KARAKTERISTIK MORFOLOGI UKURAN TUBUH KERBAU
MURRAH DAN KERBAU RAWA DI BPTU BABI DAN
KERBAU SIBORONGBORONG
SKRIPSI
GERLI 070306038
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
KARAKTERISTIK MORFOLOGI UKURAN TUBUH KERBAU
MURRAH DAN KERBAU RAWA DI BPTU BABI DAN
KERBAU SIBORONGBORONG
SKRIPSI
GERLI
070306038/PETERNAKAN
Sekripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul : Karakteristik Morfologi Ukuran Tubuh Kerbau Murrah dan Kerbau Rawa di BPTU Babi dan Kerbau
Siborongborong
Nama : Gerli
NIM : 070306038
Program Studi : Peternakan
Disetujui oleh, Komisi pembimbing
Hamdan, S.Pt, M.Si Ir. Armyn Hakim Daulay, M.BA Ketua Anggota
Mengetahui
Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si Ketua Program Studi
ABSTRAK
GERLI, 2013 : “Karakteristik Morfologi Ukuran Tubuh Kerbau Murrah dan
Kerbau Rawa di BPTU Babi dan Kerbau Siborongborong”, dibimbing oleh
HAMDAN dan ARMYN HAKIM DAULAY.
Keterbatasan informasi atau data performa dan potensi biologis kerbau,
masih menjadi kendala untuk pengembangan lebih lanjut. Salah satu cara untuk
menentukan keragaman fenotipik ternak kerbau adalah dengan pengamatan
morfometrik pada setiap jenis kerbau di Indonesia. Identifikasi morfometrik
dapat dilakukan dengan cara membandingkan ukuran dan bentuk tubuh.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi fenotipik yang berhubungan
dengan karakter morfometrik tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa berdasarkan
Analisis Komponen Utama. Penelitian ini melibatkan 68 kerbau rawa (7 jantan, 61
betina) dan 32 kerbau murrah(5 jantan, 27 betina) pada Juli – September 2012
menggunakan metode survey.
Penciri ukuran pada kedua bangsa adalah tinggi pundak dan lebar dada
sebagai penciri bentuk. Kerumunan data pada kerbau murrah dan kerbau rawa
saling terpisah yang berarti bahwa keragaman morfometrik kedua bangsa kerbau
berbeda.
ABSTRACT
GERLI, 2013: " Morphological Characteristics of Body Size of Murrah Bufallo and Swamp Bufallo in BPTU Pig ang Bufallo Siborongborong", supervised by HAMDAN and ARMYN HAKIM DAULAY.
Due to limitations in informations and data of production performances, their productions have not yet been developed to its potentials. One way to determine the phenotypic diversity of buffaloes is with morphometric observations on each type of buffalo in Indonesia. Morphometric identification can be done by comparing the size and shape of the body. This study aimed to obtain information related phenotypic morphometric characters body Murrah buffalo and swamp buffalo by Principal Component Analysis. The study involved 68 swamp buffalo (7 males, 61 females) and 32 Murrah buffaloes (5 males, 27 females) in July-September 2012 used a survey method. Identifier the size of the breeds are shoulder height and chest width as the identifier form. The crowd data on Murrah buffalo and swamp buffalo are mutually exclusive, which means that the diversity of different morphometric breeds buffalo.
RIWAYAT
HIDUP
Penulis dilahirkan di Lubuk Besar pada tanggal 23 agustus 1988 dari ayah
Wahyudi dan ibu Sri Mirawati. Penulis merupakan putra ketiga dari empat
bersaudara.
Tahun 2007 penulis lulus dari SMAN 1 Lima Puluh dan pada tahun yang
sama diterima sebagai mahasiswa Universitas Sumatera Utara, Fakultas Pertanian
pada Program Studi melalui jalur SPMB.
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif sebagai anggota Ikatan
Mahasiswa Peternakan (IMAPET), anggota Himpunan Mahasiswa Muslim
Peternakan (HIMMIP). Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan di
peternakan rakyat Kecamatan Hamparan Perak pada tahun 2010 dan penelitian di
BPTU Babi dan Kerbau Siborong-Borong Kabupaten Tapanuli Utara pada tahun
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
proposal ini. Sekripsi ini berjudul “Karakteristik Morfologi Ukuran Tubuh Kerbau
Murrah dan Kerbau Rawa di BPTU Babi dan Kerbau Siborongborong”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua atas doa,
semangat dan pengorbanan material maupun moril yang telah diberikan selama
ini. Kepada Bapak Hamdan, S.Pt, MSi. selaku ketua komisi pembimbing dan
Bapak Ir. Armyn Hakim Daulay, M.BA selaku anggota komisi pembimbing yang
telah memberikan arahan dalam menyelesaikan penulisan sekripsi ini. Kepada
bapak Ir. Muhammad Naim beserta seluruh staf pegawai di BPTU Babi dan
Kerbau Siborong-Borong dan semua pihak yang ikut membantu.
Semoga sekripsi ini dapat membantu memberikan informasi dan
bermanfaat bagi penelitian dan ilmu pengetahuan serta pelaku usaha bidang
peternakan khususnya peternakan kerbau.
Medan, Mei 2013
DAFTAR ISI
DAFTAR LANPIRAN ... viii
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Kegunaan Penelitian ... 3
Hipotesis Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Kerbau ... 4
Sifat Fenotip Kuantitatif ... 7
Pengukuran Tubuh ... 8
Keragaman Fenotip ... 8
Kelenturan Fenotip ... 9
Sifat Genetik Kualitatip ... 9
Silang Dalam ... 9
Koefesian Silang Dalam ... 11
Genetik dan Lingkungan ... 11
Keseimbangan Populasi ... 13
Frekuensi Gen ... 14
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16
Bahan dan Alat ... 16
Metode Penelitian ... 16
Parameter Penelitian ... 17
Analisa Data ... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 21
Deskriptif Statistik Ukuran Linier Permukaan Tubuh Kerbau Murrah dan Kerbau Rawa ... 22
Persamaan Ukuran dan Bentuk Tubuh Kerbau Murrah dan Kerbau Rawa ... 27
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpula ... 31
Saran ... 31
DAFTAR PUSTAKA ... 32
DAFTAR TABEL
No. Hal.
1. Rataan, simpangan baku, dan koefisien keragaman ukuran-ukuran tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa jantan ... 23
2. Rataan, simpangan baku, dan koefisien keragaman ukuran-ukuran tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa betina ... 24
3. Rataan, simpangan baku, dan koefisien keragaman ukuran-ukuran tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa ... 26
4. Persamaan skor ukuran dan bentuk tubuh dengan keragaman total dan nilai eigen pada kerbau murrah ... 27 5. Persamaan skor ukuran dan bentuk tubuh dengan keragaman total dan nilai
eigen pada kerbau rawa ... 28 6. Rekapitulasi penciri ukuran dan bentuk tubuh pada kerbau murrah dan
DAFTAR LAMPIRAN
No. Hal.
1. Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman dan nilai probabilitas ukuran-ukuran tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa ... 35
2. Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman dan nilai probabilitas ukuran-ukuran tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa jantan ... 35
3. Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman dan nilai probabilitas ukuran-ukuran tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa betina ... 36
4. Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman dan nilai probabilitas ukuran-ukuran tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa jantan 2-3,5 ... 36
5. Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman dan nilai probabilitas ukuran-ukuran tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa jantan 3,5-7 ... 37
6. Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman dan nilai probabilitas ukuran-ukuran tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa betina 2-3,5 ... 37
7. Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman dan nilai probabilitas ukuran-ukuran tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa betina 3,5-7 ... 38
8. Komponen utama, nilai eigen (λ), keragaman total (%), keragaman kumulatif (%) yang diturunkan dari matriks kovarian variabel-variabel linear ukuran permukaan kerbau murrah ... 38
9. Komponen utama, nilai eigen (λ), keragaman total (%), keragaman kumulatif (%) yang diturunkan dari matriks kovarian variabel-variabel linear ukuran permukaan kerbau rawa ... 39
10. Vektor eigen, nilai eigen, simpangan baku peubah dan korelasi antara skor ukuran terhadap peubah-peubah yang diamati pada kerbau murrah .... 39
11. Vektor eigen, nilai eigen, simpangan baku peubah dan korelasi antara
skor bentuk terhadap peubah-peubah yang diamati pada kerbau murrah ... 39
12. Vektor eigen, nilai eigen, simpangan baku peubah dan korelasi antara
skor ukuran terhadap peubah-peubah yang diamati kerbau rawa ... 40
13. Vektor eigen, nilai eigen, simpangan baku peubah dan korelasi antara
skor bentuk terhadap peubah-peubah yang diamati kerbau rawa ... 40
14. Gambar kerbau murrah di instalasi Silangit ... 41
ABSTRAK
GERLI, 2013 : “Karakteristik Morfologi Ukuran Tubuh Kerbau Murrah dan
Kerbau Rawa di BPTU Babi dan Kerbau Siborongborong”, dibimbing oleh
HAMDAN dan ARMYN HAKIM DAULAY.
Keterbatasan informasi atau data performa dan potensi biologis kerbau,
masih menjadi kendala untuk pengembangan lebih lanjut. Salah satu cara untuk
menentukan keragaman fenotipik ternak kerbau adalah dengan pengamatan
morfometrik pada setiap jenis kerbau di Indonesia. Identifikasi morfometrik
dapat dilakukan dengan cara membandingkan ukuran dan bentuk tubuh.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi fenotipik yang berhubungan
dengan karakter morfometrik tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa berdasarkan
Analisis Komponen Utama. Penelitian ini melibatkan 68 kerbau rawa (7 jantan, 61
betina) dan 32 kerbau murrah(5 jantan, 27 betina) pada Juli – September 2012
menggunakan metode survey.
Penciri ukuran pada kedua bangsa adalah tinggi pundak dan lebar dada
sebagai penciri bentuk. Kerumunan data pada kerbau murrah dan kerbau rawa
saling terpisah yang berarti bahwa keragaman morfometrik kedua bangsa kerbau
berbeda.
ABSTRACT
GERLI, 2013: " Morphological Characteristics of Body Size of Murrah Bufallo and Swamp Bufallo in BPTU Pig ang Bufallo Siborongborong", supervised by HAMDAN and ARMYN HAKIM DAULAY.
Due to limitations in informations and data of production performances, their productions have not yet been developed to its potentials. One way to determine the phenotypic diversity of buffaloes is with morphometric observations on each type of buffalo in Indonesia. Morphometric identification can be done by comparing the size and shape of the body. This study aimed to obtain information related phenotypic morphometric characters body Murrah buffalo and swamp buffalo by Principal Component Analysis. The study involved 68 swamp buffalo (7 males, 61 females) and 32 Murrah buffaloes (5 males, 27 females) in July-September 2012 used a survey method. Identifier the size of the breeds are shoulder height and chest width as the identifier form. The crowd data on Murrah buffalo and swamp buffalo are mutually exclusive, which means that the diversity of different morphometric breeds buffalo.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerbau merupakan salah satu ruminansia besar sumberdaya genetik yang
keberadaannya relatif kurang diperhatikan. Namun demikian, secara nasional
kontribusinya terhadap pembangunan peternakan cukup berperan penting.
FAO (2007) melaporkan hanya 41 negara yang menunjukan perhatian
untuk pemeliharaan kerbau. Dari negara-negara ini, 29% menyebutkan breeding
kerbau merupakan prioritas dan 22% memiliki program breeding. Negara-negara
yang memiliki program breeding kerbau dengan tujuan utama produksi susu
adalah India, Pakistan, Cina, Mesir dan Bulgaria.
Kerbau dapat berkembang dalam rentang agrosistem yang luas, oleh sebab
itu kerbau ditemukan hampir diseluruh provinsi di Indonesia. Sebagian besar
ternak kerbau diusahakan oleh peternak rakyat dengan manajemen pemeliharaan
tradisional dan kualitas genetik masih rendah. Saat ini kerbau masih belum
termanfaatkan secara maksimal walaupun sudah ada upaya di beberapa daerah
untuk lebih meningkatkan pemanfaatannya. Pemanfaatan utama ternak kerbau
sampai saat ini selain sumber daging juga merupakan ternak pekerja. Populasi
kerbau di Indonesia pada tahun 2005 adalah 2.128.491 ekor, menurun menjadi
2.045.548 ekor pada tahun 2009 (DITJEN PETERNAKAN, 2009). Populasi
kerbau lebih terpusat di Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Nusa
Tenggara Barat, Banten dan Sumatara Utara, dimana sebagian besar kerbau
dipelihara oleh peternakkecil dengan tingkat kepemilikan 2-3 ekor. Sementara
data pemotongan pada tahun 2005 sekitar 163.848 dan pada tahun 2009 menjadi
Kualitas kerbau Indonesia pada umumnya mengalami kemunduran,
sebagai akibat penurunan mutu genetik dan faktor lain seperti menejemen
pemeliharaan yang kurang tepat. Penurunan produktivitas selain dicerminkan
dengan penurunan bobot badan sebagai akibat dari penurunan ukuran-ukuran
linear permukaan tubuh kerbau, juga disebabkan faktor genetik karena upaya
pemuliaan yang belum terarah.
Pelestarian keragaman ternak diperlukan dalam upaya mempertahankan
sifat-sifat khas yang dapat dimanfaatkan di masa mendatang. Salah satu cara
penentuan keragaman fenotipik lokal Indonesia adalah dengan pengamatan
morfometrik pada bangsa kerbau lokal Indonesia. Identifikasi morfometrik
dilakukan dengan cara menentukan penciri ukuran dan bentuk pada
masing-masing sapi lokal berdasarkan Analisis Komponen Utama (AKU). Bentuk sangat
dipengaruhi faktor genetik, sedangkan ukuran lebih dipengaruhi faktor
lingkungan. Tujuan pemeliharaan kerbau juga turut mempengaruhi keragaman
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi fenotipik yang
berhubungan dengan karakter morfometrik tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa
berdasarkan Analisis Komponen Utama. Informasi genetik yang diperoleh pada
penelitian ini adalah ukuran dan bentuk tubuh pada kedua bangsa kerbau yang
diamati. Penciri ukuran dan penciri bentuk tubuh pada kedua bangsa tersebut, juga
dapat diperoleh pada penelitian ini. Berdasarkan hasil yang diperoleh,
perbandingan ukuran dan bentuk tubuh kedua bangsa yang diamati dapat
divisualisasikan dalam bentuk diagram kerumunan yang diturunkan dari Analisis
Komponen Utama. Kerumunan data individu tersebut dapat dijadikan ciri khas
pada setiap bangsa kerbau yang diamati dan menggambarkan kedekatan
morfometrik tubuh antara bangsa kerbau yang diamati.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini akan bermanfaat untuk mengetahui keragaman
karakteristik ukuran tubuh kerbau rawa dan kerbau murrah yang dapat digunakan
sebagai sumber informasi penelitian selanjutnya mengenai ciri khas ternak kerbau
serta untuk melakukan kebijakan program pemuliaan kerbau oleh dinas
peternakan.
Hipotesis
Terdapat perbedaan ukuran tubuh dan bentuk tubuh (tinggi pundak, tinggi
pinggul, lebar pinggul, panjang badan, lingkar dada, dalam dada dan lebar dada)
TINJAUAN PUSTAKA
Kerbau
Penemuan-penemuan arkeologi di India menyatakan bahwa kerbau di
domestikasi selama periode kehidupan lembah Indus, kira-kira 4500 tahun yang
lalu. Hampir tidak ada bangsa kerbau yang khusus, meskipun ada sebagian yang
bertubuh besar dan sebagian lainya kecil. Meskipun demikian, semuanya hanya
menghasilkan susu dalam jumlah sedikit dan mempunyai kromosom 2n sebanyak
48. Persilangan dengan tipe sungai 50 kromosom dan tipe rawa dengan 48
kromosom menghasilkan F1 dengan kromosom sebanyak 49 (2n) yang tingkat
fertilitasnya dipertanyakan (Murti, 2002).
Terdapat dua bangsa kerbau lokal yang ada di Indonesia, yaitu kerbau
rawa (Swamp buffalo) berjumlah sekitar 95% dan sisanya dalam jumlah kecil
(sekitar 2%) adalah kerbau sungai (Riverine buffalo) terdapat di Sumatera Utara. Secara umum kerbau sungai memiliki warna kulit normal adalah hitam dengan
bercak putih pada dahi, wajah dan ekor (Cockrill, 1974). Kerbau menurut
Bhatarchya (1993) termasuk dalam kelas mamalia, ordo ungulate, famili bovidae, subfamili bovina, genus bubalus, dan spesies bubalis. Kerbau termasuk ke dalam
spesies bubalus bubalis yang diduga berevolusi dari bubalus arnee, yakni kerbau liar dari India. Hampir semua kerbau domestikasi saat ini berasal dari moyang
bubalus arnee. Kerbau yang ada di indonesia secara umum dikelompokkan menjadi dua yaitu kerbau rawa dan kerbau sungai. Kerbau sungai penyebaran
Kerbau rawa menurut Mason (1974) pada kerbau rawa tidak ditemukan
warna kulit coklat atau abu-abu coklat seperti yang terjadi pada kerbau sungai.
Konformasi tubuhnya berat dan padat, ukuran tubuh dan kaki relatif pendek, perut
luas dengan leher panjang. Muka mempunyai dahi yang datar dan pendek dengan
moncong luas. Bentuk tanduk biasanya melengkung ke belakang. Bobot badan
lebih ringan dibanding kerbau sungai (Fahimuddin, 1975). Cockrill (1974)
menguraikan kerbau rawa memiliki konformasi tubuh berat dan padat, kaki
pendek dan perut luas, lehar panjang dahi datar, muka pendek dan moncong luas,
tinggi pundak kerbau rawa betina 120-127 cm dan jantan berkisar 129-133 cm.
Laporan Erdiansyah (2008) didapati bahwah kerbau rawa jantan memiliki lingkar
dada 161 cm, panjang badan 119 cm dan pada kerbau rawa betina lingkar dada
176 cm, panjang badan 119 cm
Habitat asal kerbau Murrah adalah Negara bagian Haryana dan Union
Teritory Delhi di India. Kerbau ini juga dipelihara dalam jumlah besar di Negara
bagian Punjab di India dan di Provinsi Punjab di Pakistan dan juga di bagian utara
Uttar Pradesh di India dan Sind di Pakistan (Bhatarchya, 1993). Sedangkan
kerbau sungai yang ada di Sumatera Utara adalah berasal dari bangsa murrah yang
umum dipelihara oleh masyarakat keturunan india untuk dimanfaatkan sebagai
ternak penghasil susu. Perkembangan populasinya diperkirakan terus menurun
akibat perkawinan inbreeding. Kepala kerbau Murrah relatif lebih kecil
dibandingkan dengan ukuran tubuhnya, bentuk baik dan halus pada yang betina,
lebih besar dan lebih berat pada yang jantan. Mukanya bersih dengan mata yang
bercahaya dan menonjol, telinganya kecil berbentuk baik dan menggantung.
Lehernya pendek dan tipis pada kerbau betina tetapi tebal dan kompak pada yang
jantan. Bentuk dan ukuran ambing baik, mempunyai vena susu yang menonjol
(Bhatarchya, 1993).
Banyak Negara di Asia Tenggara seperti Thailand, Filipina, dan Vietnam
telah melakukan persilangan antara kerbau rawa dan kerbau sungai untuk
memperoleh kombinasi yang baik dari sifat produksi susu, daging dan tenaga
kerja dari keturunan silangan. Persilangan antara kerbau rawa dan kerbau sungai
biasanya akan mewariskan warna kulit hitam pada silanganya, sebagai warna
dominan dari kerbau sungai. Tampilan moderat (mirip kedua tetuanya) akan
diperoleh pada konformasi tubuh dan tanduk (Mason, 1974)
Secara umum, kerbau bertambah berat sejak lahir sampai dengan umur 2,5
tahun. Dewasa kelamin kerbau rawa biasa dicapai pada umur 3 tahun (betina) dan
sekitar 4 tahun (jantan). Sedangkan kerbau sungai mencapai dewasa kelamin
relatif lebih awal dari pada kerbau rawa. Sampai umur 72 bulan, ternak kerbau
jenis lumpur jantan relatif masih terus tumbuh ukuranya. Dibandingkan ternak
sapi yang tumbuh lebih cepat namun berhenti di awal, maka kerbau tumbuh
lambat namun terus bahkan bisa sampai umur 9 - 10 tahun (Murti, 2002). Umur
rata-rata pertama kawin pada kerbau rawa adalah 40 bulan dan rata-rata beranak
pertama kali pada umur 54 bulan. Seperti halnya tipe kerbau sungai nondeskripsi,
juga terdapat beberapa varian pada kerbau rawa. Kerbau rawa yang besar dari
Thailand bisa mempunyai berat lebih dari 900 kg sedangkan carabao dari Filipina
atau kerbau air yang kecil dari Kalimantan bisa mempunyai berat hanya 370 kg
Bila dibandingkan kerbau sungai, kerbau rawa memiliki konformasi tubuh
pendek dan gemuk dengan tanduk panjang. Muka mempunyai dahi yang datar dan
pendek dengan moncong luas. Bentuk tanduk biasanya melengkung kebelakang.
Dengan bobot dewasa pada jantan sekitar 700 kg dan betina sekitar 500 kg.
kapasitas produksi susunya rendah berkisar antara 430-620 kg per laktasi
(Webster dan Wilson, 1980).
Kerbau Murrah betina biasanya memiliki tubuh lebih kecil dengan dahi
luas dan agak menonjol jika dibandingkan yang jantan. Disamping itu muka tidak
mempunyai tanda putih dan lubang hidung terpisah, telinganya tipis dan
menggantung. Bobot dewasa jantan sekitar 1100 kg dan betina sekitar 550 kg.
sebagai ternak perah, kerbau Murrah betina mempunyai perkembangan ambing
yang baik dengan puting bagian belakang lebih panjang dari puting bagian depan.
Kapasitas produksi susu induk cukup tinggi antara 1000-2000 kg per laktasi,
tetapi bervariasi antara lingkungan (Webster dan Wilson, 1980). Menurut
Fahimuddin (1975) bobot badan kerbau sungai sekitar 300-700 kg pada jantan dan
250-500 kg pada betina dengan tinggi pundak kerbau Murrah jantan dewasa 142
cm dan betina dewasa 132 cm. Kerbau murrah di india yang diternakkan oleh
petani mempunyai umur beranak pertama kali 39,9-54,1 bulan, sedangkan di farm
milik militer sekitar 40 bulan (Murti, 2002).
Kerbau memiliki beberapa keunggulan tetapi juga tidak terlepas dari
adanya kelemahan. Perkembangan populasi kerbau terlihat agak lambat
dibandingkan dengan ternak sapi. Secara nasional perbandinganya sekitar
20% kerbau dan 80% sapi dan rasio ini masih berlangsung sampai saat ini
Sifat Fenotip Kualitatif
Sifat kualitatif adalah sifat yang tidak dapat diukur tetapi dapat dibedakan
secara tegas misalnya warna bulu, ada tidaknya tanduk dan sebagainya. Sifat ini
dikendalikan oleh satu atau beberapa gen dan sedikit atau tidak sama sekali
dipengaruhi oleh lingkungan (Hardjosubroto, 1994). Sedangkan menurut
Warwick et al (1990) Sifat kualitatif adalah sifat luar yang tampak atau bahkan tak ada hubungannya dengan kemampuan produksi seperti warna, bentuk dan
panjang ekor, ada tidaknya tanduk dan sebagainya.
Pengukuran Tubuh
Penggunaan ukuran tubuh selain untuk menaksir bobot badan dan karkas,
dapat juga untuk memberikan gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri khas
suatu bangsa ternak tertentu (Diwyanto, 1982).
Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan luar dan produksi adalah
bangsa ternak, daya dukung wilayah, teknologi yang diserap, pendidikan dan
pengelolaan dari usaha ternak.
Keragaman Fenotip
Fenotip adalah penampilan organisme (individu) tersebut atau dapat
disimpulkan sebagai jumlah total seluruh karakter atau sifat, misalnya warna,
bentuk, tabiat, kerangka dan lain sebagainya (Pane, 1993).
Pada dasarnya keragaman fenotip (VP) yang merupakan keragaman yang
dapat diamati disebabkan oleh adanya keragaman genetik (VG) dan keragaman
Sumber keragaman lainnya adalah keragaman yang timbul akibat interaksi
antara faktor genetik dengan faktor lingkungan V= G X E. Keragaman genetik
dapat disebabkan gen-gen aditif (VA) dan juga oleh yang tidak aditif (Vn). Aksi
gen yang tidak aditif bisa disebabkan oleh aksi gen dominan (VD) dan aksi gen
epistasis (VI).
VP = VA + VD + VG+E + VE + VI
Keragaman lingkungan (VE) dapat disebabkan oleh faktor iklim, cuaca, makanan,
penyakit dan sistem manajemen (Noor, 2000).
Kelenturan Fenotip
Kelenturan fenotip adalah kemampuan suatu genotip atau individu untuk
menghasilkan lebih dari satu alternatif bentuk morfologi, status fisiologi dan
tingkah laku sebagai respon terhadap kelenturan fenotip ini mencerminkan
kepekaan fenotip terhadap lingkungan.
Tiga teori utama kelenturan fenotipik : (1) kelenturan fenotip sebagai suatu
sifat yang dikontrol oleh gen-gen pada lokus yang berbeda dengan gen-gen yang
mengontrol rataan suatu sifat pada lingkungan tertentu, (2) Kelenturan fenotipik
sebagai suatu fenomena seleksi untuk rataan sifat yang berbeda pada lingkungan
yang berbeda, (3) kelenturan fenotipik sebagai suatu fungsi homozigositas dan
mengasumsikan bahwa jumlah perubahan fenotip pada lingkungan berbeda
Sifat Genetik Kualitatif
Silang Dalam
Silang dalam pada dasarnya meningkatkan homozigositas dan pada saat
yang bersamaan menurunkan derajat heterozigositas. Laju peningkatan
homozigositas akibat silang dalam pada suatu individu tergantung dari seberapa
dekat hubungan kekerabatan kedua tetuanya.
Persilangan antara saudara tiri mengakibatkan laju peningkatan
homozigositas sebesar 50% dari laju persilangan antar saudara kandung dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Silang dalam sering dihubungkan dengan penurunan performa dan
munculnya kelainan genetik pada ternak. Silang dalam pada ternak disamping
berpengaruh buruk juga dapat mendatangkan keuntungan dari silang dalam ini.
Ternak hasil silang dalam pada umumnya memiliki kemampuan adaptasi
lingkungan yang kurang baik dibandingkan dengan ternak-ternak hasil silang luar.
Pengaruh ini biasanya berhubungan dengan penurunan fertilitas, peningkatan
mortalitas, penurunan daya tahan terhadap penyakit, penurunan daya hidup dan
penurunan laju pertumbuhan. Pengaruh buruk ini disebabkan oleh pengaruh
gabungan gen-gen resesif yang homozigot.
Pada ternak inbreed pengaruh-pengaruh buruk ini sering dijumpai. Dalam
suatu populasi frekuensi gen resesifnya tidak meningkat, tetapi pemunculannya
sebagai homozigot lebih sering (Noor, 2000).
Pengaruh genetik utama dari silang dalam adalah menaikkan
antara keluarga dekat dalam masyarakat kuno. Di dalam buku “The variation of plants and animals under domestication” terbitan tahun 1868 yang dikutip oleh
Warwick et al (1990) Charles Darwin membuat pernyataan “akibat dari perkawinan dekat yang berlangsung dalam waktu yang lama adalah menurunya
ukuran, kekuatan (vigor) badan dan fertilitas,kadang-kadang diikuti dengan
bentuk yang cacat”.
Koefisien Silang Dalam
Koefisien silang dalam dapat digunakan untuk mengukur peningkatan
homozigositas suatu individu akibat silang dalam. Koefisien ini dapat juga
digunakan untuk mengukur penurunan derajat heterozigositas suatu individu
relatif terhadap tetuanya pada populasi yang sama. Pada koefisien silang dalam
suatu individu adalah ½ dari koefisien kekerabatan individu tersebut dengan
tetuanya. Ternak-ternak yang bersaudara kandung memiliki koefisien silang
dalam 25%. Ternak-ternak yang bersaudara tiri memiliki koefisien silang dalam
12,5% (Noor, 2000).
Genetik dan Lingkungan
Performans atau penampilan individu ditentukan oleh dua faktor yaitu
faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik ditentukan oleh susunan gen
dan kromosom yang dimiliki oleh ternak. Pengaruh faktor genetik bersifat baka
(tidak akan berubah selama hidupnya, selama tidak terjadi mutasi dari gen yang
menyusunnya). Sedangkan pengaruh lingkungan bersifat tidak baka (tidak tetap)
dan tidak dapat diwariskan kepada keturunannya dan tergantung pada kapan dan
lingkungan dapat ditulis sebagai berikut: P = G+E atau P = G+E+GE bila
dijumpai adanya interaksi antara genetik dan lingkungan, dimana: P = Performan,
G = Genetik, E = Lingkungan dan GE = Interaksi antara faktor genetik dan
lingkungan.
Selama kehidupan suatu individu, sifat turunannya akan berinteraksi
dengan lingkungan dan interaksi ini akan menentukan rupa atau bentuk individu
tersebut pada waktu tertentu dan perkembangannya pada waktu mendatang.
Genotip akan tetap konstan sepanjang hayat individu tersebut, sedangkan
fenotip berubah setiap saat. Dua individu dengan genotip yang sama akan jadi
berbeda dalam fenotipnya, jika mereka masing-masing berada dalam daerah yang
kondisi makanan, suhu udara yang mempunyai sifat turunan yang sama,
dinyatakan sebagai variasi lingkungan atau modifikasi lingkungan (Pane, 1993).
Interaksi faktor genetik dengan faktor lingkungan merupakan masalah
yang sangat serius di bidang peternakan umumnya dan ekspor-impor khususnya.
Interaksi dikatakan ada jika ternak-ternak yang dipelihara pada lingkungan
tertentu akan berubah tingkat produksinya saat dipelihara di lingkungan yang
berbeda.
Program impor ternak telah menimbulkan dua masalah besar: (1) interaksi
antara faktor genetik dengan faktor lingkungan. Masalah ini timbul pada
pengimporan ternak hidup dan embrio, (2) adanya kemungkinan hilangnya
ternak-ternak asli Indonesia akibat persilangan antara ternak-ternak asli dengan ternak-ternak impor
yang kurang terencana.
Disamping bangsa ternak, jenis kelamin juga berpengaruh terhadap pertumbuhan.
Seluruh spesies hewan yang didomestikasikan menjadi ternak
menunjukkan adanya variasi sifat-sifat produktivitas yang berhubungan dengan
morfologi maupun fisiologi. Variasi tersebut disebabkan oleh faktor lingkungan
dan genetik. Sifat-sifat produksi yang memiliki nilai ekonomi penting dalam
ternak dikodekan oleh banyak gen (poligenik) sehingga tidak mudah untuk
memanipulasinya (Soller dan Beckmann, 1982). Variasi pada genom dapat
mempengaruhi fungsi gen dan merubah produk gen sehingga menimbulkan
variasi fenotip (Choi et al., 1996).
Keseimbangan Populasi
Dalam populasi yang besar dimana tidak terjadi seleksi, migrasi, migrasi
dan perkawinan terjadi secara acak, frekuensi gen dan genotipik akan sama dari
generasi ke generasi. Untuk sepasang gen dengan frekuensi q dan 1-q, maka
frekuensi ketiga genotip pada frekuensi ini dikatakan berada dalam keseimbangan
atau biasa disebut dengan keseimbangan Hardy-Weinberg (Warwick et al., 1990). Hukum Hardy-Weinberg ditemukan oleh ahli fisika W.Weinberg dan
ahli matematika G.H. Hardy pada tahun 1908. Keduanya berasal dari Inggris
(Noor, 2000). Godfrey Harold Hardy dan Wilhelm Weinberg tahun 1908 secara
terpisah menemukan dasar-dasar frekuensi alel dan genetik dalam suatu populasi.
Prinsip yang berupa pernyataan teoritis tersebut dikenal sebagai hukum (prinsip
kesetimbangan) Hardy-Weinberg. Pernyataan itu menegaskan bahwa frekuensi
alel dan genotip suatu populasi (gene pool) selalu konstan dari generasi ke generasi dengan kondisi tertentu. Kondisi-kondisi yang menunjang Hukum
dari populasi lain, (c) Tidak terjadi mutasi, (d) Perkawinan acak, (f) Tidak terjadi
seleksi alam. Formulasi hukum Hardy-Weinberg dapat dijelaskan berikut ini :
p + q = 1, maka p = 1 – q dan q = 1- p
Pada suatu lokus, gen hanya mempunyai dua alel dalam satu populasi. Para
ahli genetika populasi menggunakan huruf p untuk mewakili frekuensi dari satu
alel dan huruf q untuk mewakili frekuensi alel lainnya. Hukum Hardy-Weinberg
tidak berlaku untuk proses evolusi karena hukum Hardy-Weinberg tidak selalu
menghasilkan angka perbandingan yang tetap dari generasi ke generasi.
Kenyataannya, frekuensi gen dalam suatu populasi selalu mengalami perubahan
atau menyimpang dari hukum Hardy-Weinberg. Beberapa faktor yang
menyebabkan perubahan keseimbangan hukum Hardy-weinberg dalam populasi
yaitu adanya: (1) Hanyutan genetik (genetic drift), (2) Arus gen (gene flow), (3)
Mutasi, (4) Perkawinan tidak acak dan (5) Seleksi alam.
Masing-masing penyebab perubahan kesetimbangan hukum
Hardy-Weinberg atau perubahan frekuensi genetik populasi merupakan kondisi
kebalikan yang dibutuhkan untuk mencapai kesetimbangan Hardy-Weinberg
(Kemdiknas, 2011).
Frekuensi Gen
Menurut Warwick et al (1990) Frekuensi gen adalah istilah yang
digunakan untuk menunjukkan proporsi dari semua lokus untuk pasangan gen
atau rangkaian alel dalam suatu populasi yang diduduki oleh satu gen tertentu.
Perubahan frekuensi gen dapat disebabkan oleh (1) mutasi, yaitu perubahan dalam
frekuensi gen generasi berikutnya. Sedangkan menurut Noor (2000) genetik drift
merupakan perubahan frekuensi gen yang mendadak. Perubahan-perubahan gen
yang mendadak biasanya terjadi pada kelompok kecil ternak yang dipindahkan
untuk tujuan pemuliaan ternak. Jika kelompok ternak diisolasi dari kelompok
ternak asalnya maka frekuensi gen yang terbentuk pada populasi baru dapat
berubah. Perubahan frekuensi gen yang mendadak dapat juga disebabkan oleh
bencana alam (sebagian besar ternak yang memiliki gen tertentu mati), (3)
migrasi, yaitu suatu cara yang paling efektif untuk menyebabkan perubahan
genetik dan sangat berguna asalkan tersedia populasi lain dari gen-gen yang
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di BPTU Babi dan Kerbau Siborongborong
Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara pada Juli sampai dengan September
2012.
Bahan dan Alat
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100 ekor kerbau yang
terdiri atas 68 kerbau rawa (7 jantan, 61 betina) dan 32 kerbau murrah (5 jantan,
27 betina) telah mencapai umur sesuai dengan kriteria yang telah akan dibagi
berdasarkan tingkatan umur dan jenis kelamin.
Alat
Peralatan yang digunakan adalah tongkat ukur, pita ukur, buku dan alat
tulis serta kamera digital. Komputer yang dilengkapi dengan Software statistik
MINITAB® 16.2.1.0. sebagai alat bantu olah data.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode survey dengan menggunakan data
primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan dengan pengamatan dan
pengukuran langsung terhadap sampel. Pengambilan sampel dilakukan secara
Kerbau Sinur Siborongborong. Penggolongan umur ditentukan berdasarkan
pemunculan tanduk dan penanggalan gigi seri dan diperkirakan sudah mencapai
dewasa tubuh serta dari data recording yang ada.
Parameter Penelitian
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah lingkar dada, lebar dada,
dalam dada, tinggi pundak, panjang badan, tinggi pinggul dan lebar pinggul
dengan berat badan sebagai tambahan data deskriptif.
Gambar 1. Metode pengukuranvariabel-variabel linear ukuran permukaan tubuh kerbau yang diamati
Keterangan: Nomor 1-7 berurutan adalah : 1). Lingkar dada. 2). Lebar dada, 3).
Dalam dada. 4). Tinggi pundak. 5). Panjang badan. 6). Tinggi pinggul. 7). Lebar
Lingkar dada (X1) diukur melingkar tepat dibelakang scapula
menggunakan pita ukur, Lebar dada (X2) adalah jarak antara penjolan sendi bahu
(os scapula) kiri dan kanan, diukur dengan pita ukur, Dalam dada (X3) merupakan jarak antara titik tertinggi pundak dan tulang dada, diukur dengan menggunakan
tongkat ukur, Tinggi pundak (X4) jarak tertinggi pundak melalui belakang scapula
tegak lurus ke tanah diukur dengan menggunakan tongkat ukur, Panjang badan
(X5) adalah garis lurus dari tepi tulang processus spinocus sampai dengan
benjolan tulang lapis (os ischium), diukur dengan menggunakan tongkat ukur, Tinggi pinggul (X6) adalah jarak tertingi pinggul secara tegak lurus ke tanah,
diukur dengan menggunakan tongkat ukur dan Lebar pinggul (X7) diukur dengan
tongkat ukur sebagai jarak lebar antara kedua sendi pinggul, dengan Berat badan
sebagai tambahan data deskriptif diukur mengunakan timbangan.
Analisis Data
Pengolahan data untuk mendapatkan gambaran dari ukuran tubuh dan
bentuk tubuh kedua bangsa kerbau dilakukan dengan menggunakan analisis
multivariat yaitu dengan menggunakan Principal Component Analysis atau Analisis Komponen Utama untuk mengetahui hubungan antar variabel dari
bangsa kerbau dan digunakan sebagai upaya matematis untuk menyederhanakan
variabel menjadi variabel baru, namun variabel baru masih tetap dapat
menentukan sebagian besar informasi data asalnya.
Karakteristik ukuran tubuh dilakukan dengan menghitung nilai rataan,
simpangan baku (S), dan koefisien keragaman (KK) dari setiap sifat yang diamati
1
n = jumlah sampel yang diperoleh Xi = ukuran ke-i dari sifat x
S = Simpangan baku
KK = koefisien keragaman
Data ukuran tubuh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Analisis
Komponen Utama. Menurut Gaspersz (1992) pengolahan data dengan
menggunakan Analisis Komponen Utama dilakukan dengan model matematika
sebagai berikut:
Penciri ukuran diperoleh berdasarkan vektor eigen tertinggi pada persamaan komponen utama pertama atau persamaan ukuran. Penciri bentuk
diperoleh berdasarkan vektor eigen tertinggi pada persamaan komponen utama
kedua atau persamaan bentuk. Keeratan hubungan antara peubah asal dan
asal dan komponen utama itu. Rumus yang digunakan untuk mencari korelasi
antara peubah asal dan komponen utama tertentu sebagai berikut
rx,y1= rij = �������� (Gaspersz, 1992).
Keterangan:
rx,y1= rij = koefisien korelasi
aij = vektor penciri/vektor Eigen ke-i pada komponen utama ke-j ��� = akar dari nilai penciri/ nilai eigen pada komponen utama ke-j Si = simpangan baku dari variabel Xi
Selanjutnya skor komponen utama yang diperoleh dari persamaan ukuran
tubuh disajikan dalam bentuk diagram kerumunan. Diagram kerumunan dibuat
berdasarkan skor komponen utama pertama (skor ukuran) sebagai sumbu X dan skor
komponen utama kedua (skor bentuk) sebagai sumbu Y; yang diperoleh berdasarkan
persamaan ukuran dan bentuk. Perbedaan kerumunan data antara kedua bangsa
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaaan Umum Lokasi Penelitian
Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Siborongborong terletak pada
dataran tinggi (>500 meter dari permukaan laut) memiliki ternak kerbau lumpur
Desa Bahalbatu dan kerbau murrah Desa Silangit. Ternak kerbau milik BPTU
diperoleh pada umumnya dari peternak Propinsi Sumatera Utara dan merupakan
hasil seleksi dari ternak kerbau yang ada di propinsi tersebut. Dari hasil seleksi
ternak kerbau yang ada di BPTU sebagai Balai Pembibitan Nasional diharapkan
mampu menyebarkan bibit unggul ke seluruh Indonesia.
Sistem pemeliharaan dan reproduktifitas ternak kerbau di BPTU
Siborongborong. Pemberian pakan tambahan berupa dedak yang dicampur dengan
supplemen dan mineral rata-rata 1 kg/ekor/hari. Pada siang hari ternak
digembalakan di padang rumput milik BPTU yang didominasi oleh campuran
rumput alam dan leguminosa, Sedangkan pohon leguminosa ditanam sebagai
pagar hidup dan diberikan untuk ternak kerbau. Rumput unggul yang sedang
dikembangkan dan mulai diintroduksi pada lahan penggembalaan antara lain
rumput Gajah dan rumput Raja. Perkawinan ternak secara alamia dengan rasio
pejantan yang cukup dan pengaturan perkawinan untuk menghindari inbreeding telah diterapkan. Reproduktifitas ternak kerbau cukup baik dengan jarak beranak
1,5 – 2 tahun. Secara garis besar disimpulkan bahwa manajemen pakan dan
perkawinan telah cukup baik dimana pengawasan kesehatan dengan cara
Deskriptif Statistik Ukuran Linier Permukaan Tubuh Kerbau Murrah dan Kerbau Rawa
Ukuran-ukuran linear peubah ukuran tubuh kerbau murrah dan kerbau
rawa yang diukur meliputi Tinggi pundak, Tinggi pinggul, Lebar pinggul, Panjang
badan, Lingkar dada, Dalam dada, Lebar dada dan penimbangan bobot badan
yang dikelompokkan menurut umur dan jenis kelamin berbeda, tabel berikut
menyajikan nilai rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman pada masing –
masing peubah yang diamati disajikan pada table 1 dan table 2.
Rataan berat badan kerbau murrah jantan pada kelompok umur 2 – 3,5
tahun 258 kg dan pada kerbau rawa jantan 246 kg. Rawa jantan muda hasil
pengamatan didapat tinggi pundak 115,5 cm, tinggi pinggul 117,5 cm, panjang
badan 105,5 cm dan lingkar dada 182,5 cm, lebih rendah dibandingkan tinggi
pundak 122,80 cm, tinggi pinggul 125,40 cm, panjang badan 123,20 cm dan
lingkar dada 190,22 cm (Praharani, 2007). Kerbau murrah jantan muda memiliki
rataan ukuran tubuh tidak jauh berbeda dengan kerbau rawa jantan muda kecuali
pada lingkar dada. Dari hasil uji-t terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
pada jantan muda yaitu pada variabel panjang badan. Keragaman ukuran tubuh
pada kerbau murrah jantan muda sekitar 1,113 – 8,096 % dan ukuran tubuh pada
kerbau rawa jantan muda sekitar 1,771 – 4,470 %.
Ukuran tubuh (Tinggi pundak, Tinggi pinggul, Lebar pinggul, Panjang
badan, Lingkar dada, Dalam dada, Lebar dada) dipengaruhi oleh umur ternak
jenis kelamin. Secara umum, rataan ukuran tubuh kerbau muda lebih rendah dari
ternak dewasa. Pada kerbau jantan dewasa ukuran tubuh kerbau rawa tidak
murrah jantan dewasa sekitar 0,763 – 10,604% dan ukuran tubuh pada kerbau
rawa jantan dewasa sekitar 1,283 – 6,453%.
Ukuran tubuh kerbau murrah hasil penilitian lebih kecil dibanding
pengamatan sebelumnya. Rataan tinggi pundak dan panjang badan dari kerbau
murrah jantan dewasa pengamatan adalah 138,67 cm dan 148.3 cm, lebih rendah
dibandingkan 142 dan 151cm (Mason, 1974), dan 132 cm dan 132,8 cm menurut
Sitorus (2008). Ukuran lingkar dada kerbau murrah jantan (195 cm) yang
diamati juga lebih kecil dari yang didapat Fahimuddin (1975) sebesar 220 cm dan
lebih besar dari laporan Sitorus (2008) 185 cm.
Tabel 1. Rataan, simpangan baku, dan koefisien keragaman ukuran-ukuran tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa jantan
Variabel Bangsa
Keterangan: Notasi x adalah rataan, n adalah jumlah sampel, S adalah simpangan baku dan KK adalah koefisien keragaman..
Tanda * menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) antar bangsa dalam variabel sedangkan ** menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01) antar bangsa dalam variabel.
Kerbau rawa jantan dewasa hasil pengamatan didapat tinggi pundak 135,5
cm, tinggi pinggul 132,3 cm, panjang badan 141,6 cm dan lingkar dada 203 cm,
panjang badan 131 cm dan lingkara dada 196,5 cm (Praharani, 2007) sedangkan
dari hasil penelitian Sitorus (2008) tinggi pundak 126,38 cm, tinggi pinggul
125,56 cm, panjang badan 129,5 cm dan lingkar dada 182,16 cm.
Tabel 2. Rataan, simpangan baku, dan koefisien keragaman ukuran-ukuran tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa betina
Variabel Bangsa
Kelompok umur
2 – 3,5 3,5 – 7
n x ± S KK % n x ± S KK %
Bobot badan Murrah 6 241,67±32,85 13,592 21 402,98±52,17 12,945
Rawa 4 223,65±16,28 7,282 57 398±38,46 9,662
Tinggi pinggul Murrah 6 115,83±8,23 7,107 21 130,28±3,94
**
3,019
Rawa 4 113,25±1,5 1,324 57 124,49±2,46 1,979
Lebar pinggul Murrah 6 41,5±4,13 9,964 21 53,80±4.8 9,097
Rawa 4 41,75±1,26 3,014 57 47,35±3,23 6,825
Keterangan: Notasi x adalah rataan, n adalah jumlah sampel, S adalah simpangan baku dan KK adalah koefisien keragaman.
Tanda * menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) antar bangsa dalam variabel sedangkan ** menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01) antar bangsa dalam variabel.
Kerbau rawa betina muda hasil pengamatan didapat tinggi pundak 112,75
cm, tinggi pinggul 113,25 cm, panjang badan 118,25 cm dan lingkar dada 152
cm, lebih rendah dibandingkan tinggi pundak 117,29 cm, tinggi pinggul 117,88
cm, panjang badan 118,91 cm, lingkar dada 179,44 cm (Praharani, 2007). Dari
hasil uji-t terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) pada betina muda yaitu
pada variabel tingggi pundak. Kerbau murrah betina muda memiliki rataan ukuran
tubuh lebih besar dibanding kerbau rawa betina muda. Keragaman ukuran tubuh
Kerbau murrah betina dewasa hasil pengamatan didapat tinggi pundak
133 cm, tinggi pinggul 130,28 cm, panjang badan 137,28 cm dan lingkar dada
182,71 cm, tidak jauh berbeda dibandingkan laporan Sitorus (2008) yaitu didapati
tinggi pundak 133,13 cm, tinggi pinggul 132,5 cm, panjang badan 131,87 cm,
kecuali pada lingkar dada 202,59 cm.
Kerbau Rawa betina dewasa hasil pengamatan didapat tinggi pundak
125,14 cm, tinggi pinggul 124,49 cm, panjang badan 127,98 cm dan lingkar dada
188,74 cm, lebih besar dibandingkan tinggi pundak 122,91 cm, tinggi pinggul
122,72 cm, panjang badan126,96cm, lingkar dada 186,14 cm (Praharani, 2007)
sedangkan dari hasil penelitian Sitorus (2008) tinggi pundak 122,26 cm, tinggi
pinggul 121,38 cm, panjang badan 119,14 cm dan lingkar dada 176,6 cm.
Keragaman ukuran tubuh pada kerbau murrah betina dewasa sekitar
3,019 – 9,662% dan ukuran tubuh pada kerbau rawa betina dewasa
sekitar 1,888 – 7,510 %. Dari hasil uji-t terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05)
pada betina induk yaitu pada variabel tinggi pundak sedangkan perbedaan yang
sangat nyata (P<0,01) ditunjukkan pada variabel panjang badan dan tinggi
pinggul.
Jika kedua bangsa dipisah menurut jenis kelamin kemudian dibandingkan
menurut variabel-variabel yang ada maka hasilnya dapat dilihat pada tabel 3. Pada
tabel 3 terlihat bahwa kerbau jantan dari kedua bangsa memiliki ukuran tubuh
yang sama. Ini dibuktikan dengan hasil uji-t (lampiran 2) yang menunjukkan tidak
terdapat perbedaan pada ukuran tubuh kedua bangsa untuk jenis kelamin jantan.
Koefesien keragaman untuk kerbau murrah jantan adalah 8,243 – 15,304% dan
pada ukuran tubuh kedua bangsa yakni pada lingkar dada, tinggi pundak dan
tinggi pinggul. Dari hasil uji-t (lampiran 3) didapat bahwa lingkar dada dari betina
kedua bangsa berbeda nyata (P<0,05) sedangkan pada tinggi pundak dan tinggi
pinggul menunjukkan perbedaan yang sangat nayata (P<0,01). Koefesian
keragaman untuk kerbau murrah betina adalah 5,015 – 13,694% dan untuk kerbau
rawa betina adalah 2,985 – 7,306%.
Tabel 3. Rataan, simpangan baku, dan koefisien keragaman ukuran-ukuran tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa
Variabel Bangsa
Keterangan: Notasi x adalah rataan, n adalah jumlah sampel, S adalah simpangan baku dan KK adalah koefisien keragaman.
Persamaan Ukuran dan Bentuk Tubuh Kerbau Murrah dan Kerbau Rawa
Perasaan ukuran, persamaan bentuk, keragaman total, dan nilai eigen pada
kerbau murrah dan kerbau rawa disajikan pada tabel 4 dan tabel 5.
Tabel 4. Persamaan skor ukuran dan bentuk tubuh dengan keragaman total dan nilai eigen pada kerbau murrah
Persamaan Keragaman
Persamaan skor ukuran tubuh kerbau murrah memiliki keragaman total
sebesar 78,9 yang merupakan proporsi keragaman terbesar diantara komponen –
komponen utama yang diperoleh. Nilai eigen yang diperoleh pada persamaan skor ukuran adalah 5,526. Vektor eigen tertingi pada persamaan ukuran ditemukan
pada tinggi pundak (X4) sebesar 0,401. Korelasi antara skor ukuran dan tinggi
pundak ditemukan sebesar +0,123. Tanda positif menunjukkan peningkatan
ukuran lingkar dada akan meningkatkan skor ukuran atau sebaliknya. Persamaan
bentuk memiliki keragaman total sebesar 6,7 yang merupakan proporsi
keragaman terbesar setelah keragaman total pada persamaan ukuran. Nilai eigen
pada persamaan skor bentuk ditemukan sebesar 0,468. Vektor eigen tertinggi pada persamaan bentuk ditemukan pada lebar dada (X2) sebesar 0,515 yang merupakan
penciri bentuk pada kerbau murrah. Korelasi antara skor bentuk dan lebar dada
Tabel 5. Persamaan skor ukuran dan bentuk tubuh dengan keragaman total dan nilai eigen pada kerbau rawa
Persamaan Keragaman
Tabel 5 menyajikan persamaan skor ukuran tubuh kerbau rawa yang
memiliki keragaman total sebesar 73,5 merupakan proporsi keragaman terbesar
diantara komponen – komponen utama yang diperoleh. Nilai eigen yang diperoleh pada persamaan skor ukuran adalah 5,114. Vektor eigen tertinggi pada persamaan ukuran ditemukan pada tinggi pundak (X4) sebesar 0,410 merupakan penciri
ukuran kerbau rawa. Korelasi antara skor ukuran dan tinggi pundak ditemukan
sebesar +0,190. Persamaan bentuk memiliki keragaman total sebesar 13,5 yang
merupakan proporsi keragaman terbesar setelah keragaman total pada persamaan
ukuran. Nilai eigen pada persamaan skor bentuk ditemukan sebesar 0,944. Vektor eigen yang tinggi pada persamaan bentuk ditemukan pada lebar dada (X2) sebesar
0,573 merupakan penciri bentuk pada kerbau rawa. Korelasi antara skor bentuk
Rekapitulasi Penciri Ukuran dan Bentuk Tubuh pada Kerbau Murrah dan Kerbau Rawa serta Pembentukan Diagram Kerumunan
Tabel 6 menyajikan rekapitulasi penciri ukuran dan bentuk pada kerbau
murrah dan kerbau rawa yang diamati berdasarkan persamaan ukuran dan bentuk.
Gambar 2 menyajikan diagram kerumunan data kerbau murrah dan kerbau rawa
berdasarkan perolehan skor ukuran dan skor bentuk. Berdasarkan Tabel 6, Tinggi
pundak merupakan penciri ukuran pada semua bangsa kerbau yang diamati. Hal
ini divisualisasikan dalam bentuk diagram kerumunan pada Gambar 2.
Tabel 6. Rekapitulasi penciri ukuran dan bentuk tubuh pada kerbau murrah dan kerbau rawa
Bangsa Penciri ukuran Penciri bentuk
Murrah Tinggi pundak (X4) Lebar dada (X2) Rawa Tinggi pundak (X4) Lebar dada (X2)
Berdasarkan skor ukuran (sumbu-X), kerumunan data kerbau murrah dengan
jumlah sampel 32 ekor (5 jantan, 27 betina) berkisar antara 236 – 320; sedangkan
dengan jumlah sampel 68 ekor (7 jantan, 61 betina) kerbau rawa menyebar pada
rentang 244 – 310. Tampak bahwa kedua bangsa kerbau menempati rentang yang
sama, hanya saja pada kerbau rawa kerumunan data lebih terpusat. Hal ini
menggambarkan bahwa secara ukuran kerbau murrah dan kerbau rawa adalah
sama.
Bentuk (fenotipik) dipengaruhi faktor genetik dan lingkungan
(Hardjosubroto, 1998). Berdasarkan Tabel 6, penciri bentuk ditemukan pada
Gambar 2. Diagram kerumunan data skor ukuran dan bentuk tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa
Berdasarkan Gambar 2, bentuk kedua kelompok kerbau yang diamati
tampak berbeda dilihat dari kerumunan data yang ada. Hal ini dapat dijelaskan
dengan tidak adanya komponen yang saling berhimpit antara kerbau murrah dan
kerrbau rawa. Berdasarkan skor bentuk (sumbu-Y), kerumunan data kerbau
murrah terlihat berada pada posisi bawah yaitu pada -47,5 – -22,5; sedangkan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Analisis deskriptif menunjukkan ukuran-ukuran tubuh kerbau murrah
lebih beragam dibandingkan kerbau rawa. Ukuran-ukuran linier tubuh kerbau
murrah memiliki banyak kesamaan dengan kerbau rawa pada beberapa variabel
berdasarkan umur dan jenis kelamin.
Analisis Komponen Utama menyatakan bahwa tinggi pundak merupakan
penciri ukuran dan lebar dada sebagai penciri bentuk pada kerbau murrah dan
kerbau rawa. Secara morfologi kerbau murrah dan kerbau rawa sangat berbeda.
Hal ini ditunjukkan oleh kerumunan data pada kerbau murrah dan kerbau rawa
saling terpisah, walaupun kedua bangsa terlihat sama jika ditinjau dari
morfometriknya.
Saran
Penelitian selanjutnya disarankan menggunakan kerbau murrah dan kerbau
rawa dari luar BPTU atau dengan menanbah variasi sampel dari luar, sehingga dapat
ditemukan variasi ukuran dan bentuk pada bangsa kerbau yang diamati berdasarkan
DAFTAR PUSTAKA
Bhattarchya. 1993. Dalam: Williamson, W.G.A. and W.J.A. Payne. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Choi, Y. J., D.S Yim, B.D Cho, J.S Cho, K.J Na and M.G Baik, 1996. Analysis of RFLP in the Bovine Growt Hormone Gen Related to Growt Performance and Carcass Quality of Korean Native Cattle. Meat Science 45 (3) 405-410.
Cockrill, W. 1974. Species, Types, and Breeds, dalam: W. R Cockrill. 1974. The Husbandry and Health of The Domestic Buffalo. Food and Agriculture Organization of The United Nation, Rome.
Dahlanuddin D.V., J.B Tien, Liang and D.B Adams, 2003. An exploration of risk factor for Bovine Spongiform enceplolopathy in Ruminant Production System in the Tropics. Rev. Sci. Tech. of Int. Epiz 22 : 271-281.
http:
Ditjennak, 2012. Peta potensi wilayah sumber bibit sapi potong lokal dan rencana pengembangannya
Diwyanto, K., 1982. Pengamatan Fenotip Domba Priangan Serta Hubungan Antara Ukuran Tubuh dan Bobot Badan. (Tesis). Bogor IPB. Program Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Ternak.
Erdiansyah, E., dan Anneke Anggraeni. 2008. Keagaman Fenotipe dan Pendugaan Jarak Genetic antara Subpopulai Kerbau Rawa Local di Kabupaten Dompu, Nusatenggara Barat. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kebau Tanah Toraja. 2008. Puslitbang Peternakan, Bogor.
Fahimuddin, M. 1975. Domestic water buffallo. Oxford and IBH publishing co, New Delhi.
FAO (Food and Agriculture Organization), 2007. World Watch List for Domestic Animal Diversity 3rd Ed. FAO, Rome.
Gazpersz, V. 1992. Teknik Analisi dalam Penelitian Percobaan. Tarsito, Bandung.
Hardjosubroto, W., 1994. Aplikasi Pemuliabiakan di Lapangan. Gramedia widiasarana Indonesia. Jakarta.
Kalimantan Selatan (Diploma). Perpustakaan Digital Universitas Negeri Malang, Mala
Mason. I.L. 1974. The Husbandry and Health of The Domestic Buffalo. Food and Agriculture Organization of The United Nation, Rome.
Martojo, H., 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB, Bogor. http://www.agrin.ttri.gov.tw 7 Januari 2012
Martojo, H., 2003. Indegenous Bali cattle: The Best Suited Cattle Breed For Sustainable Small Farm in Indonesia. Laboratory of Animal Breeding and Genetics, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural Univesity, Indonesia.
Muladno, 2010. Menata Pembibitan Ternak di Indonesia Dalam Menjamin Ketersediaan Bibit/Benih Ternak Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar. Fakultas Peternakan IPB.
Murti, Tridjoko Wisnu. 2002. Ilmu Ternak Kerbau. Kanisius. Yogyakarta.
Namikawa, T., Y. Matsuda, K. Kondo, B. Pangestu, and H. Martojo, 1982. Blood Groups and Blood Protein Polymorphisms of Differens Types of Cattle in Indonesia.Di tto 35-46.
Noor, RR., 2000,2004. Genetika Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pane, I., 1993. Pemuliabiakan Ternak Sapi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Payne, W.J.A. and J. Hodges. 1997. Tropical cattle: Origin, Breeds and Breeding Polices. First Edition. Blackwell Scince.
Praharani, Lisa. 2008. Performa Persilangan Kerbau Sungai x Kerbau Lumpur. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kebau Tanah Toraja. 2008. Puslitbang Peternakan, Bogor.
Praharani, Lisa., dan E. Triwulanningsih. 2007. Karakterisasi Bibit Kerbau Pada Agroekosistem Dataran Tinggi. Prosiding Seminar dan Lokakarya
Nasional Usaha Ternak Kebau Jambi. 2007. Puslitbang Peternakan, Bogor.
Rahmat , Dedi, 2010. Strategi Pengembangan Kerbau Sebagai Sumberdaya Genetik Lokal di Kabupaten Garut. Karya Ilmia. Universitas Padjadjaran Press. Jatinagor
Rukmini, 2010. Identifikasi Variasi Genetik Kerbau (Bubalus bubalis) Lokal Aceh Besar Berbasis Mikrosatelit Sebagai Petunjuk Praktikum Matakuliah Teknik Analisis Biologi Molekuler [Tesis] Perpustakaan Digital
Universitas Negeri Malang, Malang.
Sitorus, A. J. dan Anneke Anggraeni, 2008. Kkarakterisasi Morfologi dan Estimasi Jarak Genetik Kerbau Rawa, Sungai (Murrah) dan Silangannya di Sumatera Utara. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kebau Tanah Toraja. 2008. Puslitbang Peternakan, Bogor.
Soller, M., and V.S Beckman, 1982. Restriction Treqment Longth Polymorphims an Genetics Aplied to Livestock production. 6 : 396-404.
Sutopo, K. Namura, Y. Sugimoyo, and T. Amano, 2001. Genetic Relationship among Indonesia Native Cattle. V. Anim. Genet., 28 (2) : 3-11.
Warwick, E.J., J.M Astuti, W. Hardjosubroto, 1990. Pemuliaan Ternak. UGM Press. Yogyakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman dan nilai probabilitas uji-t ukuran-ukuran tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa
Variabel Bangsa N x ± S KK % Probabilitas
Lampiran 2. Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman dan nilai probabilitas uji-t ukuran-ukuran tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa jantan
Lampiran 3. Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman dan nilai probabilitas uji-t ukuran-ukuran tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa betina
Variabel Bangsa N x ± S KK % Probabilitas
Lampiran 4. Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman dan nilai probabilitas uji-t ukuran-ukuran tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa jantan 2-3,5.
Lampiran 5. Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman dan nilai probabilitas uji-t ukuran-ukuran tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa jantan 3,5-7
Variabel Bangsa N x ± S KK % Probabilitas
Lampiran 6. Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman dan nilai probabilitas uji-t ukuran-ukuran tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa betina 2-3,5
Lampiran 7. Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman dan nilai probabilitas uji-t ukuran-ukuran tubuh kerbau murrah dan kerbau rawa betina 3,5-7
Variabel Bangsa N x ± S KK % Probabilitas
Lampiran 8. Komponen utama, nilai eigen (λ), keragaman total (%), keragaman kumulatif (%) yang diturunkan dari matriks kovarian variabel-variabel linear ukuran permukaan tubuh kerbau murrah
Lampiran 9. Komponen utama, nilai eigen (λ), keragaman total (%), keragaman kumulatif (%) yang diturunkan dari matriks kovarian variabel-variabel linear ukuran permukaan tubuh kerbau rawa
Variabel Komponen utama
Lampiran 10. Vektor eigen, nilai eigen, simpangan baku peubah dan korelasi antara skor ukuran terhadap peubah-peubah yang diamati pada kerbau murrah
Peubah yang diamati Vector egein
Lampiran 11. Vektor eigen, nilai eigen, simpangan baku peubah dan korelasi antara skor bentuk terhadap peubah-peubah yang diamati pada kerbau murrah
Lampiran 12. Vektor eigen, nilai eigen, simpangan baku peubah dan korelasi antara skor ukuran terhadap peubah-peubah yang diamati kerbau rawa Peubah yang diamati Vector
egein