• Tidak ada hasil yang ditemukan

Conflict management of bulls (Bos javanicus d’Alton 1832) conservation with community in Meru Betiri National Park and Alas Purwo National Park East Java

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Conflict management of bulls (Bos javanicus d’Alton 1832) conservation with community in Meru Betiri National Park and Alas Purwo National Park East Java"

Copied!
481
0
0

Teks penuh

(1)

TAMAN NASIONAL MERU BETIRI DAN TAMAN NASIONAL

ALAS PURWO JAWA TIMUR

R. GARSETIASIH

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Manajemen Konflik Konservasi Banteng (Bos javanicus d’Alton1832) Dengan Masyarakat di Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur” adalah karya saya dengan arahan komsi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini

Bogor, Juli 2012

(4)
(5)

with Community in Meru Betiri National Park and Alas Purwo National Park East Java. Supervised by HADI S ALIKODRA as a chairman, RINEKSO SOEKMADI and M BISMARK as a members

Study on conflict management of bulls (Bos javanicus d’Alton 1832) conservation with community in Meru Betiri National Park and Alas Purwo National Park East Java was conducted on 2008 to 2010. The aims of study were to analyze the potency of habitat to know carrying capacity of bulls feeding ground, perception and social economic of community around national park and to identify stakeholders who have conflict with bulls conservation .The main aim of the study to formulate conservation strategy of bulls with used collaborative management as solution management of wildlife conflict. The method of study were used food source productivity and carrying capacity analysis, stakeholders grid, analysis hierarchy process (AHP) and SWOT analysis. The result showed that the main stakeholders who have interested on bulls management in Meru Betiri National Park are plantation company (MBNT), Production Forest of Perum Parhutani (APNP), community around national park, NGO KAIL and national park management. The research showed that the carrying capacity of feeding ground relatively low to support bulls population in national park. How ever the community perception to national park was very positive, unfortunately the perception of the community to the bulls benefit in the park was negative. The level income of community around MBNP were between Rp.332.000,- to Rp.617.000,- per month and Rp. 885.000,- to Rp.1.445.000,- at APNP. The model of wildlife conflict management solution is co-management by develop program activity and level of co-management existing and hope i.e habitat management of grazing area (consultative and cooperative), development of captive breeding (instructive and informative), ecotourism (consultative and advocacy) and development of medicine and fruits tree (cooperative and advocacy).

(6)
(7)

Dengan Masyarakat Di Taman Nasional Meru Betiri Dan Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur

Dibimbing oleh HADI S. ALIKODRA sebagai ketua komisi pembimbing, RINEKSO SOEKMADI, dan M BISMARK sebagai anggota komisi pembimbing

Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) dan Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) merupakan kawasan yang dilindungi karena mempunyai potensi keanekaragaman hayati yang tinggi diantaranya berfungsi sebagai habitat banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) . Populasi banteng di ke dua taman nasional tersebut akhir-akhir ini mengalami ancaman karena meningkatnya perburuan. Di TNMB, sebagian besar perburuan terjadi di luar kawasan taman nasional yaitu di kawasan Perkebunan dan sekitarnya, dan di TNAP terjadi di kawasan Hutan Produksi Perum Perhutani yang letaknya berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional. Di luar TN banteng merusak dan memakan tanaman pertanian masyarakat, tanaman perkebunan dan tanaman di kawasan Perum Perhutani sehingga masyarakat mengalami kerugian antara 30% sampai 50% dari hasil panennya. Perburuan juga terjadi pada saat – saat hari besar keagamaan atau saat musim hajatan. Adanya gangguan banteng pada lahan masyarakat menimbulkan perbedaan kepentingan dan mengakibatkan konflik antara banteng dan masyarakat serta masyarakat dan pengelola TN. Permasalahan konflik yang dicirikan oleh meningkatnya perburuan perlu segera diselesaikan dalam rangka meminimalisir terjadinya ancaman yang lebih besar terhadap banteng. Salah satu solusi penyelesaian konflik konservasi banteng adalah melalui pengelolaan secara kolaboratif dengan melibatkan pihak-pihak seperti masyarakat sekitar kawasan serta stakeholders lainnya yang terkait dengan pengelolaan banteng. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan strategi konservasi banteng dengan pendekatan kolaboratif dengan tujuan antaranya menganalisis dukungan habitat banteng di dalam dan di luar kawasan; menganalisis aspek sosial, ekonomi serta persepsi masyarakat sekitar kawasan dari manfaat taman nasional dan banteng; menganalisis pengaruh dan kepentingan stakeholders terhadap nilai konservasi taman nasional dan banteng; serta menganalisis tingkat co-management konservasi banteng faktual dan harapan.

(8)

aktor dan program kegiatan . Penentuan strategi dalam mengimplementasikan program kegiatan dilakukan melalui analisis SWOT serta analisis tingkat co-management untuk masing-masing program kegiatan berdasarkan karakteristik tingkat atau level co-management .

Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi hijauan pakan di padang penggembalaan dalam kawasan TNMB dan TNAP secara kuantitas maupun kualitas tidak dapat mendukung populasi banteng terutama pada saat musim kemarau. Hal tersebut menyebabkan banteng ke luar kawasan dan memakan tanaman pertanian, perkebunan dan tanaman kehutanan yang dikelola oleh masyarakat, perkebunan maupun Perum Perhutani. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan TN termasuk rendah yang ditunjukkan oleh kecilnya pendapatan per bulan yang nilainya dibawah Upah Minimal Regional (UMR) setempat . Persepsi masyarakat terhadap manfaat banteng rendah, lebih dari 60 % masyarakat menganggap bahwa banteng tidak mempunyai manfaat. Hal ini berhubungan dengan tidak diperbolehkannya masyarakat memanfaatkan banteng, karena banteng dilindungi. Berdasarkan hasil analisis pemetaan stakeholders diketahui bahwa

stakeholders yang mempunyai pengaruh dan kepentingan terhadap pengelolaan taman nasional dan banteng yaitu BTNMB , LSM KAIL, masyarakat dan Perkebunan Bandealit, sedangkan di TNAP yaitu BTNAP, LSM binaan KAIL, masyarakat dan Perum Perhutani.

Stakeholders yang tidak terkait langsung dalam konflik tetapi dapat berkontribusi dalam pengelolaan kolaboratif konservasi banteng yaitu Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB), Dinas Peternakan, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan dan Dinas Pariwisata. Dari hasil AHP dan SWOT serta hasil analisis berdasarkan survey lapangan diketahui bahwa di TNAP dan TNMB dalam pengelolaan kolaborasi konservasi banteng yang akan dibangun, faktor yang menjadi urutan pilihan prioritas yaitu faktor ekologi dengan kegiatan prioritas yaitu peningkatan kualitas habitat. Prioritas program yang dapat dikolaborasikan dalam pengelolaan banteng di TNMB dan TNAP secara berurutan yaitu: (1) peningkatan kualitas habitat dengan tingkat kolaborasi faktual dan harapan secara berurutan yaitu konsultatif dan kooperatif dengan strategi kegiatan pengamanan kawasan, pembinaan habitat dan penyuluhan; (2) pengembangan penangkaran tingkat kolaborasi faktual dan harapan yaitu instruktif dan informatif dengan strategi prioritas kegiatan pemanfaatan sumberdaya banteng, teknologi dan pasar, pembuatan demplot, kerjasama para pihak; (3) pengembangan ekowisata tingkat kolaborasi faktual dan harapan yaitu konsultatif dan advokatif dengan strategi kegiatan pembangunan sarpras, peningkatan pendanaan, koordinasi dan penyamaan persepsi; (4) pengembangan tanaman obat dan buah tingkat kolaborasi faktual dan harapan yaitu kooperatif dan advokatif dengan strategi kegiatan pemanfaatan SDA, diversifikasi jenis tanaman, kerjasama para pihak.

(9)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

javanicus

d’Alton

1832) DENGAN MASYARAKAT DI

TAMAN NASIONAL MERU BETIRI DAN TAMAN NASIONAL

ALAS PURWO JAWA TIMUR

R. GARSETIASIH

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

(12)

Dosen penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS.

Prof. Dr. Ir. Gono Semiadi, M.Sc.

Dosen penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. R Iman Santoso, M.Sc.

Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS.

(13)

Nama : R. Garsetiasih NRP : E.361070054

Program Studi : Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT)

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. DR. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, MS Ketua

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F Anggota

Prof. Dr. M. Bismark, MS Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi

Konservasi Biodiversitas Tropika

Prof. Dr. Ir. Ervizal A.M Zuhud, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(14)
(15)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan

kehendak dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi dengan

judul “Manajemen Konflik Konservasi Banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) Dengan Masyarakat Di Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Alas

Purwo Jawa Timur”. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

gelar doktor pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua

pihak yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penyelesaian

disertasi ini, khususnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS selaku

ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F dan Bapak

Prof Ris. Dr. M. Bismark sebagai anggota komisi pembimbing. Ucapan terima

kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Ervizal AM Amzu, MS selaku Ketua

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Institut Pertanian Bogor dan

Bapak Dr. Ir. Machmud Thohari, DEA.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Herry

Subagja, MSc dan Bapak Ir. Hartono, MSc beserta staf TNMB dan TNAP yang

telah banyak membantu selama penulis melaksanakan penelitian. Ucapan yang

sama penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Adi Susmianto, MSc selaku Kepala

Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Bapak Ir. Anwar, MSc , Bapak Kepala

Badan Litbang Kehutanan Kementerian Kehutanan Dr. Iman Santoso dan Dr.

Tachir Fathoni yang telah memberi ijin dan membantu penulis selama mengikuti

pendidikan pada program doktor di Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada orang

tua R. Garsoeroso Bratadidjaya (Almarhum) dan Ibunda tercinta Hj Kartini Aman

Ardiwinata yang tidak pernah kenal lelah memberikan doa kepada penulis untuk

kelancaran studi ini. Secara khusus penulis ucapkan terima kasih kepada suami

tercinta Ir. Toni Kartiman, MP dan anakku tersayang Isti Utami yang selalu

(16)

ii Ucapan yang sama penulis haturkan kepada kakak-kakak dan adik-adik dari

penulis yang selalu memberikan doa untuk kelancaran penyelesaian studi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih pada teman-teman di Kelompok Peneliti

Konservasi Sumberdaya Alam, Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi,

teman-teman program S3 KVT serta rekan dan handai taulan semua yang selalu

memberikan dorongan, semangat dan membantu penulis dalam penyelesaian

program studi doktor ini, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan

teman-teman semua. Amin.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu

masukan dan saran dari pihak-pihak yang berhubungan dengan tema disertasi ini

sangat penulis harapkan untuk hasil yang lebih baik. Penulis berharap semoga

disertasi ini bermanfaat bagi pengelolaan taman nasional dalam mengatasi konflik

satwaliar dan berguna bagi keilmuan di bidang manajemen satwaliar. Amin Yaa

Rabbal ‘Alamin.

Bogor, Juni 2012

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Purwakarta, Jawa Barat pada tanggal 22 Januari

1963, penulis merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara dari pasangan

Bapak R. Garsoeroso Bratadidjaya (Almarhum) dan Ibu Hj Kartini Aman

Ardiwinata. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri

Purwaganda Kabupaten Purwakarta, Sekolah Menengah Pertama di SMPN I

Purwakarta dan Sekolah Menengah Atas di SMAN I Purwakarta. Pada tahun 1983

penulis diterima di Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang dan

lulus pada tahun 1987.

Penulis menikah dengan Ir. Toni Kartiman, MP pada tahun 1990, dan

dikaruniai satu orang putri yaitu Isti Utami, yang lahir pada tanggal 28 Nopember

1991 . Sejak tahun 1987 sampai tahun 1993 penulis bekerja pada Balai Penelitian

Kehutanan Kupang sebagai peneliti bidang konservasi sumberdaya hutan dan

tahun 1993 penulis mendapat tugas belajar di Sekolah Pasca Sarjana Universitas

Gadjah Mada jurusan Ilmu Kehutanan dan selesai pada tahun 1996. Pada tahun

1997 penulis di alih tugaskan pada Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam di

Bogor yang sekarang berganti nama institusinya menjadi Pusat Litbang

Konservasi dan Rehabilitasi.

Pada tahun 2007 penulis mendapat kesempatan dari Badan Litbang

Kehutanan, Kementerian Kehutanan, untuk melanjutkan pendidikan S3 melalui

(18)
(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran ... 5

1.3. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian ... 9

1.4. Tujuan Penelitian ... 11

1.5. Manfaat Penelitian ... 12

1.6. Kebaruan (Novelty) ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Bioekologi Banteng ... 13

2.1.1. Klasifikasi Banteng (Bos javanicus) ... 13

2.1.2. Deskripsi Banteng ... 13

2.1.3. Populasi dan Penyebaran Banteng ... 14

2.1.4. Habitat ... 14

2.2. Taman Nasional ... 15

2.3. Masyarakat Sekitar Taman Nasional ... 17

2.4. Konflik dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan ... 19

2.5. Manajemen Kolaboratif ... 22

2.6. Pembangunan Berkelanjutan ... 27

2.7. Analisis Kebijakan ... 29

2.8. Analysis Hierarchy Process (AHP) ... 30

2.9. Analysis SWOT ... 31

2.10. Contoh Penyelesaian Konflik dengan Co-management di Luar Negeri ... 33

III. METODE PENELITIAN ... 36

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36

3.2. Batasan Studi ... 37

3.3. Jenis dan Sumber Data ... 38

3.4. Cara Pengumpulan Data ... 39

3.5. Teknik Pengambilan Sampel Responden ... 40

3.6. Analisis Data ... 41

(20)

3.6.2. Analisis Daya Dukung Habitat ... 44

3.6.3. Sebaran Banteng ... 46

3.6.4. Analisis Sosial, Ekonomi dan Persepsi Masyarakat ... 46

3.6.5. Analisis Kelembagaan Kolaboratif ... 47

3.6.6. Analisis SWOT ... 49

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 53

4.1. Kawasan Taman Nasional Alas Purwo ... 53

4.1.1. Sejarah Kawasan TNAP ... 53

4.1.2. Letak dan Luas ... 54

4.1.3. Iklim dan Topografi ... 54

4.1.4. Keragaman Ekosistem ... 55

4.1.5. Keragaman Fauna ... 55

4.1.6. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat ... 56

4.1.7. Aksesibilitas ... 56

4.2. Kawasan Taman Nasional Meru Betiri ... 57

4.2.1. Sejarah Kawasan TNMB ... 57

4.2.2. Letak dan Luas ... 58

4.2.3. Topografi ... 59

4.2.4. Tipe Iklim ... 59

4.2.5. Keragaman Ekosistem ... 60

4.2.6. Keragaman Fauna ... 62

4.2.7. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat ... 63

4.2.8. Aksesibilitas ... 64

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 65

5.1. Dukungan Habitat Banteng di Dalam dan di Luar Kawasan TN Alas Puro dan TN Meru Betiri ... 65

5.1.1. Vegetasi dan Produktivitas Hijauan Pakan ... 65

5.1.2. Nilai Kandungan Gizi dan Palatabilitas Hijauan Pakan ... 70

5.1.3. Populasi dan Daya Dukung ... 74

5.1.4. Sebaran Banteng TNAP dan TNMB ... 80

5.2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Kawasan TNAP dan TNMB ... 85

5.2.1. Kelas Umur ... 85

5.2.2. Tingkat Pendidikan Responden ... 86

5.2.3. Luas Lahan Garapan ... 88

5.2.4. Gangguan Satwaliar ... 89

(21)

5.2.6. Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat Taman Nasional

dan Banteng ... 99

5.2.6.1. Persepsi Masyarakat Terhadap Taman Nasional .. 99

5.2.6.2. Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat Banteng . 101 5.2.7. Faktor-Faktor Penyebab Konflik ... 102

5.3. Pengaruh dan Kepentingan Stakeholder terhadap Konservasi Taman Nasional dan Banteng ... 105

5.3.1. Pemetaan Stakeholder di TNAP ... 105

5.3.2. Peran Stakeholder di TNAP ... 106

5.3.3. Pemetaan Stakeholder di TNMB ... 108

5.3.4. Peran Stakeholder TNMB ... 110

5.4. Manajemen Kolaborasi dalam Upaya Konservasi Banteng ... 112

5.4.1. Prioritas Kegiatan dan Bentuk Pengelolaan Kolaborasi Banteng TNAP ... 112

5.4.2. Prioritas Kegiatan dan Bentuk Pengelolaan Kolaborasi Banteng di TNMB ... 116

5.4.3. Strategi dalam Implementasi Program Kegiatan ... 120

5.4.3.1. Strategi Implementasi Program Kegiatan Peningkatan Kualitas Habitat ... 123

5.4.3.2. Strategi Implementasi Program Kegiatan Pengembangan Penangkaran ... 127

5.4.3.3. Strategi Implementasi Program Kegiatan Pengembangan Ekowisata ... 130

5.4.3.4. Strategi Implementasi Program Kegiatan Pengembangan Tanaman Obat dan Buah-buahan . 134 5.4.4. Organisasi Pengelolaan TNAP dan TNMB dan Lembaga Pendukung ... 137

5.4.5. Pengembangan Co-management dalam Konservasi Banteng ... 140

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 157

6.1. Simpulan ... 157

6.2. Saran ... 159

DAFTAR PUSTAKA ... 160

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 169

(22)
(23)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Jenis dan sumber data ... 38 Tabel 2. Jumlah sampel responden dan stakeholder di lokasi penelitian ... 41 Tabel 3. Matriks resultante posisi masing-masing stakeholder pada kuadran 48

Tabel 4. Skala perbandingan nilai dan definisi pendapat kualitatif ... 49 Tabel 5. Matriks SWOT dan Kemungkingan Strateginya ... 50 Tabel 6 Produktivitas hijauan pakan banteng di Sumbergedang pada

musim hujan dan kemarau ... 66 Tabel 7. Produktivitas hijauan pakan banteng di Sadengan pada musim

hujan dan kemarau ... 66 Tabel 8. Produktivitas hijauan pakan banteng di Padang Perumputan

Pringtali TNMB ... 68

Tabel 9. Produktivitas hijauan pakan banteng di Kebun Pantai Perkebuanan Bandealit ... 68

Tabel 10. Kandungan nutrisi pakan banteng di TNAP ... 70 Tabel 11. Kandungan nutrisi pakan banteng di kawasan TNMB perkebunan

Bandealit ... 72

Tabel 12. Proporsi jenis pakan rumput yang terdapat dalam feses banteng ... 73 Tabel 13. Palatabilitas jenis hijauan pakan banteng di TNMB ... 73 Tabel 14. Fluktuasi populasi banteng di padang penggembalaan sadengan

TNAP ... 75 Tabel 15. Kerugian akibat gangguan banteng di TNMB per hektar lahan ... 92 Tabel 16. Pendapatan pesanggem di sekitar TNAP per tahun per 0,25 ha ... 94 Tabel 17. Pendapatan petani pesanggem di sekitar TNMB per tahun ... 97

Tabel 18. Tingkat potensi konflik dan masyarakat di TNMB dan TNAP ... 104 Tabel 19. Analisis SWOT pelaksanaan kolaborasi empat progran kegiatan

konservasi banteng di TNAP dan TNMB ... 121

Tabel 20. Program kegiatan, bentuk manajemen kolaborasi dan stakeholder

terkait ... 122

Tabel 21. Kriteria dan karakteristik, peran pemerintah dan stakeholders dalam lima tingkatan co-management konservasi banteng ... 141 Tabel 22. Kondisi eksisting dan harapan tingkat co-management dalam

program kegiatan konservasi banteng ... 144 Tabel 23. Matrik teknis pengelolaan dalam kelembagaan co-management di

TNMB dan TNAP ... 154

(24)
(25)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka teoritis penelitian (Coser, 1956; Fisher et al, 2001; Knight dan Tighe, 2003; dan NRTEE, 1999) ... 8

Gambar 2. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian (Fisher et al. 2001; Alikodra, 2009; Suporahardjo, 2005. Mod.) ... 9

Gambar 3. Perumusan masalah penelitian (Alikodra 1990; Claridge dan O’Callaghan 1995; Suporahardjo 2005; Nikijuluw 2002) ... 10

Gambar 4. Level hierarki co-management (Nikijuluw, 2002) ... 26 Gambar 5. Arah kerja Co-management (Borrini-Feyerabend; 1996) ... 26 Gambar 6. Kuadran faktor eksternal dan faktor internal ... 32

Gambar 7. Lokasi penelitian TN Meru Betiri ... 36

Gambar 8. Lokasi penelitian TN Alas Purwo ... 37

Gambar 9. Struktur Level Hirarki dengan Metode Analisis AHP dan SWOT ... 42

Gambar 10. Diagram alir informasi ... 42

Gambar 11. Metode analisis data ... 43

Gambar 12. Matrik hasil analisis stakeholder (Sumber : Suporaharjo, 2005 dan Reed et al. 2009) ... 47

Gambar 13. Grafik dinamika populasi banteng di TNAP ... 75

Gambar 14. Grafik dinamika populasi banteng di Kebun Pantai Bandealit ... 77

Gambar 15. Banteng induk dan anak mati kena jebakan lubang ... 78

Gambar 16. Banteng dalam aktivitas kawin di Kebun Pantai Bandealit... 80

Gambar 17. Peta sebaran banteng di sekitar kawasan TNAP ... 81

Gambar 18. Home range Banteng Bos javanicus pada kawasan hutan produksi (Murdyatmaka, 2008) ... 81

Gambar 19. Penyebaran banteng di Kebun Pantai Bandealit TNMB ... 82

Gambar 20. Sungai tempat minum banteng ... 84

Gambar 21. Sebaran dan tempat tidur banteng di Kebun Pantai Bandealit TN Meru Betiri ... 84

Gambar 22. Persentase distribusi kelas umur ... 85

Gambar 23. Persentase distribusi tingkat pendidikan ... 86

Gambar 24. Persentase distribusi luas lahan garapan... 88

(26)

Gambar 26. Persentase tingkat gangguan satwa ... 91

Gambar 27. Nilai produktivitas lahan garapan per 0,25 ha di lokasi PHBM sekitar TNAP ... 93

Gambar 28. Persentase distribusi jenis komoditas tanaman sekitar TNMB ... 96

Gambar 29. Persentase persepsi masyarakat terhadap manfaat taman nasional ... 99

Gambar 30. Persentase persepsi masyarakat terhadap manfaat Banteng ... 101

Gambar 31. Areal Perum Perhutani (HP) yang berbatasan langsung dengan TN Alas Purwo ... 105

Gambar 32. Matriks resultante hasil analisis stakeholder di TNAP ... 106

Gambar 33. Matriks resultante hasil analisis stakeholder di TNMB ... 110

Gambar 34. Struktur hirarki pengelolaan kolaboratif konservasi banteng di TNAP (Mod. Saaty, 1993) ... 112

Gambar 35. Tingkat peranan aktor terhadap pelaksanaan program kegiatan dalam rangka konservasi banteng di TNAP... 113

Gambar 36. Prioritas bentuk pengelolaan kolaboratif dalam konservasi banteng di TNAP ... 115

Gambar 37. Struktur hierarki pengelolaan kolaborasi banteng di TNMB (Mod. Saaty, 1993) ... 117

Gambar 38. Prioritas bentuk pengelolaan kolaboratif banteng di TNMB ... 118

Gambar 39. Diagram matrik space peningkatan kualitas habitat banteng ... 123

Gambar 40. Diagram matrik space pengembangan penangkaran... 127

Gambar 41 Diagram matrik space pengembangan ekowisata ... 130

Gambar 42. Diagram matrik space pengembangan tanaman obat dan buah .. 134

(27)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Panduan wawancara (Kuesioner) ... 170

Lampiran 2. Daftar pertanyaan dan tabel skor hasil identifikasi dan pemetaan stakeholder ... 174 Lampiran 3. Daftar kuesioner Analisis Hierarki Proses ... 178

Lampiran 4. Analisa Vegetasi di Blok Sadengan dan Sumbergedang, TNAP ... 195

Lampiran 5. Analisis Statistik Kandungan Nutrisi Pakan di Dalam dan di Luar Kawasan ... 197

Lampiran 6. Gambar histrogram hasil analisis hierarki proses Perumperhutani di TN Alas Purwo ... 200

Lampiran 7. Gambar histrogram hasil analisis hierarki proses Perkebunan di TN Meru Betiri ... 205

Lampiran 8. Faktor-faktor strategis internal dan eksternal dalam analisis SWOT ... 210

Lampiran 9. Matrik SWOT peningkatan kualitas habitat banteng ... 212

Lampiran 10. Matrik SWOT pengembangan penangkaran ... 213

Lampiran 11. Matrik SWOT pengembangan ekowisata ... 214

Lampiran 12. Matrik SWOT pengembangan tanaman obat dan buah ... 215

Lampiran 13. Stakeholder terkait dalam manajemen kolaboratif banteng dan peluang kontribusinya di TNAP dan TNMB ... 216

Lampiran 14. Stakeholder pendukung pengelolaan TNAP dan TNMB tahap pengembangan program kegiatan ... 218

(28)
(29)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Degradasi ekosistem hutan dengan laju penurunan dalam kurun waktu

1990-2000 sebesar 1,6 juta hektar per tahun menyebabkan penurunan kualitas

dan luasan habitat satwaliar, dampaknya berlanjut terhadap populasi satwaliar

yang terus menurun (Bismark et al. 2003). Jika keadaan ini terus dibiarkan akan berakibat buruk terhadap kelestarian plasma nutfah hidupan liar. Pemerintah

Indonesia sejak tahun 1974 telah memperhatikan masalah konservasi alam

termasuk kelestarian plasma nutfah yang kegiatannya diawali dengan

dibentuknya Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam tahun 1971 dibawah

Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian. Direktorat Perlindungan

dan Pengawetan Alam tersebut selanjutnya menyusun rencana pengembangan dan

penetapan kawasan-kawasan konservasi di Indonesia dengan bantuan FAO/

UNDP (Food and Agriculture Organization/United Nation Development Programme) dan usaha penyelamatan satwaliar yang terancam kepunahan atas bantuan WWF (World Wildlife Fund for Nature) (Alikodra 1990).

Upaya penetapan jenis-jenis satwa yang dilindungi hingga usaha

perlindungan terhadap satwaliar dan ekosistemnya ditindaklanjuti dengan

ditetapkannya lima taman nasional pada tahun 1981 yaitu TN Baluran, TN Ujung

Kulon, TN Leuseur, TN Gunung Gede Pangrango, dan TN Komodo. Secara

keseluruhan pemerintah telah menetapkan 535 lokasi kawasan konservasi

dengan luas 28.260150,56 ha, luasan tersebut meningkat dari sebelumnya yang

hanya 23.210.348,57 ha. Dari luasan yang ada diantaranya 57,9% mempunyai

status sebagai taman nasional (Ditjen PHKA 2007).

Hingga tahun 2007, kawasan yang ditetapkan sebagai taman nasional

berjumlah 50 Unit mencakup luas 16.384.594,45 ha (Ditjen PHKA 2007).

Kawasan taman nasional ditetapkan berdasarkan kriteria IUCN (1994) adalah

kawasan luas relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam yang menonjol

dengan kepentingan pelestariaan yang tinggi, mempunyai potensi rekreasi besar,

mudah dicapai oleh pengunjung dan bermanfaat bagi wilayah tersebut.

(30)

penetapan taman nasional yaitu: a. harus mempunyai luas yang cukup untuk

menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami; b. memiliki sumberdaya

alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan

ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami; c. memiliki satu atau

beberapa ekosistem yang masih utuh; d. memiliki keadaan alam yang asli dan

alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam; e. merupakan kawasan yang

dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain

karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan ketergantungan penduduk

sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya

alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.

Penetapan Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) tahun 1993 dan Taman

Nasional Meru Betiri (TNMB) tahun 1997 adalah berdasarkan potensi ekosistem,

flora dan fauna langka dilindungi yang ada dalam kawasan taman nasional tersebut,

diantaranya habitat dan populasi banteng (Bos javanicus d’Alton 1832). Banteng masuk dalam ordo Artiodactyla, family Bovidae, genus Bos dan species Bos javanicus d’Alton 1832. Banteng dinyatakan IUCN (2008) sebagai satwa dalam katagori genting (endangered) yaitu populasi di alam berada pada tingkat resiko kepunahan sangat tinggi , jika tidak ada usaha penyelamatan habitat dan

populasinya. Secara ekologis banteng berperan penting dalam sistem regenerasi

vegetasi ekosistem hutan, melalui buah dan biji tumbuhan yang dimakan dan

disebarkan melalui fesesnya. Manfaat banteng lainnya sebagai sumber plasma

nutfah untuk pengembangan dan pemurnian sapi bali melalui perkawinan silang

dengan banteng liar sehingga akan meningkatkan ketahanan dan nilai- nilai

keunggulan (Alikodra 2011).

Keterancaman populasi dan habitat banteng disebabkan sebarannya yang

terbatas hanya pada beberapa kawasan konservasi seperti TN Meru Betiri, TN

Baluran, TN Alas Purwo, TN Ujung Kulon, dan CA Leuweung Sancang di Jawa,

serta TN Kutai dan TN Kayan Mentarang di Kalimantan. Habitat banteng di

kawasan konservasi mengalami degradasi sekitar 17% sampai 30%. Populasinya

mengalami penurunan yang cukup drastis seperti di TN Baluran jumlah populasi

(31)

69 ekor (BTNMB 2009), di TNAP tahun 2004 sebanyak 340 ekor, tahun 2006

tinggal 163 ekor (BTNAP 2006). Banteng di Jawa masuk dalam sub spesies Bos javanicus javanicus dan di Kalimantan Bos javanicus lowi ( Lydekker 1912, diacu dalam Alikodra 1983).

Banteng sebagai satwa herbivora yang lebih condong sebagai pemakan

rumput (grazer) dibanding sebagai pemakan semak (browser) sangat membutuhkan padang penggembalaan sebagai habitatnya (Alikodra 1983). Habitat banteng di

kawasan konservasi sebagian besar sudah mengalami penurunan yang disebabkan

oleh pembukaan lahan, adanya enclave dan masuknya tumbuhan invasive species.

Invasi dari jenis invasif seperti kirinyuh (Chromolaena odorata), kacangan (Cassia tora), telean (Lantana camara) dan Acacia nilotica telah menginvasi padang penggembalaan banteng lebih dari 50%, seperti yang terjadi di TNMB, TNAP,

TNUK dan TN Baluran, sehingga keberadaan populasi banteng terancam karena

kurangnya ketersediaan pakan.

Banteng telah dilindungi sejak tahun 1931 dan dipertegas dengan PP No.

7 tahun 1999 karena keberadaan populasinya yang terancam kepunahan.

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya juga menjadi landasan pokok untuk meningkatkan

upaya perlindungan keanekaragaman hayati dan arahan pemanfaatan yang lestari.

Upaya perlindungan terhadap keanekaragaman hayati melalui peraturan

perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah Cq Kementerian Kehutanan ternyata

belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sehingga ancaman terhadap satwaliar

beserta ekosistemnya termasuk banteng terus meningkat. Ancaman tersebut muncul

karena dorongan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat yang sejatinya bertumpu

pada sumberdaya hutan di sekitarnya. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang hidup

di desa-desa sekitar taman nasional umumnya masih di bawah UMR (Upah Minimum

Regional) dan sebagian besar hidup dalam kemiskinan sehingga mendorong mereka

untuk melakukan perburuan dan penebangan pohon secara illegal (Alikodra 2011). Pengelolaan kawasan konservasi, termasuk taman nasional seringkali memicu

terjadinya konflik dengan masyarakat. Terutama karena adanya keterbatasan

(32)

kawasan konservasi ke lahan masyarakat seperti terjadi di sekitar TN Way Kambas,

TN Gunung Leuseur, TN Tesso Nilo dan TN Bukit Barisan Selatan (Alikodra 2011).

Indikasi adanya konflik dalam konservasi banteng terjadi di TNMB dan

TNAP. Banteng sebagai satwaliar yang dilindungi, tetapi masyarakat ingin

memanfaatkan banteng dan habitatnya untuk meningkatkan ekonomi yang masih

rendah karena keterbatasan lahan khususnya lahan untuk kegiatan bertani yang

mereka garap. Konflik meningkat karena dipicu oleh keluarnya banteng dari

kawasan taman nasional dan masuk ke dalam areal perkebunan Bandealit di TNMB

dan kawasan Perum Perhutani di TNAP, serta merusak tanaman yang ada pada kedua

lokasi tersebut. Keluarnya banteng dari taman nasional diduga karena sumber pakan

di dalam kawasan tidak dapat memenuhi kebutuhan banteng baik secara kualitas

maupun kuantitas. Keluarnya banteng mengganggu tanaman masyarakat dan

menyebabkan konflik yang diindikasikan dengan peningkatan perburuan.

Konflik merupakan suatu perwujudan perbedaan cara pandang antara

berbagai pihak terhadap obyek yang sama (Wulan et al. 2004). Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki atau merasa memiliki

sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher et al. 2001). Konflik antara manusia dan satwaliar terjadi akibat sejumlah interaksi negatif baik langsung maupun tidak

langsung antara manusia dengan satwaliar.

Keberhasilan pengelolaan taman nasional sangat tergantung pada dukungan

berupa partisipasi aktif dan penghargaan terhadap nilai sumberdaya hutan oleh

masyarakat sekitar. Apabila masyarakat memandang taman nasional sebagai faktor

pembatas, maka masyarakat tersebut dapat menggagalkan program dan upaya

konservasi yang diindikasikan dengan terjadinya konflik. Namun jika upaya

pelestarian dianggap sebagai sesuatu hal yang memberi manfaat, maka masyarakat

setempat akan melindungi kawasan tersebut (MacKinnon et al. 1993). Sehingga arah pengelolaan taman nasional termasuk spesies di dalamnya harus dapat

memberikan petunjuk model kemanfaatan bagi masyarakat sekitarnya.

Taman Nasional dapat dimanfaatkan dalam bentuk ekowisata, pemanfaatan

plasma nutfah sebagai sumber genetik dan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Dalam

pengelolaan kawasan yang dilindungi sangat memungkinkan dilakukan pengelolaan

(33)

tanaman obat dalam meningkatkan pendapatan tanpa mengancam biodivesitas

(Fisher 1995).Di TNMB ditemukan tidak kurang 239 jenis tanaman yang terbagi

dalam 78 famili dan 77 jenis diantaranya sudah dimanfaatkan oleh masyarakat

setempat sebagai obat tradisional. Heriyanto (2007) menyatakan di TNMB

ditemukan 28 jenis tumbuhan obat asli setempat dan telah dibudidayakan di zona

rehabilitasi, bagian tumbuhan yang digunakan sebagai obat yaitu daun, buah, biji,

batang, kulit batang, kulit buah, kecambah biji dan getah. Pemanfaatan tanaman

obat tersebut oleh masyarakat masih dalam tahap pengambilan tanaman untuk

dijual langsung atau dibuat ramuan.

Pemanfaatan plasma nutfah berupa sumber genetik untuk satwa dalam

rangka memperbanyak individu untuk restocking atau pemanfaatan secara lestari dapat dilakukan melalui konservasi situ seperti penangkaran. Konservasi

ek-situ banteng sudah dilakukan di beberapa kebun binatang seperti Kebun Binatang

Surabaya dan Kebun Binatang Ragunan serta di Taman Safari Indonesia dan

Taman Safari Prigen yang sudah mulai melakukan inseminasi buatan.

Hingga saat ini konflik dalam konservasi banteng belum dapat

diselesaikan secara tepat karena arah kebijakan pengelolaan banteng masih pada

aspek perlindungan tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat. Selain

itu pengelolaannya belum optimal karena masih sentralistik hanya dikelola oleh

Balai Taman Nasional mulai dari perencanaan sampai evaluasi tanpa melibatkan

stakeholders yang berkepentingan lainnya. Sehingga perlu dicarikan solusinya secara optimal melalui penelitian sesuai dengan prinsip dasar konservasi yaitu: a.

perlindungan sistem penyangga kehidupan; b. pengawetan keanekaragaman jenis

tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya serta c. Pemanfaatan secara lestari

sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Penelitian ini dirancang atas dasar

analisis permasalahan yang dapat menyebabkan konflik banteng yaitu aspek

populasi dan potensi habitat, kesejahteraan masyarakat, kepentingan stakeholders

serta aspek kelembagaan dalam rangka membangun pengelolaan banteng secara

kolaboratif.

1.2 Kerangka Pemikiran

Pada saat ini semakin disadari bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya

(34)

lembaga-lembaga pemerintah dengan aturan-aturan yang dibuat secara sentralistik.

Kebijakan yang sentralistik tidak menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam

pengelolaan kawasan maupun spesies. Hal tersebut dibuktikan dengan timbulnya

berbagai konflik di hampir seluruh kawasan hutan termasuk kawasan konservasi.

Sumber konflik antara masyarakat sekitar hutan dengan kegiatan pengelolaan hutan

disebabkan karena hak-hak ataupun akses mereka terhadap sumberdaya hutan tidak

tertampung dalam kegiatan pengelolaan hutan, sedangkan konflik satwaliar

disebabkan karena keluarnya satwaliar dari kawasan konservasi ke wilayah kegiatan

masyarakat (Alikodra 2009).

Mengatasi konflik di kawasan taman nasional dengan kebijakan yang

sentralistik, perlu perubahan paradigma pengelolaan yaitu dari manajemen

sentralistik ke manajemen kolaboratif. Manajemen kolaboratif adalah membangun

atau menetapkan kesepakatan seluruh pihak terkait melalui kerjasama yang saling

menguntungkan dengan mekanisme aturan-aturan yang disepakati oleh seluruh

stakeholders. Kolaborasi adalah suatu kondisi dua atau lebih aktor sosial bernegosiasi, memperjelas dan memberikan garansi di antara mereka serta membagi

secara adil fungsi, hak dan tanggung jawab dari suatu pengelolaan sumberdaya

alam tertentu yang diberi mandat untuk dikelola (Borrini-Feyerabend et al. 2000). Berdasarkan pengertian tersebut dapat diartikan pengelolaan kolaborasi

adalah kemitraan diantara berbagai pihak yang berkepentingan dan menyetujui

untuk berbagi fungsi/peran, wewenang dan tanggung jawab manajemen dalam

mengelola sumberdaya alam yang statusnya dilindungi atau dikonservasi.

Pengelolaan kolaborasi yang akan dikaji yaitu pengelolaan berbasis kemitraan

atau kerjasama antara pihak terkait melalui pembagian peran, wewenang, berbagi

keuntungan serta pembangunan kapasitas melalui peningkatan ekonomi

masyarakat sekitar kawasan. Claridge dan O’Callaghan (1995) mengemukakan

ada beberapa faktor pendukung manajemen kolaboratif (co-management) yaitu pembagian otoritas dan tanggung jawab, kerjasama, partisipasi, saling percaya dan

menghargai, pembangunan kapasitas serta integrasi konservasi dan pembangunan.

Di antara elemen penting yang terintegrasi dalam strategi pengelolaan kolaboratif

(35)

Konflik satwaliar banteng dan masyarakat di TNMB dan TNAP mulai

memuncak sejak tahun 2003. Dalam kurun waktu tujuh tahun ditemukan 11 kasus

kematian banteng di lokasi Perum Perhutani yang berbatasan dengan TNAP yaitu di

blok Sumbergedang, blok Kepuhngantuk dan di Dusun Kuterejo Desa Kalipait

(Murdyatmaka 2008). Di kawasan yang berbatasan dengan areal perkebunan

Bandealit wilayah kerja Seksi Ambulu TNMB dalam kurun waktu empat tahun

ditemukan enam kasus kematian banteng karena perburuan. Masyarakat dimaksud

adalah masyarakat desa sekitar kawasan taman nasional dan perkebunan baik yang

dikelola oleh swasta maupun pemerintah. Konflik terjadi karena masuknya banteng

ke areal perkebunan dan kawasan perhutani serta kebun masyarakat , yang

menyebabkan keterancaman banteng oleh perburuan.

Di TNAP banteng masuk dan merusak kawasan hutan produksi Perum

Perhutani BKPH Blambangan yang menyebabkan matinya tanaman mahoni

dibawah umur 5 tahun karena kulit batangnya dimakan banteng, selain itu

merusak kebun masyarakat/pesanggem. Di TNMB banteng merusak kebun

masyarakat/pesanggem dan perkebunan Bandealit yang menyebabkan rusaknya

10 ha tanaman vanili dan tanaman kopi.

Untuk mengetahui lebih jelas siapa saja yang terkait dalam konflik

konservasi banteng dengan masyarakat serta bagaimana pengaruh dan

kepentingannya perlu dilakukan suatu analisis stakeholders. Stakeholders adalah orang-orang yang mempunyai hak dan kepentingan dalam suatu sistem manajemen

sumberdaya (Suporahardjo 2005). Stakeholders dapat berupa perorangan, komunitas, kelompok sosial, atau organisasi. Analisis stakeholders dapat digunakan secara progresif (cepat) untuk memberdayakan kelompok yang sebenarnya penting namun

terpinggirkan serta untuk meningkatkan kebijakan dan lembaga (Suporahardjo 2005).

Pendekatan penelitian manajemen konflik satwaliar banteng dan

masyarakat menggunakan teori konflik dan teori co-management. Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses

penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya

konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi

semula (Coser 1956).

Pengelolaan kolaboratif adalah suatu kesepakatan dimana wewenang dan

(36)

Stakeholder

lain Masyarakat*)

Taman Nasional Konservasi

Banteng *) Masyarakat sekitar kawasan Perum Perhutani Perkenunan Bandealit

stakeholders lain yang terkait dengan tujuan untuk menjaga integritas ekologi sumberdaya alam (NRTEE 1999). Pengelolaan kolaboratif dianggap paling ideal

karena bersifat partisipatif, seluruh stakeholders dapat terlibat dalam perumusan rencana pengelolaan hingga pengawasan (Suporahardjo 2005). Pengelolaan

kolaboratif merupakan metode resolusi konflik yang menempatkan setiap

stakeholders sederajat (Tajudin 2000).

Teori konflik dan kolaboratif dipergunakan sebagai landasan untuk meredam

konflik dengan memperhatikan secara detail berbagai aspek konservasi banteng,

kesejahteraan masyarakat, dan kepentingan manajemen taman nasional (Gambar 1),

diagram kerangka penelitian dan faktor yang perlu menjadi sasaran penelitian dapat

dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1 Kerangka teoritis aspek penelitian manajemen konflik konservasi banteng (Coser 1956; Fisher et al. 2001; Knight dan Tighe 2003; UU No 5/1990 dan NRTEE 1999).

Gambar 2 menerangkan bahwa penggunaan lahan yang tidak sesuai

dalam kawasan taman nasional maupun penataan pemanfaatan areal berupa

enclave dapat memicu timbulnya perubahan dan gangguan biofisik kawasan, yang berakibat pada perubahan ekologi kawasan dan banteng. Pemanfaatan lahan

berupa enclave untuk pembangunan perkebunan, pertanian atau kegiatan penunjang ekonomi masyarakat lainnya dengan berbagai kebijakan sebelumnya

dirasa kurang relevan dengan kebijakan dan aturan saat ini. Hal ini terlihat dari

adanya konflik kepentingan dalam pengelolaan lahan dan kawasan maupun

konflik ekologis antara banteng dan masyarakat pengguna dan pengelola lahan

(37)

Gambar 2 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian (Fisher et al. 2001; Alikodra 2009; Suporahardjo 2005. Mod.)

Sehubungan dengan adanya konflik dalam konservasi banteng yang

diindikasikan dengan keluarnya banteng dari kawasan dan terjadinya perburuan yang

mengancam populasi banteng, maka pihak taman nasional perlu mengelola konflik

tersebut. Aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek kepentingan masyarakat ,

habitat dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terkait dengan persepsi

masyarakat terhadap konservasi banteng melalui kelembagaan, seperti pada TN

Ujung Kulon (TNUK), TN Way Kambas (TNWK) dan TN Bukit Barisan Selatan

(TNBBS). Adanya keterkaitan konflik dengan pemanfaatan sumberdaya lahan, sosial,

ekonomi dan persepsi masyarakat atau lembaga (stakeholders) yang terlibat, maka pengelolaan sumberdaya dan masyarakat di daerah penyangga memerlukan

pengelolaan terpadu dalam bentuk kolaboratif ( IUCN 1997; Suporahardjo 2005).

1.3 Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Dari latar belakang dan kerangka pemikiran yang dijelaskan sebelumnya

(Gambar 2), bahwa keluarnya banteng dari kawasan TN menyebabkan

terganggunya tanaman masyarakat, tanaman Perum Perhutani dan tanaman

Perkebunan yang mengakibatkan kerugian secara ekonomi seperti yang terjadi di

TNAP dan TNMB. Terganggunya masyarakat oleh banteng menyebabkan

Kegiatan Yang Membuat Gangguan

Gangguan Biofisik

Penyelesaian Masalah

Gangguan Secara Fisik Konflik

Perbedaan Aturan dan Kepentingan

Pengelolaan Konflik

Manajemen Habitat Manajemen Populasi Sosek dan Kelembagan

•Teknik Pemanfaatan (Penambahan atau

Pengurangan)

•Sosek dan Persepsi Masyarakat Sekitar Kawasan

•Kepentingan Stakeholders •Kegiatan antar Stakeholders •Kelembagaan 

•Pengelolaan Habitat (Pembinaan Padang Penggembalaan)

Pengelolaan Kolaboratif

Konservasi Banteng

(38)

Masyarakat

Masyarakat Banteng

Konflik

Potensi habitat Ruang gerak

TN Daerah

Penyangga

Integrasi Integrasi

Pakan/Air

Ekonomi Sosial

Sektor lain

Manajemen Kolaboratif (Upaya resolusi konflik)

konflik kepentingan antara masyarakat dengan pengelola. Keluarnya banteng juga

memudahkan akses untuk terjadinya perburuan yang berakibat pada terancamnya

populasi banteng. Banteng keluar kawasan dimungkinkan oleh kurangnya

ketersediaan pakan dalam kawasan, yang dikarenakan adanya gangguan dari

berbagai kegiatan seperti adanya enclave, selain itu pengelolaan kawasan dan biodiversitas termasuk banteng belum berjalan secara optimal.

Pengelolaan dalam upaya konservasi banteng akan optimal jika melibatkan

berbagai stakeholders terkait, terutama yang terlibat dalam konflik konservasi banteng dengan menggunakan pendekatan manajemen konflik melalui

pengelolaan kolaboratif yang mempertimbangkan aspek ekologi, sosial dan

ekonomi. Prinsip dasar pengelolaan kolaboratif yaitu: 1) pemberdayaan dan

pembangunan kapasitas, 2) pengakuan terhadap kearifan dan pengelolaan

tradisional, 3) perbaikan hak masyarakat lokal, 4) pembangunan berkelanjutan, 5)

akuntabel dan transparan, 6) pelestarian lingkungan sumberdaya, 7)

pengembangan mata pencaharian, 8) keadilan, dan 9) keterpaduan (Knight &

Tighe 2003). Diagram perumusan masalah dapat dilihat pada Gambar 3.

(39)

Prinsip-prinsip dasar pengelolaan kolaboratif dalam upaya menyelesaikan

konflik konservasi banteng dalam penelitian ini adalah pendekatan aspek sosial

dan ekonomi masyarakat, aspek pengelolaan habitat dan populasi, aspek ruang

seperti zonasi taman nasional, ruang daerah penyangga dan sektor lainnya dalam

kerangka pembangunan berkelanjutan. Aspek-aspek tersebut diintegrasikan dalam

rangka menentukan manajemen kolaboratif konservasi banteng yang melibatkan

stakeholders terkait. Sesuai dengan kerangka pemikiran dan perumusan masalah maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah:

1. Bagaimana daya dukung habitat banteng di dalam kawasan dan di luar kawasan

(daerah penyangga)

2. Bagaimana kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan taman

nasional

3. Bagaimana persepsi, pengaruh dan kepentingan stakeholders terhadap nilai konservasi taman nasional dan banteng (manfaat, perlindungan, pelestarian)

4. Bagaimana efektivitas manajemen taman nasional mengelola populasi banteng

5. Bagaimana kelembagaan kolaborasi konservasi dan pemanfaatan banteng di

Taman Nasional

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah: memformulasikan strategi konservasi

banteng di Taman Nasional dengan pendekatan pengembangan pengelolaan

kolaboratif , untuk mencapai tujuan tersebut terdapat tujuan antara yaitu:

1. Menganalisis dukungan habitat banteng di dalam dan di luar kawasan

(daya dukung dan ruang habitat)

2. Menganalisis aspek sosial, ekonomi serta persepsi masyarakat sekitar

kawasan dari manfaat taman nasional dan banteng

3. Menganalisis pengaruh dan kepentingan stakeholders terhadap nilai (value) konservasi taman nasional dan banteng (manfaat, perlindungan, kelestarian)

(40)

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah:

1. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang manajemen konflik

konservasi satwaliar khususnya banteng dengan masyarakat

2. Memberikan acuan dalam kebijakan konservasi banteng di TNMB dan

TNAP melalui pengelolaan secara kolaboratif dengan melibatkan

masyarakat sekitar kawasan dan stakeholders terkait lainnya

3. Memberikan perubahan paradigma terhadap manajemen konservasi

banteng yang tidak terbatas pada perlindungan saja, tetapi pemanfaatan

secara berkelanjutan perlu dikembangkan seperti pengembangan

penangkaran sebagai sumber bibit dan ekowisata

1.6 Kebaruan (Novelty)

Hingga saat ini belum ada satu penelitian penyelesaian konflik konservasi

banteng melalui pendekatan manajemen kolaboratif, sehingga hasil penelitian ini

merupakan kebaruan yang dapat dipakai sebagai acuan ilmiah bagi penyelesaian

(41)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bioekologi Banteng

2.1.1 Klasifikasi Banteng (Bos javanicus)

Menurut Slijper (1948); Lekagul & Mc. Neely (1977) diacu dalam

Alikodra (1983), bahwa klasifikasi Banteng adalah sebagai berikut:

Phylum : Chordata

Sub phylum : Craniata

Class : Mamalia

Sub class : Theria

Super order : Eutheria

Order : Artiodacthyla

Sub order : Ruminantia

Famili : Bovidae

Sub familia : Bovinae

Tribe : Bivini

Genus : Bos

Species : Bos javanicus d’Alton ,1832

Sub species : Bosjavanicus javanicus d’Alton, 1832(Jawa) Bos javanicus lowi Lydekker, 1912 (Kalimantan) Bos javanicus birmanicus Lydekker, 1898 (Thailand)

2.1.2 Deskripsi Banteng

Banteng memiliki tubuh tegap, besar dan kuat dengan bahu bagian

depannya lebih tinggi daripada bagian belakang tubuhnya (Hoogerwerf 1970,

diacu dalam Alikodra 1983). Pada kepala banteng terdapat sepasang tanduk, pada

banteng jantan berwarna hitam mengkilap, runcing dan melengkung simetris ke

dalam, sedangkan pada banteng betina bentuk tanduknya lebih kecil. Pada bagian

dadanya terdapat gelambir (dewlap) yang dimulai dari pangkal kaki depan sampai bagian leher, tetapi tidak mencapai daerah kerongkongan. Panjang badan 190-225

cm, tinggi bahu 160 cm, panjang ekor 65–70 cm, dan berat badan 600–800 kg

(42)

2.1.3 Populasi dan Penyebaran Banteng

Banteng adalah satwaliar yang hidupnya berkelompok, jumlah setiap

kelompok berkisar antara 10-12 ekor yang terdiri dari jantan dewasa, induk dan

anak-anaknya (Hoogerwerf 1970, Helder 1976, diacu dalam Alikodra 1983).

Kelompok-kelompok banteng tersebut kadang-kadang bersatu menjadi kelompok

yang lebih besar dengan jumlah mencapai 35 – 40 ekor.

Wilayah penyebaran banteng meliputi: Burma, Thailand, Indo China dan

Indonesia yang sebarannya di Pulau Jawa, Kalimantan, dan Bali (Lekagul & Mc

Neely 1977). Selain itu banteng juga tersebar di Malaysia Barat (Hoogerwerf

1970, diacu dalam Alikodra 1983). Penyebaran banteng meliputi wilayah yang

cukup luas mulai dari daerah pantai sampai daerah pegunungan dengan

ketinggian 2132 m di atas permukaan laut. Penyebaran banteng di Indonesia

meliputi beberapa taman nasional dan cagar alam seperti Taman Nasional

Baluran (TNB), Taman Nasional Alas Purwo (TNAP), Taman Nasional Meru

Betiri (TNMB), Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Taman Nasional Kayan

Mentarang (TNKM), Taman Nasional Kutai (TNK) serta CA Leuweung

Sancang, CA Pangandaran dan SM Cikepuh.

2.1.4 Habitat

Habitat adalah daerah yang sangat penting bagi populasi satwa agar dapat

berkembang secara optimal untuk mendapatkan makanan, air, dan cover

(Djuwantoko 1986). Habitat adalah kompleksitas berbagai komponen antara lain

iklim, fisiografi, vegetasi dengan kualitasnya dan merupakan tempat hidup

organisme (Alikodra 1979). Menurut Moen (1972) habitat satwa sangat

dipengaruhi oleh lingkungan, baik biotik maupun non biotik. Komunitas biotik

adalah kumpulan populasi yang hidup dalam kawasan atau habitat fisik yang

terorganisasi dalam satu kesatuan. Habitat satwa merupakan kombinasi vegetasi

dan satwa yang hidup di dalamnya. Vegetasi merupakan salah satu faktor biotik

yang sangat penting sebagai penyedia makan, tempat berlindung dan tempat

tinggal atau bersarang.

Habitat satwa sering secara sederhana diinterpretasikan sebagai tipe vegetasi

karena umumnya syarat-syarat hidup suatu jenis satwa selalu melibatkan aspek

(43)

habitat yang lebih terbuka (Lekagul and McNeely 1977, diacu dalam Alikodra

1983). Satwa banteng lebih bersifat sebagai pemakan rumput (grazer) dari pada pemakan daun dan semak (browser). Seperti satwa lainnya banteng membutuhkan pakan, mineral, sumber air dan tempat berlindung. Kerusakan habitat dapat

mempengaruhi daya dukung dan aktivitas makan yang berimplikasi pada

penyebaran banteng. Di TNMB kekurangan sumber pakan, rendahnya kualitas

padang penggembalaan menyebabkan banteng keluar kawasan dan menuju ke

areal perkebunan dan lahan masyarakat (Heriyanto et al. 2001). Kondisi ini dapat memicu terjadinya aktivitas perburuan dan konflik dengan masyarakat

(Murdyatmaka 2008).

Di TN Baluran, kerusakan habitat banteng khususnya savana Bekol

disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan Acacia nilotica sebagai tumbuhan jenis invasif . Akibat kerusakan habitat ini diindikasikan terjadinya penurunan populasi

banteng, termasuk karena keluar kawasan dan terjadinya perburuan (Siubelan dan

Garsetiasih 2003).

Pakan banteng di alam sebagian besar terdiri dari jenis rumput-rumputan,

sedangkan untuk jenis tumbuhan hutan hanya sebagian kecil yang dicirikan oleh

bekas gigitan banteng dan dalam jumlah yang terbatas (Hoogerwerf 1970).

Pakan banteng yang ditemukan di TNB terdiri dari 13 jenis rumput, 1 jenis

tumbuhan merambat, 3 jenis semak dan 13 jenis pohon (Komarudin 1993),

sedangkan di TNAP jenis-jenis pakan banteng yang ditemukan terdiri dari 8 jenis

rumput dan 4 jenis tumbuhan hutan (Nugroho 2002).

2.2 Taman Nasional

Taman Nasional adalah suatu kawasan yang diperuntukan bagi perlindungan

kawasan alami dan berpemandangan indah, serta secara nasional atau internasional

memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan dan rekreasi. Kawasan alam ini

luas, materinya tidak diubah oleh kegiatan manusia, mempunyai nilai alam yang

menonjol dengan kepentingan pelestarian yang tinggi, potensi rekreasi besar, mudah

dicapai oleh pengunjung, mempunyai fungsi dan manfaat bagi kawasan sekitarnya

(MacKinnon et al. 1993). Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pasal 1 ayat (14),

(44)

mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk

tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan

rekreasi (ekowisata).

Ekowisata yaitu perjalanan terencana ke daerah-daerah yang alami dengan

tujuan untuk memahami sejarah budaya dan alamnya; menjaga keutuhan ekosistem

alamnya; menghasilkan peluang untuk kepentingan ekonomi yang membuat

konservasi alam menjadi menguntungkan bagi masyarakat lokal (Wood et al. 1991). Ekowisata sebagai bentuk pembangunan pariwisata, manajemen, aktivitas yang

dapat menjaga keutuhan lingkungan, sosial, dan ekonomi serta kelangsungan

sumberdaya alam dan budaya secara berkelanjutan (Furze et al. 1997).Dalam rangka implementasi pembangunan berkelanjutan, ekowisata merupakan strategi yang

paling tepat dalam mengurangi kerusakan SDA dan keanekaragaman hayati

sekaligus meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat (Alikodra 2011).

Fungsi dari taman nasional mencakup tiga aspek, yaitu konservasi,

penelitian dan rekreasi (Suratmo 1980). Fungsi konservasi berupa pelestarian

terhadap plasma nutfah yang terdapat di dalamnya, perlindungan terhadap

proses-proses ekologis sistem penyangga kehidupan, dan menjamin pemanfaatan jenis

dan ekosistem secara lestari (MacKinnon et al. 1993). Alikodra (1987) menyatakan bahwa taman nasional dapat digunakan sebagai tempat penelitian,

terutama untuk memberikan masukan terhadap pengelolaan sehingga diharapkan

pengelolaannya lebih terarah, efektif dan efisien. Sedangkan fungsi rekreasi dari

taman nasional adalah dapat dimanfaatkan oleh pengunjung dengan pola

pengaturannya yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Suratmo (1980)

menyatakan bahwa biasanya dari ke tiga fungsi tersebut taman nasional hanya

menonjol salah satu fungsi saja dengan tanpa melupakan fungsi lainnya.

Pelestarian plasma nutfah banteng dilakukan melalui pemanfaatan semen

banteng sebagai sumber genetik. Pemanfaatan semen sekarang mulai dilakukan

oleh Taman safari Prigen (TSP) dan bekerjasama dengan Balai Besar Inseminasi

Buatan (BBIB) yang hasilnya akan dimanfaatkan oleh beberapa Pemda Provinsi

(Ivan Oktober 2010, komunikasi pribadi). Menurut PP No 8 tahun 1999

dinyatakan bahwa dalam memperbanyak individu satwa dapat dilakukan dengan

(45)

reproduksinya adalah kawin, dan dengan cara lain apabila cara reproduksinya

adalah tidak kawin baik di dalam maupun di luar habitatnya. Pemanfaatan genetik

banteng dapat menunjang budidaya yaitu memanfaatkan potensi satwa liar

sebagai sumber bibit atau plasma nutfah untuk dikembangkan dan dibudidayakan

di luar kawasan taman nasional (UU No.5/1990).

Fungsi dan manfaat taman nasional sebagai penyedia plasma nutfah

lainnya yaitu sebagai penyedia tanaman obat. Setyowati (2006) menyatakan

bahwa masyarakat Kluet yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung

Leuser masih sangat tergantung pada kelestarian sumber daya alam sebagai bahan

pangan, bahan obat-obatan, tali-temali, bahan bumbu dan keperluan lainnya.

Tidak kurang dari 133 jenis tumbuhan dari 52 famili, dimanfaatkan dalam

kehidupan sehari-hari. Dari jumlah tersebut, 60% nya masih diambil dari alam,

masyarakat mencari sejenis kayu medang yang dimanfaatkan sebagai bahan obat

nyamuk dan juga getah damar. Dalam satu hari dapat dikumpulkan kulit kayu

medang antara 5 hingga 10 kg dan getah damar sekitar 20 hingga 30 kg, dengan

harga jual Rp. 150,- per kg untuk kulit kayu medang basah dan Rp. 200,- per kg

untuk damar.

Di Taman Nasional Baluran (TNB) dan desa sekitarnya terdapat sekitar

194 jenis dari 71 keluarga tumbuhan obat. Tumbuhan obat yang sering

dimanfaatkan sebagai ramuan obat tradisional oleh masyarakat sekitar 53 jenis

dari 35 famili. Jenis-jenis tumbuhan yang terdapat di dalam TNB tersebut dapat

menyembuhkan 64 jenis penyakit dalam dan luar (Suyono 2002). Menurut Zuhud

dan Haryanto (1991) TNMB merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang

memiliki potensi tumbuhan obat yang besar, tidak kurang dari 364 jenis (70

famili) plasma nutfah tumbuhan obat ditemukan disini.

2.3 Masyarakat Sekitar Taman Nasional

Menurut Alikodra (1987), yang dimaksud dengan masyarakat sekitar

khususnya bagi taman nasional atau areal kawasan hutan lindung lainnya adalah

masyarakat pedesaan yang bermukim di sekitar kawasan. Kondisi sosial ekonomi

masyarakat di sekitar taman nasional yang relatif rendah merupakan faktor

pendorong kuat untuk melakukan tekanan pemanfaatan sumberdaya hutan taman

(46)

kawasan. Ketergantungan mereka dapat dikatagorikan sebagai kegiatan legal dan

tidak legal. Pemanfaatan kawasan atau sumberdaya yang tidak legal berpotensi

merusak kawasan jika tidak dilakukan pengamanan atau aturan, sedangkan

ketergantungan yang legal dapat dikembangkan untuk meningkatkan partisipasi

masyarakat terhadap kelestarian taman nasional. Peran pengelolaan taman

nasional ke arah peningkatan sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan

secara langsung masih rendah (Alikodra 1987).

Kegiatan pengelolaan taman nasional masih menghadapi berbagai masalah

yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Salah satu

faktor eksternal yang dirasakan dominan dalam pelaksanaan pengelolaan taman

nasional adalah tekanan masyarakat dalam bentuk pemanfaatan hasil hutan berupa

flora dan fauna secara illegal. Kepentingan pemenuhan kebutuhan masyarakat sekitar di satu pihak dan kepentingan konservasi di pihak lain mengakibatkan

terjadinya konflik kepentingan. Konflik kepentingan akan meningkat menjadi

konflik terbuka jika harapan masyarakat tidak sejalan dengan pengelolaan taman

nasional yang diterapkan oleh pemerintah.

Untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan dan menekan

penggunaan kawasan yang bersifat eksploitatif oleh masyarakat perlu dicarikan

jalan keluar dengan cara mengakomodir harapan-harapan masyarakat terhadap

manfaat kawasan taman nasional. Menurut Mackinnon et al. (1993), ada 16 cara utama dimana kawasan yang dilindungi dapat memberi manfaat bagi masyarakat

sekitar kawasan yaitu: 1) menstabilkan fungsi hidrologi, 2) melindungi tanah, 3)

stabilitas iklim, 4) pelestarian sumberdaya pulih yang dapat dipanen, 5)

perlindungan sumberdaya plasma nutfah, 6) pelestarian untuk perkembangbiakan

ternak, cadangan populasi dan keanekaragaman biologis, 7) pengembangan

kepariwisataan, 8) menyediakan fasilitas rekreasi, 9) menciptakan kesempatan

kerja, 10) menyediakan fasilitas bagi penelitian dan pemantauan, 11)

menyediakan fasilitas pendidikan, 12) memelihara kualitas lingkungan hidup,13)

keuntungan dari perlakuan khusus, 14) pelestarian nilai budaya dan tradisional,

15) keseimbangan alam lingkungan dan 16) nilai warisan dan kebanggaan

(47)

2.4 Konflik dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan

Pengelolaan sumberdaya hutan termasuk satwaliar umumnya diarahkan

atau identik dengan pengelolaan dari aspek ekologi, sedangkan aspek sosial

terutama yang berhubungan dengan masyarakat sekitar hutan kurang mendapat

perhatian. Hal tersebut telah berdampak pada sumberdaya hutan dan penurunan

keragaman jenis akibat intervensi masyarakat ke dalam kawasan yang

menimbulkan konflik, dengan demikian aspek sosial, ekonomi dan budaya

masyarakat menjadi bagian penting dalam pengelolaan sumberdaya hutan

termasuk pengelolaan konflik. Konflik merupakan suatu perwujudan perbedaan

cara pandang antara berbagai pihak terhadap obyek yang sama (Wulan et al. 2004). Konflik adalah suatu situasi yang menunjukkan terjadinya penghilangan hak

seseorang atau kelompok atas suatu benda atau kedudukan, dan faktor-faktor yang

mempengaruhi konflik menurut (Malik et al. 2003) :

(a) Hubungan antar manusia seperti perbedaan persepsi, budaya (tingkah laku)

dan cara berkomunikasi.

(b) Masalah kepentingan yang dipicu oleh masalah mendasar (uang,

sumberdaya, fisik, dan waktu), tata cara (sikap), dan psikologis (persepsi,

kepercayaan, dan keadilan).

(c) Perbedaan data seperti cara mengumpulkan informasi, relevansi data, cara

menterjemahkan informasi dan menyajikan data.

(d) Pemaksaan nilai dan sikap tidak toleran terhadap perbedaan nilai yang dianut

data.

Alikodra (2009) menyatakan bahwa banyak alasan yang menjadi sumber

konflik, misalnya konflik antara masyarakat sekitar hutan dengan kegiatan

kehutanan, yang disebabkan karena hak-hak ataupun akses mereka terhadap

sumberdaya hutan tidak ditampung dalam kegiatan kehutanan. Padahal status

lahan dan kegiatan mereka telah dianut lama secara turun temurun dan tertuang

dalam norma adat mereka.

Teori penyebab konflik lainnya yaitu teori kebutuhan manusia berasumsi

bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia

berupa fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan,

(48)

(Fisher et al. 2001). Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah : membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan

bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan

pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Agar pihak-pihak yang

mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar

semua pihak.

Konflik adalah pertentangan antar banyak kepentingan, nilai, tindakan atau

arah, serta sudah merupakan bagian yang menyatu sejak adanya kehidupan. Maka

konflik merupakan sesuatu yang tidak terelakan yang dapat bersifat positif

ataupun negatif. Aspek positif konflik muncul, ketika konflik membantu

mengidentifikasi sebuah proses pengelolaan lingkungan dan sumberdaya yang

tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak

jelas, dan menjelaskan kesalah fahaman. Konflik juga akan bermanfaat, yaitu

ketika mempertanyakan statusquo, maka sebuah pendekatan kreatif muncul.

Sebaliknya konflik dapat bersifat negatif jika diabaikan. Konflik yang tidak

terselesaikan merupakan sumber kesalah fahaman, ketidak percayaan serta bias.

Konflik menjadi buruk apabila menyebabkan semakin meluasnya

hambatan-hambatan untuk saling bekerjasama antar berbagai pihak (Johnson dan Duinker

1993; Mitchell et al. 2000, diacu dalam Alikodra 2009).

Perbedaan dan pertentangan kepentingan seringkali terjadi dan muncul

dalam pengalokasian sumberdaya dan pengambilan keputusan. Pertentangan ini

seringkali merefleksikan perbedaan pandangan, ideologi, dan harapan. Hal

tersebut merupakan tantangan bagi para pengelola lingkungan atau sumberdaya

hutan untuk dapat mengakomodasikan berbagai perbedaan tersebut serta mencari

jalan tengah yang dapat diterima semua pihak (Zen 1979; Mitchell et al. 2000, diacu dalam Alikodra 2009). Hal tersebut telah dilakukan di Australia dengan

membangun suatu kesepakatan antara pemerintah dan stakeholders yang menyarankan aturan-aturan baru dalam pengambilan keputusan untuk jangka

panjang dalam penyelesaian konflik keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam

(Brown 2002).

Konflik sangat terkait dengan value (nilai) yang difahami oleh masyarakat

(49)

pemahaman mereka terhadap ekologi dalam atau pemahaman ekonomi jangka

pendek (Alikodra 2009). Konflik antara manusia dan satwaliar terjadi akibat

sejumlah interaksi negatif baik langsung maupun tidak langsung antara manusia

dan satwaliar. Pada kondisi tertentu konflik tersebut dapat merugikan semua pihak

yang berkonflik. Konflik yang terjadi cenderung menimbulkan sikap negatif

manusia terhadap satwaliar, yaitu berkurangnya apresiasi manusia terhadap

satwaliar serta mengakibatkan efek-efek detrimental terhadap upaya konservasi.

Kerugian yang umum terjadi akibat konflik diantaranya seperti rusaknya tanaman

pertanian dan atau perkebunan serta pemangsaan ternak oleh satwaliar, atau

bahkan menimbulkan korban jiwa manusia. Disisi lain tidak jarang satwaliar yang

berkonflik mengalami kematian akibat berbagai tindakan penanggulangan konflik

yang dilakukan ( Kepmenhut, No. P.48/Menhut-II/2008).

Dalam pelaksanaan penanggulangan konflik antara manusia dengan

satwaliar, perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Manusia dan satwaliar sama-sama penting; konflik manusia dan satwaliar

menempatkan kedua pihak pada situasi dirugikan. Dalam memilih opsi-opsi

solusi konflik yang akan diterapkan, pertimbangan langkah untuk mengurangi

resiko kerugian yang diderita oleh manusia, secara bersamaan harus didasari

pertimbangan terbaik untuk kelestarian satwaliar yang terlibat konflik.

2. Site spesific; secara umum konflik muncul antara lain karena rusak atau

menyempitnya habitat satwaliar yang disebabkan salah satunya karena

aktifitas pembukaan areal dan konversi menjadi lahan pertanian dan

perkebunan atau Hutan Tanaman Industri. Disamping itu, berkurangnya

satwa mangsa (khsususnya untuk harimau) karena perburuan liar, juga

sering menimbulkan konflik. Variasi karakteristik habitat, kondisi populasi,

dan faktor lain seperti jenis komoditas, membuat intensitas dan solusi

penanganan konflik bervariasi di masing-masing wilayah, menuntut

penanganan yang berorientasikan kepada berbagai faktor yang berperan

dalam sebuah konflik. Sehingga sangat memungkinkan terjadinya pilihan

kombinasi solusi yang beragam pula di masing-masing wilayah konflik.

Solusi yang efektif di suatu lokasi, belum tentu dapat diterapkan pada situasi

Gambar

Gambar 1  Kerangka teoritis aspek penelitian  manajemen konflik
Gambar 2  Diagram alir kerangka pemikiran penelitian (Fisher  et al. 2001;
gambar 4 berikut :
Gambar 7 Lokasi penelitian dan zonasi TNMB
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebaiknya sampah-sampah dibakar atau dikubur agar tidak tumbuh di bibit-bibit penyakit yang menimpa masyarak walaupun terbukti sampah itu dapat merugikan bila tidak dikelola

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyerapan Cu dalam akar selalu lebih tinggi jika di bandingkan dengan bagian batang dan daun tetapi waktu berpengaruh terhadap akumulasi Cu

Obat Kencing Nanah Herbal Dari Denature Indonesia Yaitu Berupa Gang Jie Dan Gho Siah Yang Diformulasikan Kusus Dengan Kandungan Herbal Alami Yang

OdreĊivanje lomne ţilavosti mjerenjem duljine pukotina prema Anstisu, Casellasu, Niihari ovisi o modulu elastiĉnosti materijala, tvrdoći, duljini pukotina i

Program Persiapan SBMPTN, SIMAK UI, dan Ujian Mandiri – Bimbingan Alumni

Pada awalnya istilah yang digunakan adalah antibiosis, yang berarti substansi yang dapat menghambat pertumbuhan organisme hidup yang lain dan berasal dari mikroorganisme.. Namun

Hasi Penelitian Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Penggunaan Susu Formula Dengan Kejadian Karies Gigi Pada Anak Balita Usia 2-4 Tahun Di Desa Nguwok Kecamatan Modo Kabupaten

kacang-kacangan dan biji-bijian seperti kacang kedelai, kacang tanah, biji kecipir, koro, kelapa dan lain-lain termasuk biji ketapang merupakan bahan pangan sumber