• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bangunan Hak Milik Yang Terkena Dampak Pembebasan Lahan Untuk Kepentingan Umum (Studi Kasus Pada Pembebasan Jalan Pasar 8 Simpang Pos Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Bangunan Hak Milik Yang Terkena Dampak Pembebasan Lahan Untuk Kepentingan Umum (Studi Kasus Pada Pembebasan Jalan Pasar 8 Simpang Pos Medan)"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP SENGKETA GANTI RUGI ATAS BANGUNAN HAK MILIK YANG TERKENA DAMPAK PEMBEBASAN

LAHAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM (STUDI KASUS PADA PEMBEBASAN JALAN PASAR 8 SIMPANG POS MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

RIZA HANDANA SITEPU

NIM : 070200396

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 1 2

(2)

BANGUNAN HAK MILIK YANG TERKENA DAMPAK PEMBEBASAN LAHAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM (STUDI KASUS PADA

PEMBEBASAN JALAN PASAR 8 SIMPANG POS MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

RIZA HANDANA SITEPU

NIM : 070200396

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Windha, SH, M.Hum

Pembimbing I

Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum

Pembimbing II

Ramli Siregar, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang

telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini

berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Sengketa Ganti Rugi Atas Bangunan

Hak Milik Yang Terkena Dampak Pembebasan Lahan Untuk Kepentingan Umum (Studi Kasus Pada Pembebasan Jalan Pasar 8 Simpang Pos Medan))”.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan

dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan

terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum, sebagai Ketua Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syamsul Rizal, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I Penulis.

4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis.

5. Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

6. Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya

(4)

7. Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang tiada

terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda, semoga kebersamaan yang kita jalani

ini tetap menyertai kita selamanya.

8. Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat

bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2012

Penulis

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iii

ABSTRAKSI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

F. Metode Penulisan ... 18

G. Sistematika Penulisan. ... 20

BAB II MEKANISME KONSINYASI GANTI RUGI ATAS TANAH YANG DIGUNAKAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM. ... 22

A. Cara-Cara Memperoleh Tanah Untuk Kepentingan Umum 22 B. Prinsip-Prinsip Pemberian Ganti Kerugian dan Dasar Perhitungan ... 30

C. Mekanisme Konsinyasi Ganti Rugi Atas Tanah Yang Digunakan Untuk Kepentingan Umum. ... 34

BAB III HAMBATAN-HAMBATAN YANG TIMBUL DALAM MEKANISME GANTI RUGI ATAS TANAH YANG DIGUNAKAN UNTUK PEMBANGUNAN. ... 47

A. Penyebab Ketidaksepakatan ... 47

(6)

C. Hambatan-Hambatan Yang Timbul Dalam Mekanisme Ganti Rugi Atas Tanah Yang Digunakan Untuk

Pembangunan. ... 60

BAB IV PROSES PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM DALAM RANGKA PEMBANGUNAN. ... 68

A. Fungsi Sosial Hak Atas Tanah ... 68

B. Proses Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Dalam Rangka Pembangunan. ... 70

BAB V PENUTUP... 73

A. Kesimpulan ... 73

B. Saran. ... 74

(7)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS TERHADAP SENGKETA GANTI RUGI ATAS BANGUNAN HAK MILIK YANG TERKENA DAMPAK PEMBEBASAN

LAHAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

(Studi Kasus Pada Pembebasan Jalan Pasar 8 Simpang Pos Medan) *) Riza Handana Sitepu

**) Budiman Ginting ***) Ramli Siregar

Pembangunan yang diperuntukan bagi kepentingan umum dewasa ini menuntut adanya pemenuhan kebutuhan akan pengadaan tanah secara cepat. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam bentuk Perpres 65 Tahun 2006 yang merupakan penyempumaan dari Perpres 36 Tahun 2005 yang mengatur Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Demi Kepentingan Umum menjadi salah satu payung hukum bagi pemerintah dalam hal mempermudah penyediaan tanah untuk pembangunan tersebut. Melalui kebijakan tersebut, melalui mekanisme pencabutan hak atas tanah, pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengambil tanah milik masyarakat yang secara kebetulan diperlukan untuk pembangunan bagi kepentingan umum.

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana mekanisme konsinyasi ganti rugi atas tanah yang digunakan untuk kepentingan umum, bagaimana hambatan-hambatan yang timbul dalam mekanisme ganti rugi atas tanah yang digunakan untuk pembangunan dan bagaimana proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam rangka pembangunan.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan mekanisme konsinyasi ganti rugi atas tanah yang digunakan untuk kepentingan umum pada dasarnya disebabkan tidak adanya titik temu, sehingga proses di pengadilan-lah yang bisa menyelesaikan. Tentunya biaya yang akan dititipkan ke pengadilan adalah harga yang sesuai dengan perhitungan tim appraisal, karena harga yang disodorkan itu sudah yang tertinggi. Jika masih ada permintaan harga tanah di luar harga yang ditetapkan appraisal, maka konsinyasi adalah jalan pemecahannya. Hambatan-hambatan yang timbul dalam mekanisme ganti rugi atas tanah yang digunakan untuk Pembangunan untuk kepentingan umum adalah ketidaksepakatan tentang besaran ganti kerugian karena keterbatasan dana dari Pemerintah sehingga bentuk dan besaran ganti kerugian penetapannya tidak sesuai dengan harga pasar setempat (umum), hal ini dinilai tertalu rendah atau tidak wajar. Proses pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam rangka pelaksanaan pembangunan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Kepala BPN nomor 3 tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden nomor 36 tahun 2005 junto Peraturan Presiden nomor 65 tahun 2006

Kata Kunci :Sengketa Ganti Rugi, Bangunan Hak Milik

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk

kelangsungan hidup umat manusia, hubungan manusia dengan tanah bukan hanya

sekedar tempat hidup, tetapi lebih dari itu tanah memberikan sumber daya bagi

kelangsungan hidup umat manusia.

Bagi bangsa Indonesia tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan

merupakan kekayaan nasional, serta hubungan antara bangsa Indonesia dengan

tanah bersifat abadi, oleh karena itu harus dikelola secara cermat pada masa

sekarang maupun untuk masa yang akan datang.

Masalah tanah adalah masalah yang menyangkut hak rakyat yang paling

dasar. Tanah disamping mempunyai nilai ekonomis juga berfungsi sosial, oleh

karena itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut dikorbankan guna

kepentingan umum. Ini dilakukan dengan pelepasan hak atas tanah dengan

mendapat ganti rugi yang tidak berupa uang semata akan tetapi juga berbentuk

tanah atau fasilitas lain.

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum berkaitan dengan tanah sebagai

fungsi sosial. Fungsi sosial tanah menurut Leon Duguit yang dikutip AP.

Parlindungan yaitu tidak ada hak subjektif (subjective recht) yang ada hanya fungsi

sosial.1

1

AP.Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, CV. Mandar Maju,

Pada pemakaian sesuatu hak atas tanah untuk kepentingan masyarakat

(9)

kepentingan masyarakat maka negara harus melepaskan atau mencabut hak atas

tanah, karena kepentingan umum yang memberikan kesejahteraan bagi masyarakat

banyak dan telah ditetapkan rencana umum tata ruang sebelumnya.

Pembangunan yang dilaksanakan untuk kepentingan umum akan

berdampak pada aspek kehidupan masyarakat terutama masyarakat yang terkena

lokasi pembangunan. Hal ini sesuai dengan pendapat Y.W. Sunindhia dan Ninik

Widiyati:

Masalah keagrariaan umumnya dan masalah pertanahan pada khususnya adalah merupakan suatu permasalahan yang cukup rumit dan sensitif sekali sifatnya, karena menyangkut berbagai aspek kehidupan baik bersifat sosial, ekonomi, politis, psikologis dan lain sebagainya, sehingga dalam penyelesaian masalah ini bukan hanya khusus memperhatikan aspek yuridis akan tetapi juga harus memperhatikan berbagai aspek kehidupan lainnya agar supaya penyelesaian persoalan tersebut tidak berkembang menjadi suatu keresahan yang dapat mengganggu ketertiban masyarakat.2

Menurut pendapat A.P. Parlindungan bahwa semua hak atas tanah

mempunyai fungsi sosial, bukan berarti bahwa kepentingan perorangan akan

terdesak sama sekali oleh kepentingan umum.3 Pengertian Kepentingan Umum

menurut Surat Keputusan Direktorat Jenderal Agraria Nomor BA/12/108/12/1975

berbunyi : Kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat,

dengan memperhatikan segi sosial, politik, psikologis dan Hankam atas dasar

asas-asas Pembangunan Nasional dengan mengindahkan Ketahanan Nasional serta

Wawasan Nusantara.4

Bandung, 1998. hal.65.

2

Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti. Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa Pemikiran), PT. Bima Aksara, Jakarta, 1988. hal. 22.

3

Ibid., hal. 40

4

(10)

Pembebasan tanah untuk kepentingan umum dilakukan berdasarkan ketentuan

yang berlaku. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 atas perubahan Peraturan Presiden Nomor 36

Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum, Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah

Bagi Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dan Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 1994

tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, Tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Pada dasarnya ketentuan tersebut memberikan kepastian hukum hak atas tanah,

mengantisipasi permasalahan tanah yang akan timbul dan mengarahkan dengan

fungsi sosial tanah dan rencana tata ruang. Pengadaan tanah menurut Pasal 1

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 atas perubahan

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi

pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yaitu setiap kegiatan

untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang

melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda

yang berkaitan dengan tanah.

A. Kepentingan umum berdasarkan Pasal 5 Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 atas perubahan Peraturan Presiden

Nomor 36 Tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan

pembangunan untuk kepentingan umum, meliputi :

(11)

tanah, ataupun diruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi.

b. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya. c. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal.

d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana.

e. Tempat pembuangan sampah. f. Cagar alam dan cagar budaya.

g. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum berdasarkan Peraturan Presiden

Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 atas perubahan Peraturan Presiden

Nomor 36 Tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan

untuk kepentingan umum, dilaksanakan oleh panitia pengadaan tanah dengan

tugasnya yaitu:

a. Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan.

b. Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan dokumen yang mendukungnya.

c. Menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan.

d. Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka, media cetak, maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah.

e. Mengadakan musyawah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi.

f. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada diatas tanah.

g. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.

h. Mengadministrasi dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten.

Pengadaan tanah membawa konsekuensi pada berkurang harapan

(12)

selama ini dikuasainya. Lazim terjadi pada pengadaan tanah untuk kepentingan

umum terjadi konflik antara yang memerlukan tanah (pemerintah) dengan

masyarakat pemegang hak atas tanah. Karena pemegang hak atas tanah akan

menerima ganti rugi harga tanah, bangunan dan tanaman tidak sesuai dengan nilai

sebenarnya.

Konflik antara pemegang hak atas tanah dengan panitia pengadaan tanah

terjadi bilamana proses pengadaan tanah tidak mempertimbangkan penetapan

harga ganti rugi berdasarkan proses musyawarah. Menurut Dadang Juliantoro

menyatakan bahwa masalah-masalah pengadaan tanah yang dapat menyulut

sengketa pada umumnya karena :

a. Ganti rugi yang tidak memadai.

b. Proses pembebasan yang tidak demokratis dan cenderung manipulatif. c. Penolakan pemilik tanah untuk menyerahkan tanahnya atau tanah

miliknya.

d. Ketidakpastian hidup pasca penggusuran.

e. Penggunaan atau melakukan kekerasan dalam proses pembebasan/pengadaan tanah.5

Menurut Abdurrahman, tanah dapat dinilai sebagai harta yang bersifat Pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus sesuai dengan

kesepakatan dengan pemegang hak atas tanah. Bila tidak sesuai hasil musyawarah,

maka masyarakat pemegang hak atas tanah menentang pembayaran ganti rugi

harga tanah karena dianggap telah melanggar hak asasinya. Karena dianggap nilai

ganti rugi yang diberikan tidak memadai yang berlangsung secara tidak demokratis

dan cenderung manipulatif.

5

(13)

permanen karena tanah dapat dicadangkan untuk kehidupan mendatang, dan tanah

pula sebagai tempat persemanyam terakhir bagi seseorang meninggal dunia.6

Pembangunan yang diperuntukan bagi kepentingan umum dewasa ini

menuntut adanya pemenuhan kebutuhan akan pengadaan tanah secara cepat.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam bentuk Perpres 65 Tahun 2006

yang merupakan penyempumaan dari Perpres 36 Tahun 2005 yang mengatur Makanya segala masalah yang muncul dalam proses pengadaan tanah harus

ditangani secara konseptual dan terencana untuk memberikan kesejahteraan kepada

masyarakat yang tanahnya turut dibebaskan.

Pada umumnya masalah pengadaan tanah merupakan hal yang rawan dalam

penanganannya, karena di dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak.

Walaupun demikian pemerintah harus memenuhi kebutuhan akan tanah untuk

keperluan berbagai macam pembangunan berkelanjutan. Melalui panitia

pengadaaan tanah akan membebaskan tanah masyarakat yang dikuasai berdasarkan

hukum adat maupun macam hak atas tanah lainnya yang melekat di atasnya.

Dimana pemegang hak atas tanah yang melepaskan haknya harus dilandasi pada

rasa keikhlasan demi kesinambungan pembangunan.

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006

atas perubahan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan

Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Disebutkan

pembangunan jalan di Pasar 8 Simpang Pos Medan yang merupakan jalan Ring

Road termasuk salah satu diantara kepentingan umum.

6

(14)

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Demi Kepentingan Umum

menjadi salah satu payung hukum bagi pemerintah dalam hal mempermudah

penyediaan tanah untuk pembangunan tersebut. Melalui kebijakan tersebut,

melalui mekanisme pencabutan hak atas tanah, pemerintah mempunyai

kewenangan untuk mengambil tanah milik masyarakat yang secara kebetulan

diperlukan untuk pembangunan bagi kepentingan umum.7

7

Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 225

Mekanisme musyawarah yang seharusnya menjadi sarana untuk mencari

jalan tengah dalam menentukan besarnya ganti kerugian seringkali tidak mencapai

kata sepakat dan karenanya dengan alasan kepentingan umum, maka pemerintah

melalui panitia pengadaan tanah dapat menentukan secara sepihak besarnya ganti

rugi dan kemudian menitipkannya ke pengadilan negeri setempat melalui prosedur

konsinyasi.

Hal itulah yang kemudian menjadi permasalahan, bahwa konsinyasi yang

diterapkan dalam Perpres ini berbeda dengan konsinyasi yang di atur dalam KUH

Perdata, di mana dalam KUH Perdata konsinyasi dapat dilakukan jika sebelumnya

terdapat hubungan hukum antara para pihak. Sedangkan dalam Perpres justru

sebaliknya, konsinyasi diterapkan disaat kesepakatan antara para pihak tidak

tercapai, tidak ada hubungan hukum sama sekali diantara para pihak tersebut.

Perbedaan dalam hal konsep penerapan konsinyasi inilah yang

mengindikasikan bahwa Perpres No. 65 Tahun 2006 lebih memihak investor asing

daripada nasib masyarakat yang tanahnya harus diambil untuk pembangunan yang

(15)

Penerapan konsinyasi dalam Perpres ini sebagai alternatif penyelesaian konflik

pengadaan tanah bisa jadi membawa dampak pada kesewenang-wenangan

pemerintah dalam hal penggusuran atau pengusiran secara paksa. Padahal

alternatif terakhir yang dapat ditempuh adalah dengan pengajuan permohonan

pencabutan hak atas tanah berdasarkan UU No. 20 Tahun 1961, dan bukannya

dengan mengkonsinyasikan uang ganti rugi ke pengadilan negeri dan

menganggap kewajibannya dalam pembebasan lahan sudah selesai, dan dengan

serta merta melakukan pembangunan di lahan tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian dalam skripsi ini

berjudul : “Analisis Yuridis Terhadap Sengketa Ganti Rugi Atas Bangunan

Hak Milik Yang Terkena Dampak Pembebasan Lahan Untuk Kepentingan Umum (Studi Kasus Pada Pembebasan Jalan Pasar 8 Simpang Pos Medan)

B. Perumusan Masalah

Setiap pelaksanaan penelitian penting diuraikan permasalahan karena

dengan hal yang demikian dapat diketahui pembatasan dari pelaksanaan penelitian

dan juga pembahasan yang akan dilakukan.

a. Bagaimana mekanisme konsinyasi ganti rugi atas tanah yang digunakan untuk

kepentingan umum?

b. Bagaimana hambatan-hambatan yang timbul dalam mekanisme ganti rugi atas

tanah yang digunakan untuk pembangunan?

(16)

pembangunan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk:

1. Untuk mengetahui mekanisme konsinyasi ganti rugi atas tanah yang digunakan

untuk kepentingan umum?

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang timbul dalam mekanisme ganti

rugi atas tanah yang digunakan untuk pembangunan?

3. Untuk mengetahui proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam

rangka pembangunan?

Sedangkan yang menjadi faedah penelitian dalam hal ini adalah:

a. Secara teoritis untuk menambah literatur tentang perkembangan hukum itu

sendiri khususnya dalam bidang hukum perdata dalam kaitannya dengan

pembebasan tanah untuk kepentingan umum.

b. Secara praktis ini juga diharapkan kepada masyarakat dapat mengambil

manfaatnya terutama dalam hal mengetahui tentang hal-hal yang dapat

dilakukan masyarakat apabila terjadi pembebasan tanah untuk kepentingan

umum.

D. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Sengketa Ganti Rugi Atas Bangunan Hak Milik Yang Terkena Dampak Pembebasan Lahan Untuk

Kepentingan Umum (Studi Kasus Pada Pembebasan Jalan Pasar 8 Simpang Pos Medan)”,

(17)

ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tanah

Tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting, oleh

karena sebagian besar kehidupan manusia adalah bergantung kepada tanah.

Tanah sebagai suatu benda yang bersifat permanen dan dapat dicadangkan

untuk kehidupan dimasa yang akan datang, sebab tanah merupakan tempat

bermukim bagi umat manusia, di samping sebagai sumber kehidupan bagi mereka

yang mencari nafkah seperti petani, tanah juga dipergunakan sebagai tempat

persemayaman terakhir bagi orang yang meninggal dunia.

Mengingat kebutuhan akan tanah yang semakin meningkat disebabkan

pertambahan penduduk dan kemajuan teknologi yang selalu membutuhkan tanah

maka diperlukan suatu pengaturan tentang penguasaan dan penggunaan tanah,

yang dengan singkat disebut Hukum Tanah.

Hukum Tanah di Indonesia saat ini adalah berdasarkan ketentuan-ketentuan

yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria. Undang-undang ini tidak hanya mengatur tanah saja akan

tetapi termasuk di dalamnya bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan yang

terkandung di dalamnya.

Dengan demikian, maka Hukum agraria tersebut memberikan pengertian

bumi, air dan ruang angkasa sebagai berikut : " Bumi, selain permukaan bumi,

termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air, air

(18)

ialah ruang di atas bumi dan air ". 8

Pemberian hak itu berarti pemberian wewenang untuk mempergunakan tanah dalam batas-batas yang diatur oleh peraturan perundangan. Tanah adalah permukaan bumi, maka hak atas tanah itu adalah hak untuk mempergunakan tanahnya saja sedangkan benda-benda lain di dalam tanah umpamanya bahan-bahan mineral, minyak dan lain-lainnya tidak termasuk. Hal yang terakhir ini diatur khusus dalam beberapa peraturan perundangan lain, yaitu undangundang-undang tentang ketentuan pokok pertambangan.

Dari uraian tersebut nampak bahwa Hukum Agraria meliputi Hukum

Tanah atau Hukum Tanah termasuk sebagian dari Hukum agraria. Berdasarkan hak

menguasai dari Negara, seperti yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (3)

Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya

bagi kemakmuran rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah memberikan

hak-hak atas tanah kepada seseorang atau kepada suatu badan hukum.

9

8

K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 10.

9

Ibid, hal. 15.

Setelah hak atas tanah diberikan kepada seseorang maupun kepada suatu

badan hukum, maka terjadilah suatu hubungan hukum antara pemilik tanah atau

terhadap yang berhak atas tanah.

Dengan adanya hubungan hukum ini, maka yang mempunyai hak dapat

melakukan perbuatan hukum terhadap tanahnya seperti mengadakan jual-beli,

tukar-menukar, sewa-menyewa, hibah dan lain sebagainya.

Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 bahwa yang dapat mempunyai

hak atas tanah secara penuh adalah warga negara Indonesia baik laki-laki maupun

perempuan yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya untuk dirinya

(19)

Berdasarkan uraian di atas, maka seseorang atau Badan Hukum yang

mempunyai suatu hak, oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 dibebani

kewajiban untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif serta wajib

pula memelihara termasuk untuk menambah kesuburan tanahnya dan mencegah

kerusakan tanah tersebut.

Untuk menjaga keamanan dan kepastian hukum hak atas tanah, maka setiap

orang yang memperoleh dan memiliki hak hendaknya mengusahakannya agar

dapat memiliki sertifikat hak atas tanah. Dengan demikian si pemiliksertifikat hak

atas tanah tersebut, akan lebih merasa aman dan tenang untuk mempergunakan

haknya.

2. Pengertian Pembebasan Hak Atas Tanah

Sejak lahirnya UUPA No. 5 tahun 1960 yaitu suatu undang-undang yang

mengatur tentang agraria di Indonesia maka kepastian hukum tentang tanah

semakin cerah dan kuat. Tetapi bukan berarti hak itu mutlak murni, tetapi

dibarengi dengan kepentingan sosial/umum, dimana hak yang sudah dimiliki oleh

seseorang itu masih dapat dicabut/dibebaskan dengan melalui prosedur hukum

yang berlaku.

Umpamanya pembangunan yang dilakukan oleh swasta/pemerintah yang

menyangkut kepentingan umum memerlukan lokasi untuk pembangunan tersebut

maka dalam hal ini dapat dilakukan pencabutan / pembebasan tanah, dengan

memberikan ganti rugi yang sesuai atau yang wajar.

Sehubungan hal tersebut di atas maka agar tidak terjadi kesalahan

(20)

akan mencoba untuk mengetengahkan dan menguraikannya.

Menurut Soetomo, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan pembebasan

tanah itu adalah "pelepasan hubungan hukum yang semula terdapat di antara

pemegang / penguasa hak atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi

(Pasal 1 ayat 1 PMDN No. 15 Rahun 1975 ". 10

Sementara menurut Kepres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah

bagi pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, menyebutkan bahwa

istilah pembebasan hak atas tanah tidak ada kita jumpai, akan tetapi istilahnya

disebut pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, yang kesemuanya istilah Sedangkan menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 1961, mengenai

pembebasan tanah tidak ada kita jumpai definisinya secara jelas, namun dalam

Pasal 1 ditentukan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa

dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat demikian pula kepentingan

pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar

Menteri Agraria yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan

benda-benda yang ada di atasnya.

Begitu juga halnya PMDN No. 2 tahun 1976 tidak ada memuat definisi

pembebasan tanah itu dengan jelas, hanya dalam Pasal 1 disebutkan pembebasan

tanah oleh pihak swasta untuk kepentingan umum atau termasuk dalam bidang

pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial dapat dilaksanakan menurut acara

pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah sebagaimna diatur dalam Bab I,

II, III dan IV PMDN No. 15 Tahun 1975.

10

(21)

tersebut tidak lain dari masalah ganti rugi dalam pengambil alihan hak atas tanah.

Sesuai dengan hal di atas, bahwa yang dimaksud dengan pelepasan atau

penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara

pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan

ganti kerugian atas dasar musyawarah (Pasal 1 butir 2 kepres No. 55 Tahun 1993).

Sedangkan UUPA No. 5 Tahun 1960, juga tidak ada memuat secara jelas

definisi pencabutan hak atas tanah. Tetapi dalam Pasal 18 UUPA, hanya

menentukan : untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara

serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan

memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan

undang-undang.

Dari definisi di atas penulis dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa

setiap pembebasan hak atas tanah untuk kepentingan orang banyak (umum) adalah

selalu dibarengi dengan pemberian ganti rugi yang layak, sesuai dengan ketentuan

undang-undang yang berlaku di negara kita. Perlu juga penulis tambahkan untuk

pembebasan hak atas tanah seseorang hendaknya dilakukan dengan azas

musyawarah untuk mufakat dan tanpa adanya tekanan-tekanan dari pihak-pihak

tertentu yang dapat merugikan pihak yang lemah.

Mengenai pemakaian istilah tersebut di atas menurut hemat penulis,

sekalipun berbeda-beda, hal ini tidak perlu terlalu dipersoalkan. Karena baik istilah

pencabutan atau pembebasan dan pelepasan, umumnya adalah menyangkut atau

tidak terlepas dari masalah ganti rugi atas setiap pembebasan tanah.

(22)

Konsep kepentingan umum harus dilaksanakan sejalan dengan terwujudnya

Negara, dimana hukum merupakan sarana utama untuk mewujudkan kepentingan

umum. Hukum tidak mempunyai pilihan lain kecuali disamping menjamin

kepentingan umum juga melindungi kepentingan perorangan agar keadilan dapat

terlaksana. Hal ini berarti bahwa hukum sendiri tidak dapat dipisahkan dari norma

keadilan, karena hukum adalah pengejawantahan dari prinsip-prinsip keadilan.11

Reinach, sebagaimana pemikir lainnya Notonegoro, berpendapat bahwa

kepentingan umum hendaknya seimbang dengan kepentingan Individu.12

Begitu pentingnya arti kepentingan umum dalam kehidupan bernegara yang

dalam praktiknya berbenturan dengan kepentingan individu maka perlu

didefinisikan dengan jelas. Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa istilah

kepentingan umum agar jelas dan memenuhi rasa keadilan masyarakat tidaklah

cukup dipahami secara legalistic-formalistik, namun harus diintegrasikan menurut

metode penemuan hukumnya. 13

John Salindeho memberikan pengertian kepentingan umum yaitu Termasuk

kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan

memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis, dan Hankamnas atas dasar

asas-asas Pembangunan Nasional dengan mengindahkan Ketahanan Nasional serta

Wawasan Nusantara’.14

I Wayan Suandra, Kepentingan umum pada dasarnya adalah segala

11

Tholahah Hasan, Pertanahan Dalam Perspektif Agama Islam dan Budaya Muslim, STPN Yogyakarta, 1999, hal. 37.

12

Maria S.W. Soemardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2001, hal.11.

13

Ibid, hal. 32.

14

(23)

kepentingan yang menyangkut kepentingan negara, kepentingan bangsa,

kepentingan masyarakat luas dan kepentingan-kepentingan pembangunan yang

sifatnya menurut pertimbangan Presiden perlu bagi kepentingan umum. 15

Kepentingan bangsa dan negara, setidaknya memberikan penjelasan dari

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(UUPA), tercantum pada Penjelasan Umum butir ke-2 menyebutkan bahwa

negara/pemerintah bukanlah subyek yang dapat mempunyai hak milik (eignaar),

demikian pula tidak dapat sebagai subyek jual-beli dengan pihak lain untuk

kepentingannya sendiri.

Menurut Pasal 1 ayat (5) Peraturan Presiden No.36 Tahun 2005

menjelaskan kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan

masyarakat. Hal ini sejalan dengan kepentingan umum yang diatur dalam Pasal 18

UUPA, Pasal 1 UU No.20 Tahun 1961, dan Inpres No. 9 Tahun 1973 beserta

lampirannya. Dimana dalam Pasal 1 Inpres No.9 Tahun 1973 menyebutkan bahwa

suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan mempunyai sifat

kepentingan umum, apabila kepentingan tersebut menyangkut kepentingan bangsa

dan negara, kepentingan masyarakat luas, kepentingan rakyat banyak/bersama, dan

kepentingan pembangunan.

16

15

I. Wayan Suandra, Masalah Hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah dan Pengadaan Tanah

Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, PT. Citra Adtya Bakti, Bandung, 1996, hal. 17.

Dalam arti bahwa negara tidak dapat berkedudukan

sebagaimana individu. Menurut Muhammad Yamin, bahwa negara sebagai

organisasi kekuasaan dalam tingkatan-tingkatan tertinggi diberi kekuasaan sebagai

16

(24)

badan penguasa untuk menguasai Bumi, Air dan Ruang Angkasa, dalam arti bukan

memiliki. 17

Dengan demikian, negara hanya diberi hak untuk menguasai dan mengatur

dalam rangka kepentingan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan (kepentingan

umum). Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kepentingan negara dalam paham

ini cenderung seperti pada paham sosialis, yakni kepentingan negara bersifat

umum.18

2004, hal. 7.

17

Muhammad Yamin, Jawaban Singkat Pertanyaan-Pertanyaan Dalam Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Edisi Revisi, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hal. 5

18

Boedi Harsono, Sejarah, Isi dan Pelaksanaan UUPA, Djambatan, Jakarta, 2000, hal. 120.

atau Negara Indonesia cenderung menganut negara dengan paham

sublimasi.

Kepentingan masyarakat luas, dimana dalam menjabarkan kepentingan

umum untuk masyarakat luas perlu mendapatkan pemahaman secara meluas

dengan penjabaran yang rinci dalam peraturan operasional dilapangan agar

kepentingan umum tidak salah sasaran. Dimana UUPA menegaskan tentang

perlunya melindungi kepentingan masyarakat agraris, golongan ekonomi lemah

dan pedesaan.

Kepentingan rakyat banyak, dimana rakyat banyak merupakan

perbandingan antara rakyat yang dibebaskan tanahnya untuk kepentingan umum

harus lebih banyak dibandingkan dengan rakyat penerima manfaat kegiatan untuk

kepentingan umum yang direncanakan. Oleh karenanya perlu dipertegas dan

dijelaskan kepentingan rakyat banyak untuk pembakuan penafsiran arti rakyat

(25)

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Sifat/materi penelitian

Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini

adalah bersifat deksriptif analisis mengarah pada penelitiasn yuridis normatif, yaitu

suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis

atau bahan hukum yang lain.19

2. Sumber data

Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data sekunder. Data

sekunder didapatkan melalui:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria disebut pula dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA),

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Tentang Pengadaan Tanah Untuk

Kepentingan Umum, Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, Atas

Perubahan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang pengadaan tanah

bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 1994 Tentang

Pelaksanaan Keppres No. 55 Tahun 1993 Mengenai Pengadaan Tanah dan

Pelaksanaan Pembangunan Kepentingan Umum serta Keputusan Presiden

Nomor 55 Tahun 1993, Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

19

(26)

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan

sebagainya.

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup:

1) Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan

terhadap hukum primer dan sekunder.

2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang

hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah, dan

sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.

3. Alat pengumpul data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini

adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan.

4. Analisis data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan,

studi dokumen, dan penelitian lapangan maka hasil penelitian ini menggunakan

analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan

tentang teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat

ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab

(27)

terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam

bentuk uraian:

Bab I. Pendahuluan

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian

pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah,

Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan

Kepustakaan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan.

Bab II. Mekanisme Konsinyasi Ganti Rugi Atas Tanah Yang Digunakan

Untuk Kepentingan Umum.

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Cara-Cara

Memperoleh Tanah Untuk Kepentingan Umum, Prinsip-Prinsip

Pemberian Ganti Kerugian dan Dasar Perhitungan serta Mekanisme

Konsinyasi Ganti Rugi Atas Tanah Yang Digunakan Untuk

Kepentingan Umum.

Bab III. Hambatan-Hambatan Yang Timbul Dalam Mekanisme Ganti Rugi

Atas Tanah Yang Digunakan Untuk Pembangunan.

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Penyebab

Ketidaksepakatan. Penyelesaian Ketidaksepakatan serta

Hambatan-Hambatan Yang Timbul Dalam Mekanisme Ganti Rugi Atas Tanah

Yang Digunakan Untuk Pembangunan.

Bab IV. Proses Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Dalam Rangka

Pembangunan.

(28)

Hak Atas Tanah serta Proses Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan

Umum Dalam Rangka Pembangunan.

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan

(29)

BAB II

MEKANISME KONSINYASI GANTI RUGI ATAS TANAH YANG DIGUNAKAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Cara-Cara Memperoleh Tanah Untuk Kepentingan Umum

Secara umum tanah dibedakan menjadi 2 yaitu tanah negara dan tanah hak.

Tanah negara adalah tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Langsung dikuasai

artinya tidak ada hak pihak lain di atas tanah tersebut. Tanah tersebut disebut juga

tanah negara bebas.

Penggunaan istilah tanah negara bermula pada jaman Hindia Belanda.

Sesuai dengan konsep hubungan antara pemerintah Hindia Belanda dengan tanah

yang berupa hubungan kepemilikan dengan suatu pernyataan yang dikenal dengan

nama Domein Verklaring yang menyatakan bahwa semua tanah yang pihak lain

tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya adalah domein atau milik

negara.20

Adanya konsep domein negara tersebut, maka tanah-tanah hak milik adat

disebut tanah negara tidak bebas atau onvrij landsdomein karena sudah dilekati

dengan suatu hak, tetapi di luar itu semua tanah disebut sebagai tanah negara bebas

Vrij Landsdomein.21

Akibat hukum pernyataan tersebut merugikan hak atas tanah yang dipunyai

rakyat sebagai perseorangan serta hak ulayat yang dipunyai oleh masyarakat

hukum adat, karena berbeda dengan tanah-tanah hak barat, di atas tanah-tanah hak

20

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2005, hal. 45

21

(30)

adat tersebut pada umumnya tidak ada alat bukti haknya.

Berdasarkan uraian di atas, maka yang disebut tanah negara adalah

tanah-tanah yang tidak dilekati dengan suatu hak yakni hak milik, hak guna usaha, hak

guna bangunan, hak pakai atas tanah negara, hak pengelolan serta tanah ulayat dan

tanah wakaf. Adapun ruang lingkup tanah negara meliputi:

1. Tanah-tanah yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya.

2. Tanah-tanah hak yang berakhir jangka waktunya dan tidak

diperpanjang lagi.

3. Tanah-tanah yang pemegang haknya meninggal dunia tanpa ahli waris. 4. Tanah-tanah yang ditelantarkan.

5. Tanah-tanah yang diambil untuk kepentingan umum.22

Menurut UUPA, seluruh tanah di wilayah negara Republik Indonesia dikuasai oleh

negara. Apabila di atas tanah itu tidak ada hak pihak tertentu maka tanah

tersebut merupakan tanah yang langsung dikuasai negara dan apabila di atas

tanah itu terdapat hak pihak tertentu maka tanah tersebut merupakan tanah hak.

Tanah hak merupakan tanah yang dikuasai oleh negara tetapi penguasaannya tidak

langsung sebab ada hak pihak tertentu yang ada di atasnya. Apabila hak pihak

tertentu tersebut dihapus maka tanah yang bersangkutan menjadi tanah yang

langsung dikuasai negara.

Selain tanah negara terdapat juga tanah hak. Tanah hak merupakan tanah yang

dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan suatu hak atas tanah

sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jadi di atas tanah tersebut terdapat salah

satu hak atas tanah seperti yang ditetapkan dalam UUPA.

Tanah yang berstatus tanah negara dapat dimintakan suatu hak untuk

22

(31)

kepentingan tertentu dan menurut prosedur tertentu. Tanah negara yang dapat

dimohon suatu hak atas tanah dapat berupa :

a. Tanah negara yang masih kosong atau murni, Tanah negara murni adalah tanah negara yang dikuasai secara langsung dan belum dibebani suatu hak apapun.

b. Tanah hak yang habis jangka waktunya. HGU, HGB, dan Hak Pakai mempunyai jangka waktu yang terbatas. Dengan lewatnya jangka waktu berlakunya tersebut maka hak atas tanah tersebut hapus dan tanahnya menjadi tanah negara.

c. Tanah negara yang berasal dari pelepasan hak oleh pemiliknya secara sukarela. Pemegang hak atas tanah dapat melepas haknya. Dengan melepaskan haknya itu maka tanah yang bersangkutan menjadi tanah negara. Dalam praktek pelepasan hak atas tanah sering terjadi tetapi biasanya bukan asal lepas saja tetapi ada sangkut pautnya dengan pihak yang membutuhkan tanah tersebut. Pemegang hak melepaskan haknya agar pihak yang membutuhkan tanah memohon hak yang diperlukan. Si pelepas hak akan menerima uang ganti rugi dari pihak yang membutuhkan tanah. Hal tersebut dikenal dengan istilah pembebasan hak.23

Perolehan tanah adalah suatu tahapan-tahapan kegiatan yang harus dilalui oleh

seseorang, badan hukum, instansi pemerintah untuk memperoleh hak atas tanah

bagi kegiatan pembangunan.

Hukum tanah nasional menyediakan cara memperoleh tanah dengan

melihat keadaan sebagai berikut :

a. Status tanah yang tersedia, tanahnya merupakan tanah negara atau tanah hak.

b. Apabila tanah hak, apakah pemegang haknya bersedia atau tidak menyerahkan

hak atas tanahnya tersebut.

c. Apabila pemeganghak bersedia menyerahkan atau memindahkan haknya,

apakah yang memerlukan tanah memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas

tanah yang bersangkutan atau tidak memenuhi syarat.24

23

Ibid.

24

(32)

Sistem perolehan tanah berdasarkan kriteria di atas baik untuk keperluan

usaha maupun untuk kepentingan umum dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Tanah Negara.

Cara perolehan tanah negara ditempuh dengan cara permohonan hak baru atas tanah.

b. Tanah Hak

Cara perolehan tanah hak ditempuh melalui musyawarah untuk mencapaikesepakatan,

baik mengenai penyerahan haknya maupun mengenai besarnya ganti rugi, yaitu

dapat ditempuh dengan cara :

1) Pemindahan hak, jika pihak yang memerlukan tanah memenuhi syarat

sebagai pemegang hak. Perolehan Hak Atas Tanah adalah perubahan hak

yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar hak atas tanah berpindah dan

yang mengalihkan kepada yang menerima pengalihan pemindahan hak dapat

dilakukan dengan cara:

a) Jual beli tanah.

b) Hibah tanah.

c) Tukar menukar tanah.

Cara ini dapat ditempuh apabila yang memerlukan tanah memenuhi

syarat sebagai pemegang hak atas tanah dan pemilik tanah secara sukarela

menjual tanah tersebut. Apabila yang memerlukan tanah tidak memenuhi syarat

sebagai pemegang hak, maka dikenai ketentuan Pasal 26 ayat (2)

Undang-undang Pokok Agraria dan jual beli menjadi batal demi hukum. Isi ketentuan

Pasal 26 ayat (2) Undang-undang Pokok Agraria adalah sebagai berikut :

(33)

langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaran asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.

Proses jual beli diatur menurut ketentuan Pasal 37 ayat (2) Peraturan

Pemerintah Noinor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dilakukan

dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta disaksikan oleh dua

orang saksi. Yang perlu diperhatikan dalam jual beli penjual harus mempunyai

wewenang untuk menjual dan pembeli harus memenuhi syarat sehagai subyek

hak atas tanah yang dijual tersebut.

2) Pelepasan hak, jika yang memerlukan tanah tidak memenuhi syarat sebagai

pemegang hak, diikuti dengan pemberian hak baru yang sesuai. Cara ini

ditempuh apabila yang membutuhkan tanah tidak memenuhi syarat

pemegang hak atas tanah. Pelepasan hak atas tanah adalah kegiatan

pelepasan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah

yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.

Jadi setiap hak atas tanah dapat diserahkan secara sukarela kepada negara.

Penyerahan sukarela ini yang disebut dengan pelepasan hak. Ketentuan

(34)

a) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 tahun 1975 tentang

Ketentuan Cara Pembebasan Tanah.

b) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 tahun 1976 tentang

Penggunaan Acara Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Swasta.

c) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 tahun 1985 tentang Tata Cara

Pengadaan Tanah untuk keperluan Proyek Pembangunan di wilayah

Kecamatan.

d) Keputusan Presiden 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Keempat peraturan tcrsebut sudah dicabut atau diganti dengan Peraturan

Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana juga yang telah diubah dengan

Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Acara pelepasan hak

atas tanah tersebut dapat digunakan bagi perolehan tanah untuk pelaksanaan

pembangunan baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan

swasta.

3) Pencabutan hak atas tanah, cara ini ditempuh jika musyawarah tidak berhasil

mencapai kesepakatan dan tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum,

pencabutan hak ini dilakukan sesuai dengan cara yang diatur dalam

Undang-Undang 20 tahun 1961 junto Peraturan Pemerintah nomor 39 tahun 1973.

Pengertian pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah kepunyaan

suatu pihak oleh negara dengan paksa yang mengakibatkan hak atas tanah

(35)

lalai dalam mernenuhi kewajiban hukum.

Pencabutan hak atas tanah adalah cara terakhir untuk memperoleh

tanah yang sangat diperlukan di dalam pembangunan untuk kepentingan umum

setelah cara melalui musyawarah mengalami jalan buntu. Ketentuan hukum

yang mengatur pencabutan hak atas tanah adalah Pasal 18 Undang-Undang

Pokok Agraria yang mengatakan: Untuk kepentingan umum, termasuk

kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dan rakyat, hak-hak

atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti rugi yang layak dan menurut

cara yang diatur dengan undang-undang.

Und a ng -Und a ng ya ng d im a ksud d a la m isi Pa sa l 18 d i a ta s a d a la h Und a ng -Und a ng No 20 ta hun 1961 se d a ng ka n p e ra tura n p e la ksa na d a n Und a ng -Und a ng No 20 ta hun 1961 a d a la h:

1) Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti

Rugi oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak Hak Atas

Tanah dan Benda Benda yang ada diatasnya.

2) Intruksi Presiden Nornor 9 tahun 1973

Syarat-syarat untuk melakukan pencabutan hak atas tanah melalui Undang-Undang

Nomor 20 tahun 1961 adalah :

1) Pelaksanaan Pembangunan untuk kepentingan umum

2) Sebagai cara terakhir untuk memperoleh tanah jika cara pelepasan hak sudah

tidak bisa.

3) Memberi ganti rugi yang layak.

4) Dilaksanakan menurut cara langsung diatur oleh undang-undang

5) Tidak mungkin diperoleh tanah di tempat lain untuk keperluan tersebut.

(36)

perbedaan dalam tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum,

meskipun pada dasarnya sama dengan Keppres No.55/1993. Menurut Pasal 2

ayat (1) Perpres No. 36/2005 menyatakan bahwa:

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah

Daerah dilaksanakan dengan cara :

a. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, atau

b. Pencabutan hak atas tanah.

Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa : “Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan

pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah

dilakukan dengan cara jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati

secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa khusus untuk pengadaan tanah

bagi kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah ataupun Pemerintah

Daerah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah; atau

Pencabutan hak atas tanah. Sedangkan pengadaan tanah selain untuk kepentingan

umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, dalam hal ini

dilaksnakan oleh pihak swasta maka dilaksanakan dengan jual-beli, tukar-menukar,

atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Hal ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang tidak membedakan secara

tegas mengenai tata cara pengadaan tanah baik untuk kepentingan umum

maupun bukan kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah ataupun

pihak swasta, sehingga dengan ketentuan sekarang ini maka diharapkan akan

(37)

kepentingan umum maupun swasta.

Prinsip-Prinsip Pemberian Ganti Kerugian dan Dasar Perhitungan

Dalam setiap pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan hampir

selalu muncul rasa tidak puas, di samping tidak berdaya, dikalangan masyarakat

yang hak atas tanahnya terkena proyek tersebut. Masalah ganti rugi merupakan isu

sentral yang paling rumit penanganannya dalam upaya pengadaan tanah oleh

pemerintah dengan memanfaatkan tanah-tanah hak.25

Tampaknya sering dilupakan bahwa interpretasi asas fungsi sosial hak atas

tanah, disamping mengandung makna bahwa hak atas tanah itu harus digunakan

sesuai dengan sifat dan tujuan haknya, sehingga bermanfaat bagi si pemegang hak

dan bagi masyarakat, juga berarti bahwa harus terdapat keseimbangan antara

kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum, dan bahwa kepentingan

perseorangan itu diakui dan dihormati dalam rangka pelaksanaan kepentingan

masyarakat secara keseluruhan. Dalam kaitannya dengan masalah ganti rugi,

tampaklah bahwa menentukan keseimbangan antara kepentingan perseorangan Di berbagai negara berkembang tersedia indeks alternatif yang dapat digunakan

sebagai pedoman untuk menentukan besarnya ganti rugi. Di Brasil, faktor

taksiran nilai untuk keperluan pemungutan pajak, lokasi, keadaan tanah

(terpelihara/tidak), nilai pasar selama lima tahun terakhir dari hak atas tanah

lain yang sebanding menjadi bahan pertimbangan penentuan besarnya ganti

rugi.

25

(38)

dengan kepentingan umum itu tidak mudah.26

Menurut pendapat Maria S.W. Sumardjono, apabila dibandingkan dengan ganti Ganti rugi sebagai suatu upaya mewujudkan penghormatan kepada hak-hak

dan kepentingan perseorangan yang telah dikorbankan untuk kepentingan umum,

dapat disebut adil apabila hal tersebut tidak membuat seseorang menjadi lebih

kaya, atau sebaliknya, menjadi lebih miskin daripada keadaan semula.

Keppres nomor 55 tahun 1993 menyebutkan bahwa bentuk ganti rugi dalam rangka

pengadaan tanah diberikan untuk hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan

benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. Bentuk ganti rugi dalam

pengadaan tanah dapat berupa uang, tanah pengganti, pemukiman kembali,

dan/atau gabungan dari 2 atau lebih bentuk ganti rugi sebagaimana dimaksud

dalam huruf a, b dan c, serta bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang

bersangkutan (Pasal 13).

Khusus untuk tanah, perhitungan ganti ruginya adalah harga tanah didasarkan atas

nilai nyata atau sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak dan

Bangunan (NJOP) tahun terakhir (Pasal 15 huruf a). Merupakan suatu langkah

maju dan dapat diterima sebagai sesuatu yang adil, apabila untuk pengenaan

pajak dan langkah awal penentuan besarnya ganti rugi digunakan standar yang

sama, yakni NJOP Bumi dan Bangunan tahun terakhir, yang akurasi

penerapannya merupakan faktor yang sangat menentukan. Di samping untuk

tanah, bangunan dan tanaman, dasar perhitungan ganti ruginya adalah nilai jual

bangunan dan tanaman yang ditaksir oleh instansi yang berwenang di bidang

tersebut (Pasal 15 huruf b dan c).

26

(39)

rugi untuk bangunan dan tanaman, maka ganti rugi untuk tanah lebih rumit

perhitungannya karena ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi harga

tanah. Untuk Indonesia, kiranya faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan

dalam menentukan ganti rugi, di samping NJOP Bumi dan Bangunan tahun

terakhir, adalah:

(1) Lokasi/letak tanah (strategis atau kurang strategis).

(2) Status penguasaan tanah (sebagai pemegang hak yang sah/penggarap). (3) Status hak atas tanah (hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, dan

lain-lain).

(4) Kelengkapan sarana dan prasarana.

(5) Keadaan penggunaan tanahnya (terpelihara/tidak).

(6) Rugi sebagai akibat dipecahnya hak atas tanah seseorang. (7) Biaya pindah tempat/pekerjaan.

(8) Rugi terhadap akibat turunnya penghasilan si pemegang hak. 27

Pemegang hak atas tanah yang tidak menerima keputusan panitia pengadaan tanah

dapat mengajukan keberatan kepada Bupati/Walikota sesuai kewenangannya

disertai dengan penyelesaian mengenai sebab-sebab dan alasan-alasan

keberatan tersebut. Bupati/Walikota mengupayakan penyelesaian bentuk dan

besarnya ganti rugi dengan mempertimbangkan rugi dari pemegang hak atas

tanah atau kuasanya. Isi keputusan dapat berupa mengukuhkan atau mengubah

keputusan Panitia pengadaan tanah mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi

yang akan diberikan.

Apabila upaya tersebut tetap tidak diterima oleh pemegang hak atas tanah

dan lokasi pembangunan yang bersangkutan tidak dapat dipindahkan, maka

Bupati/ Walikota sesuai kewenangannya mengajukan usul cara pencabutan hak

atas tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor

27

(40)

20 tahun 1961.

Usulan Bupati/Walikota tersebut diajukan kepada Kepala Badan

Pertanahan Nasional dengan tembusan kepada menteri dan instansi yang

memerlukan tanah dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Permintaan

pencabutan tersebut oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional disampaikan kepada

Presiden yang ditentukan oleh Menteri dan Instansi yang memerlukan tanah dan

Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia.

Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti

Rugi oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak Hak Atas Tanah

dan Benda Benda yang ada diatasnya yang merupakan peraturan pelaksanaan

ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang

Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada diatasnya, menetapkan

bahwa terhadap keputusan mengenai jumlah ganti rugi yang tidak dapat diterima

karena dianggap kurang layak, sehubungan dengan pencabutan hak-hak atas tanah

dan benda-benda yang ada diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan 6

Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah

dan Benda-benda yang ada diatasnya, dapat dimintakan banding kepada

Pengadilan Tinggi.

Permintaan banding tersebut diajukan kepada Pengadilan Tinggi yang

daerah kekuasaannya meliputi tanah dan atau benda-benda yang haknya dicabut,

selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal Keputusan

Presiden dimaksud dalam Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961

(41)

selambat-lambatnya 1 (satu) bulan tersebut adalah untuk lebih menjamin

kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan dan lebih mempercepat

penyelesaiannya di Pengadilan Tinggi Tujuan utama dari penyelesaian perkara

dalam ganti rugi adalah agar kedua pihak mendapat putusan secepat-cepatnya.

Mekanisme Konsinyasi Ganti Rugi Atas Tanah Yang Digunakan Untuk Kepentingan Umum

Bangsa Indonesia meningkat aktivitasnya, maka meningkat pulalah

kebutuhannya terhadap persediaan tanah. Akibatnya diperlukan penyediaan tanah

atau pengadaan tanah, untuk memenuhi kebutuhan pihak swasta dan pemerintah.

Pada saat pengadaan tanah diperuntukkan untuk melayani kebutuhan pemerintah,

maka ia digunakan untuk memenuhi pengadaan tanah bagi pelaksanaan

pembangunan untuk kepentingan umum.

Saat itulah digunakan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005. Kedua peraturan presiden ini penting,

terutama untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dalam membangun infrastruktur

di negeri ini. Upaya membangun infrastruktur antara lain dilaksanakan dengan

melibatkan pihak swasta/investor dalam dan luar negeri. Ada itikad baik dibalik

terbitnya Peratuan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, yaitu:

(1) Sebagai antisipasi kebutuhan persediaan tanah yang cepat dan transparan bagi

pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, dan

(2) Karena peraturan sebelumnya (Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993)

dipandang tidak memadai lagi untuk mengakomodir dinamika kekinian

(42)

Oleh karena itu, langkah penting yang harus dilakukan adalah dengan

memasukkan substansi tertentu secara kuat (mengakar) dalam Peraturan Presiden

Nomor 36 tahun 2005. Substansi tersebut meliputi keadilan dan kepastian hukum

yang berbasis pada penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Dengan

demikian Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 layak disebut sebagai

terobosan hukum.

Pembangunan yang diperuntukan bagi kepentingan umum dewasa ini

menuntut adanya pemenuhan kebutuhan akan pengadaan tanah secara cepat.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam bentuk Perpres 65 Tahun 2006

yang merupakan penyempumaan dari Perpres 36 Tahun 2005 yang mengatur

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Demi Kepentingan Umum

menjadi salah satu payung hukum bagi pemerintah dalam hal mempermudah

penyediaan tanah untuk pembangunan tersebut. Melalui kebijakan tersebut,

melalui mekanisme pencabutan hak atas tanah, pemerintah mempunyai

kewenangan untuk mengambil tanah milik masyarakat yang secara kebetulan

diperlukan untuk pembangunan bagi kepentingan umum.

Mekanisme musyawarah yang seharusnya menjadi sarana untuk mencari

jalan tengah dalam menentukan besarnya ganti rugi seringkali tidak mencapai kata

sepakat. Oleh karenanya dengan alasan kepentingan umum, maka pemerintah

melalui panitia pengadaan tanah dapat menentukan secara sepihak besarnya ganti

(43)

konsinyasi. Hal itulah yang kemudian menjadi permasalahan, bahwa konsinyasi

yang diterapkan dalam Perpres ini berbeda dengan konsinyasi yang diatur dalam

KUH Perdata, yaitu konsinyasi dapat dilakukan jika sebelumnya terdapat

hubungan hukum antara para pihak.

Sedangkan dalam Perpres justru sebaliknya, konsinyasi diterapkan disaat

kesepakatan antara para pihak tidak tercapai, tidak ada hubungan hukum sama

sekali diantara para pihak tersebut. Perbedaan dalam hal konsep penerapan

konsinyasi inilah yang mengindikasikan bahwa Perpres 65 Tahun 2006 lebih

memihak investor asing daripada nasib masyarakat yang tanahnya harus diambil

untuk pembangunan yang seringkali mengatasnamakan kepentingan umum.

Penerapan konsinyasi dalam Perpres ini sebagai alternatif penyelesaian

konflik pengadaan tanah bisa jadi membawa dampak pada kesewenang-wenangan

pemerintah dalam hal penggusuran atau pengusiran secara paksa. Padahal alternatif

terakhir yang dapat ditempuh adalah dengan pengajuan permohonan pencabutan

hak atas tanah berdasarkan UU No. 20 Tahun 1961, dan bukannya dengan

mengkonsinyasikan uang ganti rugi ke pengadilan negeri dan menganggap

kewajibannya dalam pengadaan lahan sudah selesai, dan dengan serta merta

melakukan pembangunan di lahan tersebut.

Selama ini pengadaan tanah untuk keperluan pembangunan bagi

kepentingan umum menggunakan landasan hukum Keppres 55/1993 yang

sebelumnya menggunakan PMDN No.15/1975 dan terakhir telah disempurnakan

dengan Perpres 36 Tahun 2005 junto Perpres 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan

(44)

pembangunan Jalan di Pasar 8 Simpang Pos Medan pelaksanaannya dimulai

dengan menggunakan landasan hukum Perpres 36 Tahun 2005 junto Perpres 65

Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum.

Apabila tidak terjadi kesepakatan antara pemerintah dengan pihak pemilik

tanah mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, maka menurut ketentuan lokasinya

dipindahkan ketempat lain. Dalam pengadaan tanah yang perlu dipikirkan adalah

pihak yang terkena pengadaan tanah, dalam hal ini yang terkena pengadaan tanah

diharapkan tidak mengalami kemunduran baik secara sosial maupun ekonomi.

Pengadaan tanah ini dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah (P2T) yang

dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku dan ditetapkan

sebagai bagian dari kegiatan Proyek Pembangunan Jalan Pasar 8 Simpang Pos

Medan.

Panitia Pengadaan Tanah telah mengadakan musyawarah dengan sejumlah warga,

khususnya pemilik tanah dan bangunan serta tanaman termasuk melalui

perangkat kelurahan, akan tetapi tidak semua warga menyepakati hasil-hasil

musyawarah. Tabel berikut ini menyajikan gambaran mengenai pelaksanaan

musyawarah antara Panitia Pengadaan Tanah (P2T):

Tabel 1

Proses Musyawarah Antara Warga Dengan Panitia Pengadaan Tanah (P2T)

No. Kategori Jumlah Prosentase (%)

1. Mengetahui dan diajak

musyawarah

4 40%

2. Mengetahui tetapi tidak

diajak musyawarah

(45)

Jumlah 10 100%

Sumber Data : diolah dari Data Primer

Dari 10 responden, 60% menjawab bahwa penduduk sama sekali tidak

pernah diajak bermusyawarah. Oleh karena penetapan ganti rugi cenderung

sepihak, maka sejumlah warga tidak mau datang dalam pertemuan dengan Panitia

Pengadaan Tanah.

Di sini ada kepentingan-kepentingan yang perlu diperhatikan yang

pelaksanaannya tidak mudah karena menghadapi kepentingan yang berbeda

bahkan kepentingan-kepentingan tersebut saling bertentangan atau bertolak

belakang. Dalam hal tidak diperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya

ganti rugi, Pimpinan Proyek dapat mengambil langkah menggunakan lembaga

penawaran diikuti dengan konsinyasi uang ganti rugi pada pengadilan negeri

setempat.

Berdasarkan hasil penelitian dilapangan, Panitia Pengadaan Tanah (P2T)

Kota Medan, segera memberi tahu warga di Kelurahan Pasar 8 Simpang Pos

Medan yang lahannya terkena proyek jalan Pasar 8 Simpang Pos Medan, mengenai

konsinyasi uang ganti rugi lahan. Surat konsinyasi atas 31 bidang tanah di Jalan

Pasar 8 Simpang Pos Medan sudah di kirim ke Pengadilan Negeri Kota Medan.

Begitu sudah ada keputusan dari pengadilan, akan dilakukan pemberitahuan ke

warga terkena proyek (WTP).

Lebih lanjut Ketua P2T Kota Medan mengatakan bahwa Pengadaan lahan

proyek jalan Pasar 8 Simpang Pos Medan Seksi I, sudah 95,6 persen lahan telah

(46)

sudah melakukan pemberitahuan kepada warga soal kemungkinan 31 bidang

tersebut dikonsinyasi.

Sosialisasi dan pengadaan lahan untuk seksi II yang dilakukan secara

paralel, kerja keras panitia sudah mulai terlihat hasilnya dengan sudah dilakukan

pembayaran ganti rugi selama dua kali di bagi warga Pasar 8 Simpang Pos Medan,

selanjutnya akan dilakukan pemberkasan untuk kemudian dibayarkan.

Berdasarkan hasil penelitian dilapangan, juga ditemukan fakta bahwa

sosialisasi yang dilakukan oleh P2T sering tidak dihadiri oleh warga terkena

proyek. Selama tujuh kali dilakukan sosialisasi dan musyawarah bersama warga

belum maksimal, karena warga banyak yang tidak hadir. Bahkan panitia sampai

menyosialisasikan di lingkungan Pasar 8 Simpang Pos Medan.

Tabel berikut ini menyajikan gambaran mengenai penerimaan warga nilai

maksimal ganti rugi yang telah ditetapkan oleh Panitia Pengadaan Tanah (P2T):

A. Tabel 2

Penetapan Nilai Maksimal Ganti Rugi oleh Panitia Pengadaan Tanah (P2T)

No. Kategori Jumlah Prosentase (%)

1. Menerima nilai maksimal

ganti rugi

7 70%

2. Tidak Menerima Nilai

Maksimal Ganti Rugi

3 30%

Jumlah 10 100%

Sumber Data : diolah dari Data Primer

Berdasarkan hasil penelitian dilapangan, telah ditetapkan nilai maksimal

ganti rugi oleh Tim Pembebasan Tanah (TPT) dan lebih dari 70% warganya telah

(47)

kesepakatan nilai ganti rugi, namun dalam pelaksanaan penandatanganan belum

dapat dilaksanakan oleh seluruh warga yang telah sepakat, hal ini dikarenakan

kurangnya kelengkapan persyaratan pelepasan hak atas tanah tersebut. Tim

Pengadaan Tanah Jalan Pasar 8 Simpang Pos Medan dalam menentukan besarnya

ganti rugi didasarkan pada harga pasaran dengan memperhatikan NJOP tahun

berjalan, sedangkan pemilik tanah meminta ganti rugi yang nilainya jauh dari

harga pasaran di masing-masing wilayah tersebut, sehingga susah tercapainya

kesepakatan antara Tim Pengadaan Tanah Jalan Pasar 8 Simpang Pos Medan

dengan pemilik tanah.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ketua TPT bahwa untuk Pemilik

tanah yang belum bersepakat mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti rugi, dan

jumlahnya 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah pemilik/luas tanah, Panitia

Pengadaan Tanah mengupayakan musyawarah kembali sampai tercapai

kesepakatan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi.

Untuk warga yang belum sepakat dengan nilai ganti rugi tersebut akan

dilakukan musyawarah sebanyak-banyaknya 9 (sembilan) kali dalam jangka waktu

yang belum dapat ditentukan. Selama musyawarah tersebut TPT dan P2T akan

melakukan pendekatan-pendekatan dengan warga secara terus menerus, hal ini

dimaksudkan agar warga tersebut memahami betul arti dari kepentingan umum

serta mengetahui maksud dan tujuan diadakannya pengadaan tanah ini, TPT

mengharapkan kepada warga agar mau melepaskan hak atas tanahnya tersebut

karena lokasi pembangunan ini sudah tidak memungkinkan untuk dipindahkan

(48)

harga pasaran yang sebenarnya, penetapan harga ini telah dilakukan dengan

pertimbangan nilai-nilai kemanusiaan.

Apabila jangka waktu musyawarah yang ditentukan telah berakhir, maka

TPT akan menyerahkan ganti rugi kepada pemilik dan dibuatkan Berita Acara

Penyerahan Ganti Rugi atau Berita Acara Penawaran Penyerahan Ganti Rugi.

Apabila pemilik tetap menolak penyerahan ganti rugi atau tidak menerima

penawaran penyerahan ganti rugi, maka setelah jangka waktu yang ditetapkan

Panitia Pengadaan Tanah Kota Medan membuat Berita Acara Penyerahan Ganti

Rugi. Jika pemilik tanah tetap menolak, maka berdasarkan Berita Acara tersebut,

Panitia Pengadaan Tanah Kota Medan memerintahkan agar TPT menitipkan uang

ganti rugi ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah bagi

pelaksanaan pembangunan.

Kemudian Panitia Pengadaan Tanah Kota Medan membuat Berita Acara

Hasil Pelaksanaan Musyawarah Lokasi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

dan Penetapan Bentuk dan/atau Besarnya Ganti Rugi yang ditandatangani oleh

seluruh anggota Panitia Pengadaan Tanah Kota Medan, TPT dan para pemilik.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, penulis menganalisis bahwa

pelaksanaan musyawarah dalam pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Pasar

8 Simpang Pos Medan ini sesuai dengan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan

Kepala BPN nomor 3 tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Presiden nomor 36 tahun 2005 junto Peraturan Presiden nomor 65 tahun 2006.

Sedangkan masalah penitipan uang ganti rugi kepada pengadilan negeri

Gambar

Tabel 1
Tabel berikut ini menyajikan gambaran mengenai penerimaan warga nilai

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis data, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: 1) terdapat korelasi positif antara current ratio, acid test ratio, time interest earned ratio , dan

‫بسم الله الرحمن الرحي‬ Segala puji syukur selalu kita panjatkan kepada Allah yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita sehingga atas rahmat

melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh Kepala Bidang Pencegahan, Kesiapsiagaan dan Kedaruratan sesuai dengan bidang tugasnyak.

Implementasi Sistem Informasi E-Learning Pada SMA Negeri 1 Mayong Jepara Berbasis Web, beserta perangkat yang diperlukan (apabila ada).. Dengan Hak Bebas Royalti

Masalah struktur modal merupakan masalah penting bagi setiap perusahaan, karena baik buruknya struktur modal akan mempunyai efek langsung terhadap posisi

Pelayanan dasar sendiri merupakan pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara yang meliputi pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan tata ruang, perumahan

Penyebaran industri mutiara ini semakin meluas hampir keseluruh wilayah Indonesia, tidak hanya terbatas pada daerah yang merupakan habitat asli kerang mutiara tersebut, tetapi

Orang Asing yang telah menerima surat panggilan sebagaimana dimaksud pada huruf b mendatangi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Banyuwangi dengan membawa