• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan Laut

Laut Indonesia sangat luas, dan memiliki sumber daya yang sangat berlimpah, namun pemanfaatan sumber daya laut juga harus memperhatikan kelestarian laut yang berkelanjutan. Misalnya, penangkapan satu jenis ikan selalu mengandung risiko, bahkan dapat mengancam kepunahan kelangsungan hidup jenis ikan tertentu, pengembangbiakan tidak dapat berlangsung karena pengaruh penangkapan ikan tertentu dengan alat-alat yang digunakan maupun musim yang kurang diperhatikan.

Dengan penangkapan teknologi di bidang perikanan yang memungkinkan penangkapan ikan dalam skala besar, hal tersebut dapat mengakibatkan: (a). kepunahan jenis ikan tertentu; (b). kemunduran bagi perusahaan-perusahaan yang operasionalnya dari penangkapan ikan; (c). penyediaan protein hewani (ikan) mengalami penurunan; (d). fungsi kemajuan teknologi dibidang perikanan berangsur-angsur mengalami penurunan atau hilang fungsinya1.

Masalah lingkungan di laut tersebut menjadi tanggung jawab negara pantai, maka bagi negara yang bersangkutan mengupayakan semaksimal mungkin dalam pengelolaan maupun secara preventif diciptakan berbagai bentuk peraturan. Sebagai tanggung jawab negara tersebut, maka negara yang bersangkutan dapat menentukan: (a). pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran; (b). pencegahan penangkapan ikan dan penyimpanan alat penangkapan ikan yang dapat mengganggu lingkungan; (c). keselamatan pelayaran dan pengaturan lintas laut.

Kesemuanya dituangkan dalam bentuk peraturan dan cara kontrol serta pengawasanya yakni melalui sistem perizinan, yang antara lain memperhatikan: (a). alat-alat penangkapan yang digunakan; (b). syarat-syarat teknis perikanan; (c). penentuan jumlah tangkapan, dan jenis ikan yang boleh ditangkap. Perizinan adalah bentuk preventif terhadap pelanggaran dan menjaga situasi pada kondisi yang diharapkan.2

Izin merupakan impilikasi sistem pengawasan dan sekaligus berfungsi sebagai pengendali setiap kegaitan yang penerapanya dalam bentuk: (a). pemantauan terhadap jumlah ikan hasil penangkapan, jenis, dan hari penangkapan; (b). pengendalian terhadap operasional kapal dan alat yang digunakan; (c). pengawasan terhadap ketaatan dalam mematuhi ketentuan yang ada.3

1 P Joko Subagyo, 1992, Hukum Lingkungan Masalah dan Penanggulanganya, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, hlm.58-59.

2Ibid, hlm.61.

(2)

Hukum Lingkungan

Hukum lingkungan merupakan bidang ilmu yang masih muda, jika dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai aspek lingkungan, maka panjang atau pendeknya sejarah tentang pengaturan tersebut tergantung dari apa yang dipandang sebagai environmental concern. Menurut Moenadjat dalam Koesnadi Hardjasoemantri4

membedakan antara hukum lingkungan modern yang berorientasi kepada lingkungan/environment-oriented law dan hukum lingkungan klasik yang berorientasi kepada penggunaan lingkungan atau use-oriented law. Hukum lingkungan modern menetapkan ketentuan dan norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus menerus digunakan oleh generasi sekarang ataupun generasi mendatang. Sebaliknya hukum lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin, dan dalam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya.

Menurut Takdir Rahmadi5, hukum lingkungan adalah sebuah disiplin dalam ilmu hukum.

Hukum lingkungan memiliki karakteristik yang khas terutama jika dikaitkan penempatannya ke dalam bidang hukum publik dan privat. Kekhasan hukum lingkungan terletak pada substansinya atau kepentingan yang tercakup di dalamnya sangat luas dan beragaam sehingga hukum lingkungan tidak dapat ditempatkan pada salah satu diantara kedua bidang hukum, yakni hukum privat dan publik.

Drupsteen dalam Koesnadi Hardjasoemantri6, mengemukakan bahwa hukum lingkungan

(milieurecht) adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (natuuralijk milieu)

dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Dengan demikian hukum lingkungan merupakan instrumen yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan oleh Pemerintah, maka hujum lingkugnan sebagaian besar terdiri atas hukum pemerintahan (bestuursrecht). Disamping hukum lingkungan pemerintahan (bestuursrecht rechtelijk milieurecht) yang dibentuk oleh pemerintah pusat, ada juga hukum lingkugan pemerintahan yang berasal dari pemerintah daerah dan sebagain lain dibentuk oleh badan internasional atau

4 Koesandi Harjdasoemantri, Edisi VIII, 2000, Op.Cit., hlm. 40.

5 Takdir Rahmadi, Edisi Kedua, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm.28.

(3)

melalui perjajian dengan negara lain. Demikian pula terdapat hukum lingkungan keperdataan, hukum lingkungan ketatanegaraan, hukum lingkungan kepidanaan.

Sedangkan menurut Koesnadi Hardjasoemantri7, di Indonesia, hukum lingkungan meliputi

aspek-aspek sebagai berikut: (a). hukum tata lingkungan, (b). hukum perlindungan lingkungan; (c). hukum kesehatan lingkungan; (d). hukum pencemaran lingkungan (dalam kaitannya dengan misalnya pencemaran oleh industri); (e). hukum lingkungan transnasional/internasional (dalam hubungannya antar negara); (f). hukum sengketa lingkungan (dalam kaitannya dengan permasalahan ganti rugi).

Penegakan Hukum Lingkungan

Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku, yang meliputi 3 (tiga) bidang hukum, yakni administratif, perdata, dan pidana. Penegakan hukum lingkungan adalah upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan ataupun ancaman, sarana adminsitratif, keperdataan, dan kepidanaan.8

Penegak hukum lingkungan (polisi, jaksa, hakim, PPNS, Penasihat Hukum) dapat melakukan penegakan hukum lingkungan secara preventif, represif, sesuai dengan sifat dan efektivitasnya. Penegakan hukum yang bersifat preventif berarti bahwa pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut peristiwa konkrit yang menimbulkan sangkaan bahwa peraturan hukum telah dilanggar.

Instrumen bagi penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan, dan penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan (pengambilan sampel, penghentian mesin-mesin), dalam hal tersebut, penegak hukum yang utama adalah pejabat/aparat pemerintah daerah yang berwenang mencegah terjadinya pencemaran lingkungan.

Penegakan hukum yang bersifat represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan. Penindakan secara pidana umumnya selalu menyusuli pelanggaran peraturan dan biasanya tidak dapat meniadakan akibat pelanggaran tersebut. Untuk menghindari penindakan pidana secara berulang-ulang maka pelaku/pencemar yang harus menghentikan tindakan itu.9

7 Ibid, hlm.44.

8 Niniek Suparni, Cetakan Ke-2, 1994, Pelestarian, Pengeloaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.161.

(4)

Penagakan Hukum Lingkungan Melalui Sarana Administrasi

Sarana administratif bersifat preventif dan bertujuan menegakan peraturan perundang-undangan (misalnya, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri) dengan ancaman sanksi administrasi. Disamping pembinaan berupa petunjuk, dan panduan serta pengawasan administratif, kepada pengusaha di bidang industri hendaknya juga ditanyakan dan disosialisasikan manfaat konsep pollution prevention pays (pencegahan pencemaran menguntungkan) dalam produksinya.

Sarana administratif dapat ditegakan dengan kemudahan-kemudahan terutama di bidang keuangan, seperti keringanan bea masuk alat-alat pencegahan pencemaran dan kredit Bank untuk biaya pengelolaan lingkungan. Penindakan represif oleh pengusaha terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan lingkungan administratif pada dasarnya bertujuan untuk mengakhiri langsung keadaan terlarang itu.

Sanksi administratif terutama memiliki fungsi instrumental (een instrumentele functie), yakni penanggulangan dan pengendalian perbuatan terlarang. Sanksi administratif terutama ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar tersebut. Beberapa jenis penegakan hukum administratif adalah (a). penyerasian peraturan/harmonisering; (b). tindakan paksa/bestuursdwang; (c). uang paksa/publiekrechtelijke dwangsom; (d). penutupan tempat usaha/ sluiting van een inrichting; (e). penghentian kegiatan mesin perusahan/buitengebruiksteling van een toestel; (f). pencabutan izin melalui proses teguran, paksaan kepolisian, penutupan, dan uang paksa.

Dalam UUPPLH 2009, upaya pengawasan terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup diatur dalam Pasal 71 hingga Pasal 74. Dalam upaya pengawasan diberlakukan mekanisme pengawasan 2 (dua) jalur, yakni Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha/dan atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh Pemerintah Daerah terjadi pelanggaran serius yang berakibat meresahkan masyarakat di bidang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.

(5)

tanpa melalui proses peradilan. Namun, Keputusan TUN tersebut dapat digugat melalui mekanisme gugatan tata usaha negara jika dirasa merugikan.

Penagakan Hukum Lingkungan Melalui Sarana Keperdataan

Penggunaan sarana keperdataan dalam menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup. Menurut Paulus Effendie Lotulong dalam Niniek Suparni10pada

hakikatnya memperluas upaya penegakan hukum dari berbagai peraturan perundang-undangan, hal tersebut disebabkan:

a) Melalui hukum perdata dapat dipaksakan ketaan pada norma hukum lingkungan, baik yang bersifat privat ataupun publik. Misalnya, wewenang hakim perdata untuk menjatuhkan putusan yang berisi perintah atau larangan terhadap seseorang yang telah bertindak secara bertentangan dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam suatu surat izin (verguning) yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup;

b) Hukum perdata dapat memberikan penentuan norma (norma stelling) dalam masalah lingkungan hidup. Misalnya melalui putusan Hakim Perdata dapat dirumuskan norma tentang tindakan yang cermat (zorgvuldigheidsnormen) yang selayaknya diharapkan dari seseorang dalam hubungan masyarakat;

c) Hukum perdata memberikan kemungkinan untuk mengajukan gugatan ganti rugi atas pencemaran lingkungan terhadap pihak yang menyebabkan timbulnya pencemaran tersebut

UUPPLH 2009 memberikan pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui jalur pengadilan ataupun diluar pengadilan. Pilihan tersebut dilakukan sukarela oleh para pihak yang bersengketa11. Jika para pihak sepakat menyelesaikan sengketa

lingkungan melalui mekanisme di luar pengadilan, maka gugatan melalui mekanisme pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berhasil12.

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian, tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau kerusakan, tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau kerusakan, serta tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif

10 Ibid, hlm. 172-173.

(6)

terhadap lingkungan hidup. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya dapat menggunakan jasa mediator atau arbiter.13

Dalam penyelesaian sengketa lingkungan melalui pengadilan, tuntutan yang tersedia sebagaimana tercantum dalam UUPPLH 2009 yakni ganti kerugian, dan pemulihan lingkungan14. Adapun hak gugat untuk menyelesaikan sengketa lingkungan melalui

pengadilan, meliputi:

1. Hak gugat pemerintah dan pemerintah daerah

Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup15.

2. Hak gugat masyarakat (class action)

Masyarakat dapat mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat jika mengalami kesamaan kerugian dimana fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan sama diantara wakil kelompok tersebut dan anggotanya16. Ketentuan tentang gugatan perwakilan ini,

maka yang dapat mewakili masyarakat dalam jumlah besar (class members) adalah kelompok kecil (class representative) di dalam kelompok besar itu, bukan pihak luar17

sehingga akan tercipta efektivitas penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang menyangkut pihak atau korban yang banyak jumlahnya.

3. Hak gugat organisasi lingkungan hidup

Dalam mengajukan gugatan, organisasi lingkungan terbatas pada tuntutan tindakan tertentu tanpa adanya ganti rugi, kecuali biaya atau penggantian riil. Selain itu, organisasi harus berbentuk badan hukum yang memiliki anggaran dasar berorientasi kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup, serta telah berkegiatan minimal selama 2 (dua) tahun18.

4. Hak gugat warga negara (citizen lawsuit)

13 Pasal 85 UUPPLH 2009 14 Pasal 87 UUPPLH 2009 15 Pasal 90 UUPPLH 2009 16 Pasal 91 UUPPLH 2009

(7)

Citizen lawsuit belum ada pengaturannya di Indonesia, namun hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 16 ayat (1), hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan dengan alasan belum ada hukumnya. Dalam Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor: 36/SKMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penangangan Perkara Lingkungan Hidup, yang dimaksud gugatan warga negara adalah suatu gugatan yang dapat diajukan oleh setiap orang terhadap sautu perbuatan melawan hukum dengan mengatasnamakan kepentingan umum, dengan alasan adanya pembiaran atau tidak dilaksanakannya kewajiban hukum oleh Pemerintah atau Organisasi Lingkungan Hidup tidak menggunakan haknya untuk menggugat.

Dalam hubungan dengan penyelesaian ganti kerugian, ketentuan yang digunakan dalam Kuh.Perdata ialah Pasal 1243 Kuh.Perdata, dan Pasal 1365 Kuh.Perdata. Adapun bunyi rumusan Pasal 1243 ialah “penggangian biaya, rugi, dan bunga karena tak terpenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang dilamapuinya.

Pasal 1365 Kuh.Perdata berbunyi: “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajbkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Prinsip yang digunakan kedua pasal tersebut adalah “liability based on fault” dengan beban pembuktian yang memberatkan penderita/korban. Penderita baru akan mendapatkan ganti kerugian jika berhasil membuktikan adanya unsur kesalahan pada pihak tergugat. Kesalahan tersebut adalah unsur yang menentukan pertanggungjawaban, yang berarti bila tidak terbukti adanya kesalahan, tidak ada kewajiban memberi ganti kerugian. Dalam hal menuntut ganti kerugian berhubung dengan penderitaan akibat perusakan dan atau pencemaran, pasal yang digunakan adalah Pasal 1365 Kuh.Perdata. 19

Dalam kaitan dengan pembuktian perlu dikemukakan Pasal 1865 Kuh.Perdata yang menyatakan bahwa”barangsiapa mengajukan peristiwa-peristiwa mana ia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu; sebaliknya barangsiapa mengajukan

(8)

peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-perisitwa itu.

Disamping asas tanggung jawab berdasarkan kesalahan yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (1) UULH 1982 yang berbunyi demikian “barangsiapa merusak dan atau mencemarkan lingkungan hidup memikul tanggung jawab dengan kewajiban membayar ganti kerugian kepada penderita yang telah dilanggar haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”

UULH 1982 juga memperkenalkan asas lainnya yakni asas tanggung jawab mutlak (strict liability) seperti yang tercantum dalam Pasal 21 UULH 1982 yang berbunyi “dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tertentu, tanggung jawab secara mutlak pada perusak dan atau pencemar pada saat terjadinya perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang pengaturannya diatur dalam peraturan perundang-undagn yang bersangkutan.”20

UUPPLH 2009 juga dipertegas kembali prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) yakni pada Pasal 88 yang berbunyi demikian “setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatanya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Dalam Penjelasan Pasal 88, yang dimaskud dengan bertanggung jawab mutlak/strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.

Penagakan Hukum Lingkungan Melalui Sarana Kepidanaan

Dasar pertimbangan yang terkandung di dalam fungsi utama dihadirkannya hukum pidana dalam kehidupan masyarakat yakni bahwa peraturan-peraturan dan norma-norma kehidupan baik yang berasal dari masyarakat (misalnya adat kebiasaan) maupun dari negara belum cukup menjamin atau belum cukup kuat untuk menciptakan keamanan, dan ketertiban yang langgeng dan merata, hal itu disebabkan peraturan dan norma kehidupan yang sudah ada tersebut masih saja dilanggar orang setiap waktu dan tempat dimana ada kesempatan sedangkan penindakannya seringkali tidak memapan, seperti ganti rugi dalam hukum perdata

(9)

atau pemecatan dalam hukum administrasi. Karena itu diperlukan lagi suatu hukum yang khusus yang mengatur tentang penghukuman orang-orang yang melanggar peraturan tersebut, yakni hukum pidana.21

Dalam UUPPLH 2009, bukan perseorangan saja yang dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana, namun juga badan usaha/korporasi juga dapat dikenakan pertanggung jawaban pidana (corporate liability). Untuk badan usaha yang berbadan hukum, pengenaan tanggung jawab pidana kepada pemimpinnya yang memiliki kewenangan, mendorong, melakukan pembiaraan/acceptance jika terbukti dengan peran meraka sebagai pemimpim atau yang memerintahkan terjadinya tindak pidana.

Seseorang yang melakukan tindak pidana karena hubungan kerja maka penjatuhan sanksi pidana ditujukan kepada yang memberi perintah, atau pemimpin dalam melakukan tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara mandiri atau bersama-sama22. Selain itu, UUPPLH 2009 memberikan pemberatan ancaman pidana kepada

pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana yakni pidana penjara, dan denda ditambahkan sepertiga.23

Ketentuan hukum pidana dalam UUPPLH 2009 tidak hanya mengatur perbuatan pidana pencemaran dan/atau perusakan atau delik materiil, namun juga mengatur tentang perbuatan pelepasan, pembuangan zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya dan beracun, serta mengelola B3 tanpa izin (specific crimes) atau delik formil. Pembedaan delik ke dalam bentuk delik formil dan delik materiil tidak terlepas dari makna yang terkandung dari istilah ‘perbuatan’ itu sendiri. Bahwa dalam istilah perbuatan mengandung 2 (dua) hal yakni kelakuan atau tindakan dan akibat. Delik formil adalah delik yang menitikberatkan pada tindakan, sedangkan delik materiil adalah delik yang menitikberatkan pada akibat.24 Adapun

di UUPPLH 2009, yang termasuk delik formil diatur dalam Pasal 100 sampai dengan Pasal 111, dan Pasal 113 sampai dengan Pasal 115. Sedangkan delik materiil diatur dalam Pasal 98, Pasal 99, dan Pasal 112 UUPPLH 2009

Penegakan hukum pidana di lingkungan hidup memperhatikan asas subsidiaritas, hal ini berarti penegakan hukum pidana semata-mata guna menunjang penegakan hukum

21 Purnadi Purbatjaraka, dan A. Ridwan Halim, 1982, Filsafat Hukum Pidana Dalam Tanya Jawab, Rajawali, Jakarta, hlm.36-37.

22 Pasal 116 UUPPLH 2009 23 Pasal 117 UUPPLH 2009

(10)

administras dana/atau penegakan hukum perdata baik ynag diselesaikan di pengadilan ataupun di luar pengadilan. Penggunaan hukum pidana bersifat ultimatum remidium ataupun

last resort terhadap pencemaran atau perusakan lingkungan yang bersifat tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, dan/atau akibat perbuatannya relatif tidak besar, dan/atau perbuatannya tidak menimbulkan keresahan masyarakat. Namun tetapi, untuk tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau perbuatannya relatif besar, dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat, maka peran hukum pidana bukan lagi ultimatum remidium namun sudah primum remedium.25

UUPPLH 2009 menganut ancaman sanski minimal dan maksimal. Hal tersebut bertujuan untuk membatasi disreksi hakim dalam menjatuhkan hukuman. Menurut Takdir Rahmadi26, adanya ancaman sanksi minimal dan maksimal dilatarbelakangi bahwa pembuat

undang-undang menyadari masalah-masalah lingkungan hidup dipandang sebagai masalah yang serius, mengancam, dan merugikan keberadaan, dan kepentingan bangsa Indonesia secara kolektif.

Dalam konteks penyidikan, peranan penyidik sangat penting karena penyidik berfungsi mengumpulkan bahan atau alat bukti yang kadangkala bersifat ilmiah untuk kepentingan penuntutan. Dalam kasus perusakan dan atau pencemaran lingkungan akan terdapat kesulitan bagi aparat penyidik untuk menyediakan alat bukti yang sesuai dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP.27 Dalam UUPPLH 2009, bukan hanya penyidik Polri yang

dapat bertindak seabgai penyidik, namun juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari instansi pemerintah di bidang lingkungan hidup. Sebagaimana Pasal 6 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat Polisi Negara Kesatuan Republik Indonesia (POLRI) dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. UUPPLH 2009 juga memberikan wewenang penyidikan bagi PPNS sebagaimana tercantum dalam Pasal 94 UUPPLH 2009.

Pada ketentuan Pasal 94 ayat (6) UUPPLH 2009 memberikan kewenangan PPNS untuk dapat menyerahkan berkas hasil penyidikan kepada penuntut umum secara langsung tanpa melalui penyidik POLRI. Hal ini merupakan perluasan kewenangan secara khusus diberikan kepada PPNS, karena sebelumnya selama ini dalam praktik hanya Polisi yang melaksanakan

25 Syahrul Machmud, 2012, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia : Penegakan Hukum Administrasi, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm.226.

(11)

kewenangann tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (2) KUHAP yang berbunyi demikian “penyidik menyerahkan berkas kepada penuntut umum.”

Profil Singkat PT Dwikarya Reksa Abadi

Berdasarkan penelusuran penulis di internet, berikut adalah profil singkat PT. Dwikarya Reksa Abadi yang berhasil penulis susun28:

Nama : PT Dwikarya Reksa Abadi

Alamat : Kpg. Wogekel Wanam, Distrik Ilyawab, Merauke, Provinsi Papua

Produk Usaha : Ikan beku

Keterangan : Pembekuan ikan dan biota perairan lainnya

Infromasi Wilayah : Area Merauke, Provinsi Papua

Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), dan Surat Izin Penangkap Ikan (SIPI) milik PT Dwikarya Reksa Abadi dicabut, kemudian pada tanggal 5 Oktober 2015, PT Dwikarya Reksa Abadi menggugat Menteri Kelautan dan Perikanna di Pengadilan Tata Usaha Negara yang meminta pembatalan pencabutan SIUP tersebut.29

PT Dwikarya Reksa Abadi diduga melakukan illegal, unreported and unregulated (IUU) Fishing diperairan Indonesia. PT Dwikarya sebagai perusahaan pemilik cold storage

yang ada di dalam kapal MV Hai Fa, kapal berbobot 4.506 gross ton (GT) asal Tiongkok berbendara Panama yang ditangkap karena terbukti melakukan illegal fishing. PT Dwikarya Reksa Abadi memiliki ratusan kapal yang terdaftar di Tiongkok, namun yang memiliki izin hanya 68 (enam puluh delapan) kapal. PT Dwikarya Reksa Abadi diduga turut membantu melakukan tindakan jual beli ikan di tengah laut (transhipment) di luar wilayah operasi tangkapnya. Selain terbukt terlibat dengan kapal MV Hai Fa, PT Dwikarya Reksa Abadi juga diduga melakukan pelanggaran dalam bidang administrasi seperti Laporan Kegiatan Usaha serta kewajiban dalam perpajakan.30

Izin Usaha Perikanan (IUP)

28 Anonymous, 2015, http://www.daftarperusahaan.com/bisnis/dwikarya-reksa-abadi-pt

diakses tanggal 25 Juni 2016

29 Anonymous, 1 Juni 2016, artikel berjudul “Satagas 115 Usut Tuntas Kasus TOC Industri Perikanan”

http://kkp.go.id/2016/06/01/satgas-115-usut-tuntas-kasus-toc-industri-perikanan/ diakases tanggal 25 Juni 2016

(12)

Berdasarkan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, selanjutnya disebut UU Perikanan disebutkan definsi “Surat Izin Usaha Perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP, adalah izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut.”

Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat menyangkut pemberian izin usaha perikanan, Departemen Eksplorasi laut dan Perikanan melakukan perbaikan dan penyempurnaan atas peraturan perizinan di bidang perikanan31. Oleh karena itu KKP

mengeluarkan Keputusan Menteri Eksplorasi Laut, dan Perikanan Nomor 45 Tahun 2000 tentang Perizinan Usaha Perikanan, selanjutnya disebut Kepmen 45/2000 Perizinan Usaha Perikanan

Pasal 2 Kepmen 45/2000 Perizinan Usaha Perikanan menyatakan ada 7 (tujuh) jenizin perizinan usaha yakni:

a. Izin Usaha Perikanan (IUP), yakni izin tertulis yang harus dimiliki oleh Perusahaan Perikanan yang melakukan usaha pembudidayaan ikan atau usaha penangkapan ikan dengan menggunakan kapal perikanan beserta alat penangkap ikan sesuai dengan daerah penangkapan ikan dan jumlah kapal perikanan yang akan digunakan, dan/atau usaha pengangkutan ikan;

b. Persetujuan Penggunaan Kapal Asing (PPKA) yakni persetujuan yang diberikan kepada perusahaan perikanan yang telah memiliki IUP untuk menggunakan kapal perikanan berbendara asing untuk mengangkut ikan;

c. Surat Penangkapan Ikan (SPI), yakni surat yang harus dimiliki setiap kapal perikanan berbendara Indonesia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari IUP;

d. Surat Izin Penangkap dan Pengangkut Ikan Indonesia (SIKPPII), yakni surat yang harus dimiliki setiap kapal perikanan berbendera Indonesia dalam Satuan Armada Penangkapan Ikan untuk melakukan kegiatan penangkapan, dan pengangkutan ikan yang digunakan oleh perusahaan perikanan;

(13)

e. Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan Indonesia (SIKPII), yakni surat izin yang harus dimiliki setiap kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia untuk melakukan kegiatan pengangkutan ikan yang digunakan oleh Perusahaan Perikanan;

f. Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan Asing (SIKPIA), yakni surat izin yang harus dimiliki setiap kapal pengangkut ikan berbendera asing untuk melakukan kegiatan pengangkutan ikan yang digunakan oleh perusahaan perikanan;

g. Surat Persetujuan Kapal Pengangkut Ikan Asing (SPKPIA) yakni surat izin yang harus dimiliki setiap kapal pengangkut ikan berbendera asing untuk melakukan kegiatan pengangkutan ikan yang digunakan oleh perusahaan bukan perusahaan perikanan.

Surat Penangkapan Ikan (SPI)

Berdasarkan Pasal 1 angka 17 UU Perikanan, definsi “Surat Izin Penangkapan Ikan, yang selanjutnya disebut SIPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP.”

Sebelum melakukan usaha penangkapan ikan, perusahaan perikanan yang telah memiliki IUP wajib memliki SPI bagi setiap kapal perikanan yang dipergunakan32. Untuk itu

harus mengajukan kepada Direktur Jenderal Perikanan menggunakan formulir model Phn-1 dan wajib dilengkapi dengan:

a. Salinan IUP yang dilegalisasi;

b. Salinan tanda pendaftaran kapal (grosse akta);

c. Salinan surat ukur kapal;

d. Salinan sertifikat kelaikan, dan pengawakan;

e. Salinan dokumen teknis alat penangkap ikan yang digunakan;

f. Hasil pemeriksaan fisik kapal (asli);

g. Bukti pembayaran pungutan perikanan sesuai ketentuan yang berlaku.

(14)

Instrumen Ekonomi

Instrumen ekonomi sebagaimana tertuang dalam Article 16 Rio Declaration

(15)

cemaran/charges seperti air pollution, fee water, fee, dan lain-lain yang tidak tertuang dalam UULH 82.

Menurut Koesnadi Hardjasoemantri33 menyatakan bahwa insentif dan disinsentif yang

mengatur instrumen ekonomi dalam memberikan kemudahan kepada para pengusaha dalam usaha pelestarian fungsi lingkungan dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 8 UULH. Sedangkan dalam UUPLH 97 tidak ada Pasal yang mengatur tentang insentif dan disinsentif, namun demikian instrumen ekonomi ini tercantum dalam Pasal 10 huruf e UUPLH 97 yang isinya “adapun preventif adalah tindakan tingkatan pelaksanaan melalui penataan baku mutu limbah dan atau instrumen ekonomi. Meskipun hanya tercantum dalam Penjelasan Pasal, namun adanya instrumen ekonomi perlu diadakan sebagai kewajiban Pemerintah sebagaimana kewajiban Pemerintah yang diatur dalam Pasal 10 UUPLH 97.

Referensi

Dokumen terkait

Secara keseluruhan, prestasi belajar mahasiswa prodi PAI angkatan 2010 dan 2011 IAIN Palangka Raya berupa angka pada semua mata kuliah yang ditempuh awal semester sampai

Isi buku siswa terdiri dari: tujuan pembelajaran, pengetahuan dasar yang memuat contoh-contoh hal sederhana dalam kehidupan sehai-hari yang ada kaitannya dengan

Dalam penelitian ini akan dianalisa kestabilan dari model matematika pada permasalahan pengendalian hama terpadu yang secara kimia dilakukan dengan penyemprotan

Dari penelitian yang telah dilakukan, didapatkan sebaran episenter gempa mikro di sekitar titik mata air panas Cangar dan di sekitar kawah gunung Welirang yang berasosiasi

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nurhidayati dan Bahar (2018) tentang dukungan keluarga meningkatkan kesiapsiagaan lansia dalam menghadapi bencana

[r]

Tumor ganas di vertebra lumbosakralis dapat bersifat primer dan sekunder. Tumor primer yang sering dijumpai adalah mieloma multipel. LBP sering menjadi keluhan

Dengan demikian, komitmen politik akan mengalami konkretisasi di dalam praktik demokratisasi politik, di mana sosok perempuan tidak lagi hanya sebagai “objek” pemenuhan suara