GANGGUAN PENDENGARAN PADA NEONATUS DENGAN
BERAT BADAN LAHIR RENDAH DI RUMAH SAKIT UMUM
PUSAT HAJI ADAM MALIK, MEDAN
Oleh :
PHAYCHAI AMMA @ AMITHRA VERASAGARAN
090100442
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
GANGGUAN PENDENGARAN PADA NEONATUS DENGAN
BERAT BADAN LAHIR RENDAH DI RUMAH SAKIT UMUM
PUSAT HAJI ADAM MALIK, MEDAN
KARYA TULIS ILMIAH
Oleh :
PHAYCHAI AMMA @ AMITHRA VERASAGARAN
090100442
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Gangguan Pendengaran Pada Neonatus Dengan Berat Badan Lahir Rendah Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan
Nama : Phaychai Amma Verasagaran NIM : 090100442
Pembimbing Penguji
(dr.T. Sofia Hanum Sp.THT(K)) (dr. Bambang Prayugo, Sp.B) NIP: 19510428 197802 2 001 NIP: 19800228 200501 1 003
(dr. Tina Christina L. Tobing Sp.A) NIP: 19610910 198712 2 001
Medan, 15 Januari 2013
Dekan
Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
(Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD-KGEH)
KATA PENGANTAR
Penulis bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih
karunia Nya yang telah memelihara dan memampukan penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan proposal penelitian ini.
Dengan dorongan, bimbingan, dan arahan dari beberapa pihak, akhirnya
penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini tepat pada waktunya. Penulis
ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar A. Siregar,
Sp.PD. KGEH atas izin penelitian yang telah diberikan. Dr.T. Sofia Hanum
Sp.THT(K), selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan bantuan,
bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama menyelesaikan karya tulis
ilmiah ini.
Ucapan jutaan terima kasih ini penulis tujukan kepada kedua orang tua
penulis yaitu Bapak Verasagaran Thomas dan Ibu Krishneveni Munusamy yang
telah memberikan dorongan dan doa restu, baik moral maupun material selama
penulis menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Kepada teman-teman penulis yang
ikut membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan Rahmat dan
Karunia-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan segala bantuan tersebut
di atas. Proposal ini tentu saja masih jauh dari sempurna, sehingga penulis dengan
senang hati menerima kritik demi perbaikan. Akhirnya semoga proposal
penelitian ini ada manfaatnya. Demikian dan terima kasih.
Medan, 08 Nopember 2012.
ABSTRAK
The Joint Committee on Infant Hearing merekomendasikan deteksi gangguan pendengaran sebagai langkah intervensi awal dan pencegahan risiko gangguan pendengaran neonatus berat badan lahir sangat rendah.
Desain penelitian ini merupakan case series yang mendeskripsikan angka kejadian gangguan pendengaran pada neonatus berat badan lahir rendah secara retrospektif. Populasi dan sampel merupakan semua hasil pemeriksaan awal emisi otoakustik neonatus BBLR di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik dari tahun 2011 hingga Agustus 2012.
Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran hasil pemeriksaan awal emisi otoakustik terhadap neonatus BBLR di Departemen THT, Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan.
Dari 14 neonatus BBLR 71.4% mengalami hasil pemeriksaan emisi otoakustik ’refer’. Sedangkan Sebanyak 57.1% neonatus BBLR perempuan mengalami hasil pemeriksaan emisi otoakustik ’refer’. Neonatus BBLR yang mengalami bilateral ’refer’ dan unilateral ’refer’ adalah sama yaitu masing-masing 35.7% neonatus.
Dari 14 jumlah neonatus yang diperiksa emisi otoakustik, 7 neonatus merupakan BBLR(≥1500g), 7 neonatus adalah BBLR(<1500g). Seterusnya jenis kelamin, neonatus perempuan adalah lebih banyak dibanding laki-laki yaitu 8 (57.14%). Hasil emisi otoakustik ‘refer’ didapati lebih banyak dibanding ‘pass’
yaitu 10 neonatus ‘refer’ dan ‘4 neonatus ‘pass’. Semua neonatus yang mengalami berat badan lahir rendah harus disarankan mengikuti pemeriksaan gangguan pendengaran berupa emisi otoakustik.
ABSTRACT
The Joint Committee on Infant Hearing recommended hearing screening in neonates with very low birth weight as a step to conduct early intervention and prevention of hearing impairment in neonates.
This research design is case series where it describes the incidence of hearing impairment in initial screening of otoacoustic emission in low birth weight neonates retrospectively at Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik from year 2011 till August 2012.
The main aim of this research is to evaluate the incidence of ‘refer’ among neonates with very low birth weight at their initial screening of otoacoustic emission at the ENT Department of Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan.
In total, from 14 low birth weight neonates, 71.4% were ’refer’. Whereas in term of gender, the female neonates were screened more compared to male which is 57.1%. Screening results for the bilateral ’refer’ and unilateral ’refer’ are the same for both type of hearing impairment which is 35.7% each.
There were 14 low birth weight neonates screened with otoacoustic emission. Of this, 7 neonates were low birth weight (≥1500g), whereas another 7 were low birth weight (<1500g). Based on gender, female neonates with low birth weight were screened more compared to male neonates, which is 57.14 %. The overall screening result shows 10 of them diagnosed as ‘refer’. In a nut shell, this research shows that it is vital to conduct otoacoustic emissions hearing screening in low birth weight neonates.
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Pengesahan...i
Kata Pengantar...ii
Abstrak...iii
Daftar Isi...v
Daftar Gambar...vii
Daftar Lampiran...viii
Daftar Singkatan...ix
BAB 1 PENDAHULUAN ... ... 1
1.1. Latar Belakang……… ... 1
1.2. Rumusan Masalah……… ... 3
1.3. Tujuan Penelitian……… ... 3
1.4. Manfaat Penelitian………. ... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………...5
2.1.Embriologi Telinga Dalam………....5
2.2. Anatomi Telinga Dalam………. ... 10
2.3. Fisiologi Pendengaran………... ... 12
2.4. Patofisiologi Gangguan Pendengaran Pada Neonatus BBLR ……….. ... 13
2.5. Angka Kejadian Neonatus BBLR………... 14
2.7. Jenis Emisi Otoakustik……….………... ... 16
2.8. Aplikasi Emisi Otoakustik Dalam Skrinning Gangguan Pendengaran... ... 17
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL……….18
3.1. Kerangka Konsep Penelitian...18
3.2. Defenisi Operasional...18
3.2.1 Definisi………..………...18
3.2.2 Cara Ukur……….…….19
3.2.3 Alat Ukur………...…...19
3.2.4 Hasil Ukur………....…19
3.2.5 Skala Pengukuran………...…..19
BAB 4 METODE PENELITIAN………...…..20
4.1. Jenis Penelitian………...20
4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian1………...20
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian………...20
4.4. Teknik Pengumpulan Data………...20
4.5. Pengolahan dan Analisis Data………...……...21
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………...……….22
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN………..27
DAFTAR PUSTAKA………...28
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 2.1.1 A Mikrograf Electron Embrio berusia 28 hari………..5
Gambar 2.1.1 B Invaginasi Otic Placode dari Otic Pits………...5
Gambar 2.1.2 A-C Potongan melintang pada region Rhombencephalon...6
Gambar 2.1.3 D-E Perkembangan Vesikel Otic...6
Gambar 2.1.3 A-B Perkembangan Otocyst dan Perkembangan Awal Duktus Koklea………7
Gambar 2.1.4 Perkembangan Skala Timpani dan Skala Vestibule……..8
Gambar 2.1.5 A-B Perkembangan Organ of Corti………...8
Gambar 2.1.6 Perkembangan Semicircular canal………...9
Gambar 2.2.1 Anatomi Telinga………...10
Gambar 2.2.2 Anatomi Labirin………. …..11
Gambar 2.3.1 Gambaran Skematik Fisiologi Pendengaran……….. …..12
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
Lampiran 1. Data Sampel Penelitian. ... 31
Lampiran 2. Ethical Clearance... 32
Lampiran 3. Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik... 33
DAFTAR SINGKATAN
BBLR Berat badan lahir rendah
BBLSR Berat badan lahir sangat rendah
DPOAE Distortion product otoacoustic emission
JCIH Joint Committee on Infant Hearing
OAE Emisi Otoakustik
Pass Hasil emisi otoakustik yang normal
ABSTRAK
The Joint Committee on Infant Hearing merekomendasikan deteksi gangguan pendengaran sebagai langkah intervensi awal dan pencegahan risiko gangguan pendengaran neonatus berat badan lahir sangat rendah.
Desain penelitian ini merupakan case series yang mendeskripsikan angka kejadian gangguan pendengaran pada neonatus berat badan lahir rendah secara retrospektif. Populasi dan sampel merupakan semua hasil pemeriksaan awal emisi otoakustik neonatus BBLR di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik dari tahun 2011 hingga Agustus 2012.
Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran hasil pemeriksaan awal emisi otoakustik terhadap neonatus BBLR di Departemen THT, Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan.
Dari 14 neonatus BBLR 71.4% mengalami hasil pemeriksaan emisi otoakustik ’refer’. Sedangkan Sebanyak 57.1% neonatus BBLR perempuan mengalami hasil pemeriksaan emisi otoakustik ’refer’. Neonatus BBLR yang mengalami bilateral ’refer’ dan unilateral ’refer’ adalah sama yaitu masing-masing 35.7% neonatus.
Dari 14 jumlah neonatus yang diperiksa emisi otoakustik, 7 neonatus merupakan BBLR(≥1500g), 7 neonatus adalah BBLR(<1500g). Seterusnya jenis kelamin, neonatus perempuan adalah lebih banyak dibanding laki-laki yaitu 8 (57.14%). Hasil emisi otoakustik ‘refer’ didapati lebih banyak dibanding ‘pass’
yaitu 10 neonatus ‘refer’ dan ‘4 neonatus ‘pass’. Semua neonatus yang mengalami berat badan lahir rendah harus disarankan mengikuti pemeriksaan gangguan pendengaran berupa emisi otoakustik.
ABSTRACT
The Joint Committee on Infant Hearing recommended hearing screening in neonates with very low birth weight as a step to conduct early intervention and prevention of hearing impairment in neonates.
This research design is case series where it describes the incidence of hearing impairment in initial screening of otoacoustic emission in low birth weight neonates retrospectively at Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik from year 2011 till August 2012.
The main aim of this research is to evaluate the incidence of ‘refer’ among neonates with very low birth weight at their initial screening of otoacoustic emission at the ENT Department of Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan.
In total, from 14 low birth weight neonates, 71.4% were ’refer’. Whereas in term of gender, the female neonates were screened more compared to male which is 57.1%. Screening results for the bilateral ’refer’ and unilateral ’refer’ are the same for both type of hearing impairment which is 35.7% each.
There were 14 low birth weight neonates screened with otoacoustic emission. Of this, 7 neonates were low birth weight (≥1500g), whereas another 7 were low birth weight (<1500g). Based on gender, female neonates with low birth weight were screened more compared to male neonates, which is 57.14 %. The overall screening result shows 10 of them diagnosed as ‘refer’. In a nut shell, this research shows that it is vital to conduct otoacoustic emissions hearing screening in low birth weight neonates.
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Telinga berfungsi sebagai organ pendengaran dan keseimbangan yang terdiri
dari telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.Pendengaran merupakan salah
satu sensori manusia yang amat penting untuk hidup. (Dorland)
Gangguan pendengaran terbahagi tiga yaitu ringan (30-50dB), sedang
(50-70dB) dan berat (>70db, yang merupakan gangguan pendengaran bilateral).
Sekitar 1-2 neonatus per 1000 kelahiran mempunyai gangguan pendengaran yang
sedang atau unilateral. Prevalensi ini akan berganda sewaktu usia neonatus
tersebut 19 tahun. Di Amerika Syarikat, Gangguan pendengaran sensorineuronal
(SNHL) > 26dB terjadi pada 13 per 1000 anak yang masih sekolah manakala
gangguan pendengaran sensorineuronal yang >45dB terjadi pada 3/1000 anak
yang masih sekolah. (Haddad)
Gangguan pendengaran dan ketulian dapat terjadi pada semua usia sejak lahir
sampai usia lanjut, gangguan ini agak sulit disadari berbanding gangguan sensori
yang lain terutamannya pada anak yang baru lahir. Konsekeunsi gangguan
pendengaran dan ketulian tidak hanya berakibat pada terganggunya
perkembangan bicara dan bahasa, namun tahap selanjutnya akan menyebabkan
hambatan perkembangan akademik, ketidakmampuan bersosialisasi, perilaku
emosional dan berkurangnya kesempatan memperoleh pekerjaan. Deteksi dini
amat sangat besar pengaruhnya dalam hal mengurangi dampak kecacatan yang
lebih besar kemudian hari, terutama pada bayi, karena erat kaitannya dengan
perkembangan bicara dan bahasa. (Dynio Honrubia)
Di Indonesia berdasarkan survei kesehatan indra pendengaran di tujuh
provinsi tahun 1994-1996, sebesar 0.1% penduduk menderita tuli kongenital.
Hasil survei tersebut juga menunjukkan bahwa prevalensi gangguan pendengaran
pada anak kelompok usia 0-4 tahun, 5-6 tahun dan 7-18 tahun berturut-turut
sebesar 8,3%, 9,5% dan 10,4%. Berdasarkan data kunjungan poliklinik
pendengaran anak usia 6 bulan hingga 6 tahun sebesar 36,92%. (Adeline Eva
et.al)
Pada suatu penelitian skrinning pendengaran yang dilaksanakan oleh Jenny
Bashiruddin di enam rumah sakit di Jakarta dan sekitarnya menggambarkan 297
per 12 757 bayi baru lahir yaitu (23 per 1000) mempunyai gangguan pendengaran.
Berat badan lahir merupakan timbangan pertama yang dilakukan dalam sejam
setiap kelahiran bayi. Berat badan lahir yang rendah (BBLR) merupakan berat
bayi lahir yang kurang dari 2500g. (WHO).
Menurut penelitian yang dikendalikan oleh Cone-Wesson et.al (2000),
sebanyak 11 per 535 bayi iaitu 2% bayi yang BBLSR menderita gangguan
pendengaran. Sedangkan penelitian Ari-Even Roth et.al (2006) sebanyak 49 per
337 bayi BBLSR yang mempunyai gangguan pendengaran. Korres studi et.al
(2005) 6 per 19 bayi BBLSR mempunyai gangguan pendengaran.
Kedua -dua penelitian mengenai gangguan pendengaran sensorineuronal juga
melakukan penelitian terhadap pusat pengolahan auditori si pasien, menurut
penelitian tersebut sekitar 2,6% pasien anak BBLR mangalami kesulitan untuk
mengimbas kembali informasi auditori apabila mereka dibebani dengan kalimat
yang terlalu panjang. Gangguan ini secara tidak langsung akan mempengaruhi
kemampuan IQ, membaca, mengeja dan mengira serta menyukarkan anak untuk
bersosialasi. (R Cristobal, J S Oghalai)
Prevalensi neonatus BBLSR yang mendapat ‘refer’ pada skrinning
pendengaran adalah lebih tinggi berbanding neonatus yang berat lahirnya normal
karena neonatus BBLSR mengalami kadar pengumpulan cairan di telinga tengah
yang lebih tinggi dari neonatus normal dan gangguan pendengaran ini dikatakan
hanya berlangsung sementara. Justeru itu, deteksi dini skrinning pendengaran
pada neonatus dengan BBLR dapat mencegah dari gangguan pendengaran
lanjutan.(R Cristobal, J S Oghalai)
Pada tahun 1933 National Institute of Health Consensus Conference pertama
kali menganjurkan program Universal Newborn Hearing Screening. Setahun
kemudian The Joint Committee on Infant Hearing merekomendasikan deteksi
intervensi sebelum usia 6 bulan. Pada tahun 1999, American Academy of
Pediatrics (AAP) mendukung pernyataan tersebut. (Lily Rundjan et.al)
Pemeriksaan awal gangguan pendengaran yang dilakukan pada neonatus
berat badan lahir rendah adalah emisi otoakustik. Emisi otoakustik merupakan
suara dengan intensitas rendah yang dihasilkan pada koklea yang normal, baik
secara spontan maupun respon dari rangsang akustik. (VR Thomson)
Menurut Joint Committee on Infant Hearing berat badan lahir rendah
merupakan faktor risiko gangguan pendengaran pada neonatus. (Lily Rundjan
et.al) Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin melakukan penelitian mengenai
hasil pemeriksaan awal emisi otoakustik pada neonatus berat badan lahir rendah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan , Bagaimana gambaran
hasil pemeriksaan emisi otoakustik pada skrinning awal pendengaran neonatus
dengan BBLR di RSUP. H. Adam Malik Medan ?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran dari hasil pemeriksaan awal emisi otoakustik
terhadap neonatus BBLR di Departemen THT, Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik, Medan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui distribusi BBLR neonatus yang dilakukan
pemeriksaan awal emisi otoakustik.
2. Untuk mengetahui distribusi jenis kelamin neonatus BBLR yang
menjalani pemeriksaan skrinning awal emisi otoakustik.
3. Untuk mengetahui distribusi jenis hasil pemeriksaan emisi otoakustik
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. Untuk bayi yang mengikuti pemeriksaan skrinning awal gangguan
pendengaran dapat dilakukan intervensi awal dan pencegahan gangguan
pendengaran secepat mungkin.
2. Untuk rumah sakit penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi atau
masukan dalam meningkatkan pelayanannya terutama dalam prevensi
menangani masalah gangguan pendengaran pada neonatus dengan berat
badan lahir rendah.
3. Untuk peneliti lain dapat dipakai sebagai sumber infromasi untuk
melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
4. Untuk masyarakat penelitian ini dapat menjadi sebagai referensi umtuk
menyadari tingkat upaya pemeriksaan skrinning gangguan pendengaran ini
untuk melakukan intervensi awal gangguan pendengaran pada neonatus
yang berat badan lahir rendah dan dapat mengurangi kejadian gangguan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Embriologi Telinga Dalam
Perkembangan telinga embrio terbagi tiga : (a) telinga luar, organ pengumpul
bunyi; (b) telinga tengah, konduktor bunyi dari telinga luar ; dan (c) telinga
dalam, menukar ombak bunyi menjadi impuls saraf dan mengidentifikasi
sembarang perubahan pada keseimbangan. Berikut merupakan gambaran
perkembangan telinga yang dimulai dari minggu ke-3 perkembangan intrauterine
yang ditandai dengan tampaknya plakode auditori berinvaginasi membentuk
lubang (pit) auditori sepanjang minggu ke-4 yang kemudian menjadi vesikula
auditori. Indikasi pertama perkembangan telinga dapat ditemukan pada usia janin
kira-kira 22 hari dimana terdapat tampilan penebalan permukaan ektoderma di
masing-masing sisi rhombencephalon. (TW Sadler)
Gambar 2.1.1 A diatas memaparkan hasil mikrograf electron embrio tikus yang
sama usianya dengan embrio manusia yang berusia 28 hari. Tanda panah pada
lengkungan kedua; H, Jantung; Tanda Bintang, mandibular prominenence.
Penebalan pada otic placode akan mendorong invaginasi dan membentuk
vesikel auditori oticor. Pada waktu perkembangan selanjutnya, setiap vesikel akan
membagai menjadi komponen ventral yang kemudiannya menjadi saccule dan
duktus koklea serta komponen dorsal yang kemudiannya menjadi utricle,
semicircular canals dan duktus endolimpatik. Keseluruhan struktur epithelia ini
akan membentuk membranous labyrinth. (T W Sadler)
Gambar 2.1.2 A hingga C diatas memaparkan gambaran potongan melintang pada
region rhomencephalon. A. 2 hari. B. 27 hari. C. 4.5 minggu. Perhatikan
Statoacoustic ganglia.
Gambaran 2.1.2 D dan E merupakan hasil mikrograf electron embrio tikus yang
setara dengan perkembangan vesikel yang dipaparkan pada gambar A dan B
Gambar 2.1.3 A dan B menunjukkan perkembangan otocyst, duktus endolimpatik
dan ventral saccular pada bagian dorsal utricular. Gambar C hingga E adalah
gambaran duktus koklea pada minggu kehamilan ke 6, 7 dan 8 masing masing.
Perhatikan pembentukan duktus reuniens dan duktus urtiulossaccular.
Gambar 2.1.3 F dan G adalah hasil mikrograf electron yang memaparkan tingkat
perkembangan embrio tikus yang sama seperti perkembangan otocyst pada
gambaran A dan B. Tanda panah menunjukkan duktus endolimpatik; S, saccule;
Anak panah, pembukaan semicircular canal; U, utricle.
Gambar 2.1.3 G juga merupakan tingkat perkembangan awal duktus koklea (tanda
Gambar 2.1.4 memperlihatkan perkembangan skala timpani dan skala vestibule.
Gambar A menunjukkan duktus koklea dikelilingi suatu siput katilago. Gambar B
menunjukkan pembesaran vakuola pada minggu ke-10 kehamilan di dalam siput
kartilago tersebut. Gambar C menunjukkan duktus koklea (scala media)
dipisahkan dari skala timpani dan scala vestibule oleh membrane basilar dan
vestibular masing-masing. Perhatikan nervus auditorius dan ganglion spiral
Gambar 2.1.5 A menunjukkan perkembangan Organ of Corti pada minggu ke-10
kehamilan.
Gambar 2.1.5 B adalah perkembangan Organ of Corti sekitar 5 bulan kehamilan
dan Gambar 2.1.5 C adalah perkembangan sepenuhnya pada akhir trimester
kehamilan. Perhatikan gambaran spiral of tunnels pada Organ of Corti. (TW
Sadler)
Gambar 2.1.6 memaparkan perkembangan semicircular canal pada A, minggu ke
5 kehamilan; C, minggu ke 6 kehamilan; dan E, minggu ke 8 kehamilan.
2.2 Anatomi Telinga Dalam
Gambar 2.2.1 Gambaran diagramatik telinga luar,telinga tengah dan telinga dalam
pada paparan koronal. (A Faller, M.Schuenke)
a. Telinga luar (ke gendang telinga), Telinga tangah (auditori osicle dan tuba
Eustachian) dan Telinga dalam (Labirin dan Cochlea); b. Posisi Telinga dalam
pada tengkorak (dilihat dari dasar atas tengkorak)
Telinga terdiri dari telinga 3 regio iaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga
dalam. Telinga dalam terdiri dari labirin bagian membran dan labirin bagian
tulang. Rongga koklea bertulang dibagi menjadi 3 bagian oleh duktus koklearis.
Bagian atas adalah skala vestibule berisi cairan perilimfe dan dipisahkan dari
duktus koklearis oleh lamina spiralis oseus dan membrane basilaris. Membran
basilaris sempit pada basisnya (nada tinggi) dan melebar pada apeks (nada
Terletak di atas membrane basilaris dari basis ke apeks adalah organ Corti
yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer
pendengaran. Organ corti terdiri dari satu baris sel rambut dan tiga baris sel
rambut luar. Sel-sel ini menggantung melalui lubang horizontal yang dibentuk
oleh sel penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah
sel rambut.
Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang melekat pada suatu
selubung dia tasnya yang cenderung datar, bersifat gelatineous dan aselular,
dikenal sebagai membrane tectorial. Membran tectorial disekresi dan disokong
oleh suatu panggung yang terletak di medial disebut sebagai limbus. (A Faller.
M.Schuenke)
Gambar 2.2.2 menunjukan anatomi labirin.
(Leslie P.Gartner, James L.Hiatt)
Telinga dalam terbentuk dari labirin. Labirin
terbahagi 3 iaitu (a) bony labyrinth, (b)
membranous labyrinth dan (c) sensory
labyrinth. Labirin membranous berisi
endolymph dan meliputi saccule, utricle,
duktus semicircular dan duktus koklea.
Saccule dan Utrikel mengandungi neuroepitel
yang berfungsi dalam keseimbangan
pergerakan dan posisi kepala manakala duktus
koklea dan Organ of Corti berperan dalam
mekanisme pendengaran. (Leslie P.Gartner,
2.3 Fisiologi Pendengaran
Mekanisme pendengaran normal manusia dapat berfungsi apabila telinga luar,
telinga tengah dan telinga luar dan jalur persyarafan auditori berada dalam
keadaan yang normal. Apabila getaran suara melalui membrane timpani, getaran
tersebut terkonduksi ke rantai osikel di telinga tengah dan seterusnya ke koklea.
Di dalam koklea, organ Corti yang terdiri dari epitel sensori akan mentrasduksi
getaran suara yang mekanik ke sinyal listrik. Kemudian, saraf aferen koklea
menghantarkan sinyal listrik tersebut ke kortex auditori. (R Cristobal, J S Oghalai)
Skala timpani dan skala vestibula mengandungi perilymph manakala skala
media mengandungi endolymph. Potensi endokoklea (+90mV) dipelihara oleh
stria vascularis (SV). Apabila getaran yang mengenai stapes akan menyebabkan
bergetarnya cairan perilymph juga. Membrana Basilar (BM) akan menghasilkan
frekeunsi dari stimulus getaran suara dari stapes. (R Cristobal, J S Oghalai)
Hal ini akan mengakibatkan membengkoknya stereosilia oleh kerja pemberat
membrane tektoria, dengan demikian menimbulkan depolarasasi sel rambut dan
menghasilkan potensial aksi pada serabut-serabut saraf pendengaran yang melekat
padanya. Seterusnya sinyal tersebut akan diinterpretasi di lobus temporal
melewati saraf auditori (AN) dan batang otak. (R Cristobal, J S Oghalai)
2.4 Patofisiologi Gangguan Pendengaran Pada Neonatus BBLR
Berat Badan Bayi Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir
kurang dari 2500 gram tanpa memendang masa gestasi. Berat lahir adalah berat
bayi yang ditimbang dalam satu jam setelah lahir. BBLR adalah bayi yang lahir
dengan berat lahir kurang dari 2500 gram. (WHO)
Menurut Joint Committee of Infant Hearing neonatus dengan berat badan lahir
rendah mempunyai kompliskasi gangguan pendengaran. Hasil ‘refer’ pada
pemeriksaan emisi otoakustik neonatus terjadi dikarenakan gangguan
pendengaran konduktif.Berikut merupakan patofisiologi yang bisa menyebabkan
gangguan pendengaran sementara ini. (Rober HM, Mary B.T)
1. Resopsi mesenkim. Mesenkim merupakan tisu konektif yang terbentuk
pada waktu perkembangan dan diresopsi secara penuh di akhir
perkembangan janin. Menurut Desa et al mesenkim bisa terlihat pada
tulang temporal bayi.Mesenkim ini akan mengganggu masukan impeden
pada transmisi maju dan mundur yang berlangsung di koklea. Mesenkim
pada tulang temporal ini akan menggangu fungsi vibrasi tulang osikel dan
membrane timpani.
2. Pneumatisasi tulang temporal akibat dari resopsi mesenchyme dan erosi
osteoklatik tulang menyebabkan rongga udara pada sel. Pada neonatus
yang mempunyai defek perkembangan ini akan terjadi gangguan pada
densitas mastoid dimana rongga udara yang berada dekat gendang telinga
kurang dari yang sepatutnya. Ini akan menyebabkan gangguan pada
transmisi emisi akustik.
3. Perubahan posisi dan struktur gendang telinga pada tahun pertama
posnatal. Pada mula kelahiran bayi gendang telinga akan tampak
horizontal dan kelihatan ektensi dari dinding superior gendang telinga.
Apabila perkembangan telinga makin sempurna makin vertikel posisi
gendang telinga (Eby dan Nadol, 1986). Seperti pada rongga pertengahan
kemudiannya. Di periode perubahan ini hasil pemeriksaan emisi
otoakustik bisa ‘refer’ oleh karena gangguan pada gendang telinga yang
sementara.
4. Hanya separuh dari bagian tulang saluran telinga terbentuk waktu
kelahiran bayi. Perkembangan yang tidak sempurna ini juga bisa
menyebabkan gangguan pendengaran pada neonatus karena gangguan
transmisi getaran suara ke koklea.
Berdasarkan penerangan diatas neonatus yang baru lahir dengan berat badan
yang rendah berisiko mengalami gangguan pendengaran konduktif pada skrining
pertama. Untuk memastikan tipe gangguan pendengaran pada neonatus ddengan
benar harus dilakukan pemeriksaan follow-up sehingga usia neonatus 3 tahun
setiap 6 bulan.
2.5 Angka Kejadian
Di Indonesia berdasarkan survei kesehatan indra pendengaran di tujuh
provinsi tahun 1994-1996, sebesar 0.1% penduduk menderita tuli kongenital.
Hasil survei tersebut juga menunjukkan bahwa prevalensi gangguan pendengaran
pada anak kelompok usia 0-4 tahun, 5-6 tahun dan 7-18 tahun berturut-turut
sebesar 8,3%, 9,5% dan 10,4%. Berdasarkan data kunjungan poliklinik
Departemen THT FKUI/RCSM tahun 2005, didapati prevalensi gangguan
pendengaran anak usia 6 bulan hingga 6 tahun sebesar 36,92%. (Adeline Eva
et.al)
Pada suatu penelitian skrinning pendengaran yang dilaksanakan oleh Jenny
Bashiruddin di enam rumah sakit di Jakarta dan sekitarnya menggambarkan 297
per 12 757 bayi baru lahir yaitu (23 per 1000) mempunyai gangguan pendengaran.
Menurut penelitian yang dikendalikan oleh Cone-Wesson et.al (2000),
sebanyak 11 per 535 bayi iaitu 2% bayi yang BBLSR menderita gangguan
pendengaran. Sedangkan penelitian Ari-Even Roth et.al (2006) sebanyak 49 per
(2005) 6 per 19 bayi BBLSR mempunyai gangguan pendengaran. (R Cristobal, J
S Oghalai)
Prevalensi neonatus BBLSR yang mendapat ‘refer’ pada skrinning
pendengaran adalah lebih tinggi berbanding neonatus yang berat lahirnya normal
karena neonatus BBLSR mengalami kadar pengumpulan cairan di telinga tengah
yang lebih tinggi dari neonatus normal dan gangguan pendengaran ini dikatakan
hanya berlangsung sementara. Justeru itu, deteksi dini skrinning pendengaran
pada neonatus dengan BBLR dapat mencegah dari gangguan pendengaran
lanjutan.(R Cristobal, J S Oghalai)
2.6 Emisi Otoakustik
Pada tahun 1948 Thomas Gold telah menemukan emisi otoakustik dan pada
tahun 1977, Dr. David Kemp telah memperkenalkan keupayaan koklea untuk
menghasilkan dan mengabsorbsi bunyi. Bunyi yang dihasilkan dari koklea dikenal
sebagai emisi otoakustik. Emisi Otoakustik adalah refleksi pergerakan sel-sel
rambut di koklea yang dicatat dari bagian telinga luar dengan rangsangan bunyi
dari luar. (David T Kemp)
Emisi otoakustik adalah bunyi yang diproduksi secara spontan dari koklea
terutamanya dari sel-sel rambut luar di telinga bagian dalam. Emisi otoakustik ini
dapat diukur dari telinga luar. Sel-sel rambut luar mempunyai ciri khas yaitu
keupayaan motilitas yang diperlukan untuk memghasilkan emisi otoakustik secara
spontan atau terhadap rangsangan tenaga akustik mekanis pada koklea.
Rangsangan ini ditransmisi kembali ke telinga tangah dan ke membrane timpani
dan seterusnya dikonversi sebagai sinyal akustik di auditori meatus. Emisi
otoakustik ini kemudiannya diukur atau dideteksi di auditori meatus dengan
menggunakan mikrofon. Apabila bunyi merangsang sel-sel rambut luar, sinyal
neural yang dihasilkan dihantar ke saraf vestibulokoklear dan dari situ dihantar ke
area auditori di system saraf pusat untuk diinterpretasi. (Barbara L Kurman, David
Emisi otoakustik adalah biproduk sel-sel rambut dari rangsangan bunyi. Pada
koklea yang normal biproduk ini dihasikan manakala pada koklea yang abnormal
atau sel-sel rambut yang rusak emisi otoakustik ini tidak dapat dihasilkan.
Biasanya kadar emisi otoakustik yang dihasilkan dikatakan bagus pada
pendengaran 30dB dan ke atas. (Barbara L Kurman, David G. Adlin)
2.7 Jenis Emisi Otoakustik
Berikut merupakan klasifikasi emisi otoakusti menurut Northan & Sorver, Campbell K.C.M, Lee.K.J, Peck J.E dalam penelitian Okti Trihandani mengikut
mekanisme produksi sinyal dari probe. Terdapat empat jenis emisi otoakustik
yang dapat direkod hasil dari produksi rangsangan dari probe.
a.) Spontaneous Otoacoustic Emissions merupakan emisi suara tanpa adanya
rangsangan bunyi atau dapat dikatakan emisi dari rangsangan secara
spontan.
b.) Sustained Frequency Otoacoustic merupakan emisi suara sebagai respon
dari bunyi yang berterusan
c.) Transient Otoacoustic Emission merupakan emisi suara yang dihasilkan
oleh rangsangan bunyi menggunakan jangka waktu yang singkat biasanya
bunyi klik atau dapat juga tone-burst.
d.) Distortion Production Otoacoustics Emissions merupakan emisi suara dari
dua rangsangan yang berbeda frekeunsi.
2.8 Aplikasi Emisi Otoakustik dalam Skrinning Gangguan Pendengaran
Terdapat dua jenis emisi otoakustik yang digunakan untuk skrinning di klinik,
yaitu:
a.) Transient Otoacoustic Emission adalah hasil evoksi dari koklea yang terjadi
akibat dari transmisi sinyal seperti klik atau akustik tone burst (80 dB SPL).
Emisi otoakustik ini dikatakan berhasil pada frekeunsi rangsangan 500
b.) Distortion Production Otoacoustics Emissions adalah hasil evoksi dari
koklea yang terjadi akibat rangsangan dari transit dua nada pada masa yang
sama tetapi dengan frekeunsi nada yang berlainan (f1 dan f2,55 dan 65 dB
SPL) .Emisi otoakustik ini berhasil pada frekeunsi 500 hingga 8000 Hz.
(James, David Adlin, Kathrin May, Anuradha Bantwal)
Gambar 2.7.1 Gambaran Distortion Product Otoacoustic Emission
Emisi Otoakustik hanya terjadi pada koklea yang berfungsi normal. Hasil
skrinning dikira ‘Pass’ jika terdapat emisi otoakustik sekurang kurangnya 5 dB.
(James, David Adlin, Kathrin May, Anuradha Bantwal)
Analisis dan interpretasi hasil emisi otoakustik dapat dilakukan dengan
memastikan kondisi pemeriksaan yaitu noise levels harus berada dibawah -10 dB
SPL. Seterusnya, memastikan amplitude emisi otoakustik melebihi noise level
sebanyak 6 dB SPL. Akhir sekali apabila beda amplitude noise level dan emisi
otoakustik sama dengan atau lebih dri 6 dB maka hasil emisi otoakustik dapat
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian maka kerangka konsep dalam penelitian ini
adalah:
3.2 Definisi Operasionil 3.2.1 Definisi
a) Menurut WHO BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat lahir
kurang dari 2500 gram. Berat Badan Lahir yang Sangat Rendah
adalah berat badan neonatus yang kurang dari 1500g. (Joseph
Haddad)
b) Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau
total untuk mendengarkam suara pada salah satu atau kedua telinga.
c) Neontus yang berat badannya kurang dari 2500g diskrining untuk
deteksi gangguan pendengaran dengan cara emisi otoakustik.
d) Jika hasil skrinning merupakan ‘Pass” maka neonatus tersebut tidak
mempunyai gangguan pendengaran. Jika hasil skrinning merupakan
‘Refer” maka neonatus tersebut dikatakan kemungkinan mempunyai
gangguan pendengaran
3.2.2 Cara Ukur
Hasil skrinning emisi otoakustik adalah data yang akan digunakan
dalam penelitian ini.
3.2.3 Alat Ukur
Alat Emisi Distortion ProductEmission Otoacoustics (DPOAEs).
3.2.4 Hasil Ukur
Pemeriksaan DPOAE akan memberikan hasil ‘pass’ jika neonatus
tidak mengalami gangguan pendengaran atau ‘refer’jika neonatus
mengalami gangguan pendengaran.
3.2.5 Skala Pengukuran
Skala pengukuran yang digunakan adalah nominal yaitu antara ‘pass’
BAB 4
METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian
Penelitian case series yang mendeskripsikan angka kejadian gangguan
pendengaran pada neonatus berat badan lahir rendah secara retrospektif.
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan September hingga November 2012 di
Departemen THT,Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dan sampel merupakan semua bayi yang lahir di Rumah Sakit
Umum Pusat. Haji Adam Malik yang berat badan lahir rendah dari bulan Mei
2011 hingga Agustus 2012.
4.4 Teknik Pengumpulan Data
Sampel penilitian ini dilakukan dengan cara total sampling yaitu hasil
skrinning emisi otoakustik yang dilakukan pada semua neonatus yang lahir
dengan BBLR di RSUP. H.Adam Malik. Data hasil skrining pemeriksaan emisi
otoakustik diambil karena menurut Joint Committee of Infant Hearing emisi
otoakustik merupakan pemeriksaan gangguan pendengaran yang baku emas utuk
bayi baru lahir.
4.4.1 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah neonatus yang berat badan lahirnya kurang
dari 2500g.
4.4.2 Kriteria Eksklusi
Kriteria yang dieksklusi adalah neonatus yang mempunyai faktor
risiko, Hiperbilirubinemia, Asfiksia dan Respiratori Distress dan
4.5 Pengolahan dan Analisis Data
Data yang didapat dari hasil skrinning emisi otoakustik disusun dalm
bentuk tabel dimana variabelnya merupakan berat badan lahir neonatus yang
rendah,jenis kelamin dan jenis hasil pemeriksaan emisi otoakustik serta hasil
skrinning emisi otoakustik (pass/refer). Selanjutnya dari tabel tersebut dapat
dihitung angka kejadian neonatus BBLR yang mempunyai hasil pemeriksaan
BAB 5
HASIL PENELITIAN 5.1 Hasil Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu penelitian yang bersifat deskriptif dengan
cara case series yang dilakukan di Departemen SMF Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok, RSUP H. Adam Malik Medan. Setiap sampel yang digunakan
merupakan hasil pemeriksaan emisi otoakustik neonatus BBLR.
Tabel 5.1 Distribusi BBLR neonatus dengan Hasil Emisi Otoakustik
Jenis BBLR Bilateral Pass
Tabel 5.1 menunjukkan distribusi BBLR neonatus dengan hasil emisi otoakustik.
Sebanyak 7 neonatus (50 %) terdiri dari neonatus BBLR ≥ 1500g, 7 neonatus (50
%) terdiri dari BBLR kurang dari <1500g. Dari aspek hasil pemeriksaan emisi
otoakustik, terdapat 4 neonatus BBLR (28.57 %) yang bilateral pass, 5 neonatus
BBLR (35.72 %) yang bilateral pass dan 5 neonatus BBLR (35.72 %) unilateral
refer. Menurut Joseph Haddad BBLR adalah berat badan neonatus yang kurang
dari 2500g sedangkan BBLSR adalah berat badan neonatus yang kurang dari
Tabel 5.2 Distribusi Jenis kelamin neonatus BBLR dengan Hasil Emisi
Tabel 5.2 menunjukkan distribusi jenis kelamin neonatus BBLR. Sebanyak 8
neonatus (57.14 %) merupakan perempuan dan 6 neonatus (42.86 %) merupakan
laki-laki. Dari aspek hasil pemeriksaan emisi otoakustik, sebanyak 4 neonatus
BBLR (28.57 %) yang bilateral pass, 5 neonatus BBLR (35.72 %) yang bilateral
pass dan 5 neonatus BBLR (35.72 %) unilateral refer.
Tabel 5.3 Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik pada neonatus BBLR
Hasil Emisi Otoakustik N %
Bilateral Pass
Dari tabel 5.3 menunjukkan jenis hasil emisi otoakustik pada neonatus BBLR.
Terdapat 4 neonatus BBLR (28.6 %) yang bilateral pass, 5 neonatus BBLR (35.7
5.2 Pembahasan
Pada penelitian ini jumlah neonatus BBLR (≥1500g) yang ‘refer’ (42.86%)
lebih dari jumlah BBLSR (<1500g) (28.57%). Menurut Joseph Haddad BBLR
adalah berat badan neonatus yang kurang dari 2500g sedangkan BBLSR adalah
berat badan neonatus yang kurang dari 1500g. Menurut penelitian dari
Cone-Wesson et.al (2000), sebanyak 11 per 535 bayi iaitu 2% bayi yang BBLSR
menderita gangguan pendengaran. Sedangkan penelitian Ari-Even Roth et.al
(2006) sebanyak 49 per 337 bayi BBLSR yang mempunyai gangguan
pendengaran. Korres studi et.al (2005) 6 per 19 bayi BBLSR mempunyai
gangguan pendengaran. Menurut penelitian R Cristobal dan JS Oghalai prevelensi
BBLSR murni menyebabkan hasil ‘refer’ pada pemeriksaan emisi otoakustik
masih tidak jelas. Ini adalah karena BBLSR biasanya mempunyai faktor risiko
tambahan seperti obat otoakustik, hypoxia dan hiperbilirubinemia yang
menyebabkan gangguan pendengaran sensorineuronal. Biasanya neonatus BBLSR
diperiksa dengan pemeriksaan gangguan pendengaran yang lain seperti
timpanometri atau otoskopi. Pada penelitian ini, hasil distribusi jumlah emisi
otoakustik pada neonatus BBLR murni yang didapati mungkin tidak mencukupi
untuk mendapatkan angka kejadian yang akurat.
Distribusi jumlah neonatus BBLR perempuan lebih banyak dibandingkan
dengan neonatus BBLR laki-laki yaitu sebanyak 57.14 %. Penelitian T. Uchua,
Renato S et.al yang berjudul ‘Prevalence of Hearing Loss In Very Low Birth
Weight Neonates’ mengungkapkan bahwa neonatus BBLSR perempuan sebanyak
57.3 %. Sedangkan penelitian Amisha Kanji et al melaporkan 51 neonatus BBLR
perempuan dan 35 neonatus BBLR laki-laki diperiksa emisi otoakustik. Ini
mungkin terjadi karena jumlah populasi neonatus BBLR perempuan lebih banyak
yang lahir di perinatologi RSU(P)HAM dibandingkan dengan neonatus BBLR
laki-laki pada tahun 2011 hingga Agustus 2012.
Penelitian ini menunjukkan hasil pemeriksaan emisi otoakustik
‘refer’(bilateral dan unilateral) neonatus BBLR lebih banyak dari hasil ‘pass’
yaitu sebanyak 28.6%. Penelitian Amisha Kanji et al yang berjudul ‘Hearing
Retrospective Record View’ mendapatkan 48 neonatus BBLSR yang diperiksa
emisi otoakustik dengan hasil ‘pass’ dan 27 neonatus BBLSR dengan hasil ‘refer’.
Pada penelitian Melani Rakhni Mantu dapat dilihat sebanyak 52 neonatus BBLR
yang ‘pass’ dan 48 neonatus BBLR ‘refer’. Hasil pada penelitian ini berbeda
mungkin karena perbedaan jumlah populasi yang diperiksa emisi otoakustik.
Sedangkan menurut Doyle et al dalam penelitian Natacha T. Uchoa et al, hasil
pemeriksaan emisi otoakustik positif palsu biasanya bisa terjadi disebabkan
hambatan dari mesinkim di telinga tengah neonatus. Oleh karena ini neonatus
mengalami gangguan pendengaran konduktif yang sementara. Antara etiologi
gangguan pendengaran konduktif yang sementara ini adalah karena resopsi
mesenkim dimana mesenkim pada tulang temporal ini akan menggangu fungsi
vibrasi tulang osikel dan membrane timpani. Seterusnya pneumatisasi tulang
temporal akibat dari resopsi mesenchyme dan erosi osteoklatik tulang
menyebabkan rongga udara pada sel. Pada neonatus yang mempunyai defek
perkembangan ini akan terjadi gangguan pada densitas mastoid dimana rongga
udara yang berada dekat gendang telinga kurang dari yang semestinya. Ini akan
menyebabkan gangguan pada transmisi emisi akustik. Perubahan posisi dan
struktur gendang telinga pada tahun pertama postanal. Pada mula kelahiran bayi
gendang telinga akan tampak horizontal dan kelihatan ektensi dari dinding
superior gendang telinga. Apabila perkembangan telinga makin sempurna makin
vertikel posisi gendang telinga (Eby dan Nadol, 1986). Seperti pada rongga
pertengahan telinga, gendang neonatus juga berisi tisu mesenkim yang akan
diresopsi kemudiannya. Di periode perubahan ini hasil pemeriksaan emisi
otoakustik bisa refer oleh karena gangguan pada gendang telinga yang sementara.
Akhir sekali hanya separuh dari bagian tulang saluran telinga terbentuk waktu
kelahiran bayi. Perkembangan yang tidak sempurna ini juga bisa menyebabkan
gangguan pendengaran pada neonatus karena gangguan transmisi getaran suara ke
koklea.
Secara ringkas hasil pemeriksaan emisi otoakustik’refer’ pada neonatus
Sedangkan bagi neonatus BBLSR dengan faktor risiko tambahan bisa
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan
1. Distribusi jenis neonatus BBLR (≥1500g) dengan hasil emisi otoakustik
‘refer’ masing-masing bilateral dan unilateral adalah 21.43%. Jenis
neonatus BBLSR (<1500g) dengan bilateral ‘refer’ adalah 14.28 % dan
unilateral ‘refer’ adalah 14.29%.
2. Distribusi jenis kelamin neonatus perempuan dengan hasil emisi
otoakustik ‘refer’ yang bilateral dan unilateral masing-masing adalah
sama yaitu 21.43%. Sedangkan jenis kelamin laki-laki masing-masing
yang bilateral dan unilateral ‘refer’ adalah 14.29%.
3. Hasil emisi otoakustik ‘refer’ didapati lebih banyak dibanding ‘pass’
yaitu 10 neonatus ‘refer’ dan ‘4 neonatus ‘pass’. Hal ini menunjukkan
bahwa BBLR pada neonatus merupakan faktor risiko untuk hasil ‘refer’
pada emisi otoakustik.
6.2 Saran
1. Semua neonatus yang mengalami berat badan lahir rendah harus
mengikuti pemeriksaan gangguan pendengaran berupa emisi otoakustik
untuk pencegahan gangguan pendengaran sedini mungkin.
2. Masyarakat harus diedukasi mengenai kepentingan pemeriksaan emisi
DAFTAR PUSTAKA
Cristobal, R., Oghalai, J.S., 2008. Hearing Loss in children with very low
birth weight: Current Review of Epidemiology and Pathophysiology.
Available from
Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, 2006. Uji
Diagnostik Auditory Steady-state Response dalam mendeteksi Gangguan
Pendengaran pada Anak. Medical Research Unit (MRU), Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Faller, A., Schunke, M., and Schunke, G., 2004. The Human Body: An
Introduction to Structure and Function. 13th ed. Germany: Georg Thieme
Verlag.
Gartner, L.P., and Hiatt, J.L., 2007. Color Textbook of Histology. 3rd ed.
Philadelphia, PA : Saunders Elsevier.
Haddad, J. Jr., 2008. Hearing Loss. In: Kliegman, R.M., Behrman, R.E.,
Jenson, H.B, Stanton, B.F., 18th ed. Nelson textbook of Pediatrics, Vol.2.
Philadelphia, PA: 2620-2628.
Hall JW, Adlin DG, May K, Bantwal A. Pediatricians Guide to
Otoacoustic Emissions (OAEs) and Tympanometry. Maico Diagnostics
Guide 2009 : 5-7
Honrubia, D., 2004. Newborn Hearing Screening. Good Beginnings. Vol.
VII United Nations Children’s Fund and World Health Organization, Low Birthweight: Country, Regional and Global Estimates. UNICEF, New
Kemp, D.T., 1997. Otoacoustic Emissions in Perspective. In: Robinette,
M.S., and Glattke. T.J., 1st ed. Otoacoustic Emissions: Clinical
Applications, New York, USA : Thieme Medical Pub. Inc.
Kanji, A., Shangase, K.K., Ballot, D., 2010. Hearing Screening Follow-Up
Return Rate in a Very Low Birth Weight Project: A Retrospective Record
View. SA. J. Child Health Vol. 4 : 95-98
Kurman BL, Adlin DG. A Guide to Otoacoustic Emissions (OAEs) for
ENTs. Maico Diagnostics Guide 2007 : 4-5
Mantu, M.R., Reniarti, L., Effendi, S.H., 2011. Risk of Hearing Loss in
Small for Gestational Age Neonates. Paediatrica Indonesiana Vol. 51:
52-57
Novak, P.D., 2009. Dorland’s Pocket Medical Dictionary. 28th ed. India:
Elsevier Inc
Rundjan, L., Amir, I., Suwento, R., dan Mangunatmadja, I., 2005.
Skrining Gangguan Pendengaran pada Neonatus Resiko Tinggi. J. Sari
Pediatri, Vol. 6: 149-154.
Sadler, T.W., 2005. Langman’s Medical Embryology. 9th ed. Twin
Bridges, Montana, USA.
Thomson, V.R., 2007. A Programmatic Analysis of a Newborn Hearing
Screening Program for Evaluation and Improvement. Department of
Speech, Language and Hearing Sciences, University of Northern
Trihandani O. Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik sebagai
Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir di RSUP H. Adam Malik
Medan dan Balai Pelayanan Kesehatan DR. Pirngadi Medan Tahun 2009.
Tesis. Medan: Program Pendidikan Dokter Spesialis Bidang Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher FK USU,
2009: 34-35
Uchoa, N.T., Procianoy, R.S., Lavinsky, L., Sleifer, P., 2003. Prevalence
of Hearing Loss in Very Low Birth Weight Neonates. J. Pediatr 79(2):
123-28
United Nations Children’s Fund and World Health Organization, Low
Birthweight: Country, Regional and Global Estimates. UNICEF, New
Lampiran 1 :
DATA SAMPEL PENELITIAN
NO NEONATUS MR JANTINA BBLR JENIS HASIL OAE
(g) BBLR KANAN KIRI
1 Zalela 505144 Perempuan 1390 BBLSR Refer Pass
2 Ita Ginting 474532 Laki-laki 1400 BBLSR Pass Pass
3 Intan 515300 Perempuan 1200 BBLSR Refer Refer
4 Rani 517915 Perempuan 1000 BBLSR Refer Refer
5 Yuda S 514032 Laki-laki 2400 BBLR Refer Refer
6 Putri 506014 Perempuan 1480 BBLSR Refer Pass
7 Erna II 508141 Perempuan 1530 BBLR Refer Pass
8 Indah 508794 Laki-laki 1600 BBLR Refer Pass
9 Leni 474029 Laki-laki 1700 BBLR Refer Pass
10 Yanti 472712 Laki-laki 1400 BBLSR Pass Pass
11 Widi Harti 462771 Perempuan 1400 BBLSR Pass Pass
12 Sriwanti 477931 Perempuan 1600 BBLR Refer Refer
13 Wahyu 391506 Laki-laki 2500 BBLR Refer Refer
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Phaychai Amma @ Amithra Verasagaran
Tempat/tanggal lahir : 28 September 1990
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Hindu
Alamat : No 18C, Gg Suka Baru, Medan 20155, Sumatera Utara,
Medan, Indonesia.
Riwayat Pendidikan : SMA di Sek. Men. Keb. (P) Methodist, Selangor,
Malaysia.