• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analysis of farmer’s perceptions and strategies in smallholder timber plantation business

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analysis of farmer’s perceptions and strategies in smallholder timber plantation business"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN KABUPATEN TANAH LAUT, PROVINSI

KALIMANTAN SELATAN)

DEDE ROHADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Analisis Persepsi dan Strategi Petani dalam Usaha Tanaman Kayu Rakyat (Studi Kasus Usaha

Tanaman Kayu Rakyat di Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta

dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan) adalah karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa

pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2012

Dede Rohadi

(4)
(5)

DEDE ROHADI. Analysis of Farmer’s Perceptions and Strategies in Smallholder Timber Plantation Business (Case studies of Smallholder Timber Plantations at Gunungkidul District, Special Province of Yogyakarta and Tanah Laut District,

Province of South Kalimantan). Under direction of HARIADI

KARTODIHARDJO, BRAMASTO NUGROHO and DUDUNG DARUSMAN.

Smallholder timber plantations play strategic roles in forestry development in

Indonesia, particularly on improving farmers’ livelihood at rural areas, supplying

wood materials for forest industries and supporting forest rehabilitation program. The potential for developing smallholder timber plantations in Indonesia is huge, given the vast areas of critical land in Indonesia as well as high demand for wood. The facts however showed that the development of smallholder timber plantations in Indonesia only concentrates in Java. This dissertation aims to identify alternatives on policy intervention to support the development of smallholder

timber plantations in Indonesia through better understanding on farmer’s

perceptions and strategies on timber plantation practices. The study was conducted through case studies of smallholder timber plantations at Gunungkidul district, the province of Yogyakarta and Tanah Laut district, the province of South Kalimantan. Data was collected through household surveys, interviews with key informants, focus group discussions, inventory of smallholder timber plantation plots, and by collecting secondary publication materials at the two case study sites. The results showed that timber plantations play major roles as household

saving accounts and as farmers’ safety net. Farmer’s investment of timber

plantations management depends on the relative benefits of timber plantations as compared to other farming options. Access to markets and timber selling price are the main driving factors for farmers to invest more on their timber plantations. The availability of land area ownership and production-input capital are also important factors. Governments need to develop policies that strengthen farmers' access to timber markets, such as through institutional strengthening of farmer groups on timber marketing collective action, developing micro credit facilities for farmers and simplifying timber transport document regulations. Governments

are also advised to strengthen farmers’ capacity on timber value-added activities and building business partnership with timber industries.

(6)
(7)

Kayu Rakyat (Studi Kasus Usaha Tanaman Kayu Rakyat di Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi

Kalimantan Selatan). Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO,

BRAMASTO NUGROHO dan DUDUNG DARUSMAN.

Tanaman kayu rakyat memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan kehutanan di Indonesia, khususnya dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat petani di pedesaan, penyediaan bahan baku kayu bagi industri kehutanan dan rehabilitasi sumber daya hutan. Potensi pengembangan tanaman kayu rakyat di Indonesia sangat besar mengingat luasnya areal lahan kritis di Indonesia serta tingginya permintaan terhadap bahan baku kayu. Namun demikian, fakta sejauh ini menunjukkan bahwa pengembangan tanaman kayu rakyat di Indonesia lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Diperlukan intervensi kebijakan yang lebih baik agar pertumbuhan tanaman kayu rakyat di Indonesia dapat lebih ditingkatkan.

Disertasi ini bertujuan untuk memahami persepsi dan strategi petani di dalam usaha tanaman kayu rakyat. Pemahaman tersebut penting untuk mengidentifikasi pilihan-pilihan intervensi kebijakan yang lebih sesuai dengan kondisi petani, sehingga lebih efektif dalam memotivasi petani untuk menanamkan investasi di dalam usaha tanaman kayu rakyat. Pendekatan analisa dan pengembangan kelembagaan digunakan di dalam disertasi ini untuk memahami proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh petani sebagai aktor utama di dalam sistem usaha tanaman kayu rakyat.

Data dan informasi yang digunakan di dalam analisa ini didasarkan atas studi kasus tanaman kayu rakyat di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan. Pada kedua lokasi studi kasus tersebut, dilakukan pengamatan tanaman kayu rakyat melalui inventarisasi tanaman kayu petani, survey rumah tangga terhadap sejumlah responden petani, diskusi kelompok terfokus atau Focus Group Discussion

(FGD), wawancara dengan sejumlah tokoh masyarakat dan aparat instansi pemerintah dan pengumpulan data sekunder dari bahan-bahan publikasi yang tersedia.

Hasil penelitian disertasi ini memperlihatkan bahwa pada umumnya petani memandang usaha tanaman kayu sebagai salah satu upaya dalam meragamkan (diversifikasi) sumber pendapatan keluarga. Tanaman kayu dianggap mempunyai peranan penting sebagai tabungan keluarga. Persepsi lainnya dari petani terhadap usaha tanaman kayu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang berkaitan dengan kondisi setempat (site specific).

(8)

Gunungkidul dijumpai secara merata pada seluruh petani.

Di Kabupaten Tanah Laut persepsi petani terhadap usaha tanaman kayu lebih didominasi oleh aspek ekonomi. Para petani memandang usaha tersebut mempunyai prospek yang baik dalam upaya diversifikasi pendapatan keluarga, terutama karena pengaruh intervensi pihak luar, yaitu perusahaan yang menjanjikan akan menampung kayu hasil tanaman (pada kasus di Desa Asam Jaya) dan pemerintah daerah (Dinas Kehutanan dan instansi kehutanan lainnya) dalam rangka program pengembangan hutan rakyat (pada kasus di Desa Ranggang). Namun demikian, pandangan positif terhadap usaha tanaman kayu di Kabupaten Tanah Laut tersebut hanya terbatas pada sebagian kecil petani.

Strategi yang diterapkan petani di dalam sistem usaha tanaman kayu berbeda antara Kabupaten Gunungkidul dan Tanah Laut. Di Kabupaten Gunungkidul, karena keterbatasan luas kepemilikan lahan, sementara prospek ekonomis kayu jati yang cukup baik, para petani menerapkan strategi subsisten (coping strategy) dan diversifikasi (diversified strategy) sumber pendapatan. Fokus usaha tani masih terletak pada produksi tanaman pangan untuk kebutuhan sendiri untuk menimbulkan rasa aman terhadap ancaman kekurangan pangan (safety first), sedangkan tanaman jati berfungsi sebagai tabungan keluarga yang mudah diuangkan apabila petani dihadapkan kepada kebutuhan mendesak akan uang tunai. Pola budidaya tanaman jati dilakukan secara tumpang sari (pola agroforestri) dengan umur tanaman yang beragam untuk mengoptimalkan penggunaan lahan dengan luas yang terbatas dalam rangka memenuhi kedua tujuan di atas. Strategi pemanenan kayu lebih dikaitkan dengan saat petani membutuhkan uang tunai (tebang butuh) daripada rencana pemanenan dengan rotasi tebang tertentu. Di Kabupaten Tanah Laut, strategi petani dalam usaha tanaman kayu lebih bersifat diversifikasi pendapatan dengan pola budidaya yang lebih spesialis (specialized strategy), dalam pengertian penanaman kayu dilakukan secara monokultur dan umur tegakan seragam dan dengan target rotasi tebang tertentu.

(9)

perlu dilakukan pemerintah dalam rangka mendorong perkembangan usaha tanaman kayu rakyat di Indonesia. Kebijakan pemerintah dalam rangka pengembangan usaha tanaman kayu rakyat perlu dilakukan dengan memperhatikan permasalahan-permsalahan pada kondisi lokal. Secara umum kebijakan pemerintah perlu diarahkan untuk memperkuat akses pasar dan posisi tawar petani di dalam pemasaran hasil tanaman kayu mereka. Penguatan kelembagaan kelompok tani dalam upaya pemasaran kayu secara bersama merupakan salah satu program yang perlu dilakukan secara intensif oleh pemerintah daerah. Upaya pemasaran kayu secara bersama tersebut dapat diintegrasikan dengan penyediaan kredit mikro bagi petani untuk mencegah penebangan kayu yang terlalu dini (premature harvesting) sehingga belum mencapai nilai jual optimal. Penguatan kelembagaan kelompok tani dalam rangka pemasaran bersama dapat menjadi batu loncatan untuk mengembangkan kontrak kerjasama penjualan kayu antara kelompok tani dengan industri pengolahan kayu atau industri hutan tanaman. Pemerintah (pusat dan daerah) juga perlu menghilangkan aturan tata niaga kayu (SIT dan SKAU) yang cenderung menjadi kendala pemasaran kayu rakyat serta menimbulkan biaya transaksi tinggi. Pemerintah juga disarankan untuk meningkatkan kapasitas petani di dalam proses pengolahan kayu, agar petani memiliki peluang untuk terlibat di dalam aktivitas peningkatan nilai tambah bahan baku kayu menjadi produk-produk olahan setengah jadi.

(10)
(11)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(12)
(13)

GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN KABUPATEN TANAH LAUT, PROVINSI KALIMANTAN SELATAN)

DEDE ROHADI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir.Nurheni Wijayanto, MS. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS.

(15)

Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan)

Nama : Dede Rohadi

NIM : E. 061 060 121

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS. Ketua

Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA.

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr. Naresworo Nugroho, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr.

(16)
(17)

berjudul “Analisis Persepsi dan Strategi Petani Dalam Usaha Tanaman Kayu Rakyat (Studi Kasus Usaha Tanaman Kayu Rakyat di Kabupaten Gunungkidul

Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Selatan)” ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian

Bogor. Penelitian dalam rangka disertasi ini telah dilakukan pada tahun 2007

sampai 2010.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi

Kartodihardjo, MS., selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. Bramasto

Nugroho, MS dan Bapak Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA., selaku anggota

komisi, atas segala bimbingan dan arahannya. Penulis juga mengucapkan terima

kasih kepada Bapak Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS dan Bapak Dr. Ir. Sudarsono

Soedomo, MS. yang telah berkenan menjadi Penguji Luar Komisi pada Ujian

Tertutup dan kepada Bapak Dr. Ir. Hariyatno Dwiprabowo, MSc. serta Dr. Ir.

Supriyanto selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka. Penulis juga

menyadari bahwa disertasi ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa dukungan

yang diberikan dari segenap jajaran pimpinan IPB, khususnya Rektor IPB, Dekan

Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Ketua Program Studi

Ilmu Pengetahuan Kehutanan, dan Ketua Departemen Manajemen Hutan,

Fakultas Kehutanan IPB.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Center for International Forestry Research dan Australian Center for International Agricultural Research

yang telah memberikan dukungan dan bantuan yang sangat berarti di dalam

pelaksanaan penelitian disertasi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih

kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Kepala Pusat

Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan atas dukungan yang diberikan selama

penulis melaksanakan pendidikan doktor ini.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan dengan setulus-tulusnya kepada

isteri, anak, ibu, ayah (alm) dan sanak saudara yang telah memberikan do’a dan

(18)

kasih yang sebesar-besarnya dan semoga Allah Yang Maha Pemurah jua lah yang

akan berkenan membalas kebaikan Ibu/Bapak/Saudara tersebut.

Akhirnya penulis berharap agar disertasi ini dapat memberikan manfaat bagi

upaya pengembangan ilmu serta program pembangunan kehutanan di Indonesia.

Bogor, Februari 2012

(19)

Penulis dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 22 Maret 1959,

merupakan anak kelima dari sepuluh bersaudara dari pasangan Sambas

Adiwidjaja (alm) dan Ilis Idah. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana S1

pada Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun

1982. Pada tahun 1991 penulis menyelesaikan pendidikan S2 (Master in Forestry Science) pada The University of Melbourne, Australia dengan dukungan beasiswa dari Australian International Development Assistance Bureau (AIDAB). Penulis menempuh program pendididikan S3 Pascasarjana IPB sejak September tahun

2006.

Saat ini penulis bekerja sebagai Staf Peneliti pada Pusat Penelitian dan

Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan

Pengembangan Kehutanan. Penulis memulai karir Pegawai Negeri Sipil dengan

bekerja sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Hasil Hutan, Badan Penelitian dan

Pengembangan Kehutanan. Penulis pernah ditugaskan sebagai Kepala Balai

Penelitian Kehutanan di Makassar dan Pematang Siantar, serta sebagai Kepala

Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Ciheuleut Bogor. Penulis pernah

diperbantukan sebagai Seconded Scientist pada lembaga penelitian Center for International Forestry Research (CIFOR) pada tahun 1999 sampai 2001 dan sebagai Project Leader pada proyek penelitian “Improving Economic Outcomes for Smallholders Growing Teak in Agroforestry Systems in Indonesia” pada lembaga yang sama pada tahun 2007 sampai 2011.

Penulis telah menyusun beberapa publikasi ilmiah yang terkait dengan topik

kebijakan dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, baik dalam bentuk tulisan

pada jurnal ilmiah, bagian dari buku, makalah seminar atau poster. Diantara

publikasi ilmiah tersebut ada yang telah diterbitkan di dalam jurnal internasional,

sebagai bagian dari buku yang diterbitkan oleh CIFOR atau berupa

(20)
(21)

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 3

1.3.Tujuan penelitian ... 5

1.4.Ruang lingkup Penelitian ... 6

1.5.Manfaat Hasil Penelitian ... 6

1.6.Kebaruan ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1.Tanaman Kayu Rakyat pada Skala Global ... 9

2.2.Perkembangan Tanaman Kayu Rakyat di Indonesia ... 16

2.3.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Tanaman Kayu Rakyat ... 24

2.4.Kerangka Analisa Kelembagaan dalam Konteks Persepsi dan Strategi Petani dalam Pengusahaan Tanaman Kayu Rakyat ... 29

III. METODE PENELITIAN... 37

3.1.Pendekatan dan Kerangka Analisa Penelitian ... 37

3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

3.3.Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 41

3.4.Analisa Data ... 47

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 49

4.1.Kabupaten Gunungkidul ... 49

4.2.Kabupaten Tanah Laut ... 52

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 59

5.1.Tanaman Jati Rakyat di Kabupaten Gunungkidul ... 59

5.1.1. Faktor-faktor Eksternal yang Mempengaruhi Sistem Pengusahaan Tanaman Jati Rakyat ... 59

5.1.2. Praktek Pengusahaan Tanaman Jati Rakyat ... 62

5.1.3. Analisa Kelembagaan: Konsepsi dan Strategi Petani Dalam Pengusahaan Tanaman Jati Rakyat ... 69

5.1.4. Permasalahan dan Peluang Petani Dalam Pengembangan Usaha Tanaman Kayu Rakyat ... 74

5.2.Tanaman Kayu Rakyat di Kabupaten Tanah Laut ... 77

(22)

5.2.4. Permasalahan dan Peluang Petani Dalam Pengusahaan

Tanaman Kayu Rakyat ... 97 5.3.Pembelajaran dan Implikasi Kebijakan ... 99

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 105 6.1.Kesimpulan ... 105 6.2.Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 111

(23)

1. Tipologi tanaman kayu rakyat pada berbagai tempat di dunia ... 14

2. Cadangan tegakan dan potensi produksi tujuh jenis kayu hutan rakyat di Indonesia berdasarkan hasil sensus pada tahun 2003

(Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan 2004) ... 23

3. Lokasi penelitian di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa

Yogyakarta ... 39

4. Komposisi jumlah petani responden pada survey rumah tangga

di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta ... 43

5. Kriteria yang digunakan dalam teknik ranking kesejahteraan

keluarga di Desa Ranggang ... 43

6. Distribusi penggunaan lahan di Desa Asam Jaya, Kecamatan,

Jorong Kabupaten Tanah Laut ... 58

7. Harga kayu bulat jati di tingkat pedagang kayu desa pada berbagai

kelas kualitas ... 60

8. Jumlah tanaman jati pada berbagai tipe penggunaan lahan petani

di Kabupaten Gunungkidul ... 63

9. Analisa finansial usaha tani rakyat berbasis tanaman jati ... 68

10. Komponen biaya input dan pendapatan usaha tani kitren dan

tegalan ... 68

11. Persepsi dan strategi petani kayu di dalam sistem pengusahaan

tanaman jati rakyat ... 73

12. Luas kawasan hutan berdasarkan fungsinya di Provinsi Kalimantan

Selatan ... 79

13. Ringkasan strategi petani dalam sistem pengusahaan tanaman

kayu rakyat di Kabupaten Tanah Laut ... 96

14. Perincian harga kayu yang diterima pabrik PT. Navatani

(24)

1. Kegiatan penanaman hutan rakyat di Indonesia... 22

2. Produksi kayu bulat Indonesia ... 23

3. Kerangka analisa kelembagaan (Ostrom, 2006)... 30

4. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Gunungkidul, Daerah

Istimewa Yogyakarta... 40

5. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Tanah Laut, Provinsi

Kalimantan Selatan ... 41

6. Berbagai pola penanaman jati rakyat di Kabupaten Gunungkidul ... 62

7. Alasan petani menanam jati berdasarkan hasil survey rumah tangga

di Kabupaten Gunungkidul ... 64

8. Distribusi luas kepemilikan lahan petani jati rakyat di Kabupaten

Gunungkidul ... 65

9. Alokasi penggunaan lahan petani jati rakyat di Kabupaten

Gunungkidul ... 65

10. Struktur pendapatan petani jati rakyat di Kabupaten Gunungkidul ... 67

11. Distribusi luas kepemilikan lahan petani responden penanam kayu

di Desa Ranggang ... 81

12. Distribusi luas kepemilikan lahan petani responden non penanam

kayu di Desa Ranggang ... 82

13. Alokasi penggunaan lahan petani responden penanam kayu di

Desa Ranggang ... 83

14. Alokasi lahan petani responden non penanam kayu di Desa Ranggang .. 83

15. Sumber pendapatan keluarga petani responden di Desa Ranggang... 84

16. Alasan petani menanam beberapa jenis komoditas usaha tani di

Kabupaten Tanah laut ... 85

17. Ilustrasi tanaman mahoni rakyat di Desa Ranggang... 87

18. Distribusi luas kepemilikan lahan petani responden di Desa

Asam Jaya... 87

19. Alokasi penggunaan lahan petani responden di Desa Asam Jaya ... 88

20. Sumber pendapatan keluarga petani responden di Desa Asam Jaya ... 89

21. Ilustrasi tanaman jabon rakyat di Desa Asam Jaya ... 89

22. Tanaman akasia model kemitraan antara PT. Hutan Rindang Banua

(25)
(26)

1. Data kepemilikan lahan petani responden di Kabupaten Gunungkidul ... 119

2. Data kepemilikan lahan petani responden di Kabupaten Tanah Laut ... 126

3. Alasan penanaman kayu menurut respon petani di lokasi penelitian ... 131

4. Rangkuman hasil Focus Group Discussion (FGD) tentang manfaat

tanaman jati bagi keluarga petani (Wonosari, 2 Desember 2007) ... 132

5. Hasil inventarisasi tanaman jati rakyat pada lahan petani responden di

Kabupaten Gunungkidul ... 135

6. Hasil inventarisasi tanaman kayu pada lahan petani responden di

Kabupaten Tanah Laut ... 142

7. Analisa biaya manfaat usaha tanaman jati rakyat di Kabupaten

Gunungkidul ... 147

8. Ilustrasi transaksi pembelian dan penjualan kayu jati rakyat di

Kabupaten Gunungkidul ... 149

9. Analisa biaya manfaat usaha tanaman kayu jabon di Kabupaten

Tanah Laut ... 150

10. Analisa biaya manfaat usaha tanaman karet di Desa Asam Jaya,

(27)

Tanaman kayu rakyat (smallholder timber plantations) secara umum dapat diartikan sebagai tanaman kayu yang ditanam dalam bentuk kebun atau sistem

agroforestry, yang dibangun dan atau dikelola oleh rakyat, baik secara individu maupun berkelompok dan terutama bertujuan untuk memproduksi kayu. Tanaman

kayu rakyat di dalam pengertian ini khususnya mencakup Hutan Rakyat atau

Hutan Hak menurut Undang-undang (UU) No. 41 Tahun 1999 dan Peraturan

Menteri Kehutanan (Permenhut) No 3 Tahun 2004; Hutan Tanaman Rakyat

(HTR) menurut batasan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2007 atau

Permenhut No. 23 Tahun 2007; Hutan Kemasyarakatan (HKm) menurut

Permenhut No. P.37/Menhut-II/2007.serta bentuk-bentuk tanaman kayu lainnya

yang menempatkan rakyat di tingkat pedesaan sebagai pelaku utama di dalam

kegiatan penanaman dan atau pengelolaannya. Tanaman kayu rakyat dapat

dibedakan dengan Hutan Tanaman Industri (HTI) terutama dari aspek

pengelolanya dan skala operasionalnya. Dibandingkan dengan HTI, tanaman kayu

rakyat dikelola oleh masyarakat pada tingkat rumah tangga dengan skala luasan

yang relatif kecil.

Tanaman kayu rakyat di Indonesia memiliki peran yang sangat penting di

dalam pembangunan kehutanan. Tanaman kayu rakyat berperan sebagai sarana

pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan, pemasok bahan baku kayu bagi

industri perkayuan dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya

yang tinggal di wilayah pedesaan. Walaupun belum banyak data yang tersedia

tentang potensi kayu dari areal tanaman kayu rakyat, hasil sensus tahun 2003

mencatat bahwa potensi produksi kayu yang berasal dari areal hutan rakyat di

Indonesia adalah sekitar 68.5 juta pohon atau setara dengan 14 juta1 m3, sementara jumlah cadangan tegakan mencapai lebih dari 226 juta pohon atau setara dengan

45 juta m3 (Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan 2004). Angka-angka tersebut hanya memperhitungkan tujuh jenis tanaman hutan rakyat yang paling

dominan ditanam oleh masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, namun belum

mencakup berbagai jenis lainnya yang lebih spesifik ditanam di wilayah-wilayah

1

(28)

tertentu di Indonesia. Potensi tersebut relatif sangat besar apabila bila

dibandingkan dengan kemampuan pasokan kayu berdasarkan Jatah Penebangan

Tahunan (JPT) nasional tahun 2009, yang hanya mencapai 9.1 juta m3 (SK. Dirjen BPK No SK.432/VI-BPHA/2008).

Mengingat peranannya yang cukup nyata dalam pembangunan kehutanan,

berbagai dukungan kebijakan telah dilakukan pemerintah dalam upaya

pengembangan tanaman kayu rakyat di Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut

bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat luas di dalam upaya

penanaman kayu. Diawali dengan Instruksi Presiden (INPRES) No. 8 pada tahun

1976, kegiatan tanaman kayu rakyat telah digalakkan di Indonesia melalui

program penghijauan dan reboisasi. Pada tahun 2003 pemerintah bahkan telah

menjadikan “perhutanan sosial” (social forestry) sebagai payung dalam pembangunan kehutanan (Rusli 2003) yang pada intinya menempatkan

masyarakat sebagai elemen penting di dalam pengelolaan hutan, termasuk dalam

kegiatan penanaman kayu. Setelah itu berbagai program pemerintah diluncurkan,

seperti Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL dan

kemudian menjadi GERHAN), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman

Rakyat (HTR), hutan desa dan baru-baru ini program One Man One Tree

(OMOT) dan One Billion Indonesian Trees (OBIT).

Namun demikian, fakta menunjukkan bahwa luas total areal tanaman kayu

rakyat di Indonesia dewasa ini baru mencapai sekitar 3.7 juta ha yang sebagian

besar berupa hutan rakyat (3.5 juta ha) dan sisanya merupakan gabungan dari

HKm, hutan desa dan HTR (Pusat Humas Kemenhut 2011). Dari jumlah tersebut,

sebagian besar tanaman berupa hutan rakyat yang terkonsentrasi di Jawa, di mana

ketersediaan lahan sangat terbatas. Sementara itu areal lahan kritis di Indonesia

yang berpotensi untuk pengembangan tanaman kayu rakyat kini telah mencapai

sekitar 42 juta ha (Hindra 2006). Nampaknya berbagai dukungan kebijakan yang

telah dilakukan pemerintah masih belum cukup efektif untuk meningkatkan

motivasi masyarakat luas di dalam usaha penanaman kayu rakyat. Oleh karena itu

berbagai upaya masih perlu dilakukan agar kebijakan-kebijakan yang diterapkan

lebih tepat sasaran dalam memotivasi masyarakat luas di dalam usaha penanaman

(29)

1.2. Perumusan Masalah

Pengalaman di berbagai belahan dunia menunjukkan banyak faktor yang

mempengaruhi perkembangan tanaman kayu rakyat. Zhang dan Owiredu (2007)

melaporkan bahwa harga jual kayu merupakan faktor pendorong bagi

perkembangan tanaman kayu rakyat di Ghana. Permintaan yang tinggi atas kayu

serta keterbatasan pasokan kayu dari areal hutan alam telah mendorong

perkembangan hutan tanaman, termasuk tanaman kayu jati rakyat di Laos

(Midgley et al. 2007). Demikian pula di Filipina, perkembangan tanaman kayu

rakyat dipicu oleh permintaan atas kayu yang meningkat serta harga kayu yang

menguntungkan (Bertomeu 2006). Intensitas kebijakan pemerintah yang tinggi,

khususnya yang mendukung perkembangan hutan tanaman memiliki korelasi

yang kuat dengan pertumbuhan hutan tanaman pada skala global (Rudel 2009).

Manfaat ekonomis usaha tanaman kayu rakyat dilaporkan secara

kontradiktif oleh berbagai penulis. Pada kasus di Costa Rica, Kishor dan

Constantino (1993) melaporkan bahwa usaha tanaman kayu rakyat lebih

menguntungkan dibandingkan dengan usaha tanaman pertanian lainnya, apabila

tingkat suku bunga cukup rendah Akan tetapi beberapa kasus yang lain

menunjukkan hasil yang sebaliknya (van Bodegom et al. 2008). Bahkan di negara maju seperti Jepang, agar usaha tanaman kayu rakyat cukup menarik petani,

kadang-kadang subsidi pemerintah masih diperlukan (Ota 2001). Hasil penelitian

di Indonesia menunjukkan bahwa usaha tanaman kayu rakyat hanya memberikan

keuntungan finansial yang marjinal (Race et al. 2009), sementara Siregar et al.

(2007) melaporkan kasus tanaman sengon di Kediri yang ditanam dengan

berbagai pilihan tanaman pertanian memberikan keuntungan pada tingkat suku

bunga yang cukup tinggi (17.53%). Usaha tanaman kayu rakyat pada umumya

berperan hanya sebagai usaha sampingan para petani dan belum menjadi sumber

pendapatan utama (Darusman dan Hardjanto 2006; Lubis 2010; Sitanggang 2009).

Beberapa hal masih menjadi hambatan dalam upaya pengembangan

tanamanan kayu rakyat, seperti masa tunggu yang lama, keengganan para petani

untuk melakukan penjarangan tegakan dan keterbatasan akses mereka terhadap

bibit tanaman yang berkualitas (Midgley et al. 2007). Kebijakan pemerintah yang

(30)

dapat menyebabkan usaha tanaman kayu rakyat kurang kompetitif dengan harga

kayu dari hutan alam (Herbohn 2001). Di Kanada, dimana sebagian besar sumber

daya hutan dikuasai negara dan perusahaan besar, kebijakan-kebijakan atas

tanaman kayu sering lebih berpihak kepada perusahaan-perusahaan besar tersebut

dan menyediakan sedikit ruang bagi tanaman kayu rakyat untuk berkembang

(Mitchell-Banks 2001).

Berdasarkan uraian di atas, diperlukan pemahaman yang lebih mendalam

tentang bagaimana sistem usaha tanaman kayu rakyat berlangsung.

Mempertimbangkan bahwa petani kayu merupakan aktor utama di dalam usaha

tanaman kayu rakyat tersebut, maka diperlukan pemahaman yang lebih baik

terhadap proses pengambilan keputusan oleh petani di dalam usaha tanaman kayu

rakyat. Pemahaman tersebut akan sangat bermanfaat dalam perumusan kebijakan

yang lebih tepat untuk mendorong perkembangan tanaman kayu rakyat di

Indonesia.

Armstrong di dalam Clement (2007) menyatakan bahwa proses

pengambilan keputusan dipengaruhi oleh persepsi pembuat keputusan tersebut.

Persepsi biasanya sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan karena

persepsi didasarkan atas informasi yang diperoleh langsung dari subyek yang

diamati, dan lebih kuat pengaruhnya daripada informasi yang disampaikan secara

tidak langsung oleh pihak lain. Persepsi, menurut kamus bahasa

(http://kamusbahasaindonesia.org/persepsi# ixzz1j QA00R3g, diakses tanggal 14

Januari 2012; http://dictionary.reference.com/ browse/ perception, diakses tanggal

12 Januari 2012) dapat diartikan sebagai perolehan pengetahuan melalui indra

atau pikiran. Persepsi dibedakan dengan sekedar “tahu” atau “awareness”.

Persepsi mengandung pengertian bahwa informasi yang diketahui mempunyai

relevansi dengan kebutuhan subyeknya sehingga memberi pengaruh kepada

perilaku subyek. Perilaku petani akan berubah apabila awareness dan persepsi berkaitan atau berasosiasi (Oladele dan Fawole 2007).

Blaikie dalam Clement (2007) menyatakan bahwa persepsi terhadap suatu

realitas (biofisik) tergantung kepada representasi bentuk sosial yang terbentuk dari

beberapa tahap. Yang pertama adalah bahwa persepsi berubah melalui

(31)

Dalam konteks fakta ilmiah tersebut, Searle dalam Clement (2007) menegaskan

perlunya membedakan antara fakta-fakta alamiah (brute facts) dan fakta-fakta kelembagaan (institutional facts). Fakta alamiah relatif bersifat netral karena merupakan penjelasan atau deskripsi dasar atas suatu realitas biofisik, sedangkan

fakta kelembagaan sarat dengan nilai dimana nilai-nilai tersebut tidak harus sama

di antara kelompok-kelompok sosial yang berinteraksi.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pemahaman atas persepsi petani

di dalam usaha tanaman kayu perlu dilakukan melalui pengumpulan informasi

atas pandangan petani terhadap usaha tersebut, serta dengan menganalisa

fakta-fakta alamiah dan kelembagaan yang dapat menjelaskan proses pengambilan

keputusan oleh petani. Selanjutnya, melalui pengamatan atas fakta-fakta di

lapangan, penelitian ini mencoba memahami strategi petani di dalam menjalankan

usaha tanaman kayu rakyat tersebut pada kondisi realitas kehidupan yang mereka

hadapi. Hasil analisa atas persepsi dan strategi petani tersebut selanjutnya

digunakan untuk mencari pilihan intervensi kebijakan yang lebih efektif untuk

mendorong investasi masyarakat di dalam usaha penanaman kayu rakyat.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi dan menganalisa

persepsi dan strategi petani di dalam usaha tanaman kayu rakyat dalam rangka

penentuan pilihan-pilihan kebijakan yang dapat digunakan untuk meningkatkan

kinerja pengusahaan tanaman kayu rakyat di Indonesia.

Pertanyaan pokok penelitian yang ingin dijawab melalui penelitian ini

adalah:

a. Bagaimanakah persepsi petani terhadap usaha tanaman kayu rakyat dan faktor-faktor apakah yang mempengaruhi persepsi petani tersebut?

b. Bagaimanakan strategi petani di dalam menjalankan usaha tanaman kayu rakyat tersebut pada kondisi realitas kehidupam yang mereka alami?

c. Apakah kendala-kendala yang dihadapi oleh para petani dan peluang-peluang yang tersedia bagi mereka untuk meningkatkan manfaat tanaman kayu rakyat

(32)

d. Apakah pilihan-pilihan intervensi kebijakan yang dapat dilakukan untuk

mendorong upaya peningkatan kinerja pengusahaan tanaman kayu rakyat di

Indonesia?

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Tanaman kayu rakyat yang dikaji di dalam penelitian ini difokuskan pada

hutan rakyat pada lahan-lahan milik petani. Beberapa informasi yang berkaitan

dengan bentuk tanaman kayu rakyat lainnya, seperti HKm dan HTR digunakan

sebagai pelengkap bahan kajian. Analisa didalam penelitian didasarkan atas

kasus-kasus pengusahaan tanaman kayu rakyat yang terdapat di dua kabupaten,

yaitu Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten

Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan.

Analisa atas persepsi dan strategi di dalam pengusahaan tanaman kayu

rakyat difokuskan kepada para petani sebagai aktor utama di dalam usaha ini.

Persepsi dari para aktor lainnya yang terlibat di dalam sistem ini digunakan dalam

konteks untuk menjelaskan persepsi dan strategi petani tersebut. Analisa terhadap

persepsi didasarkan atas respon langsung para petani responden atas pertanyaan

yang disampaikan melalui wawancara dan atau survey rumah tangga serta dengan

mengamati perilaku mereka di dalam tatacara pengusahaan tanaman kayu rakyat.

1.5. Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi para

pemangku kepentingan (stakeholders) di dalam sistem pengusahaan tanaman kayu rakyat, terutama kepada:

a. Para pengambil keputusan, khususnya para pengambil kebijakan di tingkat

pusat dan kabupaten: Penelitian ini menyajikan informasi yang menjelaskan

bagaimana persepsi petani atas usaha tanaman kayu rakyat dipengaruhi oleh

faktor-faktor internal dan eksternal mereka serta mempengaruhi strategi

petani di dalam menjalankan usaha tanaman kayu rakyat tersebut. Informasi

tersebut sangat berguna sebagai bahan pertimbangan untuk merumuskan

intervensi kebijakan yang lebih adaptif dengan pola pikir para petani sebagai

aktor utama di dalam usaha tanaman kayu rakyat.

b. Kaum akademisi: Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan

(33)

akan mendalami perilaku petani di dalam usaha penanaman kayu sebagai

respon atas kondisi lingkungan dan berbagai pengaruh lainnya.

c. Agen-agen pembangunan: Hasil penelitian ini memberikan informasi dan

pembelajaran dari studi kasus sistem usaha tanaman kayu rakyat di Jawa dan

luar Jawa, khusunya tentang hambatan yang dihadapi dan peluang intervensi

yang tersedia dalam rangka pengembangan usaha tanaman kayu rakyat

tersebut.

d. Masyarakat, khususnya para petani penanam kayu rakyat: Penelitian

memberikan manfaat secara tidak langsung kepada masyarakat melalui

adopsi hasil-hasil penelitian oleh para pengambil kebijakan di dalam

merumuskan kebijakan yang baru yang lebih kondusif bagi pengembangan

usaha tanaman kayu rakyat.

e. Para pengusaha atau penanam modal, khususnya perusahaan-perusahaan

kehutanan: Penelitian ini memberikan informasi dan pembelajaran tentang

potensi dan cara-cara untuk menjalin kemitraan yang berkesinambungan

dengan para kelompok petani tanaman kayu rakyat.

1. 6. Kebaruan

Kebaruan yang dihasilkan dari penelitian ini terletak pada penggunaan

kerangka analisa kelembagaan untuk memahami hubungan sebab akibat antara

strategi petani di dalam sistem pengusahaan tanaman kayu rakyat dengan persepsi

petani atas usaha tersebut serta faktor-faktor internal dan eksternal yang

mempengaruhi persepsi dan strategi petani tersebut. Pada tataran operasional,

penelitian ini juga menghasilkan beberapa pilihan intervensi kebijakan yang dapat

(34)
(35)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Kayu Rakyat pada Skala Global

Pada skala global, tanaman kayu rakyat dijumpai dalam beragam tipe, baik

dalam konteks peristilahan, kepemilikan, luasan, tujuan serta tatacara

pengelolaannya (Harrison et al. 2002). Di Amerika Serikat, istilah yang paling sering digunakan adalah Non Industrial Private Forest (NIPF) dan pada umumnya diartikan sebagai kawasan hutan yang dimiliki oleh petani, perseorangan atau

perusahaan yang tidak memiliki pabrik pengolahan kayu. Terdapat berbagai

istilah lain yang biasa digunakan namun dengan frekuensi yang lebih jarang. Luas

total areal NIPF mencakup hampir 60% dari keseluruhan tanaman kayu di

Amerika Serikat dan memasok sekitar 50% dari produksi kayu nasional mereka.

Areal NIPF dimiliki oleh sekitar 7 juta perorangan dimana sekitar 600,000

pemilik mengelola areal lebih dari 40 ha (Harrison et al. 2002). Zhang et al.

(2009) melaporkan bahwa perkembangan tanaman kayu rakyat di Amerika Serikat

pada akhir-akhir ini cenderung meningkat. Dengan luas total areal hutan sekitar

248 juta ha, sekitar 2/3 atau 157 juta ha kini dimiliki secara pribadi. Sekitar 2/3

dari areal hutan milik tersebut kini dikelola oleh lebih dari 10 juta individu

keluarga.

Eropa, dengan luas total areal hutan sekitar 215 juta ha atau sekitar 30% dari

luas total lahan (tidak termasuk bekas negara-negara yang tergabung dalam Uni Sovyet Socialist Republic/USSR), areal hutannya terkonsentrasi di negara-negara Eropa Utara (Nordic countries), daerah Balkan (Baltic countries) dan di beberapa bagian di Eropa Tengah. Swedia dan Finlandia, yang termasuk ke dalam Nordic countries, memiliki lebih dari 50 juta ha areal hutan (Hyttinen 2001). Di negara-negara Eropa Utara (Finlandia, Swedia dan Norwegia) telah lama dikenal istilah

Family Forestry”. Individu masyarakat mengelola hutan disamping aktivitas ekonomi lainnya seperti usaha tani dan kegiatan non usaha tani. Di negara-negara

ini hutan yang dimiliki individu masyarakat mencakup sekitar 60%-70% dari luas

hutan total. Di Finlandia sendiri terdapat lebih dari 600,000 pemilik hutan yang

(36)

cukup banyak individu keluarga (36% di Swedia dan 14% di Finlandia) yang

mengelola hutan dengan luas lebih dari 50 ha (Hyttinen 2001).

Inggris dan Belanda termasuk negara-negara yang hanya sedikit memiliki

sumber daya hutan. Di Inggris, luas total areal hutan hanya sekitar 2.5 juta ha

(Harrison et al. 2002), sementara di Belanda luas kepemilikan hutan hanya sekitar 0.2 ha per keluarga (Hyttinen 2001). Sekalipun luas hutannya tergolong kecil,

istilah “farm woodlands”, “farm forest” dan “privately owned forests” sudah lama

digunakan di Inggris. Di negara ini, sekitar 2/3 dari areal hutannya dimiliki oleh

individu atau perusahaan (Harrison et al. 2002). Di Perancis dan Belgia, lebih dari 90% kepemilikan mempunya luas kurang dari 5 ha. Di negara-negara yang

berbahasa Jerman (Jerman, Austria dan Swiss) luas kepemilikan hutan bervariasi,

dimana sebagian besar (36%) kurang dari 5 ha, namun sekitar 29% pemilik

mengelola lebih dari 1,000 ha (Hyttinen 2001).

Di Eropa bagian timur, sebagian besar areal hutan dimiliki publik, walaupun

proses privatisasi kini sedang terjadi, khususnya di negara-negara bekas

pemerintahan sosialis atau USSR. Pada sebagian besar negara, kepemilikan hutan

dipegang oleh sejumlah besar individu dengan unit pengelolaan yang relatif kecil.

Saat ini luas hutan milik di beberapa negara Eropa Timur masih sangat bervariasi,

sebagai contoh di Rumania dan Republik Czechnya, areal hutan yang dimiliki

secara pribadi masing-masing adalah 6% dan hampir 60%. Secara umum,

kepemilikan lahan hutan secara individu berkisar antara 2-3 ha per keluarga.

Dengan proses privatisasi yang sekarang sedang terjadi, diperkirakan sekitar

35-40% dari seluruh areal hutan akan dimiliki secara pribadi (Harrison et al. 2002). Pada umumnya di negara-negara Eropa, para pemilik hutan telah

terorganisasi dengan baik dalam bentuk berbagai asosiasi yang mengedepankan

praktek-praktek pengelolaan hutan secara lestari. Organisasi-organisasi tersebut

berperan sebagai sarana penghubung di antara pemilik hutan dan menjadi

perwakilan mereka di dalam proses penentuan kebijakan, termasuk memberikan

pelayanan dalam pemasaran hasil kayunya dan praktek-praktek silvikultur dalam

pengelolaan hutan. Pada tingkat wilayah Eropa, salah satu asosiasi yang menjadi

(37)

Di Jepang, hutan rakyat sudah mempunyai sejarah panjang sejak lebih dari

tiga abad yang lalu. Dengan luas total areal hutan sebesar 2.51 juta ha atau sekitar

66.5% dari luas total wilayah daratan, seluas 14.6 juta ha merupakan hutan milik

yang dikelola oleh individu keluarga, perusahaan atau kelompok masyarakat.

Terdapat sekitar 2.5 juta individu keluarga pemilik hutan yang sebagian besar

(60%) mengelola hutan dengan luasan kurang dari 1 ha. Selebihnya mengelola

areal hutan dengan luasan antara 1 – 5 ha per keluarga. Perusahaan dan kelompok masyarakat mengelola areal hutan dengan luasan yang juga relatif kecil, yaitu

masing-masing sekitar 34.6 dan 19.3 ha. Hutan tanaman rakyat di Jepang

didominasi oleh dua jenis kayu, yaitu Sugi (Cryptomeria japonica) dan Hinoki (Chamaecyparis obtusa) (Ota 2001).

Jepang merupakan negara pengimpor kayu yang sangat besar dimana

selama kurun waktu tahun 1990an jumlah kayu yang diimpor sekitar 3 sampai 4

kali produksi kayu domestik. Usaha tanaman kayu rakyat kurang dapat bersaing

dengan harga kayu impor yang relatif lebih murah, sehingga banyak areal hutan

tanaman yang diterlantarkan karena alasan ketidak-layakan ekonomi. Keberadaan

hutan milik di Jepang dapat bertahan karena subsidi pemerintah, antara lain

melalui bantuan sampai 68% atas biaya pengadaan tanaman hutan dan

penjarangan komersil pertama. Bantuan juga diberikan setiap tahun dalam bentuk

biaya pemeliharaan jalan dan sumbangan mesin-mesin bagi pembangunan

pedesaan. Peluang di masa depan untuk mempertahankan keberadan tanaman

kayu rakyat di Jepang adalah dengan kebijakan pemerintah yang akan mendukung

fungsi hutan sebagai penghasil jasa lingkungan serta dengan program sertifikasi

hutan rakyat untuk memperoleh harga kayu yang tinggi (premium price) di pasar internasional (Ota 2001).

Di Australia. hutan milik dapat dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu

hutan tanaman industri berskala besar, hutan tanaman skala kecil dan tanaman

untuk konservasi. Sesuai dengan namanya, hutan tanaman industri bertujuan

untuk produksi kayu dan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar atau

melalui program kemitraan antara masyarakat dengan perusahaan atau

pemerintah. Tanaman konservasi pada umumnya dilakukan di areal-areal yang

(38)

Tanaman konservasi terutama bertujuan untuk mencegah erosi sepanjang aliran

sungai dan mencegah peningkatan permukaan air tanah (water tables) yang menyebabkan salinitas tinggi. Upaya penanaman untuk konservasi ini khususnya

didukung oleh program pemerintah yang disebut “landcare” (Herbohn 2001). Hutan tanaman skala kecil lebih umum disebut sebagai “farm forestry” yang

mencakup kebun kayu (woodlots), tanaman pelindung angin (windbreaks), tanaman penaung (shelterbelts), agroforestry atau tanaman sekat terasering (slope break plantings). Kadang-kadang isitlah farm forestry juga diterapkan pada tanaman kayu hasil program kemitraan antara individu masyarakat dengan

perusahaan hutan tanaman industri. Di luar program kemitraan tersebut,

diperkirakan luas areal hutan tanaman skala kecil di Australia mencapai sekitar

76, 250 ha yang terkonsentrasi di negara-negara bagian Victoria, New South

Wales, Western Australia dan Tasmania.

Di India, terdapat berbagai istilah untuk menggambarkan tanaman kayu

rakyat. Hobley (1996) menggolongkannya ke dalam lima kelompok, yaitu Social Forestry, Farm Forestry, Community Forestry, Joint Forest Management (JFM) dan Rural Development Forestry (RDF). Social Forestry dalam konteks ini didefinisikan sebagai hutan tanaman yang pembangunannya disponsori oleh

pemerintah (Departemen Kehutanan) pada areal-areal lahan tidur seperti

lahan-lahan untuk penggembalaan ternak masyarakat, lahan-lahan-lahan-lahan milik negara,

pinggiran jalan dan sungai. Social Forestry pertama kali diperkenalkan pada tahun 1970 an dan pembangunannya dilakukan dengan berbagai tingkatan keterlibatan

masyarakat. Farm Forestry adalah hutan tanaman yang dibangun oleh masyarakat pada lahan-lahan milik dengan subsidi bibit dari pemerintah, baik secara

cuma-cuma atau dengan harga yang rendah. Community Forestry mempunyai pengertian yang luas, mencakup sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat adat

atau hutan tanaman yang dibangun melalui program pemerintah dengan partisipasi

masyarakat. Joint Forest Management sering digolongkan juga ke dalam kelompok ini. Joint Forest Management adalah sistem pengelolaan hutan bersama antara masyarakat dengan pemerintah dengan model pembagian hasil, tanggung

jawab, pengawasan dan pengambilan keputusan dan diikat dalam bentuk kontrak.

(39)

pemerintah, namun model pengelolaan tanaman dan pengembilan keputusan

dalam pengelolaan terutama dilakukan oleh pengguna tanaman, baik secara

individu maupun kelompok. Menurut Harrison et al. (2002) unit pengelolaan tanaman kayu rakyat di India relatif kecil, yaitu sekitar 0.1 ha. Kadang-kadang

tanaman kayu hanya ditanam sepanjang batas pagar atau pinggiran sungai atau

saluran air.

Di Filipina, tanaman kayu rakyat diawali dengan program pemerintah dalam

rehabilitasi hutan oleh Biro Pengelolaan Hutan Filipina (Forest Management Bureau of the Department of Environment and Natural Resources). Pada mulanya program ini terkonsentrasi kepada tanaman hutan industri, namun belakangan

lebih mengarah kepada pengembangan hutan kemasyarakatan. Istilah yang sering

digunakan adalah “Community Based Forest Managament (CBFM)” dan lebih umum lagi adalah “Community Based Resource Management (CBRM)”. Program

ini biasanya diterapkan dalam bentuk penanaman kayu pada lahan-lahan komunal

atau lahan-lahan milik masyarakat untuk tujuan produksi, konservasi lahan atau

kombinasinya. Penanaman pada lahan-lahan milik masyarakat (farm forestry) umumnya dalam bentuk agroforestry (Harrison et al. 2002).

Keragaman dalam bentuk dan model pengelolaan tanaman kayu rakyat akan

bertambah apabila memperhatikan di berbagai belahan dunia lainnya seperti di

Cina dan Afrika. Namun demikian, dari paparan seperti dijelaskan di atas terdapat

gambaran umum tentang bentuk-bentuk dan model pengelolaan tanaman kayu

rakyat pada skala global. Tabel 1 di bawah ini merangkum berbagai tipologi

pengelolaan tanaman kayu rakyat tersebut.

Penelusuran literatur tentang berbagai model tanaman kayu rakyat di

berbagai belahan dunia seperti dipaparkan di atas, serta rangkumannya yang

disajikan pada Tabel 1 memberikan gambaran bahwa model tanaman kayu rakyat

sangat bervariasi di beberapa tempat. Nampaknya akan sulit untuk menarik model

yang bersifat umum dan kecocokan model untuk pengembangannya harus lebih

banyak disesuaikan dengan konteks lokal. Di negara-negara maju, hutan atau

tanaman kayu rakyat cenderung telah dikelola oleh individu masyarakat yang

mandiri. Pengelolaan tanaman kayu rakyat sudah lebih berorientasi bisnis.

(40)

cukup kuat terhadap kebijakan pemerintahnya yang berkaitan dengan hutan.

Namun demikian, dukungan pemerintah dalam bentuk subsidi kadang-kadang

masih diperlukan, seperti yang diperlihatkan oleh kasus di Jepang. Kasus di

Australia menunjukkan bahwa insentif yang cukup perlu tersedia di dalam usaha

tanaman kayu apabila ingin usaha ini menarik bagi masyarakat luas.

Tabel 1 Tipologi tanaman kayu rakyat pada berbagai tempat di dunia2

No. Negara/

(41)

Tabel 1 (lanjutan)

Di negara-negara berkembang seperti di negara-negara Asia, nampaknya

dukungan pemerintah masih sangat kental di dalam pengembangan tanaman kayu

rakyat. Dukungan pemerintah tersebut meliputi hampir keseluruhan aspek

pengelolaan di dalam usaha tanaman kayu rakyat. Produk hutan tanaman rakyat

tidak harus difokuskan kepada kayu karena nilai ekonomisnya mungkin tidak

akan optimal. Diversifikasi produk nampaknya lebih cocok untuk pengembangan

tanaman kayu rakyat di negara-negara berkembang, sehingga produk hutan

menjadi lebih beragam dengan berbagai produk pertanian lainnya, baik yang

bersifat komersial atau untuk pemenuhan kebutuhan subsisten masayarakat.

Diversifikasi produk dalam bentuk jasa lingkungan nampaknya juga menjadi

kecenderungan dewasa ini di dalam pengelolaan tanaman kayu rakyat di

(42)

Pelajaran lain yang sangat penting dari paparan di atas adalah bahwa

tanaman kayu rakyat memiliki kontribusi yang tidak dapat dianggap kecil dalam

hal penyediaan bahan baku kayu. Disamping itu usaha tanaman kayu rakyat dapat

dikaitkan dengan program rehabilitasi hutan yang saat ini banyak dilakukan di

negara-negara berkembang. Dukungan yang bersifat komprehensif serta

disesuaikan dengan kondisi lokal nampaknya perlu dilakukan untuk

pengembangan tanaman kayu rakyat.

2.2. Perkembangan Tanaman Kayu Rakyat di Indonesia

Perkembangan tanaman kayu rakyat di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari

konteks pembangunan kehutanan secara umum. Berdasarkan catatan sejarah,

kebijakan dalam penataan sumber daya hutan di Indonesia mulai dilakukan

dengan diberlakukannya Undang Undang No. 5 Tahun 1967 tentang

ketentuan-ketentuan pokok kehutanan (Basic Forestry Law). Berdasarkan undang-undang ini status kepemilikan hutan telah dikelompokkan menjadi hutan negara dan hutan

milik. Hutan negara terdiri dari kawasan hutan dan hutan yang tumbuh di atas

tanah yang tidak dibebani hak milik, sedangkan hutan milik ialah hutan yang

tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik yang belakangan juga dikenal

dengan istilah hutan rakyat.

Pada awal masa pemerintahan Orde Baru, pengelolaan hutan di Indonesia

lebih banyak dipusatkan kepada eksploitasi sumber daya hutan yang dilakukan

oleh perusahaan-perusahaan para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Pada

masa ini sumber daya hutan dipandang sebagai sumber penghasil devisa negara

dan dijadikan sebagai salah satu motor penggerak bagi pembangunan ekonomi

nasional. Masyarakat tidak banyak dilibatkan di dalam pengelolaan hutan dengan

anggapan bahwa manfaat sumber daya hutan bagi kesejahteraan masyarakat akan

terpenuhi dengan sendirinya apabila pembangunan ekonomi di sektor kehutanan

meningkat. Konsep trickle down effect menjadi paradigma dalam pembangunan di sektor kehutanan pada masa itu.

Pada tahun 1978, Jakarta menjadi tuan rumah penyelenggaraan Kongres

Kehutanan Sedunia (The World Forestry Congress) yang ke VIII dengan thema

forest for people”. Di dalam kongres tersebut perhatian dunia internasional

(43)

demikian, dukungan kebijakan atas hak-hak masyarakat tersebut baru diluncurkan

pada tahun 1991 melalui program HPH Bina Desa, berdasarkan Surat Keputusan

Menteri Kehutanan (SK. Menhut) No. 61/Kpts-II/1991. Program ini selanjutnya

disempurnakan menjadi program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH)

pada tahun 1995 melalui penerbitan SK. Menhut No. 69/Kpts-II/1995. Program

PMDH belum memberikan hak pengelolaan atas sumber daya hutan kepada

masyarakat, melainkan hanya memberikan serangkaian kewajiban kepada para

pemegang HPH untuk membantu masyarakat di pedesaan, khususnya yang tinggal

di sekitar areal hutan yang mereka kelola, agar meningkat kesejahteraannya dan

menjadi lebih mandiri dalam perekonomiannya.

Di dalam konsepsinya, pelaksanaannya program PMDH harus diawali

melalui studi diagnostik yang dilakukan secara partisipatif bersama masyarakat

desa hutan. Studi diagnostik tersebut harus dituangkan di dalam Rencana Karya

Pengusahaan Hutan (RKPH), Rencana Karya Lima tahun (RKL) dan Rencana

Karya Tahunan (RKT) di dalam pengelolaan hutan. Aspek yang dilakukan di

dalam program PMDH meliputi pengembangan kapasitas masyarakat dalam hal

usaha tani (melalui program usaha tani menetap), peningkatan ekonomi,

pengembangan sarana dan prasarana (sarpras) umum, pembangunan sosial budaya

dan pelestarian sumber daya hutan dan lingkungan. Namun pada prakteknya

program PMDH lebih dipandang sebagai sekedar kewajiban oleh para pemegang

HPH untuk memenuhi persyaratan perolehan pengesahan Rencana Karya

Tahunan (RKT). Program yang dikembangkan umumnya tidak sungguh-sungguh

meningkatkan kemandirian masyarakat, bahkan sebaliknya mendidik masyarakat

menjadi sangat tergantung kepada bantuan HPH dalam pembangunan

infrastruktur desa. Para pemegang HPH lebih menggunakan prinsip “sinterklas” atau memberikan apa saja yang diminta oleh masyarakat setempat karena dikejar

oleh batas waktu pelaporan pelaksanaan fisik yang wajib dibuat setiap bulan dan

triwulan dari pelaksanaan kegiatan PMDHnya. Program umumnya dilaksanakan

tanpa persiapan yang matang dan tidak melibatkan masyarakat sebagai pemangku

kepentingan utama, sehingga pelaksanaan kegiatannya banyak mengalami

(44)

Hak pengelolaan atas sumber daya hutan kepada masyarakat baru diberikan

melalui program Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang diperkenalkan pemerintah

pada tahun 1995, berdasarkan SK. Menhut No. 622/Kpts-II/1995. Di dalam

program HKm, masyarakat dilibatkan secara aktif dalam kegiatan pengelolaan

hutan dan memperoleh hak pemanfaatan atas hasil hutan bukan kayu (HHBK).

Izin pengelolaan HKm ditetapkan berdasarkan kontrak perjanjian antara pemohon

(perorangan, kelompok atau koperasi) dengan Dinas Kehutanan Provinsi

setempat. Izin pengelolaan HKm oleh masyarakat diperluas melalui kebijakan

Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm) yang ditetapkan berdasarkan

SK. Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun) No. 677/Kpts-II/1998.

Dengan hak tersebut, masyarakat diberi kewenangan untuk memanfaatkan hasil

hutan, tidak hanya HHBK, namun juga termasuk kayu (Hindra 2005). Kebijakan

tersebut telah diimplementasikan melalui pemberian izin pengusahaan HKm

kepada sekitar 92,000 ha di wilayah Nusa Tenggara. Dengan diberlakukannya

Undang-Undang (UU) No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, ketentuan tentang HKm tersebut di

atas menjadi tidak berlaku. Tahun 2001 kembali dikeluarkan kebijakan baru

tentang HKm melalui SK. Menhut No. 31/Kpts-II/2001. Surat keputusan tersebut

memberikan kewenangan kepada Kepala Daerah Tingat II (Bupati atau Walikota)

untuk memberikan izin hak pengusahaan HKm. Namun demikian ketentuan

tersebut kembali menjadi tidak jelas dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah

(PP) No. 34 Tahun 2002 tentang penataan dan perencanaan pengelolan hutan,

yang mengembalikan kewenangan perizinan kepada Menteri Kehutanan

(Colchester 2002).

Setelah era reformasi, kondisi sumber daya hutan di Indonesia telah

mengalami kerusakan yang cukup parah dengan laju kerusakan hutan yang tinggi

sehingga mencapai besaran 1.9 juta ha per tahun (FAO 2007). Perhatian

pemerintah mulai terpusat kepada upaya-upaya rehabilitasi hutan. Pada tahun

2003 pemerintah memperkenalkan kebijakan perhutanan sosial (Social Forestry) yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat, khususnya yang tinggal di

areal sekitar hutan, di dalam pengelolaan sumber daya hutan. Di dalam pidato

(45)

Livelihoods, Forest and Biodivesity di Bonn pada tahun 2003, perwakilan resmi Indonesia (Wardoyo 2003) menyatakan bahwa perhutanan sosial merupakan suatu

pendekatan yang menyeluruh yang meliputi ideologi, strategi dan implementasi

dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam pengelolaan sumber daya

hutan. Kebijakan tersebut memberikan akses kepada masyarakat lokal untuk

mengelola sumber daya hutan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan

sekaligus melestarikan hutan. Azas penyelenggaraan social forestry meliputi: pemberdayaan masyarakat, pemberian hak pengelolaan areal hutan tertentu

kepada masyarakat, tujuan pengelolaan hutan yang disesuaikan dengan fungsi

hutan, pembagian tanggung jawab yang jelas (cost sharing) antara masyarakat dengan pemerintah dan pelaksanaan kegiatannya menggunakan pendekatan

pembangunan Daerah Aliran Sungai DAS (Pasaribu 2003). Untuk memperkuat

kebijakan tersebut, pada tahun 2004 Departemen Kehutanan menerbitkan

Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No 1/Menhut-II/2004 tentang

pemberdayaan masyarakat di dalam program social forestry (Hindra 2005).

Permasalahan kerusakan hutan dan lingkungan yang semakin serius telah

mendorong pemerintah Indonesia untuk segera melaksanakan aksi massal dalam

rehabilitasi hutan. Aksi tersebut dituangkan dalam bentuk program Gerakan

Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL dan kemudian menjadi

GERHAN) sejak tahun 2003. Program GERHAN didasari oleh Surat Keputusan

Bersama (SKB) Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko KESRA),

Menko Perekonomian dan Menko Politik dan Keamanan (POLKAM) No.

09/KEP/MENKO/ KESRA/III/2003; KEP.16/M.EKON/03/2003;

KEP.08/MENKO/ POLKAM/III/ 2003. Surat Keputusan Bersama tersebut

membetuk Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan pada tingkat nasional. Kegiatan

GERHAN mempunyai target untuk merehabilitasi areal hutan seluas 3 juta ha

sampai tahun 2009, yang dipusatkan di areal DAS yang tergolong kritis. Program

GERHAN dilaksanakan dengan memadukan program-program pemerintah serta

dengan melibatkan masyarakat secara intensif (Fathoni 2003). Terlepas dari

tingkat keberhasilannya yang kontroversial, program GERHAN telah melakukan

penanaman hutan secara masif, termasuk pada areal-areal hutan milik atau hutan

(46)

Perkembangan terkini dalam upaya pelibatan masyarakat di dalam

rehabilitasi hutan adalah dengan peluncuran program Hutan Tanaman Rakyat

(HTR) sejak tahun 2006. Program ini juga dikaitkan dengan upaya pemerintah

untuk mengentaskan kemiskinan (pro poor), menciptakan lapangan kerja baru (pro job) dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (pro growth) (Emila dan Suwito 2007). Program HTR mempunyai target yang cukup ambisius, yaitu

terbangunnya hutan tanaman yang dikelola masyarakat seluas 5.4 juta ha pada

tahun 2016. Hutan tanaman tersebut akan dibangun di kawasan hutan produksi

yang sudah tidak produktif dengan pemberian hak kelola atas kawasan hutan

kepada individu masyarakat atau kelompok (melalui koperasi) selama 60 tahun

dengan kemungkinan perpanjangan izin selama 35 tahun. Setiap pemegang izin

HTR berpeluang untuk mengelola kawasan hutan produksi seluas 15 ha untuk

usaha tanaman kayu dengan pilihan jenis-jenis kayu yang telah ditentukan.

Pemerintah juga menyediakan dukungan finansial untuk usaha tanaman kayu

tersebut dengan memberikan kredit berbunga ringan yang akan disalurkan oleh

sebuah Badan Layanan Umum (BLU) Departemen Kehutanan (Direktorat Bina

Pengembangan Hutan Tanaman 2008). Berbagai produk kebijakan telah

diterbitkan untuk mendukung program HTR tersebut, diantaranya adalah:

 Permenhut No. P. 23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin

Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam

Hutan Tanaman,

 Permenhut No. P. 41/Menhut-II/2007 tentang Perubahan Permenhut No.

9/Menhut-II/2009 tentang Rencana Kerja, Rencana Kerja Tahunan dan Bagan

Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dan

Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman,

 Permenhut No. P. 5/Menhut-II/2008 tentang Perubahan Peraturan Menteri

Kehutanan No. P. 23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin

Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam

Hutan Tanaman,

 Permenhut No. P. 9/Menhut-II/2008 tentang Persyaratan Kelompok Tani Hutan

untuk Mendapatkan Pinjaman Dana Bergulir Pembangunan Hutan Tanaman

(47)

 Permenhut No. P. 62/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman

Rakyat.

 Permenhut No. P. 69/Menhut-II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimum untuk Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan,

 Permenhut No. P. 14/Menhut-II/2009 tentang Perubahan Permenhut No. P.

62/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan

Kayu Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat,

 Permenhut No. P. 64/Menhut-II/2009 tentang Standard Biaya Pembangunan

Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat,

Sementara itu kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan hutan rakyat

(hutan milik) relatif tidak banyak. Pada awal tahun 1980an, pemerintah telah

mulai menggalakkan kegiatan reboisasi hutan dan penghijauan lahan dengan

tanaman kayu melalui Instruksi Presiden (INPRES) No. 6 Tahun 1982. Setelah

Departemen Kehutanan berdiri tahun 1983, kegiatan reboisasi dan penghijauan

tersebut dilaksanakan melalui Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah (PKT) di

seluruh Indonesia. Di antara jenis kayu yang banyak digunakan adalah jenis

sengon (Paraserianthes falcataria) sehingga program penghijauan tersebut sering

juga disebut dengan istilah ”Sengonisasi”. Kebijakan lain yang berkaitan dengan

pembangunan hutan rakyat adalah ketentuan tentang pedoman pemanfatan hutan

rakyat (melalui Permenhut No. P 26/Menhut-II/2005) dan tata tertib perdagangan

kayu yang dihasilkan dari areal hutan rakyat yang diatur dengan dokumen Surat

Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU), melalui Permenhut No. P.

51/Menhut-II/2006.

Data terkini mengenai potensi hutan rakyat belum terdokumentasi dengan

baik dan masih memerlukan verifikasi. Data Statistik Kehutanan Indonesia tahun

2008 (Departemen Kehutanan 2009) memperkirakan luas total areal hutan rakyat

di Indonesia saat ini mencapai sekitar 1.8 juta ha (lihat Gambar 1). Sebagian besar

areal hutan rakyat tersebut ditanam atas usaha swadaya masyarakat dan menyusul

kemudian tanaman hutan rakyat yang dibangun melalui program GERHAN.

Mengenai produksi kayu dari areal hutan rakyat, data yang cukup akurat

(48)

tersebut tercatat bahwa potensi produksi kayu yang berasal dari areal hutan rakyat

di Indonesia (Jawa dan luar Jawa) adalah sekitar 68.5 juta pohon atau setara

dengan 14 juta3 m3, sementara jumlah cadangan tegakan mencapai lebih dari 226 juta pohon atau setara dengan 45 juta m3 (Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan 2004). Angka-angka tersebut hanya memperhitungkan tujuh jenis

tanaman hutan rakyat yang paling dominan ditanam oleh masyarakat di seluruh

wilayah Indonesia, yaitu untuk jenis-jenis akasia (Acacia mangium), jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia macrophylla), pinus (Pinus merkusii), sengon (Paraserianthes falcataria), sonokeling (Dalbergia latifolia) dan sungkai (Peronema canescens). Tabel 2 menyajikan ringkasan dari hasil sensus produksi kayu hutan rakyat yang telah dilakukan pada tahun 2003.

Gambar 1 Kegiatan penanaman hutan rakyat di Indonesia.

Berdasarkan data tersebut maka potensi hutan rakyat sebagai pemasok

bahan baku kayu sebenarnya sangat besar. Apabila dibandingkan dengan data

produksi kayu bulat nasional (Departemen Kehutanan 2009), seperti terlihat pada

Gambar 2, maka pada tahun 2004 potensi produksi kayu tanaman rakyat telah

menempati urutan pertama. Informasi-informasi tersebut di atas memberikan

beberapa bukti bahwa hutan rakyat memiliki peran yang sangat besar di dalam

pemenuhan pasokan bahan baku kayu.

3

(49)

Tabel 2 Cadangan tegakan dan potensi produksi tujuh jenis kayu hutan rakyat di Indonesia berdasarkan hasil sensus pada tahun 2003 (Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan 2004)

No.

Jenis kayu Cadangan tegakan (Jumlah pohon)

Potensi produksi (Jumlah pohon)

Nama

lokal Nama ilmiah Jawa Luar Jawa Jawa Luar Jawa 1 Akasia Acacia spp 22,611,068 9,409,011 7,730,365 4,339,330 2 Jati Tectona grandis 50,119,621 29,592,858 11,506,947 6,939,077 3 Mahoni Swietenia

macrophylla

39,990,730 5,268,811 8,323,125 1,174,067

4 Pinus Pinus merkusii 3,521,107 2,302,757 1,369,783 1,345,793 5 Sengon Paraserianthes

falcataria

50,075,525 9,758,776 19,579,689 5,033,539

6 Sonokeling Dalbergia latifolia

2,008,272 344,379 604,525 138,018

7 Sungkai Peronema canescens

108,550 902,223 63,088 318,192

Total 168,434,873 57,578,815 49,177,522 19,288,016

Catatan: Data sensus tidak termasuk provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Gambar 2 Produksi kayu bulat Indonesia.

Data tahun 2006 melaporkan bahwa luas areal hutan rakyat di Indonesia

mencapai sekitar 1.5 juta ha, dimana sekitar setengah dari jumlah tersebut tersebar

di Pulau Jawa. Sisanya tersebar di beberapa wilayah seperti Sumatra (14%),

Sulawesi (13%), Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur

(NTT) (12%), dan sejumlah kecil di wilayah-wilayah Kalimantan, Maluku dan

Gambar

Tabel 1  Tipologi tanaman kayu rakyat pada berbagai tempat di dunia2
Tabel 1  (lanjutan)
Tabel 2  Cadangan tegakan dan potensi produksi tujuh jenis kayu hutan rakyat di
Gambar 3 Kerangka analisa kelembagaan (Ostrom, 2006).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keterlibatan, Sinergi, Sinkronisasi PPK Berbasis Masyarakat Menyinkronkan program dan kegiatan melalui kerja sama (Pemda, masyarakat, dan orang tua) Menyinergikan program PPK

Summary Effects of magnesium deficiency and variation in nitrate to ammonium ratio on needle histology and chlorophyll concentration were investigated in current-year and one-year-

2 nilai demokrasi yg ditolak rezim partai tunggal, militer, dan diktator perorangan adl:.. kompetisi

PENATAAN BANGUNAN & LINGKUNGAN BIDANG PENYEHATAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN (PLP) SEKSI PENGEMBANGAN PERUMAHAN SEKSI PERENCANAAN RUANG SEKSI BANGUNAN GEDUNG PEMERINTAH

Hasil survei menunjukkan bahwa baik pada kelompok umur 40--49 tahun(7,9 persen) maupun pada kelompok umur yang lebih kecil tidak terjadi penurunan malah pada umur 20--24

perusahaan dapat mencapai kinerja yang lebih tinggi dari pada pesaing di dalam industri dengan memanfaatkan aset dan atau kompetensinya. Keunggulan kompetitif

4203014123 “ Pengembangan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) Pada Anak Berkebutuhan Khusus (Abk) Tunarungu Berdasarkan Standar Isi Untuk Meningkatkan Kemampuan

Penelitian menggunakan multimedia komputer dalam pembelajaran kartografi tematik khususnya pemetaan data statistik bertujuan untuk: mengembangkan kemampuan mahasiswa