PERBANDINGAN EFEK METIL PREDNISOLON TUNGGAL DENGAN KOMBINASI METIL PREDNISOLON DAN REHABILITASI KABAT
TERHADAP PERBAIKAN KLINIS PASIEN
TESIS
BELL’S PALSY
OLEH
FATMA ADHAYANI No. REG CHS: 19473
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/
PERBANDINGAN EFEK METIL PREDNISOLON TUNGGAL DENGAN KOMBINASI METIL PREDNISOLON DAN REHABILITASI KABAT
TERHADAP PERBAIKAN KLINIS PASIEN BELL’S PALSY
TESIS
Untuk memperoleh Gelar Dokter Spesialis Saraf pada Program Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
FATMA ADHAYANI No. REG CHS: 19473
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : Perbandingan efek metil prednisolon tunggal
dengan kombinasi metil prednisolon dan
rehabilitasi kabat terhadap perbaikan klinis pasien
Bell’s palsy
Nama : Fatma adhayani
No. Reg CHS : 19473
Program studi : Ilmu penyakit saraf
Menyetujui
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir,Sp.S(K)
NIP.19470930 197902 1 001 NIP. 19660524 199203 1 002 Dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K)
Pembimbing III
NIP.19780912 200912 2 002 Dr.Aida Fithrie,SpS
Mengetahui / mengesahkan
Ketua Program Studi/SMF Ilmu Penyakit Saraf
FK-USU/ RSUP.HAM Medan
Ketua Departemen/SMF Ilmu Penyakit Saraf
FK-USU/ RSUP.HAM Medan
Dr.Yuneldi Anwar, SpS(K)
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : Perbandingan efek metil prednisolon tunggal
dengan kombinasi metil prednisolon dan
rehabilitasi kabat terhadap perbaikan klinis pasien
Bell’s palsy
Nama : Fatma adhayani
No. Reg CHS : 19473
Program studi : Ilmu penyakit saraf
Menyetujui
Pembimbing I Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir,Sp.S(K) ...
Pembimbing II Dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K) ...
Pembimbing III Dr.Aida Fithrie,Sp.S ...
Mengetahui / mengesahkan
Ketua Program Studi/SMF Ilmu Penyakit Saraf
FK-USU/ RSUP.HAM Medan
Ketua Departemen/SMF Ilmu Penyakit Saraf
FK-USU/ RSUP.HAM Medan
Dr.Yuneldi Anwar, SpS(K)
Telah diuji pada:
Selasa, 17 Desember 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
1. Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, SpS(K)
2. Prof. Dr. Darulkutni Nasution, SpS(K)
3. Dr. Darlan Djali Chan, SpS
4. Dr. Yuneldi Anwar, SpS(K) (Penguji)
5. Dr. Rusli Dhanu, SpS(K)
6. Dr. Kiking Ritarwan,MKT,SpS(K)
7. Dr. Aldy S Rambe, SpS(K)
8. Dr. Puji Pinta O. Sinurat, SpS
9. Dr. Khairul P. Surbakti, SpS
10. Dr. Cut Aria Arina, SpS
11. Dr. Kiki M. Iqbal, SpS
12. Dr. Alfansuri Kadri, SpS
13. Dr. Aida Fithrie, SpS
14. Dr. Irina Kemala Nasution, SpS
15. Dr. Haflin Soraya Hutagalung, SpS
16. Dr. Fasihah Irfani Fitri, M.Ked (neu), SpS
PERNYATAAN
PERBANDINGAN EFEK METIL PREDNISOLON TUNGGAL DENGAN KOMBINASI METIL PREDNISOLON DAN REHABILITASI KABAT
TERHADAP PERBAIKAN KLINIS PASIEN BELL’S PALSY
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Desember 2013
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa
atas segala berkah, rahmat dan kasihNya yang telah memberikan
kesempatan untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan
salah satu tugas akhir dalam program pendidikan spesialis di Bidang Ilmu
Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara /
Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.
Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari dalam penelitian
dan penulisan tesis ini masih dijumpai banyak kekurangan, oleh sebab itu
dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan yang
berharga dari semua pihak untuk kebaikan dimasa yang akan datang.
Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyatakan
penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya, kepada :
1. Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. DR. Dr. H.
Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), atas kesempatan
dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan spesialisasi.
2. Yang terhormat Prof. Dr. H. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K),
(Rektor Universitas Sumatera Utara saat penulis diterima sebagai
PPDS),
3. yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti
dan menyelesaikan pendidikan spesialisasi.
4. Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan spesialisasi.
5. Yang terhormat Prof.Dr.dr.Hasan Sjahrir,Sp.S(K), (Kepala
telah menerima saya untuk menjadi peserta didik serta memberikan
bimbingan selama mengikuti program pendidikan spesialisasi ini.
6. Yang terhormat Ketua Departemen / SMF Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dr. Rusli Dhanu,
Sp.S(K) yang telah memberikan kesempatan, kepercayaan serta
bimbingan selama mengikuti program pendidikan spesialisasi ini.
7. Yang terhormat Ketua Program Studi Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K)
yang telah memberikan kesempatan serta bimbingan dan arahan
dalam menjalani pendidikan spesialisasi ini.
8. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis
sampaikan kepada Prof.Dr.dr.Hasan Sjahrir,Sp.S(K), dr. Aldy S.
Rambe, Sp.S(K) dan dr. Aida Fithrie, Sp.S selaku pembimbing yang
dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing dan
mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan
penyelesaian tesis ini.
9. Kepada guru-guru saya, Prof.dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K),
Prof.Dr.dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K), dr. Darlan Djali, Sp.S, dr. Irsan
NHN Lubis, Sp.S, dr. S. Irwansyah, Sp.S. almarhum, dr. Kiking
Ritarwan, MKT. Sp.S(K), dr. Aldy S.Rambe, Sp.S(K), dr. Khairul
P.Surbakti, Sp.S, dr. Puji Pinta O.Sinurat, Sp.S, dr. Cut Aria Arina,
Sp.S, dr. Kiki M.Iqbal,Sp.S, dr. Alfansuri Kadri, Sp.S, dr. Dina
Listyaningrum, Sp.S.Msi.Med, dr. Aida Fithrie, Sp.S, dr. Haflin Soraya
Hutagalung, Sp.S, dr. Irina Kemala Nasution, Sp.S, dr. Fasihah Irfani
Fitri, Mked(Neu). Sp.S, dr. Iskandar Nasution, Sp.S.FINS, dr. Antun,
Sp.S dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
baik di Departemen Neurologi maupun Departemen / SMF lainnya di
lingkungan FK – USU / RSUP. Haji Adam Malik Medan, terima kasih
yang setulus-tulusnya penulis sampaikan atas segala bimbingan dan
10. Terima kasih kepada Drs. Abdul Jalil A. A, M.Kes, selaku pembimbing
statistik yang telah banyak membimbing, membantu dan meluangkan
waktunya dalam pembuatan tesis ini, penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya.
11. Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan
kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis
dapat mengikuti pendidikan spesialisasi ini sampai selesai. Direktur
Rumah Sakit Tembakau Deli, Kepala Rumkit Putri Hijau, Direktur
RSU. Ferdinand Lumban Tobing Sibolga, Direktur RSU. Sahudin
Kutacane telah menerima saya saat menjalani stase pendidikan
spesialisasi, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya.
12. Ucapan terima kasih penulis kepada Bapak Amran Sitorus,Sukirman
Ariwibowo dan Syafrizal serta seluruh perawat dan pegawai di rawat
inap Neurologi RA4, Poliklinik Neurologi dan Instalasi Diagnostik
Terpadu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
13. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis ucapkan
kepada kedua orang tuaku, H. Daliluddin nasution dan Hj.Yusmanilda,
yang telah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang, dan
senantiasa memberi dukungan moril dan materi, bimbingan dan
nasehat serta doa yang tulus agar penulis tetap sabar dan tegar
dalam mengikuti pendidikan ini sampai selesai.
14. Teristimewa kepada anakku Mhd. Asykar Hafiz yang selalu membuat
saya tersenyum selama suka-duka menjalani pendidikan dan menjadi
alasan saya untuk terus maju dan tidak menyerah.
15. Kepada saudara-saudariku terkasih adikku Haris Abdullah,ST dan
istrinya Melita Selvriani Hulu,S.Psi, Ahmad Abizar, ST beserta seluruh
keluarga yang senantiasa membantu, memberi dorongan, pengertian,
kasih sayang dan doa dalam menyelesaikan pendidikan ini, penulis
Semoga Allah SWT membalas semua jasa dan budi baik mereka
yang telah membantu penulis tanpa pamrih dalam mewujudkan cita-
cita penulis. Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan
tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Amin
Medan, Desember 2013
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap : Dr. Fatma Adhayani
Tempat / tanggal lahir : Medan, 09 Oktober 1981
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Nama Ayah : H. Daliluddin Nasution
Nama Ibu : Hj. Yusmanilda
Nama Suami : ...
Nama Anak : Muhammad Asykar Hafiz
Riwayat Pendidikan
1. Sekolah Dasar di SD Muhammadiyah no.9 Medan tamat tahun 1993.
2. Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Medan tamat tahun 1996.
3. Sekolah Menengah Atas di SMU Negeri 5 Medan tamat tahun 1999.
4. Fakultas Kedokteran di Universitas Sumatera Utara tamat tahun 2005.
5. S2 Magister Kedokteran di Universitas Sumatera Utara tamat tahun
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Pengesahan i
Pernyataan iv
Ucapan terima kasih v
Riwayat hidup peneliti viii
Daftar Isi ix
Daftar Singkatan xi
Daftar Tabel xii
Daftar Gambar xiii
Daftar Lampiran xiv
Abstrak xv
Abstract xvi
BAB I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang 1
I.2. Perumusan Masalah 7
I.3. Tujuan Penelitian 7
I.3.1.Tujuan Umum 7
I.3.2.Tujuan Khusus 8
I.4. Hipotesis 8
I.5. Manfaat Penelitian 9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1. BELL’S PALSY 10
II.3. KERANGKA TEORI 48
BAB III. METODE PENELITIAN
III.1. Tempat dan Waktu 50
III.2. Subjek Penelitian 50
III.2.1. Populasi Sasaran 50
III.2.2. Populasi Terjangkau 50
III.2.3. Besar Sampel 50
III.2.4. Kriteria Inklusi 51
III.2.5. Kriteria Eksklusi 51
III.3. Batasan Operasional 52
III.4. Instrumen Penelitian 53
III.5. Rancangan penelitian 53
III.6. Pelaksanaan Peneitian 54
III.6.1. Pengambilan Sampel 54
III.6.2. Kerangka Operasional 54
III.6.3 Variabel yang diamati 55
III.7. Analisa Data 55
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. HASIL
IV.1.1. Karakteristik subjek penelitian 56 IV.1.2. Perbedaan skor HB sebelum dan sesudah terapi
metil prednisolon tunggal atau terapi kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat
60
IV.1.3. Perbandingan perubahan skor HB antara kelompok terapi metil prednisolon tunggal dengan kelompok terapi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat
61
IV.1.4. Hubungan antara usia, mulai terapi dan skor HB awal dengan perubahan skor HB pada kelompok terapi metil prednisolon tunggal dan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat
63
IV.2. PEMBAHASAN
IV.2.1. Karakteristik subjek penelitian 69 IV.2.2. Perbedaan skor HB antara sebelum dan sesudah
terapi metil prednisolon tunggal atau terapi kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat
71
IV.2.3. Perbandingan perbaikan klinis antara kelompok terapi metil prednisolon tunggal dengan kelompok terapi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat
73
IV.2.4. Hubungan antara, usia, mulai terapi dan skor HB awal dengan perubahan skor HB pada kelompok terapi metil prednisolon tunggal dan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat
74
IV.2.5. Keterbatasan penelitian 76
V.2. Saran 80
Daftar Pustaka 81
DAFTAR SINGKATAN
NNT Number Needed To Treat
=
SPSS Statistical Product And Science Service
=
TNF-α Tumor Necrosis Factor- α
=
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Neuropatologi dan kesembuhan spontan
dihubungkan degan derajat trauma saraf fasialis
20
Tabel 2. House- Brackmann Facial Grading system 30
Tabel 3. Yanagihara facial grading system 31
Tabel 4. Sunnybrook facial grading system 31
Tabel 5. Karakteristik subjek penelitian 59
Tabel 6. Perbedaan skor HB sebelum dan sesudah terapi metil prednisolon tunggal
60
Tabel 7. Perbedaan skor HB sebelum dan sesudah terapi kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat
61
Tabel 8. Perbandingan rerata ∆ skor HB pada kelompok terapi metil prednisolon tunggal dan kelompok terapi kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat
62
Tabel 9. Hubungan antara usia, mulai terapi dan grade awal dengan perubahan skor HB pada kelompok terapi metil prednisolon tunggal
67
Tabel 10. Hubungan antara mulai terapi, usia dan grading awal dengan perubahan skor HB pada kelompok terapi kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Nukleus Saraf Fasialis 12
Gambar 2. Perjalanan Saraf Fasialis 12
Gambar 3. Saraf Fasialis 14
Gambar 4. Saraf intermedius dan koneksinya 15
Gambar 5. Saraf fasialis ekstrakranial 16
Gambar 6. Pasien dengan (A) lesi saraf fasiai perifer (B) lesi supranuklear
24
Gambar 7. Struktur kimia dari metil prednisolon 34
Gambar 8. Mekanisme kerja steroid 36
Gambar 9. Efek steroid pada proses inflamasi 38
Gambar 10. Teknik rehabilitasi Kabat 44
Gambar 11. Grafik hubungan usia dengan ∆ skor HB pada hari 1-7 pada kelompok metil prednisolon tunggal
63
Gambar 12. Grafik hubungan usia dengan ∆ skor HB pada hari 14-21 pada kelompok metil prednisolon tunggal
64
Gambar 13. Grafik hubungan mulai terapi dengan ∆ skor HB pada hari 1-7 pada kelompok metil prednisolon tunggal
65
Gambar 14. Grafik hubungan mulai terapi dengan ∆ skor HB pada hari 14-21 pada kelompok metil prednisolon tunggal
65
Gambar 15. Grafik hubungan mulai terapi dengan ∆ skor HB pada hari 1-7 pada kelompok kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Persetujuan Subjek Penelitian
Lampiran 2. Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP)
Lampiran 3. Lembar Pengumpul Data
Lampiran 4. Surat Komite Etik Bidang Kesehatan
Abstrak
Latar Belakang: Bell’s palsy salah satu jenis paralisis saraf fasialis perifer unilateral yang paling sering ditemukan. Pengobatan dengan metil prednisolon telah diakui dapat meningkatkan angka kesembuhan penyakit ini. Rehabilitasi kabat adalah salah satu jenis terapi fisik yang baru dikenal dalam pengobatan
Bell’s palsy.
Tujuan: untuk mengetahui efek pengobatan metil prednisolon tunggal dan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat terhadap perbaikan klinis pasien Bell’s palsy
Metode: penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen yang melibatkan 20 orang pasien Bell’s palsy, yang terdiri dari 10 orang pasien yang mendapatkan terapi metil prednisolon tunggal dan 10 orang mendapat terapi kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat. Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis Taverner melalui pemeriksaan fisik umum dan neurologis. Semua pasien diberikan metil prednisolon 50 mg sekali sehari selama 5 hari, di tappering off 10 mg/ hari hingga total pengobatan 9 hari. Pasien dalam kelompok terapi kombinasi mendapatkan terapi rehabilitasi kabat yang dilakukan satu kali sehari selama 14 hari (selain hari jumat dan hari libur). Seluruh pasien dinilai skor HBS pada saat awal, 7, 14 dan 21 hari terapi.
Hasil: Karakteristik demografik tidak berbeda secara signifikan pada kedua kelompok. Pada awal studi, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dari skor HBS antara kedua kelompok. Setelah diberikan terapi metil prednisolon tunggal atau kombinasi dengan rehabilitasi kabat, terdapat penurunan yang signifikan dari rerata skor HBS pada masing- masing kelompok (p<0,001) dan perbedaan ∆ skor HBS yang signifikan pada kelompok kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat dibandingkan kelompok metil prednisolon tunggal pada hari 14-21 (p=0,028). Terdapat korelasi yang negatif yang signifikan antara usia dan ∆ skor HBS pada hari 1-7 (r=-0,800; p=0,005) dan hari 14-21 ( r=-0,800 ;p<0,005), dan korelasi negatif yang signifikan antara mulai terapi dengan ∆ skor HBS pada hari ke1-7 (r=-0,692; p=0,027) dan hari 14-21 (r=-0,808;p=0,005), namun tidak ada korelasi yang signifikan antara skor HB awal dengan ∆ skor HBS pada kelompok metil prednisolon tunggal. Pada kelompok kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat, hanya ditemukan korelasi negatif yang signifikan antara mulai terapi dengan ∆ skor HBS pada hari 1-7 (r=0,861;p=0,001), sedangkan antara usia, skor HBS awal dengan ∆ skor HB tidak ditemukan korelasi yang signifikan.
Kesimpulan: Pasien Bell’s palsy yang mendapatkan terapi kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat memperoleh perbaikan klinis yang lebih cepat pada hari 14-21 dibandingkan kelompok terapi metil prednisolon tunggal.
Abstract
Background: Bell’s palsy is the most common causes of unilateral peripheral facial paralysis. The treatment of methyl prednisolone has approved to increase the recovery rate of Bell’s palsy. Kabat rehabilitation is the one of physical therapy tahat newly introduced in Bell’s palsy treatment.
Purpose: To evaluate the effects of methyl prednisolone alone and combination of methyl prednisolon and kabat rehabilitation in clinical improvement of Bell’s palsy patients.
Methods: This was a quasy experimental study involving 20 Bell’s palsy patients which consisted of 10 patients who received methyl prednisolone alone and 10 patients who received the combination therapy of methyl prednisolone and kabat rehabilitation. Diagnosis was made by diagnosis criteria of Taverner, through the general physical and neurological examination. All patients were given the methyl prednisolon 50 mg once daily in 5 days, and then tappering off 10 mg /day to the total treatment 9 days. The kabat rehabilitation was done once daily for 14 days (except for friday and holiday). All patient’s HBS score were evaluated on first ,7th , 14th and 21st
Results: the demographic characteristics were not significantly different between two groups. At baseline, there were no significant difference in HBS score between two groups. After the administration of methyl prednisolone alone or combination with kabat rehabilitation, there was significantly decreasing of mean HBS score for each groups (p<0,001) and the ∆HBS score significantly difference in combination group than the methyl prednisolone only group in day 14-21. There was significantly negative correlation between age and HBS score on day 1-7 (r=-0,800; p=0,005) and day 14-21 ( r=-0,800 ;p<0,005), and initiation of therapy with ∆ HBS score on day 1 -7 0,692; p=0,027) and day 14-21 (r=-0,808;p=0,005). There was no significant correlation between initial HBS score with ∆ HBS score in methyl prednisolone group. In combination of methyl prednisolone and kabat rehabillitation, there was significant negative correlation only between inition of therapy and ∆ HBS score on day 1 -7 (r=0,861;p=0,001),but no significantly correlation between age, initial HBS score and ∆ HBS score.
days.
Abstrak
Latar Belakang: Bell’s palsy salah satu jenis paralisis saraf fasialis perifer unilateral yang paling sering ditemukan. Pengobatan dengan metil prednisolon telah diakui dapat meningkatkan angka kesembuhan penyakit ini. Rehabilitasi kabat adalah salah satu jenis terapi fisik yang baru dikenal dalam pengobatan
Bell’s palsy.
Tujuan: untuk mengetahui efek pengobatan metil prednisolon tunggal dan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat terhadap perbaikan klinis pasien Bell’s palsy
Metode: penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen yang melibatkan 20 orang pasien Bell’s palsy, yang terdiri dari 10 orang pasien yang mendapatkan terapi metil prednisolon tunggal dan 10 orang mendapat terapi kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat. Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis Taverner melalui pemeriksaan fisik umum dan neurologis. Semua pasien diberikan metil prednisolon 50 mg sekali sehari selama 5 hari, di tappering off 10 mg/ hari hingga total pengobatan 9 hari. Pasien dalam kelompok terapi kombinasi mendapatkan terapi rehabilitasi kabat yang dilakukan satu kali sehari selama 14 hari (selain hari jumat dan hari libur). Seluruh pasien dinilai skor HBS pada saat awal, 7, 14 dan 21 hari terapi.
Hasil: Karakteristik demografik tidak berbeda secara signifikan pada kedua kelompok. Pada awal studi, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dari skor HBS antara kedua kelompok. Setelah diberikan terapi metil prednisolon tunggal atau kombinasi dengan rehabilitasi kabat, terdapat penurunan yang signifikan dari rerata skor HBS pada masing- masing kelompok (p<0,001) dan perbedaan ∆ skor HBS yang signifikan pada kelompok kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat dibandingkan kelompok metil prednisolon tunggal pada hari 14-21 (p=0,028). Terdapat korelasi yang negatif yang signifikan antara usia dan ∆ skor HBS pada hari 1-7 (r=-0,800; p=0,005) dan hari 14-21 ( r=-0,800 ;p<0,005), dan korelasi negatif yang signifikan antara mulai terapi dengan ∆ skor HBS pada hari ke1-7 (r=-0,692; p=0,027) dan hari 14-21 (r=-0,808;p=0,005), namun tidak ada korelasi yang signifikan antara skor HB awal dengan ∆ skor HBS pada kelompok metil prednisolon tunggal. Pada kelompok kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat, hanya ditemukan korelasi negatif yang signifikan antara mulai terapi dengan ∆ skor HBS pada hari 1-7 (r=0,861;p=0,001), sedangkan antara usia, skor HBS awal dengan ∆ skor HB tidak ditemukan korelasi yang signifikan.
Kesimpulan: Pasien Bell’s palsy yang mendapatkan terapi kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat memperoleh perbaikan klinis yang lebih cepat pada hari 14-21 dibandingkan kelompok terapi metil prednisolon tunggal.
Abstract
Background: Bell’s palsy is the most common causes of unilateral peripheral facial paralysis. The treatment of methyl prednisolone has approved to increase the recovery rate of Bell’s palsy. Kabat rehabilitation is the one of physical therapy tahat newly introduced in Bell’s palsy treatment.
Purpose: To evaluate the effects of methyl prednisolone alone and combination of methyl prednisolon and kabat rehabilitation in clinical improvement of Bell’s palsy patients.
Methods: This was a quasy experimental study involving 20 Bell’s palsy patients which consisted of 10 patients who received methyl prednisolone alone and 10 patients who received the combination therapy of methyl prednisolone and kabat rehabilitation. Diagnosis was made by diagnosis criteria of Taverner, through the general physical and neurological examination. All patients were given the methyl prednisolon 50 mg once daily in 5 days, and then tappering off 10 mg /day to the total treatment 9 days. The kabat rehabilitation was done once daily for 14 days (except for friday and holiday). All patient’s HBS score were evaluated on first ,7th , 14th and 21st
Results: the demographic characteristics were not significantly different between two groups. At baseline, there were no significant difference in HBS score between two groups. After the administration of methyl prednisolone alone or combination with kabat rehabilitation, there was significantly decreasing of mean HBS score for each groups (p<0,001) and the ∆HBS score significantly difference in combination group than the methyl prednisolone only group in day 14-21. There was significantly negative correlation between age and HBS score on day 1-7 (r=-0,800; p=0,005) and day 14-21 ( r=-0,800 ;p<0,005), and initiation of therapy with ∆ HBS score on day 1 -7 0,692; p=0,027) and day 14-21 (r=-0,808;p=0,005). There was no significant correlation between initial HBS score with ∆ HBS score in methyl prednisolone group. In combination of methyl prednisolone and kabat rehabillitation, there was significant negative correlation only between inition of therapy and ∆ HBS score on day 1 -7 (r=0,861;p=0,001),but no significantly correlation between age, initial HBS score and ∆ HBS score.
days.
BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG
Bell’s palsy adalah paralisis saraf fasial unilateral akut yang
pertama kali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan
dokter bedah bernama Sir Charles Bell (Lockhart dkk, 2010; Lo, 2010).
Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering
ditemukan yaitu sebanyak 75 % dengan penyebab yang tidak diketahui.
ldiopathic facial paralysis adalah sebutan lain dari Bell’s palsy yang
digunakan di beberapa literatur (Monini dkk, 2010; Ronthal dkk, 2012).
lnsidensi Bell’s palsy berbeda- beda pada setiap negara. Di Roma ltalia,
insidensi berkisar 53 setiap 100000 populasi pertahunnya, dan paling
sering mengenai kelompok usia 15- 45 tahun (Monini dkk, 2010).
Bell’s palsy memiliki onset akut dalam 1 atau 2 hari. Perjalanan
penyakit biasanya progresif, dan mencapai paralisis maksimal dalam 1-3
minggu (Kanerva 2008; Ronthal dkk, 2012). Gejala Bell’s palsy yang
sering dijumpai termasuk alis mata turun, tidak dapat menutup mata,
lipatan nasolabial tidak tampak, dan mulut tertarik ke sisi yang sehat.
Berkurangnya air mata, hiperakusis, dan atau hilangnya rasa pada dua
pertiga lidah dapat membantu dalam menentukan lokasi lesi, namun tidak
memiliki nilai diagnostik dan prognostik sehingga jarang digunakan dalam
derajat kelumpuhan yang bervariasi, berupa kelumpuhan lengkap (jika
otot- otot wajah tidak dapat berkontraksi secara volunter, hiperakusis, atau
hilangnya rasa pada lidah) dan tidak lengkap (parsial). Untuk menilai
secara klinis keparahan paralisis saraf fasialis, berbagai sistem skoring
telah diperkenalkan, yang paling banyak diterapkan dan mudah untuk
dilakukan adalah House Brackmann (HB) grading system. Derajat
paralisis saraf fasialis dapat juga dinilai dengan Sunnybrook scale,
Yanagihara grading system dan berbagai sistem lainnya. Sistem skoring
ini juga digunakan untuk mengevaluasi hasil pengobatan yang diberikan
pada penderita Bell’s palsy (Finsterer 2008; Kanerva 2008;Berg 2009).
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy adalah baik tanpa
pengobatan (Holland dkk, 2004; Peitersen 2002). Menurut Peitersen
(2002), penyembuhan lengkap diamati 71 % dari seluruh pasien Bell’s
palsy. Sekitar 94 % kasus paralisis lengkap dan 61 % kasus paralisis tidak
lengkap mencapai fungsi normalnya kembali setelah 6 bulan tanpa
pengobatan. Namun, sekitar 30 % pasien memiliki sekuele, seperti
paralisis residual (29%), kontraktur (17%), dan spasme hemifasial atau
sinkinesia (16%). Penyembuhan yang tidak lengkap dari saraf fasialis ini
dapat memiliki dampak jangka panjang pada kualitas hidup pasien Bell’s
palsy, seperti kesulitan minum, makan, berbicara dan juga masalah
psikososial (Peitersen dkk, 2002; Holland dkk, 2004; Monini dkk, 2010;
Kwon dkk, 2011). Pengobatan ditujukan untuk memperbaiki fungsi saraf
Beberapa modalitas pengobatan telah dievaluasi selama 3 dekade, dan
pengobatan dengan kortikosteroid paling banyak digunakan (Ramsey dkk,
2000).
Terdapat banyak penelitian yang memiliki hasil yang bertentangan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Peitersen (2002). Dua penelitian
randomized controlled trial (RCT) berskala besar (Sullivan dkk, 2007 dan
Engstrom dkk, 2008) yang meneliti tentang efek pemberian prednisolon
oral terhadap perbaikan dan kesembuhan saraf fasialis pada sejumlah
besar pasien Bell’s palsy. Kedua penelitian ini menyimpulkan bahwa
pengobatan yang segera dengan prednisolon oral secara signifikan
memperpendek waktu penyembuhan lengkap pada pasien Bell’s palsy.
Sullivan dkk (2007) melaporkan bahwa kesembuhan lengkap dari fungsi
saraf fasialis, yang didefinisikan dengan skor HB 1, dijumpai 90 % pada
pasien yang diobati dengan prednisolon dan 75% pada pasien yang tidak
mendapatkan prednisolon. Sedangkan pada penelitian Engstrom dkk
(2008) mendapatkan proporsi kesembuhan sebesar 72 % pada pasien
yang diberi prednisolon dan 57% pasien tanpa prednisolon, setelah
dievaluasi dengan Sunnybrook scale.
Penelitian lainnya dari Lagalla dkk (2002) yang bersifat double blind
RCT bertujuan untuk menilai efikasi dari pemberian prednison dosis tinggi
(1 gr/hari selama 3 hari kemudian 0,5 gr/hari selama 3 hari), yang
diberikan dalam waktu 72 jam dari onset paralisis. Penilaian dilakukan
menggunakan HB grading system. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa pasien yang diberi terapi prednison memiliki kesembuhan lengkap
sebesar 70% dibanding 39% pada kontrol selama 1 bulan follow up.
Setelah 3 bulan, penyembuhan diperoleh sebesar 80 % pada pasien yang
diobati dibanding 69% pasien yang tidak diobati, dan pada 6 bulan
sebesar 83% (dengan prednison) dan 75 % (kontrol).
Studi yang bersifat metaanalisis telah dilakukan oleh Quant dkk
(2009) dan Ramsey dkk (2000). Quant dkk (2009) melakukan analisa
terhadap 6 penelitian RCT yang memiliki jumlah sampel yang besar
dengan total pasien 1145 orang, telah mendapatkan hasil proporsi yang
tinggi dari pasien Bell’s palsy yang mencapai kesembuhan saraf fasialis
setelah diberikan steroid, yaitu sekitar 89,7%. Penelitian dari Ramsey dkk
(2000) yang dilakukan pada 3 penelitian prospektif telah menunjukkan
bahwa kortikosteroid memberikan perbaikan fungsi secara klinis dan
signifikan pada pasien Bell’s palsy yang tidak lengkap. Sedangkan pada
pasien dengan derajat paralisis yang lengkap, kortikosteroid memberikan
outcome yang lebih baik dengan memperbaiki insidens kesembuhan
lengkap sebesar 17% dibandingkan dengan pasien yang tidak
mendapatkan pengobatan.
Axelsson dkk (2010) meneliti apakah mulai pengobatan dan usia
pasien berkaitan dengan outcome pasien BeII's palsy. Dari hasil penelitian
diperoleh bahwa pasien yang diobati dengan prednisolon dalam 24 jam
daripada pasien yang tidak diberi prednisolon (51% dan 58%). Pasien
yang berusia 40 tahun keatas memiliki tingkat kesembuhan yang lebih
tinggi jika diobati dengan prednisolon, sedangkan pasien yang berusia
dibawah 40 tahun tidak berbeda antar kelompok yang diobati dengan
yang tidak diobati dengan prednisolon.
Terdapat dua studi lainnya yang bersifat systematic review. Satu
studi yang bersumber dari Cochrane Neuromuscular Disease Group
Trials, bertujuan untuk menilai efikasi dan efek samping kortikosteroid
dalam pengobatan Bell’s palsy. Studi ini melibatkan 8 randomized trial
dengan total 1569 orang pasien. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
terdapat penurunan yang signifikan dalam jumlah pasien dengan
penyembuhan yang tidak lengkap pada 6 bulan follow up antara kelompok
yang mendapatkan kortikosteroid dan kelompok kontrol (risk ratio (RR)
0,71, confidence interval (CI) 0,61-0,83. Jumlah number needed to treat
(NNT) untuk menghindari satu pasien menderita penyembuhan yang tidak
lengkap dari saraf fasialis adalah 10 (95% Cl 7-18). Terdapat juga
penurunan yang signifikan terhadap jumlah pasien yang mendapat
komplikasi sinkinesia antara kelompok kortikosteroid dengan kelompok
plasebo (RR 0,60, 95 % Cl 0,44-0,81). Jumlah NNT untuk mencegah satu
pasien mendapatkan komplikasi sinkinesia adalah 12 (95% Cl 6-25). Dari
studi ini tidak didapatkan efek samping yang berbahaya pada penggunaan
terapi kortikosteroid, dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar 2
dan Cochrane Database of Controlled Clinical Trials telah
merekomendasikan pemberian steroid oral pada pasien Bell’s palsy
dengan onset baru. Dikatakan bahwa steroid dapat meningkatkan
probabilitas kesembuhan fungsi saraf fasialis dengan perbedaan resiko
12,8-15% atau NNT 6-8 (Gronseth dkk, 2012).
Selain steroid, penatalaksanaan pasien Bell’s palsy dengan
rehabilitasi fisik sedang banyak diteliti, namun kegunaan dan manfaatnya
masih dalam perdebatan. Van Swearingen (2008) menyebutkan bahwa
penggunaan rehabilitasi untuk paralisis fasialis setelah insult hanya
memberikan sedikit keuntungan, sehingga ketersediaan rehabilitasi fisik
masih terbatas dan banyak pasien dengan gangguan gerakan fasial
hanya menunggu untuk terjadinya penyembuhan spontan atau tanpa
dilakukan tindakan intervensi sama sekali. Teixeira dkk (2010) dalam
systematic review nya belum dapat menyimpulkan tentang manfaat atau
bahaya dari terapi fisik terhadap pasien Bell’s palsy, karena masih
kurangnyapenelitian RCT berkualitas tinggi yang meneliti tentang
perbaikan fungsi fasialis, terutama pada pasien dengan paralisis sedang
dan kasus- kasus kronis.
Studi lainnya telah meneliti bahwa beberapa teknik terapi fisik
bermanfaat dalam penyembuhan paralisis fasialis pada pasien Bell’s
palsy, seperti terapi manual dan stimulasi elektrik (Manikandan 2007),
Barbara dkk (2010) melakukan randomized trial terhadap 20 orang
pasien Bell’s palsy, yang dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok pertama (9
orang) diberi terapi medikamentosa (kombinasi steroid dan antivirus)
dengan rehabilitasi fisik, sedangkan kelompok kedua (11 orang) hanya
diberi rnedikamentosa. Rehabilitasi fisik yang diberikan adalah
berdasarkan konsep Kabat atau disebut juga dengan propioceptive
neuromuscular facilitation (PNF). Pasien kemudian di follow up selama 15
hari dan dinilai tingkat perbaikannya berdasarkan House Brackmann
grading system pada hari ke 4,7 dan 15 setelah onset pengobatan. Dari
hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pasien-pasien pada kelompok
pertama yang mendapatkan rehabilitasi fisik secara jelas rnenunjukkan
perbaikan klinis yang lebih cepat dibandingkan kelompok tanpa
rehabilitasi fisik.
I.2. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang penelitian- penelitian terdahulu seperti
yang diuraikan diatas, dirumuskan masalah sebagai berikut :
Apakah terdapat perbedaan efek antara metil prednisolon tunggal
dengan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat terhadap
I.3. TUJUAN PENELITIAN I.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbandingan efek antara metil prednisolon
tunggal dengan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat
terhadap perbaikan klinis pasien Bell’s palsy.
I.3.2. Tujuan Khusus
I.3.2.1. Untuk mengetahui perbandingan efek antara metil prednisolon
tunggal dengan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat
terhadap perbaikan klinis pasien Bell’s palsy yang berobat ke poliklinik
Neurologi RSUP HAM dan RS jejaring.
I.3.2.2. Untuk mengetahui karakteristik demografik, mulai terapi dan skor
HB pada pasien Bell’s palsy yang berobat ke poliklinik Neurologi RSUP
HAM dan RS jejaring.
I.3.2.3. Untuk mengetahui skor HB sebelum dan sesudah terapi pada
masing- masing kelompok (metil prednisolon tunggal dan kombinasi metil
prednisolon dengan rehabilitasi kabat).
I.3.2.4. Untuk mengetahui hubungan usia, mulai terapi dan skor HB awal
dengan perbaikan klinis pasien Bell’s palsy pada hari 1-7,7-14 dan 14-21.
I.4. HIPOTESIS
Terdapat perbedaan efek antara metil prednisolon tunggal dan
kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat terhadap perbaikan
I.5. MANFAAT PENELITIAN
I.5.1. Manfaat Penelitian Untuk llmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara
keilmuan tentang pemilihan pengobatan yang paling efektif antara metil
prednisolon tunggal atau kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi fisik
kabat dalam penatalaksanaan pasien Bell’s palsy.
I.5.2. Manfaat Penelitian Untuk Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk penelitian
selanjutnya tentang perbedaan efek antara metil prednisolon tunggal atau
kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat terhadap perbaikan
klinis pasien Bell’s palsy, sehingga dapat menjadi rujukan dalam pemilihan
pengobatan pada pasien Bell’s palsy.
I.5.3. Manfaat Penelitian Untuk Masyarakat
Dengan mengetahui adanya perbedaan efek antara metil
prdnisolon tunggal dengan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi
kabat terhadap perbaikan klinis pasien Bell’s palsy, dapat dilakukan
penatalaksanaan yang terbaik dalam memperbaiki paralisis wajah pasien
Bell’s palsy, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien,
mencegah timbulnya gangguan psikososial yang mungkin timbul pada diri
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA II.1. BELL’S PALSY
ll.1.1. Definisi
BeIl’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral
karena gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan
penyebab yang tidak teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang
terjadi dalam 6 bulan (Berg 2009).
II.1.2. Epidemiologi
Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling
sering ditemukan, yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden
bervariasi di berbagai Negara di seluruh dunia. Perbedaan insidensi ini
tergantung pada kondisi geografis masing- masing negara. Insiden
tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000 populasi.
Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-45 tahun).
Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin. Insiden
meningkat tiga kali lebih besar pada wanita hamil (45 kasus per 100.000).
Sebanyak 5-10% kasus Bell’s palsy adalah penderita diabetes mellitus.
(Finsterer 2008; Monini dkk, 2010). Bell’s palsy jarang ditemukan pada
anak- anak < 2 tahun. Tidak ada perbedaan pada sisi kanan dan kiri
wajah. Kadang- kadang paralisis saraf fasialis bilateral dapat terjadi
dengan prevalensi 0,3- 2% (Finsterer, 2008). Resiko terjadinya rekurensi
64% pada sisi yang berlawanan (Tiemstra dkk, 2007; Kanerva 2008).
Adanya riwayat keluarga
positif diperkirakan pada 4-14% kasus Bell’s palsy (Kubik dkk, 2012)
Suatu studi epidemiologi yang dilakukan oleh Monini dkk (2010) terhadap
500.000 penduduk di satu wilayah di Roma ltalia selama 2 tahun, telah
rnenemukan jumlah pasien Bell’s palsy sebanyak 381 orang, dengan
insiden kumulatif sebesar 53,3 kasus pertahun.
ll.1.3. Anatomi Saraf Fasialis
Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar
saraf, yaitu akar motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius
(lebih kecil dan lebih lateral)(gambar 1). Akar motorik berasal dari nukleus
fasialis dan berfungsi membawa serabut- serabut motorik ke otot- otot
ekspresi wajah. Saraf intermedius yang berasal dari nukleus salivatorius
anterior, membawa serabut-serabut parasimpatis ke kelenjar lakrimal,
submandibular, dan sublingual. Saraf intermedius juga membawa serabut-
serabut aferen untuk pengecapan pada dua pertiga depan lidah dan
aferen somatik dari kanalis auditori eksterna dan pinna (gambar 2)
(Monkhouse 2006).
Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan
berjalan secara lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan
saraf vestibulocochlearis menuju meatus akustikus internus, yang memiliki
panjang ± 1 centimeter (cm), dibungkus dalam periosteum dan
Gambar 1. Nukleus dan Saraf Fasialis
Dikutip dari: Clarke, C., Lemon, R. 2009. Nervous System Structure and Function. In: Clarke,C., Howard, R., Rossor, M., Shorvon, S., eds. Neurology: a Queen Square textbook. Balckwell Publishing Ltd.
Gambar 2. Perjalanan saraf fasialis
Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis (fallopi)
memiliki panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3 segmen yang
berurutan: labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin terletak antara
vestibula dan cochlea dan mengandung ganglion genikulatum. Karena
kanal paling sempit berada di segmen labirin ini (rata- rata diameter 0,68
mm), maka setiap terjadi pembengkakan saraf, paling sering
menyebabkan kompresi di daerah ini. Pada ganglion genikulatum, muncul
cabang yang terbesar dengan jumlahnya yang sedikit yaitu saraf petrosal.
Saraf petrosal meninggalkan ganglion genikulatum, memasuki fossa
cranial media secara ekstradural, dan masuk kedalam foramen lacerum
dan berjalan menuju ganglion pterigopalatina. Saraf ini mendukung
kelenjar lakrimal dan palatina (gambar 3) (Ronthal dkk, 2012; Berg 2009).
Serabut saraf lainnya berjalan turun secara posterior di sepanjang
dinding medial dari kavum timpani (telinga tengah), dan memberikan
percabangannya ke musculus stapedius (melekat pada stapes). Lebih ke
arah distal, terdapat percabangan lainnya yaitu saraf korda timpani, yang
terletak ± 6 mm diatas foramen stylomastoideus. Saraf korda timpani
merupakan cabang yang paling besar dari saraf fasialis, berjalan melewati
membran timpani, terpisah dari kavum telinga tengah hanya oleh suatu
membran mukosa. Saraf tersebut kemudian berjalan ke anterior untuk
bergabung dengan saraf lingualis dan didistribusikan ke dua pertiga
The facial nerve provides motor innervation to all the muscles of facial expression and the three muscle derivatives of the second pharyngeal arch (posterior digastric, stapedius, and stylohyoid). It parasympathetically fires three of the four glands in the head: the submandibular and sublingual salivary glands, and the lacrimal gland (A). Other parasympathetic fibers stimulate mucous secretion in the nose and palate. Taste fibers from the anterior two-thirds of the tongue follow the path of the lingual branch of cranial nerve (CN) V until just before entering the cranium as a distinct chorda tympani nerve (B).
Gambar 3. Saraf fasialis
Korda timpani mengandung serabut- serabut sekretomotorik ke kelenjar
sublingual dan submandibularis, dan serabut aferen viseral untuk
pengecapan, Badan sel dari neuron gustatori unipolar terletak didalam
ganglion genikulatum, dan berjalan malalui saraf intermedius ke traktus
solitarius (gambar 4) (Ronthal dkk, 2012; Monkhouse 2006).
Gambar 4. Saraf Intermedius dan koneksinya
Dikutip dari: Clarke, C., Lemon, R. 2009. Nervous System Structure and Function. In: Clarke,C., Howard, R., Rossor, M., Shorvon, S., eds. Neurology: a Queen Square textbook. Balckwell Publishing Ltd.
Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, saraf fasialis
membentuk cabang kecil ke auricular posterior (mempersarafi
m.occipitalis dan m. stylohoideus dan sensasi kutaneus pada kulit dari
meatus auditori eksterna) dan ke anterolateral menuju ke kelenjar parotid.
Di kelenjar parotid, saraf fasialis kemudian bercabang menjadi 5 kelompok
(pes anserinus) yaitu temporal, zygomaticus, buccal, marginal mandibular
kelenjar parotid, dan mempersarafi dot- otot ekspresi wajah, diantaranya
m. orbicularis oculi, orbicularis oris, m. buccinator dan m. Platysma
(Gambar 5) (Ronthaldkk, 2012; Berg 2009; Monkhouse 2006).
Gambar 5. Saraf fasialis ekstrakranial
Dikutip dari: Monkhouse, S. 2006. Cranial Nerves: Functional Anatomy. Cambridge University Press. New York.
II.1.4. Etiopatogenesis
Bell’s palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada
ganglion genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan
demielinasi. Ganglion ini terletak didalam kanalis fasialis pada
persambungan labirin dan segmen timpani, dimana lengkungan saraf
secara tajam memasuki foramen stylomastoideus (Tiemstra dkk, 2007).
Secara klinis, Bell’s palsy telah didefinisikan idiopatik, dan
penyebab proses inflamasi masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga
sebagai penyebab dari Bell’s palsy, antara lain iskemik vaskular,
imunologi, infeksi dan herediter telah diduga menjadi penyebab (Berg
Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi saraf
fasialis, menyebabkan edema dan penjepitan saraf fasialis selama
perjalanannya didalam kanal tulang temporal dan menghasilkan kompresi
dan kerusakan langsung atau iskemia sekunder terhadap saraf. Teori ini
merupakan latar belakang untuk dekompresi bedah pada pengobatan
Bell’s palsy (Kanerva 2008). Suatu hipotesa imunologis telah
diperkenalkan oleh Mc. Govern dkk, berdasarkan penelitian eksperimental
pada hewan. Begitu juga Hughes dkk, menemukan transformasi limfosit
pada pasien Bell’s palsy dan menduga bahwa beberapa penyebab Bell’s
palsy merupakan hasil dari cell mediated immunity melawan antigen saraf
perifer. Hasil ini mendukung penelitian selanjutnya dengan steroid dan
imunoterapi lainnya (Berg 2009).
Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsung
merusak fungsi saraf melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan
terjadi pada seluruh perjalanan saraf dan bukan oleh kompresi pada kanal
tulang (Kanerva 2008). Suatu penelitian systematic review berdasarkan
Cochrane database, yang dilakukan terhadap beberapa penelitian
randomized yang berkualitas tinggi telah menyimpulkan bahwa antivirus
tidak lebih efektif daripada plasebo dalam menghasilkan penyembuhan
lengkap pada pasien Bell’s palsy. Karena tidak efektifnya antivirus dalam
mengobati pasien Bell’s palsy sehingga perlu dipertimbangkan adanya
Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab
Bell’s palsy, terutama kasus Bell’s palsy yang rekuren ipsilateral atau
kontralateral. Kebanyakan kasus yang dijumpai adalah autosomal
dominant inheritance (Garg dkk, 2012). Sejumlah penelitian telah
berusaha rnemberikan temuan objektif tentang dasar genetik dari BeII’s
palsy, dan kebanyakan terpusat pada sistem Human leucocyte antigen
(HLA), yang memiliki hubungan objektif yang kuat dengan berbagai
penyakit autoimun (Kubik dkk, 2012).
II.1.5. Patofisiologi
Saraf fasialis membawa sekitar 10.000 serabut saraf, dan 7.000
serabut tersebut merupakan akson motorik yang bermielin yang mencapai
otot- otot wajah. Masing- masing dari serabut saraf tersebut dapat dikenai
secara terpisah terhadap derajat trauma yang berbeda (May 2000).
Sunderland telah mendeskripsikan lima derajat trauma yang dapat
mengenai satu serabut saraf perifer. Klasifikasi ini menggambarkan
kejadian patofisiologi yang dihubungkan dengan setiap jenis gangguan
yang mengenai saraf fasialis secara lebih mudah. Tiga derajat pertama
dapat terjadi pada Bell’s palsy dan herpes zoster cephalicus. Derajat
keempat dan kelima dari trauma tersebut dapat terjadi bila terdapat
gangguan dari saraf, seperti pada transeksi saraf yang mungkin terjadi
selama operasi, sebagai hasil dari fraktur tulang temporal yang berat atau
dari suatu pertumbuhan tumor jinak atau ganas yang tumbuh dengan
trauma, kompresi dapat terjadi tiba- tiba atau lambat progresif dalam 5- 10
hari. Pada otitis media dan trauma, proses yang terjadi lebih kepada
tekanan yang mendesak saraf daripada gangguan intraneural, namun
hasil kompresi saraf tetap sama seperti pada Bell’s palsy dan herpes
zoster cephalicus. Diawali dengan penggembungan aksoplasma,
kompresi pada aliran vena dan selanjutnya terjadi kompresi saraf dan
kehilangan akson- akson, dan dengan cepat terjadi kehilangan endoneural
tube yang kemudian menyebabkan derajat ketiga dari trauma. Pada
derajat empat dan lima, karena kebanyakan atau semua endoneural tube
telah dirusak, sama seperti perineurium pada derajat keempat trauma, dan
prineurium dan epineurium pada pada trauma derajat kelima,
penyembuhan tidak akan pernah sebaik pada derajat pertama (tabel 1)
(May 2000)
Selama proses regenerasi saraf fasialis, terjadi tiga perubahan
mayor pada akson, yaitu: (1) perubahan pada jarak antara nodus renvier
(2) akson- akson yang baru terbentuk dilapisi oleh myelin yang lebih tipis
daripada akson normal (3) terdapat pemecahan dan penyilangan dari
akson- akson yang menginervasi kembali kelompok- kelompok otot yang
denervasi tanpa perlu menyesuaikan dengan susunan badan sel- motor
unit yang dijumpai sebelum terjadi degenerasi. Akibat dari faktor- faktor ini,
Tabel 1. Neuropatologi dan kesembuhan spontan dihubungkan dengan derajat trauma saraf fasialis
Derajat
Trauma Patologi Trauma Neurobiologi Saraf
Onset
Klinis
Perbaikan Kesembuhan SpontanHB grading system -
1
Kompresi. Aksoplasma menggembung. Tidak ada perubahan morfologi (neuropraksia)
Tidak ada perubahan morfologi 1-4 minggu Grade 1 : lengkap: tidak dijumpai
regenerasi yang salah
Akson- akson tumbuh ke dalam tabung myelin kosong yang intak pada kecepatan 1 mm/ hari yang memungkinkan kesembuhan dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan derajat 1, lebih sedikit sembuh lengkap karena beberapa serabut mengalami derajat 3
1-2 bulan
Grade II: agak baik: beberapa perbedaan pada gerakan volunter dan gerakan spontan. Sedikit ditemukan regenerasi yang salah
3
Tekanan intraneural meningkat. Kehilangan myelin (neurometsis)
Dengan hilangnya tabung myelin, akson- akson baru memiliki kesempatan untuk bercampur dan membelah menyebabkan terjadinya gerakan mulut sewaktu menutup mata, yang disebut sinkinesia.
2-4 bulan
Grade lll-IV: sedang- buruk: tampak penyembuhan tidak lengkap hingga deformitas yang lemah dengan komplikasi sedang hingga bermakna dari regenerasi yang salah
4
Derajat 3 + gangguan pada perineurium (transeksi parsial)
Selain gangguan yang terjadi pada derajat 2 dan 3, sekarang akson- akson
dihambat oleh skar yang memperburuk regenerasi 4-18 bulan Grade V: gerakan hampir tidak tampak
5
Derajat 4 + kerusakan pada epineurium (transeksi lengkap)
Kerusakan lengkap dengan skar mengisi celah menjadi suatu penghalang yang tidak dapat diatasi hingga pertumbuhan kembali akson- akson dan anastomosis kembali neuromuskular.
Tidak terjadi
kesembuhan Grade VI: tidak ada
Selain itu, terdapat juga gerakan yang tidak wajar, seperti gerakan mulut
dengan berkedip, atau menutup mata dengan tersenyum. Penyebab lain
dari gerakan abnormal selama regenerasi mungkin karena terjadi
perubahan pada myoneural junction. Selain faktor- faktor ini, kemungkinan
terjadi perubahan didalam dan disekitar nukleus saraf fasialis di batang
otak, sama seperti perubahan pada hubungan sentral menuju badan sel.
Kombinasi dari faktor- faktor ini, dapat menyebabkan spasme yang terjadi
pada sisi wajah yang paralisis, menyebabkan mata menutup dan sudut
mulut menarik. spasme ini dapat dirasakan cukup nyeri (May 2000).
ll.1.6. Gambaran Klinis
Bell’s palsy adalah suatu gangguan saraf fasialis perifer akut, yang
biasanya mengenai hanya satu sisi wajah. Gambaran klinis bervariasi,
tergantung lokasi lesi dari saraf fasialis sepanjang perjalanannya menuju
otot. Gejala dan tanda yang dihasilkan tidak hanya pada serabut motorik
termasuk ke otot stapedius, tetapi juga pada inervasi otonom kelenjar
lakrimal, submandibular, sensasi sebagian telinga, dan pengecapan pada
du pertiga lidah melalui korda timpani (Finsterer 2008).
Pasien Bell’s palsy biasanya datang dengan paralisis wajah
unilateral yang terjadi secara tiba-tiba. Temuan klinis yang sering
termasuk alis mata turun, dahi tidak berkerut, tidak mampu menutup mata,
dan bila diusahakan tampak bola mata berputar ke atas (Bell's
phenomen), sudut nasolabial tidak tampak, dan mulut tertarik ke sisi yang
berkurangnya sensasi pengecapan pada dua pertiga depan lidah (Ronthal
dkk, 2012; Tiemstra dkk, 2007). Beberapa literatur juga menyebutkan
tentang nyeri sebagai gejala tambahan yang sering dijumpai pada pasien
BeIl’s palsy. Nyeri postauricular dapat ditemukan pada hampir 50% pasien
Bell’s palsy. Nyeri ini dapat terjadi bersamaan dengan paralisis wajah
(beberapa hari atau minggu) atau terjadi sebelum onset paralisis
(Peitersen 2002; Garg dkk,2012; Setyapranoto, 2009).
II.1.7. Diagnosis
Anamnesis dan dan pemeriksaan fisik yang tepat merupakan kunci
dalam mendiagnosis Bell’s palsy (Garg dkk, 2012).
ll.1.7.1. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan perjalanan
penyakit, ada tidaknya nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting
ditanyakan untuk membedakannya dengan penyakit lain yang
menyerupai. Pada Bell’s palsy kelumpuhan yang terjadi sering unilateral
pada satu sisi wajah dengan onset mendadak (akut) dalam 1-2 hari dan
dengan perjalanan penyakit yang progresif, dan mencapai paralisis
maksimal dalam 3 minggu atau kurang (Ronthal dkk, 2412; May dkk,
1987).
ll.1.7.2 Pemeriksaan Fisik
Dari hasil pemeriksaan neurologi, didapatkan gangguan fungsi
saraf fasialis perifer yang difus tanpa ada neuropati lainnya. Lesi SSP
perbedaannya dari lesi perifer tidak dijumpainya paralisis dahi pada sisi
yang terlibat dan dapat menutup mata dengan baik (lagophtalmus tidak
dijumpai) dan disertai dengan defisit neurologis lainnya,
sekurang-kurangnya kelumpuhan ekstremitas pada sisi yang kontralateral (gambar
6) (Tiemstra dkk, 2007).
Tes topognostik (fungsi kelenjar lakrimal, aliran saliva, dan
pengecapan) selain refleks stapedial, telah diteliti tidak memiliki manfaat
sebagai tes diagnostik dan prognostik pada pasien dengan paralisis
fasialis, sehingga jarang digunakan dalam praktek klinis. Hal ini
dikarenakan:
• Anatomi saraf fasialis dan percabangannya yang cukup bervariasi,
mengizinkan untuk terbentuknya suatu jalur alternatif bagi akson-
akson untuk mencapai terminalnya.
• Lesi yang bertanggung jawab terhadap paralisis, mungkin tidak secara
tajam terletak pada level tertentu, karena suatu lesi dapat
mempengaruhi komponen yang berbeda dari saraf pada tingkat yang
beragam dan dengan derajat keparahan yang berbeda- beda.
• Penyembuhan dan kornponen- komponen yang bervariasi dapat
terjadi pada waktu yang berbeda- beda.
• Teknik yang digunakan untuk mengukur fungsi saraf fasialis tidak
sepenuhnya dapat dipercaya (May 2000;Kanerva 2008; Ronthal dkk,
Gambar 6. Pasien dengan (A) lesi saraf fasialis perifer (B) lesi
supranuklear
Dikutip dari: Tiemstra, D.J., Khatkhate, N. 2007. Bell’s palsy; Diagnosis and Management. American Academy of Family Physicians. 76:997-1002
Pemeriksaan telinga perlu dilakukan untuk menyingkirkan penyakit
lain yang mungkin bisa menyebabkan paralisis fasialis. Bila ditemukan
adanya otitis rnedia yang aktif dan massa di kelenjar parotid,
kemungkinan paralisis fasialis dihubungkan dengan kelainan- kelainan
Umumnya pasien Bell’s palsy tidak membutuhkan pemeriksaan
penunjang. Namun, bila dijumpai indikasi tertentu, pemeriksaan lanjutan
berikut dapat dianjurkan, seperti:
1. Imaging: Computed tomography (CT) atau Magnetic Resonance
lmaging (MRI) diindikasikan jika tanda fisiknya tidak khas, tidak ada
perbaikan paralisis fasial setelah 1 bulan, adanya kehilangan
perdengaran, defisit saraf kranial multipel dan tanda- tanda paralisis
anggota gerak atau gangguan sensorik. Adanya riwayat suatu kedutan
pada wajah atau spasme yang mendahului kelumpuhan wajah diduga
karena iritasi tumor harus dilakukan juga imaging.
2. Tes pendengaran: jika diduga adanya kehilangan pendengaran, tes
audiologi dapat dilakukan untuk menyingkirkan neuroma akustikus.
3. Tes laboratorium perlu jika pasien memiliki tanda- tanda keterlibatan
sistemik tanpa perbaikan lebih dari empat minggu (Garg dkk, 2012
Ronthal dkk, 2012).
ll.1.7.3 Kriteria Diagnosis
II.1.7.3.1 Menurut Taverner (1954 ):
A. Paralisis dari semua kelompok otot ekspresi wajah pada satu sisi
wajah
B. Onset yang tiba- tiba
C. Tidak adanya tanda- tanda penyakit susunan saraf pusat (SSP)
D. Tidak adanya tanda penyakit telinga dan penyakit cerebellopontine
II.1.7.3.2 Menurut Ronthal dkk (2012):
A. Terdapat suatu keterlibatan saraf fasialis yang difus yang
digambarkan dengan paralisis dari otot- otot wajah, dengan atau
tanpa kehilangan pengecapan pada dua pertiga anterior lidah atau
sekresi yang berubah dari kelenjar saliva dan lakrimal.
B. Onset akut, terjadi dalam 1 atau 2 hari, perjalanan penyakit
progresif, mencapai kelumpuhan klinIs/ paralisis maksimal dalam 3
minggu atau kurang dari hari pertama kelemahan terlihat; dan
penyembuhan yang dijumpai dalam 6 bulan.
II.1.8 Diagnosa Banding
Beberapa penyakit juga memiliki gejala paralisis fasialis yang
identik dengan Bell’s palsy. Penyakit ini juga memiliki gejala lainnya yang
membedakannya dari Bell’s palsy (Tiemstra dkk, 2007). Penyakit- penyakit
tersebut adalah:
1. Lesi struktural di dalam telinga atau kelenjar parotid (seperti
cholesteatoma, tumor saliva) Pasien dengan tumor memiliki
perjalanan penyakit yang panjang, dan berprogresif secara lambat
dalam beberapa minggu atau bulan dan gejala sering bertahan tanpa
ada penyembuhan. Terlibatnya hanya satu atau dua cabang distal dari
saraf fasialis juga menduga tumor, penyakit telinga tengah yang aktif
atau suatu massa di kelenjar parotid (Ronthal dkk, 2012; May dkk,
2. Guillain Barre Syndrome (GBS)
Guillain Barre Syndrome merupakan suatu poliradikuloneuropati
inflamasi yang bersifat akut. Gangguan berupa paralisis fasialis
bilateral dapat dijumpai pada ± 50% kasus GBS. Klinis lainnya adalah
kelumpuhan pada saraf motorik ekstremitas, dan pernafasan. Refleks
tendon negatif pada daerah yang terlibat (May 2000).
3. Lyme disease
Pasien dengan Lyme disease juga memiliki riwayat terpapar
dengan kutu, adanya ruam- ruam di kulit dan arthralgia. Saraf fasialis
yang sering terlibat adalah bilateral. Penyakit ini endemis di daerah
tertentu, seperti di negara- negara bagian utara dan timur Amerika
Serikat, di pertengahan barat (Minnesota dan Wisconsin), atau di
Califomia atau Oregon selama musim panas dan bulan- bulan
pertama musim gugur. Di daerah- daerah ini merupakan lokasi
geografis dimana vektor kutu ditemukan. Gangguan ini juga dikenali
dengan baik di Eropa dan Australia (Tiemstra dkk, 2007; Kanerva
2008).
4. Otitis media
Otitis media memiliki onset yang lebih bertahap, dengan disertai nyeri
telinga dan demam (Tiemstra dkk, 2007).
5. Ramsay Hunt Syndrome (komplikasi herpes zoster)
Pasien dengan Ramsay Hunt Syndrome memiliki suatu prodromal
faring. Penyakit ini disebabkaan oleh virus herpes zoster, dengan
klinis berupa paralisis fasialis, atau gangguan pendengaran atau
keseimbangan (Ronthal dkk, 2012; Tiemstra dkk, 2007).
6. Sarcoidosis
Pasien dengan sarcoidosis memiliki gejala paralisis fasialis bilateral
dan uveitis. Sarcoidosis merupakan penyakit granulomatosa dari asal
yang tidak ditentukan yang melibatkan banyak sistem organ.
Diagnosis dibuat berdasarkan temuan klinis beserta dengan biopsi
jaringan yang terlibat oleh sarcoid (May 2000; Tiemstra dkk, 2007).
7. Melkerson Rosenthal Syndrome (MRS)
Melkerson Rosenthal Syndrome merupakan suatu trias dari gejala
edema orofasial berulang, paralisis fasialis berulang, dan lingua
plicata (fissured tongue). Edema orofasial merupakan gambaran yang
selalu dijumpai pada pasien MRS, sedangkan yang lainnya masing-
masing terjadi pada setengah pasien. Trias lengkap ini hanya dijumpai
pada seperempat kasus. Penyakit ini umumnya dimulai pada dekade
kedua, dan manifestasi biasanya terjadi secara berurutan dan jarang
terjadi secara bersamaan (May 2000).
II.1.9. Perbaikan Klinis
Pasien BelI's palsy umumnya memilki prognosis yang baik.
Prognosis tergantung dari waktu dimulainya perbaikan klinis. Perbaikan
klinis yang segera dihubungkan dengan prognosis yang baik dan
klinis dimulai dalam 1 minggu, 88% akan memperoleh kesembuhan
sempurna, bila dalam 1-2 minggu 83 % dan dalam 3 minggu, kesembuhan
terjadi sekitar 61% (Teixeira dkk, 2012).
Perbaikan klinis pasien Bell’s palsy dapat dinilai dengan mudah
dengan menggunakan facial grading system. Facial grading system
merupakan suatu sistem skor yang digunakan untuk menilai fungsi saraf
fasialis. Sistem ini diperlukan dalam menentukan keparahan dari
gangguan fungsi wajah, mengikuti progresivitas paralisis fasialis, dan
membandingkan hasil pengobatan. Beberapa sistem grading telah
diperkenalkan, yaitu House Brackmann (HB) grading system, Sunnybrook
scale, dan Yanagihara grading system (Kanerva 2008). Dari ketiga sistem
ini yang sering dan telah secara luas digunakan dalam penelitian,
terutama di Amerika Serikat dan Eropa adalah HB grading system. House
Brackmann grading system telah dipakai sebagai standar oleh American
Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery dan telah digunakan.
Sistem ini didasarkan pada 6 tingkat skor (I-Vl) yang memberikan evaluasi
dari fungsi motorik saraf fasialis dan juga evaluasi sekuele (tabel 2) (Berg
2009).
Yanagihara grading system, diperkenalkan oleh Yanagihara pada
tahun 1976, menilai 10 aspek fungsi secara terpisah pada beberapa otot
fasial yang berbeda. Masing- masing fungsi diberi skor 0-4, dengan skor
maksimum 40. Skala terdiri dari fungsi normal (4), paralisis ringan (3),
skoring ini tidak menilai efek-efek sekunder. Yanagihara merupakan
sistem yang digunakan secara luas di Jepang untuk mengevaluasi fungsi
saraf fasial pada Bell’s palsy, herpes zoster oticus, dan follow up
pembedahan neuroma akustikus (tabel 3) (Berg 2009).
Tabel 2. House Brackmann Facial grading system
Dikutip dari: Kanerva, M. 2008. Peripheral Facial Palsy: Grading, Etiology, and Melkerson- Rosenthal Syndrome. Otolaryngology-Head and Neck Surgery, In Press.
Pada tahun 1996, Ross dkk, mengusulkan suatu sistem grading the
Sunnybrook facial grading system. Sistem ini merupakan suatu sistem
saat gerakan volunter, dan efek sekunder (sinkinesia) untuk menghasilkan
skor gabungan maksimal 100 (tabel 4) (Kanerva 2008).
Tabel 3. Yanagihara facial grading system
Dikutip dari: Berg, T. 2009. Medical Treatment and Grading of Bell’s palsy. Acta Universitatis Upsalensis. Digital Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations from the Faculty of Medicine 460. 47 pp. Uppsala.
Tabel 4. Sunnybrook facial grading system
II.1.10.PENGOBATAN
Karena etiologi Bell’s palsy belum jelas, beberapa pengobatan
yang berbeda telah digunakan. Secara garis besar, pengobatan Bell’s
palsy dikelompokkan menjadi 3, yaitu: medikamentosa, bedah, dan terapi
fisik. Semua pengobatan ditujukan untuk mengurangi inflamasi, edema
dan kompresi saraf (Axelsson 2013).
II.1.10.1.MEDIKAMENTOSA
Modalitas pengobatan medikamentosa yang digunakan pada
pasien Bell’s palsy adalah kortikosteroid dan/ atau antivirus. Jenis
kortikosteroid yang paling banyak digunakan pada banyak penelitian Bell’s
palsy adalah golongan prednisolon.
II.1.10.1.1. Anti Virus
Herpes simpleks tipe 1 dan Varicella zoster virus (VZV) merupakan
dua virus yang dipercaya bertanggung jawab pada kasus Bell’s palsy.
Reaktivasi dari virus- virus ini dapat menyebabkan inflamasi pada saraf
fasialis. Pengobatan anti virus dengan asiklovir dan valasiklovir telah
digunakan pada beberapa studi, sering dengan kombinasi dengan
prednisolon dan hasilnya beragam. Asiklovir diberikan lima kali sehari.
Valasiklovir, merupakan prodrug asiklovir, hanya diberikan tiga kali sehari
karena biovaibilitasnya lebih tinggi dari asiklovir. Dijumpai keuntungan
menggunakan valasiklovir dibandingkan asiklovir karena obat ini
digunakan dengan dosis yang kurang sering, dan menghasilkan
Untuk memperkirakan keuntungan pengobatan dengan anti virus
pada Bell’s palsy, suatu studi dari Cochrane telah dilakukan, yang
mengikutkan 7 uji dengan totalnya 1987 pasien. Studi ini menyimpulkan
bahwa tidak terdapat manfaat signifikan dari antivirus bila dibandingkan
dengan plasebo pada pengobatan Bell’s palsy. Empat studi tidak
menemukan perbedaan pada tingkat perbaikan klinis antara pengobatan
dengan prednisolon dan kombinasi prednisolon – asiklovir/ valasiklovir.
Satu studi membandingkan prednisolon dengan asiklovir dan menemukan
manfaat pengobatan pada kelompok prednisolon. Dua studi lainnya
melaporkan manfaat untuk kombinasi prednisolon- asiklovir/valasiklovir
dibandingkan dengan prednisolon sendiri, namun studi ini tidak blind
(Marsk, 2012).
II.1.10.1.2 Metil Prednisolon
Metil prednisolon merupakan glukokortikoid sintetik turunan dari
prednisolon, yang mempunyai efek kerja dan penggunaan yang sama
seperti senyawa induknya. Glukokortikoid sintetik dikembangkan terutama
untuk aktivitas anti inflamasi dan imunoseprasannya (Katzung 2003).
II.1.10.1.2.1. Farmakokinetik
Steroid secara farmasi disintesis dari cholic acid (yang diperoleh
dari sapi) atau steroid sapogenin, terutama diosgenin, dan hecopenin
yang ditemukan dalam tumbuhan family Liliaceae dan Dioscoreaceae.