MENGUATNYA
POLITIK
IDENTITAS
DI
RANAH LOKAL
Muhtar
Haboddin
Jurusan
llmu
Pemerintahan Universitas Brawijaya, Malang Email: muhtqr _7 6@yahoo.comABSTRACT
The strengthening
of
identity
politicsin
the
local domains happens togetherwith
political decentralization. Post-enactment of Law 22/1999, identity politics moxements is more clearly . ln fact,Many actors both local and national politics are consciously using this issue
in
the power-sharing.This research use literature reuiezo as method
in
analysis.ldentity
politiu
ln
Riau, Central Knlimantan, West Kalimantan and lrian laya, which is become the focus of this study, are shoto how strength this issue. This issue used by political actors uhen dealing with other political entities.Keywords: ldentity politic, Local politic actor, Power distribution
ABSTRAK
Menguatnya politik identitas di tingkat local terjadi bersamasn dengan politik desentralisasi. Pasca penetapan UU No. 2211999, gerakan politik identitas semakin jelas. Faktanya, banyak aktor baik lokal
dm
politik nasional menggunakan isuini
secara intens untuk pembagian kekuasaan. Penelitian inimenggunakan studi pustaka sebagai analisanya. Politik identitas yang terjadi di Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan lrian layn, yang menjad focus knjian dalam artikel ini, menunjukkan kuatnya isu ini. lsu ini digunakan oleh aktor politik ketika melakukan negosiasi dengan entitas politik
lainnya.
Kata kunci: Politik identitas, Aktor politik lokal, Pembagian kekuasaan.
PENDAHULUAN
Dengan nada provokatif Cornelis Lay (2003) menulis: lakarta Berkata, Akulah Indonesia.
Sebuah
kalimat yang
menunjukkan bahwa Jakarta sangat perkasa. Bahkan Jakarta bisa secara terang-terangan mengidentikkan dirinya sama dengan Indonesia. Propagandapolitik
semacam
itu
sangat cocok tatkala negaraini
masihdikelola
dengan semangatoto
ter-sentralistik di bawah kepemimpinan Soeharto.Namun seiring berjalannya waktu, format tata kelola pemerintahan berganti yakni dari otoriter-sentralistik menjadi desentralisasi-demokratik- kalimat yang bernada lakarta
berka-ta,
akulah Indonesiapatut
dipertanyakan relevansinyadalam
kontekspolitik
Indonesia kontemporer. Mengapa demikian? Karena sejarah pengelolaan pemerintah pasca Orde Baru' .1 .:::i./t.:i i.t.):j:. t; /t ! ti ii.t r )
:/!, :,r... ) :,htt..r. j i:trtrtt))41-,
mencatat, bahwa beberapa daerah sudah menunjukkan dirinya unh,rk melakukan
perlawa-nan
n:,aupun gugatan terhadap eksistensi Jakartapada
khususnyadan
Indonesia padaurrumnya. Hal ini
nampak sebagaimana diekspresikan oleh beberapa daerah seperti Riaudan Kalimantan yang meminta merdeka
di
satu sisi. sementaradi
sisi yang lain papua dan Aceh masih.diselimuti
keinginan yang kuatuntuk
memisahkandiri
dari bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Na<ia gugat
maupun
periawanan empat daerahini
terhadap dominasi pemerintah Jakaria berimplikasi pada pola pengaturan kewenangan antara pemerintah pusat denganpenrerintah daerah. sebagai
conto[
pemberian otonomi khusus kepada papua dan Aceh.Pemberian otonomi khusus Jakarta kepada dua daerah tersebut, sama dengan merayakan kel(:1a1',an dan memudarnya kekuasaan Jakarta terhadap Daerah.
Bersamaan dengan mernudarnya kekuasaan Jakarta terhadap daerah. Bangsa
ini
pun kernbali tersentak dengan munculnya gerakan kedaerahan dengan mengambil settingpolitik
ehlisitas yang merupakan bagian
dari
politik
identitas sebagai basis gerakan politiknya. Bahkarydisinyalir
oleh banyak pengamat bahwa gerakanpolitik
identiias kian
banyak dipakai oieh para politisi dan penguasa di tingkat lokal untuk mendapatkan kue kekuasaan,baik bidang
politik
maupun ekonomi.MenguatrLya
politik
identitasdi
ranah lokal bersamaan denganpolitik
desentralisasi. Pasca pemberlakuarUU
No.
2211999, gerakanpolitik
identitas semakin jelas wujudnya. Bahkan, banyak aktorpoliiik
lokal
maupunnasional
secara sadar mengg-unakanisu ini
dalam pozoer-sharlng. Di Provinsi Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Irian Jayayang
secaranyata
menunjukkan betapa ampuhnyaisu
ini
digunakanoleh
aktor-aktorpolitik,
ketika berhadapan dengan entitaspolitik
1ain.oleh
karena ihr, politisasi identitas yang dilakukan oleh para elit lokal di empat daerahbenar-benar dikreasi sedemikian rupa supaya mereka yang awalnya tersingkir
dari
pusat-pusat kekuasaan bisa masuk dan menikmati kekuasaan. Tenfu saja, cara kerja
dari
proyekpolitik
identitasdi
empat
daerah diekspresikan dalambentuk
yang bervariasi. pertama,politik
identitasdijadikan
basis perjuanganelit
lokal
dalam rangka pemekaran wilayah terjaciidi
Provinsi Kalimantzur Baratdan Irian
Jaya. Kedua,polink
identitasyang
dicobaditransformasi
ke
dalam
entitaspolitik
dengan harapanbisa
menguasai pemerintahani',Jit lttn r liailcda!n
t:i::|t;1t:,.) l:j,t,!i! i Faa:i:t),i 2a:l:2
daerah sampai pergantian pimpinan puncak.
Atau
dalam istilah Gerry VanKlinken
(2007)disebui elit lokal yang mengambilalih seluruh bangunar institusi
politik
loka1. Halini
terjadidi
Provinsi Riau-
KaLim antanTengah-Kalimantan
Baratdan Irian
Jaya.
Ketiga,polittk
etnisitas digunakan
untuk
mempersoalkan antara 'kami dan mereka'-'saya'dan
'kamu'-sampai pada bentuknya yang ekstrim 'jawa'
dan'luar
jawa'-'islam'
dan 'kristen'. Dikotomi oposisional semacamini
sengaja dibangun oleh elitpolitik
lokal untuk menghantam musuh ataupun rivalpolitiknya
yang notabene 'kaum pendatang'l Poinini
terladi di empat provinsi.Keempat,
politik
identitasdimobilisir untuk
mendapat simpatik pemerintah yanglebih di
atasnya. Dalamnya
politisasi
identitasdi
ranahlokal
sebagaimana digambarkandi
atasmerupakan realitas
politik
yang harusditerima
sekalipun dengan nada cemas. Mengapa cemas? Karena, ketikapolitisi
identitas sudah terlanjur didemontrasikary sangat sulit urLtukdikendalikan apalagi dikembalikan pada tempatnya semula. Karena
ihr, perlu
dicarikanjalan
tengah supaya penggusuranaktor
politik-aktor
ekonomidan
parabirokrat
tidak terjadi maka perangkat pengaturan potner-sharing antarehis-agama-suku
perlu
dilaku-kan.
Kerangka konseptual yang bisa ditawarkan daiam mengatasi rivalitas dan konJlik
di
tengah menguatnya
politik
identitasdi
empat daerah tersebut adalah apayang
disebutArend Lijphart
(1977) sebagat consociationql democracy. Bahkan,ilmuwan
sekaliber Henk SchulteNordholt dan Gerry Van Klinken
(2007) dalam pengantarbuku
Politik Lokal di lndonesiadan
Afan Gaffar
(1990) masihmeyakini bahwa
demokrasi konsosiasional bisamengurangi konflik identitas di ranah lokal.
Tulisan
ini
akan memaparkan bagaimana ploses menguatnyapolitik
identitas di ranahlokal
khususnyadi
Provinsi Riau-Kalimantan Tengah-Kalimanta
Baratdan
Irian
Jayaberlangsung. Pertama-tama, makalah
ini
akan
memaparkan gagasanteoritik
mengenaipolitik
identitas, dilanjutkan dengan pelacakan apa penyebabnya. Pada bagian yang lain, dipaparkan pula praktek-praktekpolitik
identias pada masa Orde Baru yangtidak
diberi ruang alias ditabukan oleh pemerintah tetapi pada masa reformasipolitik
identitas malah menguat. Sebelumditutup, tulisan
ini
memberikanjalan
tengah perihal penataanpolitik
identitas sebagai jalan keluar yang bisa dilakukan oleh para aktor
politik
di tingkat 1oka1.MLililir lla r rii.l r:l
) t' j:a ; a i t..i i ;..1. trit: ri nr, ti at. y'.Jirt')r.t t\;:':r.ai : ti.:rtL,dti 2t:2
KERANGKA,
TEORITIK
Identitas
Politik
Politik identitas
mendapat tempatyang
istimewa beberapatahun terakhir.
Dalamstudi
oasca-kolonialpolitik
identitas sudah lamadigeluti. pemikir
sepertiAnia
Loomba,Homi
K
Bhabhadan Gayatri C
Spivak adalah nama-namayang
biasadirujuk.
Merekadirujuk
karena sumbangsihnya dalam meletakkanpolitik
identitas sebagai ciptaan dalam wacana sejarahdan budaya.
sementaradalam literatur
ilmu
poli
politik
identitas dibedakan secara taiam antaraidentitas pohtlk
(politicalidentity)
denganpoiitik
identitas (politicalof
identity). Political identity merupakan konstruksi yang menentukan
posisi
kepentingan
subjek di
dalam ikatan suatu komunitaspolitik
sedangkan politicat of identity mengacu pada mekanismepolitik
pengorganisasian identitas @aik identitaspoiitik
maupun identitas sosial) sebagai surnber dan sarana politik.Penraknaan bahwa
politik
identitas sebagai sumberdan
saranapolitik
daramper-tarurgan
perebutan kekuasaanpolitik
sangat dimungkinkan dan kian mengemuka dalampraktek
politik
sehari-hari. Karenaitu
parailmuwan
yang bergelut dalam wacanapolitik
identitas berusaha sekuat mungkin untuk mencoba menafsirkan kembali dalam logika yang
sangat sederhana dan lebih operasional. Misalnya saja Agnes He]ler mendefinisikan
politik
identitas sebagai gerakan
polifik
yang fokus perhatinnya adalah perbedaan sebagai suatukategori
politik
yang
utama. sedangkanDonald
L
Morowitz
(1999),pakar
politik
dariUniveritasDuke,
mendefinisikan:Politik identitas aderah memberian garis yang tegas untuk menentukan siapa yang akan
disertakan dan siapa yang akan ditorak- Karena garis-garis penentuan tersebut tampak tidak
dapat dirubah, maka status sebagai anggota bukan anggota dengan serta merta tampak
bersifat permanen.
Baik Agnes
Heller
maupun
Donald
L
Morowitz
memperrihatkan sebuah benangmerah yang sama
yakni politik
identitas dimaknai sebagaipoiitik
berbedaan. Konsepini
juga
mewarnaihasil
Simposium AsosiasiPolitik
Internasionaldi
selenggarakandi
Winapada 7994. Kesan yang lain dari pertemuan
wina
adalah lahimya dasar-dasar praktikpolitik
identitas.
sementara Kemala Chandakirana (19g9) clalam artikelnya
Geertz dnn MasalahKesuku an, menyebutka_n bahwa:
:-, ir
';l..a,r'''./.,1r'r. 3 tiartv, ) :.b:,:t:ri 21.\12
Politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik dengan
sebutan kami bagi "orang asli" yang menghendaki kekuasaan
dan
mereka bagi "orang pendatang" yang harus meleDaskan kekuasaan. Jadi, singkatnya politik identitas sekedar untuk dijadikan alat memanipulasi-alat untuk menggalang politik--guna rnemenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya".Pemaknaan
politik
identitas
antara Kemala denganAgnes Heller dan Donald L
Morowitz
sangat berbeda. Kemala melangkah lebihiauh
dalammelihat
politik
identitas yang ter.ladi pada tataran praktis. Yang biasanya digunakan sebagai alatmemanipuiasi
alatuntuk
menggalangpolitik
guna kepentingan ekonomidan politik. Namur!
pada bagian yang lain, argumen Kemala mengalami kemunduran penafsiran dengan mengatakan bahwa:Dalam
politik
identitas tentu saja ikatan kesukuan mendapat Peranan penting,ia
menjadi simbol-simbol budaya yang potensial serta menjadi surnber kekuatan untuk aksi-aksipolitik.
Pemahaman
ini
berimplikasi
pada kecenderur,ganuntuk:
Pertama,ingin
mendapat pengakuandan
perlakuan )rang setara atau dasat hak-hak sebagai manusiabaik politik,
ekonomi maupun sosial-budaya. Kedua,
deni
rnenjaga dan melestarikannilai
budaya yangmenjadi
ciri
khaskelompok
yang bersangkutan. Terakhir, kesetiaanyang kuat
terh-adap etnistas yangdimilikinya.
Selain tiga kecenderungandi
atas Klaus Von Beyme (dalamtlbai
Abdillah,
2002) menye.butkan adaliga
karakteristik yang melekat PadaPolitik
identitas,yakni;
Gerakanpolitik
identitas pada dasarnya membangun kembali "narasi besar"' yangprinsipnya
merekatolak dan
membangun suatuteori yang
mengendalikan faktor-faktor biologis sebagai penyusun perbedaan-perbedaan mendasar sebagai realitas kehiduparmya; Dalam gerakanpolitik
identitas ada suatu tendensiuntuk
membangun sistem apartheidterbalik.
Ketika
kekuasaantidak
dapat ditaklukkan dan
pembagian kekuasaan tidak tercapai sebagaitujuan
gerakan, pemisahandan
pengecualiandiri
diambil
sebagai jalankeluar; Kelemahan
dari
gerakan
politik
identitas adalah upaya
untuk
menciptakan kelompokteori
spesifikdari
i1mu. Sebagai contoh,tidak
seorangpun yang bisa menolak bahwa seoranghitam
atau seorang sarjana wanita bisajadi
telah mempunyai pengalaman yang membuat mereka sensetif dalam kasus-kasus terterttu menyangkut hubungan dengankelompok yang lain.
Dari tiga
kriteria
tersebut, selanjutnyaVon
Beyme (da1amUbed
Ubdil1ah,2002)membuat analisis lanjutan dengan melihat
politik
identitas melalui pola gerakan, motivasiM!hi:ri l-lai..l.iiil
), t a i i 11 lt I i Ft /r,{.ri tita ha n
./a:ir,t'! 3 Alrtrtt 1Febtucri
)il)
dan tujuan yang
ingln
dicapai.Hasil dari
analisis Von Beyme digambarkanmelalui
tabel [image:6.595.79.515.120.307.2]berikut:
Tabel Model Politik ldentitas
Model Pola aksi
Pra modern Perpecahan objektif (dimana ada perpecahan fundamental pasti ada gerakan sosial yang
menyeluruh
Mobilisasi secara ideologis atas aspirasi
pemimpin
Perampasan kekuasaan
Modern Pendekatan kondisional
(keterpecahan membutuhkan sumber-sumber untuk dimobilisasi)
Keseimbangan mobilisasi dari atas
dan partisipasi dari
bawah
Pembegaian kekuasaan
Postmodern Gerakan dari dinamikanya
sendiri. Protes muncul dari berbagai macam kesempatan
individual. Tidak terdapat suatu perpecahan yang dominant
Kesadaran diri Otonomi
Sumber: Ubed Abdiloh, 2002; 147
Konsep Etnisitas
Dari sudut pandang etimologis, etnis berasal dari bahasa yunani 'ethnos' yang berarti
'penyembahan'
atau
p€muia berhala'.
Di
Inggris, terminologi
ini
digunakan
mulai pertengahan abad XrV yang dalam perjalanannya mengalami reduksi ke arah penyebutan karakter ras. sementaradi
Amerikaserikaf
terminologiini
digunakan secara massif padasaat Perang Dunia
I
sebagai penghalus penyebutan bangsa-bangsa yang dianggap inferior. Meskipunterjadi
perbedaan pandangan mengenai etrris, namun ditanganpara
ilmuwanpolitik
konsepsi mengenai hakekat etnisitas dimaknai dua hal: peftama, pembacaan realitas perbedaan bentuk penciptaan, yaitu wacana batas yang bersifat oposisioner dan dikotomis. Kedua, suatu konstruksi pemahaman yang didasarkan atas pandangan dan bangunan sosial.Etnis merupakan konsep relasional yang berhubungan dengan indetifikasi
diri
dan askripsisosial.
Dua makna
ini
bisa kitatarik
sebuah pemahaman bahwa etrrisitas selalu akan terbaca sebagai realitas perbedaan yang selalu dipandang dikotomis dalam mengidentifikasidiri.
Karenaitu
identitas etnis relatif
sulit
diubah
karena pemahamanini
dibangun
di
ataspersamaan
darah
(kelahiran),warna
kuliaf
kepercayaanyang
mencakup,suku,,
,ras, , 'nasionalitas' dan'kasta'.MuhtEr Fiai:ioddin
, 'l- .:
3.
MeiacakPolitik
Etnisitas di IndonesiaJika
bangunanpikir
Prof.
Henk
s
Nordholt
(2007)diikuti
sudah barang
tentu kesinrpulannya akan berkata bahw a politik identitas nerupakan bentukan dari Negara Orde Baru'panclangan
ini
senada dengan RachmiDiyah
Larasatiyang
mengatakan
bahwa'negarasangat herperan dalam pembentukan politik identitas'. Dua pandangan menguatkan pemahaman
kita
bahwa
politik
etnisitas merupakan kreasi negara )/ang monumentaldalam
rangkapelabelan warga negalanya. Pelabelan ini meniadi penting dalam urusan
politik
pengaturan atau bisa juga sebagaipolitik kontrol
negara terhadap walganyauntuk
mengetahui 'siapa J.awan' dan,si.apa kawan'. Pengaturan dan kontrol negara terhadap warganya tidak berhentisampai
di
sini. Menurut pandangan Henk (2007) ada empat kebijakan yang dijalankanorde
Baru untuk melemahkan
politik
itnisitas di tanah air.pertama, tidak ada daerah yang asli. Maksud semua daerah terbuka sebagai daerah migrasi maupun transmigrasi sehingga semua komunitas tercerabut
dari
akar sosio-kultural dan politiknya. Kedua, pemerintah Orde Baru menghindari terbentuknya kelas karena itu persoalanSARA dikontrol sedemikian ketat. Dan yang berhak menggunakan sARA hanya pemerintah
dalam menjastifikasi kelompok mana yang bersalah dan dikucilkan relasi sosial-politiknya. Ketiga, modernisasi dijalankan supaya pengaruh etnis dan agama merosot Keempat, negara mengatur supaya jangan ada yang tumpang tindih antara agama dan suku. Karena dengan cara ini persatuan tidak pernah ada dan pemerintah pusat tidak terancam'
Keempat kebijakan diatas, mempunyai
implikasi politis yang
sangat besar dalam pengelolaan relasi pusat dengan daerah, pemerintah dengan rakyatnya. Karenaitu
gairah etnisitas dan agama tidak lagi menjadi tempat olang mengespresikandiri
secaraPolitik
danmengungkapkan
diri
secara
budayo tetapi
akan
berubah menjadi temPat
orangmenyembunyikan
diri
secarapolitik
dan mencari keamanandiri
secara budaya'Pilihan
politik
maupun budaya masyarakat menutuPdiri
merupakanjalan
terbaikdalam mengikuti
jejak langkahpolitik
kekuasaanorde
Baru. Karenaitu
ketika
Negarasudah mengalami pelemahan basis materialnya maka masyarakat meminjam
istilah
Henk(2007) mencari perlindungan pada kelompok aganT maupun etnistas. Pencaian perlindungan
masyarakat kepada etnisitas maupun agama cepat atau lambat akan membahayakan posisi pemerintah dalam bangunan relasi vertikalnya tetapi juga rawan, rentan, penuh resiko dan
sangat berbahaya dalam relasi horizontalnya.
Ternyata, dugaan
ini
benar adanya. Anekakonllik
yang terjadidi
ranah lokal, pada lgg5-an hinggaorde
Barurontok
membuktikan betapa dahsyatnya kekerasanpolitik
di
i.,/|.t ..t t .Z"1)l,l:n
i t | :tt: i SiNd i jt€fi e i ntahdn
vtirt:,e a NJntr l Februo,! 2Al2
tanah
air.
Benturanyang berbau
politik
identitas
tidak
hanya
mempermalukan para penguasa tetapijuga
para cendekiawan-ilmuwan yang selamaini
merasa optimis bahwaagamo
rasdan suku
bangsa akan segerahilang
kekuatannya karena sudah mengalamipencerahan dan kemajuan. Pada kenyataannya optimisme
itu
meleset kar.ena mereka lupa bahwa sentimen-sentimen primordial yang sejak semula telah ada dan akan selamanya tetap bertahan-bahkan identitas kelompok akan mengguncang tatananpolitik
yang selamaini
diduga kokoh b angunannya.
Pengamatan Lucian
w
Pye (1993) terbukti, goncanganpolitik
karena ledakanpolitik
ehrisitas
sudah
kita
rasakan pengaruhnya. Celakanya negara absendalam
melindungiwarganya. Hal ini nampak dalam pertikaian Dayak-Madura, peristiwa kekerasan
politik Mei
1998 di Jakarta, pengusiran etnis Buton-Bugis dan Makassar (BBM) di Ambon.Selain berbau kekerasan sebagaimana dijelaskan di atas
politik
etnisitas juga hadir dan mengental dalam erapolitik
desentralisasi. Pencarianpolitik
etrLisitas, baik kolektif maupunindividual menjadi
sumberpaling
mendasardan
bermalcrauntuk menduduki
jabatan-jabatan strategis
di
daerah. Karenaihr,
parapolitisi
di
daerah sedang sibuk membangun masalalu
yang
merekamiliki, lalu
energi
mereka kerahkanuntuk
memproyeksikan bangunan masalalu itu
ke masa depan guna memperkuat rasa dan perasaan atas etnisitasmereka, Dengan demikiary gerakan dapat
"diperluas', dan
,,dilestarikan,, dengan pagar_pagar pembatas
untuk dapat
dirayakan sembari menjagajarak
dengar oranglain
yangberbeda dengan mereka.
Realitas
empiris dari
gerakanpolitik
etnisitas menemukan relevansinya dibeberapadaerah, misalnya
politik
etrrisitas yang mengandalkan mobilisasi massa dengan tujuan akhir adalah perampasan kekuasaanmuncul dalam mengiringi
politik
desenhalisasi denganlahirnya konsepsi putra daerah.
METODE
PENELITIAN
Penelitian
ini
menggunakan metodestudi
pustaka sebagai carauntuk
melakukan analisa sehingga diperoleh hasil yang bisa dipertanggungjawabkan secarailmiah.
sebuahalgumentasi
perlu
didukung dengan
data dan
kajian
ilmiah
agar
bisaM..rhtar Baboddin
Me gr.tnva pirlitik idefitltas t)1 Ranah Lokal
iutncl stad) pefieri tehan Vdlutli€
i
Nom.ri
ielnuati 2A:izdipertangungjawabkan. Untuk itulah maka penelitian
ini
menggunakan studi pusatkauntuk
mendukung argumentasi yang dibangun.
HASIL DAN ANALISIS
Praktek
Politik
Etnisitas Era Orde BaruSekalipun
Orde Baru
sangat terkenalkuat
dalam menjalankanroda
pemerintahanbukan berarti pemerintah
ini
tanpa
gejolak. Kekecewaan masyarakatlokal
terhadap pemerintah mempercepat munculnya bibit ketegangan yang dikonsolidasikan dalam bentukpolitik
identitas.Di Irian
misalnya, kecemburuan masyarakat setempat begitu tajam dalamtubuh birokrasi.
Sementaradi
Riau,
isu
putra
daerah semakin mengemuka. Dambaan supaya daerahnyadipimpin
oieh putra daerah sendiri sangat diimpikan dan merasuk dalamperjuangan
politik
bagipolitisi
daerah.a.
Dominasi Pendatang dalam Birokrasi: Kasus PapuaCerita
Irian
adalah cerita tentang
ketidakberdayaan-
keterbelakangan penduduk aslinya. Ketidakberdayaanatau
kerbelakanganentah
disengajaatau
tidak
mempunyaiimplikasi pada posisi dalam
pemerintahan.Balrkan realitas menunjukkan
terjadinyapenguasaan birokrasi oleh kaum pendatang.
Hal
ini
dibenarkan SyansuddinHaris
(1999) dalam lndonesia di Ambang Perpecahan.la menulrc:Selama bergabung dengan lndonesia dominasi birokrasi etnis non lrian terjadi baik di Provinsi maupun di Kabupaten. lmplikasinya adalah peranan orang-orang lrian dalam pengambilan keputusan mengenai mereka sendiri terasa termarginalkan. Pembinaan aparatur dari pusat maupun daerah dipandang tak menghasilkan putra daerah lrian. Bahkan pejabat
di
pemda maupun di Kantor Wilayah Departemen Teknis di Daerah Provinsi dan Kabupaten ternyata diisioleh orang-orang
non
lrian. Dominasi non-lrianini
pada akhirnya hanya menghasilkan kebijakan, penyelesaikan masalahpolitik dan
sebagainya yang cenderung mengabaikan kepentingan rakyat lrian.Dominasi semacam
ini
melahirkan dua bentuk kekecewaan. Pertama, membangkitkanrasa solidaritas yang merupakan perasaan terintegrasi yang dialami oleh segenap
individu
sebagai bagiandari
suatu kelotnpok.Kedua,
Kekecewaanitu
pada akhinya diekspresikan meminjam Syamsuddin Haris " dengan keinginan memisahkandiri
dari NKKI".Atau
gerakanrakyai
pribumi
yang
menuntut merdeka
dari
Indonesia. Implikasinya adalah
paraMrhtar Hab.ddin
ii:. at ]:'a : a.tl l'a.:ltaitttttt,
f .':
't i : '.1..1 tt I leitiutl, i 2A12
penduduk asli
mengeksploitasi kebijakan pemerintahyang tak
berkeadilan,lalu
merekamencari legitimasi
historis tentang
ketidakabsahan penggabunganIrian
dengan bumi Indonesia. Usaha mempersoalkan legitimasi bisa dibaca sebagai usaha membangunpolitik
kesukuan
dalam kerangka mendapatkan akses dan pembagian surnberdaya baik ekonomi maupunpolitik.
Sumber daya
di
bidangpolitik
nampak dengan muncuLrya usulan, bahwa selurr-rhstruktur dan
lembagapolitik
di
Irian Jay4 baik
eksekutif maupun legislatif-80%
harus dikuasai oleh orang-orang Papua sehingga perasaan set'agai bagiandari
Indonesia tidak akan pernahhilang dan
mereka bisa memainkan peran yang besar dalam pengambilan keputusan diberbagai bidang. Lebihlanjui
disebutkan bahwa sistemini
berftingsi secaraefektif
dengan berpartisipasinya orang-olang Papuauntuk
menghilangkanpikiran
danperasaan rregatif. Ditambahkan
pula
dengan munculnya gerakandari
pejabat pemerintahsetempat akan 'pentingnya menjadi tuan di atas tanah sendiri'.
b.
Isu Putra DaerahDi
RiauSudah
lama
memangisu pufra
daerah berhembus dalam pelebutan kekuasaandi
ranah lokal.
Menulut
Ryaas Rasyid fenomenaini
sudahmulai
nampak pada era 1990-an dengan merujuk pada:".... kecenderungan beberapa daerah untuk mengutamakan putra daerahnya dalam proses rekrutmen untuk jabatan-jabatan pemerintahan. lnilah adalah gejala yang sudah mulai tumbuh sejak awal tahun 1990-an, walaupun pada masa
itu
perhatian masyarakatdi
daerah lebih banyak terfokus kepada figur calon kepala daerah (gubernur, bupati, walikota). Jakarta sendiri, keinginan masyarakat Betawi untuk memperoleh gubenur dari kalangan mereka sendiri sudah sejak lama. Hal yang serupa juga melata rbelakangi pengantian gubernur Bangkulu, Jambi, Sulawesi Tengah, lrian Jaya, Maluku dan Riau, untuk menyebut beberapa kasus, dari figur yang sebelumnya bukan kalangan'putra daerah'ke figur baru yang putra daerah".Dari sekian banyak jumlah daerah yang ngotot mengusung pufra daerah adalah
Itiau
akan
dijadikan
objekkajian
dalamtulisan
ini.
Yang merupakan representasidari
masapemerrntahan
Orde
Baru. Alasalnya
adalah karena daerah
ini
mempunyai
bobot perlawananyang kuat dan
ulik
terhadap pemerintah pusat sekalipun perlawanan Riau berakhir dengan kekalahan.Kekalahan Riau melawan Pusat bermula pada keinginan sebagian besar
politisi
dan masyarakatnyauntuk
menjadikan putra daerahnya sebagai gr:bernur. Keinginanini
sudahlama
digaungkan oleh parapolitisi
daerahdan
menemukan momentumnya pada bulanilirili3. r,.r|..liin i :.. t. lia:. 'i i,i: ,
J u rne I itu d i Pe n etinte i1 a n Volufte.l Nancr i Febrrcri 2A72
September 1985, yang
waktu itu
Ismail Suko adalah putra daerah yang menjadi salah satucalon gubernur,
karenaperiode Imam Munandar
sudahhabis satu periode dan
mau memasuki periode kedua.Ismail
Sukoyang
Padawakti
itu
menjabat sebagai SekretarisDewan. Sekalipun jabatannya hanya Sekwan, Ismail punya dukungan yang kuat,
baik
di DPRDmaupun
masyarakat luas.Dua
entitasinilah yang Punya peran penting
dalam mendesak pemerintahpusat
suPaya mendukungIsmail.
atnya
arusdukungan
dari DPRD nampakketika
anggota DPRD, melakukan kudeta terharap lmam Mr:nandar yang mendapat dukr:ngandari
Golkar, BeniMurdani dan
Soehartonamun
dalam pemilihanDPRD
memenangkanIsmail
Suko. Sembilan belasorang
dari
Golkar
membelok dan memberikan suaranya untuk Ismail Suko.Ismail
Suko menang dalam proses demokrasi
Prosedural. Kemenangan secarademokratis
ini
mendapat penolakanyang
seriusoleh
pemerintah. Dengan segala carapemerintah
pusat
termasuk BeniMurdani
dan Soeharto wakfuitu
rnenekan daerah supayaIsmail
Suko
mengundurkan
diri.
Bahkan dengan menghalalkan segala
cara
pun dilakukannya. Misalnya dengan menggunakan militer, polisi dan termasuk berbagai preman dimanfaatkanuntuk
menteror, menekan sampai mengancam dengan senjata. Perilaku penggunaan kekerasan semacamini
membuat dendamPolitik Orang Melayu
terhadapJakarta.
Bagi penulis peristiwa
politik
Riau bisa dipandang sebagai 'pemberontakar/ terhadap pusatdi
bawah rezim yang represif waktuitu,
Riauberani'melawan'
kehendak Pusat danmendukung'putra
daerah' sebagai calonnya sendiri.Atau
bisa jugakita
tafsirkan sebagai ekspresi kekesalan masyarakat lokal terhadap kesewenang-wenangan pusat2.
Reformasi Dan MenguatnyaPolitik
EtnisitasPolitisasi
etnis
menguatkembali
semenjak reforrnasidigulirkan dan
desentralisasipolitik
dijalankan. SyarifIbrahim Alqadri,
Sosiologdari
Universitas Tanjungpura secara tegas mengatakan bahwa era reformasi yang mengantarkan bangsaini
ke arah keterbukaan,demokratisasi,
otonomi daerah
dan
desentralisasitelah
melahirkan
kembali
dan memperkuat kesadaran ehris. Dan, kesadaran etnis yang bersifat keluar yang melahirkanetno
nasionalisme,dan
keinginan bebas
dari
Penguasaandominasi
dan
ekspioitasih,lu litz r labidCin
.:.tr -,
".1! : e;\?li1^ili:jat'
fti.,re a Nclt1nt 1 Februti 2Ai )
pemerintah pusat. Jika
Alqadri
mengajukan tesisnya bahwa kesadaran etrris melahirkan keinginan bebas dari penguasaan dominasi dan eksploitasi. Maka Arrochman Mardiansyahmembalik
logika
itu
dengan mengatakan bahwa kebangkitan kembali kesadaranpolitik
etnik mengandung keunikan, originalitag kecil sebagai fondasi baru bagi sebuah pengaturanpolitik
yang "adil"
dan " absah"Kerangka
pikir
Mardiansyah patut diberi catatan. sebabrealitaspolitik
menunjukkan bahwa penguatan kesadaranpolitik
etnisitas dibeberapa daerah sama sekali berbeda dantidak
menunjukkan terbangunnya fondasibaru
yang mengarah pada pengaturanpolifik
yang adil. Tetapi,
justru
sebaliknya. Dalam artian menguatnya kesadaranpolitik
etnisitasmemungkinkan terjadinya penggusuran-pengambilalihan-dan
pemonopolian iabatan-jabatan strategis di ranah lokal.Isu Putra Daerah di Kalimantan Barat
semenjak reformasi
digulirkan
di
Kalbarterjadi
kebangkitanpolitik
etnisitas yang diperankanantarelit Dayak dan
Melayu.
Kebangkitandan
keberhasilanetris
Dayak membuat etrris Melayu cemas. Mereka khawatir akan ditinggal-dimusuhi dan dilewati olehorang-orang Dayak
yang
sedangbergerak menuntut supaya
putra
daerah
menjadi pemimpin kepala daerah.Tuntutan
ini
rneskipun padaawal.ya
datangdari
etnis Dayaknam'n
dikalanganMelayu juga
merespon sama. Kesamaan persepsidan tujuan pada
pembuatAkhirnya
dikalangan
elit politik dari
kedua etnis tersebut mernutuskanuntuk
membagi kekuasaan.Khususnya jabatan
bupati
untuk
masing-masing etrris. Jadi, ada semacam power sharing.Dalam
praktekny4
apabila orang Dayak menjadi bupati, maka orang Melayu ditempatkan sebagaiwakilnya-begitu pula
sebaliknya.Hal
ini
sudah terjadi
di
Kab. sintang
danKetapang.
Penjelasan yang sama juga dibenarkan Henk schulte Nordholt dan Gerry van Klinken
(2007) dalam bukunya politik Lokal di lndonesia.Menunttnya:
"semenjak pemilihan Bupati 1999 telah terjadi power sharing antara orang-orang Melayu dan Dayak. Kedua kelompok etnis berhasil mencapai pengertian mengenai daerah kuasa mereka masing-masing. Dalam kabupaten yang mempunyai satu kelompok etnis dominan, bupatinya berasal dari kelompok etnis tersebut. ltulah yang terjadi
di
Bengkayang dan Landak yang didominasi Dayak, dandi
sambas dan pontianak yang didominasi Melayu. Dikabupaten-Mrltrr itabrddin
ji:ratl Stud; Peine ntoha.
t'atltt\ie 3 ii(tnat 1 tebruari 2012
kabupaten dengan komposisi etnis berimbang, misalnya di Ketapang dan Kampuas Hulu, yang
diha rapkan adala:r kepemimpinan campuran".
Semcrrlarii pengeniat
yang
lain
rner-gatakan,bahwa
c-h Sar,ggau, Bengkayang danPot rtiirni,rk
acr
i,ij'-ur.sl vartg belke;nbamg bahrva kalan prsrnsljnlahandipegalg
oleh orang Dayak-Iv4elayu,segali
r-rrusan bisa selesai.Dari
penjelasanirri
jeLas bahwayang
terjadiadalah perirnbar,gal
etnisitas
-iebuah
;olusi polifik
jangka
pendelg
yang
dalarnperjalanannya menemukan beber-apa kendala.
Aml;il
contoh padabulan Oktober
1999, sebelum. penriiiiran Angqota Faksi l-Ilusan Daerahdi
MPR sr:dah a<)a kesepakatanuntuk
memilih dua orang
Melayo
dua
crang Dayak dair
satudarl
e{nis Ctrina. Pembagiandiyakini
seba3,ni relnrina:r jumlah suku dan kekuatan rlasing-masing di Kalbar. Namun apayang ierjadi?
Yang rr.:rpilih ariajahorang Davak Isiarn
di
kalani;an Dayak. Akibatnya, gedung DI]RD di J'rii'rtianak di derno dan nyaris dibakar. Orang Melayu dan Dayak bentrok.Untungnya ketusuhan
ini
dapat dipadamkan dan tidak disebailr,raskan.b.
Isu Putra Daerah di Kalimantan TengahApa
yang terjadidi
Kalbar juga terjadidi
Kaiimantan Tengah (Kalteng). Hanya sajapenguatan
politik
etnisitas di Kalteng dimonopoli oleh etnis Dayak untuk menghalau orangpendatang. Karena
itu
isu putra daerah dikampanyekan secara massif. Halini
terjadi karenaorang-orang Dayak merasa
disingkirkan
secara sistenratis yang notabene'penduduk
asli' Kalteng. Bahkan Chang-orang Dayakdibikin
sedemikian i:upauntuk tinggal
dan menjadi penonton ketika alam dan kampung halaman mereka dijarah oleh pemimpin yang datang dari luar. Karenaitu
ide agar putra daerah menjadi tuan di kampung sendiri menjadi suatukeharusan sejarah.
Implernentasi tentang pentingnya
putra
daerah menjadipemimpin
menyebar begitucepat di kawasan Kalteng. Bahkan masyarakat Dayak dengan gagah perkasa menggugat dan
menolak
eksistensiWarsito
Rusmanmenjadi gubenur Kalteng,
itu
dikarenakan seiaindipaksakan
dari
atas,juga tidak
sesuai dengan aspirasi masyarakat Kalteng. Karenaitu
tampilnya Teras Narang selaku Gubernur Kalteng tidak hanya disanibui dengan suka duka
karena memenuhi
hajak orang Dayak tetapi
juga
merupakan babakan
baru
r:ntukmelebarkar-r penguasaan jabatan-jabatan bupati oleh putra daerah di beberapa kabupaten.
Di
Kota Waringrn Barat (Kobar) geliatputra
daerah sangat kencang diperjuangkan. Hatian Kalteng Post memberitakan: "berikan kesempatan kepada putra daerah Kobar untuk Muhtar llahoddlr!J a $e i StLt d i ?!n t i rt!fl t,.),
\/alunt 1 Nenilr 1 F.h:t)6t; 2C1;.
menjadi
pemimpin
di
daeratrnyasendiri'.
Selanjutnya,"tokoh
masyarakat yang bertemu PangdamMayjen SM
Suu'isrna,meminta agar
mengabulkandan
merestui
keinginanmasyarakat Kobar yang m.enghendaki seorang pemimpin bupati dari putra daerah,'.
Pemaksaan kehenclak
untuk
menampilkan putra daerahdinilai
sangat emosional dan sentimen kcdaerahan sangat menonjoldalam mengikuti ritme
proses-prosespolitik
di
tiagkat lokal.
Keinginanuntuk
menaklukan keku.saan begihr besar pengaruhnya dalam dinamikalokal
di
Ka-lteng. Flanya saja yangperlu
diwaspadai adalahmuncul
petualangpolitik
yang iktrt bermain dengan mengobarkan semangat eraputralaerah.
c.
Isu Putra Daetah di RiauKekalahan
putra
daerah Riau pada masa Orde Barutidak
menyurutkan langkahnyauntuk
tetap rner:'rperjuangkanisu putra
dearah.Isu putra
daerahdi
Riau menjadi bahandiskusi
politik
paling hangat. Bahkan isu putra daerah bukan hanyarnilik
pada tingkatan elit, tapi juga merembes pada tingkatan masyakarat akarrumput.
Eporia masyarakat Riauterjadi ketika berhasil
mendudukkanputra
daerahmenjadi gubernur
pasca rontoknyakekuasaan Soeharto.
Tatkala jabatan gubernur
di
pegangputra
daerah. berlahan-lahantapi
pastiortrng-orang
Riau
mengingirrkanjabatan
bupati.
Sekaranggubemur-bupati
sudah
beradaditangan putra daerah.
Itu pun
dianggap belum puasoleh
gerakan putra daerah akhirnya masukdi
jabatan Camatmaupun
Desa. Ternyata orang Riaujuga
rakus kuasa. Setelahpucuk-pucuk pimpinan secara
vertikal
dikuasai olehputra
daerahnya. Penguasaannyapun terus diperlebar dan dipelbesar dengan target selanjutnya adalah jabatan-jabatan temasukdi
dinas, kabag dan kantor serta meram'bah ke perusahaan-perusahaan swasta pun direbut oleh
mereka.
Gerakan
putra
daerahdi
Riau merupakan gambaran tingginya politisasi'isu
putra daerah'untuk
menguasai semualini
jabatan-jabatan strategisbaik
di
level perner.intahanmaupun
level
swasta. Gerakan
ini
tergolong dahsyat
dalarn
pengelolaan pr:iitik
desentralisasi.tui{rht.ir hrboCdin
h1.i3,'iil.,ir r.i11i! lrJiJrti'iir! !-)i {anah Lokal
't: . uil.irdi i)ene.intahon
itiii.r )€
:j:tl
rt,,t i ,i,britai 2072d.
Isu Penguasaan Sumber Daya EkonomPerkembangan ekonomi pasar berskala global dewasa
ini
telah mendorong berbagaikelompok
masyarakatkembali
bernai.:ngdalam
ikatan tradisi
dan
solidaritas
1'xnglingkupnya
Lebiirkecil. Misalnya
kesukuan, agama, kedaerahandan
berbagai golongan berdasarkan strata ekrnr)mi, mr.rrLcul dan mengeksPresikan tuntutannya tanp;r kompromi, melawan segara objek atau kekrrasaart yairg dianggap rtengangglt kelarrgsungan hidupnya.Untuk kas'.rs Kalimantan Barat yang mayoritas masyarakatnya etnis Dayak telah lama melakukan perlawanan terhadap perusahaarr. Seniimen etnis Dayakrterhadap perusahaan
yang
mengesploitasihutan
sudah
berlangsung.Bahkan perlaw'anamya
pun
denganmenggunakan kekerasarr sebagaimana
ditulis
oleh Praiikno. Periama, melalui pengrusakandan
pembakaran
base t:amp, jembatan darr fasilitas perusahaan oleh masyarakat setemPatketika pemerint;rh daerah Can
PT
Lingga Tejawana tidak peduli dengantuntutan
mereka. Kedua, pembakaran kantor utama, gudang, perumaham karya wan, bengkel, generato; dan alat-alat berat,milik
PI
Bantana Jiaya karenatidak
kunjung merealisasikanjanji
merekaterkait dengan pelibatan warga dalam penanaman sawit dan kredit kepada rnasyarakat.
Karakter keras
orang-orangDayak dalam
mengekspresike.ntuntutarnya
sangatberbeda dengan masyarakat Riau. Perjuangan masyarakat Riau
untuk
mendapatkanhak-hak
ekonomiyang lebih adil dilakukan
dengan cara terorganisirdan
damai. Meskipun peminta:rnnya tidak mudah dikabulkan oleh pemerintah pusat tetapi sematrgat dan tekananlokal terus dilakukan r-ntuk memaksa pusat merealisasikan permintaannya. Hasilnya cukup
mengesankan dalam
RAPBD
Riau 1999 rr,endapat 251rniliar
rneningkat pada tahun 2000menjadi
756
miLiar. Seiring dengan berjalannnyawakhi
di
bararah kepemir'r;iinan sangputra
ciaerah Saleh Djasit pemasukan Riau bertambah besar yakni 3,9triliuan.
f'emasukanini
sangatwajar dan
cukup
berasalcmkarena
Riau
adalah salah satu daerah
kaya sumberdaya alamnya.3.
MenataPolitik
EtnisitasKebangkitan
politik
etnisitasdi
ranah lokal sebagaimana dijelaskandi
atas, tentu sajabutuh
pencermatanyang
lebih
serius. Karenakalau
tidak,
akan terjadi
gesekan dan pertentangan yang maha dahsyatuntuk
lndonesiake
depan. Karenaitu
Indonesia yang Muhlar Hat.drinMergu.iinya politik iJentiraj
ti
ltirnah)urna I |tu d i Pwt rl.tt 2 h s h
Volufie 3 Nam$
l
Ft:Lruoi 2L\12plural dari
sisi etnisitas menimbulkan pertanyaan dapatkar.r masyarakat yang multi-etnikada tanpa konflik yang berarti dikalangan kelompok-kelompok etnis yang berbeda?
Jawahan atas peltanyaan
di
atas adalah demokrasi konsosiasional. Karena demokrasi konsosiasional menyarantan agar semua aktor yang adadi
dalam masyarakat melakukan kerjasama antara etnisitas. Demokrasi konsosiasional mengharapkan berbagai kelompok etnisitu
saling merembes secarateritorial
dangenetika.
Sedangkandari
sudutpuna"n!
politik
Demokrasi konsosiasional berusaha menciptakan suasanaharmonis antar
etrrisdengan menerapkan dua
nilai
penting, yakni. Pertama,tidak
terdapat ousunan kelompokhirarkis
sehinggatidak
ada kelompok yang dominan atau yang
mengeksploitir yianglainnya. Kedua, tetdapat pembagian kekuasaan
politik
yang sama dan semua kelorrpok etrristerwakili secara proporsional di dalam strukur kekuasaan.
Dua
nilai
yang ditawarkan dalam demokrasi konsosiasional tentu saja mernbu hrhkan prasyaratdan
aturan rnain yang harusditaati
oleh semua kornunitas yang begrtuplural
pembilahan sARA-nya
di
beberapalokal. Ada
empat prasyaratmenurut Lijphart
(1992)dalam mempraktekkan demokrasi konsosiasional
di
ranah lokar. pertams, kemampuan dankemauan
untuk
mengakui
bahaya-bahayainstabilitas yang
merupakaninheren
dalam masyarakat yangtingkat
fragmentasi dan polarisasisosiahya ltng$.
Kedua, memerlukanadanya komitmen untuk memerihara nation-state yang ada. Artinya para tokoh masyarakat
harus mempunyai keinginan
untuk
mencegah adanya kemungkinan disintegrasi daerah.Ketiga ada kemampuan
untuk
mengangkat persoalanantar sub
kultur
masing-masingcleaaages
ke tingkat
yanglebih tinggi.
Keempat ada kemampuanunhrk
menempa usahamencari penyelesaian yang tepat guna memenuhi tuntutan dari masing-masing sub
kultur,
dengan ditemukannya aturan main yang jelas serta pada tingkat kelembagaan yang tepat.Aturan main
metupakanhal
yang sangat esensial dalam demokrasi konsosiasional.Adapun
aturan mainnya mencakup: Politics is not a game,it
is a business.Artinya
prosespolitik
hendaknya ditujukanuntuk
mencapaihasif butan untuk
melihat siapa yang kalahdan yang
menang; Agreeto
disagree.Artinya
setiap sub
kultur
harus rnengakui
ada perbedaan yang tajam dalamhal-hal
tertentu, misalnya ideologi, sehingga tidak perlu adapemaksaan dari satu ideologi atas ideologi yang lain; Summit mooting.
yang
dimaksudkandisini
adalah diplomasi pada tingkat puncak. Memang akan ada peranan yang besar dari;r,ruiilrr ; i;lrriaiin
.l Li nal 5.:ttdi Pe meti ntqha
t
y'31!l'n; .1 lL'flor -l it'!,tutri 2012para perrdmpjn, akeur tetapi hal
ini
clilujukan untuk mersdainkonflik
sehingga tidak meluas. Peranan nrereka adalah rirenemukan persafila.ll stlFaya tercapai kr,rnpromi; Proportionality.Artinya
sub-itlltr,r
ak;:ur mr:rn,ueroli:nporsi
kekLrasaantlan
konsekuensi-konsekuensinya sesuaiciengar prr:u,rrsi kekuatan yang
dimiliki;
Depolitization.Altinya,
bahu'a
dalammernt erilta.n
argutren
hendaknya ,rre+nen. tersebuttidak
selalu dirvarnai oleh sentimenpolitik
agar enrosi rnassa clapat clircdarn; Secrecy. Maksudnya aclalah i;ahivapara
tokoh harus nrarnpu rilenrbatasi dan menjaga kerahasiaan clari apa yarlg telah diputuskan tidakperlu
dibawa
iie
masyarakat, dengandemikian
sentimenpolitik
dapat
dikurang-i dannegosiasi mudalr untuk <iilahsanak:rn.
Model
dernokr:,,:;^ konsosiasiorroL ala Arerrdi-rjhatt
(1997) c;rcokuntuk
pengelolaanpoiitik
iclentitas hldoilesia.ke
depan. Tawaranini
trLembuka kebekuandan
sekat-sekatpolitik
prirnordial
sedeurg marakdi
ranahlokal.
Pengadopsian d-emokrasi konsosiasjonalakan merrgrkis pairdangan r:posisi biner yang selarr,a
ini
dijalanlun
oleh paraelit
ultuk
menggapai kekuasaan bisadiminimalisir.
I'olitik
itr"Lisitas yangdi
bangundi
atas fondasipolitik
perberdaan tidak lagi sebagai sesuatu yang terpisah atau dari yanglain
dan masing-masingberdiri
sencliri. Ilorni
K
Bhabha meng:rnjurkar-rterjadi ruang
negosiasi identitascultural yang
rnencakup perjumpaan
dan
pertuakaran
budaya
untuk
lrien6has,:lkanpengakuan timbal-balik.
Tawaran Bhabha
menarik, hanya
sajabelum terbukti.
Sementatatawatan
r-r'endLijhart dengan demokrasi konsosiasional terlepas
dari
cacat bawaarmya sudah teruji dalampenataan
politik
identitas khususnya di Eropa Bara! misalnya di Negara Kanad4 Belgia dan Swis. BahkanVan den
Berghe mengeurukakan bahwa Swis adalah corrtoh terbaik bagi keharmonis:m etnistitas. Selanjutnya dcngarL nada bcrkelarVan
den Berghe mengatakan"jika
negaraini
ticiak ada, maka negaraini perlu
ditemukan". Ia berkata demikian karenakemampuan Swis dalam menata negaranya ya-ng
multi
ehris.KESIMPULAN
Penguatan
politik
etnisitas merupakanpotret
diri
dari
pergulatanpolitik
iL,kal.Sebuah
potret
yang berwajah ganda. Wajah pertamanyaberwujtrd
denganputra
daerah sebagaimana terjadi di Kalimantan Barat, Riau, Papua dan Kalimantan Tengah, tetapi wajahMultar lJabr.iclin
J u n, ! Sit i! i )!.t,at :.ilii a t r. rl
Valarle
i
Netnatl
ilLtuur i 2tii)lainnya dari politik
identitas bisa ber.wujud pada perjuanganuntuk
mendapatkan alokasidana
dari
pcmetintah pusat. Dimana proses desentralisasipotitik
temyatadiiringi
denganisu putra daerah. sebuah isu yang sarat makna dan sangat mengkhawatirkan bukan hanya proses demokrasi lokal akan terancam, tetapi juga menjadi petunjuk mernudarnya semangat nasionalisme.
DAFTAR PUSTAKA
Afan Gaftar.1990. "Teoti Empirik Demokrasi dan Alternatif pemikiran tentang pelaksanaan Demokrasi Pancasila"
dalam
Akhmad Zaini Abar (peny) Beberapa Aspek pembangunan solo: RamadhaniCornelis
Lay.
2003.'otonomi
Daerahdan
Keindonesiaan' dalamA.
GaffarKadm
(ed)Kompleksitas Persoalan otonomi Daerah
di
htdonesia. yagyakarta, pustaka pelajardan Ilmu
Pemerintahan, UGM,
Donald
L
Morowitz.1998. "Demokrasi Pada Masyarakat Majemuk,,,. Dalam Larry Diamonddan Mars F Plattner. Nasionalisme, Konflik Etnik dan DemolcrasiBandung. ITB pres.
Gerry Van K1inken.2007. Peran Kota
Kecil.lakatta.YOl
dan KITLV.Henk s Nordholt. 2007. "Less state, more Demo cracy"
.
Kutiah LJmum yang diselenggarakanlp
dan 52 PLOD di Fisipol UGM pada tanggal2T April.Henk schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken. 2007. Potitik Lokal di Indonesia. Jakarta.
yol.
Jumadi.
2003. "FenomenaEtnis Dalam
ProsesRekruitmen
Elit politik
[,okal:
KasusPemilihan
Bupati
danwakil
Bupati Kabupaten Ketapang Kalbar 2000-2005',. yogyakarta.Tesis 52 UGM.
Kemala Chandakirana. 1989. "Geertz
da.
Masalah Kesukuan". Jakarla. prisma No. 2/19g9.Lucian
w
Pye. 1993. "Pengantar". Dalam Harold R Isaacs. pemujaan Terhadap Kelompok Etnis Jakarta YOI.Syamsuddin Haris (ed.). 1999. Indonesla di Ambang perecahan. Jakarta. Erlangga.
Siti Zuhro. 1,999. "Riau dan Otonomi Daerah". Dalam Syamsuddin Haris (e,1.,). lndonesia di
Amb ang P erpecahan, J akatta. Erlangga.
Lrbed Abdilah.2002. Politik ldentitas Etnis. Magelang. IndonesiaTera
Muhtar HabodCin