah Segar (TBS)

adalah hasil panen petani kelapa sawit ataupun kebun kelapa sawit. Buah kelapa sawit yang

terdiri dari daging dan biji kelapa sawit merupakan sumber utama dari minyak sawit. Ruang

lingkup produk penelitian ini dibatasi pada jalur yang diberi warna kuning, yaitu buah, daging

(41)
(42)

Kelapa sawit diperkenalkan ke Indonesia berupa 4 bibit kelapa sawit dari Mauritius oleh

pemerintah Belanda pada tahun 1848, dan ditanam di kebun Raya Bogor (Teoh, 2009). Pada

tahun 1911, kelapa sawit mulai dibudidayakan secara komersial. Luas areal perkebunan

mencapai 5.123 Ha. Pada masa pendudukan Jepang, perkebunan kelapa sawit menyusut sebesar

16% sehingga produksi minyak sawitpun hanya mencapai 56.000 ton pada tahun 1948. Pada

masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka menciptakan

kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sektor penghasil devisa Negara.

Pada tahun 1980, luas lahan mencapai 294.560 Ha dengan produksi CPO sebesar 721.172 ton.

Sejak itu lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan

rakyat dengan pelaksanaan program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan.

2.2.2 Proses-proses Pengolahan Kelapa Sawit

1) Proses Awal TBS Menjadi Minyak Sawit

Diagram alir pengolahan awal kelapa sawit ditunjukkan pada Gambar 2.6 (BSPJ, 2009).

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan minyak sawit (CPO) adalah buah kelapa sawit

yang terdapat dalam tandan buah segar (TBS). Minyak sawit diperoleh dari daging buah

(mesokarp) dan endosperm (dari inti ) buah segar kelapa sawit. Proses pengolahan TBS menjadi

minyak sawit dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu sterilisasi, perontokan buah (pemipilan),

pengepresan (ekstraksi), dan pemurnian minyak. Sementara itu biji yang dihasilkan memerlukan

tahapan pengolahan lebih lanjut untuk menghasilkan minyak inti sawit (PKO).

(43)

2) Proses Lanjutan Minyak Sawit Menjadi RBDPO (Minyak Goreng)

Diagram alir proses pengolahan minyak sawit menjadi minyak goreng (RBDPO)

ditunjukkan pada Gambar 2.7 (BPPMD, 2009). Proses tersebut pada dasarnya terdiri dari 3

langkah yaitu (1) Proses Degumming, (2) Proses Pemucatan (Bleaching) dan (3) Proses

Deodorisasi-Fraksinasi (Hariyadi, 2007).

Gambar 2.7 Diagram alir proses refinery (BPPMD, 2009)

1) Proses Degumming. Secara teknis degumming adalah proses operasional pemurnian

minyak yang mengandung impurities dalam bentuk koloid atau terlarut. Degumming

adalah proses untuk membuang gums yang tidak diinginkan, yaitu phosphatide yang

dapat mengganggu stabilitas produk akhir yaitu adanya flavor dan warna yang buruk,

serta menyingkat waktu simpan (Hariyadi, 2007).

2) Pemucatan - Bleaching. Proses pemucatan (bleaching) adalah proses yang selektif dalam

(44)

kualitasnya. Dengan demikian proses ini dapat juga disebut proses pemurnian. Pemucatan

adalah proses penjerapan secara fisik dengan menggunakan bleaching earth atau karbon

aktif untuk lebih jauh membuang zat-zat yang tidak diinginkan seperti residu sabun

(untuk menetralkan minyak), presipitasi gum, logam, produk-produk oksidasi dan pigmen

warna seperti klorofil.

3) Deodorisasi dan Fraksinasi. Degummed and bleached palm oil (DBPO) kemudian

dialirkan ke deodorizer untuk proses deacidifikasi dan deodorisasi. Kemudian RBDPO

disaring melalui penyaring pengendap lain untuk menghasilkan minyak yang lebih murni,

dialirkan lagi ke PHE untuk memanaskan minyak sawit yang baru masuk pretreatment,

dan akhirnya dipompa ke tangki timbun pada suhu 50o-80oC. Untuk menghasilkan

produk-produk turunan lain proses dapat dilanjutkan dengan proses Fatty Acid

Distillation Plant (FADP) atau Dry Fractionation Plant untuk mendapatkan PFAD,

Refined, Bleached, Deodorized Palm Olein (RBDPO) serta Refined, Bleached,

Deodorized Palm Stearin (RBDPS). Fraksinasi digunakan untuk menghasilkan beberapa

grade olein sawit (grade normal, grade super dan olein. Seperti halnya pada proses

industri kimia yang lain maka proses pembuatan CPO/RBDPO ini memerlukan

kondisi-kondisi operasional seperti suhu, tekanan, bahan baku, perlengkapan dan peralatan

proses, adanya katalist, dll yang harus diikuti untuk mendapatkan hasil maksimal dengan

kualitas maksimal pula (Hariyadi, 2007).

Industri pembuatan RBDPO dan produk turunannya dari minyak sawit saat ini sangat

diperlukan dan menguntungkan bagi negara Indonesia karena kebutuhan akan minyak goreng

(RBDPO) adalah kebutuhan sehari-hari dan akan terus dibutuhkan. Pabrik RBDPO sangat

banyak dan persaingan pasar sangat ketat antara semua produsen. Penggunaan bahan baku yang

baik, proses produksi yang terbukti aman bagi pemakai akhir, serta harga yang terjangkau akan

memberikan pangsa pasar yang bagus bagi produsennya.

Untuk menambah daya saing Indonesia didunia internasional sudah selayaknya

diupayakan berdirinya industri-industri turunan minyak sawit menjadi olein dan produk-produk

lain yang bernilai jauh lebih tinggi. Perjuangan untuk merebut pasar lokal maupun internasional

sangat perlu dilakukan, dan kita tidak seharusnya bertahan pada posisi sebagai penghasil dan

(45)

2.2.3 Rantai Pasok Industri Minyak Sawit

Pada disertasi ini diambil sudut pandang kegiatan usaha, artinya rantai pasok dilihat

sebagai suatu urutan dari proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan dan arus produk,

informasi dan dana, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, dan hal-hal tersebut

berlangsung didalam dan diantara tahap-tahap rantai pasok yang berbeda. Rantai pasok yang

sesungguhnya akan meliputi pengembangan produk, pemasaran, kegiatan operasional, distribusi,

keuangan, dan pelayanan kepada pelanggan (Chopra dan Meindl, 2007).

2.3 Nilai Tambah dan Risiko

2.3.1 Pengertian Umum Nilai Tambah

Nilai tambah dapat didefinisikan sebagai pertambahan nilai yang terjadi pada suatu

komoditas karena komoditas tersebut mengalami proses pengolahan lebih lanjut dalam suatu

proses produksi (Coltrain et al., 2000). Menurut Hines (2004) nilai tambah adalah “beda antara

biaya input dengan nilai output”. Konsep nilai tambah adalah status pengembangan nilai yang

terjadi karena adanya input fungsional yang diperlakukan pada status komoditas. Input

fungsional adalah perlakuan dan jasa yang menyebabkan bertambahnya kegunaan dan nilai

komoditas selama mengikuti arus komoditas pertanian (Harjanto, 1999). Nilai tambah

merupakan motif utama untuk berdirinya dan berkembangnya suatu usaha. Tanpa nilai tambah

ini maka tidak ada pengusaha ataupun investor yang mau melakukan usaha atau menanamkan

modalnya dalam suatu usaha. Upaya untuk merealisasikan peningkatan keuntungan merupakan

motivasi yang paling kuat yang mendorong seseorang atau organisasi untuk ikut dalam suatu

rantai pasok (Li dan Yuanyuan, 2005).

Bunte (2006) menyatakan bahwa distribusi biaya dan keuntungan yang tidak merata

sepanjang rantai pasok agroindustri membahayakan kelangsungannya, karena menghambat

upaya-upaya modernisasi pertanian tersebut yang pada gilirannya akan menghambat kemajuan

industri tersebut. Bunte (2006) mengamati bahwa porsi keuntungan pelaku pertanian dari tahun

ke tahun di Eropa semakin mengecil dibandingkan para pengolah, perdagangan/distribusi dan

pelayanan jasa makanan. Hal ini disebabkan karena produktivitas dalam bidang pertanian

meningkat lebih tinggi dan cepat dibandingkan dengan bidang manufaktur dan pelayanan jasa

(Bernard dan Jones, 1996). Bunte mengamati juga bahwa faktor produktivitas dalam pertanian

(46)

pelayanan. Sebagai dampaknya bidang pertanian mempekerjakan lebih sedikit faktor produksi

dan porsinya dalam nilai tambah produk makanan menjadi menurun.

2.3.2 Kebutuhan Terhadap Nilai Tambah

Pada setiap bisnis, nilai tambah diperlukan agar pengusaha atau penanam modal

mendapatkan tingkat keuntungan atau nilai tambah yang menarik, yaitu melebihi tingkat

pendapatan pada investasi yang aman seperti deposito di bank atau investasi lain. Distribusi nilai

tambah atau keuntungan sepanjang suatu rantai pasok haruslah adil dan disepakati semua

anggota rantai pasok untuk menjaga kerjasama dan keberlangsungannya (Li dan Yuanyuan,

2005). Salah satu atau sekelompok anggota dapat saja menjadi dominan didalam rantai pasok

tersebut dan berperan sebagai pemimpin serta mengambil porsi yang lebih besar dari keuntungan

pelaku yang lain. Untuk mengatasi dominasi itu harus dilakukan kerjasama antara para pelaku

rantai pasok.

Daya tarik bagi investor atau pengusaha untuk bergerak dalam usaha apapun termasuk

usaha agroindustri adalah adanya pengaturan yang seimbang antara risiko dan imbalan

(keuntungan) (Preckel et al., 2004). Van Staden (2000) mendefinisikan nilai tambah sebagai nilai

yang diciptakan oleh karena adanya kegiatan suatu perusahaan dan para pekerja atau

karyawannya, dihitung dengan mengurangi penjualan dengan biaya-biaya pembelian

bahan-bahan dan jasa-jasa.

2.3.3 Pengertian Nilai Tambah untuk Penelitian ini

Tujuan dari suatu rantai pasok, termasuk rantai pasok agroindustri adalah menciptakan

nilai tinggi untuk konsumen produk akhirnya (Chen et al., 2010). Untuk tujuan ini sangatlah

penting bahwa kapasitas dan fasilitas produksi dibagikan secara benar kepada para anggota rantai

pasok, dan untuk melakukan hal ini diperlukan informasi yang lengkap dan akurat dari sisi hulu

dan hilir rantai pasok tersebut.

Nilai tambah diperlukan oleh semua pihak yang berkepentingan dalam suatu kegiatan

usaha dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

1) Pengusaha atau penanam modal menginginkan pendapatan dengan tingkat keuntungan

atau nilai tambah yang menarik, yaitu melebihi tingkat pendapatan pada investasi yang

aman seperti deposito di bank atau investasi lain. Tingkat keuntungan ini harus lebih

besar dari “weighted average cost of capital” (WACC) atau “minimum acceptable rate

(47)

2) Pengelola atau manajer yang tidak berhasil menciptakan tingkat keuntungan yang cukup

tinggi untuk dapat memberikan imbalan investasi kepada pemilik modal, akan kehilangan

pekerjaannya. Perusahaan akan dapat bangkrut dan karyawan akan kehilangan nafkahnya

bagi diri dan keluarganya.

3) Perusahaan yang bangkrut akan menyebabkan pemasoknya kehilangan peluang untuk

memasok bahan baku. Bila perusahaan yang bangkrut ini merupakan pembeli yang utama

dari produk yang dihasilkannya maka pemasok inipun akan mengalami kemunduran

usahanya.

4) Para konsumen dari perusahaan yang berhenti beroperasi juga akan terpaksa mencari

perusahaan lain yang memproduksi barang yang sama.

5) Pemerintah akan kehilangan peluang untuk mendapatkan pajak penghasilan dan pajak

perusahaan dari perusahaan yang bangkrut.

Untuk penelitian ini nilai tambah didefinisikan sebagai keuntungan yang didapat suatu

pelaku atau stakeholder. Secara teoritis nilai tambah adalah keuntungan dan dapat dihitung

dengan formula berikut (Salvatore, 2004; Buffett, 2010):

Biaya pengolahan: TC = TFC + TVC ………...………... (1)

Penelitian ini penting untuk dapat melakukan perhitungan nilai tambah yang rasional

seimbang untuk para aktor dalam rantai pasok untuk beragam kondisi dan sifat usaha industri

Gambar

Gambar 2.5 Pohon industri kelapa sawit (KPPU, 2006)
Gambar 2.6 Diagram alir pengolahan awal TBS (BSPJ, 2009)
Gambar 2.7 Diagram alir proses refinery (BPPMD, 2009)
Gambar 2.8 Metode pengurangan untuk menghitung nilai tambah (Cruz, 2011)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berbagai risiko yang terjadi dalam rantai pasok gula rafinasi tersebut antara lain terjadinya loss contain / kehilangan isi (timbangan produk menjadi berkurang),

Risiko rantai pasok biodiesel dari minyak goreng bekas di Kota Padang teridentifikasi se- banyak enam risiko yaitu bahan baku, mutu, transportasi, pasar, produksi, dan

Penelitian ini berjudul ” Identifikasi dan Pengelolaan Risiko Pada Rantai Pasok Supplier Medical Devices Manufacturer dimasa Pandemi COVID-19 Dengan Metode Best

Risiko rantai pasok biodiesel dari minyak goreng bekas di Kota Padang teridentifikasi se- banyak enam risiko yaitu bahan baku, mutu, transportasi, pasar, produksi, dan

Tujuan dari tulisan ini adalah melakukan analisis nilai tambah dan pengukuran kinerja rantai pasok agroindustri minyak kelapa di Kabupaten padang pariaman..

Dengan menggunakan uji hipotesa Neyman-Pearson didapatkan daerah kritis yang menentukan nilai dan pada pemasok dan perusahaan dalam kolaborasi rantai pasok sebagai berikut:.

Penelitian dilakukan dalam kurun waktu Desember 2018 sampai dengan Februari 2019. Pengamatan rantai pasok secara keseluruhan dilakukan di Kabupaten Kampar.

Tujuan dari penelitian ini adalah 1 merancang model rantai pasok minyak nilam di Kabupaten Aceh Jaya untuk menghasilkan alternatif yang terbaik dan 2 menganalisa faktor, pelaku dan